Bab I.docx

  • Uploaded by: Ari Selastini
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab I.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,868
  • Pages: 25
BAB I DEFINISI

A. Konsep Resusitasi Jantung – Paru (RJP) didefinisikan sebagai suatu sarana dalam memberikan bantuan hidup dasar dan lanjut kepada pasien yang mengalami henti nafas atau henti jantung. RJP diindikasikan untuk pasien yang tidsak sadar, tidak bernapas dan yang tidak menunjukkan adanya tanda-tanda sirkulasi. 1. RJP merupakan suatu prosedur emergency dan biasanya telah dibentuk tim khusus yang terlatih dan berpengalaman dalam melakukan RJP. 2. Menurut statistic, tindakan RJP dilakukan sebanyak 1/3 dari 2 miliar kematian pasien yang terjadi di rumah sakit Amerika Serikat setiap tahunnya. Proporsi dari tindakan RJP ini dianggap berhasil dalam merestorasi fungsi kardiopulmoner pasien. 3. Dari pasien-pasien yang dilakukan RJP, sebanyak 1/3-nya berhasil dan 1/3 dari pasienpasien yang berhasil ini dapat bertahan hingga pulang dari rumah sakit. 4. Tingkat keberhasilan RJP tergantung pada sifat dan derajat penyakit pasien. 5. Pada suatu studi di Rumah Sakit Boston, pasien dengan kanker lanjut yang telah bermetastasis tidak ada yang dapat bertahan hidup hingga pulang dari rumah sakit. Diantara pasien gagal ginjal, hanya 2% yang bertahan hidup hingga pulang dari rumah sakit. 6. Biasanya pada pasien yang berhasil dilakukan RJP inisial tetapi meninggal sebelum pulang dari rumah sakit, hamper selalu dirawat di Ruang Rawat Intensif (Intensive Care Unit-ICU) 7. Pada studi lainnya menyatakan bahwa sekitar 11% pasien yang berhasil dilakukan RJP inisial akan mengalami RJP ulang minimal 1 kali selama masa perawatan di rumah sakit. 8. Biasanya pasien RJP yang berhasil bertahan hidup dan pulang dari rumah sakit tidak mengalami gangguan / disfungsi yang berat. 9. Suatu studi menyatakan bahwa 93% dari pasien-pasien ini memiliki orientasi yang baik saat dipulangkan dari rumah sakit.

10. Pada pasien-pasien yang berhasil dilakukan RJP; beberapa diantaranya berhasil mengalami pemulihan sempurna, beberapa pulih tetapi memiliki masalah kesehatan dan tidak pernah kembali ke level normal sebelum terjadi henti jantung / napas, beberapa mengalami kerusakan / cedera otak atau koma, dan beberapa lainnya jatuh kembali kedalam kondisi henti jantung / nafassehingga harus dilakukan RJP ulang. 11. Tingkat keberhasilan RJP bergantung pada: a. Penyebab terjadinya henti jantung / napas pada pasien b. Penyakit / masalah medis yang mendasari c. Kondisi kesehatan poasien secara umum 12. Seringnya, pasien yang berasil dilakukan RJP masih mengalami kondisi yang sakit dan membutuhkan penanganan lebih lanjut, dan biasanya dirawat di ICU.

Penting untuk mengidentifikasi pasien dimana terjadinya henti napas dan jantung menandakan kondisi terminal penyakit pasien dan dimana usaha RJP tidak akan membuahkan hasil (sia-sia). Dalam menetapkan kebijakan DNR, penting untuk diketahui bahwa kebijakan ini harus diikuti dan dipatuhi oleh seluruh tenaga kesehatan professional di tingkat primer, rumah sakit, dan petugas / tim transfer intra- da antar-rumah sakit. Hak pasien untuk menolak RJP harus dihargai, hal ini mungkin dikarenakan pasien berpendapat bahwa dengan melakukan usaha RJP hanya akan memperpanjang kualitas hidup yang buruk. Kebijakan ini hanya berkaitan dengan usaha RJP, bukan dengan penundaan atau pembatalan pemberian tatalaksana lainnya, seperti terapi antibiotic, nutrisi parenteral, dan sebagainya. Angka kelangsungan hidup pasien dewasa (survival rates) yang dilakukan RJP dan pulang dari rumah sakit sekitar 5-20%, dan telah terbukti bahwa usaha RJP akan lebih baik jika:  Akses ke Tim Resusitasi / Unit Gawat Darurat dilakukan lebih awal (segera)  Pemberian bantuan hidup dasar lebih awal  Pemberian hidup lanjut lebih awal Beberapa pasien memiliki angka kelangsungan hidup yang sangat rendah (<1-2%), misalnya pada pasien dengan infeksi berat, tekanan darah rendah dalam jangka waktu lama, gagal ginjal / jantung berat, atau keganasan dengan penyebaran luas (metastasis). Angka

kelangsungan hidup pasien anak yang mengalami henti jantung / napas diluar rumah sakit masih dibawah 10%. Pada umumnya, anak-anak yang berhasil bertahan hidup dan pulang dari rumah sakit mengalami deficit neurologi. Untuk memastikan bahwa pengambilan keputusan untuk melakukan tindakan Do Not Resuscitate (DNR) tidak disalahartika/mis intrepretasi. Untuk memastikan terjadinya komunikasi dan pencatatan yang jelas dan terstandarisasi mengenai pengambilan keputusan DNR. B. Pengertian 1. Henti jantung: suatu kondisi dimana terjadi kegagalan jantung secara mendadadk untuk mempertahankan sirkulasi yang adekuat. a. Hal ini dapat disebabkan oleh fibrilasi ventrikel, asistol, atau pulseless electrical activity (PEA). b. Untuk memperoleh RJP yang efektif, resusitasi harus dimulai sesegera mungkin (<3 menit) seteelah kejadian henti jantung c. Jika pasien ditemukan tidak bernafas, tidak adanya denyiut nadi, dan pupil dilatasi maksimal, hal ini bukanlah kejadian henti jantung dan tidak perlu dilakukan tindakan resusitasi. 2. Resusitasi Jantung Paru (RJP) didefinisikan sebagai suatu sarana dalam memberikan bantuan hidup dasar dan lanjut kepada asiean yang mengalami henti napas atau henti jantung. RJP didindikasikan untuk pasien yang tidak sadar, tidak bernapas dan yang tidak menunjukkan adanya tanda-tanda sirkulasi, dan tidak tertulis instruksi DNR direkam medisnya. 3. Tindakan Do Not Resuscitate (DNR) adalah suatu tindakan dimana jika pasien mengalami henti jantung dan atau napas, paramedic tidak aklan dipanggil dan tidak akan dilakukan usaha resusitasi jantung-paru dasar maupun lanjut. a. Jika pasien mengalami henti jantung dan atau napas, lakukan assesmen segera untuk mengidentifikasi penyebab dan memeriksa posisi pasien, potensi jalan napas dan sebagainya. Tidak perlu melakukan usaha bantuan hidup dasar maupun lanjut

b. DNR tidak berarti semua tatalaksana / penanganan aktif terhadap kondisi pasien diberhentikan. Pemeriksaan dan penanganan pasien (misalnya terapi intravena, pemberian obat-obatan) tetap dilakukan pada pasien DNR. c. Semua perawtan mendasar harus terus dilakukan, tanpa keuali 4. Fase / kondisi terminal penyakit adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh cedera atau penyakit, yang menurut perkiraan dokter atau medis lainnya tidak dapat disembuhkan dan bersifat irreversible, dan pada akhirnya akan menyebabkan kematian dalam rentang waktu yang singkat, dan dimana pengaplikasian terapi untuk memperpanjang / mempertahankan hidup hanya akan berefek dalam memperlama proses penderitaan / sekarat pasien. 5. Pelayanan paliatif adalah pemberian dukungan emosional dan fisik untuk mengurangi nyeri dan penderitaan pasien. Hal ini termasuk pemberian nutrisi / hidrasi dan penanganan kecuali terdapat instruksi spesifik untuk menunda pemberian nutrisi dan hidrasi 6. Formulir intruksi DNR diluar rumah sakit yang valid adalah formulir terulis yang dinyatakan valid jika terisi lengkap dan ditanda tanagani oleh pasien / wali sahnya dan dokter penanggung jawab pasien. Foto kopi yang dilegalisir dianggap sah dan berlaku. ( lihat lampiran). 7. Gelang DNR adalah gelang pengenal yang berarti bahwa pemakainya memiliki instruksi DNR yang valid. Gelang ini harus telah disetujui oleh pemerintah setempat, resmi, mudah dikenali dan khusus / khas, dipakai dipergelangan tangan / kaki. Gelang ini harus dikenali oleh tim kegawatdaruratan medis dan petugas kesehatan lainnya.

BAB II RUANG LINGKUP

A. TANGGUNG JAWAB 1. Chief Executive Officer dan Dewan Direksi : bertanggung jawab untuk memastikan implementasi Kebijakan Do Not Resuscitate (DNR). Fungsi ini didelegasikan kepada manajer pelayanan medis. 2. Manajer pelayanan medis: memastikan setiap staf / petugas mengetahui dan mematuhi kebijakan ini, serta memastikan dilakukannya audit kebijakan DNR. 3. Staf / petugas Rumah sakit: semua staf yang terlibat dalam pengambilan keputusan tindakan DNR dan resusitasi memahami dan menerapkan kebijakn ini. Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi selam proses ini berlangsung harus dilaporkan pada berkas / formulir insidens sesuai dengan algoritma yang berlaku. B. PENGAMBILAN KEPUTUSAN UNTUK DNR 1. Beberapa kondisi medis yang membutuhkan anastesi untuk intervensi operatif pada pasien dengan keputusan DNR adalah : a. Alat bantu asupan nutrisi (misalnya feeding tube) b. Pembedahan segera untuk kondisi yang tidak berhubungan dengan penyakit kronis pasien (misalnya appendiksitis akut) c. Pembedahan segera untuk kondisi yang berhubungan dengan penyakit kronis pasien tetapi tidak dianggap sebagai suatu bagian dari proses terminal penyakitnya (misalnya ileus obstruktif) d. Prosedur untuk mengurangi nyeri (misalnya operasi fraktur kolum femur) e. Prosedur untuk menyediakan akses vascular 2. Pada situasi emergensi: Tidak selalu ada cukup waktu untuk melakukan peninjauan ulang mengenai keputusan DNR sebelum melakukan anastesi, pembedahan atau resusitasi. Akan tetatpi, harus tetap dilakukan usaha untuk mengklarifikasi adanya keputusan DNR dini / awal yang telah dibuat sebelumnya (jika memungkinkan) 3. Fase pre-operative

a. Lakukan diskusi antar pasien / wali sah, keluarga, anestesiologis, dokter bedah, dokter penanggung jawab pasien dan perawat b. Lakukan assesmen mengenai : 1) Kondisi medis pasien, termasuk status mental dan kompetensi pasien 2) Intervensi pembedahan yang diperlukan 3) Riwayat keputusan DNR sebelumnya, termasuk: a) Durasi / batas waktu berlakunya keputusan tersebut b) Siap yang bertanggung jawab menetapkan keputusan tersebut c) Alas an keputusan tersebut dibuan 4) Keputusan pertama yang dibuat adalah mengenai apakah pasien ini perlu menjalani anastesi dan pembedahan (pertimbangkan dari sudut pandang pasien, keluarga, dokter bedah dan anastesiologis) 5) Jika pembedahan dianggap perlu, tentukan batasan-batasannya tindakan resusitasi apa saja yang dapa dilakukan di fase peri-operatif, lakukan komunikasi yang efektif, detail, dan terbuka dengan pasien, keluarga dan atau wali sah pasien. 6) Jika keputusan DNR telah dibuat dan disepakati, harus dicatat di rekam medis pasien, ditandatangani oleh pihak-pihak yang terlibat dan cantumkan tanggal keputusan dibuat. 7) Lakukan prosedur pembedahan segera setelah keputusan dibuat dan kondisi medis pasien memungkinkan untuk menjalani pembedahan. 4. Fase intr-operatif a. Keputusan DNR diaplikasikan selama pasien berada dikamar operasi b. Jika dilakukan pemberian premedikasi, haruslah sangat hati-hati untuk menghindari terjadinya perubahan status fisiologis pasien sebelum ditransfer ke kamar operasi c. Semua petugas kamar operasi harus mengetahui mengenai pilihan keputusan DNR yang diambil d. Dokter bedah dan anestesiologis yang terlibat dalam konsultasi pre-operatif harus hadir selama prosedur berlangsung. 5. Fase pasca-operatif

a. Pilihan keputusa DNR harus dikomunikasikan kepada petugas diruang pemulihan b. Pilihan ini akan tetap berlaku hingga pasien dipulangkan / dipindahkan dari ruanga pemulihan c. Keputusan DNR sebelumnya harus ditinjau ulang saat terjadi alih rawat pasien dari ruang pemulihan ke perawat diruang rawat inap. d. Pada kasus tertentu, keputusan DNR dapat diperpanjang batas waktunya hingga pasien telah ditranfer ke ruang rawat inap pasca-operasi. Miasalnya jika penggunaan infuse epidural / alat analgesic akan tetap dipakai oleh pasien pasca-operasi e. Harus ada audit rutin mengenai manajemen pasien dengan keputusan DNR yang dijadwalkan untuk menjalani operasi. 6. KEPUTUSAN DNR PADA PEDIATRIK a. Pada pasien anak (usia <18 tahun) diskusikan dengan orang tua pasien b. Orang tua harus mendapat informasi selangkap-lengkapnya mengenai kondisi dan penyakit pasien, prosedur RJP, rekomendasi mengenai RJP dan DNR c. Pertimbangkanlah juga kondisi emosional dan tumbuh-kembang pasien anak. d. Instruksi DNR harus diberitahukan kepada orang tua pasien, kecuali pada jika RJP dianggap membahayakan pasien atau bersifat nonterapeutik e. Di rekam medis, harus tertulis hasil diskusi dokter dengan orang tua pasien. Keputusan harus ditanda tangani oleh dokter, perawat yang terlibat dan orang tua pasien f. Pada kasus tertentu, dimana orang tua tetap meminta dilakukan RJP meskipun tim medis telah memberitahukan bahwa tindakan RJP ini membahayakan pasien /bersifat nonterapeutik, orang tua diperbolehkan mencari pendapat ekspertise lainnya ( second opinion) atau (jika orangtua meminta) diperbolehkan melakukan transfer pasien jika kondisi pasien memungkinkan untuk ditransfer. g. Jika masih belum ditemukan kesepakatan antara tim medis dengan orang tua pasien, lakukanlah proses peninjauan ulang (review) oleh tim medis untuk

menentukan apakah DNR perlu dilakukan atau tidak, seperti tercantum dibawah ini: 1) Tim medis harus mengkonfirmasi bahwa terdapat kesepakatan diantara anggota timnya mengenai keputusan DNR pada pasien 2) Minta pendapat dokter lain diluar tim medis pasien (second opinion) mengenai apakah RJP pada pasien ini bersifat nonterapeutik / membahayakan 3) Jika second opinion ini mendukung keputusan DNR, salah seorang anggota tim medis harus menghubungi komisi etik untuk menjadwalkan konsultasi etik. 4) Jika hasil dari konsultasi etik mendukung keputusan DNr, tim medi harus memberitahukan / melaporkannya kepada kepala pelayanan medis dan lembaga hokum 5) Jika kepala pelaynan medis setuju dan lembaga hokum menyatakan bahwa keterlibatan secara hokum tidak diperlukan, orang tua harus diberitahukan bahwa keputusan DNR akan dituliskan di rekam medis pasien. 6) Jika orang tua masih tidak setuju dengan keputusan DNR ini, orang tua sebaiknya diberikan kesempatan dan bantuan untuk mentranfer pasien kefasilitas lainnya yang bersedia untuk menerima pasien 7) Jika tidak memungkinkan untuk mentransfer pasien, instruksi DNR akan dituliskan di rekam medis pasien.

BAB III TATALAKSANA

A. PRINSIP 1. Harus tetap ada anggapan untuk selalu melakukan resusitasi kecuali telah dibuat keputusan secara lisan dan tertulis untuk tidak melakukan resusitasi (DNR) 2. Keputusan tindakan DNR ini harus dicatat di rekam medis pasien 3. Komunikasi yang baik sangatlah penting 4. Dokter harus berdiskusi dengan pasien yang memiliki kemungkinan henti napas / jantung mengenai tindakan apa yang pasien ingin tim medis lakukan jika hal ini terjadi. 5. Pasien harus diberikan informasi selengkap-lengkapnya mengenai kondisi dan penyakit pasien, prosedur RJP dan hasil yang mungkin terjadi. 6. Tanggung jawab dalam mengambil keputusan DNR terletak pada konsultan / dokter umum yang bertanggung jawab atas pasien. Jika terdapat keraguan dalam mengambil keputusan, dapat meminta saran dari dokter senior. 7. RJP sebaiknya tidak dilakukan pada kondisi-kondisi berikut ini: a. RJP dinilai tidak dapat mengembalikan fungsi jantung dan pernapasan pasien b. Pasien dewasa, yang kompeten secara mental dan memiliki kapasitas mengambil keputusan, menolak untuk dilakukan RJP c. Terdapat alas an yang valid, kuat, dan dapat diterima mengenai pengambilan keputusan untuk tidak melakukan tindakan RJP d. Terdapat perintah DNR sebelumnya yang valid, lengkap, dan dengan alas an kuat e. Pada pasien-pasien yang berada dalam fase terminal penyakitnya / sekarat, dimana tindakan RJP tidak dapat menunda fase terminal / kondisi sekarat pasien dan tidak memberikan keuntungan terapeutik (risiko / bahayanya melebihi keuntungannya) 1) Contoh: henti jantung / napas yang dialami pasien merupakan kejadian alamiah akibat penyakit terminal yang diderita. Pada kasus ini, RJP mungkin dapat mengembalikan fungsi jantung-paru pasien secara sementara tetapi

kondisi keseluruhan pasien dapat memburuk dan henti jantung / napas akan terjadi kembali, yang merupakan bagian dari proses alamiah dan tidak dapat terhindarkan dari proses sekarat / kematian pasien. 2) Melakukan RJP pada kasus diatas akan membahayakan / merugikan pasien dan bertolak belakang dengan etika kedokteran (prinsip ‘do not harm’) 8. Semua pasien harus menjalani assesmen secara personal 9. Pengambilan keputusan DNR harus merupakan langkah terbaik untuk pasien dan harus didiskusikan dengan pasien meskipun tidak ada kewajiban secara etika untuk mendiskusikan DNR dengan pasien-pasien yang menjalani perawatan paliatif (dimana usaha RJP adalah sia-sia) 10. Diskusikan dengan pasien dan keluarga merupakan hal yang penting dan tergantung dengan kapasitas mental dan harapan hidup pasien. Diskusi dapat dilakukan oleh konsultan rumah sakit, dokter umum artau perawat yang bertugas. Staf harus memberitahukan

hasil

diskusi

mereka

dengan

pasien

kepada

dokter

penanggungjawab pasien. 11. Jika, pada situasi tertentu, terdapat perbedaan pendapat antara dokter dan pasien mengenai tindakan DNR, dokter harus menghargai keinginan pasien (yang kompeten secra mental). 12. Hasil diskusi dengan pasien dan atau keluarganya harus dicatat di rekam medis pasien. 13. Di rekam medis harus tercantum: a. Tulisan “tidak dilkukan resusitasi” b. Tulis tanggal dan waktu pengambilan keputusan. c. Indikasi / tindakan DNR d. Batas waktu berlakunya instruksi DNR e. Nama dokter penanggung jawab f. Ditandatangani oleh dokter penanggungjawab pasien (yang mengambil keputusan) Contoh: 

Tanggal 18 Maret 2010



Pukul 10.30 wita



Tidak dilakukan RJP



Indikasi : syok kardiogenik



Batas waktu : 24 jam

14. Pada beberapa kasus, tidak terdapat batasan waktu pemberlakuan instrksi DNR, misalnya: keganasan fase terminal 15. Pada pasien asing (luar negeri) dan populasi etnis minoritas dimana terjadi kesulitan pemahaman bahasa, harus terdapat layanan penerjemah yang kompeten 16. DNR hanya berarti tidak dilakukan tindakan RJP. Penanganan dan tatalaksana pasien lainnya tetap dilakukan dengan optimal 17. Tindakan DNR dapat dipertimbangkan dalam kondisi-kondisi sebagai berikut: a. Pasien berada dalam fase terminal penyakitnya atau kerugian / penderitaan yang dirasakan pasien saat menjalani terapi melebihi keuntungan dilakukannya terapi b. Pasien yang kompeten secara mental dan memiliki kapasitas untuk mengambil keputusan, menolak untuk dilakukan usaha RJP c. RJP bertentangan dengan keputusan dini / awal yang dibuat oleh pasien, yang bersifat valid dan matang, mengenai penolakan semua tindakan untuk mempertahankan hidup pasien.

B. KEPUTUSAN DINI / AWAL (DAHULU DIKENAL DENGAN ISTILAH SURAT WASIAT) 1. Terdapat kebijakan dari pihak rumah sakit mengenai keputusan dini akan penolakan tindakan penyelamatan hidup / nyawa oleh pasien 2. Dokter sebaiknya menghargai keputusan yang diambil oleh pasien (autonomi) 3. Pasien dengan keputusan dini ini tetap diberikan terapi / penanganan lainnya, seperti pemberian obat-obatan, cairan infuse, dan lain-=lain 4. Putuskan apakah diskusi mengenai keputusan DNR ini perlu dilakukan 5. Berikut adalah beberapa kondisi diman perlu dilakukan diskusi dengan pasien: a. Pasien yang kompeten secara mental menyatakan bahwa mereka ingin mendiskusikan tindakan DNR dengan dokternya b. Usaha

RJP

dianggap

memiliki

harapan

untuk

mengakibatkan kualitas hidup yang buruk bagi pasien

berhasil

tetapi

dapat

c. Hal yang mendasari keputusan DNR adalah tidak adanya keuntungan dalam hal medis. Diskusi harus ditekankan untuk membuat pasien menyadari, memahami, dan menerima kondisi penyakitnya serta menerima hasil keputusan yang telah didiskusikan. Diskusi juga membahas mengenai manajemen paliatif dan prognosis secara keseluruhan 6. Berikut adalah beberapa kondisi dimana tidak perlu dilakukan diskusi dengan pasien: a. Pasien resusitasi dianggap tidak ada gunanya / sia-sia b. Diskusi berpengaruh buruk terhadap kesehatan pasien, misalnya pasien menjadi depresi c. Pasien yang kompeten secar mental menyatakan bahwa mereka tidak ingin mendiskusikan hal tersebut d. Pasien mengalami deteriorasi, misalnya pasien berada dalam fase sekarat / terminal dari penyakitnya e. Pasien dinilai tidak memiliki kapasitas yang adekuat untuk mengambil keputusan. 7. Pasien diperbolehkan untuk mengambil keputusan dini akan penolakan tindakan penyelamatan hidup dengan memenuhi beberapa persyaratan dibawah ini: a. Usia pasien harus > 18 tahun b. Pasien harus kompeten dan memiliki kapasitas yang baik secara mental untuk mengambil keputusan c. Keputusan ini harus tertulis, yang berarti harus ditulis oleh pasien sendriri atau keluarga / kerabat yang dipercaya oleh pasien dan harus dicatat direkam medis. d. Harus ditandatangani oleh dua orang yaitu: 1) Penulis / pem,buat keputusan atau oleh orang lain atas nama pasien sambil diarahkan oleh pasien ( jika pasien tidak mampu menandatanginya sendiri) 2) Satu orang lain sebagai saksi e. Harus diverifikasi oleh pernyataan spesifik yang dilakukan oleh pembuat keputusan, dapat dituliskan di dokumen lain / terpisah, yang menyatakan bahwa keputusan dini ini diaplikasikan untuk tindakan / penanganan spesifik, bahkan jika terdapat resiko kematian.

f. Penrataan keputusan dini didokumen terpisah ini juga harus ditandatangani dan diskasikan oleh dua orang (salah satunya pasien. 8. Diskusi antar dopkter dengan keluarga pasien mengenai keputusan ini harus atas ijin pasien 9. Jika pasien tidak kompeten secara mental, diskusi dapat dilakukan dengan keluarga / wali sah pasien dengan mempertimbaangkan kondsisi dan keinginan pasien. Jika tidsak terdapat keluarga / wali yang sah, keputusan dapat diambil oleh dokter penanggung jawab pasien 10. Jika terdapat situasi dimana pasien kehilangan kompetensinya untuk mengambil keputusan tetapi telah membuat ‘ keputusan dini DNR’ sebelumnya yang valid, keputusan ini harusnya tetap dihargai 11. Dokter dapat tidak mengindahkan keputusan dini yang dibuat oleh pasien, jika terdapat hal-hal berikut ini: a. Pasien telah melakukan hal-hal yang tidak konsisten terhadap keputusan dini / awal yang dibuat, yang mempengaruhi validitas keputusan tersebut ( misalnya pasien pindah agama) b. Terdapat situasi yang tidak diantisipasi oleh pasien dan situasi tersebut dapat mempengaruhi keputusan pasien (misalnya, perkembangan terkini dalam tatatlaksana pasien yang secara drastic merubah prospek kondisi tertentu pasien) c. Situasi / kondisi yang ada tidak jelas dan tidak dapat dprediksi d. Terdapat perdebatan / perselisihan mengenai validitas keputusan dini / awal dan kasus tersebut telah dibawa kepengadilan 12. Jika terdapat keraguan terhadap apa yang pasien inginkan / maksudkan, paramedic harus bertindak sesuai dengan kepentingan / hal yang terbaik untuk pasien. Dapat meminta saran dari dokter senior juga 13. Tatalaksana emergency tidak boleh tertunda hanya karena mencari ada tidsaknya instruksi DNR pasien jika terdapat indikasi jelas bahwa indikasi tersebut ada 14. Pasien tidak diperbolehkan menolak perawatan dasar yang diberikan 15. Perawatan dasar ini didefinisikan sebagai pemberian tempat tidur yang nyaman dan hangat, pengurang rasa sakit / analgesic, manajemen gejala-gejala yang memicu

stress fisik (seperti sesak nafas, muntah, inkontinensia) dan manajemen hygiene / kebersihan diri pasien. 16. Jika pasien tetap menolak perawatan dasar, dokter yang bertugas sebaiknya meminta saran dari dokter senior dan masalah ini dapat juga dibaa ke komisi etik 17. Rumah sakit sebaiknya membuat kerangka konsep dalam hal mengambil keputusan DNR (lihat lampiran 2). C. PANDUAN DALAM MENDISKUSIKAN KEPUTUSAN DNR DENGAN PASIEN 1. Pastikan tercipta suasana yang kondusif, tenang, privasi pasien terjaga 2. Kehadiran yang lengkap dariorang-orang yang ingin dilibatkan oleh pasiendalam mendiskusikan hal ini 3. Komunikasi dan tatap mata sebaiknya sejajar dengan tinggi/posisi pasien 4. Jika pasien tudak keberatan, ajaklah satu orang perawat untuk mendampingi diskusi 5. Perawat dapat membantu dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan pasien, memberi dukungan dan penguatan kepada pasien setelah dokter meninggalkan ruangan. 6. Mulailah dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan umum seperti bagaimanakah pandangan pasien terhadap penyakit dan tatlaksanan yang dijalaninya. 7. Mengangkat topic utama: a. Mulai dengan menyatakan “saya ingin berdiskusi dengan anda” b. “apa yang anda ingin kami (paramedic)lakukan jika suatu waktu anda menjadi terlalu sakit untuk dapat berbicara dengan kami?” c. Salah satu hal yang paling penting adalah pertanyaan mengenai resusitasi d. “meskipun hal ini jarang terjadi, saya perlu untuk mempertimbangkan mengenai tindakan apa yang harus kami lakukan jika jantung anda berhenti”. e. “Beberapa orang memiliki pandangan yang kuat terhadap seberapa banyak penanganan yang ingin mereka terima jika mereka menjadi sangant sakit. Saya ingin tahu apakah anda pernah memikirkan hal ini”. 8. Pemilihan waktu untuk berdiskusi: a. Bukan waktu yang bagus untuk melakukan diskusi segera setelah diagnosis ditegakkan b. Waktu diskusi yang terbaik adalah saat diagnosis dan prognosisi sudah jelas dan saat pasien telah mengetahui dan menerima penyakitnya.

9. Berusahalah untuk membangun pemahaman pasien mengenai situasinya saat ini, sifat dasar resusitasi, kemungkinan tingkat keberhasilan resusitasi jika dilakukan, serta harapan dan keinginan pasien. Paien dan keluarganya sering memiliki harapan / ekspektasi yang tidak realistis dari nilai resusitasi. 10. Berikan informasi mengenai RJP menggunakan kata-kata sederhana yang dapat dimengerti oleh pasien. 11. Tingkat pemberian informasi harus dinilai dari respons dan pemahaman setiap pasien. 12. Jika tidak tercapai kesepakatan, berikan pendapat dari sudut pandangn dokter (paramedic) mengenai kondisi pasien dan tindakan RJP. Dapat dengan menyatakan: “pendapat saya mungkin berbeda dengan apa yang anda inginkan. Karena alas an itulah saya ingin berdiskusi dengan anda” 13. Cobalah untuk mengerti: a. Sudut pandang pasien b. Nilai-nilai yang dianut oleh pasien c. Ruang lingkup pengaplikasian (misalnya, penanganan apa saja yang dijalani pasien) 14. Catat sudut pandang pasien, niali-nilai yang dianut oleh pasien, dan ruang lingkup pengaplikasien direkam medis. 15. Diskusikan keputusan mengenai RJP dalam kontetks positif sebagai bagian dari perawatan suportif. Banyak pasien yang merasa takut diabaikan / ditelantarkan dan merasa nyeri, melebihi rasa takutnya akan kematian. 16. Petugas harus menekankan mengenai terapi-terapi mana saja yang akan tetap diberikan, pasien masih akan tetap dikunjungi oleh dokter secara teratur, pengendalian nyeri, dan memberikan kenyamanan kepada pasien. 17. Penting untuk memisahkan / membedakan keputusan DNR dengan keputusan mengenai manajemen pasien lainnya. 18. Dengan memberikan kesempatan kepada pasien untuk berdiskusi dengan dokter, akan membuat pasien mrasa dihargai dan menurunkan tingkat kecemasan / stress pasien juga.

D. KEPUTUSAN DNR PADA PASIEN DEWAS PERI-OPERATIF 1. Tindakan pembedahan dan anastesi turut berkontribusi dalam perubahan kondisi medis pasien dengan keputusan DNR sebelumnya dikarenakan adanya perubahan kondisi medis yang dapat meningkatkan resiko pasien. 2. Tindakan anastesi sendriri (baik regional ataupun umum), akan menimbulkan instabilitas kardiopulmoner yang akan membutuhkan dukungan/penanganan medis. 3. Angka keberhasilan RJP diruang operasi lebih tinggi secara signifikan dibandingkan di ruang rawat inap (dimana DNR ini ditetapkan). Angka keberhasilan RJP di kamae operasi ini dapat mencapai 92%. 4. Menilik dari hal-hal tersebut diatas, maka diperlukan peninjauan ulang keputusan DNR sebelum melakukan prosedur anastesi dan pembedahan 5. Rekomendasi: a. Pasien dengan kkeputusan DNR yang mungkin memerlukan prosedur pembedahan harus dikonsultasikan kepada tim bedah dan anestesiologis. b. Lakukan peninjoan ulang keutusan DNR oleh anestesiologis dan dokter bedah dengan pasien, wali, keluarga atau dokter penanggung jawabpasien (jika diindikasikan) sebelum melakukan prosedur anestesi dan pembedahan. c. Tujuan peninjauan ulang ini adalah untuk memperoleh kesepakatan mengenai penanganan apa saja yang akan boleh dilakukan selama prosedur anestesi dan pembedahan. d. Terdapat 3 pilihan dalam meninjau ulang keputusan DNR yaitu: 1) Pilihan pertama: keputusan DNR dibatalkan selama menjalani anestesi dan pembedahan, dan ditinjau ulang kembali saat pasien keluar dari ruang pemulihan. Saat menjalani pembedahan dan anestesi, lakukan RJP jika terdapat henti jantung/napas. 2) Pilihan kedua: keputusan DNR dimodifikasi, dengan mengijinkan pemberian obat-obatan dan tekhnik anestesi yang sejalan / sesuai dengan pemberian anastesi. Hal ini termasuk: a) Moniktor EKG, tekanan darah, oksigenasi, dan monitor intraoperatif lainnya.

b) Manipulasi sementara dalam menjaga jalan napas dan pernapasan dengan ventilasi, jika diperlukan dan dengan pemahaman bahwa pasien akan bernapas secara spontan diakhir prosedur. c) Penggunaan vasopresor atau obat anti-aritmia untuk mengkoreksi stabilitas kardiovaskuler yang berhubungan dengan pemberian anestesi dan pembedahan. d) Penggunaan kardioversi atau defibrillator untuk mengkoreksi aritmia harus didiskusikan sebelumnya dengan pasien / wali sahnya. Lakukan juga diskusi mengenai pemberian kompresi dada. 3) Pilihan ketiga: keputusan DNR tetap berlaku (tidak ada perubahan) a) Pada beberapa kasus, pilihan ini tidak sesuai dengan pemberian anestesi umum dalam pembedahan. b) Pasien dapat menjalani prosedur

pembedahan minor dengan tetap

mempertahankan keputusan DNR-nya. c) Anestesiologis harus berdiskusi dan membuat kesepakatan dengan pasien / wali sah mengenai intervensi apa saja yang diperbolehkan, seperti: kanulasi intravena, pemberian cairan intravena, sedasi, analgesic, monitor, obat vasopresor, obat anti-aritmia, oksigenasi, atau intervensi lainnya. e. Pilihan yang telah disepakati harus dicatat direkam medis pasien. f. Pilihan DNR ini haru dikomunikasikan

kepada semua petugas medis yang

terlihat dalam perawatan pasien di dalam kamar operasi dan ruang pemulihan. g. Secara hokum, yang berwenang membuat keputusan DNR ini adalah: 1) Pasien dewasa yang kompeten secara mental 2) Wali sah pasien (jika pasien tidak kompeten secara mental) 3) Dokter penanggungjawab pasien, yang bertindak dengan mempertimbangkan tindakan terbaik untuk pasien (jika belum ada keputusan DNR dini/awal yang telah dibuat oleh pasien/wali sahnya). h. Jika setelah diskusi, masih belum terdapat kesepakatan mengenai pilihan DNR mana yang akan digunakan, pemegang keputusan tetaplah diberikan ke pasien/wali sahnya.

i. Jika terdapat keraguan atau ketidakjelasan mengenai siapa yang berwenang untuk membuat keputusan DNR, atau terdapat keraguan mengenai validitas suatu keputusan DNR dini/awal, atau terdapat keraguan mengenai tindakan apa yang terbaik untuk pasien, segeralah mencari saran kepada komisi etik atau lembaga hokum setempat. j. Dalam kondisi gawat darurat, dokter harus membuat keputusan yang menurutnya terbaik untuk pasien dengan menggunakan semua informasi yang tersedia. k. Pilihan keputusan DNR ini harus diaplikasikan selama pasien berada dikamar operasi dan ruang pemulihan. l. Keputusan DNR ini haruslah ditinjau ulang saat pasien kembali ke ruang rawat inap. E. KEPUTUSAN DNR DAN TRANSFER PASIEN 1. Jika pasien ditransfer ke rumah sakit lain dengan instruksi DNR, dokter senior yang saat itu sedang bertugas atau konsultan harus bertanggung jawab untuk melakukan assesmen ulang dan mengambil keputusan berdasarkan informasi yang didapat sat itu mengenai: ‘apakah instruksi

DNR ini masih berlaku atau tidak?’ sebelum

assesmen ulang tersebut dilakukan, pasien masih dianggap DNR. 2. Jika pasien ditransfer ke pelayanan primer lain dengan instruksi DNR, dokter umum dialayanan primer tersebut bertanggungjawab melakukan assesmen ulang dan pengambilan keputusan harus dikomunikasikan dengan semua petugas yang terlibat dalam perawatan pasien. Sebelum assesmen ulang tersebut dilakukan, pasien masih dianggap DNR. 3. Saat melakukan transfer pasien, formulir DNR harus tetap disertakan dalam rekam medis pasien. Formulir DNR ini tidak boleh difoto kopi. F. INSTRUKSI DNR PADA PASIEN DILUAR RUMAH SAKIT 1. Pada situasi kasus emergensi yang terjadi di luar rumah sakit, usaha RJP memiliki angka keberhasilan yang lebih rendah pada pasien dengan usia sangat lanjut atau memiliki penyakit berat/terminal. 2. Saat ini, banyak pasien-pasien dengan kondisi tersebut memilih untuk meninggal dengan tenang dan tidak ingin menjalani intervensi yang agresif, seperti RJP. Banyak juga pasien memilih dirawat di rumah sampai akhir usianya tiba.

3. Protocol pelayanan Kegawatdaruratan Medis menyatakan bahwa inisiasi RJP ditujukan kepada semua pasien yang mengalami henti jantung/napas, kecuali pasien telah ditemukan meninggal sebelumnya dengan tanda-tanda kematian yang jelas atau pasien memiliki instruksi tertulis DNR yang valid dan ditandatangani oleh dokter. G. PENATALAKSANAAN 1. Tim Kegawatdaruratan Medis akan melakukan usaha RJP pada semua pasien yang ditemukan henti napas/jantung kecuali jika pasien tersebut memiliki instruksi DNR yang valid. 2. Jika pasien dengan henti jantung/napas memiliki instruksi DNR, tim kegawatdarutan medis harus: a. Melakukan assesmen mengenai tidak adanya pernapasan dan atau denyut jantung b. Jika petugas tiba ditempat kejadian tanpa mobil rawat intensif (MICU), ikuti protocol setempat c. Untuk petugas MICU, kontak/hubungi dokter penanggung pasien (yang menandatangani DNR) untuk mengkonfirmasi validitas intstruksi DNR di luar rumah sakit, beritahukan kondisi pasien. 3. Jika pasien dengan instruksi DNR yang valid tidak berada dalam kondisi henti jantung/napas, tim kegawatdaruratan medis harus: a. Melakukan assesmen pasien b. Menyediakan semua tatalaksana yang sesuai c. Menyediakan transportasi ke rumah sakit, jika diperlukan d. Menghargai dan mematuhi instruksi DNR jika terjadi henti napas/jantung pada pasien selama transfer e. Memberikan salinan instruksi DNR ke rumah sakit penerima, jika tersedia. 4. Saat memutuskan untuk membuat instruksi DNR, dokter tidak boleh mempengaruhi keinginan pasien/wali sahnya. 5. Instruksi DNR dapat dibatalkan kapanpun oleh pasien dengan merusak/menyobek formulir dan gelang DNR, atau dengan menyatakan secara lisan. 6. Validitas instruksi DNR: a. Hanya dokter penanggungjawab pasien yang boleh menulis instruksi DNR untuk pasien yang dirawat di rumah.

b. Hubungi dokter penanggungjawab pasien untuk mendiskusikan pembuatan instruksi DNR. c. Pastikan formulir DNR telah diisi dengan lengkap oleh dokter, termasuk tanda tangan dan alamat pasien/wali sah, nama, alamat, nomor telepon, dan tanda tangan dokter, dan tanggal pembuatannya. d. Gelang DNR dapat diperoleh dari dokter atau rumah sakit tempat pasien berobat (lihat lampiran 5 mengenai panduan gelang DNR) e. Simpan salinan instruksi DNR di rumah dan selalu dibawa oleh pasien kemanapun dia pergi. f. Pastikan semua keluarga/wali pasien mengetahui instruksi DNR ini. 4. Pada pasien dip anti jompo, perawat pasien diperbolehkan untuk menulis instruksi DNR dan ‘penolakan untuk dirawat di rumah sakit’ (Do Not Hospitalized), berdasarkan hasil konsultasi dengan dokter. Prosedur Dasar a. Memperoleh izin persetujuan tertulis (informed consent) dari pasien/wali sahnya. b. Melengkapi formulir instruksi DNR di luar rumah sakit. Berikan salinan di rekam medis pasien. Berikan beberapa salinan kepada pasien dan atau keluarga/pengasuh mengenai penggunaaan formulir DNR ini dianjurkan agar formulir ini diletakkan ditempat-tempat yang mudah terlihat di rumah (misalnya: papan harian pasien, senderan ranjang, pintu kamar tidur, kulkas). c. Pasien boleh menggunakan gelang DNR warna ungu (tidak wajib). Gelang ini harus dianggap valid dan mengindikasikan bahwa pasien memiliki instruksi DNR di luar rumah sakit. Dokter harus menginformasikan kepada pasien/wali sahnya mengenai ketersediaan gelang DNR sebagai sarana tambahan untuk memberitahu tim kegawatdaruratan medis. d. Lakukan peninjauan ulang terhadap status DNR secar periodic dengan pasien/wali sahnya, lakukan revisi terhadap rencanan pananganan pasien (jika diperlukan), dan catatlah di rekam medis pasien. Jika instruksi DNR ini dibatalkan, berikan instruksi untuk menghancurkan/menyobek formulir DNR dan melepas gelang DNR.

H. PENINJAUAN ULANG MENGENAI KEPUTUSAN DNR 1. Keputusan mengenai DNR ini harus ditinjau ulang secara teratur dan rutin, terutama jika terjadi perubahan apapun terhadap kondisi dan keinginan pasien. 2. Frekuensi peninjauan ulang ini harus ditentukan oleh dokter senior yang saat itu sedang bertugas atau oleh konsultan penanggungjawab pasien. 3. Biasanya peninjauan ulang ini dilakukan setiap 7 hari sekali, tetapi dapat juga dilakukan setiap hari pada kasus-kasus tertentu. 4. Peninjauan ulang ini dipengaruhi oleh diagnosis pasien, potensi perbaikan kondisi, dan respons pasien terhadap terapi.]

I. PEMBATALAN KEPUTUSAN DNR 1. Jika instruksi DNR tidak lagi berlaku, bagian pembatalan di formulir DNR harus dilengkapi/diisi. Dituliskan tanggal dan dtandatangani oleh dokter senior yang saat itu sedang bertugas atau oleh konsultan. 2. Pembatalan ini harus dengan jelas dicatat di dalam rekam medis pasien.

J. PENGGUNAAN GELANG DNR 1. Gelang DNR merupakan salah satu metode untuk mengidentifikasi pasien yang memiliki instruksi DNR yang valid dan berada di luar rumah sakit. 2. Gelang ini harus dihargai dan ditaati oleh tim kegawatdaryratan medis dengan atau tanpa adanya formulir DNR tertulis. 3. Gelang ini harus: a. Dipakai di pergelangan tangan / kaki pasien b. Bertuliskan: 1)

Nama pasien

2)

Tanggal lahir

3)

No. RM

c. Tidak rusak / sobek 4. Pasien / wali sahnya dapat meminta gelang DNR ini dari Rumah Sakit tempat pasien berobat dengan membawa formulir DNR tertulis yng didapat dari dokter. 5. Rumah Sakit akan menyimpan salinan formulir intruksi DNR

6. Rumah Sakit akan bertanggung jawab dalam: a. Memberikan gelang DNR kepada pasien, berdasarkan formulir tertulis DNR yang ada b. Melengkapi tulisan digelang DNR, meliputi: nama pasien, nama dokter dan tanggal pembuatan instruksi DNR c. Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga mengenai tujuan dan maksud dari instruksi DNR ini. Menekankan bahwa instruksi DNR ini hanya berlaku untuk usaha RJP, penanganan lainnya tetap dilakukan. 7. Instruksi DNR dapat dibatalkan dengan cara: a. Melepas gelang DNR b. Menytakan secara lisan mengenai pembatalan instruksi DNR c. Menghancurkan / menyobek instruksi tertulis DNR 8. Pembatalan DNR ini harus dilaporkan kepda dokter pembuat formulir dan rumah sakit tempat pasien berobat sehingga dapat dicatat ke rekam medis pasien.

K. Re-assesmen wajib terhadap keputusan DNR sebelum menjalani prosedur anestesi dan pembedahan 1. Pasien dengan instruksi DNR biasanya sering menjalani prosedur anastesi dan pembedahan, terutama prosedur dengan tujuan memfasilitasi perawatan atau mengurangi nyeri. 2. Etiologi dan kejadian henti jantung selama anestesi berbeda secara signifikan dengan situasi di luar ruang operasi sehingga perlu dilakukan re-evaluasi mengenai instruksi DNR. 3. Faktanya, angka keberhasilan resusitasi lebih tinggi di dalam kamar operasi/selama anestesi berlangsung. 4. Pada beberapa kasus, pasien atau orang tuan menginginkan adanya pembatasan usaha resusitasi yang diguanakn sepanjang periode peri-operatif. 5. Pemberian anestesi sendiri melibatkan bebrapa prosedur yang dapatr dianggap sebagai salah satu bagian dari usaha resusitasi, misalnya pemasangan kateter intravena, pemberian cairan dan obat-obatan intravena, dan manajemen jalan napas dan ventilasi pasien.

6. Anestesiologis harus berdiskusi dengan pasien dan atau orang tuan, menilai ulang status DNR sebelum dilakukan prosedur pembedahan, danmengkomunikasikan hasil diskusi ini kepada seluruh petugas rumah sakit yang terlibat dengan perawatan pasien selam periode intra-operatif dan pasca-operatif. 7. Terdapat 3 pilihan instruksi DNR sebelum prosedur anestesi/pembedahan: a. Pilihan pertama: instruksi DNR dibatalkan untuk sementara (jika terjadi henti napas/jantung, dilakukan usaha resusitasi sepenuhnya). b. Pilihan kedua: resusitasi terbatas (spesifik terhadap prosedur). Pasien dilakukan usaha resusitasi sepenuhnya kecuali prosedur spesifik yaitu: kompresi dada, kardioversi. c. Pilihan ketiga: resusitasi terbatas (spesifik terhadap tujuan). Pasien dilakukan usaha resusitasi hanya jika efek samping yang terjadi dianggap bersifat sementara dan reversible, berdasarkan pertimbangan dokter bedah dan anestesiologis. 8. Harus dicatat di rekam medis pasien. 9. Saat pasien keluar/dipindahkan dari ruang pemulihan, instruksi DNR ini harus ditinjau ulang. 10. Jika pasien/orang tua memutuskan untuk tetap memberlakukan instruksi DNR selama menjalani prosedur anestesi/pembedahan, dokter boleh menolak untuk berpartisipasi dalam kasus ini. Pasien/keluarga harus mencari dokter lain yang bersedia untuk merawat pasien.

BAB IV DOKUMENTASI

A. DOKUMENTASI 1. Keputusan untuk tidak melakukan RJP harus dicatat di rekam medis pasien dan di formulir do not resuscitate (DNR) (Lihat Lampiran 3). Formulir DNR harus diisi dengan lengkap dan disimpan di rekam medis pasien. 2. Alasan diputuskannya tindakan DNR dan orang yang terlibat dalam pengambilan keputusan harus dikomunikasikan kepada semua orang yang terlibat dalam aspek perawatan pasien, termasuk dokter gigi, podiatrist, dan sebagainya. 3. Keputusan DNR harus diberitahukan saat pergantian petugas/pengoperan pasien ke petugas/unit lainnya. 4. Di rekam medis, harus dicatat juga mengenai

hasil diskusi dengan pasien dan

keluarga mengenai keputusan untuk tidak melakukan resusitasi. 5. Dokumentai dan komunikasi yang efektif akan memastikan bahwa petugas/unit lain mengetahui instruksi DNR ini (jika pasien ditransfer ke unit lain). 6. Petugas ambulans yang terlibat dalam transfer juga harus mengetahui akan instruksi DNR ini. 7. Dokter sebaiknya member catatan di kurva medis pasien mengenai instruksi DNR, yang mencakup: a. Diagnosis b. Alas an dibuat instruksi DNR c. Kapasitas pasien dalam membuat keputusan d. Dokumentasi bahwa diskusi mengenai status DNR telah dilakukan, tulis juga siapa saja yang menghadiri diskusi tersebut. 8. Pembatalan instruksi DNR Instruksi

DNR

dapat

dibatalkan

kapanpun

oleh

pasien

dengan

cara

menghancurkan/menyobek formulir dan gelang DNR, atau dengan menyatakan secara lisan oleh pasien.

B. PENINJAUAN ULANG DAN AUDIT 1. Audit akan dilakukan setiap tahunnya untuk memastikan bahwa semua keputusan DNR didokumentasi sepenuhnya sesuai dengan kebijakan yang berlaku 2. Audit mengenai semua kejadian resusitasi harus dilakukan untuk memastikan bahwa kejadian-kejadian tersebut telah sesuai dengan kebijakan yang berlaku. 3. Peninjauan ulang mengenai isi dari kebijakan ini akan dilakukan 2 tahun setelah tanggal kebijakan ini disetujui. 4. Peninjauan ulang dini dapat dilakukan jika terjadi salah satu atau lebih dari kondisikondisi berikut ini: a. Adanya perubahan atau perkembangan dalam regulasi/peraturan perundangundangan yang berlaku b. Terjadinya insidens yang penting/krusial c. Adanya alasan-alasan yang kuat/relevan lainnya.

Ditetapkan di Bangli Pada Tanggal 31 Desember 2015 Direktur Rumah Sakit Bangli Medika Canti

(dr. I Wayan Rinartha,M.M) NIP : 1304.1.01.001

Related Documents

Bab
April 2020 88
Bab
June 2020 76
Bab
July 2020 76
Bab
May 2020 82
Bab I - Bab Iii.docx
December 2019 87
Bab I - Bab Ii.docx
April 2020 72

More Documents from "Putri Putry"

Sop Assesmen Pendidikan.docx
November 2019 23
Panduan.docx
November 2019 15
Sk Kks.docx
November 2019 24
Bab I.docx
May 2020 15