ASAL-USUL ATAU SEJARAH TEGAL KYAI AGENG ANGGAWANA KALISOKA,DUKUHWARU, SLAWI, TEGAL (Diambil dari buku Kyai Ageng Anggawana)
1. ASAL MULA TEGAL Tegal semula berupa desa kecil yang terletak di tepi muara Kali Gung, dengan nama Tetegal. Didirikan kira-kira pada tahun 1580 karena tempat itu dipandang ada harapan baik pada kemudian hari, maka oleh Ki Gede Sebayu diperbesar. Tetegal merupakan Bandar yang mengeluarkan hasil bumi di daerah Tegal, yang semula perairannya telah diatur oleh Ki Gede Sebayu waktu berdiam di Danawarih. Karena daerah yang luas itu umumnya merupakan daerah lading (Tetegalan), maka oleh Ki Gede Sebayu dinamakan Tegal. Setelah daerah itu baru maju, Ki Gede Sebayu diangkat menjadi sesepuhnya, dengan pangkat Juru Demung (Demang), yang pada waktu itu termasuk Kabupaten Pemalang. Setelah Ki Gede Sebayu meninggal dan dimakamkan di desa Danawarih dan putranya K.G Honggowono ditunjuk sebagai penggantinya. Adapun yang menjadi bupati Pemalang pada waktu itu adalah R. Banawa (menurut Suputro), Putra Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir) dari Pajang. Tersebutlah dari sejarah bahwa setelah Danang Sutawijaya dapat merebut Pajang dari Aria Pangiri, R. Banawa diangkat sebagai Bupati Jipang (Bojonegoro) menggantikan Aria Panangsang tetapi karena keamanan bagi dirinya di Jipang kurang terjamin, maka R. Banawa minta dipindah dan oleh Sutawijaya (Panembahan Senopati) dipindah ke Pemalang pada tahun 1586. R. Banawa adalah putra dari Joko Tingkir, masih sedarah dengan Brawijaya V, jadi kalau Ki Gede Sebayu juga masih sedarah dengan Brawijaya V, maka antara R. Banawa dengan Ki Gede Sebayu masih ada pertalian saudara. Mereka masing-masing keturunan Brawijaya V dari Selir. R. Banawa keturunan melalui R. Andayaningrat dari Pengging, sedangkan Ki Gede Sebayu keturunan melalui Batara Katong (Bupati Ponorogo). R. Banawa setelah meninggal dimakamkan di Penggarit, Pemalang.
2. USAHA MEMAJUKAN DAERAH TEGAL Kyai Ageng Honggowono memerintah Tegal dengan baik, walaupun hanya berpangkat Juru Demung (Demang). Ladang-ladang diusahakan untuk bisa diairi dari Sungai Gung agar bisa dijadikan persawahan yang baik. Perairan yang semula sudah dirintis oleh Ki Gede Sebayu kemudian disempurnakan. Di Slawi dibuatlah bendungan yang besar dan kuat untuk menampung air dari sungai Jembangan, Wadas dan Bliruk. Bendungan itu lokasinya di Kemanglen (bekas pabrik gula), hasil bumi menjadi berlipat. Tegal banyak menimbun hasil bumi yang akan dikirim keluar daerah dan penduduknya makin banyak, akhirnya berubah menjadi kota yang cukup bisa diharapkan dikemudian hari. Pelabuhan Tegal yang ramai pada waktu itu dimuara Kali Gung sebelah Barat Kota Tegal, kini bernama Muaratua (Tegalsari). Tetapi kemudian pindah pada muara sebelah Timur (Pelabuhan yang sekarang). Kesimpulan Tetegal merupakan delta dari Kali Gung. Orang Tionghoa dan Gujarat sudah datang untuk berdagang dan membawa hasil rempahrempah yang akan dikirim ke Eropa. Orang Gujarat menyebarkan agama Islam kepada penduduk Tegal.
Bendungan Kemanglen kini sudah hancur, sebab waktu Kali Gung banjir besar, airnya meluap ke kali Jembangan, kemudian bergabung dengan Kali Wadas (kini tempat itu bernama Gabyugan) masuk kedalam bendungan itu. Bendungan itu tidak kuat dan jebol, Kyai Ageng Honggowono tidak membangun bendungan itu lagi, sebab dikhawatirkan akan membuang tenaga saja. Kyai Ageng Honggowono memiliki putra 2 orang, seorang putera dan seorang puteri, ialah K.G. Honggoworo dan Nyi Ageng Subaleksana yang bersuamikan Raden Purbaya (Pangeran Silarong, Putera Pangeran Puger/ Sunan Pakubuwono I ). K.G. Honggoworo setelah diangkat menjadi Bupati Tegal dan bergelar K.G. Honggoworo Secomenggolo, juga bergelar Tumenggung Reksonegoro I. Kyai Ageng Honggowono setelah meninggal dimakamkan di Desa Kalisoka, Nyai Ageng Subaleksana dimakamkan juga di Desa Kalisoka bersama Pangeran Purbaya. Tersebutlah bahwa Pangeran Purbaya memiliki sahabat karib bernama Ciptoroso berdiam di Cenggini. Untuk kenang-kenangan Pangeran Purbaya memberikan ikan lele sedangkan K.A. Cenggini membuat balongannya, serta bertugas memeliharanya. Hingga ikan lele Cenggini yang diperkenankan mengambil adalah hanya keturunan Pangeran Purbaya dan K.A. Cenggini. Ikan dari balongan itu diambil waktu hari besar Maulud dan hari besar Idul Fitri yaitu waktu upacara Syawalan dimakam Kalisoka. Kalisoka pada abad 17 merupakan tempat berdiamnya pengrajin emas (Kemasan), sebab waktu perkawinan Nyi Ageng Ronggeh dengan Pangeran Nalajaya, mas kawin dari Pangeran Nalajaya berupa emas sebanyak 2 karung, sehingga perlu ada pengolahan sebanyak itu. Kemasan banyak didatangkan ke Kalisoka. Waktu timbul perang saudara tahun 1700 Kalisoka di bumi hangus, penduduk banyak yang lari meninggalkan Kalisoka dan tidak sempat menyelamatkan harta benda mereka. Waktu Kalisoka menjadi ibukota Tegal, Kalisoka merupakan pelabuhan besar, dan kini terdapat sisa kapal tenggelam karena adanya peperangan itu, yaitu diperairan K. Bebek (Utara Desa). Kini di Kalisoka sering terdapat emas, baik yang masih batangan, setengah jadi maupun sudah jadi. Situs bekas Kabupaten terdapat di sebelah timur desa. Sebelum kalisoka dihancurkan termasuk kota yang sudah maju, kemajuan ini karena adanya pelabuhan di muara Kali Bebek dan Kali Gung Timur, jalan dan rumah sudah teratur dengan baik. Dekat Tegal terdapat banyak tukang besi, sebab waktu perang Sultan Agung melawan Kompeni banyak pandai besi yang didatangkan untuk membuat senjata perang, yaitu keris, tombak, parang, dan sebagainya.
3. TETEGAL DITETAPKAN MENJADI KABUPATEN Awal abad 17 Tegal sudah pesat kemajuannya. Raja Mataram Sultan Agung Anyokrawati menetapkan daerah Tetegal menjadi Kabupaten, dengan luas meliputi Brebes. Oleh karena itu tahun 1670 ditetapkan menjadi Kadipaten, sedangkan yang menjadi Adipati adalah R. Tumenggung Mertoloyo, gelar Adipati Mertoloyo. Rumah kediaman Bupati segera dibangun (lokasi di kompleks PIUS, Keraton). Sultan Anyokrowati tahun 1613 wafat, dan diganti oleh R. Mertupuro. Tetapi R. Mertupuro hanya menduduki tahta 3 bulan lamanya, karena terkena penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan digantikan oleh R.M Jatmika dan terkenal sebagai Sultan Agung Anyokrokusumo. Tahun 1625 diangkatlah oleh Sultan Agung pamannya sendiri sebagai Bupati Tetegal, ialah Mertoloyo dengan maksud untuk memperkuat daerah Pantai Utara Laut Jawadalam menanggulangi Kompeni di daerah Mataram.
Sayang tahun 1645 Sultan Agung mangkat dan penggantinya Amangkurat I (Agung) tahun 1646 mengadakan perjanjian dengan Kompeni. Tahun 1674 Mataram mendapat serangan dari Trunojoyo dan tahun 1677 Plered, Ibukota Mataram jatuh dan diduduki oleh Trunojoyo. Sultan Amangkurat I meninggalkan Plered dengan diikuti oleh keluarganya dan pengiring serta para prajurit yang setia. Tujuan utama Sultan Amangkurat I akan minta bantuan kepada Gubernur Jenderal Mr. Johan Maetsuyker (1653-1678), tetapi setelah sampai di Banyumas, Sultan Amangkurat I jatuh sakit. Pangeran Puger dengan R. Mertosono diperintahkan kembali untuk merebut Mataram dari tangan Trunojoyo dan dianugerahkan tombak Kyai Plered kepadanya. Sultan Amangkurat I meninggal di desa Pasiraman (Ajibarang) dan jenazahnya dibawa ke Tegal. Martoloyo menjemput ke Ajibarang dan pemakaman jenasah di Tegalarum ( Tegal wangi, Adierna, Tegal) pada tahun 1677. Pangeran Pati (Adipati Anom) dinobatkan menjadi Sultan Mataram. Penobatan itu berlangsung di Tetegal, tempat kediaman Martoloyo, Pangeran Pati bergelar Sultan Amangkurat II. Kemudian Sultan Amangkurat II berusaha merebut kembali Keraton Mataram dari tangan Trunojoyo. Martoloyo memberikan taktik perang dengan sangat baik, sayang waktu di Jepara Sultan Amangkurat II berselisih pendapat dengan Martoloyo dan terpaksa meninggalkan Jepara dan kembali ke Tetegal. Amangkurat II khawatir dengan tindakan Martoloyo, kemudian memerintahkan Mertupuro (Wongsodipo, Bupati Jepara) untuk menangkap Mertoloyo. Mertupuro dan Mertoloyo saling mempertahankan pendapatnya masing-masing, sehingga pertengkaran tidak bisa dihindarkan. Mereka perang tanding satu lawan satu dan akhirnya mereka berdua gugur bersama. Orang Tegal menjunjung mereka sebagai pahlawan daerah Tegal. Martoloyo sebagai prajurityang baik sedangkan Mertopuro sebagai orang yang patuh dengan pimpinan. Mereka sama-sama benar dan sama-sama gugur tahun 1678. Pangkat terakhir Martoloyo adalah Adipati, oleh sebab itu lebih dikenal dengan sebutan Adipati Martoloyo.
4. Babad Desa Kedokan Sayang Tegal Desa Kedokan Sayang yang terletak di segitiga perbatasan antara tiga kecamatan yaitu Keacamatan Talang, Kramat, dan Tarub merupakan desa yang memiliki satu rangkaian kisah dengan desa-ddesa lain. Desa-desa yang memiliki rangkaian satu kisah adalah Desa Kali Gayam, Cangkring, Wangan Dawa, Semingkir, dan lain-lain. Kedokan Sayang masuk wilayah Kecamatan Tarub, berada paling utara. Desa ini dibatasi oleh desa-desa yang berbeda kecamatan. Batas sebelah utara desa Jatilawang dan dan Kematran yang masuk wilyah Kecamatan Kramat. Sebelah timur dibatasi Bumiharja yang masuk wilayah Kec. Tarub. Sebelah selatan desa Tarub dan sebagian Kemanggungan yang masuk wilayah Kec. Tarub. Sedangkan sebelah barat desa Wangan Dawa yang masuk wilayah Kec. Talang. Dulu di desa Kedokan Sayang ini pernah ada sesepuh desa yang konon seorang wali yang terkenal dengan nama Mbah Panggang. Namun cerita asal usul desa ini tidak berasal dari Mbah Panggang seperti desa-desa lain. Makam Mbah Panggang yang terletak di bagian selatan desa ini sampai sekarang masih di keramatkan bahkan pada tahun 2004 dipugar dan diberi atap dan tempat untuk berziarah. Asal usul Mbah Panggang sampai dengan diterbitkannya tulisan ini belum dapat diketahui.
Makam Mbah Panggang dulu sering dijadikan tempat untuk bersumpah jika ada orang bersengketa. Caranya dengan melompati makam tersebut. Jika salah satu yang bersengketa itu benar atau tidak bersalah maka dia dapat melompati makam tersebut. Sebaliknya jika
bersalah baik salah satu atau keduanya maka tidak dapat melompati makam tersebut. Padahal lebar makam tersebut tidak terlalu lebar, hanya satu lompatan biasa. Ada beberapa tempat penting di desa Kedokan Sayang. Tempat-tempat tersebut menjadi sangat dikenal karena mempunyai nilai tertentu. Misalanya keramat, angker, unik dan lain-lain. Tempat-tempat tersebut adalah : 1. Makam Mbah Panggang 2. Makam Kidapati 3. Jaratan Kasir 4. Jaratan Dempet 5. Brug Jarum/ Jembatan Jarum 6. Prapatan Celeng 7. Ganjuran 8. Kampung Arab 9. Blok M/ Blok Masjid Baiturrohman 10.Karang Moncol 11. Tambak/ Pedukuhan di sebelah timur 12. Keben/ Pedukuhan kecil di sebelah selatan 13. Kuburan Pesarean di dukuh Tambak
5. Kisah Terjadinya Desa Kedokan Sayang Gendowor seorang pengembala kuda, dia diangkat menjadi Adipati di Tegal. Karena menentang perintah kerajaan ia diberhentikan dari jabatannya. Ia berseteru dengan Bagus Suanda yang tidak mau bekerja sama dengan Belanda. Ketika Gendowor datang ke rumah Bagus Suanda tidak dapat bertemu dengan Bagus Suanda karena sedang pergi ke Jawa Barat. Ia hanya bertemu dengan Ayah Bagus Suanda. Kecewa tidak dapat bertemu dengan Bagus Suanda, Ayah Bagus Suanda yang sudah tua itu dipukuli oleh Gendowor. Gendowor mengamuk di rumah Bagus Suanda. Ketika Bagus Suanda pulang ke rumah, mengetahui Ayahnya penuh luka ia marah dan mengejar Gendowor. Bagus Suanda berhasil mengejar Gendowor, maka terjadilah perkelahian antara kedua orang yang sama-sama sakti. Kejar-mengejar antara keduanya siang dan malam hingga berhari-hari. Setiap daerah yang dilewati oleh pelarian Gendowor menjadi nama-nama desa. Misalnya ketika Gendowor bersembunyi di tepi sungai, di bawah pohon gayam maka tempat itu diberi nama Desa Kaligayam. Lalu berlari ke timur bersembunyi di bawah pohon cangkring maka tempat itu diberi nama Desa Cangkring. Gendowor terus dikejar oleh Bagus Suanda. Untuk menyingkir dari kejaran Bagus Suanda, ia menyusuri sungai kecil atau wangan yang panjang, tempat itu sekarang diberi nama Wangan Dawa dan tempat untuk menyingkir diberi nama Semingkir tempatnya di sebelah utara Wangan Dawa.
Bagus Suanda tidak kenal menyerah, ia tidak akan berhenti sebelum dapat menangkap Gendowor. Hingga akhirnya Bagus Suanda berhasil menemukan Gendowor yang sedang kehausan hendak minum air empang atau blumbang atau Kedokan. Seketika itu pula Bagus
Suanda menyerang Gendowor. Perkelahian terjadi cukup seru karena saling mengeluarkan kesaktian masing-masing. Gendowor kalah tak berdaya. Tempat perkelahian itu dinamakan Kedokan Sayang. Mengapa disebut demikian? Sebab di Kedokan tadi sangat disayangkan, seorang Adipati Gendowor minum air di Kedokan dan Sayang pula di Kedokan itu Gendowor kalah. Kudanya yang bernama Kidapati dimakamkan di Pemakaman Seng atau jaratan Kasir, sampai sekarang masih dapat dijumpai makamnya di situ. Lalu di mana makam Kendowor? Sampai sekarang maish misteri. Maka tempat itu di kemudian hari menjadi desa Kedokan Sayang. Sampai hari ini desa Kedokan Sayang masih ada tempat lahir nenek moyang saya, ibu saya, bapak saya, kakak saya, saya dan anak-anak saya serta ponakan saya.
6. Guci Indah Guci Indah adalah Objek wisata yang berada di Desa Guci Kecamatan Bumijawa Kabupaten Tegal. Memiliki luas 210 Ha, terletak di kaki Gunung Slamet bagian utara dengan ketinggian kurang lebih 1.050 meter. Dari Kota Slawi berjarak ± 30 km, sedangkan dari Kota Tegal berjarak tempuh sekitar 40 km ke arah selatan. Air yang mengalir dari pancuran-pancuran di obyek wisata ini dipercaya bisa menyembuhkan penyakit seperti rematik, koreng serta penyakit kulit lainnya, khususnya Pemandian Pancuran 13 yang memang memiliki pancuran berjumlah tiga belas buah. Ada sekitar 10 air terjun yang terdapat di daerah Guci. Di bagian atas pemandian umum pancuran 13, terdapat air terjun dengan air dingin bernama Air Terjun Jedor. Dinamai begitu karena dulu tempat di sekitar air terjun setinggi 15 meter itu adalah milik seorang Lurah yang bernama Lurah Jedor. Untuk berkeliling di sekitar obyek wisata dapat dilakukan dengan menyewa kuda dengan tarif sewa yang relatif murah. Fasilitas yang tersedia antara lain penginapan (kelas melati sampai berbintang), wisata hutan (wana wisata), kolam renang air panas, lapangan tennis, lapangan sepak bola, dan bumi perkemahan. Objek wisata ini biasanya ramai dikunjungi pada malam Jumat Kliwon. Banyak orang yang ngalap berkah. Konon, kalau mandi pada pukul 12 malam dengan memohon sesuatu, permohonan apapun akan dikabulkan. Kepercayaan ini sudah turun-temurun. Diceritakan air panas Guci adalah air yang diberikan Walisongo kepada orang yang mereka utus untuk menyiarkan agama Islam ke Jawa Tengah bagian barat di sekitar Tegal. Karena air itu ditempatkan di sebuah guci (poci), dan berkhasiat mendatangkan berkat, masyarakat menyebut lokasi pemberian air itu dengan nama Guci. Tapi karena air pemberian wali itu sangat terbatas, pada malam Jumat Kliwon, salah seorang sunan menancapkan tongkat saktinya ke tanah. Atas izin Tuhan, mengalirlah air panas tanpa belerang yang penuh rahmat ini. Sejarah Objek Wisata Guci Obyek Wisata Guci bermula setelah ditemukannya sumber mata air (bahasa jawa: tuk) di Desa Guci dan diteliti tidak mengandung racun. Maka pada tahun 1974 pemandian air panas dibuka untuk umum dengan fasilitas yang masih alami dan belum dibuat seperti sekarang ini, wisatawan masih mandi di bawah gua sumber mata air panas yang konon tempat itu merupakan daerah kekuasaan dayang Nyai Roro Kidul yang bertugas di wilayah sungai sebelah utara Gunung Slamet atau lebih dikenal Kali Gung. Dinamakan Kali Gung sebab bersinggungan dengan mata air yang agung yakni aliran mata air panas yang melimpah sepanjang tahun, dayang Nyai Roro Kidul bernama Nyai Rantensari yang berwujud naga maka di Pancuran 13 tersebut dibuat Patung Naga untuk mengingatkan akan daya mistis yang ada dikawasan Obyek Wisata Guci. Di kawasan tersebut juga terdapat pohon beringin dan pohon karet yang sudah ratusan tahun yang konon ditanam oleh keturunan Kyai Klitik yang bernama Eyang Sudi Reja dan Mbah Abdurahim pada tahun 1918. Dengan maksud agar daerah tersebut tidak mudah longsor, kuat
serta rindang. Sampai sekarang pemandian air panas Guci menyimpan misteri kegaibannya sebab merupakan peninggalan para wali terdahulu penyebar agama islam, dan masih banyak tempat – tempat yang menyimpan sejarah seperti petilasan Kyai Mustofa dan makamnya di Pekaringan berjarak 5 KM dari Desa Guci, Kyai Mustofa adalah seorang ulama keturunan kanjeng Sunan Gunungjati yang syiar Islam kemudian bertapa di Desa Guci pada zaman cucu Kyai Klitik. Ulama inilah yang memberi nama air terjun di sebelah atas Pemandian Pancuran 13 yaitu Curug Serwiti sebab banyak muncul burung serwiti dan diatas curug itu ada lagi sebuah curug yang indah bernama Curug Jedor yang tidak pernah diketahui asal muasal nama tersebut. Data ini bersumber dari Babad Tanah Jawa dan penuturan leluhur dari keturunan Raden Patah.
7. Asal Usul Desa Bojong a. Asal Usul ( Sejarah ) Desa Bojong Dari berbagai sumber yang telah ditelusuri dan digali asal usul desa Bojong dimulai dari abad ke – 18 atau jaman kerajaan Mataram atau lebih tepatnya pada waktu perang Diponegoro melawan Belanda. Ketika jaman perang antara P. Diponegoro melawan Belanda, P. Diponegoro menggunakan taktik gerilya yang bermarkas di Gua Selarong , dan markas tersebut digempur oleh Belanda yang mengakibatkan P Diponegoro dan prajuritnya lari tunggang langgang berpencaran . Dalam pelarian tersebut, daerah yang dituju sebagai tempat pelarian adalah daerah sekitar Selarong sampai juga ke barat sungai Progo. Pada waktu itu P Diponegoro dan pengikutnya terbujung – bujung dari kejaran Belanda dan karena kecapaian maka berhentilah P Diponegoro di suatu tempat. Untuk mengenang kejadian tersebut maka tempat itu kemudian dinamakan Bojong yang artinya dikejar-kejar.
b. Asal Usul ( Legenda ) Desa Bojong Cikal bakal desa Bojong sendiri adalah dari kisah Kyai Tirto Kusumo atau Kyai Supingi yang mempunyai kesaktian dapat berhubungan dengan makhluk halus, makhluk halus ini diceritakan berwujud Kerbau berwarna kuning yang dinamakan Kebo Kuning. Cerita tersebut dimungkinkan ada hubungannya dengan kisah jaman dahulu, yaitu ada seorang tokoh sakti bernama Mahesa Jenar dengan senjata pusaka Nogo Sosro Sabuk Intennya. Kyai Tirto Kusumo dimakamkan di wilayah Kedung Kuning, di daerah sekitar bantaran Sungai Serang. Tempat tersebut juga menjadi tempat tinggal makhluk halus Kebo Kuning piaraanya dan sampai saat ini menurut sumber yang bisa dipercaya Nogososro Sabuk Inten juga masih ada di desa Bojong. Alkisah Kebo Kuning tersebut diminta oleh Kyai Tirto Kusumo untuk membajak tegal / sawah yang dulunya adalah desa Bojong masih banyak yang berujud tegal dan sawah agar siap ditanami, karena kesaktiannya, maka permintaan tersebut dapat dilaksanakan dalam waktu semalam saja. Ada kisah bahwa apabila masyarakat sekitar melihat penampakan Kebo Kuning di Sungai Serang, maka menandakan akan ada bencana jebolnya tanggul Sungai Serang. Masyarakat boleh percaya atau tidak percaya, tapi pernah terbukti pada tahun 1963 Bp. Darmoi Wiyono yang dulu menjabat sebagai seorang perangkat desa yaitu Kepala Bagian Kemakmuran, melihat Kebo Kuning tersebut, di tahun yang sama tanggul sungai Serang jebol. Kyai Tirto Kusumo setelah meninggal kemudian dimakamkan di makam Madanom, Gentan, Depok, Tayuban yang Termasuk makam Madanom, Gentan, Depok dan Tayuban dulunya masih masuk dalam satu wilayah desa Bojong sampai kira-kira tahun 1950-an. Kemudian
karena kepadatan penduduk dan pemekaran wilayah maka pecah menjadi 3 desa yakni desa Depok, desa Tayuban dan desa Bojong sendiri.
c. Asal Usul ( Mitos ) Desa Bojong Ada lagi tokoh yang ada di desa Bojong yaitu Kyai Fakih Jamal yang diabadikan menjadi nama bendungan air Pekik Jamal ceritanya dimulai pada jaman penjajahan Belanda adalah tokoh yang merintis dibangunnya bendungan air di Sungai Serang, walaupun belum permanent. Bangunan tersebut dibangun kembali pada jaman penjajahan Jepang dengan menggunakan kerja paksa. Tokoh ini juga dimakamkan di makam Madanom Gentan. Tokoh ini muncul setelah Kyai Tirto Kusumo. Bupati Tegal dari Masa ke Masa Sejarah kepemimpinan di Kabupaten Tegal telah mengalami serangkaian pergantian, dimulai dari Ki Gede Sebayu (1601-1620).
Sumber Artikel : 1. https://sclm17.blogspot.com/2016/03/sejarah-tegal.html 2. https://tigabidadar.blogspot.com/2018/11/asal-usul-atau-sejarah-tegal.html