Anugerah itu Bernama Kegagalan Mungkin kita semua pernah mengalami kegagalan dan kesuksesan. Keduanya datang silih berganti. Kegagalan itu selalu terasa pahit, bahkan tak jarang sampai membuat kita meneteskan air mata duka. Sebaliknya dengan kesuksesan selalu terasa asyik dan menyenangkan. Sehingga kita terus berusaha untuk menggapainya. Fenomena gagal dan sukses itu sering terjadi di tengah masyarakat. Namun hanya sedikit orang yang jarang menghadapi kegagalan. Sehingga orang-orang ini cenderung mengalami prustasi ketika menghadapi suatu kegagalan. Pernah seorang sahabat saya menangis tergugu ketika mendapatkan nilai C pada suatu mata kuliah. Saya dapat memahaminya karena saya juga pernah mendapatkan nilai yang jelek. Saya jadi teringat, ketika kuliah di semester II, saya pernah nilai E. Saat itu dunia serasa gelap dan rasanya begitu menyakitkan. Saya menangis berhari-hari hingga jatuh sakit. Namun hal itu tak lama. Karena setelah itu saya segera bangkit dan menjalani hari-hari dengan penuh semangat lagi. Tapi yang menyedihkan adalah, hal itu terus terjadi hingga berkali-kali. Saya sering mengevaluasi apa yang salah pada saya. Saya sudah meningkatkan usaha belajar saya dan yang tak kalah penting, saya selalu berdoa. Apalagi kalau mau ujian, jika orang-orang menghapal, saya juga tidak mau kalah, saya menghapal semalam suntuk. Tapi hasilnya tetap sama, bagian-bagian yang saya hapal tidak ada didalam soal ujian. Dan yang ditanyakan adalah bagian-bagian yang tidak saya hapal Saya sempat merasa bahwa Allah tidak sayang pada saya. Mengapa orangorang begitu mudah untuk berprestasi sedangkan saya tidak. Saya kecewa dan sedih. Untung saja tidak sampai putus asa. Saat itu saya tidak peduli dengan kalimat yang menyatakan Allah tidak pernah melihat hasil, tapi Allah hanya melihat usaha kita. Saya tidak peduli karena saya tidak tega melihat gurat kecewa orang tua saya jika mendengar nilai saya rendah. Dan celakanya saya juga tidak bisa berbohong pada mereka. Jika saya berbohong, paling lama 1 jam kemudian saya sudah mengungkapkan kebenaran yang sesungguhnya pada mereka.
Tapi kali ini kita bukan membahas hubungan saya dengan orang tua saya, tapi kita akan membahas anugerah yang diberikan Allah pada saya dalam bentuk kegagalan. Intinya dalam hal akademis, saya sering gagal. Sehingga saya dan beberapa anak kimia yang lain dijuluki rantai karbon panjang kebetulan saya kuliah di jurusan kimia. Karena kami memiliki banyak tabungan nilai C. he….he…he lucu ya punya banyak nilai C koq bangga? Saya memiliki tipikal orang yang senang berkompetisi makanya saya memunculkan rival buat saya. Saat itu saya membuat 3 rival yaitu 2 perempuan dan 1 laki-laki. Mereka ini sahabat-sahabat saya, walau sejujurnya ada rasa iri yang begitu dalam menusuk ketika melihat prestasi mereka. Karena saya memang belum pernah bias mengalahkan mereka dalam hal akademik. Tapi memang itu tujuan saya. Mencari figure yang bisa membuat saya iri dan bersemangat belajar. Rival pertama saya seorang perempuan cantik, lembut, kami sama-sama aktif di LDK tapi berbeda jurusan dan fakultas. Yang membuat saya iri bukannya cantik dan lembutnya, bukan berarti saya lebih cantik dan lembut juga, dalam hal ini saya juga kalah. Soalnya didunia ini baru ibu yang bilang saya cantik, apalagi lembut, mungkin gak ada. Tapi IPK-nya yang buat saya iri. Bayangkan saja, saat semester IV IPK-nya 3,84. Berarti hampir semua nilainya A. gilak kan! Rival kedua, seorang perempuan juga. Gadis berdarah campuran jawa-tiong hoa ini punya otak yang sangat cemerlang dan daya ingat yang sangat hebat sehingga ia tidak perlu menghapal lama-lama, karena sekali baca saja isi buku sudah ada dikepalanya. Dia memiliki IPK tertinggi seangkatan kami dijurusan kimia. IPK nya saat itu 3,6 tanpa nilai C. sebagian teman yang iri menyebutnya bukan anak Kimia karena tidak punya rantai karbon. Ada-ada aja ya! Rival ketiga, seorang laki-laki. Laki-laki paling cerewet sedunia. Tapi sangat cerdas, paling tidak dalam hal bahasa dan sastra kemampuannya jauh diatas saya. Kritis, punya referensi segudang buku dan yang paling menyebalkan dia sering mematahkan argument saya kalau di forum-forum diskusi. IPK-nya juga tinggi saat
itu dan disemester 2 dia sudah jadi ketua HMJ. Dia juga kebanggan dan kesayangan para senior di kampus, baik senior perempuan maupun senior laki-laki. Saya coba gaya belajar mereka. Belajar di tempat sepi, tenang dan tidak krasak-krusuk, baca banyak buku dengan serius dan tekun. Hasilnya adalah nilai saya semakin turun. Akhirnya saya sampai pada kesimpulan bahwa gaya belajar tiap orang berbeda. Saya sadari gaya belajar saya cukup aneh. Untuk mata kuliah yang mengandung hitungan, saya lebih kosentrasi jika ditemani musik yang cukup keras dan kencang sehingga otak saya akan bekerja sekencang dan seheboh musiknya. Tapi untuk pelajaran yang sifatnya menghapal, saya butuh ditemani alunan suara yang tenang seperti murottal Al-Quran dan nasyid-nasyid tenang yang bertemakan kesenduan dan kelembutan. Selain itu, suasananya harus sesuai dengan kondisi nyaman menurut saya, yaitu saya belajar ditengah-tengah buku-buku yang berserakan. Itu akan menambah konsentrasi saya belajar. Apalagi jika ditemani oleh snack-snack ringan. Asyi……k! santap habis! Kembali ke teman-teman saya tersebut, di tahun akhir perkuliahan saya merasa sangat kecewa dengan dua teman yang perempuan. Ternyata mereka tidak sehebat yang saya kira selama ini. Teman saya yang pertama, sicantik, dia mengalami sedikit masalah psikis, dari teman-temannya saya dengar dia shock karena tidak bias mengejar targetnya. Akhirnya kini dia tidak pernah lagi ke kampus dan menurut teman-teman yang sudah mengunjunginya, dia sedikit linglung. Saya pernah membaca gejala seperti ini mirip dengan masalah kejiwaan yang disebut bipolar disorder. Penderita bipolar disorder kerap tidak bias menerima kenyataan atas kegagalannya. Tapi dari beberapa teman yang lain dia juga mengalami gangguan dari sis yang lainnya. Allahu’alam! Rival sekaligus idola saya yang kedua membuat saya kecewa, karena melihat dia menangis hanya karena mendapatkan nilai C. padahal bagi saya itu bukanlah masalah besar. Dia terus saja marah-marah ketika kami coba menghiburnya. Teman yang ketiga saya tidak tahu bagaimana kondisi akademisnya, karena disemester tiga, dia masuk ke STAN dan meninggalkan kampus kami tercinta.
Dari kedua teman saya yang perempuan itu saya menjadi begitu bersyukur jika mengingat kegagalan demi kegagalan yang telah saya alami, paling tidak kegagalan-kegagalan itu telah menempa mental saya menjadi lebih kuat. Dan saya merasa kegagalan-kegagalan dimasa lalu itu adalah sebuah anugerah, maka kini saya menyebut anugerah itu bernama kegagalan. Nb. Cari defenisi dari bipolar dis order