Dalam mata kuliah manajemen perpajakan, mahasiswa akan belajar terkait dengan bagaimana perusahaan dapat mengoptimalkan pembayaran pajaknya. Definisi pembayaran pajak optimal disini adalah bukan berarti membayar setinggi-tingginya, namun membayar yang paling sesuai dimana analisis costbenefit diterapkan dalam setiap pengambilan keputusan manajemen terkait dengan kewajiban perpajakannya. Pada berita berikut ini ditunjukkan betapa fungsi bugetair pajak sangat penting dalam membiayai pemerintah (dalam berita ini adalah pemerintah pusat) dalam mewujudkan tujuan kenegaraannya seperti tertuang dalam dasar-dasar negara.
Konstruksi Pajak Indonesia Tahun 2019 Oleh Liberti Pandiangan | Rabu, 23 Januari 2019 | 10:24
Liberti Pandiangan, Kepala Bidang P2Humas, Kantorc Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Timur, Kementerian Keuangan
Berita Terkait
Catatan Penting Pajak Tahun 2018
Menjaga Rupiah untuk Kesejahteraan Rakyat
Pajak dalam Sistem OSS
Fungsi Regulerend Pajak Impor
Pajak dalam RAPBN 2019
Setelah menuntaskan tugas pengamanan penerimaan pajak tahun 2018, akhirnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan dapat memperoleh penerimaan sebesar Rp 1.315,9 triliun atau pencapaian 92,4% dari rencana Rp 1.424 triliun. Hal yang menggembirakan karena pencapaian realisasi penerimaan tahun 2018 merupakan yang tertinggi selama lima tahun terakhir. Adapun pencapaian sebelumnya secara berturut-turut yaitu 91,9% tahun 2014, kemudian 82% (2015), 81,6% (2016), dan 89,7% (2017). Bila dicermati pengelolaan pajak selama tahun 2018 sangat terasa dinamisnya, terutama kaitannya dengan kelanjutan dari kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) dengan UU No 11/2016 dan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dalam rangka Automatic Exchange of Information (AEoI) dengan UU No 9/2017. Rasa dinamis menyangkut berbagai elemen yang fundamental dalam pengelolaan pajak, baik dari sisi regulasi, basis data, organisasi, sumber daya manusia, proses bisnis, maupun sistem informasi, dan lainnya. Tujuannya agar pajak Indonesia terasa sebagai milik bersama seluruh masyarakat –apalagi stakeholders pajak– sebagaimana hakikat pajak itu sendiri. Kini, kita telah memasuki tahun 2019 dengan tantangan baru utamanya bidang perpajakan. Berdasarkan UU No 12/2018 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun anggaran 2019, ditetapkan rencana penerimaan pajak yang dikelola DJP sebesar Rp 1.577,6 triliun. Adapun asumsi dasar ekonomi makro yang dijadikan sebagai dasar perhitungannya sesuai kesepakatan antara Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yaitu pertumbuhan ekonomi 5,3%, inflasi 3,5%, nilai tukar rupiah Rp 15.000 per dolar AS, suku bunga SPN 5,3%, harga minyak US$ 70 per barrel, lifting minyak 775 ribu barrel per hari, dan lifting gas 1.250 ribu barrel setara minyak per hari. Sehingga jika dibandingkan dengan rencana saat pengajuan RAPBN 2019 kepada DPR (pada Agustus 2018) untuk dibahas sebesar Rp 1.572 triliun, terdapat penaikan Rp 5,6 triliun atau 0,36%. Kemudian dengan besaran rencana Rp 1.577,6 triliun, secara kualitatif berarti tumbuh 19,9% dari realisasi 2018. Bila dilihat data pertumbuhan (growth) realisasi penerimaan selama empat tahun terakhir yaitu tahun 2015 tumbuh 7,68%, kemudian 4,26% (2016), 4,07% (2017), dan 14,33% (2018) yang terlihat bandul pertumbuhannya telah mengayun ke atas, dan mengacu kepada kondisi dinamis pengelolaan pajak tahun 2018, maka rencana penerimaan pajak 2019 optimistis bisa tercapai. Belum lagi kebijakan tax expenditure dalam sistem anggaran Indonesia yang mulai diimplementasikan sebagai penerimaan pada tahun 2019. Sebagai informasi, bahwa tahun 2016 besarnya tax expenditure Rp 143,6 triliun dan pada 2017 sebesar Rp 154,7 triliun. Namun ada syarat lain yang tidak kalah pentingnya yaitu dukungan yang optimal dari semua pihak di luar DJP sebagai stakeholders pajak, terutama para instansi dan lembaga sebagai pengguna dana pajak yang bersumber dari dana APBN dan APBD dalam mendukung kegiatannya. Konstruksi Pajak Bagaimana konstruksi penerimaan pajak Indonesia pada tahun 2019? Pertanyaan ini tentu menarik bagi berbagai pihak, baik oleh masyarakat maupun dunia usaha, apalagi para pengambil kebijakan di Tanah
Air. Karena secara teoritis, dari konstruksi pajak dalam satu tahun yang direncanakan akan dapat diketahui berbagai hal, misalnya arah kebijakan pajak dan ekonomi, kondisi perkonomian nasional, kesejahteraan masyarakat, dan lainnya. Berdasarkan Pasal 4 UU No 12/2018, rencana penerimaan pajak 2019 yang besarnya Rp 1.577,6 triliun bila dibandingkan dengan pendapatan negara sebesar Rp 2.165,1 triliun, maka kontribusinya 72,9%. Sedangkan jika dibandingkan dengan penerimaan perpajakan (yang dikelola DJP dengan Ditjen Bea dan Cukai/DJBC) sebesar Rp 1.786,4 triliun, kontribusinya sebesar 88,3%. Rencana penerimaan pajak Rp 1.577,6 triliun akan diperoleh dari jenis Pajak Penghasilan (PPh) sebesar Rp 894,4 triliun atau peranannya 56,7%. Kemudian dari jenis Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar Rp 655,4 triliun atau 41,5%, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) senilai Rp 19,1 triliun atau 1,2%, dan dari pajak lainnya Rp 8,6 triliun atau 0,5%. Adapun rencana penerimaan PPh sebesar Rp 894,4 triliun selanjutnya akan diperoleh dari PPh nonmigas sebesar Rp 828,2 triliun atau 92,6%, dan PPh migas Rp 66,2 triliun atau 7,4%. Selanjutnya PPh nonmigas akan diperoleh dari PPh nonmigas orang pribadi Rp 387,6 triliun atau 46,8% dan PPh nonmigas badan Rp 440,6 triliun atau 53,2%. Hal lain lagi yang perlu diketahui bahwa dalam rencana penerimaan PPh yang besarnya Rp 894,4 triliun sudah termasuk PPh ditanggung Pemerintah (PPh DTP). Rincian PPh DTP-nya terdiri atas; a) komoditas panas bumi sebesar Rp 1,9 triliun, b) bunga, imbal hasil, dan penghasilan pihak ketiga atas jasa yang diberikan kepada Pemerintah dalam penerbitan dan/atau pembelian kembali/penukaran SBN di pasar internasional, tetapi tidak termasuk jasa konsultan hokum lokal, sebesar Rp 8,9 triliun, c) penghasilan dari penghapusan secara mutlak piutang negara nonpokok yang bersumber dari Pemberian Pinjaman, Rekening Dana Investasi, dan Rekening Pembangunan Daerah yang diterima oleh Perusahaan Daerah Air Minum sebesar Rp 8,4 miliar, dan d) pembayaran Recurrent Cost SPAN yang dibiayai oleh rupiah murni sebesar Rp 472,7 juta. Sedangkan rencana penerimaan PPN sebesar Rp 655,4 triliun akan diperoleh dari PPN dalam negeri Rp 410,7 triliun atau 62,6%, PPN impor Rp 223,3 triliun atau 34,1%, dan PPN lainnya Rp 21,4 triliun atau 3,3%. Kenaikan PPN tahun 2019 didukung oleh upaya pemerintah mendorong konsumsi rumah tangga. Menuju Negara Maju Dari data perkembangan realisasi penerimaan selama ini dan rencana penerimaan pajak tahun 2019, ada hal menarik bila ditinjau dari sisi teoritis ekonomi publik. Beberapa ahli ekonomi publik --di antaranya Glenn P. Jenkins-- menyatakan bahwa dari perbandingan kontribusi atau peranan antara pajak langsung dan pajak tidak langsung dalam suatu negara akan dapat diketahui indikasi mengenai tingkat kemajuan negara tersebut. Yaitu apakah masuk sebagai negara terbelakang, negara berkembang, atau telah menjadi negara maju.
Secara umum dinyatakan dalam pendekatan ekonomi publik bahwa, pertama, bila dalam suatu negara penerimaan pajak dari masyarakatnya (termasuk perusahaan) lebih besar pajak langsung dibanding pajak tidak langsung, diindikasikan bahwa negara tersebut sudah masuk kategori sebagai Negara maju. Kedua, bila penerimaan antara pajak langsung dan pajak tidak langsung agak seimbang, diindikasikan negara tersebut masuk kategori negara berkembang. Sedangkan ketiga, bila penerimaan dari pajak langsung lebih rendah dari pajak tidak langsung, maka diindikasikan negara tersebut masuk kategori negara terbelakang. Bila dikaitkan dengan administrasi perpajakan Indonesia, yaitu pajak yang dikelola DJP dan DJBC, adapun jenis pajak langsung terdiri atas PPh, dan PBB. Kemudian pajak tidak langsung terdiri atas PPN, pajak lainnya, cukai, bea masuk, dan bea keluar. Dengan mengambil data realisasi penerimaan pajak yang menjadi dasar penghitungan selama dua belas tahun terakhir (tahun 2008 hingga 2019) menunjukkan bahwa secara umum kontribusi pajak langsung sudah lebih besar daripada pajak tidak langsung. Hanya tiga tahun yang sebaliknya, yaitu tahun 2013, 2014, dan 2017. Selisih perbandingan terbesar adalah 56,2% pajak langsung dan 43,8% pajak tidak langsung pada tahun 2009. Sedangkan selisih perbandingan terkecil adalah 50,9% dan 49,1% pada tahun 2015. Dari data di atas menunjukkan bahwa Indonesia sebenarnya secara ekonomi sudah mulai ada indikasi beranjak dari negara berkembang ke negara maju. Karena penerimaan pajak langsungnya cenderung lebih besar daripada pajak tidak langsung. Pajak langsung ini diterima dari penghasilan yang diperoleh masyarakat, baik dari hasil pekerjaan – bekerja bagi orang pribadi dan hasil usaha dari perusahaan-- maupun dari asset yang dimiliki yang memberikan penghasilan. Aset dapat berupa asset tetap (misalnya properti, dan sebagainya), maupun aset lancar berupa surat-surat berharga di pasar uang. Jika suatu waktu nanti penerimaan dari pajak langsung bisa mencapai minimal 60% dari total penerimaan pajak (artinya pajak tidak langsung kontribusinya 40%), maka saat itulah Indonesia sudah dapat dimasukkan dalam kategori sebagai negara maju. Semoga hal tersebut tercapai sebagai wujud dari makin sejahteranya rakyat Indonesia. Liberti Pandiangan, Kepala Bidang P2Humas, Kantor Wilayah DJP Jakarta
Fasilitas Tax Holiday Bagi WP Badan di Indonesia "Tax Holiday" Indonesia Lewati Negara-negara Tetangga Yoga Sukmana Kompas.com 16/11/2018, 20:35 WIB
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul " "Tax Holiday" Indonesia Lewati Negaranegara Tetangga", https://ekonomi.kompas.com/read/2018/11/16/203500926/tax-holiday-indonesialewati-negara-negara-tetangga. Penulis : Yoga Sukmana Editor : Bambang Priyo Jatmiko JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah baru saja mengeluarkan skema baru pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) badan atau tax holiday. Maksimal, fasilitas tax holiday yang diberikan mencapai 100 persen dengan jangka waktu mencapai 20 tahun. "Ini sangat progresif sekali," ujar Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Perekonomian, Iskandar Simorangkir dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (16/11/2018). Pemerintah sendiri mengaku sudah melakukan riset terkait dengan keputusan memberikan tax holiday yang besar dan jangka waktu yang sangat lama itu. Diantaranya yakni dengan melihat kebijakan serupa di negaranegara tetangga yang menjadi pesaing Indonesia. "Vietnam itu maksimum hanya 13 tahun dari data yang ada dan kami tanyakan ke BKPM mereka. Itu maksimum 13 tahun, itu pun 5 tahun (pengurangan PPh-nya) 100 persen, 8 tahun 50 persen," kata dia. "Sedangkan Thailand-Malaysia juga, hanya 15 tahun, jadi ini merarik sekali kalau kita bandingkan dengan pesaing ekspor kita yang utama. ini sangat menarik fasilitas ini kerana diberikan 20 tahun," sambung Iskandar Sebelumnya pemerintah mengeluarkan skema pemberian fasilitas tax holiday kepada investor. Hal ini dilakukan agar menggenjot investasi di Indonesia. Berikut sebagian skema fasilitas tax holiday di Paket Kebijakan Ekonomi XVI: - Nilai investasi Rp 500 miliar - kurang dari Rp 1 triliun dapat pengurangan PPh 100 persen selama 5 tahun. - Nilai investasi Rp 1 triliun - kurang dari Rp 5 triliun, dapat pengurangan PPh 100 persen selama 7 tahun. - Nilai investasi Rp 5 triliun - kurang dari Rp 15 triliun, dapat pengurangan PPh 100 persen selama 10 tahun. - Nilai investasi Rp 15 triliun - kurang dari Rp 30 triliun, pengurangan PPh 100 persen selama 15 tahun. - Nilai investasi minimal Rp 30 triliun, pengurangan PPh 100 persen selama 20 tahun. - Setelah tax holiday berakhir, diberikan pengurangan PPh sebesar 50 persen selama 2 tahun.