Ardani.pdf

  • Uploaded by: gusti
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Ardani.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 1,652
  • Pages: 4
Prosiding Rakernas dan Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Apoteker Indonesia 2016 e-ISSN : 2541-0474

GAMBARAN PELAKSANAAN KONSELING OBAT TANPA RESEP DI APOTEK-APOTEK WILAYAH KOTA BANTUL

Susan Fitria Candradewi1* dan Susi Ari Kristina2 1

Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta , INDONESIA Bagian Farmasetika, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 55281, INDONESIA

2

*Corresponding author email: [email protected] Abstrak Latar belakang : Informasi mengenai obat,terutama obat yang sering digunakan oleh masyarakat dalam pengobatan sendiri (swamedikasi) sangat dibutuhkan oleh masyarakat karena adanya peningkatan pola perilaku swamedikasi.. Penggunaan Obat Tanpa Resep harus memenuhi syarat farmakoterapi rasional yaitu tepat indikasi, tepat penderita, tepat obat, tepat dosis dan waspada efek samping. Konseling obat oleh Apoteker perlu diberikan kepada masyarakat yang melakukan swamedikasi agar kerasionalitas pengobatan dapat tercapai. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pelaksanaan konseling obat tanpa resep oleh Apoteker, untuk mengetahui informasi apa saja yang disampaikan dalam konseling obat tanpa resep Metode: Rancangan penelitian deskriptif dengan metode penelitian survei secara langsung menggunakan kuesioner. Penentuan sampel apotek dan konsumen dilakukan menggunakan teknik purposive sampling. Data penelitian diperoleh dari kuesioner dan juga hasil observasi oleh pengamat. Hasil penelitian: Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan konseling berdasarkan aspek psikologi merupakan aspek yang paling tinggi dilakukan yaitu sebanyak 61%, selanjutnya adalah aspek komunikasi sebanyak 69.57%, dan yang terakhir aspek farmakoterapi sebanyak 23.43%. Kesimpulan: Gambaran pelaksanaan konseling Obat Tanpa Resep di wilayah kota Bantul masih sebatas informasi mengenai obat. Informasi yang disampaikan dalam konseling Obat Tanpa Resep masih sebatas tujuan pengobatan (indikasi pengobatan), aturan penggunaan obat, dan cara penyimpanan obat. Kata kunci: Konseling, Apotek, Obat Tanpa Resep

1. PENDAHULUAN Penggunaan obat tanpa resep dalam upaya swamedikasi telah dilakukan secara luas oleh masyarakat. Ketersediaan obat tanpa resep saat ini mencapai kira-kira 100.000 jenis yang digunakan untuk mengobati berbagai kondisi penyakit ringan. Beberapa kondisi tersebut antara lain seperti sakit kepala, demam, flu, konstipasi, rhinitis, jerawat, dismenorhea, diare, batuk pilek, alergi dan beberapa lainnya yang kira-kira terjadi pada jutaan masyarakat tiap tahunnya (Anonim, 2003). Berdasarkan data di Indonesia setidaknya terdapat 60% masyarakat memilih melakukan swamedikasi (Suryawati, 1997). Swamedikasi merupakan upaya yang dilakukan penderita dengan tujuan untuk pengobatan penyakit ringan, pengobatan penyakit kronis setelah adanya perawatan dari dokter, dan juga dalam upaya peningkatkan kesehatan (Supardi,1997). Tanggung jawab profesional apoteker untuk berpartisipasi dalam pengobatan telah

menimbulkan perkembangan konsep “pelayanan kefarmasian” (Pharmaceutical Care). Pelayanan kefarmasian berarti mendesain, menerapkan, dan memantau suatu rencana terapi, dalam kerja sama dengan pasien dan profesional kesehatan lainnya sehingga akan dihasilkan outcome terapi tertentu. Perkembangan konsep “Pelayanan Kefarmasian” berarti apoteker secara langsung bertanggung jawab pada pasien dalam peningkatkan mutu pelayanan (Charles, 2006). Konseling yang dilakukan apoteker merupakan komponen dari Pelayanan Kefarmasian dan ditujukan untuk peningkatkan hasil terapi dengan memaksimalkan penggunaan obat-obatan yang tepat (Charles, 2006). Konseling dapat diartikan sebagai pemberian informasi dan nasehat kepada pasien. Pemberian informasi dan konseling kepada pasien diperlukan karena pasien dapat mendapatkan manfaat lebih dari obat yang digunakan dan pencapaian hasil terapi serta peningkatkan mutu hidup pasien (Santosa, 1997). 168

Prosiding Rakernas dan Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Apoteker Indonesia 2016 e-ISSN : 2541-0474

Obat tanpa resep merupakan obat-obatan yang dapat digunakan dalam upaya pelaksanaan swamedikasi . Obat tanpa resep adalah obat-obat yang menurut undang-undang dijual bebas di masyarakat untuk digunakan sendiri tanpa pengawasan ahli, dan pada kemasannya telah tercantum cara penggunaan dan aturan pemakaiannya (Mercill, 1983). Obat tanpa resep pada umumnya termasuk ke dalam golongan obat bebas, obat bebas terbatas dan obat wajib apotek (OWA), Obat bebas dan obat bebas terbatas merupakan obatobatan yang dapat dibeli tanpa menggunakan resep dokter namun penggunaannya harus hatihati.. Penggunaan obat tanpa resep dengan benar akan mendukung kerasionalan dalam penggunaan obat ( Cipolle dkk., 1998). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pelaksanaan konseling obat tanpa resep yang diberikan oleh apoteker dilihat dari aspek komunikasi, aspek psikologi, dan aspek farmakoterapi. 2. METODE DAN BAHAN 2.1. Metode Rancangan penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif non-eksperimental

dengan menggunakan metode survei secara langsung kepada responden konsumen apotek di wilayah kota Bantul menggunakan alat penelitian kuesioner. Kuesioner dibagikan secara langsung kepada responden konsumen apotek terpilih. Pengambilan sampel apotek dan sampel konsumen dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling yaitu pengambilan sampel disesuaikan dengan tujuan penelitian. 2.2. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang berisi mengenai pernyataan tertulis kepada responden dan lembar observasi yang berisi daftar pertanyaan mengenai aspek komunikasi, aspek psikologi dan aspek farmakoterapi 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah responden yang digunakan dalam penelitian ini adalah 100 responden konsumen. Karakteristik responden dalam penelitian ini meliputi jenis kelamin, usia, dan pendidikan, Tabel I menunjukkan karakteristik dasar responden yang terlibat dalam penelitian ini.

Tabel 1. Karakteristik dasar responden Karakteristik Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Usia < 20 Tahun 21-30 Tahun 31-40 Tahun 41-50 Tahun >50 Tahun Pendidikan SD SLTP SLTA Pendidikan Tinggi Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, karakteristik dasar responden yang terlibat dalam penelitian ini sebagian besar merupakan laki-laki (55 %), dan 45% merupakan wanita. Usia responden yang terlibat antara lain berturut-turut usia 21-30 tahun (33%), 31-40 tahun (28%), 41-50 tahun (24%), < 20 tahun (8%), dan > 50 tahun (7%). Pendidikan

Jumlah (n = 100)

Presentase (%)

55 45

55 45

8 33 28 24 7

8 33 28 24 7

2 6 62 30

2 6 62 30

responden yang terlibat merupakan lulusan SLTA (62%), lulusan perguruan tinggi (30%), SLTP (6%), dan SD (2%). Karakteristik dasar ini diperlukan untuk mengetahui latar belakang konsumen, karena perbedaan latar belakang sosial, budaya dan pendidikan akan mempengaruhi hasil penelitian. 169

Prosiding Rakernas dan Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Apoteker Indonesia 2016 e-ISSN : 2541-0474

Usia dapat menjadi salah satu faktor yang berpengaruh dalam tingkat pengetahuan, selain itu usia juga akan berpengaruh terhadap cara pandang, pemikiran, dan penilaian konsumen terhadap materi kuesioner yang dihubungkan dengan pengalaman yang pernah dialami. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi tingkat pengetahuan konsumen mengenai penyakit dan informasi mengenai obat-obat yang digunakan dalam swamedikasi Menurut Rantucci (1997) konseling berarti informasi dan pendidikan kepada pasien, memberi saran dan juga diskusi antara pasien dengan apoteker. Konseling juga dapat diartikan sebagai diskusi dua arah antara pasien dengan apoteker dengan tujuan untuk memecahkan masalah tertentu berkaitan dengan pengobatan pasien. Dalam penelitian ini konseling obat tanpa resep dilihat berdasarkan tiga aspek yaitu aspek komunikasi, aspek psikologi dan aspek farmakoterapi. Aspek komunikasi meliputi

Apoteker melakukan diskusi pembuka, pemilihan bahasa yang digunakan sudah sesuai, Apoteker melakukan komunikasi non verbal, kedekatannya dengan konsumen, tidak ada barrier komunikasi, dan Apoteker membantu melakukan pemilihan obat. Aspek psikologi dilihat berdasarkan apoteker bersikap empati (mendengarkan keluhan, bersikap sopan, ramah, dan dapat memahami apa yang dirasakan konsumen), menenangkan konsumen (memberikan sugesti yang positif), menjaga kerahasiaan konsumennya, memberikan informasi yang benar (sesuai dengan literatur) dan menjaga kepercayaan konsumen, sedangkan aspek farmakoterapi dilihat berdasarkan apoteker menyampaikan informasi mengenai tujuan dari pengobatan, cara penggunaan obat, kontra indikasi obat, kemungkinan efek samping, interaksi obat, cara penyimpanan dan tanggal kadaluwarsa obat. Gambaran Pelaksannaan konseling obat tanpa resep dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Gambaran pelaksanaan konseling obat tanpa resep Pelaksanaan Konseling Aspek Komunikasi Aspek Psikologi Aspek Farmakoterapi Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa aspek psikologi merupakan aspek yang paling banyak dilakukan saat pemberian konseling (69.57%), selanjutnya adalah aspek komunikasi (61%) dan yang paling sedikit diberikan adalah informasi mengenai aspek farmakerapi (23.43%). Komunikasi dengan konsumen merupakan langkah yang penting dalam mengumpulkan informasi dari konsumen, dan merupakan proses yang penting dalam penilaian awal sehingga akan menentukan tindakan selanjutnya. Selain itu komunikasi akan membangun sebuah interaksi antara apoteker dengan konsumen dalam hal yang berkaitan dengan terapi. Komunikasi juga bermanfaat untuk mengerti kebutuhan, keinginan, dan pilihan dari pasien. Konseling tidak akan terjadi apabila pasien/konsumen tidak menyadari apa yang dibutuhkannya. Seringkali pasien/konsumen datang tanpa mengungkapkan kebutuhannya, meskipun sebenarnya ada sesuatu yang dibutuhkannya. Sehingga dilakukan pendekatan awal dengan melakukan komunikasi agar pasien/konsumen dapat mengungkapkan apa

Persentase (%) 61 69.57 23.43 yang dibutuhkannya kepada apoteker tanpa raguragu. Aspek psikologi dalam konseling merupakan salah satu faktor penting dalam konseling obat tanpa resep yang berguna dalam mengumpulkan informasi dari konsumen terhadap permasalahan yang dihadapinya. Pendekataan secara psikologis bertujuan untuk dapat memberikan informasi sebanyakbanyaknya dari pasien Pemberian informasi mengenai obat tanpa resep yang direkomendasikan atau yang dibeli oleh konsumen merupakan tanggung jawab Apoteker kepada pasien dalam pelaksanaan swamedikasi agar tujuan terapi dapat tercapai. Aspek farmakoterapi harus disampaikan kepada konsumen karena berkenaan dengan pengobatan yang dilakukan dan meliputi tujuan dari pengobatan, cara penggunaan obat, kontra indikasi obat, kemungkinan efek samping yang ditimbulkan, kemungkinan adanya interaksi obat, cara penyimpanan obat dan tanggal kadaluwarsa obat. Pemberian informasi terhadap aspek farmakoterapi perlu diperhatikan agar konsumen 170

Prosiding Rakernas dan Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Apoteker Indonesia 2016 e-ISSN : 2541-0474

benar-benar dapat memahami informasi yang disampaikan oleh Apoteker. 4. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan di apotek wilayah kota Bantul terhadap gambaran pelaksanaan konseling obat tanpa resep, maka dapat diambil kesimpulan antara lain karakteristik dasar responden yang terlibat dalam penelitian paling besar persentasenya adalah jenis kelamin laki-laki 55%, usia antara 21-30 tahun 33%, dan 28 % dengan pendidikan terakhir SLTA. Gambaran pelaksanaan konseling obat tanpa resep dilihat dari tiga aspek, yaitu aspek komunikasi, aspek psikologi, dan aspek farmakoterapi dengan aspek komunikasi sebanyak 61%, aspek psikologi sebesar 69,57%, dan aspek farmakoterapi sebesar 23,43%. DAFTAR PUSTAKA 1. Anonim, 2004, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Depkes RI, Jakarta. 2. Cipolle, R.J., Strand, L.M., Morley, P.C., 1998, Pharmaceutical Care Practice, McGraw-Hill, New York

3. Rantucci, Melanie J., 1997, Pharmacist Talking with Patients: a Guide to Patients Counseling, 82-84, Baltimore, Pennsylvania. 4. Santosa, B, 1994, The Importance of Patient Counseling, Guest editorial, Medical Progress November Suplement. Departement of Clinical Pharmacology. 5. Supardi, S., 1997, Pengobatan Sendiri di Masyarakat dan Masalahnya, Cermin Dunia Kedokteran, no.118, 48-49. 6. Supardi, S., Muktiningsih, S.R., Handayani, R.S., 1997, Faktor-faktor yang mempengaruhi Pemilihan obat atau obat Tradisional dalam Upaya Pengobatan Sendiri di Pedesaan, Buletin Penelitian Kesehatan, 25(3 & 4), 26-32. 7. Suryawati, 2005, Dasar-Dasar Pertimbangan Penggunaan obat Bebas Terhadap Usaha Pengobatan sendiri Pada Pasien di Apotek Wilayah Kota Madya Yogyakarta, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 8. Suryawati, S., 1997, Etika Promosi obat Bebas dan Bebas Terbatas. Disampaikan dalam Simposium Nasional obat Bebas dan Bebas Terbatas 23 Juni 1997.

171

More Documents from "gusti"