Sang Guru Pecinta Itu Bernama Muhammad

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Sang Guru Pecinta Itu Bernama Muhammad as PDF for free.

More details

  • Words: 587
  • Pages: 2
SANG GURU PECINTA ITU BERNAMA MUHAMMAD SAW Kang-Idrus Setiap orang yang telah meridhoi Allah Tuhannya, Islam sebagai agama yang dipilihkan Allah buatnya dan Muhammad adalah nabinya, maka mestilah mereka juga sanggup menanggung duka, derita dan rasa sakit dalam penempuhan kehidupan. Bahwa setiap kata tidak lepas dari perbuatan dan pembuktian maka rasanya sebuah kebohongan besar yang mengatakan cinta tapi tak mau menanggung duka, derita dan rasa sakit. Cinta pun adalah sebuah pilihan yang mau tidak mau ada resikonya. Apalagi kalau bukan duka, rasa sakit, derita yang menjadi resiko mencintai itu. Ya, Muhammad memang seorang rasul tetapi jangan sekalipun kita lupa bahwa beliau yang agung ahlaqnya itu adalah manusia juga seperti kita yang merasakan duka, sakit dan derita. Bahkan sebelum kematian menjadi pengakhir tugas kerasulannya,

kekasih

kita

itu

berkata

“ummati…

ummatii…...ummmatii”.

Dipenghujung hidupnya, beliau masih menanggung duka, sakit dan derita akan kecintaan pada ummatnya yang demikian ia kasihi. Manusia manakah lagi yang seagung ini dalam cintanya, yang cintanya pada Allah sedemikian sempurna sehingga membias kedalam kecintaan besar pada ummatnya. Cinta itu bukan untuknya. Cinta Muhammad bukan cinta yang menuntut kepemilikan atas yang dicintainya. Rasul itu mencintai demi keselamatan dan kebahagiaan manusia itu sendiri. Kecintaan adalah laju sejarah yang mampu merekontruksi, responsif, dinamis dan memaknai kehidupan. Kebudayaan yang melahirkan peradaban tanpa cinta adalah kenihilan makna. Dengan cintalah Nabi berdakwah, mengenalkan Tuhan pada manusia. Rasul terlalu mencintai manusia sehingga ia tidak rela manusia tertipu kesementaraan untuk kemudian tidak berarti, terlahir sebagi manusia tapi kembali bukan sebagai manusia. Lalu tiba-tiba saja terlahir manusia-manusia yang bersorban, berjubah dan mengecap dirinya dengan stempel ulama atau agamawan tetapi kemudian pada saat yang sama mereka mencari kenyamanan untuk secara kamuflase menghindari bahkan menolak untuk menanggung duka, derita dan rasa sakit ummat. Rumah-rumah para

1

ulama itu dimenterengi dengan gemerlap lampu dan mobil sebagai ke-wah-nya. Namun tidak jauh dari situ ada rumah reyot yang siap tumbang untuk kemudian menimpa penghuninya yang miskin melarat itu. Lalu siapakah yang berkhianat disini? Rosul yang lebih suka memilih sebagai nabi yang hamba dari pada nabi yang raja itu tak punya apapun karena setiap ia memiliki ia berikan lagi untuk ummatnya. Tidak sekalipun ia menyimpan sesuatu untuk esok hari di rumahnya jika masih ia mendengar derita dan tangis ummatnya. Sanggupkah kita membayangkan bagaimana Rosul menangis di langit ketika agama yang diajarkannya diperjual belikan untuk memperkaya diri. Terlebih lagi oleh mereka yang berjubah dan bersorban yang jelas-jelas mengatasnamankan Islam dalam perihidupnya. Sementara si miskin, bodoh, papa, lemah, dan si tersesat mereka ambangkan begitu saja, mereka abaikan demikian saja. Bahkan ada yang tega-teganya suaranya dijual, dimanifulasi demi kehormatan dirinya di mata public yang makin edan. Tulisan ini diperuntukkan bagi mereka yang memerekakan mereka saja. Yang jujur dalam keberagamaannya dan keislamannya janganlah merasa tersinggung. Jika tersinggung kemungkinan itu satu tanda kita adalah bagian dari mereka itu, yang suka-suka ahlullah, ahlunnabi tapi lupa pada tetangga dan si papa. Jika Nabi dakwah denga cintanya, kita sudah kehilangan itu saat sekarang. Berdakwah dengan cinta semestinya tidak terikat mazhab, keakuan, permintaan penghormatan, balasan demi balasan, dakwah ya sebagai manifestasi cinta saja. Cinta itu energi besar yang kudu disalurkan, jika tak disalurkan kita beresiko mati atau sakit rindu dendam. Maka dakwah dengan cinta hakikatnya menyalurkan cinta itu sendiri. Ketika mereka berdakwah, ketika itu pula mereka berbahagia tanpa harus menunggu embel-embel apapun setelahnya. Dakwah itu memberi bukan meminta. Dakwah itu mendoa bukan menghujat. dakwah itu mengaman bukan merusuh. Dakwah itu menyabar bukan memutus asa. Toh ketika Nabi dilempari manusia-manusia dungu, beliau menolak ketika jibril menawarkan padanya untuk membalikkan gunung dan menumpahkan gunung itu pada orang yang telah aniyaya pada Nabi.

2

Related Documents