Bab I Dpr Mpr Revisi.docx

  • Uploaded by: friska anja
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab I Dpr Mpr Revisi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,288
  • Pages: 16
UNIVERSITAS INDONESIA

“Upaya Pengendalian Defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) BPJS Kesehatan. ”

Disusun untuk memenuhi tugas kelompok pada Mata Ajar Kepemimpinan & Kebijakan Pelayanan Keperawatan

Dosen Pengampu MA : Agustin Indracahyani, Ns. Skep.MS

AZIS FAHRUZI

1806256162

FRISKA

1806170473

R. TOTONG ISKANDAR

1706128306

SRI HERNI WIGIARTI

1806170896

VERONIKA

1806170971

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN KEPEMIMPINAN DAN MANAJEMEN KEPERAWATAN DEPOK OKTOBER 2018

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh emerintah yang berorientasi pada tujuan tertentu guna memecahkan masalah-masalah publik ataau demi kepentingan publik (Rusli, 2013) Selain itu, kebijakan publik juga didefinisikan sebagai suatu arahan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu sehingga menggerakkan seluruh sektor atau perangkat pemerintahan dan menciptakan perubahan pada kehidupan yang terkena dampak dari kebijakan tersebut (Ayuningtyas, 2014). Berdasarkan pengertian dari beberapa definisi di atas, maka dapat dipahami bahwa kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang dilakukan atau tidak dilakukan pemerintah untuk memecahkan masalah publik demi terwujudnya kepentingan publik atau masyaarakat yang terkenaa dampak kebijakan. Masalah yang menyangkut urusan orang banyak disebut masalah publik. Anderson mendefinisikan masalah publik sebagai suatu kondisi atau situasi yang menimbulkan kebutuhan atau rasa tidak puas masyarakat yang perlu diatasi (Anderson dalam Lester dan Stewart, 2000). Ada pula pengertian lain, yaitu masalah publik merupakan kondisi yang menghasilkan ketidakpuasan atau kepentingan rakyat yang perlu dicari penanggulangannya (Smith dalam Islamy, 2004). Bila ada suatu masalah publik yang terjadi yang mengakibatkan ketidakpuasan pada masyarakat, maka pemerintah diharapkan dapat menyikapinya dan menetapkan masalah tersebut apakah perlu ditindaklanjuti atau tidak. Pemerintah melakukan proses penyeleksian isu atau masalah yang akan ditindaklanjuti sebagai agenda seting dalam formulasi kebijakan. Tidak semua masalah publik pada akhirnya dapat menjadi isu kebijakan. Tahap ini sangat penting dalam proses kebijakan publik dan dikenal sebagai tahap penentuan agenda (agenda seting). Pengertian agenda seting menurut beberapa ahli, anatara lain daftar massalah yang membutuhkan perhataian serius dari anggota-anggota pemerintah dalam waktu yang ditentukan (Kingdon, 1995). Sementara itu, Barbara Nelson (dalam Lester dan Stewart, 2000), mendefinisikan agenda seting adalah

aktivitas

pemerintah

dalam

mempelajari

masalah-masalah

baru,

memutuskan untuk memberikan perhatian dan memobilisasi organisasi untuk meresponnya. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mulai diberlakukan sejak januari 2014 sebagai badan hukum publik yang bertugas menyelenggarakan bantuan jaminan sosial dalam bidang kesehatan. Dari struktur perusahaan, BPJS merupakan bagian dari ASKES, dimana fungsinya adalah melayani bantuan sosial kesehatan layaknya asuransi kesehatan dari pemerintan. Berdasarkan Peta Jalan JKN dan Perpres Nomor 12 tahun 2013, BPJS Kesehatan mengklasifikasi penggunanyavke dalam dua kategori besar, yaitu BPJS Non Penerima Bantuan Iuran (Non-PBI) merupakan golonngan masyarakat mampu yang bisa membayar premi secara mandiri, dan BPJS Penerima Bantuan Iuran, merupakan golongan masyarakat tidak mampu yang preminya dibayarkan oleh negara. Seiring berjalannya waktu, BPJS mengalami defisit keuangan, disebutkan bahwa defisit keuanngan BPJS dimulai pada tahun pertama, yaitu Rp 3,3 triliun dan defisitnya makin membengkak menyentuh Rp 5,7 triliun pada tahun 2015. Selanjutnya menjadi Rp 9,7 triliun pada tahun 2016 dan Rp 9,75 triliun pada tahun 2017. Untuk tahun ini, defisit diproyeksikan mencapai 16,5 triliun, setelah dikoreksi hanya Rp 10,98 triliun berdasarkan perhitungan dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Fenomena tentang keuangan BPJS yang makin defisit, menjadi sorotan pemerintah, dan Komisi DPR RI Komisi IX mendesak BPJS Kesehatan segera menindaklanjuti amar putusan Mahkamah Agung (MA) yang mencabut Peraturan Direktur jaminan Pelayanan kesehatan Nomor 2 Tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Katarak dalam Program Jaminan Kesehatan, Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 3 Tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Persalinan dengan Bayi Lahir Sehat, dan Peraturan Direktur Jaminan pelayanan Kesehatan Nomor 5 Tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Rehabilitasi Medik, dengan segera membuat Peraturan Direksi BPJS Kesehatan tentang pencabutan setelah menerima putusan dari MA dan secara resmi mengirimkan ke seluruh fasilitas pelayanan kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.

Kebijakan publik penting diketahui oleh mahasiswa Program Magister Keperawatan untuk mengetahui sebuah kebijakan itu dibuat, agar kajian teoritis

dan ilmiah yang dilakukan dalam kelas menjadi lebih bermakna. Atas dasar inilah, dengan bimbingan Ibu Agustin Indracahyani, Ns. Skep, MS, mahasiswa S-2 Ilmu Keperawatan peminatan manajemen

mengadakan dua kali kunjungan dan

melakukan wawancara dengan Bapak Dede Yusuf Macan Effen, S. T, M.I, Pol, sebagai Ketua Komisi IX DPR RI periode 2014-2019 menyelesaikan rapat pada hari Kamis, 25 Oktober 2018 dan kunjungan kedua dilaksanakan pada tanggal 29 Oktober 2018. Dari hasil kunjungan ini, mendapatkan pengalaman dan pengetahuan dari pelaku pembuat kebijakan publik di bidang kesehatan. Dalam pertemuan kunjungan spesifik terkait pengawasan pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terkait adanya tiga perdirjampelkes BPJS Kesehatan yang telah dicabut MA di Gedung Nusantara I, di Ruang Rapat Komisi IX DPR RI, dihadiri oleh beberapa stakeholder pada kunjungan pertama, dan pada kunjungan mahasiswa ke dua, Menteri Kesehatan Ibu Nilla F. Moeloek dan Direktur BPJS, Bpk Fachmi Idris menghadiri rapat.

1.2 Tujuan Kunjungan A. Tujuan Umum 1. Mengetahui bagaimana suatu kebijakan publik dibuat. 2. Mengetahui berbagai landasan, kepentingan dan alasan yang melandasi suatu kebijakan. B. Tujuan Khusus 1. Sebagai agenda perkuliahan mata kuliah Kepemimpinan dan Kebijakan Pelayanan Keperawatan 2. Sebagai sarana berkomunikasi dan mengaplikasikan hasil diskusi saat perkuliahan Kepemimpinan dan Kebijakan Pelayanan Keperawatan 3. Sebagai sarana memperkenalkan mahasiswa FIK UI Program Manajemen mengikuti proses dalam pembuatan kebijakan publik.

1.3 Manfaat Kunjungan Kunjungan ke DPR RI ini memiliki manfaat yang besar bagi mahasiswa dan bagi Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Peminatan Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan FIK UI. Manfaatnya adalah sebagai berikut:

A. Bagi Mahasiswa 1. Mendapatkan pengayaan informasi kepada

mahasiswa dalam proses

pembuatan kebijakan publik. 2. Mendapatkan berbagai macam informasi secara aktual dan fenomena yang terkait dengan informasi pembuatan kebijakan publik. 3. Mendapatkan pengalaman langsung saat pertimbangan-pertimbangan dalam pembuatan kebijakan publik. B. Bagi Program Magister Manajemen Keperawatan 1. Mendapatkan pengayaan informasi tentang kebijakan-kebijakan negara di Bidang Kesehatan dalam hal ini pembahasan tentang Jaminan Kesehatan Nasional. 2. Pemutakhiran kajian dan teori kebijakan publik.

1.4 Pelaksanaan Kunjungan Kegiatan ini dilaksanakan pada hari Kamis 25 Oktober 2018 dan hari Selasa, 29 Oktober 2018, kedua kunjungan tersebut dimulai pukul 14.00 WIB hingga 18.00 WIB bertempat di Ruang Sidang Komisi IX, Gedung Nusantara I, DPR RI, Jalan Senayan, Jakarta Pusat. Peserta kunjungan terdiri atas 11 mahasiswa Program Magister Manajemen Keperawatan, dibimbing oleh Ibu Agustin Indracahyani, Ns. Skep, MS. Peserta tiba di gedung DPR RI pada pukul 13.00 WIB, dilanjutkan dengan pengurusan administrasi dan kelengkapan. Peserta menuju ke balkon yang berada di sekitar ruang rapat Komisi IX. Rapat dipimpin oleh Bapak Dede Yusuf sebagai Ketua Komisi IX DPR RI periode 2014-2019. pada pukul 14.15 WIB. Mahasiswa mengikuti proses persidangan hingga pukul 18.00 WIB. Setelah rapat selesai, mahasiswa diberi kesempatan bertemu dengan Bapak Dede Yusuf dan ada sesi tanya jawab yang dilakukan di lantai 1 Ruang Rapat Komisi IX. Kegiatan berikutnya adalah foto bersama dan mahasiswa meninggalkan Gedung MPR/DPR RI .

BAB II KAJIAN TEORI

A. Konsep Kebijakan Publik 1. Pengertian Kebijakan Kebijakan dapat didefinisikan sebagai serangkaian rencana program, aktivitas, aksi, keputusan, sikap, untuk bertindak maupun tidak bertindak yang dilakukan oleh para pihak (aktor-aktor), sebagai tahapan untuk penyelesaian masalah yang dihadapi. Penetapan kebijakan merupakan suatu faktor penting bagi organisasi untuk mencapai tujuannya (Iskandar, 2012). Menurut Woll (1966) mengungkapkan bahwa Kebijakan publik adalah sejumlah sebuah kegiatan pemerintah dalam memecahkan suatu masalah dalam masyarakat, baik secara langsung ataupun melalui berbagai suatu lembaga yang dipengaruhi sebuah kehidupan masyarakat. Carl J. Federick sebagaimana dikutip Leo Agustino (2008: 7) mendefinisikan kebijakan sebagai serangkaian tindakan/kegiatan yang diusulkan seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu di mana terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan) dan kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijaksanaan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Solichin Abdul Wahab mengemukakan bahwa istilah kebijakan sendiri masih menjadi silang pendapat dan merupakan ajang perdebatan para ahli. Maka untuk memahami istilah kebijakan, Solichin Abdul Wahab (2008: 40-50) memberikan beberapa pedoman sebagai berikut: a. Kebijakan harus dibedakan dari keputusan; b. Kebijakan sebenarnya tidak serta merta dapat dibedakan dari administrasi c. Kebijakan mencakup perilaku dan harapan-harapan; d. Kebijakan mencakup ketiadaan tindakan ataupun adanya tindakan; e. Kebijakan biasanya mempunyai hasil akhir yang akan dicapai; f. Setiap kebijakan memiliki tujuan atau sasaran tertentu baik eksplisit maupun implisit; g. Kebijakan muncul dari suatu proses yang berlangsung sepanjang waktu; h. Kebijakan meliputi hubungan-hubungan yang bersifat antar-organisasi dan yang bersifat intra organisasi; i. Kebijakan publik meski tidak ekslusif menyangkut peran kunci lembaga-lembaga pemerintah; dan

j. Kebijakan itu dirumuskan atau didefinisikan secara subyektif

2. Proses Pengembangan Kebijakan Proses pengembangan kebijakan berlangsung sebagai sebuah siklus kebijakan yang dimulai dari pengaturan agenda (agenda setting) dengan penetapan atau pendefinisian masalah public yang signifikan dan mengundang perhatian masyarakat luas (public concern) karena besarnya tingkat kepentingan yang belum terpenuhi (degree of unmeet need) sehingga memunculkan tindakan pemerintah. Proses pembuatan atau formulasi kebijakan merupakan satu tahapan penting dalam pengembangan kebijakan. Seluruh rangkaian tersebut tergambar di bawah ini :

Diagram siklus kebijakan (Proses pengembangan Kebijakan) (Texas Politics, 2009) Berikut ini penjelasan siklus penyusunan atau pengembangan kebijakan : 1. Agenda setting/ Pembuatan Agenda Sebagai respons terhadap permasalahan public, mesin legislative dan birokrasi pemerintah dpat bergerak dan terlibat dalam proses formulasi adopsi, dan implementasi kebijakan, termasuk turut berperan untuk mengatasi masalah yang

muncul selama proses penyususnan kebijakan. Keterlibatan actor, elite atau pemangku kepentingan dapat terus berlanjut pada tahap analisis efektivitas kebijakan, untuk menunjukkan kekurangan dalam formulasi maupun implementasi sehingga dapat menjadi usulan agenda baru kebijakan. Oleh karena itu, pembuatan agenda menempati urutan pertama dalam siklus pengembangan kebijakan (Ayuningtyas, 2015). Kingdon (1995) menjabarkan agenda setting pada pembuatan kebijakan public sebagai pertemua dari tiga “pilar pertimbangan” penting, yaitu : masalah (problems), solusi yang memungkinkan untuk masalah tersebut (possible solutions to the problems), dan keadaan politik (politic circumtances). Kebijakan kesehatan yang sekarang berlaku dalam bentuk hukum public seperti proteksi lingkungan, lisensi praktisi dan organisasi yang berhubungan dengan kesehatan, pendanaan penelitian untuk AIDS atau kesehatan wanita, dan regulasi yang berkaitan dengan farmasi, lahir karena munculnya masalah atau issu pada agenda setting sehingga memicu perubahan kebijakan dalam bentuk regulasi baru (Ayuningtyas, 2015). Agenda setting paling baik dipahami dari variable kuncinya, yaitu problems, possible solution, dan keadaan politik. Yang dimaksud dengan problems adalah permasalahan, termasuk masalah kesehatan, yang memicu atau mendesak terbentuknya suatu kebijakan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Possible solution mengarah pada penyelesaian terhadap banyaknya permasalahan yang kemungkinan besar mampu dilakukan pemerintah. Terkait keadaan politik, masalah public tidak pernah lepas dari pengaruh politik dalam penyusunan agenda setting pembuatan kebijakan sampai dengan implementasi kebijakan (Ayuningtyas, 2015). 2. Formulasi Kebijakan Proses formulasi kebijakan kesehatan secara umum memiliki tahapan-tahapan berikut: a. Pengaturan proses pengembangan kebijakan penggambaran permasalahan b. Penetapan sasaran dan tujuan c. Penetapan prioritas d. Perancangan kebijakan e. Penggambaran pilihan-pilihan f. Penilaian pilihan-pilihan g. Revisi kebijakan

h. Upaya untuk mendapatkan dukungan formal terhadap kebijakan yang sedang diajukan atau disusun. Oleh karena itu, formulasi kebijakan adalah suatu proses berulang-ulang yang melibatkan sebagian besar komponen dari siklus perencanaan (Htwe, 2006). Pentingnya tahapan formulasi kebijakan ditekankan oleh Easton (1965) yang mencoba merumuskan proses formulasi kebijakan bentuk yang sederhana sebagai berikut

(Easton’s

black

box);

Model Sistem Easton (1972)

Proses pembuatan kebijakan sebagai sebuah system yang merupakan kesatuan institusi dan proses yang terlibat dan memiliki otoritas dalam melakukan alokasi sumber daya maupun nilai-nilai dalam masyarakat. Dalam system tersebut terjadi aloksi nilai-nilai sesuai dengan alasan-alasan untuk melakukan alokasi sumber daya dan black box pembuatan kebijakan. Untuk mengubah tuntutan tersebut menjadi sebuah kebijakan, suatu system harus mampu mengatur dan memberlakukan penyelesaian-penyelesaian pertentangan atau konflik. Oleh karena itu, suatu system dibangun berdasarkan elemen-elemen yang mendukung system tersebut dan hal ini bergantung pada interaksi antar berbagai subsistem maka suatu system akan melindungi dirinya melalui tiga hal, yakni : a) Menghasilkan output yang secara layak memuaskan b) Menyandarkan pada ikatan-ikatan yang berakar dalam system itu sendiri, dan c) Menggunakan atau mengancam dengan menggunakan kekuatan (otoritas). Pada bagian input dalam pendekatan formulasi kebijakan sebagai sebuah system terdapat permintaan (demand), sumber daya (resource) dan dukungan (support). Demand dimunculkan oleh individu atau kelompok yang mencari kebijakan tertentu sesuai dengan yang mereka inginkan atau nilai-nilai yang mereka miliki. Demand

muncul ketika individu atau grup mengartikulasikannya melalui kelompok kepentingan atau partai politik untuk diketahui pemerintah. Resources membantu pemerintah merespons demand yang dibuat. Support mengacu pada dukungan yang disampaikan oleh mayoritas dalam sistem kesehatan, support tersebut dapat disimbolkan antara lain dari jejak pendapat nasional, kemauan membayar pajak, pengakuan terhadap pemerintah, serta tekanan untuk memperoleh keamanan (Ayuningtyas, 2015).

3. Pengadopsian kebijakan Adopsi kebijakan adalah sebuah proses untuk secara formal mengambil atau mengadopsi alternative solusi kebijakan yang ditetapkan sebagai sebuah regulasi atau produk kebijakan yang selanjutnya akan dilaksanakan. Pengadopsian kebijakan sangat ditentukan oleh rekomendasi yang antara lain berisikan informasi mengenai manfaat dan berbagai dampak yang mungkin terjadi dari berbagai alternative kebijakan yang telah disusun dan akan diimplementasikan (Ayuningtyas, 2015). Penerapan kebijakan baru, perubahan, perbaikan atau terminasi/ penarikan kebijakan yang sudah ada merupakan tanggung jawab dari pimpinan pembuat kebijakan Pengajuan kebijakan barum amandemen atau penarikan/ penghentian kebijakan yang sudah ada harus mendapat persetujuan dengan suara afirmatif dari mayoritas anggota keseluruhan pimpinan. Kecuali bila dinyatakan dengan lain, kebijakan baru atau amandemen kebijakan akan efektif pada saat pengadopsian oleh pimpinan dan akan menggantikan seluruh kebijakan sebelumnya didaerah tersebut (Olentangy, Local School District, 2011).

4. Pengimplementasian kebijakan Pengimplementasian merupakan cara agar kebijakan dapat mencapai tujuannya. Definisi implementasi menurut Dunn (2003) adalah pelaksanaan pengendalian aksiaksi kebijakan di dalam kurun waktu tertentu. Lester dan Stewart memandang implementasi secara luas sebagai pelaksanaan undang-undang atau kebijakan yang melibatkan seluruh actor, organisasi, prosedur, serta aspek teknik untuk meraih tujuan-tujuan kebijakan atau program-program (winarno, 2010). Ada dua alternative dalam implementasi kebijakan : mengimplementasikan dalam bentuk program atau membuat kebijakan turunannya (Hann, 2007)

Kesiapan implementasi sangat menentukan efektivitas dan keberhasilan sebuah kebijakan. Penyusunan kebijakam berbasis data atau bukti yang berpengaruh besar terhadap sukses-tidaknya implementasi kebijakan (Ayuningtyas, 2015). Oleh karena itu, keberadaan beberapa actor utama untuk menganalisis kesiapan, memasukkan hasil penelitian kebijakan sebagai pertimbangan implementasi kebijakan menjadi begitu penting. Diantaranya komite eksekutif badan formulasi kebijakan, dewan penelitian kesehatan/ medis, kementerian kesehatan, kementerian sains dan teknologi, dan konsorsium universitas. Akan menjadi menguntungkan bila seluruh hasil asasmen, analisis atau riset dapat terkoordinasi. Para actor utama ini juga perlu mengambil dan memilih tanggun jawab terhadap implementasi kebijakan sekaligus memantau kemajuan, mengevaluasi hasil, dan memastikan umpan balik untuk pembuat kebijakan serta mengenalkan aplikasi dari semua hasil penelitian yang berguna. Peran dan keterlibatan para peneliti, akademisi, organisasi profesi ikatan keahlian medis tertentu dalam mendampingi implementasi kebijakan.

5. Evaluasi Kebijakan Evaluasi kebijakan kesehatan merupakan penilaian terhadap keseluruhan tahapan dalam siklus kebijakan, utamanya ketika sebuah kebijakan yang disusun telah selesai diimplementasikan. Tujuannya adalah untuk melihat apakah kebijakan telah sukses mencapai tujuannya dan menilai sejauh mana keefektifan kebijakan dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak yang berkepentingan. Evaluasi merupakan salah satu mekanisme pengawasan kebijakan. Parameter yang umum digunakan adalah kesesuaian, relevansi, kecukupan, efisiensi, keefektifan, keadilan, respons, dan dampak. Kesesuaian evaluasi harusnya dikembangkan untuk mencakup tidak hanya proses, tetapi juga dampak jangka pendek dan jangka panjang dari sebuah kebijakan (Htwe, 2006).

3. Urgensi Pengembangan Kebijakan Secara umum pengembangan kebijakan dilakukan karena beberapa alasan sebagai berikut : a) Kebijakan yang ada msih bersifat terlalu umum b) Kebijakan yang ada sulit untuk diimplementasikan di lapangan c) Kebijakan yang sudah ada mengandung potensi konflik

d) Kebijakan

yang

ada

menemui

banyak

permasalahan

ketika

sudah

diimplementasikan atau dengan kata lain, ada kesenjangan kebijakan e) Adanya pengaruh factor eksternal, seperti situasi politik yang tidak stabil. Selain itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kebijakan, antara lain : a) Area yang mendapatkan pengaruh atau yang terkena pengaruh, termasuk siapa sajakah yang terkena pengaruh kebijakan, baik berupa kelompok sasaran kebijakan atau pemangku kepentingan lainnya. b) Tujuan atau hasil yang diharapkan c) Tindakan-tindakan yang telah dilakukan atau akan dilaksanakan, termasuk mekanisme legislasi, finansial, dan administrative pengembangan kebijakan. d) Elemen system politik, consensus adanya kesepakatan bersama antar pemangku kepentingan yang berpengaruh, aturan hukum, kompetisi antar berbagai kepentingan politik, dan good governance (tata kelola pemerintahan). Ketika implementasi sebuah kebijakan lama terkendala maka sebagai solusi kebijakan harus dikembangkan menjadi kebijakan yang baru. Contohnya adalah kebijakan jaminan pelayanan kesehatan yang terus berkembang mulai dari asuransi kesehatan yang hanya mengcover pegawai negeri sipil, Jamkesmas, Jamkesda hingga yang saat ubu diimplementasikan adalah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menuju cakupan semesta atau universal coverage, agar seluruh masyarakat memiliki jaminan pelayanan

kesehatan

yang

bermutu.

Pengembangan

kebijakan

harus

mempertimbangkan area, tujuan kebijakan dan tindakan kebijakan yang akan dan telah diambil serta memerhatikan kesemua elemen tersebut.

BAB III PEMBAHASAN

1. Analisis kebijakan Analisis kebijakan direktur BPJS untuk mengurangi deficit anggaran dengan mengurangi beberapa layanan katarak, fisioterapi dan bayi lahir sehat pada kasus section yang dianggap menyumbang deficit kepada BPJS merupakan langkah yang tepat,

menurut dumilah (2018) analisis

kebijakan

dilakukan

sebagai proses

mengkaji dan menjelaskan fenomena atau komponen kebijakan untuk kemudian menjadi dasar menentukan efektivitas dan efesiensi dari suatu kebijakan. Dalam hal ini pihak BPJS tidak sependapat dengan pemerintah karena hal tersebut melanggar undang – undang pasal 28 dan pasal 34. Metode analisis kebijakan retrospektif yaitu dengan menggunakan pengamatan pelaksanaan kebijakan BPJS berjalan periode 2016 -2017. Model pengembangan kebijakan adalah model Rasional dimana kebijakan dilahirkan untuk memberi manfaat yang maksimal untuk masyarakat, dimana kebijakan BPJS dibuat untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia terutama masyarakat miskin 2. Agenda seting Mennurut kingdom (1995) menjelaskan bahwa agenda setting pembuatan kebijakan public merupakan pertemuan dari tiga alur penentuan agenda yaitu masalah ( problem), solusi yang mungkin untuk masalah dan keadaan politik a. Masalah Deficit dana social JKN, struktur iuran perbulan sangat kecil perubahan kondisi epdemiologi dan perubahan geografi dan aging society pemanfaatan BPJS sangat meningkat 612.000 pemanfaatan /hari (2017) berdampak kekesehatan keuangan Rumah sakittarif yankes yang bermasalah sangat rendah b. solusi: 1. Audit medis secara berkala. Dalam rangka penataan ulang Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Komisi IX DPR RI meminta Pemerintah bersama dengan DJSN, sebagaimana fungsi DJSN yang tertuang dalam Pasal 7 UU No 40 Tahun 2004 tentang SJSN,

untuk

membuat Peta Jalan Restrukturisasi Sistem Program JKN dengan

mempertimbangkan masukan dari Anggota Komisi IX DPR RI dan seluruh pemangku kepentingan yang hadir hari ini, termasuk diantaranya: a. menetapkan manfaat pasti pelayanan JKN b. menaikkan iuran JKN c. menetapkan daftar tarif tertinggi pelayanan kesehatan sesuai nilai keekonomian d. membenahi tata kelola DJSN dan BPJS Kesehatan e. memanfaatkan data dan teknologi informasi f. mewujudkan kepesertaan wajib dan menegakkan kepatuhan dan membuat skema reward dan punishment g. memperbaiki keseimbangan utang dan piutang Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan Peta Jalan ini harus tersusun dan diimplementasikan secara bertahap dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) tahun. 2. Komisi IX DPR RI mendesak Pemerintah untuk melibatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk organisasi profesi, asosiasi rumah sakit, asosiasi fasilitas pelayanan kesehatan, industri farmasi dan komunitas pasien dalam penyusunan Peta Jalan Restrukturisasi Sistem Program JKN sebagaimana tersebut pada kesimpulan nomor 1.

3. Komisi IX DPR RI meminta Pemerintah untuk segera menerbitkan peraturan pelaksana dari Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan serta merevisi seluruh peraturan teknis terkait. Untuk itu, Komisi IX DPR RI meminta Pemerintah untuk senantiasa melibatkan seluruh pemangku kepentingan secara berkala sehingga ada harmonisasi dan sinkronisasi dalam penyusunannya serta sosialisasi dalam pelaksanaannya.

4. Terkait dengan upaya pengendalian defisit JKN, Komisi IX DPR RI mendesak Kementerian Kesehatan untuk: a. segera menerbitkan seluruh peraturan pelaksana UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan b. mempercepat terbitnya PP tentang Upaya Promotif, Preventif dan Rehabilitatif sebagai amanat UU No 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa untuk

menekan biaya upaya kuratif kesehatan jiwa sebagai salah satu penyakit kronik berbiaya tinggi c. merumuskan kebijakan terkait jaminan pelayanan kesehatan untuk penyakitpenyakit katastropik dengan tetap mengedepankan mutu dan manfaat pelayanan 5. Komisi IX DPR RI mendesak BPJS Kesehatan segera menindaklanjuti amar putusan Mahkamah Agung (MA) yang mencabut Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 2 Tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Katarak dalam Program Jaminan Kesehatan, Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 3 Tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Persalinan dengan Bayi Lahir Sehat, dan Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 5 Tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Rehabilitasi Medik, dengan segera membuat surat keputusan pencabutan dan secara resmi dikirimkan ke seluruh fasilitas pelayanan kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. 6. Komisi IX DPR RI meminta Kementerian Kesehatan RI, Kementerian Keuangan RI, DJSN dan BPJS Kesehatan untuk menyampaikan jawaban tertulis atas pertanyaan Anggota Komisi IX DPR RI paling lambat tanggal 9 November 2018.

c. Masalah politik tidak mempengaruhi dalam analisis kebijakan

BAB IV PENUTUP

Related Documents

Bab I Dpr Mpr.docx
April 2020 15
Mpr
November 2019 19
Mpr-2
June 2020 13
Mpr Project.docx
December 2019 25
Gbpp Mpr
October 2019 23

More Documents from ""

Lady Gaga.txt
April 2020 13
Bab Iv Sim Newss.docx
April 2020 15
Uji Dua Mean 2.ppt
December 2019 27
Bab I Dpr Mpr.docx
April 2020 15