Artikel Pak Darma (windy Pertiwi 1604858).docx

  • Uploaded by: Windy Pertiwi
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Artikel Pak Darma (windy Pertiwi 1604858).docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,320
  • Pages: 6
NAMA

: WINDY PERTIWI

NIM

: 1604858

NAMA TUGAS

: MEMBUAT ARTIKEL

EKSISTENSI MANUSIA DALAM PENDIDIKAN Dari sudut etimologi eksistensi berasal dari kata “eks” yang berarti diluar dan “sistensi” yang berarti berdiri atau menempatkan, jadi secara luas eksistensi dapat diartikan sebagai berdiri sendiri sebagai dirinya sekaligus keluar dari dirinya. Adapun pengertian eksistensialisme menurut terminologinya adalah suatu aliran dalam ilmu filsafat yang menekankan segala sesuatu terhadap manusia dan segala sesuatu yang mengiringinya, manusia dipandang sebagai suatu makhluk yang harus bereksistensi atau aktif dengan sesuatu yang ada disekelilingnya, serta mengkaji cara kerja manusia ketika berada di alam dunia ini dengan kesadaran. Disini dapat disimpulkan bahwa pusat renungan atau kajian dari eksistensialisme adalah manusia. Dalam artikel ini, fokus manusia dalam pendidikannya adalah siswa. Siswa merupakan seseorang

yang berusaha menggali sedalam-dalamnya

pengetahuan. Sekolah merupakan wadah bagi siswa untuk mengeksplorasi pengetahuan yang ingin digali. Siswa adalah salah satu komponen manusiawi yang menempati posisi sentral dalam proses belajar-mengajar. Di dalam proses belajar-mengajar, siswa sebagai pihak yang ingin meraih cita-cita, memiliki tujuan dan kemudian ingin mencapainya secara optimal. Siswa adalah pribadi yang “unik” yang mempunyai potensi dan mengalami proses berkembang. Dalam proses berkembang itu, anak atau siswa membutuhkan bantuan yang sifat dan coraknya tidak ditentukan oleh guru tetapi oleh anak itu sendiri, dalam suatu kehidupan bersama dengan individu-individu yang lain. Dalam proses belajar-mengajar yang diperhatikan pertama kali yaitu siswa, bagaimana keadaan dan kemampuannya, baru setelah itu menentukan

komponen-komponen yang lain. Apa bahan yang diperlukan, bagaimana cara yang tepat untuk bertindak, alat atau fasilitas apa yang cocok dan mendukung, semua itu harus disesuaikan dengan karakteristik siswa. Itulah sebabnya siswa merupakan subjek belajar. Dengan demikian, tidak tepat kalau dikatakan bahwa siswa itu sebagai objek dalam proses belajar-mengajar. Memang dalam berbagai statment dikatakan bahwa siswa dalam proses belajar-mengajar sebagai kelompok manusia yang belum dewasa dalam artian jasmani maupun rohani. Oleh karena itu, memerlukan pembinaaan, bimbingan dan pendidikan serta usaha orang lain yang dipandang dewasa, agar siswa dapat mencapai tingkat kedewasaannya. Hal ini dimaksudkan agar siswa kelak dapat melaksanakan tugasnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, warga negara, warga masyarakat dan pribadi yang bertanggung jawab. Pernyataan mengenai siswa sebagai kelompok yang belum dewasa itu, bukan mereka sebagai makhluk yang lemah, tanpa memiliki potensi dan kemampuan. Siswa secara kodrati telah memiliki potensi dan kemampuankemampuan tertentu. Hanya yang jelas siswa itu belum mencapai tingkat optimal dalam mengembangkan potensi dan kemampuannya. Oleh karena itu, lebih tepat kalau siswa dikatakan sebagai subjek dalam proses belajar-mengajar, sehingga siswa disebut sebagai subjek belajar. Dalam mengembangkan segala potensi siswa secara optimal, tentunya siswa perlu mengenal secara utuh siapa dirinya kemudian ia mengenal lebih jauh mengenai keilmuan dan segala metodenya. Hal inilah yang mengakibatkan perlunya pemahaman tentang eksistensialisme. Menurut eksistensialis, mereka tidak mendahulukan berpikir mengenai ilmu dan metode keilmuan, melainkan manusia dan kemanusiaan sebagai hal utama. Dari segi pendidikan, eksistensialis menghendaki pola berpikir yang mengutamakan hakikat eksistensi manusia, tidak hanya memikirkan ilmu dan metode keilmuan.

Istilah eksistensialisme pertama kali digagas oleh Martin Heidegger pada tahun 1889-1976. Eksistensialisme adalah merupakan filsafat dan akar metodologinya berasal dari metode fenomologi yang dikembangkan oleh Hussel pada tahun 1859-1938. Munculnya eksistensialisme berawal dari filsafat Kiekegaard dan Neitchze. Metode yang digunakan Heidegger dalam menjelaskan eksistensialisme adalah wujud manusia. Ia mencoba membangkitkan kembali pertanyaan yang sangat tua akan makna wujud (eksistensi) manusia seutuhnya dan mencoba menemukan jawaban yang baru atas persoalan tersebut. Bagi para eksistensialis, adanya manusia bertujuan untuk membentuk hakekat manusia yang seutuhnya. Menurut Heidegger, manusia memiliki bakat yang istimewa untuk memahami eksistensinya, dimana bakat tersebut merupakan salah satu komponen untuk membentuk manusia seutuhnya. Baginya, yang menjadi persoalan adalah apa hakikatnya dari keberadaan (eksistensi). Inti pemikiran Heidegger adalah memusatkan semua hal kepada manusia dan mengembalikan semua masalah apapun ujung-ujungnya adalah manusia sebagai subjek atau objek dari masalah tersebut. Pendapat lain disampaikan pula oleh Kierkegaard. Ia berpendapat bahwa eksistensi manusia terjadi dalam kebebasannya. Baginya, bereksistensi berarti berani mengambil keputusan yang menentukan bagi hidupnya. Konsekuensinya, jika kita tidak berani mengambil keputusan dan tidak berani berbuat, maka ia tidak bereksistensi dalam arti sebenarnya. Dari pendapatnya, jelas bahwa eksistensialis menilai seorang manusia mesti memiliki kebenarian dalam menyampaikan gagasan serta berani berbuat. Kecenderungan seorang siswa untuk tertutup, memiliki rasa malu untuk menyampaikan gagasan, serta ragu-ragu dalam bertindak menunjukkan ketiadaan eksistensialisme sebagaimana yang diharapkan oleh para eksistensialis. Jika seseorang tak mampu memahami eksistensi, ia bisa dikatakan bukanlah seorang manusia pembelajar.

Inti pemikiran Kierkegaard adalah eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang kaku dan statis tetapi senantiasa terbentuk, manusia juga senantiasa melakukan upaya dari sebuah hal yang sifatnya hanya sebagai spekulasi menuju suatu yang nyata dan pasti, seperti upaya mereka untuk menggapai cita-citanya pada masa depan. Eksistensialisme sebagai filsafat sangat menekankan individualisme dan pemenuhan diri secara pribadi. Setiap individu dipandang sebagai makhluk yang unik dan secara unik pula bertanggung jawab atas nasibnya. Dalam relasinya terhadap pendidikan, berarti eksistensialisme sangat erat dengan pendidikan karena keduanya bersinggungan dengan masalah-masalah yang sama yaitu manusia, hidup, hubungan antar manusia, hakikat kepribadian, dan kebebasan. Adapun tujuan dari pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan dirinya. Melihat dari tujuan tersebut, maka diperlukan sistem pembelajaran atau kurikulum yang menunjang semua itu. Kaum eksistensialisme menilai kurikulum berdasarkan pada apakah hal itu berkontribusi pada pencarian individu akan makna dan muncul dalam suatu tingkatan kepekaaan personal yang disebut Greene sebagai “kebangkitan yang luas”. Sastre sempat menyinggung pernyataan Descartes “cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada)”. Ia menyatakan bahwa selama ini manusia hanya mendalami kata “cogito” namun jarang manusia yang memaknai arti “sum”. Dalam kurikulum, tak hanya diarahkan untuk sekedar berpikir tentang ilmu dan metode keilmuan belaka, melainkan diarahkan untuk mengenal potensi diri atau kemampuan psikomotorik manusia pembelajar. Filsafat eksistensialisme lebih memfokuskan pada pengalaman-pengalaman manusia. Dengan mengatakan bahwa yang nyata adalah yang dialaminya bukan diluar kita. Jika manusia mampu menginterpretasikan semuanya terbangun atas pengalamannya. Dalam kurikulum 2013, diterapkan metode Student Center, yaitu siswa dituntut untuk lebih aktif dalam proses pembelajaran dimana guru bertindak

sebagai fasilitator saja, dan siswa dituntut untuk membangun pengetahunannya sendiri atau mengkonstruksikannya dari pengetahuan-pengetahuan (pengalaman) yang

sebelumnya.

Mengingat

perlunya

siswa

untuk

mengkonstruksikan

pengetahuannya, maka diperlukan metode yang efisien, salah satunya adalah learning community (diskusi kelompok). Pada diskusi kelompok, diajarkan tentang mengkomunikasikan informasi secara berdialog dan kebebasan untuk menyampaikan gagasannya. Dalam kaitannya dengan eksistenialisme, menurut Kierkegaard, bereksistensi berarti berani mengambil keputusan, dan jika tidak berani mengambil keputusan dan tidak berani berbuat, maka ia tidak bereksistensi dalam arti sebenarnya. Harapan kaum eksistensialis, individu menjadi pusat dari upaya pendidikan. Tata cara para guru eksistensialis tidak ditemukan pada tata cara guru tradisional. Guru-guru eksistensialis tidak pernah terpusat pada pengalihan pengetahuan kognitif dan dengan berbagai pertanyaan. Ia akan lebih cenderung membantu siswa-siswa untuk mengembangkan kemungkinan-kemungkinan pertanyaan. Guru akan fokus pada keunikan individu di antara sesama siswa, sehingga menganggap bahwa tidak ada dua individu yang benar-benar sama di antara mereka, karena itu tidak ada kebutuhan yang sama dalam pendidikan. Jadi, guru

akan

memperlakukan

siswa

secara

individual

dimana

ia

dapat

mengidentifikasi dirinya secara personal. Para guru eksistensialis berusaha keras menjadikan diri sebagai fasilitator. Dalam aturan ini guru memperhatikan emosi dan hal-hal yang tidak masuk akal pada setiap invidu, dan berupaya untuk memandu siswanya untuk lebih memahami diri mereka sendiri. Ia dan anak-anak muda yang bersamanya akan memunculkan pertanyaan-pertanyaan tentang hidup, kematian, dan makna yang mereka tampilkan dalam berbagai pengalaman kemanusiaan dengan beberapa sudut pandang. Melalui berbagai pengalaman ini, guru-guru dan siswa akan belajar dan bertukar informasi tentang penemuan jati diri dan bagaimana realisasinya dalam kehidupan dunia antar-sesama dan sebagai individu. Kriteria

metodologi kaum eksistensialis berpusat seputar konsep tanpa kekerasan dan metode-metode itu yang akan membantu siswa menemukan dan menjadi dirinya sendiri. Pada akhirnya kita menyadari bahwa pandangan eksistensialis tidak s elalu dapat diterima, karena kita sebagai warga negara Indonesia yang menjadikan Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa. Sekalipun kita patut mengakui bahwa eksistenialisme tidak memiliki relasi langsung dengan pendidikan (dimana kita lebih fokus pada siswa), namun pandangan eksistensialis mengenai pendidikan ternyata memberi sumbangan besar bagi sistem pendidikan Indonesia, contohnya Kurikulum 2013. Segala pandangan eksistensialis terhadap siswa membuat kita mengerti bagaimana manusia pembelajar yang seharusnya, serta bagaimana guru sebagai fasilitator menunjang itu semua.

Related Documents

Darma
July 2020 7
Windy Doc
October 2019 12
Darma Google
April 2020 4
Pak
November 2019 67

More Documents from ""