BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Hipertensi didefinisikan sebagai pengukuran tekanan darah yang tinggi dengan batas 140 untuk sistolik dan 90 untuk diastolik, sesuai dengan kriteria JNC 7 (NIH, 2003). Tingkat tekanan darah dan prevalensinya bervariasi di tiap negara. Hipertensi telah diestimasikan akan menyebabkan 6% kematian di seluruh dunia (Powers, 2003). Di Indonesia, prevalensi nasional untuk masyarakat berumur lebih dari 18 tahun adalah 29.8%. Sepuluh provinsi yang memilik prevalensi hipertensi yang tinggi yaitu Riau, Bangka Belitung, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Barat (Depkes RI, 2011). Hipertensi dikenal sebagai faktor risiko penyakit kardiovaskuler, yang merupakan penyebab utama kematian dan disabilitas di seluruh dunia. Percobaan klinis berskala besar telah menunjukkan bahwa terapi farmakologis dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat penyakit kardiovaskuler dan terapi jangka panjang atau seumur hidup sering diindikasikan. Menurut World Health Organization (WHO), ketidakpatuhan terhadap terapi jangka panjang untuk hipertensi merupakan masalah umum yang 1
menyebabkan konsekuensi kesehatan dan ekonomi yang serius, dalam arti terbuangnya waktu, uang, dan penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Sebagai tambahan, sebuah editorial terbaru memberikan bukti untuk penurunan morbiditas dan mortalitas dengan penggunaan terapi antihipertesi, dan menyebutkan bahwa hal yang paling berperan dalam meningkatkan kontrol hipertensi bergantung pada kepatuhan pasien (Baune dkk, 2004). Berdasarkan studi nasional NHANES III di Amerika Serikat, kurang dari seperempat pasien hipertensi memiliki tekanan darah yang terkontrol dengan baik (dibawah 140/90 mmHg) (Hyman dkk, 2001). Ketidakpatuhan menjadi masalah universal, yang dilaporkan menjadi salah satu penyebab utama hipertensi yang sulit disembuhkan (Etaro dkk, 1992). Walaupun telah dilakukan banyak studi tentang kepatuhan pasien selama 25 tahun terakhir ini, masih ditemukan masalah ketidakpatuhan, yang meninggalkan banyak pertanyaan yang tidak terjawab. Salah satu syarat untuk keberhasilan terapi adalah motivasi pasien. Hal ini cukup jelas bahwa jika pasien mengalami perburukan kualitas hidup setelah memulai pengobatan, akan muncul masalah dalam mengikuti regimen pengobatan. Telah ditunjukkan sebelumnya bahwa pasien hipertensi memodifikasi terapi obatnya sebagai respon terhadap masalah yang dirasakan (Enlund dkk, 2001). Prevalensi modifikasi meningkat sesuai dengan jumlah masalah yang diterima pasien, baik pria maupun wanita dan di seluruh kelompok umur. Disamping beberapa kemajuan dalam terapi hipertensi, 2
masih terdapat sejumlah pasien yang belum mendapatkan keuntungan dari terapi obat karena kontrol tekanan yang buruk. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Balitbangkes tahun 2007 menunjukan prevalensi hipertensi secara nasional mencapai 31,7% (Depkes RI, 2010). Prevalensi hipertensi di NTB berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah adalah 24,3%, sementara berdasarkan diagnosis dan atau riwayat minum obat hipertensi prevalensinya adalah 6,7% (Anonim, 2013). Berdasarkan data rekam medis dan pengamatan praktek sehari-hari di Puskesmas pegesangan terdapat 44 orang yang terdiagnosis hipertensi dan sudah mendapatkan anhipertensi, dan tekanan darah mereka belum terkontrol. Sering beberapa minggu telah lewat sebelum mereka datang kembali untuk kunjungan follow-up, walaupun obat hanya diberikan untuk satu minggu. Dari anamnesis, sering didapatkan bahwa pasien hanya datang ketika mereka merasa tidak nyaman, seperti sakit kepala. Hal ini berarti bahwa mereka tidak meminum obat secara reguler. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan berobat seseorang, tingkat pendidikan, usia, biaya berobat, pengetahuan tentang hipertensi, dukungan keluarga, pengaruh sosial dan budaya, dan akomodasi merupakan kendala dalam mencapai kepatuhan berobat yang optimal (Niven, 2008). Berdasarkan alasan tersebut penulis ingin meneliti mengenai “pengaruh kepatuhan minum obat terhadap tekanan darah terkontrol pada pasien hipertensi di Puskesmas Pagesangan tahun 2018” 3
B. Rumusan Masalah Rumusan masalah pada penelitian ini adalah: Apakah ada hubungan kepatuhan minum obat terhadap tekanan darah terkontrol pada pasien hipertensi di Puskesmas Pagesangan ? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan kepatuhan minum obat terhadap tekanan darah terkontrol pada pasien hipertensi di Puskesmas Pagesangan 2. Tujuan Khusus Secara khusus penelitian ini bertujuan: a. Mengidentifikasi kepatuhan minum obat pada pasien hipertensi b. Mengidentifikasi tekanan darah terkontrol pada pasien hipertensi c. Menganalisis hubungan kepatuhan minum obat terhadap tekanan darah terkontrol pada pasien hipertensi di wilayah kerja puskesmas pagesangan. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Puskesmas Pagesangan Dengan mengetahui hubungan kepatuhan minum obat pada pasien hipertensi terhadap tekanan darah terkontrol di wilayah kerja Puskesmas pagesangan, mataram diharapkan dapat dijadikan masukan dalam menyukseskan program penanggulangan hipertensi pada masyarakat.
4
2. Bagi Masyarakat Memberikan informasi mengenai hasil penelitian ini kepada masyarakat sehingga mereka mengetahui kepatuhan berobat sangat penting dalam keberhasilan terapi pada hipertensi, serta memberikan informasi mengenai strategi yang dapat ditempuh untuk menjaga kepatuhan minum obat anti hipertensi.
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
KEPATUHAN 1. Pengertian Ada beberapa macam terminologi yang biasa digunakan dalam literatur untuk mendeskripsikan kepatuhan pasien diantaranya compliance, adherence, dan persistence. Compliance adalah secara pasif mengikuti saran dan perintah dokter untuk melakukan terapi yang sedang dilakukan (Osterberg & Blaschke dalam Nurina, 2012). Adherence adalah sejauh mana pengambilan obat yang diresepkan oleh penyedia layanan kesehatan. Tingkat kepatuhan (adherence) untuk pasien biasanya dilaporkan sebagai persentase dari dosis resep obat yang benar-benar diambil oleh pasien selama periode yang ditentukan (Osterberg & Blaschke dalam Nurina, 2012). Di dalam konteks psikologi kesehatan, kepatuhan mengacu kepada situasi ketika perilaku seorang individu sepadan dengan tindakan yang dianjurkan atau nasehat yang diusulkan oleh seorang praktisi kesehatan atau informasi yang diperoleh dari suatu sumber informasi lainnya seperti nasehat yang diberikan dalam suatu brosur promosi kesehatan melalui suatu kampanye media massa (Ian & Marcus, 2011). Para Psikolog tertarik pada pembentukan jenis-jenis faktor-faktor kognitif dan afektif apa yang penting untuk memprediksi kepatuhan dan juga 6
penting perilaku yang tidak patuh. Pada waktu-waktu belakangan ini istilah kepatuhan telah digunakan sebagai pengganti bagi pemenuhan karena ia mencerminkan suatu pengelolaan pengaturan diri yang lebih aktif mengenai nasehat pengobatan (Ian & Marcus, 2011). Menurut Kozier (2010) kepatuhan adalah perilaku individu (misalnya: minum obat, mematuhi diet, atau melakukan perubahan gaya hidup) sesuai anjuran terapi dan kesehatan. Tingkat kepatuhan dapat dimulai dari tindak mengindahkan setiap aspek anjuran hingga mematuhi rencana. Sedangkan Sarafino (dalam Yetti, dkk 2011) mendefinisikan kepatuhan sebagai tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya. Dikatakan lebih lanjut, bahwa tingkat kepatuhan pada seluruh populasi medis yang kronis adalah sekitar 20% hingga 60%. Dan pendapat Sarafino pula (dalam Tritiadi, 2007) mendefinisikan kepatuhan atau ketaatan (compliance atau adherence) sebagai: “tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau oleh orang lain”. Pendapat lain dikemukakan oleh Sacket (Dalam Neil Niven, 2000) mendefinisikan kepatuhan pasien sebagai “sejauhmana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh professional kesehatan”. Pasien mungkin tidak mematuhi tujuan atau mungkin melupakan begitu saja atau salah mengerti instruksi yang diberikan.
7
Kemudian Taylor (1991), mendefinisikan
kepatuhan terhadap
pengobatan adalah perilaku yang menunjukkan sejauh mana individu mengikuti anjuran yang berhubungan dengan kesehatan atau penyakit. Dan Delameter (2006) mendefinisikan kepatuhan sebagai upaya keterlibatan aktif, sadar dan kolaboratif dari pasien terhadap perilaku yang mendukung kesembuhan. Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku kepatuhan terhadap pengobatan adalah sejauh mana upaya dan perilaku seorang individu menunjukkan kesesuaian dengan peraturan atau anjuran yang diberikan oleh professional kesehatan untuk menunjang kesembuhannya. 2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Menurut Kozier (2010), faktor yang mempengaruhi kepatuhan adalah sebagai berikut: a. Motivasi klien untuk sembuh b. Tingkat perubahan gaya hidup yang dibutuhkan c. Persepsi keparahan masalah kesehatan d. Nilai upaya mengurangi ancaman penyakit e. Kesulitan memahami dan melakukan perilaku khusus f. Tingkat gangguan penyakit atau rangkaian terapi g. Keyakinan bahwa terapi yang diprogramkan akan membantu atau tidak membantu h. Kerumitan , efek samping yang diajukan 8
i. Warisan budaya tertentu yang membuat kepatuhan menjadi sulit dilakukan j. Tingkat kepuasan dan kualitas serta jenis hubungan dengan penyediaan layanan kesehatan Sedangkan menurut Neil (2000), Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan dapat digolongkan menjadi empat bagian: a. Pemahaman Tentang Instruksi Tak seorang pun dapat mematuhi instruksi jika ia salah paham tentang instruksi yang diberikan padanya. Lcy dan Spelman (dalam Neil, 2000) menemukan bahwa lebih dari 60% yang diwawancarai setelah bertemu dengan dokter salah mengerti tentang instruksi yang diberikan pada mereka. Kadang-kadang hal ini disebabkan oleh kegagalan professional kesehatan dalam memberikan informasi yang lengkap, penggunaan istilah-istilah media dan memberikan banyak instruksi yang harus diingat oleh pasien. b. Kualitas Interaksi Kualitas interaksi antara professional kesehatan dan pasien merupakan bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan. Korsch & Negrete (Dalam Neil, 2000) telah mengamati 800 kunjungan orang tua dan anak anaknya ke rumah sakit anak di Los Angeles. Selama 14 hari mereka mewawancarai ibu-ibu tersebut untuk memastikan apakah ibu-ibu tersebut melaksankan nasihat nasihat yang diberikan dokter, mereka menemukan bahwa ada kaitan yang erat antara kepuasaan ibu terhadap konsultasi dengan seberapa jauh mereka mematuhi nasihat dokter, tidak ada kaitan antara 9
lamanya konsultasi dengan kepuasaan ibu. Jadi konsultasi yang pendek tidak akan menjadi tidak produktif jika diberikan perhatian untuk meningkatkan kualitas interaksi. c. Isolasi Sosial dan Keluarga Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat juga menentukan tentang program pengobatan yang dapat mereka terima. Pratt (dalam Neil, 2012) telah memperhatikan bahwa peran yang dimainkan keluarga dalam pengembangan kebiasaan kesehatan dan pengajaran terhadap anak-anak mereka. Keluarga juga memberi dukungan dan membuat keputusan mengenai perawatan dari anggota keluarga yang sakit. d. Keyakinan, Sikap dan Keluarga Becker (dalam Neil, 2012) telah membuat suatu usulan bahwa model keyakinan kesehatan berguna untuk memperkirakan adanya ketidakpatuhan. Mereka menggambarkan kegunaan model tersebut dalam suatu penelitian bersama Hartman dan Becker (1978) yang memperkirakan ketidakpatuhan terhadap ketentuan untuk pasien hemodialisa kronis. 50 orang pasien dengan gagal ginjal kronis tahap akhir yang harus mematuhi program pengobatan yang kompleks, meliputi diet, pembatasan cairan, pengobatan, dialisa. Pasienpasien tersebut diwawancarai tentang keyakinan kesehatan mereka dengan menggunakan suatu model. Hartman dan Becker menemukan bahwa
10
pengukuran dari tiap-tiap dimensi yang utama dari model tersebut sangat berguna sebagai peramal dari kepatuhan terhadap pengobatan. 3. Cara-cara Mengurangi Ketidakpatuhan Dinicola dan Dimatteo (dalam Neil, 2000) mengusulkan rencana untuk mengatasi ketidakpatuhan pasien antara lain: a. Mengembangkan tujuan dari kepatuhan itu sendiri, banyak dari pasien yang tidak patuh yang memiliki tujuan untuk mematuhi nasihatnasihat pada awalnya. Pemicu ketidakpatuhan dikarenakan jangka waktu yang cukup lama serta paksaan dari tenaga kesehatan yang menghasilkan efek negatif pada penderita sehingga awal mula pasien mempunyai sikap patuh bisa berubah menjadi tidak patuh. Kesadaran diri sangat dibutuhkan dari diri pasien. b. Perilaku sehat, hal ini sangat dipengaruhi oleh kebiasaan, sehingga perlu dikembangkan suatu strategi yang bukan hanya untuk mengubah perilaku, tetapi juga mempertahankan perubahan tersebut. Kontrol diri, evaluasi diri dan penghargaan terhadap diri sendiri harus dilakukan dengan kesadaran diri. Modifikasi perilaku harus dilakukan antara pasien dengan pemberi pelayanan kesehatan agar terciptanya perilaku sehat. c. Dukungan sosial, dukungan sosial dari anggota keluarga dan sahabat dalam bentuk waktu, motivasi dan uang merupakan faktor-faktor
11
penting dalam kepatuhan pasien. Contoh yang sederhana, tidak memiliki pengasuh, transportasi tidak ada, anggota keluarga sakit, dapat mengurangi intensitas kepatuhan. Keluarga dan teman dapat membantu mengurangi ansietas yang disebabkan oleh penyakit tertentu, mereka dapat menghilangkan godaan pada ketidaktaatan dan mereka seringkali dapat menjadi kelompok pendukung untuk mencapai kepatuhan. 4. Cara-cara Meningkatkan Kepatuhan Smet (1994) menyebutkan beberapa strategi yang dapat dicoba untuk meningkatkan kepatuhan, antara lain: a. Segi Penderita Usaha yang dapat dilakukan penderita diabetes mellitus untuk meningkatkan kepatuhan dalam menjalani pengobatan yaitu: 1.
Meningkatkan kontrol diri. Penderita harus meningkatkan kontrol dirinya untuk meningkatkan ketaatannya dalam menjalani pengobatan, karena dengan adanya kontrol diri yang baik dari penderita akan semakin meningkatkan kepatuhannya dalam menjalani pengobatan. Kontrol diri dapat dilakukan meliputi kontrol berat badan, kontrol makan dan emosi.
2.
Meningkatkan efikasi diri. Efikasi diri dipercaya muncul sebagai prediktor yang penting dari kepatuhan. Seseorang yang mempercayai
12
diri mereka sendiri untuk dapat mematuhi pengobatan yang kompleks akan lebih mudah melakukannya. 3.
Mencari informasi tentang pengobatan. Kurangnya pengetahuan atau informasi berkaitan dengan kepatuhan serta kemauan dari penderita untuk mencari informasi mengenai penyakitnya dan terapi medisnya, informasi tersebut biasanya didapat dari berbagai sumber seperti media cetak, elektronik atau melalui program pendidikan di rumah sakit. Penderita hendaknya benar-benar memahami tentang penyakitnya dengan cara mencari informasi penyembuhan penyakitnya tersebut.
4.
Meningkatkan monitoring diri. Penderita harus melakukan monitoring diri, karena dengan monitoring diri penderita dapat lebih mengetahui tentang keadaan dirinya seperti keadaan gula dalam darahnya, berat badan, dan apapun yang dirasakannya.
b. Segi Tenaga Medis Usaha-usaha yang dilakukan oleh orang-orang di sekitar penderita untuk meningkatkan kepatuhan dalam menjalani pengobatan antara lain: 1. Meningkatkan keterampilan komunikasi para dokter. Salah satu strategi untuk meningkatkan kepatuhan adalah memperbaiki komunikasi antara dokter dengan pasien. Ada banyak cara dari dokter untuk menanamkan kepatuhan dengan dasar komunikasi yang efektif dengan pasien.
13
2. Memberikan informasi yang jelas kepada pasien tentang penyakitnya dan cara pengobatannya. Tenaga kesehatan, khususnya dokter adalah orang yang berstatus tinggi bagi kebanyakan pasien dan apa yang ia katakan secara umum diterima sebagai sesuatu yang sah atau benar. 3. Memberikan dukungan sosial. Tenaga kesehatan harus mampu mempertinggi dukungan sosial. Selain itu keluarga juga dilibatkan dalam memberikan dukungan kepada pasien, karena hal tersebut juga akan meningkatkan kepatuhan, Smet (1994) menjelaskan bahwa dukungan tersebut bisa diberikan dengan bentuk perhatian dan memberikan nasehatnya yang bermanfaat bagi kesehatannya. 4. Pendekatan perilaku. Pengelolaan diri yaitu bagaimana pasiendiarahkan agar dapat mengelola dirinya dalam usaha meningkatkan perilaku kepatuhan. Dokter dapat bekerja sama dengan keluarga pasien untuk mendiskusikan masalah dalam menjalani kepatuhan serta pentingnya pengobatan. 5. Aspek-aspek Kepatuhan Pengobatan Adapun aspek-aspek kepatuhan pengobatan sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Delameter (2006) adalah sebagai berikut: 1. Pilihan dan tujuan pengaturan. 2. Perencanaan pengobatan dan perawatan. 3. Pelaksanaan aturan hidup.
14
2.2 Konsep Hipertensi 2.2.1 Pengertian Hipertensi Tekanan darah adalah kekuatan darah menekan dinding pembuluh darah. Setiap kali berdetak (sekitar 60-70 kali per menit dalam keadaan istirahat), jantung akan memompa darah melewati pembuluh darah. Tekanan terbesar terjadi ketika jantung memompa darah (dalam keadaan kontriksi), dan ini disebut dengan tekanan sistolik. Ketika jantung beristirahat (dalam keadaan dilatasi), tekanan darah berkurang disebut tekanan darah diastolik (Puspitorini, 2008). Tekanan darah tidak pernah konsisten, Kondisinya berubah-ubah sepanjang hari, sesuai dengan situasi. Tekanan darah akan meningkat dalam keadaan gembira, cemas, atau sewaktu melakukan aktifitas fisik, setelah situasi ini berlalu, tekanan darah akan kembali normal. Apabila tekanan darah tetap tinggi maka disebut tekanan darah tinggi atau hipertensi (Hull, 1996). Penyakit hipertensi atau yang lebih dikenal penyakit darah tinggi adalah penyakit kronik akibat desakan darah yang berlebihan dan hampir tidak konstan pada arteri. Tekanan dihasilkan oleh kekuatan jantung ketika memompa darah. Hipertensi berkaitan dengan meningkatnya tekanan pada arterial sistemik, baik diastolik maupun sistolik, atau kedua-duanya secara terus menerus (Hull, 1996). Hipertensi merupakan suatu keadaan dimana tekanan darah seseorang adalah ≥ 140 mmHg (tekanan sistolik) dan atau ≥ 90 mmHg (tekanan diastolik) (Joint National Committee on Prevention Detection, Evaluation, dan Treatment of High Pressure VII, 2003) sedangkan menurut Smeltzer dan Bare, 2002 mendefinisikan hipertensi adalah tekanan darah 15
persisten dimana tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan tekanan diastolik di atas 90 mmHg. Tekanan sistolik menunjukan fase darah yang dipompa oleh jantung dan tekanan diastolik menunjukan fase darah kembali ke dalam jantung (Depkes RI, 2006). 2.2.2 Epidemiologi Hipertensi Hipertensi adalah suatu gangguan pada sistem peredaran darah yang mengganggu kesehatan masyarakat. Umumnya, terjadi pada manusia yang berusia (< 40 tahun). Namun banyak yang tidak menyadari bahwa mereka menderita hipertensi akibat yang tidak nyata dan sering disebut silent killer. Pada awal terkena penyakit hipertensi belum menimbulkan gangguan yang serius. Sekitar 1,8% - 26,6% penduduk dewasa menderita penyakit hipertensi. Berdasarkan penelitian Survei Kesehatan Nasional (Surkesnas) 2001 menunjukkan proporsi hipertensi pada pria 27% dan perempuan 29%. Sedangkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2004, hipertensi pada pria 12,2% dan perempuan 15,5%. Pada usia setengah baya dan muda, hipertensi ini lebih banyak menyerang pria dari pada perempuan. Pada golongan usia 55-64 tahun, pasien hipertensi pada pria dan perempuan sama banyak. Pada usia 65 tahun ke atas, pasien hipertensi perempuan lebih banyak daripada pria (Depkes RI, 2008). 2.2.3 Klasifikasi Hipertensi Tekanan sistolik dan diastolik dapat bervariasi pada tingkat individu. Namun disepakati bahwa hasil pengukuran tekanan darah sama atau lebih besar dari 140/90
16
mmHg adalah hipertensi. Hipertensi menurut WHO-ISH tahun 1999 dan JNC, 2003 dapat dilihat pada tabel: Tabel 2.1. Klasifikasi hipertensi Tekanan Sistolik
Tekanan diastolik
menurut WHO-ISH (mmHg)
(mmHg)
tahun 1999 Kategori Optimal
< 120
< 80
Normal
< 130
< 85
Normal tinggi
130 – 139
85 – 89
Grade 1 hipertensi
140 – 159
90 – 99
Sub group: borderline
140 – 149
90 – 94
Grade 2 hipertensi
160 – 179
100 – 109
Grade 3 hipertensi
>180
≥ 110
Isolated
sistolik ≥ 140
< 90
hipertensi Sub group: Borderline 140 – 149
< 90
Tabel 2.2. Klasifikasi menurut Tekanan Sistolik
Tekanan diastolic
The joint National (mmHg)
(mmHg)
Committee
on
17
Detection, Evaluation,
and
Treatment og High Blood
Preassure
(JNC-VI)
2003.
Kategori Normal
< 130
< 85
Normal tinggi
130 – 139
85 – 89
Tingkat 1
140 – 159
90 – 99
Tingkat 2
160 – 179
100 – 109
Tingkat 3
≥ 180
≥ 110
Hipertensi
2.2.4 Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi 2 yaitu : a. Hipertensi primer. Hipertensi primer merupakan tipe yang paling umum, yaitu hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopati (hipertensi tanpa kelainan dasar patologi yang jelas). Lebih dari 90% kasus merupakan hipertensi primer. Penyebabnya multifaktorial meliputi faktor genetik dan lingkungan.
18
b. Hipertensi sekunder. Jenis hipertensi yang penyebabnya dapat diketahui, antara lain kelainan pada pembuluh darah ginjal, gangguan kelenjar tiroid (Arif, 2005). 2.2.5 Faktor risiko Hipertensi dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu: a. Faktor risiko yang tidak dapat diubah 1) Umur Umur mempengaruhi terjadinya hipertensi. Dengan bertambahnya umur, risiko terkena hipertensi menjadi lebih besar sehingga prevalensi hipertensi di kalangan usia lanjut cukup tinggi, yaitu sekitar 40%, dengan kematian sekitar di atas 65 tahun pada usia lanjut. Sedangkan menurut WHO memakai tekanan diastolik sebagai bagian tekanan yang lebih tepat dipakai dalam menentukan ada tidaknya hipertensi. (Depkes RI, 2008). Prevalensi hipertensi di Indonesia pada golongan umur di bawah 40 tahun masih berada di bawah 10%, tetapi diatas umur 50 tahun angka tersebut terus meningkat mencapai 20% hingga 30%, sehingga ini sudah menjadi masalah serius untuk diperhatikan (Depkes RI, 2002). Penelitian yang dilakukan di 6 Kota besar seperti Jakarta, Padang, Bandung, Yogyakarta, Denpasar, dan Makasar terhadap usia lanjut (55-85 tahun), didapatakan prevalensi hipertensi sebesar 52.5% (Depkes RI, 2008). 2) Jenis kelamin Faktor jenis kelamin berpengaruh pada terjadinya hipertensi, dimana pria lebih banyak menderita hipertensi di bandingkan dengan perempuan, dengan rasio sekitar 19
2,29% untuk peningkatan tekanan darah sistolik. Pria di duga memiliki gaya hidup yang cenderung dapat meningkatkan tekanan darah dibandingkan dengan perempuan. Namun, setelah memasuki menopause, prevalensi hipertensi pada perempuan meningkat. Bahkan setelah usia 65 tahun, terjadinya hipertensi pada perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan pria yang diakibatkan oleh faktor hormonal karena pada wanita yang belum mengalami menopause dilindungi hormon estrogen yang berperan dalam meningkatkan kadar HDL. Kadar kolesterol HDL yang tinggi merupakan faktor pelindung dalam mencegah terjadinya proses aterosklerosis. Penelitian di Indonesia prevalensi yang lebih tinggi terdapat pada wanita (Depkes, 2008). 3) Keturunan (genetik) Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi (faktor keturunan) yang mempertinggi risiko (esensial). Tentunya faktor genetik ini juga dipengaruhi faktorfaktor lingkungan lain, yang kemudian menyebabkan seseorang menderita hipertensi. Faktor genetik juga berkaitan dengan metabolisme pengaturan garam dan renin membran sel. Menurut Davidson bila kedua orang tuanya menderita hipertensi maka sekitar 45% akan turun ke anak-anaknya dan bila salah satu orang tuanya yang menderita hipertensi maka sekitar 30% akan turun ke anak-anaknya (Depkes, 2008). b. Faktor risiko yang dapat diubah Faktor risiko yang diakibatkan perilaku tidak sehat dari pasien hipertensi antara lain: 1) Obesitas Kegemukan (obesitas) adalah persentase abnormalitas lemak yang di nyatakan dengan Indeks Masa Tubuh (IMT) yaitu perbandingan antara berat badan dengan 20
tinggi badan kuadrat dalam meter (Caplan dan stamle, 1991) berkaitan erat antara kelebihan berat badan dan kenaikan tekanan darah telah dilaporkan oleh beberapa studi. Berat badan dan indeks masa tubuh (IMT) berkorelasi langsung dengan tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik. Obesitas bukanlah penyebab hipertensi. Akan tetapi prevalaensi hipertensi pada obesitas jauh lebih besar. Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang-orang gemuk 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang badannya normal, sedangkan pada pasien hipertensi ditemukan sekitar 20-33% memiliki berat badan lebih (over weight). Penentuan obesitas pada orang dewasa dapat dilakukan pengukuran berat badan ideal, pengukuran persentase lemak tubuh dan pengukuran IMT.
21
Tabel 2.3 Klasifikasi Indeks Massa Tubuh (IMT) Menurut
WHO IMT ( kg/m2 )
Klasifikasi Kurus tingkat berat
< 16
Kurus tingkat ringan
16,00 - 16,99
Kurus ringan
17,00 - 18,40
Normal
18,50 – 24,99
Obesitas tingkat I
25,00 – 29,99
Obesitas tingkat II
30,00 - 39,99
Obesitas tingkat III
40
Sumber: WHO Exper Committee, 1996
2) Merokok Merokok merupakan salah satu faktor risiko yang kuat untuk terjadinya kematian akibat kardiovaskuler, dan penelitian telah menunjukan bahwa penghentian merokok dapat mencegah terjadinya penyakit kardiovaskuler seperti stroke dan infrak miokard. Telah terbukti bahwa dengan mengkonsumsi satu batang rokok dapat terjadi peningkatan denyut jantung dan tekanan darah selama 15 menit. Hal ini disebabkan oleh peningkatan kadar katekolamin dalam plasma, yang kemudian menstimulasi sistem syaraf simpatik (Sani, 2008).
22
3) Stress Stress atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, rasa marah, dendam, rasa takut, rasa bersalah) dapat merangsang kelenjar anak ginjal melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta lebih kuat, sehingga tekanan darah akan meningkat. Jika stress berlangsung lama, tubuh akan berusaha mengadakan penyesuaian sehingga timbul perubahan patologis. Gejala yang muncul dapat berupa hipertensi atau penyakit maag. Diperkirakan, prevalensi atau kejadian hipertensi pada kulit hitam di Amerika Serikat lebih tinggi dibandingkan dengan orang kulit putih disebabkan stress atau rasa tidak puas orang kulit hitam. Stress adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh adanya transaksi antara individu dengan lingkungannya yang mendorong seseorang untuk mempersepsikan adanya perbedaan antara tuntutan situasi dan sumber daya (biologis, psikologi, dan sosial) yang ada pada diri seseorang (Damayanti, 2003). Peningkatan darah akan lebih besar pada individu yang mempunyai kecenderungan stress emosional yang tinggi (Pinzon, 1999). Sedangkan dalam penelitian Framingham dalam Yusida tahun 2001 bahwa bagi perempuan berusia 4564 tahun, sejumlah faktor psikososial seperti ketegangan, ketidakcocokan perkawinan, tekanan ekonomi, stress harian, gejala ansietas dan kemarahan yang terpendam didapatkan bahwa hal tersebut berhubungan dengan peningkatan tekanan darah (Depkes, 2008).
23
4) Konsumsi Alkohol berlebihan Pengaruh alkohol terhadap kenaikan tekanan darah telah dibuktikan. Peningkatan kadar kortisol, dan peningkatan volume sel darah merah serta kekentalan darah berperan dalam menaikan tekanan darah. Beberapa studi menunjukan hubungan langsung antara tekanan darah dan asupan alkohol sekitar 2-3 gelas ukuran standar setiap harinya. Di negara barat seperti Amerika, konsumsi alkohol yang berlebihan berpengaruh terhadap terjadinya hipertensi. Sekitar 10% hipertensi di Amerika disebabkan oleh asupan alkohol yang berlebihan dikalangan pria separuh baya. Akibatnya, kebiasaan meminum alkohol ini menyebabkan hipertensi sekunder di kelompok ini (Depkes, 2008). 5) Konsumsi garam berlebihan Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh karena menarik cairan di luar sel agar tidak dikeluarkan, sehingga akan meningkatkan volume dan tekanan darah. Pada sekitar 60% kasus hipertensi primer (esensial) terjadi respon penurunan tekanan darah dengan mengurangi asupan garam. Pada masyarakat yang mengkonsumsi garam 3 gram atau kurang, ditemukan tekanan darah rata-rata rendah, sedangkan pada masyarakat asupan garam sekitar 7-8 gram tekanan darah rata-rata lebih tinggi (Depkes, 2008). 2.2.6 Manisfestasi Klinis Tingginya tekanan darah kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala. Bila demikian gejala baru muncul setelah terjadinya komplikasi pada ginjal, mata, otak dan jantung. Gejala lain yang sering ditemukan adalah sakit kepala, marah, telinga 24
berdengung, rasa berat ditengkuk, sukar tidur, mata berkunang-kunang dan pusing (Arif, 2005). 2.2.7 Komplikasi hipertensi a. Stroke dapat timbul akibat perdarahan tekanan tinggi di otak, atau akibat embolus yang terlepas dari pembuluh non-otak yang terkena tekanan darah. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang memperdarahi otak mengalami hipertrofi dan menebal, sehingga aliran darah ke daerah-daerah yang dipendarahinya berkurang. Arteri-arteri otak yang mengalami arterosklerosis dapat melemah sehingga meningkatkan kemungkinan terbentuknya aneurisma (suatu dilatasi dinding arteri, akibat kongenital atau perkembangan yang lemah pada dinding pembuluh). b. Dapat terjadi infrak miokardium apabila arteri koroner yang aterosklerotik tidak menyuplai cukup oksigen ke miokardium atau apabila terbentuk thrombus yang menghambat aliran darah melalui pembuluh tersebut. c. Dapat terjadi gagal ginjal karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi pada kapiler-kapiler ginjal, glomelurus. Dengan rusaknya glomelurus, darah akan mengalir ke unit-unit fungsional ginjal, nefron akan terganggu dan dapat berlanjut menjadi hipoksik dan kematian. Dengan rusaknya membran glomelurus, protein akan keluar melalui urin sehingga tekanan osmotik koloid plasma berkurang, menyebabkan edema. d. Ensefalopati (kerusakan otak) dapat terjadi, terutama pada hipertensi maligna (hipertensi yang meningkat cepat). Tekanan yang sangat tinggi pada kelainan ini 25
menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan mendorong cairan ke dalam ruang interstisium di seluruh susunan saraf pusat. Neuron-neuron di sekitarnya kolaps dan terjadi koma serta kematian (Corwin, 2001). 2.2.8 Penatalaksanaan Hipertensi a. Terapi Farmakologi 1) Diuretik Obat-obatan jenis diuretik dengan cara mengeluarkan cairan tubuh (lewat kencing) sehingga volume cairan ditubuh berkurang yang mengakibtkan daya pompa jantung menjadi ringan. Contoh obat-obatan yang termasuk golongan diuretik adalah Hidroklorotiazid. 2) Penghambat simpatis Golongan obat ini bekerja dengan menghambat aktivitas saraf simpatis (saraf yang bekerja pada saat kita beraktivitas). Contoh obat yang termasuk dalam golongan penghambat simpatetik adalah: Metildopa, Klonidin dan Reserpin). 3) Betabloker Mekanisme kerja antihipertensi obat ini adalah melalui penurunan daya pompa jantung. Jenis beta bloker tidak dianjurkan pada pasien yang telah diketahui mengidap gangguan pernapasan seperti asma bronkial. Contoh obat-obatan yang termasuk dalam golongan beta bloker adalah: Metoprolol, Propanolol dan Atenolol.
26
4) Vasodilator Obat golongn ini bekerja langsung pada pembuluh darah dengan relaksasi otot polos (otot pembuluh darah). Yang termasuk dalam golongan ini adala: Prasosion, Hidralasin. 5) Penghambat enzim konversi Angiotension Cara kerja obat golongan ini adalah menghambat pembentukan Angiotnsion II (zat yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah). Contoh obat yang termasuk golongan ini adalah Catopril. 6) Angiotension Kalsium Golongan obat ini menurunkan daya pompa jantung dengan cara menghambat kontraksi jantung (kontraktilitas). Yang termasuk golongan obat ini adalah Nifedipin, Diltiasem, dan Verapamil. 7) Penghambat Reseptor Angiotensin II Cara kerja obat ini adalah dengan menghalangi penempelan zat angiotension II pada reseptornya yang mengakibatkan ringannya daya pompa jantung. Obat-obatan yang termasuk dalam golongan ini adalah Valsartan (Diovan) (Depkes, 2008). b. Terapi Non Farmakologi 1) Mengubah gaya hidup untuk menurunkan tekanan darah dengan menghindari faktor hipertensi yang berkaitan dengan mengurangi makan-makan yang mengandung garam, makan buah-buahan segar dan perilaku sehat dengan cara olahraga. 2) Penurunan berat badan karena kenaikan tekanan darah berkaitan dengan peningkatan berat badan. Akumulasi lemak dalam tubuh dan perut berkaitan erat 27
dengan hipertensi, hiperipidemia, dan diabetes. Berdasarkan penelitian dengan menurunkan berat badan terbukti dapat menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi sampai tekanan darahnya normal setelah 18 bulan, penurunan berat badan rata-rata pria dan perempuan 4,7 kg dan 1,6 kg. Penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik ialah 3,2/2,8 mmhg. 3) Pengurangi asupan alkohol. Minum-minuman keras secara teratur dapat meningkatkan tekanan darah, pengurangan asupan alkohol selama 1-4 minggu dapat menurunka tekanan darah sistolik dan diastolik sebesar 5,0/3,0 mmHg (Depkes, 2008). 4) Peningkatan gerakan tubuh. Olahraga secara teratur dapat bermanfaat untuk mencegah dan menanggualangi hipertensi. Orang yang tekanan darahnya normal tetapi tdak melakukan aktivitas atau olahraga mempunyai risiko 20-50% lebih tinggi terkena hipertensi dari pada orang yang aktif. Olahraga dapat menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik 5-10 mmHg (ITB-WHO, 2001). 5) Berhenti merokok karena berdasarkan penelitian menunjukan bahwa penghentian merokok dapat mencegah terjadinya penyakit kardiovaskuler seperti stroke dan infrak miokard. Telah terbukti bahwa dengan mengkonsumsi satu batang rokok dapat terjadi peningkatan denyut jantung dan tekanan darah selama 15 menit. Hal ini disebabkan oleh peningkatan kadar katekolamin dalam plasma yang kemudian menstimulasi saraf simpatik (Aulia, 2008)
28
BAB III METODE PENELITIAN 4.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Pukesmas Pagesangan Kota Mataram. Penelitian ini dilakukan mulai Desember - Januari 2019. 4.2 Rancangan Penelitian Penelitian ini
menggunakan
rancangan
deskriptif
cross-sectional
untuk
mengetahui tentang gambaran tingkat kepatuhan berobat pada pasien hipertensi serta faktor yang mempengaruhinya di wilayah kerja Pukesmas Pagesangan Kota Mataram. 4.3 Populasi Penelitian Populasi penelitian ini adalah semua pasien hipertensi yang datang berobat ke Pukesmas Pagesangan Kota Mataram, dalam kurun waktu Oktober-November 2018. 4.4 Besar dan Cara Pengambilan Sampel 4.4.1
Besar Sampel
Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Z pq d2 2
n
n
: besar sampel
Zα : 1,96 (α=0,05) p
: 32,7%
q
: 1-p 29
d
: 10% (penyimpangan absolut)
f
: 10% (perkiraan drop out)
Jadi: n =
(1,96)2 0,327 0,637 10%2
= 84,54 Karena jumlah populasi terbatas (<10.000), maka dilakukan koreksi dengan rumus : 𝑛𝐾 =
𝑛 𝑛 1+ 𝑁
Dengan N= 95 dan n= 84,54, maka didapatkan : 𝑛𝐾 =
84,54 1+
= 44,73 ~ 45 orang
84,54 95
Dari hasil perhitungan berdasarkan angka-angka tersebut di atas, diperoleh sampel minimal sebesar 45 orang. Pada pelaksanaan penelitian, peneliti mengambil total sampel sebesar 45 orang. 4.4.2
Cara pengambilan sampel
Sampel dalam penelitian ini yaitu semua pasien yang datang melakukan kontrol ulang tekanan darahnya di Pukesmas Pagesangan Kota Mataram. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah nonprobability sampling dengan cara accidental sampling. Peneliti menggunakan semua pasien hipertensi yang sedang dalam pengobatan antihipertensi yang datang ke Pukesmas Pagesangan Kota Mataram. teknik ini digunakan karena data rekam medis yang tersedia di puskesmas tidak 30
mencantumkan alamat lengkap pasien, hanya nama desa saja. Selain itu, cakupan wilayah kerja Puskesmas Kintamani cukup luas dan akses ke beberapa desa sulit, sehingga peneliti memilih metode accidental sampling. 4.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 4.5.1
Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi dari penelitian ini adalah: 1. Pasien dengan tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau diastolik ≥ 90 mmHg 2. Pasien yang sedang menerima terapi antihipertensi 4.5.2
Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah : 1. Sampel terpilih tidak bisa melakukan wawancara karena menderita penyakit tertentu seperti kelainan mental. 2. Sampel terpilih yang berdomisili di daerah lain. 4.6 Responden Penelitian Responden dalam penelitian ini adalah semua sampel yang terpilih dan memenuhi kriteria inklusi. Responden diwawancarai di Pukesmas Pagesangan Kota Mataram untuk menjawab kuesioner yang telah disiapkan. 4.7 Variabel penelitian 1. Jenis Kelamin 2. Umur 3. Alamat 4. Tingkat pendidikan 31
5. Pekerjaan 6. Pendapatan 7. Diagnosis hipertensi 8. Kepatuhan 4.8 Definisi Operasional Variabel 1. Jenis kelamin Jenis kelamin responden sesuai dengan kategori yang telah disediakan. Jenis kelamin dikelompokkan menjadi laki-laki dan perempuan. 2. Umur Usia yang ditanyakan pada responden/berdasarkan KTP dan dinyatakan dalam tahun. 3. Alamat Alamat tempat tinggal yang ditanyakan pada responden/berdasarkan KTP. 4. Tingkat pendidikan Responden dapat berasal dari berbagai tingkat pedidikan yang dikategorikan sebagai berikut: -
Tingkat pendidikan rendah
: tidak sekolah, lulusan SD, SMP
-
Tingkat pendidikan sedang
: lulusan SMA
-
Tingkat pendidikan tinggi
: lulusan universitas
5. Pekerjaan Pekerjaan yang dilakukan responden saat ini untuk mendapatkan penghasilan. Pekerjaan yang ditanyakan pada responden, dikelompokkan menjadi pegawai 32
negeri, pegawai swasta, wiraswasta/dagang, petani, buruh, tidak bekerja, dan pekerjaan lainnya. Yang digolongkan tidak bekerja disini adalah pensiunan, ibu rumah tangga, dan penganguran. 6. Pendapatan Klasifikasi pendapatan -
Rendah
-
Sedang rendah
-
Sedang tinggi
-
Tinggi
7. Diagnosis hipertensi Diagnosis hipertensi didasarkan pada hasil pemeriksaan tekanan darah menggunakan sphygmomanometer air raksa merk Riester dan stetoskop merk Littmann. Diagnosis dan stadium hipertensi yang didapatkan dari hasil pengukuran tekanan darah berdasarkan JNC VII tahun 2004, dengan criteria sebagai berikut: -
Prahipertensi bila tekanan sistolik 120-139 mmHg, atau tekanan diastolik 8089 mmHg.
-
Hipertensi stadium satu bila tekanan sistolik 140-159 mmHg, atau tekanan diastolik 90-99 mmHg.
-
Hipertensi stadium dua bila tekanan sistolik ≥ 160mmHg, atau tekanan diastolik ≥ 100 mmHg.
33
8. Kepatuhan Tingkat kepatuhan berobat pasien dengan terapi obat antihipertensi selama enam bulan terakhir, dikategorikan sebagai berikut: -
Patuh
: proporsi obat yang diminum ≥ 80%
-
Tidak patuh
: proporsi obat yang diminum < 80%
4.9 Alat Pengumpul Data Pengumpulan data dilakukan cara wawancara menggunakan kuesioner yang berisi pertanyaan-pertanyaan sesuai dengan variabel-variabel yang diteliliti kepada responden. Pertanyaan dalam kuesioner mudah dimengerti oleh responden sehingga kuesioner tersebut dapat digunakan sebagai instrumen pada penelitian ini. 4.10 Prosedur Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan wawancara pada setiap pasien hipertensi yang sedang dalam terapi obat antihipertensi yang datang kontrol ke Pukesmas
Pagesangan
Kota
Mataram.
Wawancara
dilakukan
berdasarkan
pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner dan dilakukan hingga jumlah sampel yang diinginkan terpenuhi. 4.11 Analisis data Data yang diperoleh kemudian diolah dengan bantuan komputer menggunakan perangkat lunak komputer, kemudian data tersebut dianalisa secara deskriptif kuantitatif.
34
4.11.1 Analisis Univariat Merupakan analisis yang dilakukan terhadap tiap variabel dalam hasil penelitian. Pada umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi persentase dari tiap-tiap variabel. Hasil analisis univariat akan disajikan dalam bentuk tabel dan narasi. Data yang dianalisis secara univariat adalah karakteristik demografis pasien meliputi jenis kelamin, kelompok umur, alamat, pekerjaan, dan pendapatan rata-rata per bulan; status hipertensi; karakteristik responden berdasarkan variabel yang berhubungan dengan kepatuhan meliputi durasi hipertensi, waktu terakhir kontrol, lokasi kontrol, jumlah jenis obat, dan alasan datang kontrol; kategori patuh minum obat dan status kepatuhan responden; serta strategi dan kendala yang dialami dalam menjaga kepatuhan minum obat. 4.11.2 Analisis Bivariat Merupakan analisis yang dilakukan terhadap beberapa variabel dalam hasil penelitian. Analisis dilakukan dengan menggunakan tabulasi silang antara dua variabel yang relevan. Data yang dianalisis secara bivariat adalah kelompok umur, alamat, pekerjaan, pendapatan rata-rata per bulan, status tekanan darah, durasi hipertensi, dan jumlah jenis obat, yang disilangkan dengan status kepatuhan responden.
35
DAFTAR PUSTAKA Amir, Amri. 2012. Bunga Rampai HukumKesehatan. Widya Medika: Jakarta. Asmadi. 2008. Konsep Dasar Keperawatan. EGC: Jakarta. Azwar. 2010. Sikap Manusia dan Pengukurannya. PT. Rineka Cipta: Jakarta. Bart, Smet. 2008. Psikologi Kesehatan. PTGrasindo: Jakarta. Bughman,Diane C. 2010. Keperawatan Medikal Bedah.EGC: Jakarta. Brunier, M.dkk.2011. Electronic Compliance Monitoring in Resistant Hipertension: the Basic for Rational therapeutic Decisions. Journal of Hypertension. Buabeng KO. Unaffordable Drug Price : The Major Cause of noncompliance with Hypertension Medication in Ghana. Journal Pharmacy Pharmacent Science. 2008; 3 p. 350-352. Budianto, Agus dan Ingrid, Gwendoyln. 2011. Aspek Jasa Pelayanan Kesehatan Dalam Perspektif Perlindungan Pasien. Bandung: Karya Putra Darwati. Candra,
2012.
Hipertensi
terkontrol,
cegah
kerusakan
ginjal.
Https://naturindonesia.com/index.php/artikel-berbagai-penyakitdegeneratif/462-hipertensi-terkontrol-cegah-kerusakan-ginjal.Diakses pada tanggal 1 Desember 2018 pukul 09.30 WITA. Carpenito, LJ. 2009. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. EGC: Jakarta. Dahlan, Sopiyudin. 2008. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan, Edisi 3. Salemba Medika: Jakarta. Dinas Kesehatan, Lombok Barat. 2015. Profil Kesehatan Lombok Barat. Lombok Barat. Tabel: 24.
36
Departeme Kesehatan, RI. 2006. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Hipertensi. Jakarta:Direktoral Jendral Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Departemen Keshatan RI. Halaman: 3-7, 14, 16 Dewi, Sofia & familia, Digi. 2010. Hidup Bahagia Dengan Hipertensi A Plus Book: Jogjakarta. Gunawan, Lany. 2011. Hipertensi Tekanan Darah Tinggi. Penerbit Kansius: Yogyakarta. Kozier, Erb. dkk. 2010. Buku Ajar Fundamental Keperawatan, Konsep, Proses, & Praktik, Volume: 1, Edisi: 7. EGC: Jakarta.
37