Askep Kejang Demam.docx

  • Uploaded by: muhamad fadloli
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Askep Kejang Demam.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,920
  • Pages: 36
Askep : Asuhan Keperawatan Anak Kejang Demam Kejang Demam Pengertian Kejang demam atau febrile convulsion ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38oC) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium (Ngastiyah, 1997:229). Kejang adalah pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel syaraf cortex serebral yang ditandai dengan serangan yang tiba – tiba (marillyn, doengoes. 1999 : 252)

Etiologi Penyebab dari kejag demam dibagi menjadi 6 kelompok, yaitu : 1. Obat – obatan racun, alkhohol, obat yang diminum berlebihan

2. Ketidak seimbangan kimiawi hiperkalemia, hipoglikemia dan asidosis

3. Demam paling sering terjadi pada anak balita

4. Patologis otak akibat dari cidera kepala, trauma, infeksi, peningkatan tik

5. Eklampsia hipertensi prenatal, toksemia gravidarum

6. Idiopatik penyebab tidak diketahui

Tanda dan Gejala Ada 2 bentuk kejang demam, yaitu : 1. Kejang demam sementara o Umur antara 6 bulan – 4 tahun o Lama kejang lebih dari 15 menit o Kejang bersifat umum o Kejang terjadi dalam waktu 16 jam setelah timbulnya demam o Tidak ada kelainan neurologis, baik klinis maupun laboratorium o Eeg normal 1 minggu setelah bangkitan kejang 2. Kejang demam komplikata o Diluar kriteria tersebut diatas

Komplikasi 1. 2. 3. 4.

Kejang berulang Epilepsi Hemiparese Gangguan mental dan belajar

Pemeriksaan Diagnostik 1. Darah Glukosa Darah : Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N <>BUN : Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan

merupakan indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat. Elektrolit : K, Na Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang Kalium ( N 3,80 – 5,00 meq/dl ) Natrium ( N 135 – 144 meq/dl )

2. Cairan Cerebo Spinal : Mendeteksi tekanan abnormal dari CCS tanda infeksi, pendarahan penyebab kejang.

3. Skull Ray : Untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi

4. Tansiluminasi : Suatu cara yang dikerjakan pada bayi dengan UUB masih terbuka (di bawah 2 tahun) di kamar gelap dengan lampu khusus untuk transiluminasi kepala.

5. EEG : Teknik untuk menekan aktivitas listrik otak melalui tengkorak yang utuh untuk mengetahui fokus aktivitas kejang, hasil biasanya normal.

6. CT Scan : Untuk mengidentifikasi lesi cerebral infaik hematoma, cerebral oedem, trauma, abses, tumor dengan atau tanpa kontras.

Penatalaksanaan Medik 1. Pemberian diazepam o dosis awal : 0,3 – 0,5 mg/ kg bb/ dosis iv (perlahan)

bila kejang belum berhenti dapat diulang dengan dosisi ulangan setelah 20 menit. 2. Turunkan demam o anti piretik : para setamol atau salisilat 10 mg/ kg bb/ dosis o kompres air biasa 3. Penanganan suportif o bebaskan jalan nafas o beri zat asam o

Sumber : http://kumpulan-asuhankeperawatan.blogspot.com/2010/01/askep-asuhan-keperawatan-anakkejang.html

Asuhan Keperawatan Pasien Anak Dengan Kejang Demam

Pengkajian Pengumpulan data pada kasus kejang demam ini meliputi : 1. Data subyektif o Biodata/Identitas Biodata anak mencakup nama, umur, jenis kelamin. Biodata orang tua perlu dipertanyakan untuk mengetahui status sosial anak meliputi nama, umur, agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, alamat.

o

Riwayat Penyakit 1. Riwayat penyakit yang diderita sekarang tanpa kejang ditanyakan : Apakah betul ada kejang ? Diharapkan ibu atau keluarga yang mengantar dianjurkan menirukan gerakan kejang si anak

2. Apakah disertai demam ? Dengan mengetahui ada tidaknya demam yang menyertai kejang, maka diketahui apakah infeksi infeksi memegang peranan dalam terjadinya bangkitan kejang. Jarak antara timbulnya kejang dengan demam.

3. Lama serangan Seorang ibu yang anaknya mengalami kejang merasakan waktu berlangsung lama. Lama bangkitan kejang kita dapat mengetahui kemungkinan respon terhadap prognosa dan pengobatan.

4. Pola serangan  Perlu diusahakan agar diperoleh gambaran lengkap mengenai pola serangan apakah bersifat umum, fokal, tonik, klonik ?  Apakah serangan berupa kontraksi sejenak tanpa hilang kesadaran seperti epilepsi mioklonik ?  Apakah serangan berupa tonus otot hilang sejenak disertai gangguan kesadaran seperti epilepsi akinetik ?  Apakah serangan dengan kepala dan tubuh mengadakan flexi sementara tangan naik sepanjang kepala, seperti pada spasme infantile ? Pada kejang demam sederhana kejang ini bersifat umum. 5. Frekuensi serangan Apakah penderita mengalami kejang sebelumnya, umur berapa kejang terjadi untuk pertama kali, dan berapa frekuensi kejang per tahun. Prognosa makin

kurang baik apabila kejang timbul pertama kali pada umur muda dan bangkitan kejang sering timbul.

6. Keadaan sebelum, selama dan sesudah serangan Sebelum kejang perlu ditanyakan adakah aura atau rangsangan tertentu yang dapat menimbulkan kejang, misalnya lapar, lelah, muntah, sakit kepala dan lainlain. Dimana kejang dimulai dan bagaimana menjalarnya. Sesudah kejang perlu ditanyakan apakah penderita segera sadar, tertidur, kesadaran menurun, ada paralise, menangis dan sebagainya ?

7. Riwayat penyakit sekarang yang menyertai Apakah muntah, diare, truma kepala, gagap bicara (khususnya pada penderita epilepsi), gagal ginjal, kelainan jantung, DHF, ISPA, OMA, Morbili dan lainlain.

8. Riwayat penyakit dahulu  Sebelum penderita mengalami serangan kejang ini ditanyakan apakah penderita pernah mengalami kejang sebelumnya, umur berapa saat kejang terjadi untuk pertama kali ?  Apakah ada riwayat trauma kepala, radang selaput otak, KP, OMA dan lain-lain. 9. Riwayat kehamilan dan persalinan Kedaan ibu sewaktu hamil per trimester, apakah ibu pernah mengalami infeksi atau sakit panas sewaktu hamil. Riwayat trauma, perdarahan per vaginam sewaktu hamil, penggunaan obat-obatan maupun jamu selama hamil. Riwayat persalinan ditanyakan apakah

sukar, spontan atau dengan tindakan (forcep/vakum), perdarahan ante partum, asfiksi dan lain-lain. Keadaan selama neonatal apakah bayi panas, diare, muntah, tidak mau menetek, dan kejang-kejang.

10. Riwayat imunisasi Jenis imunisasi yang sudah didapatkan dan yang belum ditanyakan serta umur mendapatkan imunisasi dan reaksi dari imunisasi. Pada umumnya setelah mendapat imunisasi DPT efek sampingnya adalah panas yang dapat menimbulkan kejang.

11. Riwayat perkembangan Ditanyakan kemampuan perkembangan meliputi :  Personal sosial (kepribadian/tingkah laku sosial) : berhubungan dengan kemampuan mandiri, bersosialisasi, dan berinteraksi dengan lingkungannya.  Gerakan motorik halus : berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengamati sesuatu, melakukan gerakan yang melibatkan bagianbagian tubuh tertentu saja dan dilakukan otototot kecil dan memerlukan koordinasi yang cermat, misalnya menggambar, memegang suatu benda, dan lain-lain.  Gerakan motorik kasar : berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh.  Bahasa : kemampuan memberikan respon terhadap suara, mengikuti perintah dan berbicara spontan. 12. Riwayat kesehatan keluarga.







13. 



14. 



15. 

Adakah anggota keluarga yang menderita kejang (+ 25 % penderita kejang demam mempunyai faktor turunan) Adakah anggota keluarga yang menderita penyakit syaraf atau lainnya? Adakah anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ISPA, diare atau penyakit infeksi menular yang dapat mencetuskan terjadinya kejang demam. Riwayat sosial Untuk mengetahui perilaku anak dan keadaan emosionalnya perlu dikaji siapakah yanh mengasuh anak? Bagaimana hubungan dengan anggota keluarga dan teman sebayanya ? Pola kebiasaan dan fungsi kesehatan Ditanyakan keadaan sebelum dan selama sakit bagaimana ? Pola kebiasaan dan fungsi ini meliputi :  Pola persepsi dan tatalaksanaan hidup sehat  Gaya hidup yang berkaitan dengan kesehatan, pengetahuan tentang kesehatan, pencegahan dan kepatuhan pada setiap perawatan dan tindakan medis ?  Bagaimana pandangan terhadap penyakit yang diderita, pelayanan kesehatan yang diberikan, tindakan apabila ada anggota keluarga yang sakit, penggunaan obatobatan pertolongan pertama. Pola nutrisi Untuk mengetahui asupan kebutuhan gizi anak. Ditanyakan bagaimana kualitas dan kuantitas dari makanan yang dikonsumsi oleh anak ?



16. 



17. 

 

18.    

Makanan apa saja yang disukai dan yang tidak ? Bagaimana selera makan anak ? Berapa kali minum, jenis dan jumlahnya per hari ? Pola eliminasi BAK : ditanyakan frekuensinya, jumlahnya, secara makroskopis ditanyakan bagaimana warna, bau, dan apakah terdapat darah ? Serta ditanyakan apakah disertai nyeri saat anak kencing. BAB : ditanyakan kapan waktu BAB, teratur atau tidak ? Bagaimana konsistensinya lunak,keras,cair atau berlendir ? Pola aktivitas dan latihan Apakah anak senang bermain sendiri atau dengan teman sebayanya? Berkumpul dengan keluarga sehari berapa jam? Aktivitas apa yang disukai? Pola tidur/istirahat Berapa jam sehari tidur? Berangkat tidur jam berapa? Bangun tidur jam berapa? Kebiasaan sebelum tidur, bagaimana dengan tidur siang ?

2. Data Obyektif o Pemeriksaan Umum Pertama kali perhatikan keadaan umum vital : tingkat kesadaran, tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu. Pada kejang demam sederhana akan didapatkan suhu tinggi sedangkan kesadaran setelah kejang akan kembali normal seperti sebelum kejang tanpa kelainan neurologi.

o

Pemeriksaan Fisik

1. Kepala Adakah tanda-tanda mikro atau makrosepali? Adakah dispersi bentuk kepala? Apakah tanda-tanda kenaikan tekanan intrakarnial, yaitu ubun-ubun besar cembung, bagaimana keadaan ubun-ubun besar menutup atau belum ?

2. Rambut Dimulai warna, kelebatan, distribusi serta karakteristik lain rambut. Pasien dengan malnutrisi energi protein mempunyai rambut yang jarang, kemerahan seperti rambut jagung dan mudah dicabut tanpa menyebabkan rasa sakit pada pasien.

3. Muka/ wajah Paralisis fasialis menyebabkan asimetri wajah; sisi yang paresis tertinggal bila anak menangis atau tertawa, sehingga wajah tertarik ke sisi sehat. Adakah tanda rhisus sardonicus, opistotonus, trimus ? Apakah ada gangguan nervus cranial ?

4. Mata Saat serangan kejang terjadi dilatasi pupil, untuk itu periksa pupil dan ketajaman penglihatan. Apakah keadaan sklera, konjungtiva ?

5. Telinga Periksa fungsi telinga, kebersihan telinga serta tandatanda adanya infeksi seperti pembengkakan dan nyeri

di daerah belakang telinga, keluar cairan dari telinga, berkurangnya pendengaran.

6. Hidung Apakah ada pernapasan cuping hidung? Polip yang menyumbat jalan napas? Apakah keluar sekret, bagaimana konsistensinya, jumlahnya ?

7. Mulut Adakah tanda-tanda sardonicus? Adakah cynosis? Bagaimana keadaan lidah? Adakah stomatitis? Berapa jumlah gigi yang tumbuh? Apakah ada caries gigi?

8. Tenggorokan Adakah tanda-tanda peradangan tonsil ? Adakah tanda-tanda infeksi faring, cairan eksudat ?

9. Leher Adakah tanda-tanda kaku kuduk, pembesaran kelenjar tiroid ? Adakah pembesaran vena jugulans ?

10. Thorax Pada infeksi, amati bentuk dada klien, bagaimana gerak pernapasan, frekwensinya, irama, kedalaman, adakah retraksi intercostale? Pada auskultasi, adakah suara napas tambahan ?

11. Jantung Bagaimana keadaan dan frekwensi jantung serta iramanya ? Adakah bunyi tambahan ? Adakah bradicardi atau tachycardia ?

12. Abdomen Adakah distensia abdomen serta kekakuan otot pada abdomen ? Bagaimana turgor kulit dan peristaltik usus ? Adakah tanda meteorismus? Adakah pembesaran lien dan hepar ?

13. Kulit Bagaimana keadaan kulit baik kebersihan maupun warnanya? Apakah terdapat oedema, hemangioma ? Bagaimana keadaan turgor kulit ?

14. Ekstremitas Apakah terdapat oedema, atau paralise terutama setelah terjadi kejang? Bagaimana suhunya pada daerah akral ?

15. Genetalia Adakah kelainan bentuk oedema, sekret yang keluar dari vagina, tanda-tanda infeksi ?

Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul 1. Risiko trauma fisik berhubungan dengan kurangnya koordinasi otot/kejang

2. Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi

Intervensi Diagnosa Keperawatan I : Risiko trauma fisik berhubungan dengan kurangnya koordinasi otot/kejang Tujuan : Risk detection. Kriteria Hasil :   

 

Tidak terjadi trauma fisik selama perawatan. Mempertahankan tindakan yang mengontrol aktivitas kejang. Mengidentifikasi tindakan yang harus diberikan ketika terjadi kejang. Pengetahuan tentang risiko Memonitor faktor risiko dari lingkungan

Rencana Tindakan : NIC : Pencegahan jatuh 

Beri pengaman pada sisi tempat tidur dan penggunaan tempat tidur yang rendah. Rasional : meminimalkan injuri saat kejang



Tinggalah bersama klien selama fase kejang.. Rasional : meningkatkan keamanan klien.



Berikan tongue spatel diantara gigi atas dan bawah. Rasional : menurunkan resiko trauma pada mulut.



Letakkan klien di tempat yang lembut. Rasional : membantu menurunkan resiko injuri fisik pada ekstimitas ketika kontrol otot volunter berkurang.



Catat tipe kejang (lokasi,lama) dan frekuensi kejang. Rasional : membantu menurunkan lokasi area cerebral yang terganggu.



Catat tanda-tanda vital sesudah fase kejang Rasional : mendeteksi secara dini keadaan yang abnormal.

Diagnosa Keperawatan II : Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi Tujuan : Thermoregulation Kriteria Hasil :   

Suhu tubuh dalam rentang normal Nadi dan RR dalam rentang normal Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing

Rencana Tindakan : NIC : Fever treatment 

Kaji faktor – faktor terjadinya hiperthermi. Rasional : Mengetahui penyebab terjadinya hiperthermi karena

penambahan pakaian/selimut dapat menghambat penurunan suhu tubuh.



Observasi tanda – tanda vital tiap 4 jam sekali Rasional : Pemantauan tanda vital yang teratur dapat menentukan perkembangan keperawatan yang selanjutnya.



Pertahankan suhu tubuh normal Rasional : Suhu tubuh dapat dipengaruhi oleh tingkat aktivitas, suhu lingkungan, kelembaban tinggiakan mempengaruhi panas atau dinginnya tubuh.



Ajarkan pada keluarga memberikan kompres dingin pada kepala / ketiak . Rasional : Proses konduksi/perpindahan panas dengan suatu bahan perantara.



Anjurkan untuk menggunakan baju tipis dan terbuat dari kain katun Rasional : proses hilangnya panas akan terhalangi oleh pakaian tebal dan tidak dapat menyerap keringat.



Atur sirkulasi udara ruangan. Rasional : Penyediaan udara bersih.



Beri ekstra cairan dengan menganjurkan pasien banyak minum Rasional : Kebutuhan cairan meningkat karena penguapan tubuh meningkat.



Batasi aktivitas fisik Rasional : aktivitas meningkatkan metabolismedan meningkatkan panas.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Kejang Demam 1. Pengertian Kejang demam adalah kejang yang disebabkan kenaikan suhu tubuh lebih dari 38,40°c tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat atau gangguan elektrolit akut pada anak berusia di atas 1 bulan tanpa riwayat kejang sebelumnya (IDAI, 2009). Kejang demam dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks (Schwartz, 2005). Di Asia sekitar 70% - 90% dari seluruh kejang demam merupakan kejang demam sederhana dan sisanya merupakan kejang demam kompleks (Karemzadeh, 2008). Kejang demam adalah kejang yang timbul pada saat bayi atau anak mengalami demam akibat proses diluar intrakranial tanpa infeksi sistem saraf pusat. Kejang perlu diwaspadai karena dapat terjadi berulang dan dapat menyebabkan kerusakan sel-sel otak (Tikoalu J.R, 2009). Berdasarkan pengertian diatas penulis menyimpulkan Kejang demam adalah kejadian pada bayi atau anak yang mengalami peningkatan suhu tubuh diatas rentang normal yaitu ≥ 38,8°C dan disertai dengan kejang

2. Anatomi Fisiologi Sistem Persyarafan Sistem saraf manusia adalah suatu jalinan-jalinan saraf yang kompleks, sangat khusus dan saling berhubungan satu dengan yang lain. Sistem saraf mengkoordinasi, menafsirkan dan mengontrol interaksi antara individu dengan lingkungan sekitarnya. a.

Otak Otak dibagi 2 yaitu otak besar (serebrum) dan otak kecil (serebelum). Otak besar terdiri dari lobus frontalis, lobus parientalis, lobus oksipitalis dan lobus temporalis. Permukaan otak bergelombang dan berlekuk-lekuk membentuk seperti sebuah lekukan yang disebut girus. 1)

Otak besar (serebrum) Otak besar merupakan pusat dari :  Motorik : impuls yang diterima diteruskan oleh sel-sel saraf kemudian menuju ke pusat kontraksi otot  Sensorik : setiap impuls sensorik dihantarkan melalui akson sel-sel saraf yang selanjutnya akan mencapai otak antara lain ke korteks serebri.  Refleks : berbagai kegiatan refleks berpusat di otak dan batang otak sebagian lain dibagian medulla spinalis.  Kesadaran : bagian batang otak yang disebut formasio retikularis bersama bagian lain dari korteks serebri menjadi pusat kesadaran utama  Fungsi luhur : pusat berfikir, berbicara, berhitung dan lain-lain.

2) Otak Kecil (Serebelum) Otak kecil yang merupakan pusat keseimbangan dan koordinasi gerakan.Pada daerah serebelum terdapat sirkulus willisi, pada dasar otak disekitar kelenjar hipofisis, sebuah lingkaran arteri terbentuk diantara rangkaian arteri carotis interna dan vertebral, lingkaran inilah yang disebut sirkulus willisi yang

dibentuk dari cabang-cabang arteri carotis interna, anterior dan arteri serebral bagian tengah dan arteri penghubung anterior dan posterior. Arteri pada sirkulus willisi memberi alternative pada aliran darah jika salah satu aliran darah arteri mayor tersumbat. b.

Cairan Serebrospinal Merupakan cairan yang bersih dan tidak berwarna dengan berat jenis 1,007 diproduksi didalam ventrikel dan bersirkulasi disekitar otak dan medulla spinalis melalui sistem ventrikular. Cairan Serebrospinal atau Liquor Cerebro Spinalis (LCS) diproduksi di pleksus koroid pada ventrikel lateral ketiga dan keempat, secara organik dan non organik LCS sama dengan plasma tetapi mempunyai perbedaan konsentrasi. LCS mengandung protein, glukosa dan klorida, serta immunoglobulin.Secara normal LCS hanya mengandung sel darah putih sedikit dan tidak mengandung sel darah merah.Cairan LCS didalam tubuh diserap oleh villiarakhnoid.

c.

Medula Spinalis  Merupakan pusat refleks-refleks yang ada disana  Penerus sensorik ke otak sekaligus tempat masuknya saraf sensorik  Penerus impuls motorik dari otak ke saraf motorik  Pusat pola gerakan sederhana yang telah lama dipelajari contoh melangkah.

d.

Saraf Somatik Merupakan saraf tepi berupa saraf sensorik dari perifer ke pusat dan saraf motorik dari pusat ke perifer. Berdasarkan tempat keluarnya dibagi menjadi saraf otak dan saraf spinal.

e.

Saraf Spinal

Dari medulla spinalis keluar pasangan saraf kiri dan kanan vertebra :  Saraf servikal 8 pasang  Saraf torakal 12 pasang  Saraf lumbal 5 pasang  Saraf sacrum/sacral 5 pasang  Saraf koksigeal 1 pasang Saraf spinal mengandung saraf sensorik dan motorik, serat sensorik masuk medula spinalis melalui akar belakang dan serat motorik keluar dari medula spinalis melalui akar depan kemudian bersatu membentuk saraf spinal. Saraf-saraf ini sebagian berkelompok membentuk pleksus (anyaman) dan terbentuklah berbagai saraf (nervus) seperti saraf iskiadikus untuk sensorik dan motorik daerah tungkai bawah. Daerah torakal tidak membentuk anyaman tetapi masing-masing lurusdiantara tulang kosta (nervus inter kostalis). Umumnya didalam nervus ini juga berisi serat autonom, terutama serat simpatis yang menuju ke pembuluh darah untuk daerah yang sesuai. Serat saraf dari pusat di korteks serebri sampai ke perifer terjadi penyeberang (kontra lateral) yaitu yang berada di kiri menyeberang ke kanan, begitu pula sebaliknya. Jadi apabila terjadi kerusakan di pusat motorik kiri maka yang mengalami gangguan anggota gerak yang sebelah kanan. f.

Saraf Otonom Sistem saraf ini mempunyai kemampuan kerja otonom, seperti jantung, paru, serta alat pencernaan. Sistem otonom dipengaruhi saraf simpatis dan parasimpatis. Peningkatan aktifitas simpatis memperlihatkan : -

Kesiagaan meningkat

-

Denyut jantung meningkat

-

Pernafasan meningkat

-

Tonus otot-otot meningkat

-

Gerakan saluran cerna menurun

-

Metabolisme tubuh meningkat Saraf simpatis ini menyiapkan individu untuk bertempur atau lari, semua itu

tampak pada manusia apabila menghadapi masalah, bekerja, olahraga, cemas, dan lain-lain. Peningkatan aktifitas parasimpatis memperlihatkan : -

Kesiagaan menurun

-

Denyut jantung melambat

-

Pernafasan tenang

-

Tonus otot-otot menurun

-

Gerakan saluran cerna meningkat

-

Metabolisme tubuh menurun

g. Saraf kranial : 1) Saraf Olfaktorius Sistem olfaktorius dimulai dengan sisi yang menerima rangsangan olfaktorius. Sistem ini terbagi dari bagian berikut : mukosa olfaktorius pada bagian atas kavum nasal, fila olfaktoria, bulbus subkalosal pada sisi medial lobus orbitalis. Saraf ini merupakan saraf sensorik murni yang serabutserabutnya berasal dari membran mukosa hidung dan menembus area kribriformis dari tulang etmoidal untuk bersinaps di bulbus olfaktorius, dari sini traktus olfaktorius berjalan dibawah lobus frontal dan berakhir di lobus temporal bagian medial sisi yang sama. Sistem olfaktorius merupakan satu-satunya sistem sensorik yang impulsnya mencapai korteks tanpa dirilei disalurkan di talamus. Bau-bauan

yang dapat merangsang timbulnya nafsu makan dan induksi salivasi serta bau busuk yang dapat menimbulkan rasa mual dan muntah menunjukkan bahwa sistem ini ada kaitannya dengan emosi. Serabut utama yang menghubungkan sistem penciuman dengan area otonom adalah medial forebrain bundle dan stria medularis talamus. Emosi yang menyertai rangsangan olfaktorius mungkin berkaitan ke serat yang berhubungan dengan talamus, hipotalamus dan sistem limbik. 2) Saraf Optikus Saraf optikus merupakan saraf sensorik murni yang dimulai di retina.Serabut-serabut saraf ini, ini melewati foramen optikum di dekat arteri optalmika dan bergabung dengan saraf dari sisi lainnya pada dasar otak untuk membentuk kiasma optikum. Orientasi spasial serabut-serabut dari berbagai bagian fundus maih utuh sehingga serabut-serabut dari bagian bawah retina ditemukan pada bagian inferior kiasma optikum dan sebaliknya. Serabut-serabut dari lapangan visual temporal (separuh bagian nasal retina) menyilang kiasma, sedangkan yang berasal dari lapangan visual nasal tidak menyilang. Serabut-serabut untuk indeks cahaya yang berasal dari kiasma optikum berakhir di kolikulus superior, dimana terjadi hubungan dengan kedua nuklei saraf okulomotorius. Sisa serabut yang meninggalkan kiasma berhubungan dengan penglihatan dan berjalan didalam trakus optikus menuju korpus genikulatum lateralis. Dari sini serabut-serabut yang berasal dari radiasio optika melewati bagian posterior kapsula interna dan berakhir dikorteks visual lobus oksipital. Dalam perjalanannya serabut-serabut tersebut memisahkan diri sehingga serabut-serabut untuk kuadran bawah melalui lobus parietal sedangkan untuk

kuadran atas melalui lobus temporal. Akibat dari dekusasio serabut-serabut tersebut pada kiasma optikum serabut-serabut yang berasal dari lapangan penglihatan kiri berakhir di lobus oksipital kanan dan sebaliknya. 3) Saraf Okulomotorius Nukleus saraf okulomotorius terletak sebagian di depan substansia grisea periakuaduktal (Nukleus motorik) dan sebagian lagi di dalam substansia grisea (Nukleus otonom). Nukleus motorik bertanggung jawab untuk persarafan otot-otot rektus medialis, superior, dan inferior, otot oblikus inferior dan otot levator palpebra superior. Nukleus otonom atau nukleus Edingerwesthpal yang bermielin sangat sedikit mempersarafi otot-otot mata inferior yaitu spingter pupil dan otot siliaris.

4) Saraf Troklearis Nukleus saraf troklearis terletak setinggi kolikuli inferior di depan substansia grisea periakuaduktal dan berada di bawah Nukleus okulomotorius. Saraf ini merupakan satu-satunya saraf kranialis yang keluar dari sisi dorsal batang otak.Saraf troklearis mempersarafi otot oblikus superior untuk menggerakkan mata bawah, kedalam dan abduksi dalam derajat kecil. 5) Saraf Trigeminus Saraf trigeminus bersifat campuran terdiri dari serabut-serabut motorik dan serabut-serabut sensorik. Serabut motorik mempersarafi otot masseter dan otot temporalis. Serabut-serabut sensorik saraf trigeminus dibagi menjadi tiga cabang utama yaitu saraf oftalmikus, maksilaris, dan mandibularis. Daerah sensoriknya mencakup daerah kulit, dahi, wajah, mukosa mulut, hidung, sinus. Gigi maksilar dan mandibula, dura dalam fosa kranii anterior dan tengah

bagian anterior telinga luar dan kanalis auditorius serta bagian membran timpani. 6) Saraf Abdusens Nukleus saraf abdusens terletak pada masing-masing sisi pons bagian bawah dekat medula oblongata dan terletak dibawah ventrikel ke empat saraf abdusens mempersarafi otot rektus lateralis.

7) Saraf Fasialis Saraf fasialis mempunyai fungsi motorik dan fungsi sensorik fungsi motorik berasal dari Nukleus motorik yang terletak pada bagian ventrolateral dari tegmentum pontin bawah dekat medula oblongata. Fungsi sensorik berasal dari Nukleus sensorik yang muncul bersama nukleus motorik dan saraf vestibulokoklearis yang berjalan ke lateral ke dalam kanalis akustikus interna. Serabut motorik saraf fasialis mempersarafi otot-otot ekspresi wajah terdiri dari otot orbikularis okuli, otot buksinator, otot oksipital, otot frontal, otot stapedius, otot stilohioideus, otot digastriktus posterior serta otot platisma. Serabut sensorik menghantar persepsi pengecapan bagian anterior lidah. 8) Saraf Vestibulokoklearis Saraf vestibulokoklearis terdiri dari dua komponen yaitu serabut-serabut aferen yang mengurusi pendengaran dan vestibuler yang mengndung serabutserabut aferen yang mengurusi keseimbangan. Serabut-serabut untuk pendengaran berasal dari organ corti dan berjalan menuju inti koklea di pons, dari sini terdapat transmisi bilateral ke korpus genikulatum medial dan kemudian menuju girus superior lobus temporalis.

9) Saraf Glosofaringeus Saraf glosofaringeus menerima gabungan dari saraf vagus dan asesorius pada waktu meninggalkan kranium melalui foramen tersebut,

saraf

glosofaringeus mempunyai dua ganglion, yaitu gonglion intrakranialis superior dan ekstrakranialis inferior. Setelah melewati foramen, saraf berlanjut antara arteri karotis interna dan vena jugularis interna ke otot stilofaringeus. Diantara otot ini dan otot stiloglosal, saraf berlanjut ke basis lidah dan mempersarafi mukosa faring, tonsil dan sepertiga posterior lidah. 10) Saraf Vagus Saraf Vagus juga mempunyai dua ganglion yaitu ganglion superior atau jugulare dan ganglion inferior atau nodosum, keduanya terletak pada daerah foramen ugularis, saraf vagus mempersarafi semua visera toraks dan abdomen dan menghantarkan impuls dari dinding usus, jantung dan paru-paru. 11) Saraf Asesorius Saraf asesorius mempunyai radiks spinalis dan kranialis.Radiks kranialis adalah akson dari neuron dalam nukleus ambigus yang terletak dekat neuron dari saraf vagus. Saraf aksesorius adalah saraf motorik yang mempersarafi otot sternokleidomastoideus berfungsi memutar kepala ke samping dan otot trapezius memutar skapula bila lengan diangkat ke atas. 12) Saraf Hipoglosus Nukleus saraf hipoglosus terletak pada medula oblongata pada setiap sisi garis tengah dan depan ventrikel ke empat dimana semua menghasilkan trigonum hipoglosus. Saraf hipoglosus merupakan saraf motorik untuk lidah dan mempersarafi otot lidah yaitu otot stiloglosus, hipoglosus dan genioglosus.

h. Aktivitas Saraf Pemeriksaan aktifitas refleks dengan ketukan pada tendon menggunakan refleks hammer. Skala untuk peringkat refleks yaitu : 0

= Tidak ada respon

1

= Hypoactive/penurunan respon, kelemahan (+)

2

= Normal (++)

3

= Lebih cepat dari rata-rata, tidak perlu dianggap abnormal (+++)

4

= Hyperaktif, dengan klonus (++++)

i. Refleks-refleks pada sistem persyarafan 1) Refleks patella Pasien berbaring terlentang, lutut diangkat keatas sampai fleksi kurang lebih 30°. Tendon patella (ditengah-tengah patella dan tuberositas tibiae) dipukul dengan refleks hammer. Respon berupa kontraksi otot quadriceps femoris yaitu, ekstensi dari lutut.

2) Refleks biceps Lengan difleksikan terhadap siku dengan sudut 90°, supinasi dan lengan bawah ditopang pada alas tertentu (meja periksa). Jari pemeriksa ditempatkan pada tendon, biceps (diatas lipatan siku) kemudian dipukul dengan refleks hammer. Normal jika timbul kontraksi otot biceps, sedikit meningkat bila terjadi fleksi sebagian dengan gerakan pronasi. Bila hyperaktif maka akan terjadi penyebaran gerakan fleksi pada lengan dan jari-jari atau sendi bahu. 3) Refleks triceps

Lengan ditopang dan difleksikan pada sudut 900, tendon triceps diketok dengan refleks hammer (tendon triceps berada pada jarak 1-2 cm diatas olekranon) Respon yang normal adalah kontraksi otot triceps, sedikit meningkat bila ekstensi ringan dan hyperaktif bila ekstensi siku tersebut menyebar keatas sampai otot-otot bahu atau mungkin ada klonus yang sementara. 4) Refleks achilles Posisi kaki adalah dorsofleksi, untuk memudahkan pemeriksaan refleks ini kaki yang diperiksa bisa diletakkan/disilangkan diatas tungkai bawah kontralateral. Tendon achilles dipukul dengan refleks hammer, respon normal berupa gerakan plantar fleksi kaki. 5) Refleks abdominal Dilakukan dengan menggores abdomen diatas dan dibawah umbilikus. Kalau digores seperti itu, umbilikus akan bergerak keatas dan kearah yang digores. 6) Refleks babinski Merupakan refleks yang paling penting. Refleks ini hanya dijumpai pada penyakit traktus kortikospinal. Untuk melakukan test ini, goreslah kuatkuat bagian lateral telapak kaki dari tumit kearah jari kelingking dan kemudian melintasi bagian jantung kaki. Respon babinski timbul bila ibu jari kaki melakukan dorsifleksi dan jari-jari lainnya tersebar.Respon yang normal adalah fleksi plantar semua jari kaki. j. Pemeriksaan Khusus Sistem Persarafan Untuk mengetahui rangsangan selaput otak (misalnya pada meningitis) dilakukan pemeriksaan :

1) Kaku kuduk Bila leher ditekuk secara pasif terdapat tahanan, sehingga dagu tidak dapat menempel pada dada berarti kaku kuduk positif (+). 2) Tanda brudzinski I Letakan satu tangan pemeriksa dibawah kepala klien dan tangan lain didada klien untuk mencegah badab tidak terangkat. Kemudian kepala klien difleksikan dedada secara pasif. Brudzinski I positif (+) bila kedua tungkai bawah akan fleksi pada sendi panggul dan sendi lutut. 3) Tanda brudzinski II Tanda brudzinski II positif (+) bila fleksi tungkai klien pada sendi panggung secara pasif akan diikuti oleh fleksi tungkai lainnya pada sendi panggul dan lutut. 4) Tanda kernig Fleksi tungkai atas tegak lurus, lalu dicoba meluruskan tungkai bawah pada sendi lutut. Normal, bila tungkai bawah membentuk sudut 135° terhadap tungkai atas. Kernig + bila ekstensi lutut pasif akan menyebabkan rasa sakit terhadap hambatan 5) Test Laseque Fleksi sendi paha dengan sendi lutut yang lurus akan menimbulkan nyeri sepanjang m. Ischiadicus. Mengkaji abnormal postur dengan mengobservasi : a. Kejang pada posisi Dekortikasi (Decorticate posturing), terjadi jika ada lesi pada traktus corticospinal. Nampak kedua lengan atas menutup kesamping, kedua siku, kedua pergelangan tangan dan jari fleksi, kedua kaki ekstensi dengan memutar kedalam dan kaki plantar fleksi.

b. Kejang pada posisi Deserebrasi (Decerebrate posturing), terjadi jika ada lesi pada midbrain, pons atau diencephalon. c. Leher ekstensi, dengan rahang mengepal, kedua lengan pronasi, ekstensi dan menutup kesamping, kedua kaki lurus keluar dan kaki plantar fleksi.

3. Etiologi Etiologi dari kejang demam masih tidak diketahui. Namun pada sebagian besar anak dipicu oleh tingginya suhu tubuh bukan kecepatan peningkatan suhu tubuh. Biasanya suhu demam diatas 38,8°C dan terjadi disaat suhu tubuh naik dan bukan pada saat setelah terjadinya kenaikan suhu tubuh (Dona Wong L, 2008). 4. Patofisiologi Pada keadaan demam, kenaikan suhu sebanyak 1º C akan menyebabkan kenaikan kebutuhan metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen meningkat sebanyak 20%. Pada seorang anak yang berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan dari membran sel neuron. Dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium melalui membran tadi, akibatnya terjadinya lepasan muatan listrik. Lepasan muatan listrik ini dapat meluas ke seluruh sel maupun membran sel tetangganya dengan bantuan neurotransmitter dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung pada tinggi atau rendahnya ambang kejang seseorang anak pada kenaikan suhu tubuhnya. Kebiasaannya, kejadian kejang pada suhu 38ºC, anak tersebut mempunyai ambang kejang yang rendah, sedangkan pada suhu 40º C atau lebih anak tersebut mempunyai ambang kejang yang

tinggi. Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah (Latief et al., 2007).

Bagan 2.1 Proses Penyakit

Suhu Tubuh Meningkat

Gangguan Keseimbangan Membran Sel

Pelepasan Ion Na dan K

Pelepasan Muatan Listrik Oleh Seluruh Sel Sangat Besar

Gangguan Muatan Listrik

KEJANG (Sumber: Nugroho, 2011)

5. Manifestasi Klinis Kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik atau tonik klonik bilateral. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Adapun tanda- tanda kejang demam meliputi : a.

Demam yang biasanya di atas (38,9 º C)

b.

Jenis kejang (menyentak atau kaku otot)

c.

Gerakan mata abnormal (mata dapat berputar-putar atau ke atas)

d.

Suara pernapasan yang kasar terdengar selama kejang

b.

Penurunan kesadaran

c.

Kehilangan kontrol kandung kemih atau pergerakan usus

d.

Muntah

e.

Dapat menyebabkan mengantuk atau kebingungan setelah kejang dalam waktu yang singkat (Lyons, 2012)

6. Pemeriksaan Diagnostik Beberapa pemeriksaan penunjang yang diperlukan dalam mengevaluasi kejang demam, diantaranya sebagai berikut : a. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan ini tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit, gula darah dan urinalisis (Saharso et al., 2009). Selain itu, glukosa darah harus diukur jika kejang lebih lama dari 15 menit dalam durasi atau yang sedang berlangsung ketika pasien dinilai (Farrell dan Goldman, 2011). b. Pungsi lumbal Pemeriksaan cairan serebrospinal dengan pungsi lumbal dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama pada pasein kejang demam pertama. Pungsi lumbal sangat dianjurkan untuk bayi kurang dari 12 bulan, bayi antara 12 - 18 bulan dianjurkan untuk dilakukan dan bayi > 18 bulan

tidak rutin dilakukan pungsi lumbal. Pada kasus kejang demam hasil pemeriksaan ini tidak berhasil (Pusponegoro dkk, 2006). c. Elektroensefalografi (EEG) Pemeriksaan ini tidak direkomendasikan setelah kejang demam sederhana namun mungkin berguna untuk mengevaluasi pasien kejang yang kompleks atau dengan faktor risiko lain untuk epilepsi. EEG pada kejang demam dapat memperlihatkan gelombang lambat di daerah belakang yang bilateral, sering asimetris dan kadang-kadang unilateral (Jonston, 2007).

d. Pencitraan (CT-Scan atau MRI kepala) Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT-scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan dan dilakukan jika ada indikasi seperti kelainan neurologis fokal yang menetap (hemiparesis) atau kemungkinan adanya lesi struktural di otak (mikrosefali, spastisitas), terdapat tanda peningkatan tekanan intrakranial (kesadaran menurun, muntah berulang, UUB membonjol, paresis nervus VI, edema papil) (Saharso et al., 2009).

7. Manajemen Medik a. Terapi farmakologi Pada saat terjadinya kejang, obat yang paling cepat diberikan untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,3-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal sebanyak 20 mg.

Obat yang dapat diberikan oleh orangtua atau di rumah adalah diazepam rektal. Dosisnya sebanyak 0,5-0,75 mg/kg atau 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang daripada 10 kg dan 10 mg untuk anak yang mempunyai berat badan lebih dari 10 kg. Selain itu, diazepam rektal dengan dosis 5 mg dapat diberikan untuk anak yang dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun. Apabila kejangnya belum berhenti, pemberian diapezem rektal dapat diulangi lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Anak seharusnya dibawa ke rumah sakit jika masih lagi berlangsungnya kejang, setelah 2 kali pemberian diazepam rektal. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg (UUK Neurologi IDAI, 2006). Jika kejang tetap belum berhenti, dapat diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal 10-20 mg/ kg/ kali dengan kecepatan 1 mg/ kg/ menit atau kurang dari 50 mg/menit. Sekiranya kejang sudah berhenti, dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/ kg/ hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal. Jika kejang belum berhenti dengan pemberian fenitoin maka pasien harus dirawat di ruang intensif. Setelah kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam, apakah kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor risikonya (UUK Neurologi IDAI, 2006). Seterusnya, terapi antipiretik tidak mencegah kejang kekambuhan. Kedua parasetamol dan NSAID tidak mempunyai manfaatnya untuk mengurangi kejadian kejang demam. Meskipun mereka tidak mengurangi risiko kejang demam, antipiretik sering digunakan untuk mengurangi demam dan memperbaiki kondisi umum pasien. Dalam prakteknya, kita menggunakan metamizole (dipirone), 10 sampai 25 mg/ kg/ dosis sampai empat dosis harian (100 mg/ kg/ hari), parasetamol 10 sampai 15 mg/ kg/ dosis, juga sampai empat dosis harian

(sampai 2,6 g/hari) dan pada anak-anak di atas usia enam bulan, diberikan ibuprofen sebanyak 5 sampai 10 mg/ kg/ dosis dalam tiga atau empat dosis terbagi (sampai 40 mg/ kg/ hari pada anak-anak dengan berat kurang dari 30 kg dan 1200 mg) (Siqueira, 2010). Pengobatan jangka panjang atau rumatan hanya diberikan jika kejang demam menunjukkan ciri-ciri berikut seperti kejang berlangsung lebih dari 15 menit, kelainan neurologi yang nyata sebelum atau selapas kejadian kejang misalnya hemiparesis, paresis Todd, palsi serebal, retardasi mental dan hidrosefalus, dan kejadian kejang fokal. Pengobatan rumat dipertimbangkan jika kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam, kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan dan kejang demam berlangsung lebih dari 4 kali per tahun. Obat untuk pengobatan jangka panjang adalah fenobarbital (dosis 3-4 mg/ kgBB/ hari dibagi 1-2 dosis) atau asam valproat (dosis 15-40 mg/ kgBB/ hari dibagi 2-3 dosis). Dengan pemberian obat ini, risiko berulangnya kejang dapat diturunkan dan pengobatan ini diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian secara bertahap selama 1-2 bulan (Saharso et al., 2009). b. Terapi non-farmakologi Tindakan pada saat kejang di rumah, (Ngastiyah, 2005, Mahmood et al., 2011 dan Capovilla et al., 2009): 1) Baringkan pasein di tempat yang rata. 2) Singkirkan benda-benda yang ada di sekitar pasein. 3) Semua pakaian ketat yang mengganggu pernapasan harus dibuka misalnya ikat pinggang. 4) Tidak memasukkan sesuatu banda ke dalam mulut anak. 5) Tidak memberikan obat atau cairan secara oral.

6) Jangan memaksa pembukaan mulut anak. 7) Monitor suhu tubuh. 8) Pemberikan kompres dingin dan antipiretik untuk menurunkan suhu tubuh yang tinggi. 9) Posisi kepala seharusnya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung. 10) Usahakan jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen. 11) Menghentikan kejang secepat mungkin dengan pemberian obat antikonvulsan yaitu diazepam secara rektal. Pengobatan kejang berkepanjangan di rumah sakit, (Capovilla et al., 2009): 1) Hilangkan obstruksi jalan napas. 2) Siapkan akses vena. 3) Monitor parameter vital (denyut jantung, frekuensi napas, tekanan darah, SaO2). 4) Berikan oksigen, jika perlu (SaO2 <90%) 5) Mengadministrasikan bolus intravena diazepam dengan dosis 0,5 mg/kg pada kecepatan infus maksimal 5 mg/menit, dan menangguhkan ketika kejang berhenti. Dosis ini dapat diulang jika perlu, setelah 10 menit. 6) Memantau kelebihan elektrolit dan glukosa darah. 7) Jika kejang tidak berhenti, meminta saran seorang spesialis (ahli anestesi, ahli saraf) untuk pengobatan.

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan klien dengan Kejang Demam Sederhana 1. Pengkajian

Berdasarkan tanda dan gejala penyakit kejang demam, maka asuhan keperawatan yang prioritas ditegakkan adalah pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi, perencanaan pemulang yaitu : Riwayat Keperawatan Kaji gejala dan tanda meningkatnya suhu tubuh, terutama pada malam hari, terjadinya kejang dan penurunan kesadaran. a. Data biografi : nama, alamat, umur, status perkawinan, tanggal MRS, diagnose medis, catatan kedatangan, keluarga yang dapat dihubungi. b. Riwayat kesehatan sekarang Mengapa pasien masuk Rumah Sakit dan apa keluhan utama pasien, sehingga dapat ditegakkan prioritas masalah keperawatan yang dapat muncul. c. Riwayat kesehatan dahulu Apakah sudah pernah sakit dan dirawat dengan penyakit yang sama.

d. Riwayat kesehatan keluarga Apakah ada dalam keluarga pasien yang sakit seperti pasien. e. Riwayat psikososial Intrapersonal : perasaan yang dirasakan klien (cemas / sedih) Interpersonal : hubungan dengan orang lain. f. Pola Fungsi kesehatan 1) Pola nutrisi dan metabolisme : Pola nutrisi klien perlu dikaji untuk menentukan terjadinya gangguan nutrisi atau tidak pada klien 2) Pola istirahat dan tidur

Selama sakit pasien merasa tidak dapat istirahat karena pasien merasakan demam terutama pada malam hari g. Pemeriksaan Fisik 1) Kesadaran dan keadaan umum pasien Kesadaran pasien perlu di kaji dari sadar-tidak sadar (composmentiscoma) untuk mengetahui berat ringannya prognosis penyakit pasien. 2) Tanda-tanda vital dan pemeriksaan fisik kepala-kaki TD, Nadi, Respirasi, Temperatur yang merupakan tolak ukur dari keadaan umum pasien / kondisi pasien dan termasuk pemeriksaan dari kepala sampai kaki dengan menggunakan prinsip-prinsip (inspeksi,

auskultasi,

palpasi,

perkusi),

disamping

itu

juga

penimbangan BB untuk mengetahui adanya penurunan BB karena peningkatan gangguan nutrisi yang terjadi, sehingga dapat dihitung kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan (Wijaya,2013).

2. Diagnosa keperawatan a. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses patologis b. Gangguan volume cairan kurang dari kebutuhann tubuh b.d peningkatan suhu tubuh c. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas b.d peningkatan sekresi mucus d. Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake yang tidak adekuat (Doengoes, 2007)

Related Documents

Askep Kejang Demam.docx
April 2020 23
Kejang Demam.docx
December 2019 66
Kejang Demam.docx
December 2019 48

More Documents from "Lusi Alisma"