BAB V PEMBAHASAN
A. ANALISA JURNAL 1. Judul Jurnal Kajian asuhan keperawatan jiwa halusinasi pendengaran pada Sdr. D di Ruang Nakula RSJD Surakarta Pengaruh Penerapan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan Halusinasi Terhadap Kemampuan Mengontrol Halusinasi di RSKD Provinsi Sulawesi Selatan 2. Tujuan Untuk mengetahui gambaran umum tentang asuhan keperawatan dengan halusinasi pendengaran dan mampu menerapkan konsep tentang asuhan keperawatan secara komprehensif melalui proses keperawatan jiwa. Untuk mengetahui Pengaruh Penerapan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan Halusinasi Terhadap Kemampuan Mengontrol Halusinasi di RSKD Provinsi Sulawesi Selatan 3. Kesimpulan Jurnal 1 Hasil pengkajian pada pasien halusinasi adalah sering mendengar suara tanpa wujud, muncul bisa setiap saat dan berkali-kali dan pasien terlihat berbicara, tertawa sendiri, berjalan mondar-mandir diam sendirian dan gelisah. Diagnose keperawatan aktual berupa gangguan sensori persepsi ; halusinasi pendengaran. Intervensi bertujuan pasien dapat mengontrol halusinanya, sedangkan tujuan khususnya agar klien dapat membina hubungan saling percaya, mengenal halusinasi yang dialaminya, mengontrol halusinasi, mendapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol halusiansi dan dapat mengenal obat halusinasi.
Implementasi berupa SP1- SP4 halusinasi dan hasil evaluasi disamping minum obat pasien mampu mengidentifikasi dan mampu melakukan cara mengontrol halusinasi dengan menghardik, bercakapcakap dengan norang lain, melakukan kegiatan terjadwal sudah dilakukan optimal dan mandiri ketika halusinasinya muncul dan melaksnakan jadwal harian sesuai dengan waktunya. Jurnal 2 Berdasarkan hasil penelitian tentang pengaruh penerapan asuhan keperawatan pada klien halusinasi terhadap kemampuan klien mengontrol halusinasi di RSKD Provinsi Sulawesi selatan, dapat dibuat kesimpulan bahwa ada perubahan nilai kemampuan mengontrol halusinasi pada kelompok perlakuan setelah dilakukan perlakuan sedangkan pada kelompok kontrol tidak terjadi perubahan nilai terhadap kemampuan klien mengontrol halusinasi. Dalam hal ini penerapan asuhan keperawatan asuhan
keperawatan
memberikan
hasil
yang bermakna
terhadap
kemampuan klien mengontrol halusinasi 4. Pembahasan Hasil dari kedua penelitian ini membuktikan bahwa penerapan asuhan keperawatan sesuai intervensi protap jiwa dari SP 1- SP 5 pada masalah keperawatan dengan gangguan sensori persepsi : halusinasi terbukti dapat meningkatkan kemampuan klien untuk mengontrol halusinasinya. Sehingga membuktikan bahwa klien dengan gangguan halusinasi dapat mengontrol halusinasinya dengan pemberian asuhan keperawatan yang tepat dan continue, karena kekambuhan pasien juga didukung dengan terlalu tingginya stress yang dialami klien dalam ruang perawatan seperti terlalau banyak pasien dengan masalah keperawatan yang berbeda-beda juga ditunjang dengan jumlah tenaga perawat yang tidak seimbang dengan jumlah pasien dalam ruang perawatan sehingga penerapan asuhan keperawatan tidak maksimal, salah satu teknik penerapan asuhan keperawatan adalah dengan komunikasi terapeutik, dimana komunikasi teraupetik merupakan salah satu alat yang dipakai
dalam penerapan asuhan keperawatan pada gangguan sensori persepsi : halusinasi . Keterbatasan dari kedua penelitian ini untuk jurnal 1 masalah yang diangkat hanya gangguan sensori persepsi : halusinasi pendengaran saja ,menurut teori halusinasi dapat diikuti dengan masalah lain seperti isolasi social atau resiko perilaku kekerasan. Untuk jurnal 2 kriteria inklusi yang digunakan hanya sebatas pada umur, jenis kelamin, pendidikan, status pernikahan dan lama hari rawat seharusnya peneliti mengidentifikasi atau memvariasi kelompok berdasarkan tingkat dan jenis halusinasi yang klien alami. 5. Implikasi Intervensi strategi pelaksanaan SP 1-SP5 halusinasi merupakan prosedur tetap dalam memberikan implementasi atau tindakan keperawatan pada pasien gangguan jiwa khususnya gangguan halusinasi pendengaran karena dalam jurnal ini membuktikann bahwa penerapan asuhan keperawatan sesuai intervensi SP 1- SP 5 dapat meningkatkan kemampuan klien dalam mengontrol halusinasi khususnya halusinasi pendengaran.
A. PEMBAHASAN I. Pengkajian Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses keperawatan yang terdiri atas pengumpulan data dan perumusan kebutuhan, atau masalah klien. Pengumpulan data pengkajian meliputi aspek identitas klien, alasan masuk, faktor predisposisi, fisik, psikososial, status mental, kebutuhan persiapan pulang, mekanisme koping, masalah psikososial lingkungan, pengetahuan, dan aspek medik (Keliat, 2006). Dalam pengumpulan data kelompok menggunakan metode wawancara dengan klien, observasi langsung terhadap kemampuan dan perilaku klien
serta dari data rekam medik klien,
selain itu keluarga juga berperan sebagai sumber data yang mendukung dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien, namun pada saat
pengkajian tidak ada anggota keluarga klien yang menjenguknya, sehingga kelompok tidak memperoleh informasi dari pihak keluarga. 1. Pengertian Halusinasi Menurut Fontaine, ( 2009 ) dalam Satrio K.L dkk (2015) halusinasi adalah terjadinya penglihatan, suara, sentuhan , bau maupun rasa tanpa situmulus ekternal terhadap organ-organ indra. Sedangkan menurut Townsend ( 2009 ) dalam Satrio K.L dkk (2015), halusinasi merupakan suatu bentuk persepsi atau pengalaman indra dimana tidak terdapat sitimulasi terhadap reseptor-reseptornya, halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah yang mungkin meliputi salah satu dari menunjukan bahwa halusinasi dapat bermacam-macam yang meliputi halusinasi pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan dan pengecapan. Videbeck (2009) dalam Satrio K.L dkk (2015) juga menyebutkan bahwa halusinasi bahwa persepsi sensori yang salah satu pengalaman persepsi yang tidak trjadi dalam realitas, halusinasi dapat melibatkan panca indra dan sensasi tubuh. Dari hasil pengkajian ditemukan klien mengatakan mendengar suara/bisikan tetapi tidak tahu suara siapa, suara itu muncul saat pagi sebelum bangun tidur , saat sedang sendirian,
ataupun saat dia
duduk di ruang makan suara itu muncul kadang-kadang. Klien mengatakan suara yang didengarnya kadang menyuruh dia untuk melukai orang, kadang mengajak dia tertawa ataupun menangis, klien tampak bicara/tertawa sendiri. Dari kondisi diatas dapat disimpulkan klien mengalami Halusinasi. 2. Jenis Halusinasi Dari hasil pengkajian didapatkan data klien mengatakan mendengar suara/bisikan tetapi tidak tahu suara siapa, suara itu muncul saat pagi sebelum bangun tidur , saat sedang sendirian, ataupun saat dia duduk di ruang makan suara itu muncul kadang-kadang. Klien mengatakan suara tersebut kadang menyuruh dia untuk melukai orang, kadang
mengajak dia tertawa ataupun menangis. Gejala yang tampak adalah klien sering melamun dan berbicara / tertawa sendiri. Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa klien mengalami halusinasi pendengaran. Stuart (2009) dalam Satrio K.L dkk (2015) menyatakan bahwa halusinasi yang paling sering dikaitkan dengan skizoferenia, sekitar 70% klien skizofrenia mengalami halusinasi dengar. Halusinasi dengar merupakan gejala mayoritas yang sering dijumpai pada klien skizoferinia. Copel ( 2007) dalam Satrio K.L dkk (2015), halusinasi pendengaran paling sering terjadi pada skizofrenia, ketika klien mendengar suara-suara,suara tersebut terpisah
dari pikiran klien
sendri. Isi suara-suara tersebut mengancam dan menghina, sering sekali suara tersebut memerintah klien untuk melakukan tindakan yang akan melukai klien dan orang lain. Menurut Stuart (2009) dalam Satrio K.L dkk (2015), pada klien halusinasi dengar tanda dan gejala dapat dikateristik dengar bunyi atau suara, paling sering dalam bentuk suara, rentang dari suara sederhana atau suara yang jelas, suara tersebut membicarakan tentang pasien, sampai percakapan yang komplet antara dua orang atau lebih seperti orang yang berhalusinasi. 3. Fase Halusinasi Dalam Satrio K.L dkk (2015), ada empat fase dalam halusinasi, yaitu Comporting (halusinasi menyenangkan,cemas ringan), Comdeming (halusinasi menjijikan, cemas sedang), Controlling (pengalaman sensori berkuasa, cemas berat) dan Conquering (melebur dalam pengaruh halusinasi, panic) Pada data pengkajian ditemukan klien sering bicara/tertawa sendiri, mengatakan semenjak klien mendengar suara/ bisikan klien menjaga jarak dan kurang bersosialisasi dengan orang sekitar, Klien mengatakan suara yang didengarnya kadang menyuruh dia untuk melukai orang, kadang mengajak dia tertawa ataupun menangis tatapan mata klien kadang menunjukan sikap curiga /tidak percaya. Klien tidak mempertahankan
kontak mata dengan perawat, Emosi klien cepat berubah yang semula biasa saja mendadak berubah dan tiba-tiba klien pergi begitu saja (labil), ekspresi wajah seperti mengkhawatirkan sesuatu yang tak pasti. Klien tampak gelisah kadang klien tampak tegang, klien tampak berjalan mondar-mandir, kadang klien melakukan hal-hal yang mengganggu temannya, mengatakan saat marah / kesal ingin memukul orang-orang yang ada disekitarnya dan kadang suka menyendiri di kamar. Berdasarkan data diatas klien berada pada fase Conquering. Fase Conquering dalam Satrio K.L dkk (2015) disebutkan Pengalaman sensori bisa mengancam jika klien tidak mengikuti perintah dari halusinasi.halusinasi mungkin berakhir dalam waktu empat jam atau sehari bila tidak ada intervensi teraupetik.Perilaku yang dapat di observasi: 1. Perilaku klien tanpak seperti dihantui tremor dan panic 2. Potensi kuat untuk bunuh diri dan membunuh orang lain 3. Aktifitas fisik yang menggambarkan klien menunjukan isi dari halusinasi misalnya kelien melakukan kekerasan, igatasi, menariik diri atau katatonia. 4. Klien tidak dapat berespon pada arah kompleks 5. Klien tidak dapat berespon pada lebih dari satu orang 4. Rentang Respon Neorobiologis
Rentang Respon Neorobiologis
RESPON ADAFTIF 1. Pikirn logis 2. persepsi
akurat 3. emosi konsisten dengan pengalaman 4. perilaku sesuai
RESPON MALADAFTIF 1. kadang proses fikir terganggu 2. Ilusi 3. Emosi 4. prilaku tidak biasa 5. menarik diri
1. gangguan proses fikir (waham) 2. halusinasi 3. RPK 4. perilaku tidak terorganisir 5. isolasi sosial
Dari pengkajian diperoleh data Klien mengatakan suara yang didengarnya kadang menyuruh dia untuk melukai orang, kadang mengajak dia tertawa ataupun menangis, klien tampak bicara/tertawa sendiri (halusinasi), klien tampak menyediri (isolasi sosial), emosi labil, kadang ingin menyakiti orang lain (Risiko perilaku kekerasan), jalan mondar-mandir (perilaku tidak terorganisir). Data tersebut menunjukan klien berada pada respon maladaftif PROSES TERJADINYA MASALAH Halusinasi sering secara umum ditemukan pada klien skizoferinia. Proses terjadinya halusinasi pada klien skizofrenia dapa dijelakan berdasarkan model adaptasi Stuart dan Laraia (2005; Struart, 2009) dalam Satrio K.L dkk (2015) yaitu faktor predisposisi, faktor pridoposisi, penilaian stressor, sumber koping dan juga mekanisme koping. 1. Faktor Predisposisi Menurut Stuart dan Laraia (2005; Stuart, 2009), faktor presdisposisi yang dapat mengakibatkan terjadinya halusinasi pada klien skizofrenia meliputi faktor biologi,psikologi dan juga sosialkultural. a. Faktor Biologi Menurut Videback (2008), faktor biologi yang dapat menyebabkan terjadinya skizofrenia adalah faktor genetic, neurotomi, neurokimia serta imunovirologi. 1) Genetik Secara genetic ditemukan perubahan pada kromosom 5 dan 6 yang
mempredisposisikan
individu
mengalami
skizofrenia
(Copel, 2007). Sedangkan Buchanan dan Carpeter (2000, dalam dalam Stuart dan Laraia,2005; Stuart, 2009) menyebutkan bahwa kromosom yang berperan dalam menurunkan skizofrenia adalah kromosom6. Sedangkan kromosom lain yang juga berperan
adalah kromosoni 4, 8, 15, dan 22, Cracdock et al (2006 dalam Stuart, 2009). Penelitian lain juga menemukan gen GAD 1 yang tanggung jawab memproduksi GABA, dimana pada klien skizofrenia tidak dapat
meningkat secara normal sesuai
perkembangan pada daerah frontal,dimana bagian ini berfungsi dalam proses berfikir dan pengambilan keputusan Hung et al, (2007 dalam Stuart, 2009). Dari hasil pengkajian tiadak dilakukan pemeriksaan genetik sehingga belum bisa fitemukan unsur genetik,tetapi menurut klien dalam keluaraga tidak ada yang penah mengalami gangguan jiwa. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada unsur genetik yang mempengaruhi terjadinya gangguan jiwa pada klien.
2) Neuroanatomi Penelitian menunjukan
kelainan anatomi, fungsional dan
neurokimia di otak klien skizofrenia hidup dan postmortem, penelitian menunjukan bahwa kortek prefrontal dan system limbic tidak sepenuhnya berkembang di otak klien dengan skizofrenia. Penurunan volume otak mencerminkan penurunan baik materi putih dan materi abu-abu pada neuron akson (Kuroki et al,2006; Hegigins, 2007 dalam Stuart, 2009). Hasil pemeriksaan computed tomography (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI), memperlihatkan penurunan volume otak pada individu perkembangan skizofrenia, temuan ini memperlihatkan adanya keterlambatan perkembangan Pemeriksaan
posistron
jaringan
Emission
otak dan atropi. Termografi
(PET)
menunjukan.penurunan aliran darah ke otak pada lobus frontal selama tugas perkembangan kongnitif pada individu dengan skizofrenia.penelitian lain juga menunjukan terjadinya penurunan volume otak dan fungsi otak yang abnormal pada area temporalis
dan frontal (Videback,2008) perubahan pada kedua lobus positif skizofrenia tersebut belum di ketahui secara pasti penyebabnya. Keadaan patologis yang terjuadi pada lobus temporalis dan frontalis berkorelasi dengan terjadinya tanda-tanda positif negative dan skizofrenia . Copel (2007) menyebutkan bahwa tanda-tanda positif skizofrenia.seperti psikosis disebabkan karena fungsi otak yang abnormal pada lobus temporalis .sedangkankan tanda-tanda negatif seperti tidak ada kemauan atau motivasi dan anhedonia disebabkan oleh fungsi otak yang abnormal pada lobus frontalis. Hal ini sesuai Sadock dan Sadock (2007 dalam Townsend, 2009) yang menyatakan bahwa fungsi utama lobus frontalis adalah aktivasi motorik, intelektual, perencanaan konseptual, aspek kepribadian, aspek produksi bahasa . sehingga apabila terjadinya gangguan pada lobus frontalis, maka akan terjadi perubahan
pada
aktivitas
motorik,
gangguan
intelektual,
perubahan kepribadian dan juga emosi yang tidak stabil. Sedangkan fungsi utama dan lobus temporalis adalah pengaturan bahasa, ingatan dan juga emosi. Sehingga gangguan yang terjadi pada kortek temporalis dan nucleus-nukleus limbic yang berhubungan pada lobus temporalis akan menyebabkan timbulnya gejala halusinasi. Dari hasil pengkajian ditemukan klien pernah mengalami penganiayan fisik, emosi klien labil, mengatakan mendengar suara-suara serta sering terbangun pada malam hari karena suarasuara itu sering membangunkan klien, mengatakan saat marah / kesal ingin memukul orang-orang yang ada disekitarnya, gelisah, jalan mondar-mandir, bicara/tertawa sendiri. Dari paparan diatas dapat disimpulkan kondisi klien dimungkinkan adanya gangguan pada lobus frontalis dan lobus temporalis. Townsend, 2009 dalam Satrio K.L dkk (2015) menyatakan bahwa fungsi utama lobus
frontalis adalah aktivasi motorik, intelektual, perencanaan konseptual, aspek kepribadian, aspek produksi bahasa . sehingga apabila terjadinya gangguan pada lobus frontalis, maka akan terjadi perubahan pada aktivitas motorik, gangguan intelektual, perubahan kepribadian dan juga emosi yang tidak stabil. Sedangkan fungsi utama dan lobus temporalis adalah pengaturan bahasa, ingatan dan juga emosi. Sehingga gangguan yang terjadi pada kortek temporalis dan nucleus-nukleus limbic yang berhubungan pada lobus temporalis akan menyebabkan timbulnya gejala halusinasi. 3) Neurokimia Penelitian di bidang neurotransmisi telah memperjelas hipotesis disregulasi pada skizorfenia,gangguan terus menerus dalam satu atau lebih neurotrasmiter dan neuromodulator mekanisme pengaturan homeostatic menyebabkan neurotransmisi tidak stabil atau tidak menentu.teori ini menyatakan bahwa area mesolimbik overaktif terhadap dopamine,sedangkan apa area prefrontal mengalami hipoaktif sehingga terjadio keseimbangan antara system neurotransmitter dopamine dan serotonin serta yang lain (Stuart, 2009) pernyataan memberi arti bahwa neurotransmitter mempunyai peranan yang penting menyebabkan terjadinya skizofrenia. Beberapa refrensi menunjukan bahwa neurutransmiter yang berperan menyebabkan skizofrenia
adalah dopamine dan serotonin.satu teori
yang terkenal yang memperlihatkan dopamine sebagai penyebab,ini di buktikan dengan obat-obatan yang menyekat reseptor dopamine pascasinaptik mengurangi gejala psikotik dan pada kenyataan semakin efektif obat tersebut dalam
dalam mengurangi gejala skizofrenia.
Sedangkan serotonin berperan sebagai modulasi dopamine,yang membantu mengontrol kelebihan dopamine ,beberapa peneliti yakin bahwa kelebihan serotonin itu sendiri berperan dalam perkembangan skizofrenia,ini di buktikan dengan penggunaan obat antipsikotik
antipikal seperti klozapin (clozaril) yang merupakan antagonis dopamine dan serotonin. penelitian menunjukan bahwa klozapin dapat menghasilkan penurunan gejala psikotik secara dramatis
dan
mengurangi tanda-tanda negative skizofrenia (O’connor,1998; Marder, 2000 dalam Videback, 2008). Adanya overload reuptake neuro transmitter dopamine dan serotonin menyebabkan kerusakan komunikasi antar sel otak, sehingga jalur penerima dan pengirim informasi terganggu. Keeadaan inilah yang mengakibatkan informasi tidak dapat diproses sehingga terjadi kerusakan dalam persepsi yang berkembang menjai halusinasi dan kesalahan dalam membuat kesimpulan yang berkembang menjadi delusi. Dari hasil pengkajian klien mendapatkan obat yang salah satunya adalah olanzapine 5mg. Obat ini bekerja menyeimbangkan zat kimia di dalam otak, sehingga memberikan efek yang mampu mengurangi halusinasi dan kegelisahan, membuat pikiran lebih tenang dan berpikir positif. pada saat pengkajian didapatkan pula bahwa yang menyebabkan klien masuk RSJ karena ± 1 bulan sebelum masuk RS klien tidak minum obat. Videback (2008) dalam satrio K.L, dkk (2015) menyatakan beberapa penelitian menunjukan bahwa klozapin dapat menghasilkan penurunan gejala psikotik secara dramatis
dan
mengurangi tanda-tanda negative skizofrenia. Hal ini membuktikan bahwa klien memeng mengalami gangguan sensori persepsi halusinasi. Jadi dapat disimpulkan yang menyebabkan klien kembali mengalami gangguan jiwa dalah karena ketidakpatuhan dalam minum obat. 4) Imunovirologi Sebuah penelitian untuk menentukan “Virus Skizofrenia” telah berlangsung (Torrey et al, 2007; Dalman et al, 2008). Bukti campuran menunjukkan bahwa paparan prenatal terhadap virus influenza terutama selama trimester pertama, mungkin menjadi salah satu faktor penyebab skizofren pada beberapa orang tetapi tidak pada orang lain ( Brown et
al, 2004). Infeksi virus lebih sering terjadi pada tempat-tempat keramaian dan musim dingin dan awal musim semi dan dapat terjadi inutero atau pada anak usia dini pada beberapa orang yang rentan (Gallagher et al, 2007; Veling et al , 2008 dalam Stuart 2009). Dari hasil pengkajian kelompok tidak mengkaji lebih dalam tentang faktor predisposisi yang disebabkan oleh imunovirologi. b. Faktor Psikologis Selain faktor biologis
diatas, faktor psikologis juga ikut berperan
mengakibatkan terjadinya skizofrenia. Dari hasil pengkajian di dapatkan klien diasuh oleh orang tua sejak kecil tetapi hubungan klien dengan orang tua lebih dekat dengan ibu dibandingkan ayahnya karena ayah klien merupakan orang yang keras
dan segala keputusan ditentukan oleh ayahnya. Data tersebut
menunjukan kurangnya hubungan antara orang tua dan anak.
Townsend,
(2009) dalam Satrio K.L dkk (2015) menyatakan awal terjadinya skizofren difokuskan pada hubungan dalam keluarga yang mempengaruhi perkembangan gangguan ini, teori awal menunjukkan kurangnya hubungan antara orang tua dan anak, serta disfungsi system keluarga sebagai penyebab skizofrenia. Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa yang menyebabkan klien mengalami gangguan jiwa diantaranya adalah kurangnya komunikasi dalam keluarga. c. Faktor sosial Budaya Adanya double bind dalam keluarga dan konflik dalam keluarga Torrey ( 1995, dalam Videback, 2008). Juga menyebutkan bahwa salah satu faktor social yang dapat menyebabkan terjadinya skizofren adalah adanya disfungsi dalam pengasuhan anak maupun dinamika keluarga. Konflik tersebut apabila tidak diatasi dengan baik maka akan menyebabkan resiko terjadinya skizofren. Berdasarkan Townsend (2005), faktor social cultural meliputi disungsi dalam keluarga, konflik keluarga. Komunikasi double bind serta ketidak mampuan seorang untuk memenuhi tugas perkembangan. Hal ini didukung oleh Seaward (1997, dalam Videback, 2008) menyebutkan bahwa skizofrenia disebabkan oleh faktor interpersonal yang meliputi komunikasi yang tidak efektif, ketergantungan yang berlebihan atau menarik diri dalam hubungan, dan
kehilangan control emosional. Pernyataan ini menunjukkan bahwa faktor sosial budaya seperti pengalaman sosial dapat menjadi faktor penyebab terjadinya skizofrenia. Pernyataan diatas didukung oleh penelitian Tamer dkk (2002) yang menunjukan bahwa karakteristik responden skizofrenia yang mengalami halusinai adalah 216 orang berjenis kelamin laki-laki (70%) dan berusia ratarata 27 tahun. Hal berbeda dinyatakan oleh Sinaga (2007) yang menyatakan bahwa prevalensi skizofrenia sama antara laki-laki dan perempuan, tetapi berbeda dalam onset dan perjalanan penyakit. Laki-laki mempunyai onset skizofrenia lebbih awal dibandingkan pada wanita. Penelitian Tamer dkk (1998) juga menunjukan bahwa 76 responden skizofrenia tidak mempunyai pekerjaan (90%). Pekerjaan sangat erat kaitanya dengan penghasilan dan ststus ekonomi individu.hal ini di dukung oleh Sinaga (2007) yang menyatakan bahwa stress
yang di alami oleh anggota kelompok
kelompok sosial ekonomi rendah berperan dalam perkembangan skizofrenia. Masalah keluarga dan pendidikan dapat menjadi pencetus terjadinya skizofrenia hal ini ditunjukan oleh penelitian Tarrier dkk (1998) yang menemukan bahwa skizofrenia ditemukan pada 24 responden (33.33%) yang hidup sendiri dan 78 responden tidak mempunyai pendidikan ataupun keahlian (91%). Hal ini menunjukan bahwa memang kehidudan perkawinan dapat menjadi pencetus terjadinya skizofrenia jika terjadi akumulasi masalah yang tidak dapat diselesaikan (Hawari,2001 dalam Corolina, 2008). Begiu juga pendidikan, pendidikan dapat menjadi sumber koping individu yang dapat membantu individu dalam mengatasi stress (Stuart & Laraia,2005). Dari hasil pengkajian klien sering dimarahi oleh ayahnya karena jarang ada dirumah, ayah klien orang yang keras, setiap klien marah, klien selalu mengurung diri dikamar tidak mau berbicara dengan orang lain, pendidikan klien SLTA, dan klien belum bekerja, klien tidak mau menceritakan masalah yang terjadi antara dia dan orang tuanya, klien mengatakan dia masuk ke RSJ karena mengamuk keinginan dia tidak terpenuhi, klien juga mengatakan semenjak pernah dirawat di RSJ klien dilarang keluar oleh ayahnya.
Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan factor yang menyebabkan klien mengalami gangguan jiwa dapat dari faktor psikologis dan sosial budaya.
2. Faktor Presipitasi Kondisi normal, otak mempunyai peranan penting dalam meregulasi sejumlah informasi. Informasi normal diproses melalui aktifitas neoron. Situmulus visual dan audiotory dideteksi dan di saring oleh kan pada kelien skizoferinia terjadi mekanisme yang abnormal dalam memperoses informasi adalah faktor kesehehatan, lingkungan, sikap dan perilaku individu (Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009). Faktor pencetus halusinasi diakibatkan gangguan umpan balik diotak yang mengatur jumlah dan waktu dalam peroses informasi. Stimuli penglihatan dan pendengaran pada awal nya disaring oleh hipoyalamus dan dikirim untuk diperoses oleh lobus frontal dan bila informasi yang disampaikan terlalu banyak pada suatu waktu atau jika informasi tersebut salah, lobus frontal mengirimkan pesan operload ke ganglia basal dan diingatkan lagi hipotalamus untuk memperlambat tranmisi kelobus frontal. Penurunan fungsi lobus frontal menyebabkan ganguan pada peroses umpan balik dalam penyampaian informasi yang menghasilkan peroses informasi overload ( Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009). Stresor persipitasi yang lain adanya abnormal pada pintu mekanisme pada klien skizofrenia, pintu mekanisme adalah peroses elektrik yang melibatkan elektolit, hal ini memicu penghambatan saraf dan rangsang aksi dan umpan balik yang terjadi pada sistem saraf. Penurunan pintu mekanisme/gating proses ini ditujukan dengan ketidakmampuan individu dalam memilih sitimuli secara selektif ( Hong et al., 2007 dalam Suart, 2009). 3. Penilaian Terhadap Stressor Penilaian terhadap stressor merupakan penilaiian individu ketika menghadapi stressor yang datang. Menurut Sinaga (2007), faktor biologis,psikososial dan lingkungan saling menentegrasi atau sama lain saat individu mengalami setres sedangkan individu sendiri memiliki kerentanan ( diatesis ), yang jika diaktifkan oleh pengaruh stress maka akan menimbilkan gejala skizofrenia.
Model diatesis stres diatas sama seperti model adaptasi Stuart dan Laraia (2005). Penilaian seseorang terhadap seteresor terdiri dari dan respon kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan sosial. Hal ini memberikan arti bahwa apabila individu mengalami suatu stressor maka ia akan merupakan stressor maka ia akan merespon stressor tersebut dan akan tanpak melalui tanda dan gejala yang muncul. Dari data diatas klien mengatakan klien sering kali dimarahi oleh ayahnya kemudian saat dimarahi klien akan mengurung diri di kamar dan sering mengamuk jika keinginannya tidak dipenuhi. 4. Sumber Koping Dari hasil pengkajian klien mengatakan lebih dekat dengan ibu dan kakaknya tapi klien jarang membicarakan masalahnya kepada mereka, setiap ada masalah klien hanya diam, dan mengurung diri dikamar. Berdasarkan Stuart dan Laraia (2005) dalam Satrio K.L, dkk (2015), sumber koping merupakan hal yang penting dalam membantu klien dalam mengatasi stressor yang di hadapinya. Sumber koping tersebut meliputi aset ekonomi, sosial support, nilai kemampuan individu mengatasi masalah. Apabila individu mempunyai sumber koping yang adekuat maka ia akan mampu beradaptasi dan mengatasi stressor yang ada. Keluarga merupakan salah satu sumber koping yang ditunjukan individu ketika mengalami streres. Hal tersebut sesuai dengan Videbeck ( 2008 ) yang menyatakan bahwa keluarga merupakan salah satu sumber pendukung yang utama dalam penyembuhan klien skizofrenia. Dari data diatas dapat disimpulkan klien mempunyai sumber koping yang tidak adekuat sehingga ia tidak mampu beradaptasi dan mengatasi stressor yang ada. 5. Mekanisme Koping Menurut Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009 dalam Satrio K.L dkk 2015 pada klien skizofrenia , klien berusaha untuk melindungi dirinya dalam pengalaman yang disebabkan oleh penyakitnya . klien akan melakukan regresi untuk mengatasi kecemasan yang dialaminya , melakukan proyeksi sebagai usaha untuk menjelaskan persepsinya dan menarik diri yang berhubungan dengan
masalah membangun kepercayaan dan keasyikan terhadap pengalaman internal. Dari hasil pengkajian saat mempunyai masalah klien lebih suka mengurung diri dikamar dan akan mengamuk jika keinginanya tidak dipenuhi. Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa klien tidak mempunyai mekanisme koping yang baik untuk dirinya
D. POHON MASALAH Menurut Keliat, 2010 dalam Satrio K.L, dkk 2015 pohon masalah gangguan persepsi sensori : Halusinasi, sebagai berikut :
Resiko Perilaku Kekerasan
Gangguan Sensori Persepsi:Halusinasi
Isolasi Sosial
Harga Diri Rendah
Dari hasil pengkajian pohon masalah yang muncul, yaitu : Resiko Perilaku kekerasan
Gangguan Pola tidur
GSP : Halusinasi Pendengaran (Core problem)
Isolasi Sosial Ketidakpatuhan
Harga Diri Rendah
Koping individu tidak efektif
II. DIAGNOSA KEPERAWATAN Menurut Videbeck (dalam Nurjannah, 2005) menyatakan bahwa diagnosa keperawatan berbeda dari diagnosa psikiatrik medis dimana diagnosa keperawatan adalah respon klien terhadap masalah medis atau bagaimana masalah mempengaruhi fungsi klien sehari-hari yang merupakan perhatian utama diagnosa keperawatan. Diagnosa keperawatan adalah identifikasi atau penilaian terhadap pola respon pasien baik aktual maupun potensial (Stuart & Laraia, 2001). Sedangkan Keliat, (2005) mendefinisikan diagnosa keperawatan sebagai penilaian tehnik mengenai respon individu, keluarga, komunitas terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang aktual maupun potensial. Dalam kasus Nn. P terdapat 7 (tujuh) masalah keperawatan, yaitu : Gangguan Sensori Persepsi : Halusinasi Pendengaran, Resiko Perilaku Kekerasan ,isolasi social, harga diri rendah, koping individu tidak efektif, ketidak patuhan dan gangguan pola tidur. Pada kasus ini diagnosa keperawatan yang diprioritaskan adalah Gangguan Sensori Persepsi : Halusinasi Pendengaran, Resiko Perilaku Kekerasan dan isolasi social. Kelompok mengambil 3 diagnosa tersebut berdasarkan data dan perilaku yang menonjol pada klien.
III.
INTERVENSI KEPERAWATAN Menurut Ali (dalam Nurjanah, 2005) rencana tindakan keperawatan merupakan serangkaian tindakan yang dapat mencapai setiap tujuan khusus.Perencanaan keperawatan meliputi perumusan tujuan, tindakan, dan penilaian rangkaian asuhan keperawatan pada klien berdasarkan analisis pengkajian agar masalah kesehatan dan keperawatan klien dapat diatasi. Rencana keperawatan yang kelompok lakukan sama dengan landasan teori, karena rencana tindakan keperawatan tersebut telah sesuai dengan SOP (Standart Operasional Prosedure) yang telah ditetapkan. Dalam kasus Nn. P melakukan intervensi keperawatan fokus pada tiga diagnosa, yaitu, Gangguan sensori persepsi; halusinasi (SP1-SP5 halusinasi), Isolasi Sosial (SP 1 –SP 5 Isolasi social) dan Resiko perilaku kekerasan (SP 1-SP5 Resiko perilaku kekerasan). Pada kajian kasus A.A Zelika,dkk, (2015) dalam jurnalnya yang berjudul “Kajian asuhan keperawatan jiwa halusinasi pendengaran pada Sdr. D Di ruang Nakula RSJD Surakarta. Intervensi yang dilakukan pada klien dengan halusinasi juga menggunakan pedoman strategi pelaksanana(SP) pada halusinasi yaitu SP1-SP 4 halusinasi. Dalam Satrio, K.L, dkk (2015) rencana tindakan keperawatan untuk halusinasi adalah: SP 1: Membantu pasien mengenal halusinasi (isi, frekuensi, waktu terjadinya, situasi pencetus, perasaan saat terjadi halusinasi) Menjelaskan cara mengontrol halusinasi: hardik, obat, becakap-cakap, melaukan kegiatan harian. Menganjurkan pasien mengontrol halusinasi dengan cara menghardik halusinasi Melakukan pada jadwal kegiatan untuk latihan menghardik. SP 2: Evaluasi kegiatan menghardik beri pujian
Latihan cara mengontrol halusinasi Latih cara mengontrol halusinasi dengan obat(jelaskan 5 benar: jenis, guna, dosisi, frekuensi, cara, kontinuitas minum obat) Masukan pda jadwal kegiatan untuk latihan menghardik dan minum obat SP 3: Evaluasi kegiatan harian menghardik & obat ,. Beri pujian. Latih cara mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap saat terjadi halusinasi Masukan pada jadwal kegiatan untukl latihan menghardik, minum obat dan bercakap-cakap SP 4: Evaluasi kegiatan harian menghardik , minum obat & becakap-cakap , beri pujian Latih cara mengontrol halusinasi dengan melakukan kegiatan harian (mulai 2 kegiatan) Masukan pada jadwal kegiatan untuk latihan menghardik , minum obaat, bercakap-cakap dan kegiatan harian
IV.
DOKUMENTASI KEPERAWATAN - IMPLEMENTASI Menurut Effendy (dalam Nurjannah, 2005) implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. Implementasi keperawatan pada Nn. P dilakukan dari tanggal 08 sampai dengan 10 Februari 2019. Implementasi keperawatan pada diagnosa keperawatan Gangguan sensori persepsi:halusiansi meliputi SP 1 (mengidentifikasi halusinasi dan mengajarkan cara menghardik), SP 2 (mengajarkan cara mengontrol halusinasi dengan cara minum obat (6 benar obat)), SP 3 (Mengajarkan cara mengontrol halusinasi dengan cara verbal), SP 4 (Mengajarkan cara mengontrol halusinasi
dengan cara melakukan kegiatan positif yang terjadwal), dan SP 5 (Evaluasi SP 1-4, Nilai kemampuan yang telah mandiri, Nilai apakah halusinasi terkontrol). Tindakan ini sesuai dengan tindakan yang dilakukan oleh A.A Zelika,dkk, (2015) dalam jurnalnya yang berjudul “Kajian asuhan keperawatan jiwa halusinasi pendengaran pada Sdr. D Di ruang Nakula RSJD Surakarta. Pada kajian tersebut SP 2 berisi tindakan
halusinasi dengan bercakap-cakap
dan cara mengontrol
halusinasi dengan inum obat ada pada SP 4 sedangkan pada Satrio K.L dkk (2015) SP 2 berisi tindakan cara mengontrol halusinasi dengan minum obat (6 benar obat) dan SP 4 mengontrol hlusinasio dengan kegiatan harian. kemudian diagnosa keperawatan Resiko perilaku kekerasan dilakukan dengan tindakan SP 1 (Mengidentifikasi perilaku kekerasan, dan mengajarkan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan cara tarik napas dalam dan pukul bantal atau kasur), SP 2 (Menajarkan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan cara minum obat), SP 3 (Mengajarkan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan cara verbal) SP 4 (Mengajarkan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan cara spiritual) dan SP 5 (melakukan evaluasi SP1, 2, 3, dan 4, Nilai kemampuan yang telah mandiri, Nilai apakah perilaku kekerasan terkontrol). Sedangkan pada Pada diagnose keperawatan Isolasi Sosial, kelompok melakukan implementasi keperawatan berupa tindakan SP 1 (mengidentifikasi penyebab isolasi social (siapa yang serumah, siapa yang dekat, yang tidak dekat dan apa sebabnya,Keuntungan punya teman dan bercakap-cakap Kerugian tidak punya teman dan tidak bercakap-cakap dan Latih cara berkenalan , SP 2 (Latih cara berbicara saat melakukan kegiatan harian (latih 2 kegiatan), SP 3 (Latih cara berbicara saat melakukan kegiatan harian (2 kegiatan baru), SP 4 (Latih cara bicara social (meminta sesuatu, menjawab pertanyaan), SP 5 (evaluasi, Nilai kemampuan yang telah mandiri, Nilai apakah isolasi sosial teratasi).
- EVALUASI Gangguan sensori persepsi;halusinasi, implementasi SP 1 dilakukan pada 08 februari 2019 pukul 09.00, klien mampu mengidentifikasi halusinasi yang dialami meliputi ‘isi, frekuensi, waktu, pencetus, perasaan, respon” dan klien mampu melakukan cara mengontrol halusinasi dengan cara menghardik. SP 2 Halusinasi dilakukan pada 09 februari 2019 pukul 09.00, klien mampu menjelaskan dan mengerti tentang obat setelah dijelaskan oleh perawat. SP 3 Halusinasi dilakukan pada tanggal 09 februari 2019 pukul 14.00, klien mampu melakukan cara mengontrol halusinasi dengan cara bercakap-cakap. SP 4 halusinasi dilakukan pada 10 februari 2019 pukul 09.00, klien mampu
melakukan
cara
mengontrol
halusinasi
dengan
cara
melakukan kegiatan positif yang terjadwal. Evalusai cara mengontrol halusinasi dilakukan pada 10 februari 2019 pukul 14.00, klien masih mampu mengingat cara-cara yang sudah diajarkan untuk mengontrol halusinasi namun dibantu oleh perawat, khususnya mengenai masalah obat. Isolasi Sosial SP 1 dilakukan pada 08 februari 2019 pukul 10.00, klien mampu mengidentifikasi penyebab isolasi social (siapa yang serumah, siapa yang dekat, yang tidak dekat dan apa sebabnya,Keuntungan punya teman dan bercakap-cakap Kerugian tidak punya teman dan tidak bercakap-cakap dan Latih cara berkenalan. SP 2 dilakukan pada 09 februari 2019 pukul 10.00, klien mampu berkenalan dengan pasien dan perawat serta berbicara saat melakukan kegiatan harian. SP 3 dilakukan pada tanggal 09 februari 2019 pukul 15.00, klien mampu berbicara sambil melakukan kegiatan merapikan tempat tidur dan menbagi makanan. SP 4 dilakukan pada 10 februari 2019 pukul 10.00, klien mampu berbicara untuk meminta makanan kepada temannya dan menjawab pertanyaan yang diberikan temannya. Evalusai cara mengontrol halusinasi dilakukan pada 10 februari 2019 pukul 15.00, klien mampu berkenalan dan berbicara dengan pasien dan perawat
yang bertugas disana, klien mampu melakukan kegiatan yang sudah dijadwalkan. Resiko perilaku kekerasan, implementasi SP 1 dilakukan pada 08 februari 2019 pukul 12.00, klien mampu mengidentifikasi perilaku kekerasan yang dialami meliputi ‘penyebab, tanda dan gejala, RPK yang dilakukan, serta akibat RPK” dan klien mampu melakukan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan cara tarik napas dalam dan pukul bantal atau kasur. SP 2 dilakukan pada 09 februari 2019 pukul 12.00, klien mampu menjelaskan dan mengerti tentang obat setelah dijelaskan oleh perawat. SP 3 dilakukan pada tanggal 10 februari 2019 pukul 16.00, klien mampu melakukan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan cara verbal. SP 4 halusinasi dilakukan pada 15 februari 2019 pukul 12.00, klien mampu melakukan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan cara spiritual. Evalusai cara mengontrol perilaku kekerasan dilakukan pada 10 februari 2019 pukul 160.00, klien masih mampu mengingat cara-cara yang sudah diajarkan untuk mengontrol perilaku kekerasan namun dibantu oleh perawat, khususnya mengenai masalah obat. Kelompok belum bisa menilai implementasi yang diberikan membuat gangguan yang dialami klien teratasi atau tidak mengingat terbatasnya waktu kelompok praktek di RS Jiwa Provinsi Lampung. Menurut Jusliani dkk (2014) dalam jurnalnya yang berjudul Pengaruh “Penerapan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan Halusinasi Klien Terhadap Kemampuan Mengontrol Halusiansi di RSKD Provinsi Sulawesi Selatan” di dapatkan bahwan penerapan asuhan keperawatan sesuai intervensi protap keperawatan jiwan dari SP1-SP5 pada masalah gangguan sensori persepsi : halusinasi memberikan hasil yang bermakna terhadap kemampuan klien mengontrol halusinasi.