BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Larutan adalah campuran homogen yang terdiri dari dua atau lebih zat. Zat
yang jumlahnya lebih sedikit didalam larutan disebut zat terlarut, sedangkan yang jumlahnya lebih banyak daripada zat lain yang ada didalam larutan disebut pelarut. Komposisi zat terlarut dan pelarut dalam larutan dinyatakan dalam konsentrasi larutan, sedangkan proses pencampuran zat terlarut dan pelarut membentuk larutan disebut pelarutan (Rara, 2008). Konsentrasi larutan menyatakan secara kuantitatif komposisi zat terlarut dan pelarut dalam larutan.Konsentrasi umumnya dinyatakan dalam perbandingan juml ah zat terlarut dengan jumlah pelarut. Contoh beberapa satuan konsentrasi dalam molar, molal, dan bagian perjuta. Sementara itu secara kualitatif komposisi larutan dapat dinyatakan sebagai encer (berkonsentrasi rendah) atau pekat (berkonsentrasi tinggi) (Ratih, 2010). Disolusi merupakan proses ketika suatu zat padat masuk ke dalam pelarut menghasilkan suatu larutan atau dengan kata lain proses saat zat padat melarut. Maka kecepatan disolusi dapat dinyatakan sebagai jumlah zat dalam bentuk padatan yang terlarut dalam pelarut tertentu sebagai fungsi dari waktu. Prinsip disolusi dikendalikan oleh afinitas antara zat padat dengan pelarut. Disolusi atau pelarutan didefinisikan sebagai proses melarutnya suatu zat dari sediaan padat dalam medium tertentu. Selain itu disolusi juga dikatakan sebagai hilangnya kohesi suatu padatan karena aksi dari cairan yang menghasilkan suatu dispersi homogen bentuk ion (dispersi molekuler) sedangkan kecepatan pelarutan atau laju pelarutan adalah kecepatan melarutnya zat kimia atau senyawa zat ke dalam medium tertentu dari suatu padatan (Rara, 2008). Tetapan laju disolusi merupakan suatu besaran yang menunjukkan jumlah bagian senyawa zat yang larut dalam media per satuan waktu. Uji disolusi yang diterapkan pada sediaan zat bertujuan untuk mengukur serta mengetahui jumlah zat aktif yang terlarut dalam media pelarut yang diketahui volumenya pada waktu dan suhu
tertentu,
menggunakan
alat
tertentu
yang didesain
untuk
uji parameter permukaan
disolusi. Tahap disolusi meliputi proses pelarutan zat pada partikel
padat
yang
membentuk
larutan
jenuh
di
sekeliling partikel yang dikenal sebagai lapisan diam (stagnant layer). Kemudian zat yang terlarut dalam lapisan diam ini berdifusi ke dalam pelarut dari daerah konsentrasi zat yang tinggi ke daerah konsentrasi zat yang rendah (Hadie, 2007). 1.2
Tujuan Percobaan
1.
Menentukan kecepatan disolusi suatu zat.
2.
Mempelajari pengaruh suhu dan kecepatan pengadukan terhadap disolusi suatu zat.
BAB II LANDASAN TEORI 2.1
Disolusi Pelepasan zat aktif sangat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia zat aktif dan
bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif biasanya ditetapkan oleh kecepatan pelepasan zat aktif dari bentuk ditentukan oleh kecepatan melarutnya dalam media sekelilingnya (Hadie, 2007). Disolusi didefinisikan sebagai zat proses dimana suatu zat padat dapat masuk ke dalam pelarut menghasilkan suatu larutan. Secara sederhana, disolusi merupakan proses dimana zat padat melarut secara prinsip dikendalikan oleh afinitas antara zat padat dan pelarut (Hadie, 2007). Karakteristik fisik sediaan, proses pembasahan sediaan kemapuan penetrasi media disolusi ke dalam sediaan, proses pengembang, proses integrasi dan degradasi. Sediaan merupakan sebagian dari faktor yang mempengaruhi karakteristik disolusi zat. Setelah pemberian secara insitu dapat timbul endapan zat aktif yang biasanya berbentuk amorf sebagai akibat perubahan pH dan endapan tersebut selanjutnya akan melarut lagi. Dengan demikian, pemberian sediaan larutan tidak selalu dapat mengakibatkan penyerapan yang segera (Rara, 2008). Disolusi adalah suatu jenis khusus dari suatu reaksi heterogen yang menghasilkan transfer massa karena adanya pelepasan dan pemidahan menyeluruh ke pelarut dari permukaan padat. Di dalam pembahasan untuk memahami mekanisme disolusi, kadang-kadang digunakan salah satu model atau gabungan dari beberapa model antara lain: 1. Model Lapisan Difusi (Diffusion Layer Model) Model ini pertama kali diusulkan oleh Nerst dan Brunner. Pada permukaan padat terdapat satu lapisan tipis cairan dengan ketebalan ℓ, merupakan komponen kecepatan negatif dengan arah yang berlawanan dengan permukaan padat. Reaksi pada permukaan padat – cair berlangsung cepat. Begitu model solut melewati antar muka liquid film – bulk film, pencampuran secara cepat akan terjadi dan
gradien konsentrasi akan hilang. Karena itu kecepatan disolusi ditentukan oleh difusi gerakan Brown dari molekul dalam liquid film. 2. Model Barrier Antar Muka (Interfacial Barrier Model) Model ini menggambarkan reaksi yang terjadi pada permukaan padat dan dalam hal ini terjadi difusi sepanjang lapisan tipis cairan. Sebagai hasilnya, tidak dianggap adanya kesetimbangan padatan – larutan, dan hal ini harus dijadikan pegangan dalam membahas model ini. Proses pada antar muka padat – cair sekarang menjadi pembatas kecepatan ditinjau dari proses transpor. Transpor yang relatif cepat terjadi secara difusi melewati lapisan tipis statis. 3. Model Dankwert (Dankwert Model) Model ini beranggapan bahwa transpor solut menjauhi permukaan padat terjadi melalui cara paket makroskopik pelarut mencapai antar muka – cair karena terjadi pusaran difusi secara acak. Paket pelarut terlihat pada permukaan padatan. Selama berada pada antar muka, paket mampu mengabsorpsi solut menurut hukum difusi biasa, dan kemudian digantikan oleh paket pelarut segar. Jika dianggap reaksi pada permukaan padat terjadi segera, proses pembaharuan permukaan tersebut terkait dengan kecepatan transpor solut atau dengan kata lain disolusi (Suyitno, 1988) Menurut Zemansky,(1982) kecepatan disolusi dapat ditentukan menurut beberapa metoda sebagai berikut: 1. Metoda Suspensi Serbuk zat padat ditambahkan ke dalan pelarut tanpa pengontrolan eksak terhadap luas permukaan partikelnya. Sampel diambil pada waktu-waktu tertentu dan jumlah zat yang larut ditentukan dengan cara yang sesuai. 2. Metoda Permukaan Konstan Zat ditempatkan dalan suatu wadah yang diketahui luasnya sehingga variable perbedaan luas permukaan efektif dapat diabaikan. Penentuan dengan metoda suspensi dapat dilakukan dengan alat uji disolusi tipe dayung. Sedangkan untuk metoda permukaan tetap digunakan alat seperti diusulkan oleh Simonelli dkk.
Gambar 1.1 Alat Uji Disolusi
Menurut (Mastin, 1990) faktor yang mempengaruhi disolusi sebagai berikut: 1. Suhu Suhu akan mempengaruhi kecepatan melarut zat. Perbedaan sejauh lima persen akan disebabkan oleh adanya perbedaan suhu satu derajat. 2. Medium Medium yang paling aman adalah air, buffer dan 0,1 N HCl. Dalam beberapa hal zat tidak larut dalam larutan air, maka zat organik yang dapat merubah sifat ini atau surfaktan digunakan untuk menambah kelarutan zat di dalam medium bukan merupakan faktor penentu dalam poses disolusi. Untuk mencapai keadaan disolusi maka perbandingan zat aktif dalam volume medium harus dijaga tetap pada kadar 3-10 kali lebih besar daripada jumlah yang diperlukan bagi satuan larutan jenuh. Masalah yang mungkin mengganggu adalah adanya gas dari medium sebelum digunakan gelembung udara yang terjadi dalam medium karena suhu naik dapat mengganggu zat, sehingga dapat menaikkan kecepatan melarutnya. 3. Kecepatan Perputaran Kenaikan dalam pengadukan akan mempercepat kelarutan. Umumnya kecepatan pengadukan 50 rpm atau 100 rpm. Perputaran di atas 100 rpm tidak menghasilkan data yang dapat dipakai untuk membeda- bedakan hasil kecepatan melarut. Bilamana ternyata bahwa kecepatan pengadukan perlu lebih dari 100 rpm
maka lebih baik untuk mengubah medium daripada menaikkan rpm. Walaupun 4% penyimpangan masih diperbolehkan, sebaiknya dihindarkan. 4. Ketepatan Letak Vertikal Poros Disini termasuk tegak lurusnya poros perputaran dayung atau wadah, tinggi dan ketepatan posisi dayung atau wadah yang harus sentris. Letak yang kurang sentral dapat menimbulkan hasil yang tinggi, karena hal ini akan mengakibatkan pengadukan yang lebih hebat di dalam wadah. 5. Goyangnya Poros Goyangnya poros dapat mengakibatkan hasil yang lebih tinggi karena dapat menimbulkan pengadukan yang lebih besar di dalam medium. Sebaiknya digunakan poros dan bagian yang sama dalam posisi sama bagi setiap percobaan karena masalah yang timbul karena adanya poros yang goyang akan dapat lebih mudah dideteksi. 6. Vibrasi Bilamana vibrasi timbul, hasil yang diperoleh akan lebih tinggi. Hampir semua masalah vibrasi berasal dari poros motor, pemanas penangas air atau adanya penyebab dari luar. Alas dari busa mungkin dapat membantu, tetapi kita harus hati- hati akibatnya yaitu letak dan keseluruhan harus dicek. 7.
Gangguan Pola Aliran Setiap hal yang mempengaruhi pola aliran di dalam bejana disolusi dapat
mengakibatkan hasil disolusi yang tinggi. Alat pengambil aplikan serta adanya filter pada ujung pipet selama percobaan berlangsung dapat menjadi penyebabnya.
2.2
Asam Salisilat Asam salisilat memiliki rumus molekul C6H4COOHOH berbentuk Kristal
berwarna merah muda terang hingga kecokelatan yang memiliki berat molekul sebesar 138,123 g/mol dengan titik leleh sebesar 156 0C dan densitas pada 25 0C sebesar 1,443 g/mL. Mudah larut dalam air dingin tetapi dapat melarutkan dalam keadaan panas. Asam salisilat dapat menyublim tetapi dapat terdekomposisi dengan mudah menjadi karbon dioksida dan phenol bila dipanaskan secara cepat pada suhu sekitar 200 0C (Wikipedia, 2011).
Asam salisilat memiliki struktur bangun seperti yang disajikan pada gambar 2.1 berikut ini:
Gambar 1.2 Struktur Asam Salisilat Bahan baku utama dalam pembuatan asam salisilat adalah phenol, NaOH, karbon dioksida dan asam sulfat. Asam salisilat kebanyakan digunakan sebagai obat- obatan dan sebagai bahan intermediet pada pabrik obat dan pabrik farmasi seperti aspirin dan beberapa turunannya. Sebagai antiseptik, asam salisilat zat yang mengiritasi kulit dan selaput lendir. Asam salisilat tidak diserap oleh kulit, tetapi membunuh sel epidermis dengan sangat cepat tanpa memberikan efek langsung pada sel epidermis. Setelah pemakaian beberapa hari akan menyebabkan terbentuknya lapisan-lapisan kulit yang baru. Obat ini sangat spesifik untuk rematik akut yang dapat mencegah kerusakan jantung yang biasanya terjadi akibat rematik, menghilangkan sakit secara keseluruhan, dan beberapa saat setelah pemakaiannya akan menurunkan temperatur suhu tubuh kembali normal (Atkins, 1996). Asam salisilat (10-20%) dalam larutan yang terdiri dari asam nitrat selulosa dalam eter dan alkohol digunakan sebagai penghilang kutil dan katimumul pada kaki. Dalam hal ini asam salisilat menyebabkan pelunakan lapisan kulit sehingga katimumul dan kutil akan terlepas bersama kulit mati. Selain digunakan sebagai bahan utama pembuatan aspirin, asam salisilat juga dapat digunakan sebagai bahan baku obat yang menjadi turunan asam salisilat. Misalnya sodium salisilat yang dapat digunakan sebagai analgesik dan antipyretic serta untuk terapi bagi penderita rematik akut. Ammonium salisilat
digunakan sebagai obat penghilang kuman penyakit dan bakteri. Kalsium salisilat dapat digunakan untuk mengatasi diare (Atkins, 1996). Turunan lain selain diatas adalah asam p-aminosalisilat yang dapat mengatasi tubercolosis pada manusia. Asam metilendisalisilat sering digunakan sebagai zat aditif minyak pelumas serta sebagai formulasi resin alkil. Salisilamide digunakan secara farmasi sebagai antipyretic,zat seudatif dan anti rematik (Anonim, 2011). Menurut (Moechtar, 1990) sifat fisika dan Kimia asam salisilat sebagai berikut: Tabel 1.1 Sifat Fisika Asam Salisilat Rumus Molekul
C7H6O3
Titik Lebur
159 0C
Titik Didih
211 0C
Tekanan Uap
1 mmHg pada 33 0C
Densitas
1,44 gram/cm3
Massa Molar
138,2 gram/mol
Tabel 1.2 Sifat Kimia Asam Salisilat Kelarutan
Larut dalam 550 bagian air dan dalam 4 bagian etanol (195%) mudah larut dalam kloroform dan ester.
Sifat Larutannya
- Tidak cepat menguap - Tidak mudah terbakara
2.3
Indikator Fenolftalein Fenolftalein merupakan indikator sistetis (buatan) yang dapat dibuat
didalam laboratorium dengan menggunakan bahan fenol dan ftalat anhidrida melalui reaksi kondensasi. Fenolftalein termasuk senyawa golongan ftalein yang bersifat asam lemeh. Fenolftalein umumnya dipakai sebagai indikator dalam
menentukan titik akhir titrasi asam kuat dengan basa kuat. Fenolftalein mempunyai trayek pH 8,3-10,0 (Bassett, 1994). Dalam titrasi asam kuat dan basa kuat yang menggunakan larutan asam seperti HCl sebagai titran dan larutan basa seperti NaOH sebagai titrat, maka akan terjadi perubahan warna indikator fenolftalein dari tak berwarna, yaitu dalam rentangan pH larutan dibawah 8,3. Fenolftalein mulai berubah warna menjadi merah muda pada rentangan pH 8,310,0 , jika penambahan titrat dilanjutkan sehingga memiliki rentangan pH diatas 10,0 , maka warna larutan akan menjadi merah. Dalam larutan yang bersifat asam dan pada rentangan pH < 8,3 indikator fenolftalein tidak akan memberikan perubahan warna, dimana warna larutan tetap tidak berwarna. Sedangkan pada larutan yang bersifat basa pada rentangan pH 8,3-10,0 indikator fenolftalein akan memberikan perubahan warna menjadi merah muda, dan pada rentangan pH >10,0 indikator fenolftalein akan memberikan perubahan warna menjadi merah (Bassett, 1994). Namun dalam suasana basa pekat berlebih indikator fenolftalein kembali menjadi tidak berwarna. Hal ini didukung dengan hasil percobaan yang menunjukkan bahwa dalam konsentrasi NaOH yang semakin pekat, warna fenolftalein semakin pudar (Petruševski dan Risteska, 2007). 2.4
NaOH Natrium hidroksida (NaOH) juga dikenal sebagai soda kaustik atau
sodium hidroksida, adalah sejenis basa logam kaustik. Natrium hidroksida terbentuk dari oksida basa Natrium Oksida dilarutkan dalam air. Natrium hidroksida membentuk larutan alkalin yang kuat ketika dilarutkan ke dalam air. Natrium hidroksida digunakan di berbagai macam bidang industri, kebanyakan digunakan sebagai basa dalam proses produksi bubur kayu dan kertas, tekstil, air minum, sabun dan deterjen. Natrium hidroksida adalah basa yang paling umum digunakan dalam laboratorium kimia. Natrium hidroksida murni berbentuk putih padat dan tersedia dalam bentuk pelet, serpihan, butiran ataupun larutan jenuh >45. Natrium hidroksida bersifat lembab cair dan secara spontan menyerap karbon dioksida dari udara bebas. Natrium hidroksida sangat larut dalam air dan akan melepaskan panas ketika dilarutkan. Natrium hidroksida juga larut dalam etanol dan metanol, walaupun kelarutan NaOH dalam kedua cairan ini lebih kecil
daripada kelarutan KOH. Natrium hidroksida tidak larut dalam dietil eter dan pelarut non-polar lainnya. Larutan natrium hidroksida akan meninggalkan noda kuning pada kain dan kertas. 2.4.1 Sifat-sifat Fisika dan Kimia Natrium Hidroksida NaOH: Massa molar = 40 g/mol Wujud Zat padat putih Specifik gravity 2,130 Tiitik leleh 318,4 0C (591 K) Titik didih 1390 0C (1663 K) Kelarutan dalam air 111 g/100 ml (20 0C ) Kebasaan (p Kb) -2,43 (Perry, 1984)
DAFTAR PUSTAKA
Bassett, J., Denney, R.C., Jeffrey, G.H., dan Mendham, J. 1994. Buku Ajar Vogel: Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Alih Bahasa A. Hadnyana P. Dan L. Setiono. Vogel’s Textbook of Quantitative Inorganic Analysis Including Elementary Instrumental Analysis, Fourth Edition. 1991. Jakarta: EGC. Hadie, Lannie. 2007. Disolusi. http://disolusi:academiaedu.com/. Diakses Tanggal 01 November 2018. Mastin, Ahmad. 1990. Difusi. http://difusilarutan.wikipedia.com/. Tanggal 01 November 2018. Rara.
Diakses
2008. Uji Disolusi (ketersediaan hayati in vitro). http://rara87.wordpress.co/2008/11/29/uji-ketersediaan-hayati-invitro/. Diakses Tanggal 01 November 2018.
Ratih. 2010. Larutan. http://difusilarutan.academiaedu.co/. Diakses Tanggal 01 November 2018. Petruševski, Vladimir M. dan Risteska, Keti. 2007. Behaviour of Phenolphthalein in Strongly Basic Media. Chemistry, Vol. 16, Iss. 4 (2007). Tersedia pada (http://khimiya.org/pdfs/KHIMIYA_16_4_PETRUSEVSKI.pdf). Diakses pada tanggal 03 November 2018. th
Perry, R.H. and Green, D.W., 1984, Perry’s Chemical Engineer’s Handbook, 6 edition, McGraw Hill Book Company, Singapore
Atkins, PW. 1996. Kimia Fisika Jilid II edisi IV.Erlangga. Jakarta Moechtar. 1990. Farmasi Fisika.UGM Press.Yogyakarta Suyitno. 1988. Fisika Untuk Sains dan Teknik. Penerbit Erlangga. Jakarta Zemansky. 1982. Fisika Universitas. Penerbit Bina Cipta. Bandung.