ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM RESPIRASI: INFEKSI: SINUSITIS
DISUSUN OLEH :
MUHAMMAD BA’IS ATS-TSAQIB 20170320090
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN & ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA2018
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikumWr.Wb. Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan berbagai nikmat dan kesehatan serta kekuatan, sehingga bisa menyusun makalah ini. Penyusunan makalah ini adalah sebagai salah satu pemenuhan tugas Blok Keperawatan Medikal Bedah 2. Makalah ini sudah penulis susun semaksimal mungkin, tapi terlepas dari itu semua, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Mohon maaf apabila makalah ini jauh dari kesempurnaan, karena sesungguhnya, kesempurnaan hanya milik Allah, dan saya di sini hanya sebagai mahasiswa yang masih belajar dan berusaha untuk memenuhi tugas dalam perjalanan saya selama belajar. Oleh sebab itu, saya berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang dengan saran yang membangun. Semoga makalah ini bermanfaat bagi siapapun yang membacanya dan dapat berguna khususnya bagi saya sendiri maupun orang yang membacanya.
Yogyakarta, Maret 2019
Muhammad Ba’is Ats-Tsaqib
A. Definisi Sinusitis atau dapat juga disebut rhinosinusitis menurut EP3OS tahun 2007 adalah inflamasi atau peradangan yang terjadi di mukosa hidung dan sinus paranasal, dengan disertai gejala merasakan buntu pada hidung (nasal blockage/obstruction/congestion) atau nasal discharge (anterior/posterior nasal drip), nyeri pada wajah, dan hilangnya indra penciuman. Menurut waktunya sinusitis dibagi menjadi dua, yaitu sinusitis akut bila keluahan yang terjadi kurang dari 12 minngu dan sinusitis kronis bila keluhan terjadi selama lebih dari 12 minggu (Augesti dkk, 2016) B. Faktor resiko, etiologi, patofsiologi, tanda dan gejala, masalah keperawatan dan Mind Map 1.
Factor resiko Dalam (Augesti dkk, 2016) yang beresiko terkene sinusitis adalah: a) Terserang ispa pada saluran nafas atas b) Infeksi pada gigi c) Alergi
2. Etiologi Etiologi rinosinusitis akut dan rinosinusitis kronik berbeda. Penyebab rinosinusitis akut adalah infeksi virus dan bakteri patogen. Sebaliknya, etiologi dan patofisiologi rinosinusitis kronik bersifat multifaktorial dan merupakan sindrom yang terjadi karena kombinasi etiologi yang multipel. Berdasarkan EP3OS 2007 etilogi rinositis kronik dikategorikan menjadi faktor yang dihubungkan dengan kejadian rinosinusitis kronik tanpa polip nasi yaitu “ciliary impairment, alergi, asma, keadaan immunocompromised, faktor genetik, kehamilan dan endokrin, faktor
lokal, mikroorganisme, jamur, osteitis, faktor lingkungan, faktor iatrogenik, H.pylori dan refluks laringofaringeal”. (selvianti & kristyono)
3. Patofisiologi Sinus maksila disebut juga antrum high more, merupakan sinus yang sering terinfeksi, oleh karena 1) Merupakan sinus paranasal yang terbesar; 2) Letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret atau drainase dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia; 3) Dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis maksila; 4) ostium sinus maksila terletak di meatus medius, disekitar hiatus semilunaris yang sempit, sehingga mudah tersumbat.Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam kompleks osteomeatal. Sinus dilapisi oleh sel epitel respiratorius. Lapisan mukosa yang melapisi sinus dapat dibagi menjadi dua yaitu lapisan viscous superficial dan lapisan serous profunda. Cairan mukus dilepaskan oleh sel epitel untuk membunuh bakteri maka bersifat sebagai antimikroba serta mengandungi zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan. Cairan mukus secara alami menuju ke ostium untuk dikeluarkan jika jumlahnya berlebihan. Faktor yang paling penting yang mempengaruhi patogenesis terjadinya sinusitis yaitu apakah terjadi obstruksi dari ostium. Jika terjadi obstruksi ostium sinus akan menyebabkan terjadinya hipooksigenasi, yang menyebabkan fungsi silia berkurang dan epitel sel mensekresikan cairan mukus dengan kualitas yang kurang baik. Disfungsi silia ini akan menyebabkan retensi mukus yang kurang baik pada sinus. (Augesti dkk, 2016)
4. Tanda dan gejala Dalam (Augesti dkk, 2016) terdaat beberapa tanda dan gejala penyakit sinusitis seperti: a) Sakit kepala b) Suhu tubuh 38 c c) Hidung tersumbat dan keluar cairan berwarna hijau atau kekuningan berbau busuk d) Nyeri pada bagian wajah dan nyeri saat ditekan e) Kehilangan indra penciuman f) Nafas berbau (halitosis) 5. Masalah keperawatan
6. Mind maps
C. Pengkajian, pemriksaan fisik, pemeriksaan penunjang 1. Pengkajian Informasi yang perlu dikaji terkait keluhan yang dialami penderita mencakup durasi keluhan, lokasi, faktor yang memperingan atau memperberat serta riwayat pengobatan yang sudah dilakukan. Menurut EP3OS 2007, keluhan subyektif yang dapat menjadi dasar rinosinusitis kronik adalah: a) Obstruksi nasal Keluhan buntu hidung pasien biasanya bervariasi dari obstruksi aliran udara mekanis sampai dengan sensasi terasa penuh daerah hidung dan sekitarnya b) Sekret / discharge nasal Dapat berupa anterior atau posterior nasal drip c) Abnormalitas penciuman Fluktuasi penciuman berhubungan dengan rinosinusitis kronik yang mungkin disebabkan karena obstruksi mukosa fisura olfaktorius dengan / tanpa alterasi degeneratif pada mukosa olfaktorius d) Nyeri / tekanan fasial
Lebih nyata dan terlokalisir pada pasien dengan rinosinusitis akut, pada rinosinusitis kronik keluhan lebih difus dan fluktuatif.
2. Pemeriksaan fisik : 1. Rinoskopi anterior Dengan rinoskopi anterior dapat dilihat kelainan rongga hidung yang berkaitan dengan rinosinusitis kronik seperti udem konka, hiperemi, sekret (nasal drip), krusta, deviasi septum, tumor atau polip. 2. Rinoskopi posterior bila diperlukan untuk melihat patologi di belakang rongga hidung.
3. Pemeriksaan penunjang: a) Transiluminasi, melihat kondisi sinus maksila, apakah terdapat perbedaan transiluminasi antara sinus kanan dan kiri. b) Endoskopi nasal, melihat kondisi rongga hidung, adanya sekret, patensi kompleks ostiomeatal, ukuran konka nasi, udem disekitar orifisium tuba, hipertrofi adenoid dan penampakan mukosa
sinus.
Biasanya
dilakukan
ketika
pengobatan
konservatif mengalami kegagalan. c) Radiologi, meliputi X-foto posisi Water, CT-scan, MRI dan USG. CT-scan untuk melihat mukosa rongga sinus apakah sudah terinfeksi, biasanya terlihat adanya genangan atau penebalan permukaan rongga sinus (Selvianti & Kristyono)
D.
Penatalaksanaan Prinsip penatalaksanaan rinosinusitis kronik dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan medikamentosa dan pembedahan. 1. Terapi Medikamentosa Berguna dalam mengurangi gejala dan keluhan penderita, (apabila terapi medikamentosa gagal maka cenderung digolongkan menjadi rinosinusitis kronik) dan membantu memperlancar kesuksesan operasi yang dilakukan seperti: a) Antibiotika, b) Antiinflamatori dengan menggunakan kortikosteroid topikal atau sistemik c) Terapi penunjang lainnya seperti obat pencuci hidung 2. Terapi Pembedahan Dalam (Selvianti & Kristyono) terdapat beberapa jenis tindakan pembedahan yang dilakukan untuk rinosinusiti: a) Sinus maksila: 1) Irigasi sinus (antrum lavage) 2) Nasal antrostomi 3) Operasi Caldwell-Luc b) Sinus etmoid: 1) Etmoidektomi intranasal, eksternal dan transantral c) Sinus frontal: 1) Intranasal, ekstranasal 2) Frontal sinus septoplasty 3) Fronto-etmoidektomi
d) Sinus sfenoid : 1) Trans nasal 2) Trans sfenoidal e) FESS (functional endoscopic sinus surgery), dipublikasikan pertama kali oleh Messerklinger tahun 1978. Indikasi tindakan FESS adalah: 1) Sinusitis (semua sinus paranasal) akut rekuren atau kronis 2) Poliposis nasi 3) Mukokel sinus paranasal 4) Mikosis sinus paranasal 5) Benda asing 6) Osteoma kecil 7) Tumor (terutama jinak, atau pada beberapa tumor ganas) 8) Dekompresi orbita / n.optikus 9) Fistula likuor serebrospinalis dan meningo ensefalokel 10) Atresia koanae 11) Dakriosistorinotomi 12) Kontrol epistaksis 13) Tumor pituitari, ANJ, tumor pada skull base
E. Diagnosa keperawatan 1. Nyeri akut b.d agen cidera biologis 2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d mucus berlebih, infeksi 3. Cemas b.d ancaman terhadap atau perubahan dalam status kesehatan
F.
NOC & NIC
Diagnosa Ketidakefektifan
NOC Respiratory status : Airway patency bersihan jalan napas • Selama tindakan 2x 24 jam b.d mucus berlebih, kepatenan jalan nafas sumbatan berkurang dengan infeksi Kriteria Hasil : - Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips) - Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal) - Mampu mengidentifikasikan dan mencegah factor yang dapat menghambat jalan nafas
NIC Airway Management - Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu - Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi - Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan - Pasang mayo bila perlu - Lakukan fisioterapi dada jika perlu - Keluarkan sekret dengan batuk atau suction - Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan - Lakukan suction pada mayo - Berikan bronkodilator bila perlu - Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab - Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan. - Monitor respirasi dan status O2 Airway Suction - Pastikan kebutuhan oral / tracheal suctioning - Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suctioning. - Informasikan pada klien dan keluarga tentang suctioning - Minta klien nafas dalam sebelum suction dilakukan. - Berikan O2 dengan menggunakan nasal untuk
-
-
Nyeri akut b.d agen cidera biologis
Cemas b.d ancaman• terhadap atau perubahan dalam status kesehatan
memfasilitasi suksion nasotrakeal Gunakan alat yang steril sitiap melakukan tindakan Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam setelah kateter dikeluarkan dari nasotrakeal Monitor status oksigen pasien Ajarkan keluarga bagaimana cara melakukan suksion Hentikan suksion dan berikan oksigen apabila pasien menunjukkan bradikardi, peningkatan saturasi O2, dll.
Kontrol Nyeri Setelah Dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam pasien diharapkan dapat mengontrol nyerinya dengan kriteria hasil : - nyeri berkurang dari skala 5 menjadi skala 2 - menggunakan analgetik yang di rekomendasikan - melaporan nyeri yang terkontrol -menggunakan tindakan pengurangan nyeri nonfarmakologis
Managemen nyeri: Melakukan pengkajian nyeri meliputi lokasi frekuensi kualitas, intensitas nyeri Pastikan perawatan analgetik bagi pasien dilakukan dengan pemantauaan yang tepat ajarkan prinsip Managemen nyeri, tarik nafas dalam - Berikan obat analgetik (ketorolac) sesuai indikasi - Kolaborasi dengan pasien, orang terdekat, dan tim kesehatan lainnya untuk memilih dan mengimplementasikan tindakan penurunan nyeri non farmakologi sesuai kebutuhan
Anxiety control selama 1x24 jam kecemasan dapat terkontrol dengan
NIC : Anxiety Reduction (penurunan kecemasan) - Gunakan pendekatan yang
kriteria Hasil : - Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas - Mengidentifikasi, mengungkapkan dan menunjukkan tehnik untuk mengontol cemas - Vital sign dalam batas normal - Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan tingkat aktivitas menunjukkan berkurangnya kecemasan
-
G.
menenangkan Nyatakan dengan jelas harapan terhadap pelaku pasien Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur Pahami prespektif pasien terhdap situasi stres Temani pasien untuk memberikan keamanan dan mengurangi takut Berikan informasi faktual mengenai diagnosis, tindakan prognosis Dorong keluarga untuk menemani anak Lakukan back / neck rub Dengarkan dengan penuh perhatian Identifikasi tingkat kecemasan Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan, persepsi Instruksikan pasien menggunakan teknik relaksasi Barikan obat untuk mengurangi kecemasan
EBN Terdapat kesamaan efektivitas omeprazol dan lansoprazol dalam memperbaiki tingkat derajat berat Refluks laringofaring (RLF). Terdapat perbedaan efektivitas antara omeprazol dan lansoprazol terhadap perbaikan kualitas hidup penderita rinosinusitis kronik akibat RLF pascaterapi dua minggu dan dua bulan. Lansoprazol lebih efektif dibandingkan dengan omeprazol dalam memperbaiki
kualitas hidup penderita rinosinusitis kronik akibat RLF pascaterapi dua minggu dan dua bulan. (Kurniawati dkk, 2012)
DAFTAR PUSTAKA Augesti, G., Oktarlina, R. Z., & Imanto, M. (2016). Sinusitis Maksilaris Sinistra Akut Et Causa Dentogen. JPM (Jurnal Pengabdian Masyarakat) Ruwa Jurai, 2(1), 33-37. Selvianti., Kristyono, I.Patofisiologi, Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronik Tanpa Polip Nasi pada Orang Dewasa Dochterman, J. M., & Bulechek, G. M. (2010). Nursing Interventions Classification(NIC) (6th ed.). America: Mosby Elseiver. Moorhead, S., Jhonson, M., Maas, M., & Swanson, L. (2008). Nursing Outcomes Classsification (NOC) (5th ed.). United states of America: M0sby Elsevier. Nanda International. (2015). Diagnosa Keperawatan : definisi dan klasifikasi 2015-2017 (10th ed.). Jakarta: EGC. Kurniawati, T., Madiadipoera, T., Sarbini, T. B., & Saifuddin, O. M. (2012). Perbandingan Efektivitas antara Omeprazol dan Lansoprazol terhadap Perbaikan Kualitas Hidup Penderita Rinosinusitis Kronik Akibat Refluks Laringofaring. Majalah Kedokteran Bandung, 44(3), 138-146.