BAB I PENDAHULUAN A.
LATAR BELAKANG
Obat adalah bahan kimia yang digunakan untuk pemeriksaan, pencegahan dan pengobatan suatu penyakit atau gejala. Selain manfaatnya obat dapat menimbulkan reaksiyang tidak diharapkan yang disebut reaksi simpang obat. Reaksi simpang obat dapat mengenai banyak organ antara lain paru, ginjal, hati dan sumsum tulang, tetapi reaksi kulit merupakan manifestasi yang tersering. Reaksi tersebut dapat berupa reaksi yang dapat diduga (predictable) dan yang tidak dapat diduga (unpredictable). Reaksi simpang obat yang dapat diduga (predictable) terjadi pada semua individu, biasanya berhubungan dengan dosis dan merupakan farmakologi obat yang telah diketahui. Reaksi ini meliputi 80% dari seluruh efek simpang obat termasuk diantaranya efek samping dan overdosis (kelebihan dosis). Rekasi simpang yang tidak dapat diduga (unpredictable) hanya terjadi pada orang yang rentan, tidak tergantung pada dosis dan tidak berhubungan dengan efek farmakologis obat, termasuk diantaranya reaksi alergi obat. Reaksi alergi obat pada kulit disebut erupsi alergi obat.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa pengertian erupsi obat?
2.
Jelaskan epidemiologi erupsi obat?
3.
Jelaskan etiologi erupsi obat?
4.
Jelaskan faktor – faktor risiko erupsi obat?
5.
Jelaskan patofisiologi erupsi obat?
6.
Jelaskan manifestasi klinis erupsi obat?
7.
Apa saja tanda dan gejala erupsi obat?
8.
Jelaskan diagnosis erupsi obat?
9.
Jelaskan pemeriksaan penunjang erupsi obat?
10.
Bagaimana penatalaksanaan erupsi obat?
C.
TUJUAN
Tujuan dari penulisan makalah ini antara lain : 1.
Menjelaskan pengertian erupsi obat.
2.
Menjelaskan epidemiologi erupsi obat.
3.
Menjelaskan etiologi erupsi obat.
4.
Menjelaskan faktor – faktor risiko erupsi obat.
5.
Menjelaskan patofisiologi erupsi obat.
6.
Menjelaskan manifestasi klinis erupsi obat.
7.
Menjelaskan tanda dan gejala erupsi obat.
8.
Menjelaskan diagnosis erupsi obat.
9.
Menjelaskan pemeriksaan penunjang erupsi obat.
10.
Menjelaskan penatalaksanaan erupsi obat.
BAB II PEMBAHASAN A.
PENGERTIAN
Erupsi obat alergik atau allergic drug eruption ialah reaksi alergik pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang biasanya sistemik. Erupsi obat alergik (EOA) merupakan reaksi hipersensitivitas yang ditandai oleh satu atau lebih makula yang berbatas jelas, berbentuk bulat atau oval dengan ukuran lesi bervariasidari beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter. Gambaran yang khas dari EOA adalah kecenderungannya untuk berulang di tempat lesi yang sama bila terpapar kembali dengan obat yang sama. B.
ETIOLOGI
Jenis obat penyebab alergi sangat bervariasi dan berbeda menurut waktu, tempat dan jenis penelitian yang dilaporkan. Tingginya angka kejadian alergi obat tampak berhubungan erat dengan kekerapan pemakaian obat tersebut. Diduga risiko terjadinya reaksi alergi sekitar 1 – 3% terhadap sebagian besar jenis obat. Pada umumnya laporan tentang obat tersering penyebab alergi adalah golongan penisilin, sulfa, salisilat dan pirazolon. Obat lain yang sering pula dilaporkan adalah analgetik lain (asam mefenamat), antikonvulsan (dilantin, mesantoin, tridion), sedatif (terutama luminal) dan trankuilizer (fenotiazin, fenergan, klorpromazin, meprobamat). Tetapi, alergi obat dengan gejala klinis berat paling sering dihubungkan dengan penisilin dan sulfa. C.
FAKTOR RISIKO ALERGI OBAT
Adapun faktor – faktor yang memperbesar risiko timbulnya erupsi obat antara lain : 1. Jenis Kelamin Wanita mempunyai risiko untuk mengalami gangguan ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan pria. 2. Sistem Imunitas Erupsi alergi obat lebih mudah terjadi pada seseorang yang mengalami penurunan sistem imun. 3.Usia Alergi obat dapat terjadi pada semua golongan umur terutama anak – anak dan orang dewasa. Pada anak – anak disebabkan perkembangan sistem imunologi yang belum sempurna. Sebaliknya, pada orang dewasa disebabkan karena lebih seringnya berkontak dengan bahan antigenetik. 4.Dosis Pemberian obat yang intermitten dengan dosis tinggi akan memudahkan timbulnya sensitisasi. Tetapi, jika sudah melalui fase induksi, dosis yang sangat kecil sekalipun sudah dapat menimbulkan reaksi alergi. 5. Infeksi dan Keganasan
Mortalitas tinggi lainnya juga ditemukan pada penderita erupsi obat berat yang disertai dengan keganasan. 6.Atopik Faktor risiko yang bersifat atopik ini masih dalam perdebatan. D. PATOFISIOLOGI Mekanisme terjadinya erupsi alergi obat dapat terjadi secara nonimunologik dan imunologik (alergik), tetapi sebagian besar merupakan reaksi imunologik. Pada mekanisme imunologik, erupsi alergi obat terjadi pada pemberian obat kepada pasien yang sudah tersensitasi dengan obat tersebut. Obat dengan berat molekul yang rendah awalnya berperan sebagai antigen yang tidak lengkap (hapten). Obat atau metabolitnya yang berupa hapten ini harus berkonjugasi dahulu dengan protein, misalnya jaringan, serum atau protein dari membran sel untuk membentuk antigen yaitu kompleks hapten protein. Obat dengan berat molekul yang tinggi dapat berfungsi langsung sebagai antigen lengkap. Sehingga mengakibatkan terjadinya erupsi obat. E. MANIFESTASI KLINIS Manifestasi alergi obat dapat diklasifikasikan menurut organ yang terkena atau menurut mekanisme kerusakan jaringan akibat reaksi imunologis Gell danCoombs (tipe I sampai dengan IV). 1. Tipe I (Hipersensivitas Tipe Cepat) Manifestasi yang terjadi merupakan efek mediator kimia akibat reaksi antigen dengan IgE yang telah terbentuk menyebabkan kontraksi otot polos. Meningkatnya permeabilitas kapiler serta hipersekresi kelenjar mukus. a) Kejang bronkus gejalanya berupa sesak, kadang – kadang kejang bronkus disertai kejang laring. Bila disertai edema laring keadaan karena pasien tidak dapat atau sangat sulit bernapas. b) Urtikaria, c) Angiodema, d) Pingsan dan hipotensi. Renjatan anafilatik dapat terjadi beberapa menit setelah suntikan seperti penisilin. Manifestasi klinis renjatan anafilatik dapat terjadi dalam waktu 30 menit setelah pemberian obat, karena hal tersebut mengenai beberapa organ dan secara potensial membahayakan. Reaksi ini sering disebut sebgai anafilaksis. Penyebab yang tersering adalah penisilin. Pada tipe I ini terjadi beberapa fase yaitu : a.
Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE;
b. Fase aktivasi yaitu fase yang terjadi karena paparan ulang antigen spesifik. Akibat aktivasi ini sel mast basofil mengeluarkan kandungan yang berbentuk granual yang dapat menimbulkan reaksi; c.
Fase efektor yaitu fase terjadinya respon imun yang kompleks akibat pelepasan mediator.
2. Tipe II Reaksi hipersensivitas tipe II atau reaksi sitotaksik terjadi karena terbentuknya IgM atau IgG oleh pajanan antigen. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel – sel yang memiliki reseptornya (FcgR). Ikatan antibodi antigen juga dapat mengaktifkan komplemen melalui reseptor komplemen.
Manifestasi klinis reaksi alergi tipe II umumnya berupa kelainan darah seperti anemia hemolitik, trombositopena, eosinofilia dan granulasitopenia. Nefritis interstisial dapat juga merupakan reaksi alergi tipe ini. 3. Tipe III Reaksi ini disebut reaksi kompleks imun dan akan terjadi bila kompleks ini mengendap pada jaringan. Antibodi yang berperan di sini ialah IgM dan IgG. Kompleks ini akan mengaktifkan pertahanan tubuh yaitu dengan penglepasan komplemen. Manifestasi klinis reaksi alergi tipe III dapat berupa : a.
Demam;
b.
Limfadenopati;
c.
Kelainan sendia, artralgia dan efusi sendi;
d. Urtikaria, angiodema, eritema, makulopapula, eritema multiforme. Gejala tersebut sering disertai pruritis; e. Lainnnya seperti kejang perut, mual, neuritis optik, glomerulonefritis, sindrom lupus eritematosus sistemk serta vaskulitis. Gejala tadi timbul 5 – 20 hari setelah pemberian obat, tetapi bila sebelumnya pernah mendapat obat tersebut gejalanya dalam waktu 1 – 5 hari. 4. Tipe IV Reaksi tipe IV disebut Delayed Type Hypersensitivity (DTH) juga dikenal sebagai Cell Mediated Imunity (reaksi imun seluler). Pada reaksi ini tidak ada peranan antibodi. Reaksi terjadi karena respon sel T yang telah disensitasi oleh antigen tertentu. Berbagai jenis Delayed Type Hypersensitivity (DTH) antara lain : a.
Cutaneous Basophil Hypersensitivity;
b.
Hipersensivitas kontak (kontak dermatits);
c.
Reaksi tuberkulin;
d.
Reaksi granuloma.
Manifestasi klinis reaksi alergi tipe IV dapat berupa reaksi paru akut seperti demam, sesak, batuk, infiltrat paru dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi ini yaitu nitrofurantion, nefritis intersyisial, ensefalomielitis dan hepatitis. Namun, dermatitis merupakan manifestasi yang paling sering. Kadang – kadang gejala baru timbul bertahun – tahun setelah sensitasi. Contohnya, pemakaian obat tropikal (sulfa, penisilin atau antihistamin). Bila pasien telah sensitif, gejala dapat muncul 18 – 24 jam setelah obat dioleskan.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan penunjang yang dapat dilaksanakan untuk memastikan penyebab erupsi obat alergi adalah : a.
Pemeriksaan in vivo
Uji kulit yang tepat dilakukan memakai bahan yang bersifat imunogenik yaitu determinan antigen dari obat atau metabolitnya. Bahan uji kulit harus bersifat non iritatif untuk menghindari positif palsu. Uji ini manfaatnya sangat terbatas karena baru sedikit sekali determinan antigen obat yang sudah diketahui dan tersedia untuk uji kulit. Dengan uji kulit hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap makro molekul seperti insulin, antisera, ekstrak organ, sedangkan untuk mikromolekul sejauh ini hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap penisilin saja. Uji ini antara lain : 1)
Uji Tempel (patch test)
Uji tempel sering dipakai untuk membuktikan dermatitis kontak. Suatu seri sediaan uji tempel yang mengandung berbagai obat ditempelkan pada kulit (biasanya daerah punggung) untuk dinilai 48 – 72 jam kemudian. Uji tempel dikatakan positif bila terjadi erupsi pruritus, eritema dan vesikular yang serupa dengan reaksi. Klinis alergi sebelumnya, tetapi dengan intensitas dan skala lebih ringan. 2)
Uji Tusuk (prick/scratch test)
Uji tusuk dapat digunakan untuk mengkonfirmasi adanya reaksi tipe I, dengan adanya deteksi kompleks antigen IgE spesifik. Uji kulit dapat dilakukan dengan memakai bahan yang bersifat imunogenik yaitu determinan antigen dari obat atau metabolitnya. Bahan untuk uji kulit harus bersifat non iritatif untuk menghindarkan positif palsu. Uji kulit sebetulnya merupakan cara yang efektif untuk diagnosis penyakit atopik, tetapi manfaatnya terbatas untuk alergi obat karena pada saat ini baru sedikit sekali determinan antigen obat yang sudah diketahui. Dengan uji kulit hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap makromolekul (insulin, antisera, ekstrak organ), sedangkan untuk mikromolekul sejauh ini hanya dapat mengidentifikasi alergi terhadap penisilin saja. Hasil negatif hanya berarti pada uji kulit penisilin. 3)
Uji Provokasi (exposure test)
Uji provokasi dapat memastikan diagnosis alergi obat, tetapi merupakan prosedur diagnostik terbatas karena mengandung resiko yang berbahaya yaitu terjadinya anafilaksis sehingga hanya dianjurkan dilakukan ditempat yang memiliki fasilitas dan tenaga yang memadai. Karena itu maka uji provokasi merupakan kontra indikasi untuk alergi obat yang berat misalnya anafilaksis, sindroma Steven Johnson, dermatitis eksfoliatif, kelainan hematologi, eritema vesiko bulosa. Uji provokasi dilakukan setelah eliminasi yang lamanya tergantung dari masa paruh setiap obat. b.
Pemeriksaan in vitro
Uji in vitro untuk alergi obat lebih lazim digunakan dalam penelitian. Pemeriksaan yang dilakukan antara lain IgG dan IgM spesifik, uji aglutinasi dan lisis sel darah merah, RAST, uji pelepasan histamin, uji sensitisasi jaringan (basofil atau lerkosit serta esai sitokin dan reseptor sel), sedangkan pemeriksaan rutin seperti IgE total dan spesifik, uji Coomb’s, uji komplemen dan lain – lain bukanlah untuk konfirmasi
alergi obat. Tujuan dari uji ini untuk membantu membedakan apakah reaksi kulit yang terjadi pada individu tersebut disebabkan karena obat atau bukan.
G. PENATALAKSANAAN 1.
Penatalaksanaan Umum
a. Melindungi kulit, pemberian obat yang diduga menjadi penyebab erupsi kulit harus dihentikan segera; b. Menjaga kondisi pasien dengan selalu melakukan pengawasan untuk mendeteksi kemungkinan timbulnya erupsi yang lebih parah atau relaps setelah berada pada fase pemulihan; c. Transfusi darah bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2 – 3 hari, khususnya pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik; d. Menjaga kondisi fisik pasien termasuk asupan nutrisi dan cairan tubuhnya. Berikan cairan via infus bila perlu. Pengaturan keseimbangan cairan elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan tenggorok serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus, misalnya berupa glukosa 5% dan larutan Darrow. 2.
Penatalaksanaan Khusus
a.
Sistemik
1)
Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik. Obat kortikosteroid yang sering digunakan adalah prednison. Pada kelainan urtikaria, eritema, dermatitis medikamentosa, purpura, eritema nodosum, eksantema fikstum dan PEGA karena erupsi obat alergi. Dosis standar untuk orang dewasa adalah 3 x 10 mg sampai 4 x 10 mg sehari. Pengobatan eryhema multiforme major, SSJ dan NET pertama kali adalah menghentikan obat yang diduga penyebab dan pemberian terapi yang bersifat suportif seperti perawatan luka dan NET perawatan gizi penderita. Penggunaan glukortikoid untuk pengobatan SSJ dan masih kontroversial. Pertama kali dilakukan pemberianintravenous immunoglobulin (IVIG) terbukti dapat menurunkan progresifitas penyakit ini dalam jangka waktu 48 jam. Untuk selanjutnya IVIG diberikan sebanyak 0.2 – 0.75 g/kg selama 4 hari pertama. 2)
Antihistamin
Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan, jika terdapat rasa gatal, kecuali pada urtikaria, efeknya kurang jika dibandingkan dengan kortikosteroid.
b.
Topikal
Pengobatan topikal tergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah kering atau basah. Jika dalam keadaan kering dapat diberikan bedak salisilat 2% ditambah dengan obat antipruritus seperti mentol ½ - 1% untuk mengurangi rasa gatal. Jika dalam keadaan basah perlu digunakan kompres, misalnya larutan asam salisilat 1%. Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan pengobatan topikal. Pada eksantema fikstum, jika kelainan membasah dapat diberikan krim kortikosteroid, misalnya hidrokortison 1% – 2 ½%. Pada eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang menyeluruh dan mengalami skuamasi dapat diberikan salep lanolin 10% yang dioleskan sebagian – sebagian. Terapi topikal untuk lesi di mulut dapat berupakenalog in orabase. Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sofratulle atau krim sulfadiazin perak.
ASUHAN KEPERAWATAN ERUPSI OBAT Analisis Data DS : -
Klien mengeluh sesak nafas
-
Klien mengatakan hal ini terjadi setelah klien minum obat antibiotik
DO : -
Pada kulit dan mukosa mulut terdapat bula yang luas dan sebagian terdapat krusta No
Data Subjektif dan Data Objektif
Masalah
1.
DS :
Gangguan pertukaran gas.
-
Etiologi
Klien mengatakan sesak nafas Definisi : kelebihan dan kekurangan oksigenasi dan atau eliminasi karbondioksida di membran kapiler – aveolar.
2.
DS :
Kerusakan integritras jaringan
Klien mengatakan hal ini terjadi setelah klien minum obat antibiotik Definisi : kerusakan
suatu pada
Do :
membran mukossa jaringan korneal Pada kulit dan mukosa mulut terdapat integumen atau bula yang luas dan sebagian terdapat subkutan seseorang krusta suatu perubahan pada jaringan tubuh seseorang.
Rencana Asuhan Keperawatan No
Data Subjektif dan Data Objektif
1.
Gangguan pertukaran gas b/d Pertukaranan proses sesak nafas yang di tandai CO2 atau O2 di dengan : alveolar untuk mempertahankan DS : konsentrasi gas darah Klien mengatakan sesak nafas arteri.
- Meningkatkan keseimbangan asam – basa dan mencegah komplikasi akibat dari ketidakseimbangannya
Kerusakan integritas jaringan b/d Kulit dan membran kulit dan mukosa mulut yang di mukosa keutuhan tandai dengan : struktural dan fungsi fisiologis normal DS : dari kulit serta membran mukosa. Klien mengatakan hal ini
Perawatan luka pencegahan komplikasi luka dan peningkatan penyembuhan luka.
2.
terjadi setelah klien minum obat antibiotik DO : - Pada kulit dan mukosa mulut terdapat bula yang luas dan sebagian terdapat krusta
NOC
NIC
- Pengelolaan jalan nafas memfasilitasi kepatenan jalan nafas
Rencana Tindakan Keperawatan No 1.
Hari/ Tanggal
Diagnosa Keperawatan
Selasa, 5 Gangguan Juni 2012 pertukaran gas b/d, proses sesak nafas ditandai dengan : DS : Klien mengatakan sesak nafas
Tujuan
Tindakan
Rasional
Diharapkan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, dengan krieteria hasil:
Meningkatkan keseimbangan asam – basa dan mencegah komplikasi akibat dari ketidakseimbangannya
Untuk memperlancar pernafasan klien
Pengelolaan jalan nafas memfasilitasi DS : kepatenan jalan nafas Klien Klien mengatakan mengata kan sesak nafasnya sesak nafasnya berkurang berkurang DO :
2.
Selasa, 5 Kerusakan Juni 2012 integritas jaringan b/d kulit dan mukosa mulut yang di tandai dengan :
Setelah di lakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam diharapkan integritas kulit berkurang DS : bahkan hilang dengan hasil Klien di mengatakan hal yang harapkan : ini terjadi setelah klien Kulit dan minum obat
Perawatan luka pencegahan komplikasi luka dan peningkatan penyembuhan luka.
Untuk peningkatan penyembuhan luka Untuk mencegah komplikasi luka yang bertambah parah
antibiotik
membran mukosa keutuhan
DO : Pada kulit dan mukosa
Intervensi No
Hari / Tanggal / Jam
Implementasi ( DAR )
1.
Selasa, 5 Juni 2012
DS : Klien mengatakan sesak nafas P: Q: R: S : 10 - 0 T : Terus – menerus
A : -
Mencatat keluhan pasien
Meningkatkan keseimbangan asam – basa dan mencegah komplikasi akibat dari ketidakseimbangannya Pengelolaan jalan nafas memfasilitasi kepatenan jalan nafas
R : -
Klien mengatakan sesak nafasnya berkurang
-
Untuk memperlancar pernafasan klien
Selasa , 5 Juni 2012
2.
DS : Klien mengatakan hal ini terjadi setelah klien minum obat antibiotik DO : Pada kulit dan mukosa mulut terdapat bula yang luas dan sebagian terdapat krusta P: Q: R: S: T:
A: -
Mencatat keluhan pasien
Perawatan luka pencegahan komplikasi luka dan peningkatan penyembuhan luka.
R: Klien mengatakan dikulit dan mukosa mulut sudah mulai membaik -
Untuk peningkatan penyembuhan luka
Untuk mencegah komplikasi luka yang bertambah parah
Evaluasi No
Hari / Tanggal
SOAP
1.
Selasa, 5 Juni 2012
S : Klien mengatakan sesak nafas O:-
Paraf
A : Masalah belum teratasi P : Lanjutan Intervensi 2.
Selasa, 5 Juni 2012
S : Klien mengatakan hal ini terjadi setelah klien minum obat antibiotik O : Pada kulit dan mukosa mulut terdapat bula yang luas dan sebagian terdapat krusta A : Masalah belum teratasi P : Lanjutan Intervensi
BAB III PENUTUP A.
KESIMPULAN
Erupsi obat alergik atau allergic drug eruption ialah reaksi alergik pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang biasanya sistemik dan diperkirakan kejadiannya 2% dari total pemakaian obat – obatan atau sebesar 15 – 20% dari keseluruhan efek samping pemakaian obat – obatan. Penyebab alergi obat yang tersering adalah golongan penisilin, sulfa, salisilat dan pirazolon. Adapun faktor risiko alergi obat antara lain jenis kelamin, sistem imunitas, usia, dosis, infeksi dan keganasan serta atopik.Manifestasi alergi obat dapat diklasifikasikan menurut organ yang terkena atau menurut mekanisme kerusakan jaringan akibat reaksi imunologis Gell dan Coombs (tipe I sampai dengan IV). Tanda dan gejala erupsi obat yaitu bercak kemerahan, eritema, demam, limfadenopati dan nyeri pada mulut. Diagnosis erupsi obat adalah anamnesis dan uji kulit. Pemeriksaan penunjang erupsi obat dengan pemeriksaan in vivo serta in vitro. Sedangkan untuk penatalaksanannya bisa secara umum dan khusus.
DAFTAR PUSTAKA Sudoyo, Aru W dkk. 2009. Ilmu Penyakit Dalam Volume 2 Edisi 5. Jakarta : EGC. Wilkinson, Judith. 2006. Buku Saku Diagnosis keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC. Jakarta : EGC. http://wikimed.blogbeken.com/erupsi-alergi-obat http://kesehatanvegan.com/2010/07/14/erupsi-alergi-obat http://ifan050285.wordpress.com/2010/03/08/drug-eruption/ http://www.scrib.com/doc/5571797/ERUPSI-OBAT-ALERGIK