Asuhan Keperawatan Pada Bblr

  • Uploaded by: Diandika Bayu Sagitha
  • 0
  • 0
  • August 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Asuhan Keperawatan Pada Bblr as PDF for free.

More details

  • Words: 5,511
  • Pages: 27
ASUHAN KEPERAWATAN PADA BY. NY. H DENGAN DIAGNOSA MEDIS BBLR

Oleh Kelompok 1:

1. 2. 3. 4.

Dewa Gede Alit Teja Adnyana I Made Diandika Bayu Sagitha Kadek Eri Wardiana I Kadek Feri Adi Nugraha

17089014004 17089014026 17089014031 17089014033

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BULELENG Program Study S1 Ilmu Keperawatan 2018 BAB I

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Neonatus (bayi baru lahir) adalah bayi yang baru lahir sampai usia 4 minggu lahir biasanya dengan usia gestasi 38-42 minggu (Wong, D,L, 2003). Bayi baru lahir adalah bayi yang pada usia kehamilan 37-42 minggu dan berat badan 2.500-4.000 gram (Vivian, N. L. D, 2010). Asuhan segera bayi baru lahir adalah asuhan yang diberikan pada bayi tersebut selama jam pertama setelah kelahiran sebagian besar bayi baru lahir akan menunjukkan usaha napas pernapasan spontan dengan sedikit bantuan atau gangguan (prawiroharjo, S, 2002). Jadi asuhan keperawatan pada bayi baru lahir adalah asuhan keperawatan yang diberikan pada bayi yang baru mengalami proses kelahiran dan harus menyesuaikan diri dari kehidupan intra uteri kekehidupan ekstra uteri hingga mencapai usia 37-42 minggu dan dengan berat 2.500-4.000 gram.

1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 Bagaimanakah yang dimaksud dengan Prematuritas? 1.2.2 Bagaimanakah yang dimaksud dengan BBLR? 1.2.3 Bagaimanakah yang dimaksud dengan RDS? 1.2.4 Bagaimanakah yang dimaksud dengan Asfiksia? 1.2.5 Bagaimanakah yang dimaksud dengan Hiperbilirubinemia? 1.2.6 Bagaimanakah asuhan keperawatan pada BBLR? 1.3 Tujuan Penulisan 1.3.1 Untuk mengetahui tentang Prematuritas. 1.3.2 Untuk mengetahui tentang BBLR. 1.3.3 Untuk mengetahui tentang RDS. 1.3.4 Untuk mengetahui tentang Asfiksia. 1.3.5 Untuk mengetahui tentang hiperbilirubinemia. 1.3.6 Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada BBLR.

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Prematuritas 2.1.1 Definisi Prematuritas adalah kelahiran yang berlangsung pada umur kehamilan 20 minggu hingga 37 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir.1

Terdapat 3 subkategori usia kelahiran prematur berdasarkan kategori World Health Organization (WHO), yaitu: a. Extremely preterm (< 28 minggu) b. Very preterm (28 hingga < 32 minggu) c. Moderate to late preterm (32 hingga < 37 minggu). 2.1.2 Epidemiologi Angka kejadian prematur yang tinggi masih menjadi pusat perhatian dunia hingga kini. Tingkat kelahiran prematur di Amerika Serikat sekitar 12,3% dari keseluruhan 4 juta kelahiran setiap tahunnya dan merupakan tingkat kelahiran prematur tertinggi di antara negara industri. Angka kejadian kelahiran prematur di Indonesia belum dapat dipastikan jumlahnya, namun berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Departemen Kesehatan tahun 2007,

proporsi BBLR di

Indonesia mencapai 11,5%, meskipun angka BBLR tidak mutlak mewakili angka kejadian kelahiran prematur. Dalam studi yang dilakukan di RSUP Dr. Kariadi Semarang tahun 2002 didapatkan kelahiran prematur sebesar 138 kasus (4,6%). 2.1.3 Patofisiologi Secara umum, penyebab persalinan prematur dapat dikelompokan dalam 4 golongan yaitu : a. b. c. d.

Aktivasi prematur dari pencetus terjadinya persalinan Inflamasi/infeksi Perdarahan plasenta Peregangan yang berlebihan pada uterus

Mekanisme pertama ditandai dengan stres dan anxietas yang biasa terjadi pada primipara muda yang mempunyai predisposisi genetik. Adanya stres fisik maupun psikologi menyebabkan aktivasi prematur dari aksis Hypothalamus-Pituitary-Adrenal (HPA) ibu dan menyebabkan terjadinya persalinan prematur. Aksis HPA ini menyebabkan timbulnya insufisiensi uteroplasenta dan mengakibatkan kondisi stres pada janin. Stres pada ibu maupun janin akan mengakibatkan peningkatan pelepasan hormon Corticotropin Releasing Hormone (CRH), perubahan pada Adrenocorticotropic Hormone (ACTH), prostaglandin, reseptor oksitosin, matrix

metaloproteinase

(MMP),

interleukin-8,

cyclooksigenase-2,

dehydroepiandrosteron

sulfate

(DHEAS),

estrogen

plasenta

dan

pembesaran kelenjar adrenal. Mekanisme kedua adalah decidua-chorio-amnionitis, yaitu infeksi bakteri yang menyebar ke uterus dan cairan amnion. Keadaan ini merupakan penyebab potensial terjadinya persalinan prematur. Infeksi intraamnion akan terjadi pelepasan mediator inflamasi seperti proinflamatory sitokin (IL-1β, IL-6, IL-8, dan TNF-α ). Sitokin akan merangsang pelepasan CRH, yang akan merangsang aksis HPA janin dan menghasilkan kortisol dan DHEAS. Hormon-hormon ini bertanggung jawab untuk sintesis uterotonin (prostaglandin dan endotelin) yang akan menimbulkan kontraksi. Sitokin juga berperan dalam meningkatkan pelepasan protease (MMP) yang mengakibatkan perubahan pada serviks dan pecahnya kulit ketuban. Mekanisme ketiga yaitu mekanisme yang berhubungan dengan perdarahan plasenta dengan ditemukannya peningkatan hemosistein yang akan mengakibatkan kontraksi miometrium. Perdarahan pada plasenta dan desidua menyebabkan aktivasi dari faktor pembekuan Xa (protombinase). Protombinase akan mengubah protrombin menjadi trombin dan pada beberapa penelitian trombin mampu menstimulasi kontraksi miometrium. Mekanisme keempat adalah peregangan berlebihan dari uterus yang bisa disebabkan oleh kehamilan kembar, polyhydramnion atau distensi berlebih yang disebabkan oleh kelainan uterus atau proses operasi pada serviks. Mekanisme ini dipengaruhi oleh IL-8, prostaglandin, dan COX-2.1.

2.2 BBLR 2.2.1 Definisi Bayi berat badan lahir rendah (BBLR) ialah bayi bayi baru lahir dengan berat bedan kurang atau sama dengan 250 gram (WHO), sedangkan bayi dengan berat badan kurang dari 1500 gr termasuk bayi dengan berat badan lahir sangat rendah. Pada kongres European Prenatal Medicine II (1970) di London diusulkan sebagai berikut :

a. Preterin Infant (bayi kurang bulan : masa gestasi kurang dari 269 hari (37mg)) b. Term Infant (bayi cukup bulan: masa gestasi 259-293 hari (37-41mg))

c. Post Term Infant (bayi lebih bulan, masa gestasi 254 hari atau lebih (42 mg/lebih)) Dengan pengertian diatas, BBLR dibagi atas dua gologan: a. Prematuritas murni kurang dari 37 hari dan BB sesuai dengan masa

kehamilan/gestasi (neonates kurang bulan-sesuai masa kehamilan/ NKB-SMK). b. Dismatur , BB kurang dari seharusnya untuk masa gestasi/kehamilan

akibat bayi mengalami reterdasi intra uteri dan merupakan bayi yang kecil untuk masa pertumbuhan (KMK). Dismatur dapat terjadi dalam pretern, term, dan post term yang terbagi dalam : 1) Neonatus kurang bulan-kecil untuk masa kehamilan (NKB-KMK) 2) Neonatus cukup bulan-kecil untuk masa kehamilan (NCB-KMK) 3) Neonatus lebih bulan-kecil untuk masa kehamilan (NLB-KMK) 2.2.2 Etiologi BBLR a. Faktor ibu : 1) Riwayat kelahiran premature sebelumnya 2) Perdarahan antepartum 3) Malnutrisi 4) Hidromion 5) Penyakit jantung/penyakit kronis lainnya 6) Umur ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun 7) Jarak dua kehamilan yang terlalu dekat 8) Infeksi 9) Penderita DM berat b. Faktor janin : 1) Cacat bawaan 2) Kehamilan ganda/gemili 3) Ketuban pecah dini/KPD c. Keadaan social ekonomi yang rendah d. Kebiasaan e. idiopatik 2.2.3 Manifestasi Klinis 1. Sebelum bayi lahir a. Pada anamnesa sering dijumpai adanya riwayat abortus, partus prematurus dan lahir mati. b. Pembesaran uterus tidak sesuai tuanya kehamilan. c. Pergerakan janin yang pertama (Queckening) terjadi lebih lambat, gerakan janin lebih lambat walaupun kehamilannya sudah agak lanjut.

d. Pertambahan berat badan ibu lambat dan tidak sesuai menurut seharusnya . e. Sering dijumpai kehamilan dengan oligohidramnion atau bisa pula dengan hidramnion, hiperemesis gravidarum dan pada hamil lanjut dengan toksemia gravidarum atau perdarahan ante partum. 2. Setelah bayi lahir a. Berat lahir < 2500 gram b. Panjang badan < 45 cm c. Lingkaran dada < 30 cm d. Lingkaran kepala < 33 cm e. Umur kehamilan < 37 minggu f. Kepala relatif lebih besar dari badannya g. Kulit tipis, transparan, lanugonya banyak h. Lemak subkutan kurang, sering tampak peristaltik usus i. Tangisnya lemah dan jarang j. Pernapasan tidak teratur dan sering terjadi apnea k. Otot-otot masih hipotonik, paha selalu dalam keadaan abduksi l. l. Sendi lutut dan pergelangan kaki dalam keadaan flexi atau lurus m. n. o. p. q.

dan kepala mengarah ke satu sisi. Refleks tonik leher lemah dan refleks moro positif Gerakan otot jarang akan tetapi lebih baik dari bayi cukup bulan Daya isap lemah terutama dalam hari-hari pertama Kulit mengkilat, licin, pitting edema Frekuensi nadi berkisar 100-140 / menit.

2.2.4 WOC Faktor Ibu - Penyakit, usia ibu - Keadaan gizi ibu - Kondisi ibu saat hamil - Keadaan social dan ekonomi

Faktor Janin - Kelainan kromosom - Infeksi janin kronik - Gawat janin

BBLR

Komplikasi BBLR -

Manifestasi Klinis BBLR

Sindrom Aspirasi Mekonium Asfiksia Neomatum Penyakit Membrane Hialin Hiperbiliruninemia

-

Organ Pencernaan Prematur

Peristaltik belum sempurna Kurangnya kemampuan untuk mencwerna makanan Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

Pertumbuhan Dinding Dada Belum Sempurna

Sedikitnya Lemak dibawah Jaringan Kulit

Vaskuler Paru Imatur

Kehilangan panas melalui kulit

Peningkatan kerja nafas Tidak efektifnya pola pernafasan

Berat Badan Kurang Dari 2500 gram Masa Gestasi Kurang dari 37 Minggu Kulit tipis, transparan, lanugo banyak,dan lemak subkutan amat sedikit

Sistem imun yang belum matang

Penurunan daya tahan tubuh

Resiko Infeksi Peningkatan kebutuhan kalori Termoregulasi tubuh tidak efektif

2.2.5 Tanda-tanda Bayi BBLR a. BB < 250 gram, TB < 45 cm, lingkar dada < 30 cm, lingkar kepala < 33 cm. b. Tanda-tanda neonatus: 1) Kulit keriput tipis, merah, penuh bulu-bulu halus (lanugo) pada dahi, pelipis, telinga dan lengan, lemak alam jaringan sub-kutan sedikit. 2) Kuku jari tangan dan kaki belum mencapai ujung jari.

3) Bayi premature laki-laki testis belum turun dan pada bayi perempuan labia minora lebih menonjol. c. Tanda-tanda fisiologi : 1) Gerak pasif dan tangis hanya merintih walaupun lapar, lebih banyak tidur dan malas. 2) Suhu tubuh mudah berubah menjadi hipotermis.

2.2.6 Pemeriksaan Penunjang a. Radiologi 1) Foto toraks/baby gram pada bayi baru lahir dengan usia kehamilan kurang bulan, dapat dimulai pada umur 8 jam. Gambaran foto toraks pada bayi dengan penyakit membrane hyaline

karena

kekurangan

surfaktan

berupa

terdapatnya

retikulogranular pada parenkim dan bronkogram udara. Pada kondisi berat hanya tampak gambaran white lung (Masjoer, dkk, 2000). 2) USG kepala terutama pada bayi dengan usia kehamilan 35

minggu dimulai pada umur 2 hari untuk mengetahui adanya hidrosefalus atau perdarahan intracranial dengan menvisualisasi ventrikel dan struktur otak garis tengah dengan fontanel anterior yang terbuka (Marenstein, 2002). 3) Laboratorium a) Darah rutin 1. Hematokrit (HCT) a. Bayi usia 1 hari 48-69% b. Bayi usia 2 hari 48-75% c. Bayi usia 3 hari 44-72% 2. Haemoglobin (Hb) untuk bayi usia 1-3 hari 14,5-22,5 g/dl. 3. Hb A > 95% dari total atau 0.95 fraksi Hb. 4. Hb F a. Bayi usia 1 hari 63-92%

b. Bayi usia 5 hari 65-88% c. Bayi usia 3 minggu 55-85% d. Usia 6-9 minggu 31-75% e. Jumlah leukosit a. Bayi baru lahir 9,0-30,0 x 103 sel/mm3 (µL) b. Bayi usia 1 hari/24 jam 9,4-43,0 x 103 sel/mm3 (µL) c. Usia 1 bulan 5,0-19 x 103 sel/mm3 (µL) b) Bilirubin 1. Total (serum) a. Tali pusat < 2,0 mg/dl b. 0-1 hari 8,0 mg/dl c. 1-2 hari 12,0 mg/dl d. 2-5 hari 16,0 mg/dl e. Kemudian 2,0 mg/dl 2. Direk (terkonjugasi) a. 0,0-0,2 mg/dl 3. Glukosa(8-12 jam post natal), desebut hipoglikemi bila konsentrasi glukosa plasma < 50 mg/dl 1. Serum a. Tali pusat 45-96 mg/dl b. Bayi baru lahir (usia 1 hari) 40-60 mg/dl c. Bayi usia > 1 hari 50-90 mg/dl 4. Analisa gas darah 1. Tekanan parsial CO2(PCO2) bayi baru lahir 27-40 mmHg 2. Tekanan parsial O2(PO2) a. Lahir 8-24 mmHg b. 5-10 menit 33-75 mmHg c. 30 menit 31-85 mmHg d. > 1 jam 55-80 mmHg e. 1 hari 54-95 mmHg f. Kemudian (menurun sesuai usia) 83-108 mmHg 3. Saturasi oksigen (SaO2) a. Bayi baru lahir 85-90% b. Kemudian 95-99% 4. pH bayi premature (48 jam) 7,35-7,50 5. Elektrolit darah a. Natrium 1) Serum atau plasma - Bayi baru lahir 136-146 mEq/L - Bayi 139-146 mEq/L 2) Urine 24 jam 40-220 mEq/L b. Kalium 1) Serum bayi baru lahir 3,0-6,0 mEq/L 2) Plasma (heparin) 3,4-4,5 mEq/L 3) Urine 24 jam 2,5-125 mEq/L (bervariasi sesuai diit).

c. Klorida 1) Serum/plasma a. Tali pusat 96-104 mEq/L b. Bayi baru lahir 97-110 mEq/L b.Tes kocok/shake test sebaiknya dilakukan pada bayi yang berusia < 1 jam dengan mengambil cairan amnion yang tertelan di lambung dan bayi belum diberikan makanan. Cairan amnion 0,5 cc ditambah garam faal 0,5 c, kemudian ditambah 1 cc alcohol 95% dicampur dalam tabung kemudian dikocok 15 detik, setelah itu didiamkan 15 menit dengan tabung tetap berdiri. Interpretasi hasil: a. (+) : bila terdapat gelembung-gelembung yang membentuk cincin artinya surfaktan terdapat dalam paru dengan jumlah cukup. b. (-) : bila tidak ada gelembung atau gelembung sebanyak ½ permukaan

artinya paru-paru belum matang/tidak ada surfaktan. c. Ragu : bila terdapat gelembung tapi tidak ada cincin. Jika hasil menunjukkan ragu maka tes harus diulang. 2.2.7 Penatalaksanaan a. Pengaturan suhu Untuk mencegah hipotermi, diperlukan lingkungan yang cukup hangat dan istirahat konsumsi O2 yang cukup. Bila dirawat dalam incubator maka suhunya untuk bayi dengan BB 2 kg adalah 35 oC dan untuk bayi dengan BB 2-2,5 kg adalah 34oC. Bila tidak ada incubator, pemanasan dapat dilakukan dengan membungkus bayi dan meletakkan botol-botol hangan yang telah dibungkus dengan handuk atau lampu petromak di dekat tidur bayi. Bayi dalam incubator hanya dipakai popok untuk memudahkan pengawasan mengenai keadaan umum, warna kulit, pernapasan, kejang dan sebagainya sehingga penyakit dapat dikenali sedini mungkin. b. Pengaturan makan/nutrisi Prinsip utama pemberian makanan pada bayi premature adalah sedikit demi sedikit. Secara perlahan-lahan dan hati-hati. Pemberian makanan dini berupa glukosa, ASI atau PASI atau mengurangi resiko hipoglikemia, dehidrasi atau hiperbilirubinbia. Bayi yang daya isapnya baik baik dan tanpa sakit berat dapat dicoba minum melalui mulut. Umumnya bayi dengan berat kurang dari 1500 gram memerlukan

minum pertama dengan pipa lambung karena belum adanya koordinasi antara gerakan menghisap dengan menelan. Dianjurkan untuk minum pertama sebanyak 1 ml larutan glukosa 5% yang steril untuk bayi dengan berat kurang dari 100 gram, 2-4 ml untuk bayi dengan berat antara 100-1500 gram dan 5-10 ml untuk bayi dengan berat lebih dari 1500 gr. Apabila dengan pemberian makanan pertama bayi tidak mengalami kesukaran, pemberian ASI/PASI dapat dilanjutkan dalam waktu 12-48 jam. c. Mencegah infeksi Bayi premature mudah terserang infeksi. Hal ini disebabkan karena daya tubuh bayi terhadap infeksi kurang antibody relative belum terbentuk dan daya fagositosis serta reaksi terhadap peradangan belum baik. Prosedur pencegahan infeksi adalah sebagai berikut: 1. Mencuci tangan sampai ke siku dengan sabun dan air mengalir selama 2 menit sebelum masuk ke ruang rawat bayi. 2. Mencuci tangan dengan zat anti septic/ sabun sebelum dan sesudah memegang seorang bayi. 3. Mengurangi kontaminasi pada makanan bayi dan semua benda yang berhubungan dengan bayi. 4. Membatasi jumlah bayi dalam satu ruangan

5. Melarang petugas yang menderita infeksi masuk ke ruang rawat bayi. 2.3 RDS 2.3.1

Definisi Respiratory Distress Syndrome (RDS) merupakan kumpulan gejala

yang terdiri atas dispnea, frekuensi pernapasan yang lebih dari 60 kali per menit, adanya sianosis, adanya rintihan pada saat ekspirasi (expiratory grunting) , serta adanya retraksi suprasternal, interkostal dan epigastrium saat inspirasi. Penyakit ini merupakan penyakit membrane hialin, dimana terjadi perubahan atau berkurangnya komponen surfaktan pulmonar. Surfaktan adalah suatu zat aktif pada alveoli yang dapat mencegah kolaps paru. Fungsi surfaktan itu sendiri adalah untuk menurunkan tegangan permukaan alveolus sehingga tidak terjadi kolaps dan mampu menahan sisa udara pada akhir ekspirasi. Penyakit ini terjadi pada bayi premature, mengingat produksi surfaktan yang kurang. Pada penyakit ini kemampuan

paru untuk mempertahankan stabilitas menjadi terganggu dan alveolus akan kembali kolaps. Pada setiap akhir ekspirasi pada pernapasan selanjutnya dibutuhkan tekanan negative intratoraks yang lebih besar dengan cara inpirasi yang lebih kuat. Keadaan kolaps paru dapat menyebabkan gangguan ventilasi yang akan menyebabkan hipoksia dan asidosis. 2.3.2

Etiologi RDS sering ditemukan pada bayi prematur. Insidens berbanding

terbalik dengan usia kehamilan dan berat badan. Artinya semakin muda usia kehamilan ibu. Semakin tinggi kejadian RDS pada bayi tersebut. Sebaliknya semakin tua usia kehamilan, semakin rendah kejadian RDS (Asrining Surasmi, dkk, 2003). PMH ini 60-80% terjadi pada bayi yang umur kehamilannya kurang dari 28 minggu, 15-30% pada bayi antara 32 dan 36 minggu, sekitar 5% pada bayi yang lebih dari 37 minggu dan jarang pada bayi cukup bulan. Kenaikan frekuensi dihubungkan dengan bayi dari ibu diabetes, persalinan sebelum umur kehamilan 37 minggu, kehamilan multi janin, persalinan seksio sesaria, persalinan cepat, asfiksia, stress dingin dan adanya riwayat bahwa bayi sebelumnya terkena, insidens tertinggi pada bayi preterm laki-laki atau kulit putih (Nelson, 1999). 2.3.3

Patofisiologi Bayi prematur lahir dengan kondisi paru yang belum siap

sepenuhnya untuk berfungsi sebagai organ pertukaran gas yang efektif. Hal ini merupakan faktor kritis dalam terjadinya RDS. Ketidaksiapan paru menjalankan fungsinya tersebut terutama disebabkan oleh kekurangan atau tidak adanya surfaktan. Surfaktan adalah substansi yang merendahkan tegangan permukaan alveolus sehingga tidak terjadi kolaps. Surfaktan juga menyebabkan ekspansi yang merata dan jarang ekspansi paru pada tekanan intraalveolar yang rendah. Kekurangan atau ketidakmatangan fungsi sufaktan menimbulkan ketidakseimbangan inflasi saat inspirasi dan kolaps alveoli saat ekspirasi tanpa surfaktan, janin tidak dapat menjaga parunya tetap

mengembang. Oleh karena itu, perlu usaha yang keras untuk mengembangkan parunya pada setiap hembusan napas (ekspirasi), sehingga

untuk

bernapas

berikutnya

dibutuhkan

tekanan

negatif

intratoraks yang lebih besar dengan disertai usaha inspirasi yang lebih kuat. Akibatnya, setiap kali perapasan menjadi sukar seperti saat pertama kali pernapasan (saat kelahiran). Sebagai akibatnya, janin lebih banyak menghabiskan oksigen untuk menghasilkan energi ini daripada ia terima dan ini menyebabkan bayi kelelahan. Dengan meningkatnya kekelahan, bayi akan semakin sedikit membuka alveolinya, ketidakmampuan mempertahankan pengembangan paru ini dapat menyebabkan atelektasis. Tidak adanya stabilitas dan atelektasis akan meningkatkan pulmonary vaskular resistem (PVR) yang nilainya menurun pada ekspansi paru normal. Akibatnya, terjadi hipoperfusi jaringan paru dan selanjutnya menurunkan aliran darah pulmonal. Di samping itu, peningkatan PVR juga menyebabkan pembalikan parsial sirkulasi, darah janin dengan arah aliran dari kanan ke kiri melalui duktus arteriosus dan foramen ovale. Kolaps paru (atelektasis) akan menyebabkan gangguan vektilisasi pulmonal yang menimbulkan hipoksia. Akibat dari hipoksia adalah kontraksi vaskularisasi pulmonal yang menimbulkan penurunan oksigenasi jaringan

dan

selanjutnya

menyebabkan

metabolisme

anaerobik.

Metabolisme anaerobik menghasilkan timbunan asam laktat sehingga terjadi asidosis metabolik pada bayi dan penurunan curah jantung yang menurunkan perfusi ke organ vital. Akibat lain adalah kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolus yang menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan terbentuknya fibrin. Fibrin bersama-sama dengan jaringan epitel yang nekrotik membentuk suatu lapisan yang disebut membran hialin. Membran hialin ini melapisi alveoli dan menghambat pertukaran gas. Atelektasis menyebabkan paru tidak mampu mengeluarkan karbon dioksida dari sisa pernapasan sehingga terjadi asidosis respiratorik. Penurunan pH menyebabkan vasokonstriksi yang semakin berat. Dengan penurunan sirkulasi paru dan perfusi alveolar, PaO2 akan menurun tajam,

pH juga akan menurun tajam, serta materi yang diperlukan untuk produksi surfaktan tidak mengalir ke dalam alveoli. Sintesis surfaktan dipengaruhi sebagian oleh pH, suhu dan perfusi normal, asfiksia, hipoksemia dan iskemia paru terutama dalam hubungannya dengan hipovolemia, hipotensi dan stress dingin dapat menekan sintesis surfaktan. Lapisan epitel paru dapat juga terkena trauma akibat kadar oksigen yang tinggi dan pengaruh penatalaksanaan pernapasan yang mengakibatkan penurunan surfaktan lebih lanjut (Asrining Surasmi, dkk, 2003). 2.4 Asfixia 2.4.1 Definisi Asfiksia neonatus adalah keadaan bayi baru lahir yang tidak dapat bernafas secara spontan dan teratur dalam satu menit setelah lahir (Mansjoer, 2000). Asfiksia berarti hipoksia yang progresif, penimbunan CO2 dan asidosis, bila proses ini berlangsung terlalu jauh dapat mengakibatkan kerusakan otak atau kematian. Asfiksia juga dapat mempengaruhi fungsi organ vital lainnya.(Saiffudin, 2001). Asfiksia neonatorum ialah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir.Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin dalam uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktorfaktor yang timbul dalam kehamilan, persalinan, atau segera setelah bayi lahir. Akibat-akibat asfiksia akan bertambah buruk apabila penanganan bayi tidak dilakukan secara sempurna. Tindakan yang akan dikerjakan pada bayi bertujuan mempertahankan kelangsungan hidupnya dan membatasi gejala-gejala lanjut yang mungkin timbul (Depkes RI, 2005). 2.4.2 Etiologi a. Faktor ibu  Preeklampsia dan eklampsia  Pendarahan abnormal (plasenta

previa

atau

solusio

plasenta)  Partus lama atau partus macet  Demam selama persalinan Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV)  Kehamilan Lewat Waktu (sesudah 42 minggu kehamilan)

b. Faktor Tali Pusat  Lilitan tali pusat  Tali pusat pendek  Simpul tali pusat  Prolapsus tali pusat c. Faktor Bayi  Bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan) Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu, ekstraksi vakum, ekstraksi forsep)  Kelainan bawaan (kongenital)  Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan) 2.4.3 Patofisiologi Gangguan suplai darah teroksigenasi melalui vena umbilical dapat terjadi pada saat antepartum, intrapartum, dan pascapartum saat tali pusat dipotong.Hal ini diikuti oleh serangkaian kejadian yang dapat diperkirakan ketika asfiksia bertambah berat. a. Awalnya hanya ada sedikit nafas. Sedikit nafas ini dimaksudkan untuk

mengembangkan paru, tetapi bila paru mengembang saat kepala dijalan lahir atau bila paru tidak mengembang karena suatu hal, aktivitas singkat ini akan diikuti oleh henti nafas komplit yang disebut apnea primer. b. Setelah waktu singkat-lama asfiksia tidak dikaji dalam situasi klinis

karena dilakukan tindakan resusitasi yang sesuai –usaha bernafas otomatis dimulai. Hal ini hanya akan membantu dalam waktu singkat, kemudian jika paru tidak mengembang, secara bertahap terjadi penurunan kekuatan dan frekuensi pernafasan. Selanjutnya bayi akan memasuki periode apnea terminal. Kecuali jika dilakukan resusitasi yang tepat, pemulihan dari keadaan terminal ini tidak akan terjadi Frekuensi jantung menurun selama apnea primer dan akhirnya turun di bawah 100 kali/menit. Frekuensi jantung mungkin sedikit meningkat saat bayi bernafas terengah-engah tetapi bersama dengan menurun dan hentinya nafas terengah-engah bayi frekuensi jantung terus berkurang. Keadaan asam-basa semakin memburuk, metabolismeselular gagal, jantungpun berhenti. Keadaan ini akan terjadi dalam waktu cukup lama. Selama apnea primer, tekanan darah meningkat bersama dengan pelepasan ketokolamin dan zat kimia stress lainnya. Walupun demikian,

tekanan darah yang terkait erat dengan frekuensi jantung, mengalami penurunan tajam selama apnea terminal Terjadi penurunan pH yang hamper linier sejak awitan asfiksia. Apnea primer dan apnea terminal mungkin tidak selalu dapat dibedakan. Pada umumnya bradikardi berat dan kondisi syok memburuk apnea terminal. 2.5 Hiperbilirubinemia 2.5.1 Definisi Hiperbilirubinemia merupakan suatu kondisi bayi baru lahir dengan kadar bilirubin serum total lebih dari 10 mg% pada minggu pertama ditandai dengan ikterus, yang dikenal dengan ikterus neunatorum patologis.

Hiperbilirubinemia

yang

meupakan

suatu

keadaan

meninmgkatnya kadar bilirubin dalam jaringan ekstravaskular, sehingga konjungtiva, kulit dan mukosa akan berwarna kuning. Keadaan tersebut juga berpotensi besar terjadi ikterus, yaitu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak. Bayi yang mengalami hiperbilirubinemia memiliki ciri sebagai berikut : adanya ikterus terjadi pada 24 jam pertama, peningkatan konsentrasi bilirubin serum 10 mg% atau lebih setiap 24 jam, kosentrasi bilirubin serum 10 mg% pada neonatus yang cukup bulan dan 12,5 mg% pada neonatus yang kurang bulan, ikterus disertai dengan proses hemolisis kemudian ikterus yang disertai dengan keadaan berat badan lahir kurang darin 2000 gr, masa gestasi kurang dari 35 minggu, asfiksia, hipoksia, sindrom gangguan pernapasan, dan lainlain. 2.5.2

Etiologi Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun

dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar, ikterus neonatarum dapat dibagi : a. Produksi yang berlebihan Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk

mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis. b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk

konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan

infeksi

atau

tidak

terdapatnya

enzim

glukorinil

transferase(Sindrom Criggler-Najjar). Penyebab lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar. c. Gangguan transportasi Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfarazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak. Gangguan dalam eksresi Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain. (Hassan et al.2005). 2.5.3

Patofisiologi Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85-

90%) terjadi dari penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari senyawa lain seperti mioglobin. Sel retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin dengan hemoglobin yang telah dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini kemudian mengeluarkan besi dari heme sebagai cadangan untuk sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk menghasilkan tertapirol bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam air (bilirubin tak terkonjugasi, indirek). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma terikat ke albumin untuk diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh dan melewati lobulus hati, hepatosit melepas bilirubin dari albumin dan menyebabkan larutnya air dengan mengikat bilirubin ke asam glukoronat (bilirubin terkonjugasi, direk) (Sacher,2004). Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut masuk ke sistem empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus, bilirubin diuraikan oleh bakteri kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat diubah menjadi sterkobilin dan diekskresikan sebagai

feses. Sebagian urobilinogen direabsorsi dari usus melalui jalur enterohepatik,

dan

darah

porta

membawanya

kembali

ke

hati.

Urobilinogen daur ulang ini umumnya diekskresikan ke dalam empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi sebagian dibawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan sebagai senyawa larut air bersama urin (Sacher, 2004). Pada dewasa normal level serum bilirubin 2mg/dl dan pada bayi yang baru lahir akan muncul ikterus bila kadarnya >7mg/dl (Cloherty et al, 2008). Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang melebihi kemampuan hati normal untuk ekskresikannya atau disebabkan oleh kegagalan hati (karena rusak) untuk mengekskresikan bilirubin yang dihasilkan dalam jumlah normal. Tanpa adanya kerusakan hati,

obstruksi

saluran

ekskresi

hati

juga

akan

menyebabkan

hiperbilirubinemia. Pada semua keadaan ini, bilirubin tertimbun di dalam darah dan jika konsentrasinya mencapai nilai tertentu (sekitar 22,5mg/dl), senyawa ini akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian menjadi kuning. Keadaan ini disebut ikterus atau jaundice (Murray et al,2009). 2.6 Asuhan Keperawatan pada BBLR 2.6.1 Pengkajian a. Biodata bayi Nama : By. Ny. H. Tanggal lahir bayi : 03-11-03 Tanggal pemeriksaan : 04-11-03 Jenis kelamin : Perempuan Berat badan lahir : 1700 gr Pengukuran panjang : - Panjang : 37 cm - Lingkar kepala : OB : 29 cm, Os : 27 cm, Ok: 24 cm - Lingkar dada : 25 cm - Denyut jantung/menit : 130/menit - Regular/irreguler : irregular - Respirasi : 60x/menit - Temperature aksila : 35,2oC b. Identitas orang tua bayi - Nama ibu : Ny. H Umur : 19 tahun Pekerjaan : IRT

Pendidikan : SD Nama ayah : Bp. R Umur : 22 tahun Pekerjaan : Buruh Pendidikan : SMP Alamat : Bantul Yogyakarta MRS : 03-11-03 No. RMK : 506312 Diagnose sementara : BCD/KMK/SPT. BK c. Keluhan utama Berat badan 1700 gr, suhu aksila 35,2oC, lingkar dada < 30 cm, LK < -

33 cm kesadaran CM. d. Riwayat penyakit sekarang BBLR, berak kurang aktif, menangis lemah, tanda vital : 140 x/menit untuk denyut jantung, respirasi 50 x/menit, suhu 35,2oC. Berat badan 1700 gr, dan dirawat dalam incubator. e. Riwayat penyakit keluarga Ibu baru pertama kali melahirkan, tidak pernah abortus, keluarga belum pernah masuk Rumah Sakit, social ekonomi yang sangat rendah. f. Riwayat penyakit dahulu/persalinan Pada tanggal 03-11-03, jam 11.00 WITA sehabis melahirkan ibu kejang (eklamasi), bayi lahir spontan tidak langsung menangis kuat, gerak tidak terlalu aktif, lalu dirujuk ke RS karena bayi BBLR. Riwayat antenatal: ibu tidak rajin memeriksakan kehamilan ke PKM dan mendapat TT g. Pemeriksaan fisik - Kepala : bayi tidak mengalami caput suecedenium dan chepal -

-

-

hematoma, ubun-ubun dan sutura lebar, rambut halus. Telinga : simetris, tidak mengeluarkan secret Mulut : sianosis (-), mukosa bibir basah Leher : massa (-), gerak leher lemah Badan : warna kemerahan, torax retraksi sterum iga. Tulang keraba lunak. Aktivitas : lemah, gerak kurang aktif, lemas Lanugo : terdapat pada dahi, lengan, telinga, pelipis Abdomen : bising usus(+), tidak terdapat benjolan Ekstremitas : tidak terdapat edema parese (-) kuku belum mencapai ujung jari Mata : sulit membuka, ikterik, anemis Hidung: tidak terdapat secret Anus : (+)

- Genital : labia minora lebih menonjol - Minum : bayi dipuasakan, cairan lewat infuse - Reflex : menghisap lemah - Kulit : turgor jelek, kulitb dingin h. Laboratorium Hasil lab tanggal 04-11-03 - Hb : 14,3 gr % - Leukosit : 5.600 mm3 - Trombosit : 112.000 mm3 - GD :O - GDR : 35 mg/dl i. Pemberian obat sekarang IVFD D 10 % 135 cc /5tts/mikro Ampicillin : 3x50 mg Gentamisin : 2x5 O2 : 2 l/m Incubator : (+) 2.6.2 Analisa data No 1

Symthom DO: suhu 35,2oC, lingkar dada 25 cm. Menangis lemah.

Etiologi Kurangnya jaringan

Problem Gangguan

lemak bawah kulit

regulasi suhu

Kemampuan menghisap lemah.

tubuh.

Gerak kurang aktif. Lemah. Lingkar dada < 30 cm, LK < 33 cm. bayi dipuasakan. Reflex menghisap 2

lemah. Turgor jelek DO : bayi dipuasakan. Reflex menghisap lemah. Turgor jelek

3

Reflex menghisap dan

Gangguan

menelan yang belum

pemenuhan

sempurna Rendah kadar Ig G

kebutuhan nutrisi. Potensial infeksi

dan relative belum 4

2.6.3 No

membentuk antibody. Tipisnya kulit bayi

Potensial

dan kurang

kerusakan

pergerakan.

integritas kulit.

Intervensi

Diagnosa Keperawatan

Rencana Keperawatan Tujuan Intervensi

Rasionalisasi

1

Gangguan regulasi suhu

Suhu tubuh dalam

tubuh b/d kurangnya

batas normal dan

dalam incubator

jaringan lemak dibawah

tidak hipotermi

bersuhu 32-

kulit ditandai :

dengan kriteria:

35oC. 2. pertahankan

-

-

suhu 35,6oC lingkar dada 25 cm. menangis lemah kemampuan

Suhu tubuh 36,5oC37,2oC

1. rawat bayi

suhu lingkungan adekuat. 3. Hindari bayi

menghisap lemah gerak kurang aktif

dimandikan. 4. Monitor suhu

1. Mempertahankan suhu tubuh bayi. 2. Agar tidak terjadi kehilangan panas yang berlebihan. 3. Memandikan bayi dengan hipotensi membahayakan. 4. Mengetahui perkembangan/keadaan bayi.

tubuh setiap jam 2

Gangguan pemenuhan

Kebutuhan nutrisi

nutrisi berhubungan

kurang terpenuhi

intake dan

keseimbangan antara

dengan reflex menghisap

dengan kriteria:

output setiap

perkiraan pemasukan dan

dan menelan yang belum

Turgor kulit

sempurna

membaik. BAB dan BAK lancer.

1. Observasi

hari. 2. Monitor BB setiap hari. 3. Kolaborasi

1. Mengidentifikasi

kebutuhan nutrisi. 2. Membantu dalam memantau keefektifan

aturan terapeutik. pemberian infus 3. Ketentuan dukungan nutrisi didasarkan pada perkiraan kebutuhan

3

1. Cuci tangan

bayi. 1. Mengurangi resiko

atau bayi terhindar

sebelum dan

infeksi nosokomial

Ig G dan relative belum

dari infeksi dengan

sesudah

membuat antibodi

kriteria:

Potensial behubungan

Infeksi tidak terjadi

dengan rendahnya kadar

Tanda-tanda infeksi sudah terlihat.

tindakan. 2. Lakukan parasat

dengan teknik aseptic. 3. Batasi kontak langsung dengan bayi. 4. Observasi tanda-tanda infeksi.

kepada bayi. 2. Melindungi bayi dariinfeksi. 3. Meminimalkan

terjadinya infeksi. 4. Mengetahui adanya indikasi infeksi. 5. Potensial entri organism eke dalam tubuh.

5. Kulit dan tali pusar dirawat dan dipersihkan. 6. Berikan terapi sesuai indikasi. 4

Potensial kerusakan

Disintegrasi kulit

integritas kulit

dapat dicegah.

1. Bersihkan

1. Menurunkan

genital dan

kontaminasi kulit

berhubungan dengan

sekitar setelah

membantu dalam

tipisnya kulit dan

BAB dan

kurangnya pergerakan.

BAK. 2. Beri talk secara merata pada

menurunkan eksudat. 2. Meminimalkan terjadinya resiko iritasi. 3. Memberikan perlindungan tambahan

kulit baian tebal bagian

pada kulit yang halus. 4. Mengenal adanya

tubuh yang

keusakan integritas kulit.

tertekan. 3. Ganti popok setiapkali basah dan kotor. 4. Observasi tanda-tanda kemerahan dan infeksi. 2.6.4 No 1. 04-11-03 12.00

Implementasi keperawatan

Diagnosis I

Implementasi 1. Mengkaji tanda vital dan keadaan umum klien. 2. Memberikan pendidikan kesehatan kepada ibu tentang penyakitnya. 3. Mengajarkan cara menurunkan suhu tubuh yang sederhana. a. Kompres dingin pada daerah dahi bila panas. b. Memberikan minum banyak pada

Tanda Tangan

anak. c. Memakai pakaian tipis dan

menyerap keringat. d. Menjaga sirkulasi udara dan 2.

kesejukan udara. 1. Memberikan pendidikan kesehatan

II

04-11-03

sederhana tentang pentingnya

12.00

pemenuhan nutrisi bagi anak. 2. Menganjurkan untuk memberikan makan dalam porsi kecil tapi sering. 3. Menyediakan makan dalam keadaan hangat, tidak terburu-buru dan ditemani. 4. Kolaborasi melanjutkan pemberian

3.

infuse RL : 13 tts/m(makro). 1. Memberikan lingkingan yang tenang

III

04-11-03

dan tindakan kenyamanan. 2. Melakukan message (mengelus)

12.00

daerah nyeri jika klien dapat mentoleransi sentuhan. 3. Memberikan kompres hangat pada daerah nyeri sesuai kebutuhan. 4. Memberikan aktivitas hiburan yang tepat seperti mainan. 5. Menganjurkan untuk beristirahat 4.

dalam ruangan tenang. 1. Membersihkan genital dan sekitar

IV

04-11-03

setelah BAB dan BAK. 2. Memberikan talk secara merata pada

15.00

kulit tidak terlalu tebal bagian tubuh yang terteka. 3. Mengganti popok setiap kali basah dan kotor. 4. Mengobservasi tanda kemerahan dan iritasi 2.6.5

Evaluasi

Hari/Tanggal Selasa

Diagnosa I

Evaluasi O: Suhu 36,4oC, menangis masih lemah, gerak

04-11-03

kurang aktif, menghisap masih lemah.

17.00 Selasa

A: masalah teratasi sebagian. II

04-11-03 17.00

P: Pertahankan intervensi yang ada. O: BB : 1700 gr Intake : Infus : 120 cc Output : BAK : 45 cc/hari BAB : 19 cc/hari IWL : 16.8 80,8 cc Infuse terpasang : D10% : 5 tts/menit. A: masalah belum teratasi

Selasa

III

04-11-03 17.00 Selasa

IV

04-11-03 17.00 Rabu 05-11-03 14.00

V

P: lanjutkan intervensi yang ada O: Ampicilin 3 x 50 mg Gentamin 2 x 5 mg (sudah diberikan) A: masalah teratasi P: mempertahankan intervensi yang ada. O: tanda iritasi dan kemerahan tidak terlihat Genital dan sekitar bersih A: masalah teratasi P: pertahankan intervensi yang ada O: nafas/respirasi : 3-5 x/menit Suhu/temperature : 35,6oC HR : 89 x/menit Bayi dalam keadaan apnea dan tidak teratur, terjadi sklerema. A: gangguan pemenuhan oksigen sehubungan dengan surfaktan, pertumbuhan dan perkembangan paru yang belum sempurna. P: - berikan ransangan taktil sedikit mungkin -

-

Melakukan nafas buatan Terapi oksigen 2 liter/menit Atur posisi bayi dengan kepala ekstensi Observasi pernapasan setiap 5 menit Kolaorasi obat-obatan => RJP

E: jam 19.00 bayi meninggal

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Neonatus (bayi baru lahir) adalah bayi yang baru lahir sampai usia 4 minggu lahir biasanya dengan usia gestasi 38-42 minggu (Wong, D,L, 2003). Bayi baru lahir adalah bayi yang pada usia kehamilan 37-42 minggu dan berat badan 2.500-4.000 gram (Vivian, N. L. D, 2010). Asuhan segera bayi baru lahir adalah asuhan yang diberikan pada bayi tersebut selama jam pertama setelah kelahiran sebagian besar bayi baru lahir akan menunjukkan usaha napas pernapasan spontan dengan sedikit bantuan atau gangguan (prawiroharjo, S, 2002). Jadi asuhan keperawatan pada bayi baru lahir adalah asuhan keperawatan yang diberikan pada bayi yang baru mengalami proses kelahiran dan harus menyesuaikan diri dari kehidupan intra uteri kekehidupan ekstra uteri hingga mencapai usia 37-42 minggu dan dengan berat 2.500-4.000 gram. Adapun Masalah yang terjadi pada bayi ada banyak, yaitu : Prematuritas,

Asfiksia, RDS, Hiperbilirubinemia, BBLR 3.2 Saran Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih focus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah diatas dengan

sumber



sumber

dipertanggungjawabkan.

yang

lebih

banyak

yang

tentunya

dapat

DAFTAR PUSTAKA Anonym, 2016. Prematuritas. Diakses dari (http://eprints.undip.ac.id/44517/3/Cahya_Suspimantari_22010110120024_ BAB_2_KTI.pdf) pada tanggal 5 November 2018. Hidayat, A. 2008. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta Selatan : Salemba Medika Lestari, T. 2016. Asuhan Keperawatan Anak. Yogyakarta : Nuha Medika Wardah, Y. 2015. Laporan Pendahuluan (Lp) Hiperbilirubinemia Di Ruang Perinatologi Rsud Kota Semarang. Diakses dari (http://www.academia.edu/download/36897497/LP_hiperbilirubin.docx) pada tanggal 5 November 2018.

Related Documents


More Documents from "desi susanti"