KEARIFAN TRADISIONAL LINGKUNGAN Belajar dari Kasus Komunitas-Komunitas Petani dan Nelayan Tradisional Oleh Munsi Lampe Pendahuluan Kearifan tradisional merupakan salah satu warisan budaya yang ada di masyarakat (tradisional) dan secara turun -menurun dilaksanakan oleh masyarakat yang bersangkutan. Kearifan tradisional tersebut umumnya berisi ajaran untuk memelihara dan memanfaatkan sumberdaya alam (hutan, tanah, dan air) secara berkelanjutan. Subak di Bali dan sasi di Maluku merupakan contoh kearifan trad isional yang masih dilaksanakan oleh masyarakat setempat dan mampu memelihara sumberdaya alam sehingga dapat memberikan penghidupan untuk masyarakat setempat secara berklanjutan. Dari sisi lingkungan hidup keberadaan kearifan tradisional sangat menguntungk an karena secara langsung atau pun tidak langsung sangat membantu dalam memelihara lingkungan serta mencegah terjadinya kerusakan lingkungan. Namun demikian dengan makin meningkatnya kebutuhan ekonomi akibat perkembangan jumlah penduduk serta meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat, kearifan tradisional tersebut banyak yang telah ditinggalkan dan diganti dengan perhitungan ekonomi tanpa mampertimbangkan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Hal ini dapat dilihat dengan makin rusaknya sumberdaya hutan, hi langnya mata air/ sumber air, rusaknya hutan mangrove, dan lain -lain. Mengingat begitu pentingnya peranan kearifan tradisional dalam upaya memelihara dan melestarikan fungsi lingkungan hidup, maka kearifan tradisional tersebut perlu terus dipelihara dan diterapkan dalam kehidupan masyarakat sehari -hari. Upaya ini antara lain dapat dilakukan dengan memasukkan kearifan tradisional menjadi salah satu mata ajar dalam pendidikan lingkungan hidip KLH maupun diklat -diklat yang lain baik di pusat maupun daerah. Untuk biasa menjadi salah satu mata ajar dalam pendidikan lingkungan yang pelaksanaannya dibatasi oleh waktu, maka diperlukan materi dan sistematika yang baik
yang kemudian akan disusun menjadi kurikulum pada mata ajar “peranan kearifan tradisional dalam pengendalian kerusakan lingkungan” oleh Pusdiklat Lingkungan Hidup KLH. ==Kearifan lingkungan di Indonesia menjadi topik perbincangan yang menarik, bahkan mendesak kepentingannya sehubungan dengan isu program rehabilitasi dan pengelolaan lingkungan, khususn ya lingkungan ekosistem laut (mangrof dan terumbu karang) yang mengalami kerusakan pada hampir semua daerah perairan pantai dan pulau pula, yang menurut hasil penelitian, banyak diakibatkan oleh perilaku pemanfaat, terutama komunitas-komnitas nelayan itu s endiri. Di Indonesia, realitas hubungan manusia dengan lingkungan yang disebut oleh Vayda dan McCay (1975) dan McCay (1978) sebagai “disrupsi sistem dan relasi tidak seimbang” ini dapat ditunjukkan pada eksploitasi sumber daya perikanan secara berlebihan (dalam Saad, 2000; Semedi, 2001); pengrusakan ekosistem mangrof di Aceh dan Jawa (dalam Saad, 20000), di Sulawesi Selatan (Winarto dkk, 1999), dan di Irian Jaya (Laksono dkk, 2000); pengrusakan ekosistem terumbu karang (Raharjo, 1995; Lampe dkk, 1996/1997; 1997/1998; Tim Peneliti PSTK, 2000); dan pencemaran laut yang pada gilirannya telah berakibat pada terjadinya persaingan dan konflik-konflik antarindividu dan antar kelompok pemanfaat sumber daya laut dari berbagai tempat asal dan etnik (Dahuri dkk, 1996; Kusumaatmadja, 1999), dan meluasnya kemiskinan penduduk desa -desa nelayan pesisir dan pulau -pulau. Isu masalah tak kalah pentingnya ialah lenyapnya ratusan hektar lahan tambak di Aceh, Lampung, dan Sulawesi Selatan oleh ombak akibat hilangnya hutan bakau ( mangrove) sebagai pelindung dari ancaman abrasi ombak laut. Akhir -akhir ini, korban tsunami berupa ratusan ribu jiwa penduduk dan pemukimann di Aceh banyak dihubungkan dengan rusaknya ekosistem mangrof di sepanjang pantai Aceh tersebut. Dari fenomena tersebut patut dipertanyakan, apakah konsep -konsep ekosistem, kelembagaan, kepercayaan/keyakinan, nilai -nilai atau norma-norma masyarakat pada tingkat populasi desa, komunitas etnis, dan kelompok -kelompok yang berbeda-beda yang diasumsikan oleh sebagian paka r ekologi manusia/antropologi ekologi
sebagai
mekanisme regulasi pemanfaatan sumber daya alam secara merata, berkelanjutan , dan lestari tidak berfungsi lagi atau dalam kondisi sedang terkikis? Fakta ditunjukkan di muka juga lebih merupakan indikator kegaga lam daripada keberhasilan dari berbagai kebijakan
formal pemerintah (berupa larangan) dan kontribusi dari kalangan akademisi dan LSM berupa paradigma atau pendekatan -pendekatan pengembangan atau pegelolaan keterpaduan (integrated management), kemitraan (co-management), atau berbasis masyarakat (community-based management). Untuk penulisan makalah dalam rangka lokakarya Menggali Kearifan Lingkungan ini, baik kiranya mengidentifikasi dan belajar dari sisa -sisa pengetahuan (kepercayaan, nilai), institusi, dan praktik indigen yang arif lingkungan, yang masih difungsikan di beberapa tempat, termasuk Sulawesi Selatan, meskipun dalam kondisi sedang terkikis, atau sudah tergeser oleh kekuatan usaha -usaha perikanan kapitalis dan modern dari luar tetapi masih diidamkan oleh komunitas pendukungnya. Berikut interpretasi teoretis dan efektivitas praktik kearifan lingkungan. Sebagai penutup ialah saran -saran. Batasan Tentang Kearifan Tradisional Lingkungan Kearifan lokal merupakan gagasan/pandangan, pengetahuan, kepercaya an, nilai, norma, moral dan etika, kelembagaan (melibatkan norma, praktik atau tindakan berpola, organisasi), dan teknologi yang menyumbang kepada tercipta dan tetap terpeliharanya kondisi tatanan kehidupan masyarakat di berbagai bidang, kemajuan, dan terj aganya kondisi ekosistem lingkungan dan sumberdaya sehingga pemanfaatannya oleh kelompok atau komuniti manusia di situ (sebagai salah satu komponen ekosistem) berlangsung secara berkesinambungan. Hadirnya kearifan lokal dalam suatu masyarakat pesisir, khus usnya komuniti nelayan, bisa merupakan tradisi ataupun rekayasa baru dari masyarakat pendukungnya, tetapi bisa bersumber dari kebijakan pemerintah, kreasi lembaga perguruan tinggi, inisiatif LSM, dan lain-lain, yang tersosialisasi kepada dan telah diprakti kkan untuk selanjutnya ditradisikan oleh masyarakat nelayan pesisir dan pulau -pulau. Dalam berbagai komuniti/masyarakat bahari (pesisir dan pulau -pulau), termasuk di Indonesia, kearifan tradisional dalam berbagai wujudnya sebagian masih bertahan dan difungsikan, sebagian mulai terkikis, dan sebagian besar lainnya sudah menghilang, sementara ide-ide dan praktik-praktik baru yang ideal dan potensial belum lagi terlembagakan dan mengakar dalam masyarakat. Berbagai hasil penelitian pada komuniti -komuniti pesisir dan pulau-pulau, terutama di Sulawesi Selatan, diperoleh berbagai keterangan/informasi mengandung kearifan lokal, terutama berkaitan dengan etos ekonomi/berusaha, keselamatan pelayaran, kehidupan kolektif dan jaminan sosial ekonomi, dan kelestarian ling kungan. Identifikasi dan Gambaran Sisa -sisa Kearifan Lingkungan dalam Komunitas Desa-desa Petani dan Nelayan 1. Pemeliharaan Sumberdaya Air
2. Pemeliharaan Sumberdaya Perikanan Panglima Menteng di Rajuni sebagai sebuah kelembagaan komunalism di Masa Lau. Di masa lalu (hingga awal 1950-an), menurut keterangan nelayan Bajo, pemanfaatan sumberdaya laut dikelola dengan sistem kepemimpinan tradisional. Laut dan sumberdaya dikandungnya bukanlah milik dan dimanfaatkan oleh semua seperti yang dipahami dan dipraktikkan penduduk nelayan kemudian. Pada intinya, sistem pengelolaan tradisional tersebut dilukiskan oleh seorang nelayan Ar (67 tahun) (dalam Lampe, 2004) sebagai berikut. “Dahulu kala di masa kolonial dan sebelumnya, wilayah kawasan Taka Bonerate ini adalah milik masyarakat/penduduk kawasan sendiri. Mereka pada umumnya adalah orang keturunan Bajo atau peranakan Bajo -Bugis, Bajo-Selayar/Makassar, dan sebagainya. Sistem ekonomi perikanan yang merupakan mata pencaharian pokok, berada di bawah pengaturan para ponggawa laut yang mengatur tentang: jenis -jenis sumberdaya laut yang diambil, jadwal/waktu -waktu pengambilan, alat yang digunakan, lokasi-lokasi operasi, dan lain-lain. Misalnya: periode bulan 7 – 8 nelayan mengambil kima dan jenis -jenis kerang lainnya; bulan 9 – 12 sebagian besar nelayan memancing, sebagian menggunakan pukat dan jaring; bulan 11 – 12 (hanya 1 bulan) adalah musim menyelam mengambil teripang; dan, bulan 1 – 15 (kecuali bulan 4) merupakan musim pancaroba, waktu mana kondisi laut bergoncang tak henti-hentinya yang sangat berbahaya, sehingga nelayan pada umumnya tinggal di darat memperbaiki alat -alat tangkap. Hasil tangkapan nelayan, oleh ponggawa laut diserahkan kepada ponggawa lolo, yang dapat dianalogikan dengan pengelola koperasi pada masa sekarang. Oleh ponggawa lolo hasil -hasil laut tersebut dibagi-bagikan kepada pedagang lokal yang seterusnya mereka jual ke luar, seperti ke Bulukumba, Bantaeng, dan tempat -tempat lainnya. Penunjukan orang/pedagang lokal juga biasanya berdasarkan kesepakat an antar ponggawa lolo, ponggawa laut, kepala-kepala kampung berkedudukan seorang kepala pemerintahan puncak, yang bergelar “Panglima Menteng”, yang dapat disederajatkan dengan presiden sekarang ini. Siapa -siapa yang melanggar, khususnya berkaitan dengan sistem penangkapan dan pemasaran hasl -hasil laut, akan diberikan sanksi berupa teguran, denda dan sebagainya, tetapi pada kenyataannya jarang sekali terjadi kasus-kasus pelanggaran.” (Wawancara, Mei 2004). Sistem pengelolaan pemanfaatan sumberdaya laut kaw asan karang (taka-taka dalam istilah Bugis dan Makassar) di bawah kepemimpinan tradisional Panglima Menteng yang berpusat di Rajuni mengandung sekurang -kurangnya delapan ciri komunalisme, yaitu (1) kelembagaan kepemilikan komunal atas wilayah perikanan, (2) pembagian bidang-bidang kegiatan sosial ekonomi dan politik secara kolektif, (3) a kses keterlibatan masyarakat secara meluas, termasuk wanita, dalam pemanfaatan sumberdaya laut, (4) pengaturan
jadwal kegiatan eksploitasi jenis -jenis sumberdaya perikanan menurut musim, jadi mengandung juga sistem kuota, (5) pengaturan mengenai tipe teknologi produksi yang digunakan, (6) aspek kelembagaan pemasaran/koperasi nelayan, (7) ciri ekonomi subsisten, dan (8) menguatnya jiwa dan ketaatan kolektif pada adat dan norm a. Tatanan komunalisme lokal seperti ini menurut keterangan, secara relatif menjamin keseimbangan ekologi/ekosistem, pemanfaatan sumberdaya perikanan berkelanjutan, dan integrasi masyarakat komunal yang stabil dalam kawasan Taka Bonerate, khususnya Rajuni. Rumpon dan Bagang sebagai Institusi Penguasaan Lokasi Perikanan Secara Individual. Rumpon merupakan sarana bantu tangkap untuk usaha perikanan pukat yang telah dipertahankan oleh nelayan Bugis sejak ratusan tahun silam. Rumpon merupakan konstruksi berupa rakit yang terbuat dari puluhan batang bambu panjang. Pada rakit yang terapung di permukaan laut diikat dan dihubungkan dengan jangkar di dasar laut dengan sebuah tali induk yang panjang (rotan atau nilon) dan kuat. Pada tali induk sekitar 5 m hingga 20 m di bawah air dipasang daun -daun kelapa (rumpon) yang berfungsi sebagai sarana pemikat ikan-ikan untuk terkonsentrasi pada rumpon, yang pada gilirannya dikepung dengan jala lompo/panja’ (pukat besar tradisional). Sejak kira -kira 20 tahun terakhir sebagian besar nelayan telah menggunakan gae/rengge’ (pukat cincin ukuran besar) yang eksploitatif. Ditinjau dari aspek kelestarian lingkungan, teknik rumpon mengandung dua bentuk kearifan lingkungan, yaitu pada wujud teknik/praktik dan aturan hak kepemilikan lokasi perikanan. Pertama, karena teknik penangkapan selektif pada ikan -ikan dewasa yang hidup di permukaan (ukuran net disesuaikan dengan jenis -jenis ikan tangkapan), maka gejala penangkapan berlebih ( overexploitation) dan penangkapan ank-anak ikan (growth overexploitation) dapat dihindarkan. Kedua, rumpon sekaligus merupakan aturan adat penguasaan
lokasi-lokasi
rumpon
secara
individual/keluarga/kelompok
nelayan
(individual/family/groups proverty rights ). Lokasi rumpon minimal seluas 100 m keliling diukur dari tempat/posisi rumpon. Dengan hak-hak penguasaan yang eksklusif tersebut memungkinkan kondisi dasar, termasuk area terumbu karang, dapat telindungi dari pemanfaatan secara terbuka ( open access/use) yang potensial merusak habitat terumbu karang.
Seperti halnya rumpon, bagang pun mengandung aturan adat kepemilikan hak atas area perikanan di laut. Perikanan bagang terdiri dari komponen-komponen material utama berupa pondok yang dipasang pada sebuah perahu bagang (berbentuk perahu lesung yang panjang), pukat besa r berbentuk empat persegi dengan ukuran lubang yang sangat kecil (diperuntukkan bagi penangkapan ikan -ikan kecil yang hidup di permukaan laut), dan lampu-lampu (petromak, lampu gas, lampu listrik) sebagai sarana penerang untuk memikat ikan-ikan di waktu malam bulan gelap. Karena di Sulawesi Selatan nelayan kebanyakan mengoperasikan bagang di area taka-taka yang dalam sehingga lokasi-lokasi terumbu karang tertentu dapat terlindungi dari perilaku pemanfaatan secara terbuka, terutama dengan penggunaan sarana t angkap destrktif seperti bius, bom, dan lain-lain. 2. Tempat-Tempat Dikeramatkan yang Menyimpan Kearifan Lingkungan. Hantu atau Jin Laut di Taka Kayu Bulan, Taka Balaloong, dan Taka Kumai (Taka Bonerate). Dari banyak nelayan senior di Taka Bonerate di peroleh cerita rakyat tentang adanya tempat-tempat keramat yang ditakuti nelayan dalam kawasan Taka Bonerate bagian selatan dan tenggara. Misalnya, Taka Kayu Bulan, Taka Balaloong, dan Taka Kumai, menurut cerita orang Pasitallu dan Jinato, adalah angker ya ng dijaga oleh jin-jin atau hantu-hantu laut yang dapat mengubah -ubah dirinya dalam wujud-wujud yang mengerikan. Mahluk-mahluk keramat ini seringkali menjebak nelayan dengan memunculkan jenis-jenis tangkapan bernilai ekonomi tinggi, seperti teripang hitam, kerang mutiara, dan lain -lain dalam jumlah banyak. Nelayan yang serakah dan takabbur yang langsung mengambilnya, menurut cerita nelayan, akan menjadi korban kesakitan atau mati di tempat. Cerita rakyat tersebut, menurut keterangan setempat, masih dipercay ai oleh bsebagian besar nelayan lokal. Dengan kepercayaan tersebut maka sebelum memulai penangkapan di tempat-tempat tersebut nelayan terlebih dahulu meminta izin dan sangat berhati-hati. Setiap nelayan yang masuk ke lokasi -lokasi tersebut menahan diri dar i sikap takabbur, berbicara sembarangan, bahkan tidak begitu saja mengambil biota -biota yang yang sudah ada di depan matanya. Untuk memasuki lokasi -lokasi tersebut nelayan pun mempersiapkan mantra-mantra dan doa-doa yang diandalkan. Pokoknya, kepercayaan tersebut menjadi pembimbing bagi nelayan untuk bertindak dengan penuh kehati -hatian.
Roh Bulek di Taka Meriam dan Taka Balanda. Nelayan Jinato, Pasitallu Tengah, Pasitallu Timur, menurut keterangan setempat, juga mempercayai kedua Taka Meriam dan Taka Balanda sebagai tempat-tempat yang keramat. Kedua taka tersebut, menurut nelayan dari ketiga pulau tersebut, dijaga oleh roh -roh manusia yang menyerupai orang Bulek. Menurut cerita nelayan setempat bahwa pada kedua taka tersebut di masa lalu banyak tentara Belanda gugur dalam perang melawan pasukan Kesultanan Buton dan Kerajaan Gowa yang berjuang mati -matian dalam mempertahankan wilayah Kepulauan Macan (sekarang Taka Bonerate). Termasuk dalam pasukan pribumi tersebut ialah orang orang Bajo (penghuni Kep. Macan ) yang tahu seluk beluk gugusan taka-taka yang sulit dimasuki orang asing. Roh -roh tentara Belanda inilah yang menurut cerita setempat bergentayangan di kedua taka tersebut hingga sekarang. Itulah sebabnya banyak nelayan setempat takut beroperasi pada kedu a taka yang cukup kaya dengan teripang, kerang, ikan karang jenis sunu dan kerapu. Keramik Kembar dan Gurita Raksas di Taka Gantarang (Taka Bonerate). Nelayan bagian utara kawasan Taka Bonerate, khususnya Tarupa, mempercayai beberapa taka, terutama Taka Gantarang, sebagai tempat yang angker. Di Taka Gantarang, menurut cerita orang Tarupa, terdapat keramik kembar dan seekor gurita raksasa yang menjaganya. Keangkeran lokasi tersebut, menurut cerita nelayan, ditimbulkan oleh kekuatan supernatural keramik kuno dan keganasan gurita raksasa yang menetap di situ sejak dahulu kala. Menurut cerita seorang nelayan Tarupa bahwa siapa saja berniat jahat mau mengambil keramik karena menilainya sebagai harta karun, dipastikan orang tersebut nantinya terkena musibah. Janga nkan sudah menyentuh mulut tembikar, baru saja memasuki lokasi taka di mana tembikar berada, orang -orang yang berniat jahat pasti merasakan ancaman musibah yang bakal terjadi berupa kelumpuhan/keram, pingsang, dan atau bahkan kematian. Karena kepercayaanny a pada cerita rakyat yang telah menyebar luas dalam masyarakat Taka Bonerate, maka tidak ada orang setempat berani mencoba mendekati, apalagi menyentuh benda kuno tersebut. Hingga sekarang ini orang orang yang masih mempercayai folklore tersebut harus memi nta izin kepada kekuatan supernatural dan gurita raksasa sebelum melakukan penangkapan ikan di situ. Itulah sebabnya, menurut keterangan, Taka Gantarang merupakan Taka paling kaya dengan biota bernilai ekonomi tinggi, terutama ikan -ikan sunu, kerapu, dan napoleon.
Mahluk halus atau Jin Penjaga Taka Latondu dan Taka Rajuni (Taka Bonerate). Dari Latondu dan Rajuni diperoleh cerita tentang adanya beberapa taka yang angker di sekitar kedua pulau tersebut karena dijaga oleh mahluk -mahluk halus atau jinjin. Di tempat-tempat tersebut, menurut cerita, sudah banyak nelayan hilang di masa lalu. Bahkan belum lama ini (tahun 2000), menurut orang Latondu dan Rajuni, ada dua orang pencari gurita hilang di pantai di saat air laut surut. Itulah sebabnya menurut keterangan , sebelum turun ke laut orang harus berdoa dahulu untuk meminta keselamatan dan riski dari Allah. Jadi dengan doa -doa itu semata, menurut nelayan, keangkeran benda -benda kuno yang ada di beberapa taka dan keganasan mahluk-mahluk alam di situ bisa dijinakkan. Menghindari sikap takabbur dan tindakan sembrono, selalu berpegang pada kekuatan Allah, dan penuh kehati -hatian merupakan petuah-petuah yang dipegang teguh nelayan dari generasi ke generasi sebagai pedoman perilaku pemanfaatan sumberdaya laut di taka-taka. Meminta Izin Kepada atau Menghindar dari Hantu Laut di Taka Limpoge dan Taka Alusie dalam Perairan Pulau Sembilan, Sinjai. Beberpa taka dalam gugusan takataka Pulau Sembilan, menurut cerita nelayan setempat, dikenal sebagai tempat -tempat yang keramat. Dua taka di antaranya, yaitu Taka Limpoge dan Taka Alusie dipercayai oleh kebanyakan nelayan sebagai tempat -tempat paling angker. Menurut cerita beberapa nelayan, pada siang hari ketika nelayan sedang kelelahan atau mengantuk di atas perahunya tiba-tiba mendengar bunyi ayam jantan atau bahkan melihat bintang menyerupai kerbu atau kuda. Kemudian, ketika menyelam di dasar tanpa mengingat keangkeran taka-taka tersebut, orang yang sudah dalam keadaan terjebak sering melihat dasar karang menyerupai pemandangan di darat, ada pohon nangka, nenas, bambu, bahkan sering menyerupai pemukiman dengan jalan raya beraspal dan rumah -rumah penduduk. Di kedua Taka ini, menurut cerita nelayan, sudah ada beberapa nelayan setempat dan pendatang hilang dan belum didapat sampai s ekarang. Di awal tahun 2004 ketika saya (Munsi Lampe) sedang berada di Kambuno (Pulau Sembilan) dalam rangka melengkapi data untuk penulisan disertasi, masyarakat Kambuno digemparkan oleh peristiwa meninggalnya seorang nelayan akibat sakit keram karena menyelam di salah satu dari kedua taka yang angker tersebut. Kematian nelayan tersebut, menurut cerita teman kelompok kerjanya, disebabkan oleh terlalu banyaknya
waktu yang digunakannya menyelam di dasar karena tergiur dengan dan mau menangkap beberapa ekor lobster mutiara yang berada di dasar yang dalam. Nelayan tersebut, menurut perbincangan masyarakat Kambuno, tidak sadar kalau lobster -lobster yang dilihatnya mulai dari bagian dasar yang dangkal sampai pada bagian yang dalam sebetulnya merupakan jebakan han tu atau jin penjaga taka tersebut. Karena angkernya taka-taka tersebut sehingga di situ masih selalu ada biota -biota bernilai ekonomi tinggi sedangkan pada sebagian besar taka lainnya sudah terkuras sumberdayanya sejak pertengahan tahun 1990-an. Meminta restu kepada Raja Teripang/Teripang Berdiri (Gugusan Taka Kepulauan Spermonde). Dalam gugusan taka-taka Kepulauan Spermonde, terutama dalam perairan Kodya Makassar dan Pangkep, menurut cerita nelayan setempat, terdapat beberapa taka yang keramat. Di taka-taka yang keramat tersebut masih sering ditemukan biota-biota bernilai ekonomi tinggi yang pada sebagian besar taka-taka lainnya sudah menjadi biota langka karena intensifnya penangkapan. Salah satu tanda dari keramatnya sebuah taka ialah bilamana di situ ditemukan teripang jenis termahal dalam posisi berdiri, itulah raja teripang. Dipastikan, menurut cerita nelayan, bahwa di sekitar tempat teripang berdiri terdapat banyak teripang lainnya. Meskipun demikian, menurut nelayan, biasanya nelayan yang menemukannya lebih suka memutuskan mencari tempat lainnya daripada melanjutkan operasinya di situ. Beberapa nelayan yang mempunyai ilmu tinggi ketika menemukan teripang berdiri lalu duduk bersila di dasar meminta izin dan restu kepada raja teripang dan mahluk-mahluk halus untuk mengambil teripang -teripang lainnya yang bersembunyi di lokasi tersebut. 3. Praktik Pemanfaatan Sumber Daya Laut dan Pengelolaan Pantai yang Arif Lingkungan Memancing sunu pada sarang ikan yang dirahasiakan. Komunitas nelayan yang secara kolektif mempertahankan usaha pancing sejak dahulu kala ialah nelayan Pulau Liang-Liang di Pulau Sembilan. Tangkapan pancing ialah jenis -jenis ikan karang utama seperti sunu, kerapu, dan katamba (kakap). Di masa lalu, ikan -ikan ditangkap dalam kondisi segar, kemudian sejak awal periode 1990 -an dalam kondisi hidup untuk diekspor ke Hongkong dan Singapura. Nelayan yang kebanyakan beroperasi secara perorangan memancing di lokasi-lokasi batu (sarang ikan) pada beberapa taka yang sudah
diketahuinya masing-masing. Bagi nelayan Liang -Liang, batu-batu yang berada pada kedalaman 20 m sampai 30 m menyerupai milik komunal. Pengetahuan nelayan tentang letak-letak batu-batu bukan diperoleh dengan penemuannya sendiri, melainkan melalui pewarisan secara turun-temurun. Selama berpuluh -puluh tahun sebelumnya hanya nelayan pancing Liang-Liang yang mengetahui dan memanfaatkan sumber daya perikanan dari batu-batu pada beberapa taka. Karena merupakan milik komunal, sebuah lokasi batu bisa dilabuhi beberapa perahu panc ing. Jadi, meskipun sebagian besar nelayan bekerja sendiri-sendiri, namun mereka merupakan kelompok -kelompok juga karena posisi perahu-perahunya saling berdekatan satu dengan lainnya. Letak -letak batubatu di beberapa taka dalam dan sekitar Pulau Sembilan, menurut keterangan nelayan setempat, seperti pada tabel di bawah ini. Nama Taka Taka Malambere Taka Pasi’loangnge Taka Pangampi Taka Limpoge Taka Lakaranga (wil. Bone) Taka Lagenda (wil. Bone) Taka Laborao’ (wil. Bone) Taka Alusi Taka Tamprahidi (wil. Bone) Taka Malambere
Letak Batu selatan utara dan selatan ujung timur utara dan tengah utara dan selatan timur timur timur tengah selatan
Menurut keterangan nelayan setempat, terdapat dua alasan utama sehingga nelayan Liang-Liang tetap mempertahankan usaha pancing ikan karang di taka-taka, yaitu alasan keberlangsungan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Dengan penghasilan dari usaha pancing sehingga kehidupan ekonomi penduduk nelayan relatif sejahtera. Dengan teknik pancing yang ramah lingkungan sehingga tidak terjadi penangkapan berlebih dan kelestarian ekosistem terumbu karang te tap terjaga. Persoalannya karena sejak akhir periode 1990-an hingga sekarang praktik nelayan Liang -Liang yang arif lingkungan tidak berfungsi lagi karena terdominasi oleh aktivitas nelayan bius dari pulau lain. Kemerosotan sumberdaya perikanan dan kerusaka n ekosistem terumbu karang pun terjadi serta keterancaman penduduk dari kemiskinan. Budidaya laut yang melindungi lokasi dari praktik pemboman dan pembiusan di Batanglampe, Pulau Sembilan. Di banyak desa nelayan di Indonesia sebetulnya sudah
dimulai praktik budidaya laut, bahkan di beberapa tempat usaha yang prospektif tersebut sudah memberikan hasil yang cukup memuaskan bagi pengelolanya. Di Takalar, Jenneponto, Bantaeng, Bulukumba (Sulawesi Selatan) (lihat Anand Gaffar, 2005; Abraham Laode, 2005) dan beb erapa daerah dalam provinsi Sulawesi Tenggara (lihat Tang dkk, 2005) sudah banyak petani nelayan budidaya rumput laut yang memperoleh hasil panen yang memuaskan. Demikian halnya beberapa keluarga nelayan Pulau Sembilan (Sinjai) telah mencoba budidaya rumpu t laut, pembesaran bibit lobster dan kerang (japing, mutiara) dalam keramba sejak beberapa tahun lalu. Ruskimin di Batanglampe mengaku sudah berkali -kali memanen lobster, seperti halnya H.Duskin di Kambuno yang sudah pernah mengambil biji -biji mutiara hasil budidaya kerangnya (Lampe, 2006). Usaha budidaya di Pulau Sembilan tersebut sebetulnya merupakan alternatif nelayan (pengelolanya) dari aktivitas menangkap ikan yang dari hari ke hari hasilnya semakin merosot akibat dari penangkapan berlebih dan kerusaka n habitat terumbu karang. Dalam rangka pemberdayaan ekonomi nelayan, praktik usaha budidaya dari berbagai jenis biota laut bernilai ekonomi tinggi semestinya didorong dan difasilitasi pengembangannya. Upaya pengembangan usaha budidaya laut sebetulny a bukan hanya menjanjikan pendapatan ekonomi rumah tangga nelayan, tetapi juga merupakan suatu proses yang secara otomatis mengarah pada pembentukan dan penguatan kelembagaan hak-hak individual, kelompok keluarga, atau komunal atas lokasi -lokasi perairan tertentu. Terbentuknya kelembagaan hak -hak pemilikan dan kontrol seperti ini akan mengkondisikan terbentuknya pola -pola pemanfaatan sumber daya yang berkelanjutan dan tumbuhnya kesadaran lingkungan di kalangan masyarakat pengelola usaha perikanan budidaya laut. 3. Pemeliharaan Sumberdaya Hutan: Kasus Penanaman Mangrof Menanam bakau bagi perlindungan pemukiman dan pantai dari abrasi ombak di Tongke-tongke, Sinjai Timur. Penanaman dan pemeliharaan bakau di Tongke -Tongke dan sekitarnya merupakan salah satu contoh dari praktik komunitas pantai yang arif lingkungan yang efektif. Area hutan bakau Sinjai Timur dan Sinjai Utara sekarang telah menutupi kawasan pantai sepanjang minimal 5 km dengan lebar (ketebalan) bervariasi dari 50 m hingga 750 m ke laut. Dalam wilayah Dusun Tongke-Tongke saja ketebalan
hutan bakau bervariasi dari 500 m hingga 750 m atau lebih. Seperti halnya di mana -mana, lahan bakau itu pada mulanya adalah laut secara yang secara berangsur -angsur muncul sebagai tanah timbul dari proses penumpukan siss a-sisa yang tersaring pada akar -akar bakau. Umur pohon bakau Tongke -Tongke bervariasi dari 2 tahun hingga 25 atau 30 tahun. Hutan bakau yang luas tersebut terdiri dari petak -petak yang luasnya bervariasi dimiliki oleh keluarga-keluarga yang menanamnya. Hin gga sekarang, menurut Toyyeb (70 tahun) (tokoh masyarakat sekaligus ketua lembaga konservasi hutan bakau “Aku Cinta Lingkungan” (ACL), bahwa sampai sekarang (tahun 2004) masyarakat Tongke Tongke masih terus menanam bakau. Bagi mereka, aktivitas menanam bak au adalah mudah karena tersedianya bibit lokal yang melimpah dan mereka mempunyai keterampilan melakukan pembibitan, penanaman, dan pemeliharaan. Bagi masyarakat Tongke-Tongke yang sebagian besar nelayan, bakau sekarang mempunyai berbagai fungsi macam, sep erti untuk perlindungan pemukiman dari abrasi ombak laut, perolehan lokasi perumahan dari tanah timbul, perolehan lahan tambak yang dikonfersi dari lahan bakau, memanfaatkan daun -daun bakau untuk makanan kambing, perolehan kayu bakar, dan bahan bangunan ru mah kayu, dan sewaktu-waktu lahan bakau dapat diperjualbelikan ketika pemiliknya (mereka yang menanam bakau) memerlukan uang secara mendadak. Fungsi yang tak kalah pentingnya dari hutan bakau ialah sebagai tempat perkembangbiakan berbagai jenis biota (sumb erdaya perikanan) seperti kerang, kepiting, ikan, udang, dan lain -lain. Pada mulanya, menurut keterangan Pak Toyyeb, fungsi yang diharapkan dari menanam bakau hanyalah untuk perlindungan lahan pemukiman pantai dari ancaman abrasi ombak laut. Ketika hutan b akau semakin besar dan meluas areanya barulah masyarakat sadar akan berbagai kegunaannya yang praktis seperti tersebut di atas. Pembangunan Ballasa’ Untuk Mencegah Abrasi Pantai di Perairan Pantai Dalam Wilayah Desa Pasir Putih, Kec. Bola, Kab. Wajo. kkkk 4. Pemeliharaan Sumberdaya Lahan Pertanian Ideologi/kepercayaan dan Praktik Perladangan Berpindah -pindah pada Suku Muyu di Merauke –Papua (Rahmatia Lebu, 2005: hal 58 -86). Pekerjaan berkebun, khususnya membuka lahan dilakukan secara bergotong royong yang dipimpin oleh kepala suku. Dia yang memerintahkan kepada warga masyarakat dan rumpun kerabat.
Memilih tanah berwarna hitam karena subur dan cocok untuk hamper semua jenis tanaman: pisang (jum), jemen andu (keladi), kombili (wan), ubi jalar (bonding), sayur-sayuran, dan lain-lain. Ada kewajiban adat bagi setiap orang dewasa (terutama yang berkeluarga) memiliki lahan dan berkebun (jongbon). Tidak dikenal jual beli tanah/lahan pertanian. Lahan yang dibuka adalah hutan rimba primer dan sekunder subur yang pe rnah diolah dan menjadi miliknya (3 -4 ha), dimiliki dan diwariskan secara turu -temurun. Pembuktian kesuburan diperoleh dengan upacara/tritual: menyalakan api unggun dari kumpulan kayu-kayu kering. Setelah padam dan mendingin, di situ ditanami salah satu atau beberapa dari jenis-jenis tanaman pokok tsb. Kalau tanaman tumbuh dan berbuah dengan baik (subur, buah berisi, bersih, lurus) berarti cocok dan umur pemilik dipanjangkan Tuhan, kalau pertumbuhan kerdil, batang atau tandan patah berarti kurus dan salah s atu dari pemilik (suami, istri) sakit-sakitan atau meninggal dunia. Tanah yang bagus: basah, lembab, berwarna hitam. Tanah yang sudah tidak subur dimaknai penghuni/penguasa tanah (Ibu Pertiwi) tidak merestui lagi. Di mana-mana di hutan ada penguasa tanah. Tanpa seizing denganNya, panen gagal dan sial/celaka Setiap memulai kegiatan bercocok tanam terlebih dahulu berdoa memohon restu kepada Ibu Pertiwi. Hari dan angka tujuh adalah hari keberuntungan. Proses pekerjaan: mengundang warga/kerabat, meminta izin, p akai waruk/mantera dibaca dalam hati, setiap orang tahu: -Pohon ditebang kira-kira 1 meter diatas pangkal, supaya bertunas lagi nantinya. -Tidak boleh jatuh bersusun dan bersilangan/acak -acakan karena merumitkan pekerjaan -Dua minggu daun berguguran -Dahan dipotong lalu dipindahkan ke pinggir jadi pagar pelindung tanaman dari babi hutan -Daun tidak dibakar, karena nanti kepanasan pembusukan/humus secara merata, tanah gembur.
kulit
ibu,
jadi
terjadi
-Tanah tidak digali/dicangkul karena melukai dan menyakiti ibu, -Menanam dengan menancapkan kayu keras/tongkat yang diruncingkan (adot) untuk membuat lubang tanaman/bibit, tidak menyakiti ibu. -Tanaman tidak disiangi karena rumput liar adalah saudara kandung tanaman; kalau sudah panen jerami dan rumput liar yang s udah tua dibabat dan cepat lapuk, tidak
dibakar. Baru menanam lagi Rumput/tanaman liar akan alang -alang tumbuh bersama bibit dan memberikan kehidupan baik dan keberhasilan tanaman. Karena rumput mempunyai tugas pelindung tanaman, jadi nanti rela dipangkas kalau tanaman sudah hamper dipanen, agar proses panen lancer juga. Panen/pencabutan umbi dan sebagainya diawali dengan upacara syukuran dan doa pada Tuhan dan roh -roh halus, dan diundang warga kampong. Pemilik hanya memantau saja kebun dan tanaman. Hasil panen dikumpulkan dan tidak boleh dilangkahi dan diinjak, karena dia yang menghidupi, diangkut dengan baik ke rumah masing -masing, dijunjung atau dijinjing oleh ibu-ibu, bukan laki-laki, karena laki-laki tinggi derajatnya. Keladi dan kombili tinggi derajatnya, lebih awal daripada sagu dan umbi -umbian lainnya, suci, tidak boleh dijual, hanya dibagi -bagi, menjualnya sama dengan hina, harus dengan doa baru dikonsumsi.. -Kebun adalah tempat suci, karenanya orang/keluarga memasukinya dalam keadaan bersih, laki perempuan tidak boleh beriringan masuk, kalau dilanggar buah tanaman tidak akan sehat, keluarga akan damai bahagiakalau dipatuhi.. -Langit adalah Tuhan suami ibu yang menurunkan hujan kesuburan yang menggemburkan tanah. -jadi dengan upacara menghadirkan dan berkomunikasi dengan Tuhan Ibu Pertiwi, Bapak di langit, dan roh-roh halus di hutan. -Tanah adalah milik individual/keluarga yang diwariskan secara turun -temurun dan tidak diperjual bel8ikan. Hitungan hari tujuh: mim, ayop, ayomin, kaming, anggo, kum, dan ef (hari terbaik). Ibu berperanan dalam mengundang dan mengumpulkan warga kerabata untuk tenaga kerja. Makanan: sagu, babi, dan umbi -umbian, buah-buahan. Semua hasil adalah dinikmati keluarga, kerabat, dan warga masyarakat. (Bandingkan dengan pola pengelo laan hutan di Kajang). Praktik Penggunaan Pupuk Organik dan Pupuk Berimbang Pada Petani Manjalling, Kab. Goa. Petani sudah mengenal pupuk organik, bahan sejak dua musim penanaman terakhir petani melalui kelompok taninya memperoleh bantuan dari pemerintah pusat berupa mesin penghancur jeramih, daun -daunan dan sampahorganik lainnya untuk bahan pupuk organik. Untuk menghasilkan pupuk kompos yang baik, maka petani mendapat pembelajaran dari pakar pertanian dan pelatihan oleh penyuluh lapangan. Ada pun bahan unt uk membuat pupuk organic atau pupk kompos, yaitu jerami, ceeng gondok, tongkol jagung atau daun -daunan lainnya, air gula merah (gula aren) dan EM4 (zat organik yang berfungsi mempercepat pembusukan)
Jerami dan daun-daunan yang telah dihancurkan diberi camp uran larutan air gula dan diberi larutan EM4 yang dicampurkan ke dalam air alalu disemprotkan pada jerami dan daun-daunan yang telah dihancurkan. Menurut petani, bahwa beberapa jenis tanaman, termasuk jerami padi disamping berfungsi penyubur tanah, juga sek aligus sebagai racun bagi hama tanaman. Buktinya, menurut petani, padi yang menggunakan kompos tersebut lebih sedikit terserang penyakit dari pada yang hanya menggunakan pupuk dari bahan kimia. Ada beberapa petani yang memanfaatkan sampah rumah tangga yang tidak mengandung bahan kimia, kotoran ternak ayam, tahi kambing, dan daun daunan yang telah membusuk sebagai bahan penyubur tambahan yang disebarkan begitu saja ke bagian sawah yang agak kurus tanahnya. Secara umum petani mengikuti aturan pengguna pupuk b erimbang berdasarkan kebutuhan lahan. Jenis-jenis pupuk yang digunakan adalah : UREA, SP36, ZA dan KCL. Untuk lahan 1 Ha jika menggunakan pupuk berimbang dengan campuran 4 sak (200kg) UREA, 2 sak (100 kg) SP36, 2 sak (100 kg) ZA dan 2 sak (100 kg) KCL (ses uai dengan anjuran penyuluh pertanian), dapat menghasilkan 6 ton gabah, tetapi jika menggunakan pupuk kompos 250 kg dengan campuran pupuk setengah berimbang yaitu 100 kg Urea, 50 kg SP36, 50 kg ZA dan 50 kg KCL, maka akan menghasilkan 4 ton gabah. Dengan menggunakan pupuk kompos dan setengah berimbang, petani dapat menghemat biaya untuk membeli pupuk hingga 50%. Hanya saja hingga sekarang masih kurang petani yang menggunakan pupuk kompos, alasannya karena proses pembuatannya cukup rumit dan memerlukan waktu yang lama. Interpretasi Teoretis dan Efektivitas dari Praktik Kearifan Lingkungan Interpretasi Teoretiss. Segenap kasus lelembagan, kepercayaan/keyakinan, dan praktik yang dianggap mengandung kearifan lingkungan dapat dianalisis/dijelaskan dan dipahami dengan beberapa perspektif ekologi manusia yang dikemukakan di muka. Dari perspektif neofungsionalisme ekosistemik, kelembagaan Panglima Menteng, pranata usaha rumpon dan bagang, praktik-praktik budidaya laut, tradisi memancing pada batubatu yang dirahasiakan, dan menanam bakau dapat dijelaskan dan dipahami sebagai mekanis pengelolaan lingkungan dan sumberdaya laut. Mekanisme tersebut dimaksudkan oleh masyarakat setempat dalam rangka menjaga kondisi keseimbangan hubungan antara
manusia (pemanfaat) dan sumber daya laut atau sumberdaya perikanan. Perspektif ekosistem(ik) tersebut mengajukan asumsi -asumsi “keseimbangan” (equilibria), “sistem tertutup” (closed system) atau “sistem yang mengatur dirinya sendiri” ( self regulating system) (Rappaport, 1968; Vayda dan Rappaport, 1968). Meskipun asumsi-asumsi dari fungsionalisme ekosistemik tersebut telah dikritik oleh para pakar ekologi manusia generasi baru karena tidak sesuai dengan realitas (degradasi lingkungan, keterbukaan sistem, konflik -konflik antar pemanfaat) yang terjadi selama ini, namun beberapa kelembagaan, kepercayaan, dan praktik nelayan yang arif lingkungan digambarkan di muka masih memperkuat asumsi -asumsi neofungsionalisme ekosistemik tersebut. Lagi pula bahwa tatanan ekologi yang komunalistis seperti Panglima Menteng masih diinginkan oleh sebagian besar komunitas nelayan Bajo dalam kawasan Taka Bonerate sekarang. Dari perspektif materialisme budaya (salah satu varian neofungsionalisme dalam ekologi manusia) (Harris, 1987), kepercayaan dan keyakinan ber bagai komunitas nelayan terhadap tempat-tempat keramat seperti telah diidentifikasi di muka, dapat dipahami sebagai pranata-pranata hasil pertimbangan rasional untung rugi ( cost-benefit considerations) masyarakat nelayan generasi sebelumnya dalam rangka me mpertahankan keseimbangan kondisi sumberdaya laut dan pemanfaatannya masing -masing, sebaliknya praktik-praktik eksploitatif yang dapat menimbulkan kerugian material harus dihindarikan. Memadainya pranata -pranata seperti itu tecermin dari keyakinan atau kepercayaan serta praktik-praktik yang penuh kehati -hatian, tidak serakah, tidak takabbur, memohon, menyandarkan diri, atau menghindar, dan sebagainya. Adapun pertimbangan-pertimbangan rasional untung rugi ( cost-benefit considerations) yang mendasari praktik berada pada tataran bawah sadar komunitas -komunitas masyarakat nelayan generasi baru sekarang. Fenomena
kepercayaan
terhadap
tempat -tempat
keramat
di
laut
yang
mempengaruhi praktik-praktik nelayan yang arif lingkungan rupanya tepat juga dijelaskan dan dipahami menurut perspektif komunalisme dari Palsson (1996). Komunalisme yang disenangi oleh Palsson, adalah salah satu dari ketiga paradigma yang dibangunnya (orientalisme, paternalisme, dan komunalisme) untuk menjelaskan dan memahami fenomena relasi komunita s-komunitas nelayan Islandia dengan lingkungan
alam lautnya. Ketiga paradigma tersebut dibangun berdasarkan realitas sosial budaya masyarakat nelayan Islandia dari era tradisional (komunalistis) ke era pembangunan ekonomi (perikanan) nasional (paternalisti s) melalui era ekonomi perikanan modern yang kapitalistis (orientalistis). Dengan kedua orientalisme dan paternalisme, manusia dianggap sebagai penguasa dan pemilik ( masters) alam (nature), bedanya karena yang pertama ‘mengeksploitasi’ ( exploits) dan mendominasi, sedangkan yang kedua ‘melindungi’ (protects). Komunalisme berbeda dengan kedua sistem relasi pertama, karena ini menolak perbedaan dan pemisahan ekstrim antara alam dan masyarakat dan antara ilmu pengetahuan dengan pengetahuan praktis. Dari segi ci ri-ciri tatanan dan kronologi sejarahnya, ketiga paradigma tersebut adalah aplikatif dalam menjelaskan dan memahami kompleksitas interaksi nelayan dengan lingkungan ekosistem terumbu karang di kawasan Taka Bonerate, dari masa awal yang dicirikan dengan sis tem-sistem tradisional lokal (komunalisme), ke masa berikutnya yang dicirikan dengan komersialisasi, kapitalisme, dan pasar global (orientalisme), hingga periode yang ditandai dengan intervensi pemerintah nasional, para saintis, LSM dan Lembaga -lembaga donor dalam negri dan luar negri (paternalisme). Dari perspektif/paradigma konstruksionisme (dari Palsson, 1996), kepercayaan atau keyakinan terhadap tempat -tempat keramat di laut dilihat sebagai pola -pola hubungan antara subjek-subjek manusia dan mahluk -mahluk halus, hantu, jin, Tuhan, dewa, benda benda berkekuatan supernatural, dan sumberdaya hayati laut itu sendiri. Hubungan hubungan antara subjek-subjek tersebut membentuk kesatuan komunalisme, bukan hubungan antara subjek manusia dan objek alam yang dieksp loitasi. Kondisi positif kelestarian lingkungan dan kelimpahan sumberdaya laut dipahami sebagai dampak dampak yang dimaksudkan ( intended consequencies) atau diprediksikan dari tatanan hubungan ekologi antarsubjek yang komunalistis. Untuk studi ilmiah meng enai fenomena kearifan lingkungan dalam rangka revitalisasi dan pengembangan kelembagaan, pengetahuan, dan praktik -praktik tradisional berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya laut yang berkelanjutan dan lestari tepat juga digunakan pendekat an masalah praktis lingkungan (salah satu pendekatan ekologi manusia) dari Milton (dalam Ossewijer, 2001). Dengan pendekatan tersebut, milton menawarkan tiga peranan antropolog/etnografer (semacam
fokus studi). Pertama, untuk sampai pada suatu pemahaman ya ng lebih baik mengenai hubungan dialektik antara manusia dan lingkungan alamnya diperlukan suatu fokus penelitian pada cara-cara suatu komunitas memahami lingkungan alamnya, bagaimana caranya berinteraksi dengan lingkungan dalam bentuk aktivitas eksploitas i, kenapa mereka melakukannya, dan dampak apa ditimbulkan oleh aktivitas -aktivitas tersebut pada lingkungan (negatif atau positif). Peranan ini sesungguhnya merupakan suatu kontinyuitas peranan antropologi ekologi, yang mana pengetahuan hasil koleksi para antropolog dapat menginformasikan dan menginstruksikan kepada orang -orang tentang cara-cara hidup berkelanjutan. Kedua, menjadikan environmentalism itu sendiri sebagai suatu objek studi dengan memahaminya sebagai fenomena budaya dunia. Konsep environmentalism sebagaimana digunakan orang-orang dari berbagai latar budaya -- birokrasi regional dan nasional, organisasi donor multilateral, ornop lingkungan internasional dan nasional -- diteliti para antropolog agar supaya memahami motivasi -motivasi dan kegiatan-kegiatan mereka dalam arena politik internasional. Peranan kedua tersebut, menurut Escobar, Milton, dan Brosius (Osseweijer, 2001: 12), dapat ditempatkan di bawah antropologi ekologi ‘klasik’ yang dipengaruhi oleh postmodernisme dan didasarkan pada pendeka tan ekologi politik. Ketiga, keterlibatan antropologi dalam isu
environmentalism telah meluas
melampaui aspek akademisi murni dengan perspektif kritisnya pada wacana lingkungan. Dengan peranan tersebut, menurut Brosius, antropologi terlibat dalam suatu ben tuk praksis lingkungan (Osseweijer, 2001: 13). Efektivitas dari Praktik Arif Lingkungan. Kearifan lingkungan laut sebagaimana digambarkan dan dianalisis dari beberapa perspektif ekologi manusia di atas harus dibuktikan dengan realitas evektivitasnya menuru t pengakuan masyarakat pendukung yang mempraktikkannya. Di masa lalu ketika kelembagaan Panglima laut (berpusat di Rajuni) masih difungsikan oleh msyarakat nelayan Bajo, menurut beberapa orangtua yang pernah mengalaminya secara langsung, lingkungan kawasan Taka Bonerate yang tertutupi hamparan terumbu karang dalam kondisi sangat baik, sementara berbagai biota yang hidup di situ, khususnya sumberdaya perikanan, tetap dalam kondisi berkecukupan. Terdapat empat ciri perilaku dan aturan pemanfaatan setempat yan g menjamin terjaganya kondisi tersebut, yaitu sistem penjadwalan aktivitas penangkapan dan aturan kuota
tradisional, tidak digunakannya teknologi eksploitasi yang merusak lingkungan dan menguras populasi sumberdaya perikanan, kepercayaan terhadap tempat -tempat keramat di laut, dan diterapkannya sistem penguasaan wilayah (kawasan Taka Bonerate) secara komunal setempat, yang tertutup bagi orang -orang luar. Usaha perikanan rumpon dan bagang, menurut nelayan pengelolannya, secara relatif menjamin kelestarian ek osistem laut dan keseimbangan populasi ikan -ikan target. Seperti dijelaskan di muka bahwa unsur kearifan lingkungan dari kedua bentuk usaha perikanan tradisional tersebut terletak pada fungsinya sebagai pranata penguasaan lokasi perikanan dan sifat selekti f dari net pukat yang digunakannya. Efetivitas dari usaha rumpon antara lain diceritakan oleh nelayan rumpon dari Kampung Nipa (Bulukumba Barat) dan Kampung Kassi (Bulukumba Timur). Menurut keterangan nelayan bahwa ketika kedua unsur aturan dan teknik masi h difungsikan secara ketat hingga pertengahan periode 1980-an, maka kondisi terumbu karang pada gugusan taka-taka di perairan pesisr Bulukumba bagian barat dan Teluk Bone pada umumnya masih baik sekali. Di lokasi lokasi rumpon pada musim ikan, menurut ceri ta nelayan, kelompok-kelompok ikan dari berbagi jenis di situ tampak
bagaikan pagar yang bersusun -susun di dasar dan
permukaan laut. Cerita seperti ini juga diungkapkan oleh nelayan -nelayan generasi tua dari Burungloe – Pulau Sembilan (Sinjai) dan nelayan Madello (Barru). Mengenai tempat-tempat yang dianggap keramat, efektivitasnya bukan hanya ditunjukkan dengan cerita-cerita nelayan generasi tua yang pernah mengalaminya sendiri di masa lalu, mlainkan juga oleh nelayan -nelayan generasi muda dari berbagai k omunitas di Sulawesi Selatan yang seringkali beroperasi pada tempat -tempat keramat tersebut di masa sekarang. Dari nelayan Taka Bonerate diperoleh keterangan bahwa meskipun pada kebanyakan taka dalam kawasan Taka Bonerate sudah terkuras populasi jenis -jenis sumberdaya perikanannya, namun pada taka-taka Bulan, Balaloong, Kumai (bagian selatan), Taka Balanda, Taka Meriam (bagian tenggara), Bungin Tinanja (bagian timur), Taka Latondu, Taka Rajuni (bagian barat), Taka Lamungan, dan Gantarang (bagian utara) ternyata nelayan masih seringkali melihat cukup banyak biota laut dari berbagai jenis bernilai ekonomi tinggi berupa ikan, teripang, kerang (terutama kima), dan lain lainnya. Demikian pula, menurut keterangan, terumbu karang pada taka-taka tersebut masih dalam kondisi baik atau lumayan. Kondisi ekosistem terumbu karang dan
sumberdaya di situ dimungkinkan oleh ketidakleluasaan dan sikap kehati -hatian pada atau penghindaran kebanyakan nelayan dari tempat -tempat keramat tersebut. Mengenai Taka Gantarang yang dipercayai sangat keramat, saya pernah menanyakannya kepada seorang nelayan dari Pulau Jinato, yang dikenal sebagai pembom paling terkenal dan berani dalam Kawasan Taka Bonerate. Dia mengungkapkan: “Saya lebih memilih berurusan dengan pihak keamanan dan masuk k eluar dari tahanan daripada masuk dan membom dalam lokasi yang keramat itu. Tempat itu paling saya takuti di Kawasan Taka Bonerate selama ini.” (Wawancara bulan Juli, 1997/1998). Seorang nelayan senior sekaligus tokoh tokoh masyarakat Desa Tarupa (Kawasan Taka Bonerate) juga menceritakan kondisi sumberdaya perikanan di Taka Gantarang yang keramat yang mengatakan: “Dahulu, lokasi pada dan sekitar tembikar kembar kuno yang keramat dipenuhi dengan ikan-ikan besar dan kecil, banyaknya sulit diungkapkan dengan k ata-kata. Di lokasi itu ada sejenis ikan yang sangat ganas, kalau perahu lewat di situ orang tidak berani menurunkan kakinya ke air laut karena takut dikerumuni dan digigit oleh ikan-ikan yang ganas itu. Pada mulut lubang gurita yang menjaga tembikar keramat itu tampak ana-anak ikan yang luar biasa banyaknya masuk keluar dari lubang tersebut. Pada musim timur di bulan sembilan hingga bulan sepuluh, ikan ikan karang di sini melakukan peneluran dengan cara melompat -lompat ke atas sambil melepaskan telurnya. T empa dalam dan sekitar lokasi tembikar dan lubang gurita rupanya pusat peneluran dan pembiakan ikan -ikan dalam kawasan Taka Bonerate.” (Wawancara bulan Juli 1997/1998). Kepercayaan pada adanya tempat -tempat keramat dalam gugusan Taka Pulau Sembilan dan gugusan Taka Kepulauan Spermonde juga memperlihatkan indikator efektivitasnya sebagai mekanisme perlindungan ikan -ikan dan biota-biota bernilai ekonomi lainnya dari ancaman penangkapan yang intensif. Buktinya bahwa meskipun sejak paruh kedua periode 1990 -an hingga sekarang kebanyakan taka dalam perairan Pulau Sembilan sudah terkuras sumberdaya perikanannya, namun pada beberapa taka yang dianggap keramat, termasuk Taka Limpoge dan Taka Alusie nelayan masih seringkali mlihat banyak teripang, ikan, kerang, dan lo bster yang besar-besar di situ. Sama halnya dalam gugusan Taka Kepulauan Spermonde, yang menurut keterangan nelayan, taka-taka di mana bertempat raja teripang, masih sering ditemukan banyak teripang termasuk jenis-jenis yang bernilai ekonomi tinggi.
Praktik memancing ikan-ikan pada batu-batu (sarang ikan pada batu-batu karang) juga evektif di masa lalu sebelum lokasi -lokasi sarang ikan yang dirahasiakan dan dimiliki nelayan Liang-Liang (Pulau Sembilan) secara kolektif belum diterobos dan dikuasai oleh nelayan pengguna bius dari pulau tetangganya. Indikator efektivitas praktik tersebut ialah terjaganya kelestarian ekosistem terumbu karang dan melimpahnya populasi dari berbagai jenis biota laut bernilai ekonomi tinggi, khususnya ikan sunu, kerapu, kakap, napoleon, yang menjadikan terumbu karang sebagai habitatnya. Seorang nelayan senior Liang-Liang menceritakan: “Di sore hari dalam tahun 1980 -an, saya pernah memancing di sebuah taka tidak jauh dari Pulau Liang-Liang ini. Karena banyaknya ikan di taka itu sehing ga tidak sampai setengah jam lamanya saya memancing lalu perahu sampanku sudah penuh dengan sunu, kerapu, dan katamba (kakap). Napoleon yang tertangkap saya lepaskan kembali karena belum laku di pasar pada waktu itu. Karena banyaknya tangkapan sehingga dal am pelayaran kembali ke pulau ini perahuku hampir tenggelam.” (Wawancara bulan September, 2003). Mengenai praktik budidaya laut, meskipun belum lama dicoba oleh sebagian komunitas nelayan, namun terbukti juga telah menunjukkan tanda -tanda dampak positifnnya bagi pemulihan ekosistem terumbu karang yang pernah mengalami kerusakan serius karena perilaku nelayan pengguna bahan peledak dan bius beracun. Ruskimin (52 tahun) di Batanglampe (Pulau Sembilan), seorang nelayan yang sejak tahun 1995 mulai mempraktikkan peneluran dan pembesaran bibit lobster dan kerapu dalam keramba. Selain lobster dan ikan, Ruskimin juga membudidayakan teripang dan rumput laut. Karena lokasi dalam dan sekitar budidaya diawasinya setiap saat sehingga karang -karang yang pernah mengalami kerusakan parah di dasar mulai bertunas dan tumbuh dengan segar. Lokasi tersebut juga mulai kaya dengan anak -anak ikan dan lobster, yang menurut Ruskimin, pada mulanya dari bibit yang menetas dalam keramba -keramba miliknya. Di sini ada proses pemulihan atau pembentukan habitat atau ekosistem baru melalui praktik budidaya laut. Sejak tahun 1996, menurut Ruskimin yang berpikiran jenius, keluarganya sudah menikmati hasil yang lumayan dari usaha budidayanya. Penanaman bakau oleh komunitas nelayan pantai di Tongk e-Tongke merupakan praktik pengelolaan pantai yang paling menyolok indikator keberhasilannya di Sulawesi Selatan. Atas inisiatif masyarakat setempat secara kolektif, maka area laut sejauh 750 m hingga 800 m ke laut telah dirampas dan diubah menjadi hutan b akau. Menurut
pengakuan masyarakat, bahwa dengan hutan bakau tersebut pemukimannya telah aman dari ancaman abrasi ombak laut yang ganas di musim timur dan pancaroba, perahu perahu nelayan yang diparkir terlindungi dari terik matahari, dan sebagian besar ke luarga nelayan telah mendapatkan area tanah timbul untuk berbagai kepentingan (lahan pemukiman dan tambak yang baru). Hal berkaitan dengan fungsi konservasi lingkungan bahwa hutan bakau telah membentuk ekosistem baru dengan rantai ekosistem yang kompleks. Hutan bakau pada lapisan dasar telah membentuk rantai ekosistem dari berbagai jenis ikan, kepiting, kerang, belut laut, ular, biawak, dan lain -lain. Pada lapisan permukaan, hutan bakau menjadi habitat dari berbagai jenis burung, terutama kelelawar. Pada ti ngkat fungsi makronya, hutan bakau Tongke-Tongke dan sekitarnya telah mampu melindungi pemukiman penduduk pantai timur Sinjai dari peristiwa tsunami yang berpusat di Maomere pada awal tahun 1990-an. Demikian pula sebaliknya, ekosistem tersebut hingga batas -batas tertentu dapat melindungi pertumbuhan terumbu karang kawasan Taka Pulau Sembilan dari pencemaran yang bersumber dari darat di musim penghujan. Perlu diingat bahwa kondisi terjaganya ekosistem mangrof Tongke -Tongke ditentukan oleh pengelolaan komunit as sebagai komponen pemanfaat dan penyumbang dari ekosistem tersebut. Penutup Pada bagian pendahuluan telah ditunjukkan mengenai fenomena kerusakan ekosistem-ekosistem terumbu karang dan mangrof serta kemerosotan sumber daya perikanan bernilai ekonomi bera sosiasi dengan ekosistem -ekosistem tersebut sebagai akibat penggunaan sarana tangkap yang destruktif dan eksploitatif. Bahkan kondisi lingkungan dan sumber daya laut tersebut telah berdampak lebih jauh pada konflik konflik antara kelompok-kelompok nelayan dan meluasnya kemiskinan penduduk nelayan pulau-pulau. Kalau demikian halnya, dampak dari perilaku tersebut sebetulnya telah melampaui bahaya ‘ tragedy of the commons’, yang semata mempersoalkan kemerosotan sumber daya perikanan milik umum. Mengacu
pada
pendekatan
masalah
praktis
lingkungan
dalam
ekologi
manusia/antropologi ekologi dari Milton (dalam Osseweijer, 1999), dalam makalah ini diajukan beberapa saran penting sebagai berikut. Pertama, studi -studi tentang kearifan lingkungan,
khususnya
lingkun gan
laut,
perlu
digalakkan
untuk
memperoleh
data/informasi akurat sebanyak mungkin yang diperlukan dalam rangka membuat berbagai model pengelolaan lingkungan dan pemanfaatan sumberdaya laut yang berkelanjutan dan lestari. Kedua para pakar budaya (antro polog atau etnografer) diharapkan keterlibatannya secara aktif dalam mengkaji visi dan misi kaum environmentalism dunia sebagai fenomena budaya dunia. Kaum environmentalism melibatkan lingkungan birokrasi regional dan nasional, organisasi donor multilatera l, ornop lingkungan internasional dan nasional. Fenomena environmentalism tersebut perlu dikaji agar dapat dipahami motivasi-motivasi dan kegiatan-kegiatan mereka dalam arena politik internasional. Ketiga, antropolog/etnografer perlu dilibatkan lebih jauh dalam bentuk-bentuk praksis lingkungan (menggali informasi dari masyarakat, membujuk para stakeholders, ikut serta dalam perumusan kebijakan dan penyususnan program kegiatan, berpartisipasi dalam kegiatan konservasi lingkungan, evaluasi, dan sebagainya). Salah satu contoh keikutsertaan para praktisi antropologi dalam program kegiatan konservasi lingkungan ialah penanaman bakau bersama petani tambak dan nelayan di Wajo tahun 1998. Konon sekarng, bakau yang ditanam sudah mulai membentuk dinding pelindung pan tai (green belt). Untuk melakukan pemberdayaan dan pengembangan komunitas -komunitas nelayan pesisir berkaitan dengan pengelolaan lingkungan dan pemanfaatan sumberdaya laut secara berkelanjutan dan lestari (membangun sistem ekologi dengan paradigma komunalisme terbuka) diperlukan suatu pendekatan yang sesuai dan aplikatif. Dengan menyesuaikan pada karakteristik ekosistem laut (terumbu karang, mangrof) yang mencakup komponen dan perilaku komunitas manusia pemanfaat dari berbagai tempat dan kelompok etnis (ci ri keterbukaan ekosistem) di Sulawesi Selatan, maka bukan pendekatan dari atas (top-down/government-based management), bukan pula pendekatan sepenuhnya dari bawah ( buttom-up/extreme community-based management) yang dianggap lebih tepat, melainkan memilih s uatu pendekatan yang menggabungkan kekuatan-kekuatan dari berbagai pendekatan yang ada. Untuk itu, disarankan menggunakan pendekatan pengelolaan terpadu/kemitraan ( integrated/co-management). Pendekatan tersebut dimaksudkan sebagai pelibatan semua pihak yan g berkepentingan (stakeholders) seperti nelayan, pedagang, pengusaha, pemerintah dengan berbagai
instansi terkait, lembaga ilmiah dan perguruan tinggi, LSM, lembaga donor, dan lain -lain. Pelibatan tersebut bukan hanya dalam membicarakan bersama kepentingan -kepentingan atau kebutuhan-kebutuhan masing-masing, persosalan yang dihadapi, dan menyiapkan resep-resep pemecahan masalah, melainkan juga dalam merumuskan kebijakan -kebijakan formal, implementasi dari program -program kegiatan yang dibuat bersama, dan pengawasan serta evaluasi terhadap jalannya dan hasil dari implementasi kebijakan dan program yang telah disepakati. Daftar Pustaka Anand Gaffar, Muhammad. 2005. Analisis Produksi Petani Rumput Laut di Kelurahan Bintarore Kecamatan Ujung Bulu Kabupaten Buluk umba. Tesis S2. Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar. Arifin, Ansar dan Munsi Lampe. 1999/2000. Model Pengembangan Sosial Ekonomi Nelayan di Sulawesi Selatan yang Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan . Hasil penelitian oleh Yayasan Pengem bangan Agro-Maritim (YPMA) dibiayai Bappeda Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan. Dahuri, Rokhmin dkk. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Harris, Marvin. 1987. The Rise of Anthropologi Theory . Crowell, New York. Kusumaatmadja, Sarwono. 1999. “Pokok -pokok Kebijakan Pembangunan Kelautan Nasional”. Makalah. Seminar Nasional Pembangunan Kelautan, Indonesia (peringatan 40 th Deklarasi Djuanda). Kerjasama Antar Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri Se Indonesia Timur (BKS PTN INTIM) dengan Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan, Makassar. Laksono, P.M. dan kawan-kawan. 2000. Perempuan di Hutan Mangrove: Kearifan Ekologis Masyarakat Papua . Galang Press: Yogyakarta. Lampe, Munsi. 1995. Sistem Penguasaan Wilayah Perikanan dan Pemanfaatan Sumber daya Hayati di Laut oleh Masyarakat Nelayan Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan. Diterbitkan oleh Bagian Proyek Pengkajian dan Nilai -nilai Budaya Sulawesi Selatan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan R I. ______1999. Potensi dan Kendala dalam Pengelolaan Terumbu Karang: Pedoman Untuk Intervensi Berbasis Masyarakat (Abd. Rahman Patji ed.). Kerjasama antara Proyek Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang (COREMAP) dengan Puslitbang Kependudukan dan Kete nagakerjaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPT-LIPI) Jakarta. ______2006. Pemanfaatan Sumberdaya Taka oleh Nelayan Pulau Sembilan: Studi Tentang Variasi Perilaku Nelayan dan Konsekuensi Lingkungan dalam Konteks Internal dan Eksternal. Disertasi. Progr am Studi Antropologi, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Lampe, Munsi, Darmawan salman, dan Ansar Arifin. 1996/1997. “Studi Analisa Sosial – COREMAP Propinsi Sulawesi Selatan”. Laporan penelitian. Universitas Hasanuddin –PPT-LIPI. Jakarta. Proyek Dibiayai Bank Dunia. ______1997/1998. “Studi Analisa Sosial – COREMAP Propinsi Sulawesi Selatan”. Laporan penelitian. Universitas Hasanuddin – PPT -LIPI. Jakarta, Proyek dibiayai oleh Bank Dunia. Lampe, Munsi, Mardiana, dan Ramli A.T.2000. “ Studi Pemanfaatan Sumberdaya Laut dalam Rangka Optimasi Zonasi Taman Nasional Taka Bonerate”. Laporan penelitian. Universitas Hasanuddin Bekerjasama COREMAP LIPI, Jakarta. Laode, Abraham. 2005. Pemberdayaan Komunitas Petani Rumput Laut di Borong Kalukua di Kelurahan Pallantikang Kecamatan Bantaeng Kabupaten Bantaeng. Tesis S2. Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar. McCay, Bonnie J. 1978. “System Ecology, People Ecology, and the Anthropology of Fishing Communities”. Human Ecology. Vol. 6, No. 4 : 397-422. Osseweijer, Manon. 2001. Taken at the Flood: Marine Resource Use and Management in the Aru Islands (Maluku, Eastern Indonesia). Disertasi, Universiteit Leiden, Nederland. Palsson, Gisli. 1991. Coastal Economies, Cultural Accounts: Human Ecolo gy and Icelandic Discourse. Manchester University Press. ______1999. “Human-Environmental Relations: Orientalism, Paternalism, and Communalism.” Dalam Nature and Society: Anthropological Perspectives (Philippe Descola dan Gisli Palsson eds.). Routledge, L ondon, New York. Pujo Semedi. 2001. “Closed to the Stone, Far From the Throne: The Story of A Javanese Fishing Community, 1820s -1990s”. Disertasi. Faculteit der Maatschappij -en Gedragswetenchappen, Universiteit van Amsterdam. Raharjo, Yulfita. 1995. “Propo sal Studi Analisis Sosial Untuk Perencanaan Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang (COREMAP) di Indonesia”. PPT -LIPI, Jakarta. Rappaport, Roy A. 1968. Pigs for The Ancestors: Ritual In the Ecology of New Guinea People. Yale University Press, New Have n. Saad, Sudirman. 2000. “Hak Pemeliharaan dan Penangkapan ikan, Eksistensi dan Prospek Pengaturannya di Indonesia”. Disertasi. Progaram Studi Hukum, Fakultas. Pascasarjana UGM, Yogyakarta.
Tang, Mahmud dan Munsi Lampe. 2005. Bentuk -bentuk Sekuritas Sosial dalam Komunitas-komunitas Nelayan Miskin Perkotaan Kawasan Timur Indonesia. Laporan Penelitian Kerjasama Lembaga Penelitian Unhas dengan Departemen Sosial RI. Tim PSTK-Unhas. 2001/2002. Penataan Lingkungan Kawasan Bahari Terpadu di Pulau Sembilan – Sulawesi Selatan” (2001/2002). Laporan Penelitian. Direktorat
Jenderal Urusan Pesisir Pantai dan Pulau -pulau Kecil Depatemen Kelautan dan Perikanan Bekerja sama Dengan Pusat Studi Terumbu Karang Unhas. Vayda, Andrew P. dan Bonnie J. McCay. 1975. “New Directions in Ecology and Ecological Anthropology”. Vayda, Andrew P. dan R. A. Rappaport. 1968. “Ecology, Culture and Non -culture”. In J.A. Clifton (ed.), Introduction to Cultural Anthropology . Houghton-Mefflin, Boston, pp. 477 – 497. Wahyono, Ary dkk. 2000. Hak U layat Laut di Kawasan Timur Indonesia. Penerbit Media Pressindo (Anggota IKAPI) bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan the Ford Foundation. Winarto, T. dkk. 1999. Abrasion, mangrove Conservation, Coral Reef Degradation . Departemen Antropologi Fisip – Univ. Indonesia dan UNESCO, Jakarta.
LOKAKARYA MENGGALI NELAYAN -NELAYAN KEARIFAN LINGKUNGAN DI SULAWESI SELATAN
KEARIFAN LINGKUNGAN DALAM WUJUD KELEMBAGAAN, KEPERCAYAAN/KEYAKINAN, DAN PRAKTIK Belajar dari Kasus Komunit as-Komunitas Nelayan Pesisir dan Pulau Pulau Sulawesi Selatan
Oleh Munsi lampe
Laboratorium Jurusan Antropologi bekerjasama dengan Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Regional Sulawesi, Maluku, dan Papua. Lokakarya diadaka n pada tanggal 10 Agustus 2006 di Ruang Bangun Praja PPLH Regional Semapapua, Makassar.