Antropologi Ekonomi-review Oechoe Von Boegh- Antropologi Unhas

  • Uploaded by: Andi Muhammad Yusuf
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Antropologi Ekonomi-review Oechoe Von Boegh- Antropologi Unhas as PDF for free.

More details

  • Words: 8,533
  • Pages: 31
PENDAHULUAN Antropologi ekonomi adalah suatu kajian dalam antropologi social budaya yang memusatkan studi pada gejala ekonomi dalam kehidupan masyarakat manusia. Posisi bidang kajian ini adalah sejajar dengan bidang kajian lain dalam study antropologi. Perilaku ekonomi adalah saling mempengaruhi factor social budaya yaitu adanya proses produksi, distribusi dan komsumsi adanya barang dan jasa. Dalam antropologi ekonomi mencakup (1) bagaimana factor - factor non ekonomi dan ekonomi berperan dalam kegiatan ekonomi (2) system kekerabatan berperan dalam kegiatan ekonomi yang tidak dilihat (3) pranata- pranata social yang sering kali terkait didalamnya. Ghathering Society ( Masyarakat Pranata ) Masyarakat yang hidup dalam kelompok - kelompok yang relative kecil d an terpencar- pencar dan sering berpindah - pindah dari suatu tempat ketempat lain untuk mencari sumber makanan. Dalam proses mata pencaharian manusia yang berawal dari berburu dan meramu menjadi peternakan kerena manusia berhsil menjinakkan binatang buruannya dari tingkat bangsa beternak b erevolusi kebercocok tanam. Cir i-cirinya yaitu (1) kehidupan kurang stabil akibatnya bahan makanan kurang cukup sehingga mereka harus hidup berpindah (2) jumlah penduduk sedikit orang hidup dalam kesatuan keluarga atau kelompok kecil (3) hubungan social atas dasar kekerabatan (4) hidup didaerah terpencil kurang kontak dengan dunia luar dan penduduk lainny. Dalam evolusi mata pencaharian hidup manusia dibagi atasberburu, beternak, dan berc ocok tanam. Pola hidup masyarakat berburu dan meramu merupakan pola hidup manusia yang paling tua dipermukaan bumi, yang ditandai dengan berkelompok dan terkadang bermalam ditempat buruannya yang banyak terdapat hewan yang bisa ditangkap untuk bahan makanan. Pembagian hasil buruannya deng an kaum kerabat, tetangga dan orang lain dalam masyarakatnya. Misalnya dapat kita lihat pada suku bangsa Bgu penduduk pantai utara Irian jaya yang masih hidup berburu dan meramu. Beternak secara tradisional merupakan mata pencaharian pokok yang dikerjaka n secara besar- besaran. Pada masa sekarang beternak dilakukanoleh kurang lebih tujuh juta 1

manusia yaitu kira- kira 0,02% dari 3 milyar penduduk dunia. Suku -suku bangsa peternak cenderung bersifat agresif, karena mereka secara terus menerus harus menjaga keamanan kelompok tetanggasuku bangsa peternak juga biasanya hidup mengembara sepanjang musim semi dan musim panas dalam suatu wilayah tertentu yang sangat luas dalam musim dingin mereka menetap dalam suatu perkemahan induk atau desa induk. Berbeda dengan pola hidup bercocok tanam, bercocok tanam diladang berpindah, merupakan bentuk mata pencaharian manusia yang lambat laun hilang, diganti dengan bercocok tanam menetap.bercocok tanam diladang berpindah dilakukan dengan membuka sebidang tanah menebang poho n- pohon kemudian membakar daun dahan dan balokpohon hasil tebangan, lading yang telah dibuka ditengah hutanm kemudian ditanami berbagai macam tanaman tanpa pengolahan tanaman yang intensif juga irigasi. Sejarah Perkembangan Antropologi Ekonomi 

Antropologi ekonomi berkembang sejak akhir abad ke 19 dan awal ke20 ketika Malinowwski melakukan penelitian di Kepulauan Trobrian



Dari penelitian tersebut terdapat perhatian dari muridnya yaitu R. Firth, Good Fellow dan Herkofits



Ahli ilmu ekonomi murni yang tertari k dengan pemikiran Malino wski, seperti Manning Nash dan Belsaw



Ahli sejarah Karl Polanyi dengan latar belakang ilmunya mengkaji system ekonomi secara historis

Fase Perkembangan Pendekatan Antropologi Ekonomi 

Zaman Malinoski akhir abad XIX awal abad XX « Argonauts Of The Westen Pacific” sebagai peletak dasar antropologi ekonomi



Munculnya ahli ekonomi Roymond Firth, Herkovits serta ahli sosiologi ekonomi Good Fellew karyanya masing-masing: primitive Polynesian ekonomi (1939) , The Ekonomi Primitive people(1940), Principle of Ekonomi Sosilogy (1939) yang kemudian mereka disebut Formalis. 2



Muncul George Dalton, Karl polangi, Paul Bohannan Buku Dalton “Economic thery and Primitive Society (1961) mereka disebut subtantivist



Munculnya M Gother, dengan bukunya y ang berjudul: Un Domaine Constita Antropology Economique”(1974).disebut Neo –Marxist.



Muncul tulisan James Scott. The Moral Of The Peasent Economi, Rebillion, Subdistence Economi in south east Asia (1977), Disebut Neo Subtantif.



Terbitnya buku S.Poptein ya ng berjudul”Retional Peasent”(1978), Disebut Neo Formalist.



. Munculnya tulisan Cyril S Belhsaw:Traditional exchange and Markets.disebut Moderat.



Terbit karyta dari Antropologi dari Leiden Jpm Den Bremen « Onze Aarde Houndt Neet Van Rejs « (1985) daia disebut strukturalis



Muncul karya dari antropologi Amerika Steven Goodmen (1986) dia disebut sebagai ahli antropologi ekonomi simbolik



Muncul karya Dewey, Szanton, dan Davis mengenai “ social Relation in Philipine Market disebut ekonimi personalisme.

Pendekatan –pendekatan dalam antropologi ekonomi meliputi Pendekatan Formal, Pendekatan Subtantif, Pendekatan Neo Formal, Pendekatan Neo Subtantif, dan Pendekatan Neo Marksis.

3

PEMBAHASAN Dalam kajian ilmu ekonomi modern, kegiatan ekonomi pada intinya ber pusat pada kegiatan produksi barang, distribusi (mendeliverkan barang pada konsumen) dan akhirnya pada proses konsumi (menghabiskan atau memakai barang atau jasa). Semua proses ini juga terjadi dalam kehidipan ekonomi masyarakat tradisional, walaupun tidak begitu mendapat perhatian dari ahli ekonomi karena lebih memusatkan perekonomian pada tingkat global. Dalam sistem matapencarian hidup para ahli antropologi juga memperhatikan sistem produksi lokalnya, cara pengolahan sumberdaya alam, cara pengumpulan modal, cara pengerahan dan manajemen tenaga kerja. Teknologi dalam sistem produksi, sistem distribusi pasar, dan proses konsumsinya. Kalau dirinci lebih jauh lagi termasuk didalamnya dikaji bagaimana keterlibatan keluarga dalam mengkonsumsi suatu barang juga sistem distribusi seperti apa yang digunakan, siapa saja yang terlibat dalam proses produksi, dan lain sebagainya. Di dalam buku pengantar ilmu antropologi terlihat Koentjaraningrat begitu membatasi kajian ekonomi pada sistem mata mencarian hidup hanya dalam ruang lingkup yang kecil saja dan menganggap hal -hal seperti proses distribusi yang besar dengan jaringan yang luas dan sistem ekonomi yang berdasarkan pada industri merupakan murni kajian ahli ekonomi. Sehingga memberikan kesan pemahaman bahwa antropologi adalah ilmu yng tertinggal (membatasi diri pada hal -hal yang seharusnya bisa menjadi kajian antropologi, dengan tidak lepas dari akar ilmu antropologi sendiri tentunya). Dalam antropologi, terdapat tiga pendekatan yang penting dan berkaitan dengan kegiatan ekonomi yakni, pendekatan formal, subtantif, dan marksis serta pendekatan lainnya yang mencoba memperbaharui pendekatan yang telah ada sebelumnya. Ketiga pendekatan tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan masing -masing. Umum terjadi bahwasetiap peneliti akan menekankan studinya pada salah satu pendekatan tersebut. Sebagai peneliti ia akan berusaha untuk menggunakan pendekatan tersbut, dalam analisis data yang ditemukannya atau mencari sintesa dari teori -teori yang terdapat pada pendekatan tersebut. Ahli antropologi ekonomi awalnya terbelah kedalam pendekatan formal dan subtantif dalam usaha menjelaskan fenomena ekonomi dari masyarakat yang 4

mereka teliti. Namun pada perkembangan berikutnya ahli antropologi mengembangkan pendekatan marksis. Pada bagia n ini dibicarakan pendekatan formal dan subtantif dan pendekatan Marksis. A. PENDEKATAN FORMAL Pendekatan formal adalah pendekatan yang berasal dari teori - teori makro atau teori konvensionalisme atau teory ekonomi klasik untuk menjalaskan dan menganalisis ge jala social ekonomi masyarakat. Ekonomi sebagai cara mengklasifikasikan sumber - sumber yang terbatas jumlahnya dan mencapai tujuan - tujuan yang banyak jumlahnya secara maksimal. Secar konvensional ilmu ekonomi kemidian mengasumsikan bahwa tindakan manusia bersifat rasional dalam melakukan alktivitas ekonomi yang merupakan dasar yng diterima sebagai suatu kebenaran. Pendekatan ini cenderung melihat gejala ekonomi sebagai suatu tindakan memilih antara tujuan -tujuan tak terbatas. Secara konvensional ilmu ekonomi kemudian mengasumsikan bahwa tindakan manusia bersifat rasional dalam melakukan aktifitas ekonomi tersebut. Asumsi tersebut merupakan asumsi dasar yang diterima sebagai suatu kebenaran. Gejala ekonomi tidak dapat dilihat dari segi subtantifnya, yaitu dari segi proses pemberian makna sumber daya ekonomi. Tokohnya yaitu Raymond Firth, Herkovits, Good Fellow, Monning Nash, Pospisil, Scott Cook, S. Epstein, Alice Dewey, Peggy Barlent. Pendekatan yang sangatlah ekonomis, namun antropologi menempatkan diri pad a pengembangan ilmu ekonomi untuk memahami gejala -gejala yang lebih luas dalam perekonomian primitive dan peasant, antropologi ekonomi sebagai pendekatan hubungan hubungan sosial tentang pemanfaatan sumber daya ekonomi. , untuk mencapai pemahaman yang akurat tentang keberagaman dan kompleksitas tingkah laku sosial yang diobservasi, bersifat anhistoris, walaupun bukan anti -historis atau sinkronik, meskipun pendekatan ini bersifat analitisaa dan formala dalam orientasinya, tetapi memiliki kecenderungan yang kuat dalam menerapkan prinsip -prinsip abstraksi umum.

5

Ada enam ciri yang dikemukakan oleh Scoot Cook (dalam Sairin dkk) yang membedakan pendekatan formal dengan subtantif. Pertama, telah diutarakan sebelumnya bahwa pendekatan formal terkesan dengan kesukse san ilmu ekonomi neo-klasik dalam merumuskan hukum-hukum ekonomi untuk menjelaskan dan menprediksi perilaku ekonomi masyarakat Eropa pada abad ke -19 dan ke-20 serta masyarakat diluar Eropa pada abad tersebut yang menganut sistem ekonomi pasar. Beberapa prinsip ekonomi formal meliputi: 

Scarce/ Limited Of Good atau keterbatasan sumber- sumber atau factor produksi.



Tujuan cita- cita kebutuhan banyak



Tujuan, cita- cita atau kebutuhan diarahkan pada kepentingan individu yang berwujud meterial maupun inmaterial



Perlu ekonomisasi karena sumber - sumber yang terbatas sedangkan kebutuhan tak terbatas / banyak



Rasionalisasi, eksistensi, evektivitas, dan kulkulasi

Kedua, pendekatan formal menempatkan antropologi ekonomi sebagai studi tentang hubungan-hubungan sosial yang menayngkut proses pemanfaatan sumber daya ekonomi. Hal ini dilakukan sebagai usaha mendeskripsikan dan menganalisis cara -cara proses pemanfaatan sumber daya ekonomi tersbut dalam berbagai setting kultural . Hubunganhubungan sosial ssebagai gejala pros es pemanfaatan sumber adaya ekonomi dapat dilihat misalnya dalam hubungan patron -klien, hubungan persahabatan, jaringan kekerabatan dan hubungan-hubungan lainnya yang terpola menurut pranata -pranata dalam lembagalembaga yang hidup di di masyarakat. Ketiga, tujuan pendekatan formal ini adalah untuk mencapai pemahaman yang akurat tentang keragaman dan kompleksitas tingkah laku sosial yang diobservasi. Untuk mencapai tujuan ini, penganut formalist cenderung mengkonstruksi model -model yang bersifat memprediksi tingkah laku yang akan terjadi dalam berbegai latar budaya. Hal ini berakibat terjadinya reduksi data dan fakta -fakta yang ada dilapangan. Penganut formal 6

lebih tertarik terhadap fakta -fakta yang relevan dengan model -model yang telah disusun sebelumnya dan fakta-fakta yang mendukung teori ekonomi, sehingga mereka kurang memperhatikan fakta yang khas yang muncul dilapangan. Keempat, para penganut aliran formal ini pada dasarnya bersifat sinkronik atau ahistoris. Dengan kata lain, ciri ini menerangkan misaln ya bila meneliti sistem pertukaran dalam suatu sistem ekonomi, peneliti tidak akan membandingkan sistem pertukaran secara diakronis melainkan hanya pada suatu periode tertentu saja. Kelima, meskipun pendekatan ini bersifat analitis dan formal dalam orienta sinya, tetapi mempunyai kecendrungan yang kuat dalam menerapkan prinsip -prinsip abstraksi umum atau dengan menggunakan logika deduktif untuk menganalisis tingkah laku ekonomi pada berbagai latar budaya yang berbeda. Keenam, penganut pendekatan ini melihat gejala ekonomi pada tingkah laku individu dan motif-motif yang mendorong tingkah laku tersebut, sehingga perekonomian dilihat sebagai kumpulan dari pelaku -pelaku, tingkah laku dan motif-motifnya. Dengan demikian, keberadaan sistem ekonomi tergantung atas i nteraksi antar individu, individu yang menetukan sistem ekonomi. Konsepsi teori ekonomi dapat diterapkan pada system ekonomi semua masyarakat di dunia baik ekonomi masyarakat sederhana pedesaan maupun ekonomi industri. Hal ini dapat kita lihat pada mekan isme ekonomi meliputi harga, modal, investasi, uang, dan prinsip ekonomi meliputi maksimalisasi keuntungan, minimalisasi biaya, mengenal hokum permintaan dan penawaran. Karena sistem ekonomi masyarakat sederhana hanya dilihat dari perbedaan tingkat, bukan jenis, maka para penganut pendekatan formalis menyarankan perlunya mengaplikasikan teori ekonomi formal untuk mengkaji fenomena ekonomi masyarakat sederhana. Beberapa ahli kemudian mencoba mengaplikasikan dengan memodifikasikan dan mengalih bahkan teori ek onomi itu sesuai dengan kondisi sosio kultural di lapangan. Pada kaum formalis prinsip ekonomi dapat dilakukan dimana saja dalam masyarakat sederhana hingga yang kompleks objek kajian ekonomi formal organisasi tenaga kerja 1. pola pembagian kerja 2. pola kerjasama dengan kelompok 7

3. pola kepemimpinan dalam kelompok 4. organisasi pranata- pranata untuk menimbun menggunakan modal dalam wujud tanah dan peralatan produksi dan mendistribusikan hasil produksi 5. pranata social budaya diluar ilmu gaib produksi serta simboli k dalam tukar menukar hasil produksi. Secara umum, pendekatan formalis telah menarik beberapa kesimpulan umum tentang sistem ekonomi masyarakat primitif dan peasant. Hal dikemukakan bahwa sistem ekonomi masyarakat tersebut mempunyai banyak kesamaan prinsi p dengan sistem ekonomi masyarakat Eropa (modern). Oleh karena itu sistem ekonomi masyarakat sederhana pada dasarnya tidak jauh berbeda jenis dengan sistem ekonomi modern, melainkan hanya berbeda tingkat. Perbedaan tingkat ini terjadi karena tingkat kemaju an perdaban orang Eropa, khususnya bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kesamaan dasar antara sistem ekonomi Eropa dengan sistem ekonomi sederhana dapat dilihat dari : (1) mekanisme ekonomi, dan (2) prinsip ekonomi. Dalam hal ini baik sistem ekonomi mode rn maupun sederhana sama-sama memakai mekanisme dan prinsip ekonomi yang fungsinya sama. Mereka sama mengenal apa yang disebut sebagai kategori harga, bank, modal, kredit, investasi, uang dan sebagainya. Mereka mempunyai prinsip ekonomis, mengenal prinsip memaksimalkan keuntungan, meminimalisasikan biaya dan mengenal hukum permintaan dan penawaran Inti daripada pendekatan formalis ini adalah bagaiman a memanfaatkan sumber daya yang terbatas dan keinginan akan kebutuhan yang banyak. Karena sistem ekonomi mas yarakat sederhana hanya dilihat dari perbedaan tingkat, bukan jenis, maka para penganut pendekatan formalis menyarankan perlunya mengaplikasikan teori ekonomi formal untuk mengkaji fenomena ekonomi masyarakat sederhana. Beberapa ahli kemudian mencoba menga plikasikan dengan memodifikasikan dan mengalih bahkan teori ekonomi itu sesuai dengan kondisi sosio -kultural di lapangan. R. Firth (dalam Koentjaraningrat 187:1990) termasuk golongan ahli antropologi ekonomi yang berpendapat bahwa azas -azas mentalitas manusia pada dasarnya hakikatnya 8

sama dimana-mana. Manusia dalam masyarakat sederhana, masyarakat pedesaaan atau masyarakat industri, semua akan bereaksi dengan cara yang sama terhadap rangsangan rangsanagn ekonomi dan perbedaan antara mentalitas dalam masyarakat non-industri dan masyarakat industri hanya merupakan penjelmaan lahiriah saja dari perbedaan kuat lemahnya, atau perbedaan susunan dari unsur -unsur mentalitas tersebut. Karena ekonomi menurut definisi Firth adalah “… seluruh perilaku manusia dalam orga nisasi dan pranata yang mengatur penggunaan sumber -sumber terbatas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam suatu masyarakat tertentu”. Maka kita dapat memahami mengapa ia berpendirian bahwa konsep-konsep serta teori-teori yang dikembangkan ilmu ekonomi dal am masyarakat industri dapat juga diterapkan pada ekonomi masyarakat peasant. Namun ia juga mengakui bahwa metodologi penelitian ilmu ekonomi tidak relevan untuk emenliti dan menganalisis ekonomi dalam masyarakat peasant, karena metodologi ilmu ekonomi sering menggunakan laporan-laporan ekonomi tertulis serta data statistik ekonomi secara luas. Bahan seperti itu biasanya tidak ada dalam masyarakat ‘primitif’ peasant. Sudut pandang Firth tersebut berkaitan dengan hasil penelitiannya pada masyarakat Haiti. Ia melihat bahwa aktifitas perdagangan dikalangan orang Haiti dicirikan oleh adanya kompetisi antar pedagang, dan kemahiran para pedagang untuk memasarkan dan membeli dagangan dengan membaca perkembangan harga. Kondisi seperti itu menunjukkan bahwa oran Haiti, yang hidup dalam tingkat kebudayaan yang berbedadengan orang barat, telah mengenal hukum permintaan dan penawaran. Bertolak dari kondisi seperti itu Firth melihat bahwa aktivitas ekonomi sangat tergantung dari peran -peran individu-individu dalam suatu jaringan ekonomi. Aktivitas ekonomi di barat pun demikian juga, sehingga kajian mengenai aktivitas ekonomi perlu memeperhatikan peran mereka dalam latar budaya. Kelamahan pendekatan formalis terletak pada pengujian dilapangan . Pendekatan formalis ini tidak memberikan jawaban mengapa banyak kegagalan pembangunan eknomi di negara berkembang, dan terjadinya penyimpangan arah perkembangan ekonomi. Inilah kelemahan pendekatan formalis. Ia mengabaikan dimensi sejarah perkembangan ekonomi. Keengganan masyarakat pet ani berpartisipasi dalam perekonomian pasar, misalnya, merupakan suatu hasil dari proses sejarah kapitalisme di dalam masyarakat negara berkembang, masyarakat pernah merasakan penjajahan. Keengganan -keengganan tersebut 9

sangat rasional sebagai jawaban atas kemiskinan dan bahaya dari sistem ekonomi pasar yang tidak mengenal kasihan. Bahkan di uraikan kritik tajam terhadap pendekatan ini oleh kaum yang menganut pendekatan subtantif : 

Pada masyarakat sederhana atau primitive tidak berlaku prinsip -prinsip ekonomi



Sumber-sumber terbatas yang diungkapkan ahli ekonomi formal tidak berlaku umum pada hakekatnya yang dikatakan sumber -sumber itu terbatas dan kebutuhan itu tak terbatas



Tidak akan sulit adanya keterbatasan karena adanya system social budaya yang mengatur pola-pola eksploitasi sumber daya alam sesuai dengan lingkungan masing-masing



Tidak ada efisiensi maksimalisasi, ekonomisasi efektivitas, rasionalisasi, prinsip prinsip ekonomi pada masyarakat sederhana atau tradisional

Diakui bahwa pendekatan forma l adalah pendekatan pertama kali di antropologi ekonomi. Namun pendekatan ini memiliki kelemahan dalam pengujian lapangan. Pengujian yang dilakukan sangatlah bersifat eropa -sentris (berpandanagn eropa). Perbedaan sistem antara ekonomi sederhana dengan modern sa ngatlah menyolok. Jadi pendekatan formatif tidak bisa menerangkan mengenai kegagalan perkembangan ekonomi di negara berkembang

B. PENDEKATAN SUBTANTIF Pendekatan subtantif adalah hekekat, realita, kenyataan, nyata, dan sebagainya. Jadi pendekatan subtantif artinya sudut pandang yang melihat ekonomi yang nyata sesuai relitanya atau apa adanya yang diterapkan oleh masyarakat tertentu. Pendekatan subtantif juga menaruh perhatian terhadap upaya untuk menghasilkan teori - teori baru yang cocok dilapangan kecenderunagnnya ini sangat beralasan karena penganutnya tidak lagi berurusan denagn konsep ekonomi formal meainkan ekonomi subtntif yang melihat gejala ekonomi dari proses pemberian makna yang dilakukan manusia dalam memanfaatkan sumber daya ekonomi.penganut pend ekatan subtantif juga penempatkan perekonomian 10

sebagai rangkaian dari aturan dan organisasi social dimana setiap individu dilahirkan dan diatur dalam suatu system organisasi tersebut. Sebagai suatu system organisasi fenomena ekonomi dalam masyarakat terika t pada system pranata dan norma - norma yang sama. Konsepsi ini menempatkan individu sebagai pihak pasif dalam aktivitas ekonomi sebagai suatu system menetukan bagaimana individu bertingkah laku. Misalnya pada masyarakat Indian di Irian jaya Tokohnya melipu ti: Karl Polayi, George Dalton, Sahlin, Paul, Bohanna, Goldman. Sejarah perkembangan pendekatan subtantif berawal dari pengertian ekonomi yang dikemukakan oleh ahli ekonomi formal yang berpandangan bahwa kebutuhan itu terbatas sifatnya, kemudian lahirlah ekonomi subtantif yang berpendapat kebutuhan tidak tak terbatas sifatnya. Ekonomi adalah cara pemenuhan kebutuhan/ pemeliharaan kebutuhan fisik/ biologis serta social dan budaya dilakukan melalui (1) eksploitasi/ pemanfaatan secara maksimal SDA dilakukan d enagn penerapan teknik/ teknologi local maupun modern yang sudah diterima oleh masyarakat (2) pembagian atau kerja sama (cooperation) pun bagian kerja paengunaan atau pemanfaatan tenaga, pola kerjasama harus diatur dengan baik. Dalam hal ini aturan ekonomi adalah pola social dan budaya untuk mengatur dan menentukan eksploitasi dan pemanfaatan a tau pembagian tenaga kerja. Dalam Sairin dkk mengemukakan pandangan penganut pendekatan ini dalam menyimak sistem ekonmi peasant. Pertama, aliran ini mengangga bahwa dalam perekonomian peasant tidak ada lembaga yang secara eksklusif hanya melakukan aktivitas ekonomi. Jadi di masyarakat tersebut tidak ada lembaga ekonomi seperti PT atau Bank sebagai institusi-institusi milik sistem ekonomi kapitalis. Di masyarakat pra i ndustri institusi yang ada adalah institusi non ekonomi yang kegiannya mengandung aspek -aspek ekonomi. Contoh sederhana adalah keluarga, ia merupakan lembaga kekerabatan, tetapi menjalankan aktivitas ekonomi. Kedua, aliran menyimpulkan bahwa aturan -aturan dari organisasi ekonomi pada perekonomian masyarakat sederhana berbeda dengan sistem ekonomi modern. Dengan kata lain, sistem ekonomi masyarakat sederhanamerupakan sistem ekonomi yang berbeda jenis, bukan hanya berbeda tingkat dengan perekonomian modern. O leh karena berbeda jenis itu 11

pula maka, teori-teori dan konsep ilmu ekonomi tidak dapat diterapkan untuk mengkaji sistem ekonomi sederhana. Diperlukan suatu teori dan konsep baru untuk menjelaskan sistem-sistem ekonomi sederhana yang beraneka ragam. Ketiga, perbedaan jenis antara sistem ekonomi sederhana dan sistem ekonomi modern terletak pada mekanisme ekonomi, institusi atau lembaga ekonomi dan prinsip ekonomi. Mekanisme ekonomi, seprti uang misalnya, kalau pun dimasyarakat sederhana berlaku, tetapi fungsinya berbeda. Dengan mengamati struktur dan fungsi institusi dan prinsip ekonomi, maka perbedaan jenis semakin nyata daripada perbedaan tingkat. Pola keterkaitan system keyakinan dan sisitem produksi. System keyakinan meliputi aturan atau sanksi, religi, system upacara, kepemimpinan upacara social. System produksi meliputi factor-faktor produksi berupa tanah, modal, tenaga kerja, skill atau knowledge (Proses kerja produksi). Distribusi meliputi alokasi, excange / pemasaran, system bagi hasil (hasil produksi). Konsumsi yaitu penjatahan pemenuhan kebutuhan, pola makan, (system social budaya). Pola keterkaitan pranata social dan ekonomi, pranata social

meliputi garis

keturunan, system pemilihan warisan, dan system pemilihan perkawinan terkait dengan system ekonomi yamg meliputi produksi (tanah, modal, tenaga kerja, dan skill), distribusi (alokasi/pembagian, excange/pemasaran, bagi hasil, dan hubungan produksi), dan konsumsi (penjatahan/pemenuhan kebutuhan, dan pola makan). Pola makan secara budaya/keyakinan dan keterkaitan dengan ekonomi dapat kita lihat pada masyarakat misalnya di Mexico terdapat masyarakat yang menganggap tabuh jika memakan minggo atau srigala sebelum masyarakatnya diinisiasi atau disakralkan. Dapat juga kita lihat pada masyarakat Amborigi n, masyarakat ini menganggap tabuh apabila seorang wanita sebelum menstruasi mengkonsumsi burung gagak. Dan di daerah Sulawesi sendiri terdapat masyarakat yang menganggap tabuh mengkonsumsi pisang yang berdempetan atau bagi yang berkeyakinan/muslim akan sa ngat diharamkan untuk mengkonsumsi daging babi.

12

Terdapat beberapa penganut pendekatan subta ntif yang dapat diketahui dari pikiran pikiran maupun kesimpulan -kesimpulan yang mereka sajikan dari hasil studi mereka termasuk di dalamnya adalah Malinowski. Malinowski sebenarnya bukan tokoh antropologi ekonomi. Kendatipun demikian, dari hasil studinya tentang perdagangan Kula di Kepulauan Trobriand, menjadi dasar bagi antropolog membenarkan aliran subtantif ini. Malinowski menemukan bahwa pertukaran benda berharga berupa kalung dan gelang pada penduduk di Kepulauan Trobriand tidak didasari oleh motif ekonomi melainkan motif sosial. Pertukaran ini merupakan ekspresi dasar pikiran orang Trobriand tentang pertukaran Hadiah, yang berfungsi membina hubungan sosial yang tinggi nilainya. Pertukaran tersebut juga merupakan aktivitas ritual, jauh dari ektivitas mencari keuntungan. Bakan kesimpulan diperkuat lagi oleh George Dalton (dalam Keesing 202:1999) untuk mengamati fenomena dunia kesukuan seperti halnya pertukaran pasa r (muncul dalam bentuk terbatas pada giwwali di kalangan orang-orang Trobriand dan dikembangkan dengan lebih sempurna); begitu juga pada penggunaan beberapa barang berharga yang berfungsi sebagai uang dalam beberapa kasus. Di kalangan orang Trobriand tidak ada barang yang serupa mata uang. Tetapi di bagian-bagian lain di Melanisia, barang -barang berharga dari kerang lebih mendekati fungsi “mata uang”. Karena Tambu digunakan dalam banyak transaksi, karena segala sesuatu yang bisadimiliki seseorang dapat dibe li atau dijual baik dengan harga mati atau harga penawaran, dan karena tambu bisa saling dipertukarkan dengan mata uang resmi, barang-barang berharga berupa untaian kerang ini dalam banyak segi menyerupai mata uang barat. Namun sebagaimana dinyatakan oleh Dalton (1965), semakin periferal fungsi pasa dalam masyarakat Melanesia dan semakin besar maknanyasebagai barang barang berharga untuk upacara, makin diperlukan kehatian -hatian dalam mempersamakan “mata uang” demikian tadi dengan mata uang di dunia barat. Pemikiran yang lebih mendalam tentang sudut pandang menganut lairan subtantif dapat disimak dari pemikiran Polanyi, Dalton dan Sahlins. Menurut Karl Polanyi (dalam Sairin dkk 2002:13), pembangunan pendekatan ini, sistem ekonomi pasar didominasi oleh pertukaran pasar, sedangkan sistem ekonomi tradisional dan peasant didominasi sistem pertukaran resiprositas dan redistribusi pasar seperti yang ia rumuskan tentang tiga macam pertukaran di dalam masyarakat manusia : 13

1. Perbalasan (reciprocity) 2. Penyebaran kembali (redistribution) 3. Pertukaran pasar (market exchange) (dalam Keesing 201:1999) Sedangkan pertukaran yang memakai prinsip pasar selalu memiliki ciri -ciri sebagai berikut : 1. Memakai uang sebagai alat pengukur barang atau jasa yang dipertukarkan 2. Memakai harga yang diatur oleh hukum permintaan dan penawaran, dan 3. Aktivitas ekonomiyang didominasi oleh tujuan -tujuan mencari keuntungan sebanyak mungkin dari sumber daya yang tersedia. Sebaliknya, pertukaran yang memakai prinsip resiprositas dan redistribusi merupakan pertukaran yang tidak bermakna ekonomis dan tujuan mencari keuntungan komersil, tetapi bermakna sosial, yaitu membina kepentingan dan solidaritas sosial. Menurut Polanyi, tugas ahli antropologi adalah menunjukkan karakteristik yang khas dari setiap perekonomian, dan mengkaitkan gejala ekonomi dengan organisasi sosial dan kebudayaan. Saran Polanyi ini sejalan dengan konsep -konsep ekonomi yang didefinisikan sebagai proses emberian makna material. Proses ini melibatkan berbagai aspek dalam kehidupan manusia baik aspek organisasi sosial maupun kebudayaan. Dengan memakai makna subtantif, maka dalam mengkaji ekonomi perhatian ditujukan pada bagaimana cara manusia untuk memenuhi kebutuhan biologis dan sosial. Makna subtantif berbicara tentang apa yang sebenarnya bukan apa yang seharusnya. Makna formal berbicara tentang logika rasional dalam memilih alternatif yang beragam di antara sumber daya yang terbatas. Seperti halnya yang diungkapkan oleh Polanyi, Sahlins juga rupanya berpendapat sama dengan melihat bahwa yang membedakan perekonomian barat dengan masyarakat tradisional atau petani, terletak pada sistem pertukaran. Menurut Sahlins, dalam masyarakat sederhana tidak ada alat pertuakaran yang secara umum dapat diterima setiap orang dalam masyarakat itu. Kegunaan uan g sangat terbatas sebagai alat tukar yang hanya dapat ditukar dengan produk-produk tertentu dan tidakada standar nilainya. Dengan tidak adanya alat tukar yang standar inimaka sudah barang tentu orang tidak dapat melakukan pilihan -pilihan 14

bersifat ekonomis. Sahlins mencontohkan bahwa sistem pertukaran dalam perekonomian tradisional berbeda pada masyarakat modern. Dalam masyarakat tradisional, peranan hubungan kekerabatan dan personal sangat berpengaruh terhadap bentuk pertukaran. Dalam lingkungan rumah tangga, pertukaran yang terjadi adalah resiprositas umum, yaitu individu saling bertukar tanpa mengharapkan suatu pengembalian yang sebanding. Kedua, adalah pertukaran sebanding yang dilakukan individu dengan individu lainnya dalam komunitas masyarakat tradisio nal. Sebaliknya, ketika masyarakat tradisional melakukan transaksi dengan pihak luar, maka yang terjadi adala resiprositas negatif yang mengarah pada upaya mencari keuntungan dengan mengorbankan pihak lain. Dalton sebagai pengikut Polanyi memberikan bebera pa catatan tentang pentingnya melihat perbedaan antara sistem ekonomi pasar dan sistem ekonomi sederhana. Menurut Dalton, peneliti mungkin dapat menemukan dalam sistem ekonomi yang dapat disebut gejala kelangkaan, bunga, uang seperti dalam ekonomi pasar. N amun demikian, peneliti jangan menyimpulkan bahwa gejala tersebut sama fungsinya seperti yang berlaku dalam ekonomi pasar di barat. Lanjut dalton mengatakan bahwa semua sistem ekonomi mempunyai ciri yang sama, yaitu adanya oragnisasi yang terstruktur beser ta aturanaturannya yang menjamin tersedianya benda material dan jasa secara terus menerus. Tugas antropolog adalah memahami organisasi sosial dan aturan tersebut, dan setiap sistem ekonomi ditandai oleh adanya mekanisme ekonomi seperti uang. Dalam mengana lisis ekonomi peneliti perlu memperhatikan aspek makna yang hidup dalam alam pikiran masyarakat tentang aspek ekonomi tersebut. Penganut pendekatan subtantif menempatkan perekonomian sebagai rangkaian dari aturan-aturan dan oragnisasi sosial, dimana setia p individu dilahirkan dan diatur dalam suatu sistem organisasi tersebut. Sebagai suatu sistem organisasi, fenomena ekonomi masyarakat terikat pada sistem pranata dan norma -norma yang sama. Konsepsi ini menempatkan individu sebagai pihak yang pasif dalam ak tifitas ekonomi karena ekonomi sebagi suatu sistem menentukan bagaimana individu bertingkah laku. Kalau diamati lebih lanjut, cara pandang penganut aliran subtantif mengabaikan gejala perubahan ekonomi

15

dalam masyarakat. Peranan inidividuterhadap perubahans istem ekonomi tidak mendapat perhatian khusus. Pandangan subtantif mengenai fenomena ekonomi yang memandang individu bersifat statis juga kurang dapat diikuti. Pandangan tersebut mempunyai kejajaran dengan konsep kebudayaan yang melihat bahwa manusia mener ima kebudayaan sebagai suatu yang diterima begitu saja. Kal au gejala kebudayaan dipandang dari tingkat individu maka akan terlihat bahwa tidak semua individu nempunyai respon yang sama terhadap system social budaya yang membelenggu system ekonomi. Misalnya dapat kita lihat pada masyarakat Tator dalam pesta kematiannya, semua biaya -biaya atau nilai ekonomi pesta tersebut tidak diperhatikan karena sudah menganggap suatu tradisi yang mesti dilakukan. Penganut aliran ini juga menekankan pentingnya menempatkan a ntropologi ekonomi dalam suatu studi sistem ekonomi komparatif, yang cakupannya meliputi deskripsi dan analisis semua sistem ekonomi, baik sistem ekonomi industri dan pra industri, baik yang masih hidup maupun yang sudah tiada. Dengan melakukan studi komparatifini, maka peneliti akan menemukan tentang keterbatasan hukum -hukum ekonomi dan menemukan universalitas dari hukum -hukum tersebut. Disiplin antropologi sebagai induk yang mengibarkan pentingnya studi komparatif untuk menarik generalisasi empiris pun mengalami kesulitan karena studinya berurusan engan konsep lintas budaya. Pendekatan subtantif pada akhirnya lebih menghasilkan suatu tipologi daripada universalitas dari suatu teori. Dalam pendekatan subtantif juga ditemukan sifat relativistik yang mengemuk akan bahwa sistem ekonomi suatu masyarakat merupakan bagian integral dari kebudayaan masyarakat tersebut. Akibatnya, karena kebudayaan masyarakat bersifat relatif, maka gejala ekonomi yang terjadi pada masyarakat tersebut relatif pula. Oleh karen aitu, penganut pendekatan ini menghendaki suatu studi komparatif dalam menelorkan teori -teori ekonomi. Pendekatan ini menolak teori ekonomi barat karena teori ekonomi ini dibangun dari masyarakat baratyang kebuadayaannya berbeda dengan kebudayaan suku -suku bangsa diluar Eropa.

16

Dalam mengkaji ekonomi, penganut aliran ini kemudian mencoba menyelami alam pikiran pelaku ekonomi secara induktif. Kecendrungan bersifat relativisme sejalan dengan kecendrungan pendekatan ini bahwa gejala kebudayaan yang ditangkap merupakan s istem makna yang ada dalam masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya. Meskipun individu memiliki sistem kognitif yang berbeda dalam bertingkah laku ekonomi, tetapi mereka mempunyai kesamaan pandangan tentang ekonomi, karena pandangan ekonomi itu berkaitan dengan aspek -asek sosio-kultural yang mereka miliki. Reevan engan pendekatan tersebut, aliran ini juga melihat perekonomian sebagai proses pemberian makna material (ekonomi). Konseps ini mengarahkan peneliti untuk melihat gejala ekonomi buk an pada penampilan (performance), atau barang maupun tingkah laku yang nampak, tetapi pada pikiran-pikiran yang mendasari terwujudnya barang dan tingkah laku tersebut. Seperti aliran formalis, menganalisis ekonomi sebagai bidang studi, tetapi perhatian penganut aliran subtantif juga mencakup diluar ekonomi dalam arti harafiah, karena mencakup aspek sosio-kultural yang terkait pada perilaku ekonomi. Hal ini terjadi karena umumnya para penganut subtantif mengabaikan keberadaan gejala ekonomi yang lepas dari aspek sosio-kultural seprti yang diperhatikan para ahli ekonomi. Mereka lebih memberikan perhatian terhadap hubungan antara aktivitas ekonomi dengan organisasi sosial serta aspek aspek budaya dalam masyarakat. Kecendrungan ini kiranya masuk akalkarean sesua i dengan kenyataan di lapangan bahwa aktivitas ekonomi dalam masyarakatprimitifdan peasant terintegrasi dengan sistem sosial dan kultur. Keadaan ini memaksa para antropolog untuk mengkaji masalah ekonomi sekaligus pada waktu yang sama mengkaji aspek sosio kultural yang melekat pada masalah tersebut.

C. PENDEKATAN NEO-SUBTANTIF Pendekatan ini menganggap ekonomi sebagai penguasaan barang dan jasa secara teratur untuk memenuhi kebutuhan Bio - sosial. Ekonomi Subsistensi merupakan pemevahan pemenuhan pokok sehar i-hari, tokohnya yaitu James Scoot tentang moral 17

ekonomi petani yaitu, kontimyuitas atas sumber - sumber ekomomi, distribusi resiko yang bersifat sosial, sepenanggungan ada perasaan untuk memberi bantuan. Kedermawanan merupakan wujud distribusi resiko sehin gga ada system Bantu membantu, patro client jalinan kerjasama yang mapan dan kuat berfungsi sebagi pemberitahuan pada yang lemah sehingga keselarasan dapat berjalan secara merata dan keseimbangan kepada semua masyarakatdimana factor- factor produksi selalu terbatas sehingga perlu dijaga keseimbangannya. James Scott dalam bukunya yang terbit tahun 1976 berusaha untuk menerangka tata ekonomi masyarakat peasant di Asia Tenggara dan kaitannya dengan peristiwa pemberontakan yang lekat dengan sejarah kontemporer mereka. Sebagai langkah pembuka bukunya, Scott menunjukkan fakta bahwa kehidupan ekonomi peasant hanyalah sedikit di atas garis subsistensi mereka. Secara tegas angka garis subsistensi itu sendiri tidak pernah diterangkan oleh Scott, menurutnya angka terse but cenderung berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lain namun berapa perbedaannya juga tetap tidak jelas, kondisi seba miskin itu pula yang memunculkan etika subsistensi. Di mata Scott dan teman -teman satu alirannya, desa peasant yang harmonis yang m emberikan jaminan sosial bagi kelangsungan hidup warganya, yang tampil sebagai benteng yang melindungi warganyadari ancaman hidup di bawah garis subsistensi. Bahwa tata ekonomi peasant diikat oleh sistem moral peasant, agar beban kerja dan rejeki terbagi s ecara merata sehingga tidak ada satu warga desa pun yang sampai mengalami kelaparan. Scott juga percaya bahwa perilaku ekonomi masyarakat peasant dilangsungkan berdasar prinsip dahulukan selamat. Di bawah tekanan kemiskinan dan ekosistem yang sering banyak ulah, peasant terpaksa mengembangkan prinsip ekonomi mendahulukan keselamatan hidup daripada mengeluarkan energi untuk melakukan perbaikan nasib. Dalam kondisi kehidupan yang penuh ancaman itulah peasant baru berani melakukan inovasi, mengeluarkan investa si didalam dua kemungkinana kondisi. Pertama, bila keamanan subsistensinya sudah terjaga dan ia yakin benar bahwa investasi tadiakan mendatangkan hasil. Di mata pemikir ekonomi moral sistem ekonomi pasar yang kapitalistik hadir ke hadapan kaum peasant seba gai suatu ancaman terhadap tata kehidupan 18

desa mereka yang komunal dan memberi jaminan subsistensi. Ketika para peasant berbondong-bondong memasuki pasar, menjual produk pertanian dan menual tenaga kerja hal itu terjadi, dalam pandangan ekonomi moral, akib at adanya kekuatan dari luar yang memaksa. Kedua ketika mereka merasa etika subsistensi mereka mendapat ancaman. Inovasi disisni termasuk melibatkan diri dalam ekonomi pasar dan melakukan makar dan pemeberontakan. Kondisi sosial baru, sisitem pasar yang ka pitalistik, bagi kaum peasant adalah ancaman terhadap harmoni desa dan etika subsistensi yang ada didalamnya. Pemebrontakan kaum peasant, dalam pandangan Scott, adalah upaya untuk menghilangkan ancaman tersebut, pemberontakan adalah upaya untuk menjaga kea manan struktur sosial lama yang aman dan harmonis. D. PENDEKATAN NEO-FORMAL Pendekatan Neo Formalis atau juga biasa disebut dengan ekonomi politik adalah aktivitas ekonomi yang berarti cara berproduksi, distribusi, dan konsumsi yang dilakukan dengan menggunakan lembaga atau pranata-pranata sosial dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan. Salah satu tokohnya adalah S. L Popkin (Rational of Peasants). Dalam ekonomi formal ia bersifat lepas, bebas dari hubungan institusi atau lembaga lembaga, sedangkan dalam ekonomi neo-formal ia mengandalkan institusi formal politik yng dapat dikelola dalam rangka usaha -usaha ekonomi. Ekonomi yang berkenaan dengan pendekatan neo formalis adalah the study of alocation of source means to al ternative ends, dimana defenisi ini bersangkut paut dengan “choice action” yaitu setrap individu menjalin relasi dengan institusi pengontrol sumber daya yang dibutuhkan dalam rangka keuntungan/usaha -usaha ekonomi. Dalam choice action terdapat biaya keuntungan, kwalitas skill, dan kondisi sumb erdaya. hal tersebut harus didukung, motivasi yang tinggi, informasi yang luas, kebebasan secara luas full emproyment. Popkin menyatakan bahwa ketika kaum peasant melibatkan diri dalam ekonomi pasar, menanam tanaman komoditi, atau menjual tenaga ke pasar, hal itu terjadi bukan karena mereka merasa subsistensinya terancam (seperti yang diutarakan sebelumnya oleh Scoot dalam tulisannya), melainkan karena mereka melihatbahwa pasar menawarkan 19

peluang kehidupan yang lebih baik daripada yang ada di desa. Pembero ntakan kaum peasant bukanlahupaya resporatif untuk menjaga kelanggengan struktur sosial lama, melainkan upaya untuk menciptakan struktur sosial baru yang lebih menguntungkan, agar akses mereka terhadap sumber -sumber ekonomi menjadi semakin besar. Pandangan romantis seperti yang dituduhkan Popkins terhadap Scott yang memebawa para pemikir moral pada anggapan yang sesat mengenai desa peasant. Di mata Scott dan teman-teman satu alirannya, desa peasant yang harmonis yang memberikan jaminan sosial bagi kelangsun gan hidup warganya, yang tampil sebagai benteng yang melindungi warganya dari ancaman hidup di bawah garis subsistensi. Desa peasant menurut Popkin, sama sekali jauh dari kondisi harmonis dan penuh dengan eksploitasi. Menurut Popkin desa-desa peasant lebih tepat dipandang sebagai korporasi, bukan sebagai komun dan hubungan patron -klien harus dilihat sebagai eksploitasi bukan sebagai hubungan paternal. Ketika kaum peasant samapi pada kondisi desa yang sekarang ini mereka miliki, maka desa itu adalah desa yan g lebih baik keadaannya daripada desa tradisional, desa mereka yang terdahulu. Dewasa ini, masyarakat peasant tinggal di desa desa yang bercirikan : 1. Tanggung jawab pembayaran pajak secara individual 2. Kekaburan batas desa dengan dunia luar. 3.

Tidak ada atau sedikitnya larangan pemilikan tanah bagi orang luar desa.

4. Kekaburan perasaan sebagai warga desa 5. Privatisasi tanah milik Sebagai kebalikan dar desa terbuka, dahulu kaum peasant tinggal di desa -desa tertutup (corporate village) yang bercirikan : 1. Pajak dibayar secara kolektif sebagai tanggung jawab desa. 2. Batas yang tegas antara desa dengan dunia luar 3. Adanya larangan penguasaan lahan atau tanah sebagai hak milik pribadi. 4. Konsep kewargaan desa yang jelas 20

5. Tanah merupakan hak ulayat desa. Desa tertutup ini bukanlah desa seperti yang dibayangkan kaum ekonomi moral. Pembayaran pajak secara kolektif ternyata bukan mekanisme untuk meringankan bebean golongan miskin sebab aturan pembagian bebean pajakdiantara warga desa sama sekali tidak jelas. Golongan kaya di desa belu m tentu membayar pajak dalam persentase yang lebih besar daripada golongan miskin. Bahkan bisa jadi justru sebaliknya, golongan kaya memiliki pengaruh untuk memperkecil jatah pajaknya dan melimpahkan sisa pajaknya kepundak golongan miskin. Desa tertutup ternyata juga desa yang memberi jaminan bagi terjaganya keamanan subsistensi kaum peasant. Ketika panen berlangsung, golongan paling miskin hanya diberi kesempatan untuk mencari remis -remis gandum atau padi yang tersisa atau jatuh di atas tanah. Mereka tidak direkrut sebagai tenaga permanen bukan karena mereka tidak dapat memetik padi, namun mereka dicurigai akan mencurihasil panen. Desa tertutup dengan tanah komunalnyajuga tidak sendirinya membuat golongan miskin memiliki akses terhadap tanah. Hubungan patron klien di desa-desa tertutup sama sekali bukan hubungan timbal balik yang melindungi kepentingangolongan miskin di desa seperti yang diasumsikan oleh aliran eknomi moral. Hubungan patron klien dalam pendekatan ekonmi politik dianggap sebagai hubungan eksploitasi. Patron selalu berusaha mencegah agar para kliennya tetap terikat secara ekonomis kepadanya tanpa mereka memiliki kemampuan menawar terhadap segala tuntutan yang diajukan oleh patron. Di mata pemikir ekonomi moral sistem ekonomi pasar yang kapitali stik hadir ke hadapan kaum peasant sebagai suatu ancaman terhadap tata kehidupan desa mereka yang komunal dan memberi jaminan subsistensi. Ketika para peasant berbondong -bondong memasuki pasar, menjual produk pertanian dan menual tenaga kerja hal itu terja di, dalam pandangan ekonomi moral, akibat adanya kekuatan dari luar yang memaksa. Kenyataannya, menurut Popkin bukan seperti itu. Pasar bukanlah ancaman bagi kaum peasant di pedesaan, sebaliknya pasar justru membuka peluang agar produk mereka memperoleh harga yang lebih baik, dan disisi lain menyediakan bahan makanan dalam jumlah yang melimpah sepanjang waktu. Dengan kondisi sosial ekonomi di dalam desa 21

yang demikian payah, maka tanpa disuruh ketika ekonomi pasar merembes ke pedesaan kaum peasant akan berbondong-bondong mengalir kesana. Dengan kondisi internal desa seperti yang telah diuraikan tersebut, maka sama sekali tidak ada alasan untuk menyatakan bahwa pemberontakan kaum peasant adalah upaya untuk merestorasi struktur sosial alam yang tergoncang oleh kolonialisme dan ekonomi pasar yang kapitalistik. Pemberontakan kaum peasant juga tidak disebabkan oleh terjadinya gangguan terhadap pemenuhan kebutuhan subsistensi mereka. Kasus pemberontakan di Vietnam menunjukkan bahwa gerakan kaum peasant dilatar belak angi oleh keinginan untuk merebut masa depan yang lebih baik. Namun demikian kaum peasanttidak akan sembarangan melibatkan diri dalam gerakan pemberontakan, yang akan membuahkan hasil dalam jangka panjang dan juga grekan kolektif lainnya kecuali mereka yak in akan diuntungkan oleh gerakan tersebut. Bukannya diikat oleh moralitas kolektif, peasant adalah manusia individual yang kepalnya penuh dengan perhitungan untung rugi untuk kepentingan dirinya. Sebagai akibatnya,

peasant tidak mau sembarangan melibatka n diri dalam aktivitas kolektif bila

secara subjektif dia tidak mendapatkan hasil. Keterlibatan seorang peasant dalam aktivitas kolektif menurut Popkin akaj mempertimbangkan empat faktor : 1. Pengorbanan yang harus dikeluarkan, disini termasuk resikodari kete rlibatan suatu aktivitas. Ikut memeberontak misalnya, pengorbanannya adalah waktu dan tenaga, resikonya adalah mati atau ditangkap penguasa. 2. Hasil yang mungkin diterima. Bila hasilnya seimbang dengan pengorbanan peasant cenderung akan melibatkan diri dalam aktivitas kolektif. 3. Kemungkinan keberhasilan aktivitas kolektif tersebut. Apakah memiliki kemungkinan berhasil atau tida, apakah aktivitas kolektif tadi secara efesien memberika sumbangan dalam pencapaian keberhasilan aktivitas kolektif yang tingkatnya lebih tinggi.

22

4. Kemampuan kepemimpinan dan kepercayaan terhadap pemimpin. Apakah pemimpin gerakan kolektif dapat dipercaya atau tidak, apakah orang tersebut akan membawa kepada usaha atau tidak. Empat prasyarat di atas dapat menerangkam mengapa tidak setiap pe mberontakan memperoleh dukungan dari para peasant di pedesaan. Hanya gerakan -gerakan kolektif yang dinilai akan mendatangkan untung saja yang akan mendapatkan keuntungan dari mereka.

E. PENDEKATAN NEO-MARXIS Karl Marx (1818-1883) bukan antropolog. Dia juga tidak menganggap dirinya demikian. Tapi, bahkan antropolog konservatif yang melihat hanya seonggok ideologi bangkrut di pojokan kumuh dunia kapitalis, mau tidak mau harus memperhatikan berbagai unsur gagasannya tentang manusia, masyarakat, dan kebudayaan. Paling tidak untuk mencela teori materialistiknya tentang tatanan masyarakat dan kemestian perubahan tatanan ini yang radikal. Karl Marx, sekali lagi, bukan antropolog. Begitu pula Frederick Engels (1820-1895). Kita mengetahui keduanya lebih sering membac a dan mengambil hikmah dari trinitas suci karya sosialis radikal Prancis, filsafat spekulatif Jerman, dan ekonomi-politik Inggris daripada karya -karya antropologi. Memang tak bisa dikhilafi bahwa karya etnologi klasik yang menggugah gagasan gagasan materialis dan evolusionis dalam mengkaji masyarakat dan kebudayaan adalah karya L.H. Morgan (1818 -1881) Ancient Society. Di dalam karya tersebut, Morgan memilah-milah rangkaian sejarah masyarakat manusia ke dalam tahap -tahap yang bertumpu pada landasan material berupa penggunaan api, busur dan panah, perkakas keramik, hewan jinakan, tulisan, dan sebagainya. Baik Marx maupun Engels terperangah betapa Morgan dengan caranya sendiri mengkaji masyarakat pra -kapitalis dengan pendekatan materialisme sejarah. Dalam hasi l penelitian selama empat puluh tahun lebih tersebut, Morgan menyoroti kenyataan bahwa lembaga -lembaga pokok yang menjadi buhul masyarakat kapitalis seperti keluarga, kepemilikan pribadi, dan negara, terbukti tidak pernah ada dalam kehidupan prasejarah. Le mbaga-lembaga tersebut berkembang seiring 23

dengan perubahan-perubahan dalam pola produksi material masyarakat manusia dalam kerangka evolusi. Data Morgan menegaskan kembali pemikiran Marx bahwa lembaga sosial bukanlah sesuatu yang baku dan abadi, tapi dihasilkan dari keadaan sosial -ekonomi tertentu. Selain itu, dalam kerangka teoritis Morgan, sebagian besar sejarah manusia bisa dipahami dengan lebih baik lewat analisis atas kondisi materialnya. Teori evolusi Morgan seolah menunjukkan bahwa segala hal —perang, kelas sosial, kemiskinan, parlemen, agama, atau seni—dapat dijelaskan dengan menelaah landasan teknologi, ekonomi, dan lingkungan masyarakat tersebut, dan hubungan sosial yang didirikan orang dalam kaitannya dengan faktor-faktor ekonomis dan lingkungan ini. Pengadopsian gagasan Marx sebagai suatu pendekatan dalam Ekonomi baru terpecah menjadi tiga golongan yaitu Kultural matralial, Struktural Marxsis, dan Neo Marxsis. Gagasan Marx yang dipakai dalan Antropologi Ekonomi baru karena adanya kesamaan yaitu keduanya mempelajari sistem ekonomi masyarakat. Dari pemikir antropologi ekonomi baru kelompok struktural marxsis dan neo marxis yang sama memiliki jalur pemikiran yang sejalan dengan Substantivis, karena ada kesamaan gagasan antara substantivis dengan Marx isme, bahwa sistem ekonomi adalah gejala yang melkat pada institusi sosial dan teori -teori ilmu ekonomi tidak dapat diterapkan secara universal. Bagi kaum Marxis pemikiran teori -teori ekonomi modern dibangun atas realita dan logika masyarakat kapitalis dan sementara itu tidak semua masyaraka didunia ini adalah kapitalis. Dalam Pengantar Antropologi Ekonomi Marxsisme Antropologi Ekonomi baru ini dianggap sebagai Substativisme dan yang membedakannya dari substantivisme murni (yang cenderung mempelajari proses distribusi) adalah mereka lebih tertarik pada proses produksi yang mereka yakini sebagai pondasi dari sistem sosial. Penghidangan kembali Marxisme di meja-meja teori antropologi sejalan dengan upaya kritik terhadap ancangan Marxisme Ortodoks dan pemasakan kembali gagasan Marx dalam kuali baru. Gerakan ini sering disebut sebagai neo -Marxisme. Di Perancis, karya filsuf marxis Perancis Louis Althusser dipadu dengan pemikiran antropologi Lévi -Strauss. 24

Muncullah Maurice Godelier dan Claude Meillassoux yang men yambung gagasan Althusser bahwa ‘Marxisme bisa digunakan untuk memahami tatanan masyarakat pra kapitalis’ sambil mencari hikmah dari kajian kekerabatan masyarakat pra -kapitalisnya Lévi-Strauss. Mata air baru penafsiran Marx dengan kacamata Lévi -Strauss ini muncul di Paris dasawarsa 1970-an. Dari situlah sungai Marxisme Struktural mengalir hingga Inggris dengan Maurice Bloch sebagai penjaga alirannya. Selain di Perancis dan Inggris, gerakan Marxisme struktural juga berkembang di lingkungan antropologi Skandi navia, Belanda, dan India. Ciri umum gerakan ini adalah perhatiannya pada organisasi sosial dan politik dari produksi serta hubungan asimetris di dalamnya. Tidak seperti materialisme ekologis dan teori-teori Marxian lain yang berkembang di Amerika Serikat, Marxisme struktural tidak menekankan aspek lingkungan atau tekno ekonomi sebagai kekuatan penentu, tetapi lebih pada hubungan -hubungan sosial yang mengikat orang dalam suatu kolektif seperti sistem kekerabatan. Ciri lainnya adalah perhatian pada kajian atas etnografi-etnografi masyarakat pra-kapitalis yang merupakan bidang telaah tradisional dalam antropologi. Hubungan antara Marxisme dan antropologi pernah begitu dekat sekaligus pernah berlawanan. Karl Marx dan pemikir Marxis yang ingin membedakan dirinya dari pemikir-pemikir sosialis sebelumnya lewat penguatan sisi ilmiah sosialismenya, telah mengambil banyak hikmah dari kajian -kajian antropologi klasik. Di sisi lain, ancangan teoritik Marx dan pemikir Marxis tidak sedikit pula mempengaruhi penyusunan te ori-teori besar dalam sejarah antropologi. Oleh karena itu, kedudukan Marxisme dalam antropologi tidak bisa dipandang sebelah mata dan menjadi sama pentingnya dengan gerakan fungsionalisme, strukturalisme, atau simbolisme dalam sejarah teori antropologi. Teori Marxis membedakan sistem ekonomi (berbagai pertalian sosial dan teknologi produksi) dari lembaga politik -hukum dan ideologi yang menopangnya. Metafora struktur fisik digunakan. Sistem ekonomi merupakan basis (atau infrastruktur). Lembaga yang mempertahankan dan melangsungkan kekuatan dan perkaitan produksi merupakan suprastruktur. Tetapi pada saat menerapkan pola konseptual ini pada masyarakat nyata (khususnya pada berbagai ragam masyarakat yang dikaji antropolog) banyak terjadi 25

perdebatan. Penafsiran Soviet ortodoks tentang Marxis mengartikan ‘determinasi tahap akhir’ sebagai determinasi ekonomi yang langsung, yang bisa dibandingkan dengan determinasi ekologi dari aliran materialisme budaya seperti Harris. Istilah neo- Marxis disini dipakai untuk menyebut secara leluasa para penganut ekonomi baru yang berada diluar lingkaran struktural Marxis yang dianut terutama oleh para pemikir Prancis. Dalam keragaman alur pemikiran dan objek pembahasan yang cukup tinggi, terlihat ada kesamaan yang mungkin dapat di pakai untuk menandai kelompok ini. Topik studi yang dipilih para pemikir kelompok ini umumnya berputar -putar di sekitar masalah eksploitasi, kemiskinan dan ketimpangan sosial. Pangkal dari gejala ini mudah ditebak, yaitu dari ajaran Marxis sendiri mengenai kelas sosial dan eksploitasi kelas. Oleh pemikir neo- Marxis topik tersebut diperluas, sehingga menjangkau bukan saja hubungan antar golongan umur, jenis kelamin dan antar negara. Bahkan disamping itu kelompok ini juga mewarisi pola pikir Marx yang bersif at total dan material. Sementara dikalangan pemikir struktural. Sementara dikalangan pemikir struktural Marx ajaran material ini sedkit dicampur aduk dengan ajaran ideal dengan jalan menempatkan ‘struktur bawah sadar’ sebagai jalan untuk mengungkap determi nasi. Pengikut neo-Marxis seperti Godelier (dalam Keesing 1999:186), ketika mencari dalam karya Marx sendiri dasar yang lebih kukuh bagi antropologi ekonomi, menolak determenisme ekonomi. Godelier mencatat bahwa dalam masyarakat, di masa dan masa kini yang telah dikaji oleh antropolog mengasumsikan bahwa tidak ada pemisahan yang jelas antara lembaga ekonomi dan lembaga kekerabatan, politik maupun keagamaan. Jika ada perbedaan yang mencolok antara basis dan infrastruktur maka perbedaan itu harus atas dasar fungsi. Jika hubungan kekerabatan atau ritus keagamaan berfungsi untuk mengatur produksi dan distribusi, maka dalam hal ini hubungan tersebut merupakan unsur -unsur dari sistem ekonomi. Hubungan kekerabatan dan ritus keagamaan tampak dipermukaan dan berfungsi sebagai bagian dari suprastruktur suatu sistem sosial. Dengan demikian berarti bahwa semua itu bertujuan memepertahankan sistem hubungan sosial yang ada, atau menurut istilah Marxisme ‘mereproduksi’ saran bagi kelangsungan sistem. Kekerabatan, dengan mengatur perkawinan mengahsilkan tenaga kerja. Agama, menurut mata para 26

pesertanya, memelihara kosmos seperti misalnya musim, kesuburan tanam -tanaman, kekuatan gaib, tanpa semua itu upaya produktif manusia tidak akan dapat diwujudkan. Tetapi, menurut Godelier, dalam suatu masyarakat tribal kekerabatan berarti lebih jauh dari sekedar fisik menghasilkan angkatan kerja melalui kelahiran, pengasuhan da n subsistensi, suatu fungsi yang dimainkan oleh kekerabatan didalam suatu masyarakat industri atau feodal. Di dalam masyarakat peasant, kekerabatan melengkapi sistem mana produksi itu sendiri diatur dan melalui mana distribusi berjalan. Sebagai gambaran, di India mayoritas penduduknya beragama Hindu, lembaga keagamaan tidak hanya ‘mereproduksi’ kosmos dan memperkokoh hubungan sosial dari produksi; melalui sistem kasta, suatu tatanan keagamaan yang didasarkan pada kesucian dan kecemaran membentuk hubungan produksi. Kaum paria mengerjakan pekerjaan kasar karena pekerjaan itu dianggap akan mencemari kesucian kasta-kata lainnya. Dalam sistem sosial yang kompleks, hasil kerja manusia dihimpun dalam bentuk kekayaan, bentuk fisik bangunan, kota, pengairan, peternakan, piranti -piranti dan sebagainya. Dalam suatu ‘sistem kelas sosial’ (misalnya buruh -tani, budak, tentara, seniman, pemuka agama, penguasa), kelas penguasa mengendalikan sistem melalui alat negara dengan menindas dan memaksa, sehingga bisa menyedot surplus pangan dan memegang kendali terhadap saran produksi (atau melalui berbagai ideologi keagamaan yang mengajarkan kepatuhan seperti halnya pengorbanan manusia dikalangan susku Aztect sebagai sesuatu hal yang diperlukan bagi kesuburan pertanian dan upaya menyenangkan para dewa). Tetapi pada masyarakat peasant (primitif) yang tidak mengenal kelas sosial, hanya terdapat sedikit sekali kerja manusia yang bisa dikumpulkan dari masa lalu – sedikit harta benda, tidak ada candi atau kota yang besar, sedikit piranti tidak lebih banyak dari yang bisa dibuat oleh setiap keluarga untuk keperluan mereka sendiri. Menjadi persoalan, menurut Godelier, adalah hasil kerja manusia yang masih hidup dan karena itu pendapatnya disitulah arti dominan lembaga kekerabatan, perkawinan dan keturunan, yang secara fisik menghasilkan angkatan kerja. Aliran kelompok pada dasarnya mewarisi pola piki r Marx yang bersifat total dan material. Sementara dikalangan pemikir struktural Marx ajaran ini material ini sedikit 27

banyak dicampur aduk dengan ajaran ideal dengan menempatkan struktur bawah sadar sebagai jala untuk mengungkap determinasi. Godelier dalam pandangan kelompok ini telah melakukan kekeliruan, yakni ketika ia menyatakan bahwa fungsi ekonomi dari kekerabtan itulah yang membuat kekerabatan tampil sebagai faktor dominan dalam kehidupan sosial masyarakat tribal (Khan dan Liobera dalam Sairin dkk). Dengan menekankan diri pada fungsi inilah, tanpa disadari Godelierterjebak lagi dalam masalah teleologika fungsionalisme – bahwa burung punya sayap karena ia harus terbang, bahwa kekerabatanpada masyarakat tribal tampil sebagai organisasi produksi karena m asyarakat tribal harus hidup berburu dan meramu. Persoalan penting bila kita menggunakan konsep konsep Marxisme mengenai basis dan suprastruktur guna menganalisis ruang lingkup masyarakat yang di kaji oleh para antropolog (Keesing 1999:187), tidak akan dit emukan wadah tersendiri tentang ‘sistem perekonomian’, ‘sistem kekerabatan’, ‘agama’ dengan ekonomi sebagai dan selebihnya sebagai suprastruktur. Pengkotak -kotakan menjadi beberapa subsistem secara fungsional adalah khas bagi berbagai jenis masyarakat kompleks. Lanjut Keesing memandang bahwa berbagai kebiasaan dan lembaga dunia tribal tidak hanya berdasarkan pengertian simbolik melalui mana hal itu diungkapkan (kewajiban kekerabatan, kepercayaan perihal kecemaran kaum wanita, tuntutan leluhur), melainkan pemahaman tentang apa yang mereka lakukan, dalam pengertian tentang hubungan yang mengatur manusia satu sama lain dan terhadap dunia. Polanyi membedakan ekonomi menjadi formal dan subsansial, formal dalam arti ini formal berarti ekonomi seperti yang diteran gkan oleh ilmu ekonomi dan dikenal sebagai proses maksimalisasi dan berorientasi kepada profit. Sedangkan substansial berarti upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup ditengah lingkungan alam dan lingkungan sosialnya. Dalam arti substantif setiap masya rakat modern, tradisional, atau primitif pasti memiliki ekonomi. Polanyi sendiri adalah salah satu tokoh substantif ang berpendapat bahwa, ekonomi substantif lah yang berlaku universal hal ini didukung oleh pemikiran bahwa didalam masyarakat manapun sistem ekonomi atau kegiatan perekonomian akan berkembang sesuai dengan nilai -nilai budaya setempat. Ditambahkan juga oleh Dalton yang juga beraliran sama dengan Polanyi bahwa teori ekonomi modern tidak dapat dipakai untuk mempelajari masyarakat primitif atau tr adisional karena, metode teori ekonomi 28

berkembang dan dimentuk oleh ciri utama inggris diabad ke 19 yaitu industrialisasi pasar dan organisasi pasar. Ciri lain dari mekanisme pasar yaitu adanya sifat ketergantungan : semua kehidupan materi diambil dari men jual sesuatu dengan mekanisme pasar. Perbedaan ini akan sangat berdampak pada perkembangan antropologi ekonomi kedepan karena perkembangan ilmu ini kedepan akan berpijak pada kedua pendapat ini. Setelah masa perdebatan yang mereda dengan sendirinya (sekit ar pertengahan tahun 70 an) perkembangan antropologi ekonomi sebagai satu disiplin yang mulai mantap bertambah komlpleks. Khasanah keilmuan antropologi ekonomi bertambah dengan adanya dua aliran baru, yang pertama adalah Ekonomi baru yang mendapat pengaruh dari gagasangagasan Marx dan yang kedua adalah Ekonomi personalisme. Dengan begitu debat substantivis dan formalis tidak menjadi sia -sia karena kedua pemikiran ini masih dapat diliahat sebagai sesuatu yang saling melengkapi (walaupun sudah mengalami pero mbakan) dalanm aliran Ekonomi baru dan Ekonomi personalisme. Untuk melihat lebih jelasnya bagaimana pemikiran Formalis dan Substantivis masih tampak dan saling mempengaruhi pada masa era setelah debat dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Paradigma

Pendukung Teori

Penolak Teori Ekonomi

Ekonomi Pasar

Pasar

Antropologi Ekonomi klasik

Formalisme

Substantivisme

Antropologi Ekonomi baru

Kultural Matrelial

Struktural Marxsis neoMarxis

Ekonomi Personalisme

Ekonomi Politik

Eokomi Moral Ekonomi personal

Pos-Modernisme

29

PENUTUP Dalam kajian ilmu ekonomi modern, kegiatan ekonomi pada intinya berpusat pada kegiatan produksi barang, distribusi (mendeliverkan barang pada konsumen) dan akhirnya pada proses konsumi (menghabiskan atau memakai barang atau jasa). S emua proses ini juga terjadi dalam kehidipan ekonomi masyarakat tradisional, walaupun tidak begitu mendapat perhatian dari ahli ekonomi karena lebih memusatkan perekonomian pada tingkat global. Dalam sistem matapencarian hidup para ahli antropologi juga memperhatikan sistem produksi lokalnya, cara pengolahan sumberdaya alam, cara pengumpulan modal, cara pengerahan dan manajemen tenaga kerja. Teknologi dalam sistem produksi, sistem distribusi pasar, dan proses konsumsinya. Kalau dirinci lebih jauh lagi terma suk didalamnya dikaji bagaimana keterlibatan keluarga dalam mengkonsumsi suatu barang juga sistem distribusi seperti apa yang digunakan, siapa saja yang terlibat dalam proses produksi, dan lain sebagainya. Di dalam buku pengantar ilmu antropologi terlihat Koentjaraningrat begitu membatasi kajian ekonomi pada sistem mata mencarian hidup hanya dalam ruang lingkup yang kecil saja dan menganggap hal -hal seperti proses distribusi yang besar dengan jaringan yang luas dan sistem ekonomi yang berdasarkan pada indus tri merupakan murni kajian ahli ekonomi. Sehingga memberikan kesan pemahaman bahwa antropologi adalah ilmu yng tertinggal (membatasi diri pada hal -hal yang seharusnya bisa menjadi kajian antropologi, dengan tidak lepas dari akar ilmu antropologi sendiri tentunya). Kajian-kajian

yang luas

mengenai

perekonomian

di

tingkat

global,

perekonomian negara, ketertinggalan negara -negara dunia ketiga (yang akar permasalahannya juga adalah masalah ekonomi), proses pembuatan kebijakan oleh pemerintah, pola perilaku konsumen, bahkan penciptaan dan inovasi produk baru dalam proses produksi sebenarnya bisa diperdalam dan dipelajari oleh spesilaisasi ilmu antropologi seperti antropologi ekonomi, antropologi terapan dan antropologi perkotan.

30

DAFTAR PUSTAKA Ahimsa Putra, Heddy Shri,. Dkk, (2003) Ekonomi Moral, Rasional dan Politik Dalam Industri Kecil di Jawa: Esei -Esei Antropologi Ekonomi. Yogyakarta: Kepel Press Boudrellard, Jean P. (2004) , Masyarakat Konsumsi, Yoyakarta: Kreasi Wacana Clammer, Jhon., (2003) Marxisme Antropologi : Studi Ekonomi Politik dan Pembangunan, Yoyakarta. Elfindri (2002), Ekonomi Patron Klien, Padang: andalas University Press Keesing, Roger M. (1999), Antropologi Budaya: Suatu Perspeketif Kontemporer , Jakarta: Erlangga. Kleden, Ignas. (2000). Krisis Radikalisme dan Pelipu Lara. Lembaga Lintas Timur. Majalah Tempo edisi Agustus 2007 . www.Google.com. Jakarta. Koentjaraningrat (1990) Sejarah Teori Antropologi jilid II, Jakarta: UI Press ______________ (1981) Pengantar Antropologi, Jakarta: UI Press. Mas’oed, Mohtar (2003), Ekonomi Politik Internasional dan Pembangunan , Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Mulyadi, Fadli. (2008). Aspek Tenaga Kerja dalam Pembangunan Ekonomi Daerah : Studi Kasus di Kalimantan Timu, Buletin Penelitian: Universitas Hasanuddin. Reksohadiprodjo, Sukanto (1999), Dasar-Dasar Manajemen, Yogyakarta: BPFE. Saifuddin, Achmad Fedyani. (2006) Antropologi Kontemporer : Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma, Jakarta: Kencana. Sairin, Sjafri., Pujo Semedi dan Bambang Hudayana (2002), Pengantar Antropologi Ekonomi Yogyakarta: Pustaka Belajar. Sofa, Pakde. (2008). Sejarah Pemikiran Ekonomi Praklasik, Klasik, Sosialis dan Neoklasik. www.Google.com Suseno, Franz Magnis., (2005) Pemikiran Karl Marx : Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

31

Related Documents


More Documents from ""