BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang pemerintah negara Indonesia memiliki tugas yang cukup berat dan luas.
Pemerintah dituntut untuk melindungi dan menguasai kekuasaan negara demi kesejahteraan dan kemakmuran bangsa Indonesia ,mencerdaskan kehidupan bangsa, melindungi rakyat dan memberikan pelayanan pada rakyat. Maka dari itu pemerintah mendapat freies ermessen/diskresi, atau kewenangan untuk turut campur dalam berbagai bidang kegiatan hukum tata perintahan. Pemilihan Indonesia sebagai Negara kesejahteraan, negara hukum yang dinamis
dengan
freies
ermessen/diskresi,
menurut
E.Utrecht
mengundang
konsekuensi sendiri dalam bidang perundang-undangan, yakni diberikannya kewenangan bagi pemerintahan membuat peraturan perundangan baik atas inisiatif sendiri maupun atas delegasi yang diterima dari UUDNRI serta menafsirkannya sendiri. Dalam hukum tata pemerintahan penggunaan asas diskresi atau freies ermessen sering dilakukan oleh aparat pemerintah karena beberapa faktor-faktor yang mendukung dilakukannya diskresi. Contohnya ialah peraturan gubernur Jawa Timur (Pak de Karwo) yang melarang kerapan sapi di Madura dengan kekerasan atau alat yang membahayakan sapi tersebut. Kemudian keputusan walikota solo (Pak Jokowi) yang menolak dibangunnya pasar modern dikawasan budaya. Contoh contoh lainnya banyak sekali. Penggunaan asas diskresi dalam praktet-praktek tata pemerintahan juga tidak sembarangan karena juga harus berpedoman pada asas-asas umum pemerintahan yang baik. Menurut Kamus Hukum, Diskresi berarti kebebasan mengambil keputusan dalam setiap situasi yang dihadapi menurut pendapatnya sendiri. Sedangkan menurut Rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan draft bulan Juli 2008 didalam pasal 6 mengartikan diskresi sebagai wewenang badan atau pejabat pemerintahan dan atau badan hukum lainnya yang memungkinkan untuk melakukan pilihan dalam mengambil tindakan hukum dan atau tindakan faktual dalam administrasi pemerintahan.
1
Kemudian beberapa ahli hukum banyak merumuskaan mengenai asas diskresi, menurut Prof. Benyamin, diskresi didefinisikan sebagai kebebasan pejabat mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri. Menurut Saut P. Panjaitan, diskresi (pouvoir discretionnaire, Perancis) ataupun Freies Ermessen (Jerman) merupakan suatu bentuk penyimpangan terhadap asas legalitas dalam pengertian wet matigheid van bestuur, jadi merupakan ”kekecualian” dari asas legalitas. Menurut Laica Marzuki, diskresi adalah suatu kebebasan yang diberikan kepada badan atau pejabat administrasi dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, diemban dalam kaitan menjalankan bestuurzorg. Menurut Prajudi Admosudirjo, diskresi adalah suatu kebebasan bertindak atau mengambil keputusan menurut pendapat sendiri, dan Nata Saputra memaknai freies Ermessen, adalah suatu kebebasan yang diberikan kepada alat administrasi Negara mengutamakan keefektifan tercapainya suatu tujuan (doelmatigheid) daripada berpegang teguh kepada ketentuan hukum. Gayus T. Lumbuun mendefinisikan diskresi sebagai berikut: “Diskresi adalah kebijakan dari pejabat negara dari pusat sampai daerah yang intinya membolehkan pejabat publik melakukan sebuah kebijakan yang melanggar dengan undang-undang, dengan tiga syarat. Yakni, demi kepentingan umum, masih dalam batas wilayah kewenangannya, dan tidak melanggar Azas-azas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).” Kekuasaan diskresi terdapat pada kekuasaan menjalankan jabatan yang dimiliki pejabat publik. Kekuasaan diskresi merupakan jenis kekuasaan untuk menggunakan wewenangan berdasarkan inisiatif pejabat. Kekuasaan ini diberikan oleh undang-undang dengan maksud agar pejabat dapat menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Kondisi seperti inilah jabatan rawan untuk diselewengkan, karena bersamaan dengan menjalankan kebijakan untuk publik, dengan mudah terdapat niat untuk menarik keuntungan pribadi atau pun keuntungan kelompok1. Penggunaan diskresi mempunyai syarat-syarat khusus, agar dalam menggunakan kewenangannya, pejabat tidak berlaku sewenang- wenang.
1
Indriyanto Seno Adji, KORUPSI : Kriminalisasi Kebijakan Aparatur Negara? (Jakarta: 2010), halaman1-2.
2
Permasalahan yang menyangkut kebijakan tidak sedikit yang diproses dan dijerat dengan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, sehingga menimbulkan polemik2. Pejabat terperangkap menjadi koruptor karena tugas mereka yang melekat pada jabatan itu. Tanda tangan pejabat harus ada dalam kebijakan itu, sehingga merekalah yang bertanggung jawab jika ternyata menimbulkan kerugian negara yang akhirnya dianggap sebagai tindak pidana korupsi, walaupun dana yang dihasilkan tidak dinikmati pejabat tersebut3. Kebijakan yang dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana korupsi, tentu dilematis, padahal kebijakan adalah bagian dari suatu sistem. Pejabat pemerintah yang takut mengambil kebijakan, maka roda pemerintahanpun tidak akan berjalan sesuai harapan. Tidak jarang pejabat pemerintah mengalami keraguan dalam menjalankan fungsi dan wewenangnya, khususnya dalam menjalankan kebijakan wewenangnya yang dipersepsikan oleh penegak hukum sebagai perbuatan korupsi yang berlindung dibalik kebijakan. Contohnya pada kasus Bullogate yang bermula dari kebijakan yang diambil mantan Presiden B.J.Habibie dalam menanggulangi kerawanan pangan dan dalam keadaan krisis kepercayaan kepada pemerintah yang meluas sebagai dampak pemerintah sebelumnya. Alasan kebijakan yang diambil B.J.Habibie: 1. Bantuan dari luar negeri tidak datang sesuai jadwal yang diharapkan; 2. Anggaran untuk penyelesaian masalah- masalah yang tak terduga, dalam hal ini sembako dan penyalurannya pada APBN tahun 1998/1999, sangat terbatas dan anggaran sudah berjalan; 3. Pemerintah
harus
segera
bereaksi
untuk
mengembalikan
citra
kepercayaan pemerintah yang waktu itu sedang merosot di masyarakat. Cara mengatasi hal tersebut, B.J.Habibie mengambil kebijakan cepat yakni mengundang Menko Kesra, Menperindag/Kepala Bulog, dan Mensesneg untuk menjajagi kemungkinan pemanfaatan dana non-budgeter Bulog sebesar Rp.40 miliar 2 Marwan Effendy, Apakah Suatu Kebijakan Dapat Di Kriminalisasi?, halaman 1-2. Makalah disampaikan dalam Seminar “Pertanggungjawaban Kebijakan Ditinjau Dari Hukum, Bengkulu 16 NOV 2018 3 Benny Irawan, Diskresi sebagai Tindak Pidana Korupsi: Kajian Kriminologi dan Hukum terhadap Fenomena Pejabat Otoritas, (Mimbar, Vol. XXVII, No.2, 2011) halaman 143-144
3
dan segera diserahkan kepada Mensesneg untuk program pengadaan dan pembagian sembako kepada masyarakat miskin. Presiden memerintahkan kepada Mensesneg guna mengkoordinasikan pelaksanaan pengadaan dan pembagian sembako. Berdasarkan putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan diperkuat putusan Pengadilan Tinggi Jakarta, Akbar Tanjung, Dadang Sukandar, Winfried Simatupang dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama- sama, tetapi Mahkamah Agung mengeluarkan Putusan Vrijspraak (putusan bebas). 1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, dirumuskan permasalahan berikut : 1. Bagaimana diskresi dan tanggung jawab pejabat publik pada pelaksanaan
tugas dalam situasi darurat? 2. Apa batasan perbuatan melawan hukum yang berdampak hukum
administrasi dan hukum pidana dalam melaksanakan tugas dalam situasi darurat? 3. Bagaimana praktik Diskresi di Indonesia
4
BAB II PEMBAHASAN 3.1
Diskresi dan Tanggung Jawab Pejabat Publik Pada Pelaksanaan Tugas dalam Situasi Darurat Diskresi (freies ermessen) merupakan kewajiban pemerintah dalam sebuah
negara kesejahteraan (welfare state), yang mana tugas pemerintah yang utama dalam negara kesejahteraan adalah memberikan pelayanan umum atau mengusahakan kesejahteraan bagi warga negara. Diskresi yang ada di Indonesia muncul bersamaan dengan adanya pemberian tugas bagi pemerintah untuk melaksanakan dan merealisasikan tujuan negara Indonesia. Situasi darurat dapat dipahami sebagai daya paksa yang terdapat di dalam Pasal 48 KUHP “barangsiapa melakukan perbuatan karena daya paksa, tidak dipidana.” Di dalam membuat keputusan tata usaha negara, menurut Muchsan landasan yang dapat digunakan oleh aparat pemerintahan ada dua yaitu : 1. Wet matig (menggunakan landasan peraturan perundang-undangan/Yuridis) Dalam landasan wet matig ini yang menjadi dasar atau batu pijakan ialah peraturan undang-undang baik dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUDNRI), Ketetapan MPR yang masih berlaku, UndangUndang/Perpu, Peraturam pemerintah, peraturan daerah provinsi dan kota. Wet matig ini merupakan landasan yang ideal. 2. Doel matig (menggunakan landasan kebijakan) Dalam landasan Doel matig ini yang menjadi dasar atau batu pijakan ialah
kebijakan. Dalam hal ini Produk hukum sudah ada, tetapi
dikesampingkan. Hal ini diperbolehkan, dikarenakan di dalam hukum tata pemerintahan dikenal adanya azas diskresi/freies ermessen (asas kebebasan bertindak). Hal ini bukan berarti dikesampingkannya sama sekali asas legalitas, karena sikap tindak adminsitrasi negara harus dapat diuji berdasarkan peraturan perundang-undangan lainnya yang lebih tinggi ataupun berdasarkan ketentuan hukum yang tidak tertulis seperi asas-asas umum pemerintahan yang baik.
5
Dalam hal ini tetap dipergunakan asas legalitas, hanya saja dalam pengertian yang lebih luas dan fleksibel yang tidak saja berdasarkan pada peraturan perundangundangan yang tertulis, tetapi juga berdasarkan pada ketentuan hukum yang tidak tertulis, seperti algemene beginselen van behoorlijk bestuur. Jika kita melihat azas diskresi, jika dilaksanakan administrasi negara terkesan bertindak sewenang-wenang, tetapi jika tidak dilaksanakan maka tujuan pembangunan nasional akan terhambat. Untuk menghindari kesewenang-wenangan atau penyalahgunaan pemerintah (eksekutif) dalam menggunakan asas diskresi/freies ermessen maka perlu diatur pembatasan penggunaan asas diskresi. Kebijakan diperbolehkan sebab dalam hukum tata pemerintahan terdapat teori diskresi. Namun menurut Muchsan asas diskresi ini menimbulkan dilema : a. Di satu pihak apabila diskresi selalu digunakan, akan terjadi perbuatan pemrintah yang sewenang-wenang. b. Tetapi sebaliknya jika pemerintah takut melakukan diskresi, maka tujuan pembangunan nasional yang mulia, adil dan makmur sulit terwujud. c. Kalau dilakukan dengan negatif oleh pemerintah maka timbul semenamena atau sembarangan atau penyalahgunaan wewenang. d. Kalau tidak dilakukan atau digunakan tidak berwujud seuatu yang bermanfaat. Diskresi dilakukan oleh administrasi negara dalam hal-hal sebagai berikut4: a. Belum adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelesaian in concreto terhadap suatu masalah tersebut menuntut penyelesaian dengan segera; b. Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar berbuat aparat pemerintah memberikan kebebasan sepenuhnya. Pemberian diskresi kepada pejabat pemerintah merupakan konsekuensi logis dari konsep negara kesejahteraan, tetapi dalam kerangka negara hukum, diskresi tidak dapat digunakan tanpa batasan. Atas dasar tersebut, maka diskresi memiliki unsur-unsur:
4
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI-Press, 1986), hal 152
6
a. Sebagai bentuk dari konsekuensi dari konsep negara kesejahteraan; b. Merupakan bentuk sikap dari campur tangan pemerintah atau pejabat administrasi negara; c. Dimaksudkan
untuk
menyelesaikan
permasalahan-permasalahan
yang
muncul secara tiba-tiba atau belum dimuat dalam ketentuan undang-undang; d. Diambil berdasarkan inisiatif sendiri dari pemerintah; e. Bertujuan untuk memberikan pelayanan publik; f. Dimaksudkan untuk mengisi kekurangan peraturan perundang- undangan; g. Tidak bertentangan dengan sistem hukum atau pun norma-norma dasar. Diskresi merupakan wewenang bebas, maka diskresi melekat pada jabatan. Sesuatu yang melekat pada jabatan, maka penggunaan diskresi pada dasarnya adalah dalam rangka melaksanakan kewenangan jabatan. Tindakan seorang pemangku jabatan hanya mengikat jabatan kalau dia melakukan suatu tindakan jabatan (ambtshandeling), yaitu tindakan yang dilakukan dalam kualitasnya sebagai pejabat. Supaya dapat dibedakan dari tindakan pribadi (prive handeling), maka digunakan alat-alat formal seperti nama jabatan, cap jabatan, kertas jabatan, sampul jabatan, tandatangan ketua serta sekretaris, dan sebagainya5. Pejabat pemerintah yang menggunakan diskresi, selama dilakukan dalam lingkungan formil wewenangnya atau dilakukan dalam rangka melaksanakan kewenangan jabatan, semua konsekuensi yang timbul akan menjadi tanggung jawab dari jabatan yang diemban6. Parameter yang membatasi gerak bebas kewenangan aparatur negara adalah detournement de povouir (penyalahgunaan wewenang) dan abus de droit (sewenangwenang), sedangkan dalam area Hukum Pidana pun memiliki kriteria yang membatasi
gerak
bebas
kewenangan
aparatur
Negara,
yaitu
unsur
wederrechtelijkheid dan menyalahgunakan kewenangan. Manakala aparatur negara
5
Harun Alrasid, Masalah Pengisian Jabatan Presiden, Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta, 1993, halaman 20, 6 Ridwan, Diskresi dan Tanggung Jawab Pemerintah, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Press, 2014), halaman 201
7
melakukan perbuatan yang dianggap menyalahgunakan kewenangan dan melawan hukum, pengadilan mana yang akan memproses hal tersebut7. Di dalam pasal 24 undang-undang nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi pemerintahan menyebutkan tentang syarat-syarat pelaksanaan diskresi sebagai berikut8: a. sesuai dengan tujuan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2); b. tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. sesuai dengan AUPB; c. berdasarkan alasan-alasan yang objektif; d. tidak menimbulkan Konflik Kepentingan; dan e. dilakukan dengan iktikad baik.
2.2
A. Batasan Perbuatan Melawan Hukum yang Berdampak Hukum Administrasi dalam Melaksanakan Tugas dalam Situasi Darurat Pejabat
administrasi
negara
telah
dilengkapi
dengan
kewenangan-
kewenangan baik yang bersifat atributif maupun yang bersifat delegatif. Agar tugas pelayanan publik tetap mencapai hasil maksimal, pejabat administrasi diberikan kemerdekaan
untuk
bertindak
atas
inisiatif
sendiri
dalam
menyelesaikan
permasalahan konkret yang harus ditangani secara tepat, sementara terhadap permasalahan itu tidak ada, atau masih belum dibentuk suatu dasar hukum penyelesaiannya oleh lembaga legislatif yang kemudian dalam hukum administrasi negara disebut wewenang bebas (diskresi). Tidak pernah ada wewenang bebas sepenuhnya, sebab dalam kerangka hukum modern, hal ini berarti bahwa wewenang yang dimiliki oleh pejabat administrasi tidak boleh digunakan untuk tujuan lain dari maksud diberikan wewenang itu kepadanya. Wewenang bebas yang diberikan mengandung suatu kewajiban bahwa pejabat administrasi negara harus selalu menentukan keputusan 7 8
Indriyanto Seno Adji,...Op.Cit., halaman 3 UU nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi pemerintahan
8
yang terbaik untuk menghadapi situasi konkret.15 Sifat wewenang pemerintah, yaitu yang bersifat terikat, fakultatif, dan bebas, terutama keputusan-keputusan (besluiten) dan ketetapan-ketetapan (beschikking) oleh organ pemerintahan sehingga dikenal ada keputusan atau ketetapan yang bersifat terikat dan bebas9. Harus juga dipahami bahwa bebasnya sifat wewenang pemerintahan yang dirumuskan dalam peraturan dasarnya, tetap harus berlaku norma- norma tidak tertulis yang disebut dengan Asas- Asas Umum Pemerintahan yang Layak10. Kebijakan yang diambul pejabat pemerintah tidak diperkenankan Hakim biasa untuk mengadilinya. Bukanlah pengadilan yang dapat menilai kebijakan penguasa dengan diskresinya, sehingga kebijakan pemerintah tidak boleh dicampuri oleh Hakim Umum. Pembatasan terhadap Beleidsvrijheid itu adalah apabila terdapat perbuatan yang masuk dalam kategori penyalahgunaan wewenang dan perbuatan sewenangwenang, dan pola penyelesaian terhadap penyimpangan ini adalah melalui Peradilan Tata Usaha Negara11. B. Batasan Perbuatan Melawan Hukum yang Berdampak Hukum Administrasi dan Hukum Pidana dalam Melaksanakan Tugas dalam Situasi Darurat Penyimpangan kekuasaan pada pejabat publik dapat berupa penyalahgunaan wewenang yang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi sebagaimana dapat dilihat pada Pasal 3 Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal ini mengatur tentang penyalahgunan wewenang oleh seseorang yang memiliki jabatan atau kedudukan dimana akibat perbuatannya itu merugikan Keuangan Negara. Jelas bahwa penyalahgunaan wewenang merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Pasal 3 Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan:
9
Indohartono, Perbuatan Pemerintah Menurut Hukum Publik dan Hukum Perdata, Lembaga Penulisan dan Pengembangan 10 Rusli K.Iskandar, Normatifisasi Hukum Administrasi Negara, dalam SF Marbun dkk, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia Press, 2001), halaman 187 11 Ibid., halaman 10-11
9
“setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.50.000.000 (limah puluh jutarupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000 (satu milyar rupiah).” Unsur-unsur dalam rumusan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini adalah setiap orang, dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini merupakan bentuk tindak pidana korupsi pokok. Ketentuan pasal ini tidak menyebutkan unsur secara melawan hukum sehingga Penuntut Umum tidak perlu membuktikannya. Sifat melawan hukum tersebut sudah terdapat pada unsur-unsur yang lain12, sedangkan unsur penting atau bagian inti (bestanddelen) yang harus didefinisikan atau diberikan pembatasan oleh pembentuk undang- undang yaitu unsur ketiga. Hal ini diperlukan karena pengertian penyalahgunaan wewenang merupakan ruang lingkup (domain) dari hukum. Penyalahgunaan wewenang yang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi, apabila suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh pejabat publik dalam hal tertentu dimana peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak atau belum mengaturnya, atau peraturan yang ada yang mengatur tentang tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh pejabat publik atau pejabat administrasi negara tersebut menyimpang dari seharusnya dilakukan, dengan maksud atau sengaja untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain sehingga dapat menyebabkan kerugian keuangan atau perekonomian negara yang sebagaimana dengan tegas telah diatur oleh undang-undang dan dengan batas : 12
Hari Sasangka, Komentar Korupsi, (Bandung: Mandar Maju, 2007), halaman 11
10
a. Diskresi yang digunakan menyimpang dari tujuan peraturan yang mendasari kewenangan pejabat publik dan b. Diskresi yang digunakan oleh pejabat publik dimaksudkan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi sehingga dapat merugiakan keuangan atau perekonomian negara. 2.3
Praktik Diskresi Di Indonesia 1. Hakim Diskresi dalam Masalah Hukum Pemikiran (mind-set) positif-tekstual kurang lebih hanya akan "mengeja" suatu peraturan, menerapkan undang-undang dan prosedur. Cara berpikir hukum seperti itu disebut "linier". Memang itu mudah, tetapi dangkal, menggunakan kecerdasan rasional semata. Kita bisa diingatkan kembali pada pendapat Paul Scholten, seorang pemikir hukum Belanda, yang mengatakan "hukum itu ada dalam UU, tetapi masih harus ditemukan". Maka menjadi salah sekaligus dangkal bila orang hanya "mengeja" peraturan. Perlu untuk melakukan perenungan (contemplation) dan mencari makna lebih dalam dari suatu peraturan. Ini sesuai gagasan Paul Scholten. Apabila "pintu perenungan makna" dibuka, terbentanglah panorama baru di hadapan hakim. Perenungan tidak akan berhenti pada dimensi subyektif, tetapi juga sosial. Hakim tidak hanya mendengarkan dengan telinga subyektif, tetapi juga dengan "telinga sosial” dan menggunakan kecerdasan spritual sehingga dapat menyelami kaedah yang merupakan roh yang menjadi landasan suatu hokum. Jika pendefinisian diskresi dikaitkan dengan masalah penetapan hukum tentu saja muaranya kebijaksanaan yang diambil oleh hakim dalam memutuskan perkara di antara para pihak yang bersengketa. Berikut ini berapa contoh perkara hukum yang terkait dengan kewenangan diskresi: a. Keputusan kontroversial Bismar, hukuman pidana bagi pengedar ganja ketika dia menjabat Ketua Pengadilan Tinggi di Medan. Seorang terdakwa yang dituntut jaksa 10 bulan penjara, Bismar melipatgandakannya menjadi 10 tahun. Yang 15 bulan menjadi 15
11
tahun. Karena itu, dia sangat prihatin dengan keputusan hakim yang menjatuhkan hukuman hanya 4 tahun penjara kepada ratu ekstasi Zarima. Padahal, Zarima tertangkap membawa 29 ribu pil setan. Apakah hakim itu tidak mengetahui dan merasakan akibat dari perbuatan Zarima. Jika Bismar yang jadi hakimnya, Zarima layak dihukum mati. Mestinya bikin shock therapy buat pengedar narkoba. b. Kasus Cut Mariana dan Bachtiar Tahir yang oleh Pengadilan Negeri Medan dihukum 10 bulan penjara karena dituduh memperdagangkan 161 kg ganja. Vonis ini kemudian diubah Bismar yang waktu itu menjabat Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, menjadi 15 dan 10 tahun penjara . c. Putusan hakim Agung Adi Andojo Soetjipto adalah salah satu contoh, yaitu saat mengadili kasasi Muchtar Pakpahan di masa pemerintahan Soeharto. Oleh pengadilan di bawah, Pakpahan dijatuhi pidana atas tuduhan berbuat makar, yaitu kejahatan terhadap negara. Dalam tingkat kasasi MA mengatakan, Pakpahan tidak melakukan perbuatan makar. Menurut MA, para hakim di bawah telah melakukan penerapan hukum yang salah dengan menggunakan yurisprudensi yang sudah ada sejak zaman kolonial. Itu secara sosiologis tidak benar karena Indonesia sudah menjadi negara merdeka dan sudah mulai menjalankan demokrasi dan memperhatikan hak asasi manusia. d. Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto boleh dimasukkan kategori hakim yang "meletakkan telinganya ke jantung masyarakat". Putusan itu juga bisa disebut progresif, bila mengingat Indonesia saat itu masih dalam pemerintahan Soeharto yang kita tahu wataknya. Seorang hakim agung berani melawan arus dominan kekuasaan otoriter di zamannya. Inilah yang ingin dimaknai sebagai hakim independen dan progresif. Mungkin hakim seperti ini amat sulit dibengkokkan dan dibeli. Ia hanya bisa dibeli oleh rakyatnya Penerapan kewenangan diskresi dalam instansi Kepala Kepolisian RI dapat kita contohkan dengan memberikan diskresi kepada anak-anak yang mengonsumsi narkoba. Penyebutan anak pengguna narkoba sebagai
12
tersangka tidak/ kurang tepat, dan lebih baik diganti dengan istilah korban. Anak-anak korban narkoba ini dikembalikan kepada orang tuanya untuk selajutnya direhabilitasi. Orang tua mengambil peran penting dalam membentengi anak dari pengaruh buruk perkembangan zaman khususnya dari narkoba sangat penting. Orang tua harus lebih komunikatif dengan anak bisa memahami dan mengikuti setiap perkembangan anak. Contoh penerapan kewenangan diskresi dalam bidang administrasi pemerintahan adalah surat edaran, juklak dan juknis yang dikeluarkan oleh lembaga administrasi Negara. 2. Polisi Roescoe Pound, sebagaimana dikutip oleh R. Abdussalam, (1997, 25-26) mengartikan diskresi kepolisian yaitu: an authority conferred by law to act in certain condition or situation; in accordance with official’s or an official agency’s own considered judgement and conscience. It is an idea of morals, belonging to the twilight zone between law and morals. (diskresi kepolisian adalah suatu tindakan pihak yang berwenang berdasarkan hukum untuk bertindak pasti atas dasar situasi dan kondisi, menurut pertimbangan dan keputusan nuraninya sendiri) Jadi, diskresi merupakan kewenangan polisi untuk mengambil keputusan atau memilih berbagai tindakan dalam menyelesaikan masalah pelanggaran hukum atau perkara pidana yang ditanganinya. Sekalipun diskresi kepolisian bukan tindakan menyimpang, namun dalam praktik penyelenggaraan tugas-tugas kepolisian, masih banyak aparat kepolisian yang ragu untuk menggunakan wewenang ini, terutama dalam penanganan kasus pidana. Padahal, Pasal 18 Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia memberikan peluang pada aparat kepolisian untuk menerapkan diskresi. Selengkapnya Pasal 18 Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik menyebutkan: a. Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.
13
b. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
dilakukan dalam
keadaan
yang sangat
perlu dengan
memperhatikan peraturan perundang-undangan serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Selanjutnya, Penjelasan Pasal 18 ayat (1) menyebutkan: Yang dimaksud dengan “bertindak menurut penilaiannya sendiri” adalah suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta resiko dari tindakannya dan betul-betul untuk kepentingan umum. Apabila diperhatikan lebih mendalam, banyak faktor yang menjadi pemicu keengganan aparat kepolisian untuk menerapkan diskresi, khususnya dalam pemeriksaan kasus pidana, di antaranya rendahnya pemahaman aparat kepolisian tentang kewenangan melakukan diskresi, sehingga diskresi dipandang sebagai tindakan manipulasi (illegal), ketakutan akan munculnya penilaian negatif dari masyarakat bahwa penerapan diskresi kepolisian dianggap
sebagai
akal-akalan
pihak
kepolisian
untuk
memperoleh
keuntungan materi dari pihak-pihak berperkara. Padahal, dalam praktik pemeriksaan kasus pidana, ide awal munculnya diskresi lebih banyak berasal dari pihak berperkara, khususnya pihak korban. Menurut Chryshmanda (2008), tindakan diskresi yang dilakukan aparat kepolisian dapat dibedakan dalam 2 (dua) kategori yaitu: 1) Tindakan diskresi yang dilakukan oleh petugas kepolisian secara individu dalam mengambil keputusan, yaitu tindakan diskresi yang diputuskan oleh petugas operasional di lapangan secara langsung pada saat itu juga tanpa meminta petunjuk atau keputusan dari atasannya, seperti petugas kepolisian memberi isyarat untuk terus berjalan kepada pengemudi kendaraan meskipun saat itu lampu pengatur lalu lintas berwarna merah. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya penumpukan arus lalu lintas di suatu ruas jalan, 2) Tindakan diskresi berdasarkan petunjuk atau keputusan atasan atau pimpinannya. Tindakan untuk mengesampingkan perkara, untuk menahan atau tidak melakukan penahanan terhadap tersangka/pelaku 14
pelanggaran hukum atau menghentikan proses penyidikan, bukanlah tindakan diskresi individual karena pengambilan keputusan diskresi didasarkan atau berpedoman pada kebijakan–kebijakan pimpinan dalam organisasi dan hal tersebut telah menjadi kesepakatan diantara mereka. Dalam pemaparannya tentang diskresi, James Q Wilson mengemukakan ada 4 (empat) tipe situasi tindakan diskresi yang mungkin dilaksanakan, yaitu: 1) Police-invoked law enforcement, dimana petugas cukup luas alasannya untuk melakukan tindakan diskresi, tetapi kemungkinannya dimodifikasi oleh kebijaksanaan pimpinannya; 2) Citizen-invoked law enforcement, diskresi sangat kecil kemungkinan dilaksanakan, karena inisiatornya adalah masyarakat; 3) Police-invoked order maintenance, diskresi dan pengendalian pimpinan seimbang (intermidiate), apakah pimpinannya akan memerintahkan take it easy atau more vigorous; dan 4) Citizen-invoked order maintenance, pelaksanaan diskresi perlu dilakukan walau umumnya kurang disetujui oleh atasannya. Agar penerapan diskresi kepolisian tidak dipandang sebagai alat rekayasa dari aparat kepolisian untuk memperoleh keuntungan pribadi, maka penerapannya harus dilandasi dasar hukum yang kuat. Beberapa perundangundangan yang dapat dijadikan dasar hukum penerapan diskresi, khususnya dalam proses penegakan hukum pidana, antara lain: 1. Pasal 15 ayat (2) huruf k Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara
Republik
Indonesia,
yang
menyebutkan:
Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya berwenang: melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian; 2. Pasal 16 ayat (1) huruf l Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyebutkan: Dalam 15
rangka menyelenggarakan tugas dibidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk: mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Ayat (2) Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut: 1. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; 2. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; 3. harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; 4. pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan 5. menghormati hak asasi manusia. 3. Pasal 18 ayat (1) Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara
Republik
Indonesia
menyebutkan:
untuk
kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Ayat (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. 4. Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4
Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana yang menyebutkan Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal
4
karena
kewajibannya
mempunyai
wewenang
mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 KUHAP menyebutkan: yang dimaksud dengan “tindakan lain” adalah tindakan dari penyelidik untuk kepentingan penyelidikan dengan syarat:
16
Terkait penerapan diskresi kepolisian dalam menyelesaikan kasus pidana, ada beberapa pertimbangan yang umum dijadikan pegangan, antara lain: 1. Mempercepat proses penyelesaian perkara. Hal ini dilakukan mengingat melalui jalur formal, perkara yang sedang diperiksa akan selesai dalam jangka waktu lama. 2. Menghindarkan terjadinya penumpukan perkara. Tugas dan tanggung jawab yang diemban oleh aparat kepolisian dari hari ke hari semakin bertambah, sehingga tindakan diskresi dapat digunakan sebagai sarana yang efektif untuk mengurangi beban pekerjaan. 3. Adanya keinginan agar perkara selesai secara win-win solution, mengingat melalui cara-cara formal dapat dipastikan akan ada pihak yang kalah dan ada yang menang; 4. Adanya perasaan iba (belas kasihan) dari pihak korban, sehingga korban tidak menghendaki kasusnya diperpanjang. 3. Penghulu Pernikahan adalah sesuatu yang sakral, suci dan bernilai ibadah. Oleh sebab itu, menjalankan pernikahan haruslah mengetahui tata cara serta syarat rukunnya terlebih dahulu, tanpanya maka pernikahan tersebut tidak sah,jika ternyata dalam prakteknya sesuai dengan ajaran Nabi ( syarat dan rukunnya terpenuhi ) maka pelaksanaan pernikahan tersebut hukumnya Haram yang dalam bahasa KH Ahmad Rifa’i disebut Haram Syuru’.Anehnya sang penghulu yang nota benenya adalah para Sarjana Syariahpun terkesan asalasalan dalam menikahkannya terutama yang menyangkut masalah penetapan saksi yang disyaratkan Adil sebagaimana sabda Nabi :” La Nikaha Illa Bi waliyyin wa Syahidaiyil aadil ( tidak sah nikahnya kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil ). Dengan alasan harus menikahkan di banyak tempat, maka sang petugas inipun kadang tidak mengindahkan lagi aturan-aturan Hukum Islam. Padahal seorang ulama’ kharismatik Abad XIX KH Ahmad Rifa’i telah menyampaikan kritiknya yang cukup tajam kepada para Qadhi atapun penghulu dalam Kitab Tabyiinal Ishlah, beliau berkata dengan sangat lantang.”
17
Di Negara Indonesia, praktek pernikahan menjadi ajang untuk memperkaya diri bagi sebagian orang, baik itu RT, RW maupun Penghulunya. Pungutan-pungutan liar yang terjadi membuat biaya pernikahan menjadi sangat mahal dan mencekik leher bagi golongan ekonomi lemah. Tarif yang dikenakan berkisar antara 500.000 hingga 1.000.000, dan itu harus dibayarkan di muka, kalau tidak maka sang penghulu tidak akan mau datang untuk menikahkannya. hal ini mendapat kecaman dengan sangat pedas dari Guru besar warga Rifaiyyah tersebut. bahkan beliau dengan sangat tegas mengatakan Haram mengambil upah aqad nikah yang dilakukan oleh para penghulu. Beliau berkata . “Wa yahrumu ‘alal haakimi tholabul ujroti ‘ala ‘aqdinnikaahi,
wa
yajuzu
qobuluhu
min
ghairi
tholabin.”(
haram
hukumnyaatas hakim, mengambil upah atas pelaksanaan aqad nikah, dan boleh menerimanya apabila tanpa meminta ). Pernyataan beliau ini sangat jelas, bahwa HARAM meminta upah atau menentukan biaya pernikahan atau pasang tarif untuk pelaksanaan akad nikah, namun boleh menerimanya seandainya diberi tanpa harus memintanya. Sementara itu, jika sang hakim atau qadhi atau penghulu menetapkan biaya nikah yang telah jelas keharamannya maka ia telah jatuh ke dalam lubang kefasikan. Pembatasan Penggunaaan Asas Diskresi Di Indonesia penggunaan asas diskresi harus dibatasi, yakni pemerintah boleh menggunakan tapi ada batasannya supaya tidak berlebihan dan sewenang-wenang. Menurut Muchsan ada 4 (empat) pembatasan terhadap penggunaan asas diskresi yaitu : 1. Apabila terjadi kekosongan hukum (recht vacum) Dimana realitas yang terjadi gerak kehidupan masyarakat ternyata lebih cepat, daripada peraturan yang ada, sehingga membutuhkan hukum yang cepat pula. Contohnya kasus seorang wanita yang hamil duluan sebelum pernikahan resmi, hal itu membutuhkan hukum yang mengatur mengingat dimana hukum positif kita tidak mengatur hal tersebut. 2. Apabila ada kebebasan penafsiran (interpretasi)
18
Hal ini dikarenakan didalam produk hukum atau peraturan perundangundangan yang ada menimbulkan makna yang ambiguitas dan multitafsir, sehingga adanya diskresi dikarenakan kebebasan penafsiran (interpretasi) yang dilakukan aparat pemerintah. Contohnya ialah keputusan Bang Ali Sadikin (mantan Gubernur Jakarta) mengenai Penghasilan asli daerah, retribusi atau pajak daerah sehingga terjadi pelegalan judi dan tempat prostitusi di Jakarta untuk menunjung pembangunan DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Indonesia. 3. Apabila ada delegasi undang-undang Dengan adanya pendelegasian undang-undang para aparat pemerintah dapat melakukan diskresi contohnya : (HO) hinder ordonantie di dalam HO disebutkan “pemberian ijin oleh kepala daerah asal tidak berbahaya”. Di dalam HO tidak disebutkan unsur-unsur bahaya. Ini artinya, undang-undang (HO) memberikan delegasi kepada masing-masing daerah untuk membuat sendiri unsur-unsur bahaya. 4. Demi pemenuhan kepentingan umum (public interest) Machiavelli mengatakan: “demi kepentingan umum halalkan segala cara.” Kepentingan umum yang ideal seharusnya (sollen) dibuat dalam bentuk undang-undang, karena kepentingan umum menyangkut kehendak rakyat yang dalam hal ini di wakili oleh DPR, dimana produk hukum yang dihasilkan oleh DPR adalah undang-undang. Selama ini, peraturan mengenai kepentingan umum dibuat dalam bentuk: Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, Peraturan Menteri yang merupakan kewenangan pemerintah (eksekutif), dikhawatirkan hal tersebut akan disalahgunakan oleh pemerintah (eksekutif) dengan alasan demi kepentingan umum. Menurut Muchsan, seandainya ada pengaturan mengenai kepentingan umum maka unsur-unsur kepentingan umum secara teoritis, yaitu: 1. Berbentuk proyek pembangunan yang dilaksanakan oleh Negara 2. Penggunaannya atau pelaksanaannya oleh negara 3. Dalam penggunaannya harus bersifat non profit oriented atau tidak berorientasi mencari keuntungan melainkan pelayanan yang prima terhadap kepentingan masyarakat.
19
Sementara menurut Sjachran Basah, secara tersirat berpendapat bahwa pelaksanaan
freies
ermessen atau asas
diskresi
tersebut
harus
dapat
dipertanggungjawabkan “secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan, mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama”. Penggunaaa asas diskresi diatas merupakan sarana bagi aparat pemerintah untuk melakukan terobosan-terobosan serta pemecahan-pemecahan masalah yang membutuhkan penyelesaian yang cepat dan belum ada aturan yang mengatur tentang hal tersebut. Namun dalam melakukan diskresi aparat pemerintah juga harus memeliki kewenangan yang didelegasikan undang-undang dan dilakukan semata-mata demi kepentingan umum. Peranan penggunaan asas diskresi dalam hukum tata pemerintahan Indonesia sangat signifikan karena asas diskresi yang diberikan pada aparat pemerintahan di Indonesia tidak sembarangan melainkan ada batasan-batasan yang harus diketahui serta asas-asas umum pemerintahan yang baik yang menjadi pedoman untuk melakukan diskresi. Dengan adanya asas diskresi yang bertanggung jawab aparat pemerintah dapat melaksanakan dan mewujudkan tujuan negara yang mensejahterakan bangsa Indonesia dan diskresi yang digunakan tidak asal-asal melainkan dilakukan semata-matas untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang ada dengan tetap berpedoman pada asas-asas umum pemerintahan yang baik. Apabila
aparat
pemerintahan
dalam
melakukan
diskresi
ternyata
menyalahgunakan wewenangnya maka dapat di gugat di pengadilan tata usaha negara dan pastinya Hakim menggunakan asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagai batu uji atau landasan terhadap diskresi yang dilakuan. Menurut muchsan asas-asas umum pmerintahan yang baik yang cocok di Indonesia hanya terdiri dari 5 saja yakni : 1. Astaas kepastian hukum 2. Asas permainan yang layak 3. Asas kecermatan 4. Asas keseimbangan 20
5. Asas ketetapan dalam mengambil sasaran Kelima asas tersebut sudah dipakai oleh hakim menjadi yurisprudensi, sehingga aparat pemerintah seharusnya memahami betul ketika mengambil kebijakan diskresi . tidak melanggar asas-asas umum pemerintahn yang baik. Dapat dikatakan hukum tata pemerintahan memberikan ruang yang bebas terhadap aparat pemerintahan untuk melakukan tugas pemerintahan dengan diberikan asas diskresi namun juga memberi peringatan yang tegas mengenai tidak disalahgunakannya asas diskresi tersebut. Peranan asas diskresi dalam penggunaanya oleh aparat pemerintah harus dilakukan dengan cermat karena aktivitas-aktivitas dalam penyelenggaran negara sangatlah padat, dinamis dan bergerak terus mengikuti tantangan dan perkembangan jaman. Aparat pemerintahan yang menggunakan tentunya sudah mengerti bahwa apa yang dilakukannya harus dipertanggungjawabkan pada masyarakat dan Tuhan Yang Maha esa, ini sesuai dengan pendapat Sjachran Basah di atas. Dengan adaya asas diskresi ini banyak sekali kepala daerah yang ada diprovinsi-provinsi di Indonesia dalam melaksanakan tugas pemerintahan dapat menjadi bantuan yang signifikan dalam menghadapi permasalahan-permasalahan di daerahnya yang pastinya setiap daerah memiliki tingkat perbedaan antara satu dengan yang lain. Sehingga dapat dikatakan peranan asas diskresi dalam hukum tata pemerintahan meringankan tugas para aparat pemerintahan untuk mewujudkan tujuan negara Indonesia yakni melindungi segenap tumpah darah Indonesia, kesejahteraan bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut berpartisipasi pada perdamian dunia serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
21
BAB III PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan penelitian penulisan hukum yang berjudul “Diskresi dan Tanggung Jawab Pejabat Publik Pada Pelaksanaan Tugas dalam Situasi Darurat”, ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Pemberian diskresi kepada pejabat pemerintah merupakan konsekuensi logis dari konsep negara kesejahteraan, tetapi dalam kerangka negara hukum, diskresi tidak dapat digunakan tanpa batasan. 2. bahwa bebasnya sifat wewenang pemerintahan yang dirumuskan dalam peraturan dasarnya, tetap harus berlaku norma- norma tidak tertulis yang disebut dengan Asas- Asas Umum Pemerintahan yang Layak. Kebijakan yang diambul pejabat pemerintah tidak diperkenankan Hakim biasa untuk mengadilinya. 3. Asas diskresi/freies ermessen dalam hukum administrasi negara adalah kebebasan
atau
keleluasaan
bertindak
administrasi
negara
yang
dimungkinkan oleh hukum untuk bertindak atas inisiatif sendiri guna menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang mendesak
yang
aturannya
dapat
belum
ada,
dan
tindakan
tersebut
harus
dipertanggungjawabkan.
22
DAFTAR PUSTAKA Indriyanto Seno Adji, KORUPSI : Kriminalisasi Kebijakan Aparatur Negara? (Jakarta: 2010), Marwan Effendy, Apakah Suatu Kebijakan Dapat Di Kriminalisasi?, halaman 1-2. Makalah disampaikan dalam Seminar “Pertanggungjawaban Kebijakan Ditinjau Dari Hukum, Bengkulu 16 NOV 2018 Benny Irawan, Diskresi sebagai Tindak Pidana Korupsi: Kajian Kriminologi dan Hukum terhadap Fenomena Pejabat Otoritas, (Mimbar, Vol. XXVII, No.2, 2011) Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI-Press, 1986), Harun Alrasid, Masalah Pengisian Jabatan Presiden, Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta, 1993 Dr, elektison somi, joni simamora, dkk, Hukum administrasi negara, fakultas Hukum Universitas Bengkulu, bengkulu, 2014 Ridwan, Diskresi dan Tanggung Jawab Pemerintah, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Press, 2014) Rusli K.Iskandar, Normatifisasi Hukum Administrasi Negara, dalam SF Marbun dkk, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia Press, 2001). Hari Sasangka, Komentar Korupsi, (Bandung: Mandar Maju, 2007), UU nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi pemerintahan.
23
24