Harapan Baru itu Bernama UU Perpustakaan Imam Hidayah Usman
Dengan suara bulat para anggota DPR mengesahkan UU Perpustakaan pada 2 Oktober lalu. Setelah sebelumnya Indonesia memiliki UU Kearsipan (UU No.7/1971) atau juga Keppres tentang Perpustakaan Nasional (No.50/1998), kali ini Indonesia memiliki UU Perpustakaan. UU Perpustakaan memberikan paradigma dan peraturan baru tentang banyak hal yang berkaitan dengan dunia perpustakaan. Banyak orang bergembira. Menteri Pendidikan Nasional Bambang Soedibyo sekaligus mengharapkan kesediaan komitmen banyak pihak untuk turut serta dalam upaya membuat perpustakaan jadi lebih baik.
Barangkali memang kita agak lupa soal perpustakaan. Di antara sekian banyak permasalahan hidup, mulai dari semakin mahalnya harga kebutuhan hidup hingga ancaman global warming, perpustakaan seolah kekal dalam citranya yang selama ini berkembang: ruang sunyi yang kaku di sudut keriuhan dinamika kehidupan. Lebih parah lagi, di dalam ruang sunyi itu seolah keriuhan, kemeriahan, dan kesumringahan seakan sesuatu yang diharamkan. Perpustakaan seperti terkutuk menjadi dunia yang sunyi selamanya.
Disahkannya UU Perpustakaan oleh DPR bulan lalu mungkin bisa menjadi satu celah harapan muncul terhadap dunia perpustakaan. Sebagaimana yang dikatakan Nurul Qomar, anggota dewan yang mantan humoris itu, “Perpustakaan harus dijadikan infrastruktur pendidikan seumur hidup.” (Media Indonesia, 3/10).
UU Perpustakaan yang baru disahkan ini mengatur fungsi, tugas dan peran perpustakaan dengan mengedepankan paradigma yang berorientasi kepada pemustaka (pengguna perpustakaan). Selain tiga hal tersebut, UU ini juga mengamanatkan kepada pemerintah untuk membentuk Dewan Perpustakaan Nasional dan Dewan Perpustakaan Provinsi yang akan terdiri dari 15 orang perwakilan unsur pemerintah, pustakawan, pemustaka, akademisi, penulis, sastrawan, penerbit, perekam, toko buku dan pers. Dewan ini
nantinya akan memiliki tiga tugas pokok: (1) sebagai
pihak yang memberikan
pertimbangan, nasihat dan saran bagi perumusan kebijakan dalam bidang perpustakaan, (2) sebagai saluran aspirasi masyarakat terhadap penyelenggaraan perpustakaan, dan (3) melakukan pengawasan dan penjaminan mutu layanan perpustakaan (Pasal 44). Semua lembaga pendidikan, mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi, juga diwajibkan oleh UU Perpustakaan ini untuk menyelenggarakan perpustakaan dan wajib menyisihkan sekurangnya 5% dari anggaran yang ada untuk pengelolaan perpustakaan. Dalam Pasal 39 bahkan disebutkan bahwa APBN dan APBD wajib mengalokasikan sebagian anggarannya untuk perpustakaan.
***
Di lain pihak, sudah semestinya para pustakawan atau akademisi yang bergelut dengan ilmu perpustakaan mampu menghasilkan inovasi-inovasi baru. Tantangan terbesar saat ini adalah untuk mengembalikan minat publik kepada perpustakaan. Paradigma lama tentang perpustakaan yang masih terasa melekat di benak masyarakat sudah selayaknya diubah. Tentu saja, cara terbaik mengubahnya adalah dengan jalan mengubah paradigma internal pengelola/akademisi perpustakaan itu sendiri. Jika tidak, bukan hanya semakin tidak popular di masyarakat, perpustakaan akan semakin jauh tertinggal lagi di sudut peradaban lantaran teknologi pengolahan informasi yang sudah sedemikian maju.
Sebagai salah satu infrastruktur pendidikan (seumur hidup), tak ayal lagi perpustakaan memiliki nilai strategis dalam dirinya. Sudah semestinya perpustakaan tidak berhenti sebagai faktor penunjang semata, melainkan juga termasuk menjadi faktor utama dalam setiap proses pendidikan. Perpustakaan akan selalu menjadi faktor penunjang jika terusmenerus bersikap pasif terhadap masyarakat, hanya diam menunggu pemustaka datang untuk menggunakan perpustakaan tersebut.
Perpustakaan kota yang siap melayani warganya dalam memenuhi kebutuhan informasi (seremeh apapun informasi tersebut), perpustakaan nasional yang bukan cuma “gudang naskah kuno”, atau perpustakaan sekolah/perguruan tinggi yang dinamis lewat berbagai
jenis kegiatan di dalamnya, harus terus ditumbuhkembangkan. Di banyak kota dan negara lain, perpustakaan bahkan sudah sering menjadi salah satu tempat rekreasi alternatif. Artinya, perpustakaan bukan hanya memiliki tugas di wilayah kognitif, tapi juga sekaligus afektif.
Hadirnya UU Perpustakaan barangkali bisa menjadi langkah awal menuju perpustakaan yang populis. Namun begitu, tentu saja, banyak pihak wajib terus-menerus melakukan pengkritisan terutama menyangkut pengimplementasian UU tersebut. Pemerintah diharapkan mampu menurunkan UU tersebut ke dalam Peraturan Pemerintah (PP) yang konkret dan konsisten sesuai amanat UU Perpustakaan. Tentu kita semua masih ingat bagaimana pemerintah belum sepenuhnya mengimplementasikan anggaran 25% untuk pos pendidikan yang diamanatkan UU Pendidikan.
Sesuai Pasal 53, ada dua tahun untuk pemerintah mempersiapkan ini semua. Kita semua menunggu dengan sikap kritis dan terbuka.
Imam Hidayah Usman, Mahasiswa Ilmu Perpustakaan FIKOM Unpad. www.hitam-merah.blogspot.com