ANALISIS PERADILAN AGAMA DI INDONESIA Oleh: Yudha Eka Prasetya
(170710101161)
Virgialno Devara Alifiyardi
(170710101359)
I Gede Yamadhiva Ps
(170710101493)
Fakultas Hukum Universitas Jember ABSTRAK Religious Court in Indonesia has a long history in accordance with the history of Islam in Indonesia. Since the enactment of Law No. 7 in 1989, religious courts have gained an equal position, in terms of jurisdiction, to other courts in Indonesia, a status that took a considerable time to realize. This Journal portrays the development of religious court on Indonesia. Further, this journal also explained about religious courts under the auspices of the Supreme Court. Keywords: religious court, Indonesia, development Peradilan Agama di Indonesia memiliki sejarah panjang sesuai dengan sejarah Islam di Indonesia. Sejak diberlakukannya UU No. 7 pada tahun 1989, pengadilan agama telah mendapatkan posisi yang sama, dalam hal yurisdiksi, dengan pengadilan lain di Indonesia, status yang membutuhkan waktu cukup lama untuk direalisasikan. Oleh karena itu, dalam jurnal ini akan menggambarkan perkembangan pengadilan agama di Indonesia. Lebih lanjut, jurnal ini juga menjelaskan tentang peradilan agama di bawah naungan Mahkamah Agung. Kata kunci: Peradilan agama, Indonesia, Pengembangan I. PENDAHULUAN Peradilan adalah proses pemberian keadilan di suatu lembaga yang disebut pengadilan. Pengadilan adalah lembaga atau badan yang bertugas menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dari sini sudah dapat ditarik kesimpulan bahwa Peradilan agama adalah proses pemberian keadilan berdasarkan hukum agama islam kepada orang-orang Islam yang dilakukan di Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. Peradilan agama, dalam sistem peradilan nasional Indonesia, di samping Peradilan umum, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara, merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman dalam Negara Republik Indonesia yang mempunyai kedudukan yang sama atau sederajat dengan kekuasaan yang berbeda.1 1
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar ilmu hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014). Hlm. 278
Peradilan Islam di Indonesia yang selanjutnya disebut dengan Peradilan Agama telah berada di nusantara jauh sejak zaman masa penjajahan Belanda. Bahkan menurut pakar sejarah peradilan, peradilan agama sudah ada sejak Islam masuk ke Indonesia, yaitu melalui tahkim, dan akhirnya pasang surut perkembanganya hingga sekarang Peradilan Agama sebagai wujud peradilan Islam di Indonesia dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. (1). Secara filosofis peradilan dibentuk dan dikembangkan untuk menegakkan hukum dan keadilan; (2). Secara yuridis hukum Islam (di bidang perkawinan, kewarisan, wasiyat, hibah, wakaf dan sodaqoh) berlaku dalam pengadilan dalam lingkungan peradilan Agama;(3). Secara historis peradilan agama merupakan salah satu mata rantai peradilan agama yang berkesinambungan sejak masa Rasulullah; (4), secara sosiologis peradilan agama didukung dan dikembangkan oleh masyarakat Islam.2 Pengadilan Agama sebagaimana keadaannya dari tahun ke tahun dibentuk dalam suasana yang berbeda. Di jaman pejajahan Belanda, Pengadilan Agama yang ada di Jawa, Madura, dan di sebagian bekas kerisidenan Kalimantan Selatan dan Timur, lahir dan tumbuh dalam suasana kolonial, sedang Pengadilan Agama di luar daerah itu lahir dan tumbuh dalam suasana kemerdekaan. Perbedaan suasana pembentukan, sejarah pertumbuhan dan perkembangannya menyebabkan perbedaan nama dan kewenangannya. Setelah Indonesia Merdeka perbedaan penyebutan nama telah diseragamkan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan secara lebih tegas dicantumkan dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 1970 dengan sebutan Pengadilan Agama untuk seluruh wilayah Indonesia. Sedangkan perbedaan kewenangan Pengadilan Agama disamakan oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.3 Pengesahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama itu merupakan peristiwa penting bukan hanya bagi pembangunan perangkat hukum nasional, tetapi juga bagi umat Islam di Indonesia. Sebabnya adalah, dengan disahkannya undang-undang tersebut semakin mantaplah kedudukan Peradilan Agama sebagai salah satu badan pelaksana kekuasaan kehakiman yang mandiri di tanah air kita dalam menegakkan hukum berdasarkan hukum islam bagi pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara-perkara (perdata) di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan sedekah yang telah menjadi hukum positif di tanah air kita. Dengan undang-undang ini, pemeluk agama Islam yang menjadi bagian terbesar penduduk Indonesia, diberi kesempatan untuk menaati hukum Islam yang menjadi bagian mutlak agamanya, sesuai dengan jiwa Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 terutama ayat (2) nya.4 Lahirnya perundang-undangan dan peraturan di atas juga 2
Abdul Halim, Peradilan Agama Dalam Politik Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000). Hlm. 33-34. 3 Zainuddin Ali, Hukum Islam: Pengantar ilmu Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika 2018). Hlm. 91. 4 Daud Ali, Op Cit, Hlm. 282-283.
merupakan bentuk pengakuan yang nyata terhadap hukum Islam dan sekaligus Peradilan Agama sebagai pelaksanya. Dengan adanya pengakuan secara de jure dan de facto, baik dari masyarakat maupun oleh negara, maka Peradilan Agama dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara mantap tanpa ada pengaruh dan keterikatan dengan lembaga lain, sehingga menjadi sebuah lembaga yang dapat menciptakan keadilan di tengah-tengah masyarakat. Peradilan Agama dalam bentuk yang dikenal sekarang ini merupakan mata rantai yang tidak terputus dari sejarah masuknya agama Islam. ke Indonesia. Untuk memberi gambaran tentang posisi lembaga Peradilan Agama di Indonesia orang harus memperhatikan Hukum Islam di Indonesia, sedikitnya pada tiga masa penting: masa sebelum penjajahan yakni masa kesultanan Islam, masa penjajahan dan masa kemerdekaan. Setiap masa mempunyai ciri-ciri tersendiri yang memperesentasikan pasang surut pemikiran hukum Islam di Indonesia. Pada bagian selanjutnya akan ditunjukan peradilan masa sebelum penjajahan, disusul uraian masa kolonial serta masa kemerdekaan.5 Dan juga akan dipaparkan secara ringkas mengenai kedudukan, susunan, dan (hukum) acara Peradilan Agama. II.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini merupakan library research (penelitian pustaka) yakni menelah berbagai referensi yang relevan dengan masalah yang diteliti, menggunakan pendekatan yuridis dan historis. Metode pengumpulan bersumber dari: Data Primer, yaitu data yang diperoleh diperoleh dari berbagai literatur yang terkait dengan permasalahan., 2. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari berbagai literatur, peraturan perundang-undangan, serta tulisan lain yang terkait materi yang dibahas sebagai penunjang. 1.
Metode pengumpulan datanya juga dengan menggunakan analisis media massa online baik melalui website artikel atau website yang lain dengan syarat 1 objektif, 2. tidak memihak sehingga tidak menyesatkan pengumpul data, 3. mengandung wawasan ilmiah,dan 4. aktual. Data yang berhasil diperoleh atau yang berhasil dikumpulkan selama proses penelitian baik itu data primer dan sekunder maupun dari media massa online, akan dianalisis secara kualitatif kemudian disajikan secara deskriptif yaitu menguraikan, menggambarkan, dan menjelaskan sesuai dengan permasalahan yang erat kaitannya dengan penelitian ini.
5
Abdul Halim, Ibid.
III. PEMBAHASAN 3.1 Peradilan Agama Pada Masa Sebelum Penjajahan Sebelum kedatangan Belanda, sebenarnya Peradilan Agama telah lama ada dalam masyarakat Indonesia yakni tepat sejak agama Islam datang ke Indonesia.6 Pertumbuhan dan perkembangan Peradilan Agama pada masa tersebut bercorak majemuk. Kemajemukan itu sangat bergantung kepada proses Islamisasi yang dilakukan oleh pejabat agama dan ulama bebas dari kalangan pesantren; dan bentuk integrasi antara hukum Islam dengan kaidah lokal yang hidup dan berkembang sebelumnya. Kemajemukan peradilan itu terletak pada otonomi dan perkembangannya, yang berada dalam lingkungan wilayah masingmasing.7 Lebih rinci lagi dijelaskan bahwa proses terbentuknya Peradilan Agama di Indonesia diketahui melalui teori yang dikemukakan oleh Al-Malbari dalam bukunya yang berjudul fathul Mu’in yang menyebutkan bahwasanya proses terbentuknya Peradilan Agama melalui tiga bentuk. Pertama, bentuk tahkim,yaitu Dalam keadaan tertentu, terutama bila tidak ada hakim di suatu wilayah tertentu, maka dua orang yang bersengketa itu dapat bertahkim kepada seseorang yang dianggap memenuhi syarat. Tahkim (menundukkan diri kepada seseorang yang mempunyai otoritas menyelesaikan masaIah hukum) hanya dapat berlaku apabila kedua belah pihak terlebih dahulu sepakat untuk menerima dan mentaati putusannya nanti, juga tidak boleh menyangkut pelaksanaan pidana, seperti had (ketentuan hukum yang sudah positif bentuk hukumnya) dan ta 'zir (kententuan hukum yang bentuk hukumnya melihat kemaslahatan masyarakat). Kedua, bentuk tauliyah dari ahlul halli wal aqdi, yaitu apabila tidak ada seorang Imam, maka penyerahan suatu wewenang untuk pelaksanaan peradilan dapat dilakukan oleh Ahlul Hilmi Wal ‘Aqdi, yakni para sesepuh dan ninik mamak dengan adanya suatu kesepakatan bersama. Ketiga, bentuk tauliyah dari Imam, yaitu pada dasarnya peradilan atas perlimpahan dari wewenang kepala Negara atau orang-orang yang ditugaskan olehnya, dengan catatan orang tersebut harus memenuhi persyaratan tertentu. Bentuk tauliyah ini seperti tampak dari adanya Pengadilan Surambi pada masa kerjaan Mataram Islam. Hal ini diikuti oleh kerajaan-kerjaan lainnya, seperti Mataram, anten, Cirebon, dan Aceh.8 Dari ketiga bentuk diatas, lembaga Peradilan Agama dalam bentuk tahkim lah yang paling lama ada dalam masyarakat Indonesia, yakni sejak agama Islam datang ke nusantara ini. Tahkim inilah yang menjadi embrio lahirnya Peradilan Agama, sebagai sarana pemenuhan kebutuhan dasar penduduk yang memeluk agama Islam dalam beribadah (terutama) dalam melaksanakan hukum perkawinan dan hukum kewarisan yang merupakan rangkaian 6
Daud Ali, Op Cit, Hlm. 279 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003). Cet. 4. Hlm. 113. 8 Endah P “Sejarah Peradilan Agama” diaskses dari https://badilag.mahkamahagung.go.id/sejarah/profil-ditjenbadilag-1/sejarah-ditjen-badilag pada tanggal 03-20-2019 pukul 12.28 7
kesatuan dengan komponen ajaran agama islam lainnya sebelum adanya penjajah datang. Peradilan Agama yang sudah ada sebelum datang kekuasaan kolonial di Indonesia inilah yang selanjutnya dimantapkan kedudukannya di Jawa dan Madura tahun 1882, di sebagian keresidenan Kalimantan Selatan dan Timur 1973 dan diluar kedua wilayah itu tahun 1957 dengan peraturan perundang-undangan pembentukannya.9 3.2. Peradilan Agama Pada Masa Kolonial Belanda Masyarakat pada masa sebelum adanya kolonialisme dapat dengan rela dan patuh serta tunduk mengikuti ajaran-ajaran Islam dalam berbagai dimensi kehidupan. Namun, keadaan itu kemudian menjadi terganggu dengan munculnya kolonialisme barat yang membawa misi tertrentu, mulai dari misi dagang, politik bahkan sampai misi kristenisasi.10 Oleh karena itu, Perjalanan kehidupan pengadilan agama pada masa kolonial ini mengalami pasang surut. Adakalanya wewenang dan kekuasaan yang dimilikinya sesuai dengan nilainilai Islam dan kenyataan yang ada dalam masyarakat. Pada kesempatan lain kekuasaan dan wewenangnya dibatasi dengan berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan, bahkan seringkali mengalami berbagai rekayasa dari penguasa (kolonial Belanda) dan golongan masyarakat tertentu agar posisi pengadilan agama melemah. Usaha-usaha untuk menghapuskan peradilan agama yang identik dengan hukum Islam, sudah dimulai sejak VOC mulai menginjakkan kaki di bumi Nusantara ini. Usaha tersebut dengan cara mengurangi kewenangan peradilan agama sedikit demi sedikit. Pada tahun 1830 Pemerintah Belanda menempatkan peradilan agama di bawah pengawasan "landraad" (pengadilan negeri). Hanya lembaga landraad yang berkuasa untuk memerintahkan pelaksanaan putusan pengadilan agama dalam bentuk "excecutoire verklaring" (pelaksanaan putusan). Kemudian dengan lahirnya firman Raja Belanda (Koninklijk Besluit) tanggal 19 Januari 1882 Nomor 24, Staatsblad 1882 – 152, telah mengubah susunan dan status peradilan agama. Wewenang pengadilan agama yang disebut dengan "preisterraacf' tetap daIam bidang perkawinan dan kewarisan, serta pengakuan dan pengukuhan akan keberadaan pengadilan agama yang telah ada sebelumnya, dan hukum Islam sebagai pegangannya.11 Keputusan raja Belanda ini dinyatakan berlaku mulai 1 Agustus 1882 yang dimuat dalam Staatblad 1882 no.152, sehingga dengan demikian dapatlah dikatakan tanggal kelahiran badan peradilan agama di Indonesia adalah 1 agustus 1882.12 Dalam Staatblad 1882 no.152 berisi tujuh pasal yang maksudnya adalah sebagai berikut:
9
Zainuddin, Op Cit, Hlm. 90-91. Abdul Halim Op Cit. 46. 11 Endah P “Sejarah Peradilan Agama” diaskses dari https://badilag.mahkamahagung.go.id/sejarah/profilditjen-badilag-1/sejarah-ditjen-badilag pada tanggal 03-20-2019 pukul 16.41 12 Abdul Halim, Op Cit. hlm. 51 10
Pasal 1: Disamping setiap landraad (pengadilan negeri) di jawa dan madura
diadakan satu pengadilan agama, yang wilayah hukumnya sama dengna wilayah hukum landraad. Pasal 2: Pengadilan agama terdiri atas; penghulu yang diperbantukan kepada landroad sebagai ketua. Sekurang-kurangnya tiga dan sebanyak-banyaknya delapan orang ulama Islam sebagai anggota. Mereka diangkat dan diberhentikan oleh gubernur/ residen Pasal 3: Pengadilan agama tidak boleh menjatuhkan putusan, kecuali dihadiri oleh sekurang-kurangnya tiga anggota trermasuk ketua. Kalau suara sama banyak, maka suara ketua yang menentukan. Pasal 4: Putusan pengadilan agama dituliskan dengandisertai dengan alasanalasannya yang singkat, juga harus diberi tanggal dan ditandatangani oleh para anggota yang turut memberi keputusan. Dalam berperkara itu disebutkan pula ongkos yang dibebankan kepada pihak-pihak yang berperkara. Pasal 5: Kepada pihak-pihak yang berperkara harus diberikan salinan surat keputusan yang ditandatangani oleh ketua. Pasal 6: Keputusan pengadilan agama harus dimuat dalam suatu daftar dan harus diserahkan kepada residen setiap tiga bulan sekali untuk memperoleh penyaksian (visum) dan pengukuhan. Pasal 7: Keputusan pengadilan agama yang melampaui batas wewenang atau kekuasaannya atau tidak memenuhi.
Kemudian Pengadilan Agama mengalami kemuduran ketika ilmuawan Belanda yang bernama Christian Snouck Hurgronje mengeluarkan teori residu yang mengemukakan bahwa yang berlaku bagi orang Islam bukanlah hukum Islam, melainkan hukum adat.13 Sebagai akibat residu ini yang dianut oleh ilmuwan dan kolonial Belanda dahulu sejak 1 April 1937, pengadilan agama di wilayah-wilayah Jawa dan Madura sebagian bekas residensi Kalimantan selatan dan timur, tidak berwenang lagi mengadili perkara kewarisan dan perwakafan, seperti yang telah dijelaskan diatas. Namun diluar wilayah Jawa, Madura dan sebagian bekas residensi Kalimantan selatan dan timur, Pengadilan Agama masih berwenang mengadili perkara perwakafan dan kewarisan yang disebut dengan istiliah waris mal-waris.14 3.3. Peradilan Agama Pada Masa Kedudukan Jepang Tahun 1942 adalah tahun Indonesia diduduki oleh Jepang. Kebijaksanaan pertama yang dilakukan oleh Jepang terhadap perundang-undangan dan pengadilan ialah bahwa semua peraturan perundang-undangan yang berasal dari pemerintahan Belanda dintatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan. Peradilan Agama tetap dipertahankan dan tidak 13 14
Zainuddin, Op Cit, Hlm. 95 Daud Ali, Op Cit, Hlm. 280
mengalami perubahan agama dan Kaikiooo Kottoo Hooin untuk Mahkamah Islam Tertinggi, berdasarkan aturan peralihan pasal 3 bala Jepang (Osanu Seizu) tanggal 07 maret 1942 No.1.15 Pada zaman Jepang, posisi pengadilan agama tetap tidak akan berubah kecuali terdapat perubahan nama menjadi Sooryo Hooin. Pemberian nama baru itu didasarkan pada aturan peralihan pasal 3 Osanu Seizu tanggal 7 maret 1942 No. 1. Pada tanggal 29 April 1942, pemerintah balatentara Dai Nippon mengeluarkan UU No. 14 tahun 1942 yang berisi pembentukan Gunsei Hoiin (pengadilan pemerintah balatentara). Dalam pasal 3 UU ini disebutkan bahwa Gunsei Hooin terdiri dari: 1. Tiho hooin (pengadilan negeri) 2. Keizai hooin (hakim poloso) 3. Ken hooin (pengadilan kabupaten) 4. Kaikioo kootoo hoin (mahkamah Islam tinggi) 5. Sooryoo hoon (raad agama) Kebijaksanaan kedua yang dilakukan oleh pemerintahan Jepang adalah, pada tanggal 29 april 1942 pemerintahan bala tentara Dai Nippon mengeluarkan UU No. 14 tahun 1942 tentang pengadilan bala tentara Dai Nippon. Dalam pasal 1 disebutkan bahwa di tanah Jawa dan Madura telah diadakan “gunsei hooin” (pengadilan pemerintahan balatentara).16 Pada masa pendudukan Jepang kedudukan pengadilan agama pernah terancam yaitu tatkala pada akhir Januari 1945 pemerintah bala tentara Jepang (guiseikanbu) mengajukan pertanyaan pada Dewan Pertimbangan Agung (SanyoAanyo Kaigi Jimushitsu) dalam rangka masuk Jepang akan memberikan kemerdekaan pada bangsa Indonesia yaitu bagaimana sikap dewan ini terhadap susunan penghulu dan cara mengurus kas masjid, dalam hubungannya dengan kedudukan agama dalam negara Indonesia merdeka kelak. Akan tetapi dengan menyerahnya Jepang dan Indonesia memproklamirkan kemerdekaan opada tanggal 17 agustus 1945, maka pertimbangan dewan pertimbangan agung bikinan Jepang itu mati sebelum lahir dan peradilan agama tetap eksis disamping peradilan-peradilan yang lain. 3.3. Peradilan Agama Pada Masa Setelah Kemerdekaan Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 3 Januari 1946 dengan Keputusan Pemerintah Nomor Ljsd maka dibentuk Kementrian Agama, kemudian dengan Penetapan Pemerintah tanggal 25 Maret 1946 Nomor 5/SD semua urusan mengenai Mahkamah Islam Tinggi dipindahkan dari Kementrian Kehakiman ke dalam Kementrian Agama. Langkah ini memungkinkan konsolidasi bagi seluruh administrasi lembaga-lembaga Islam dalam sebuah wadahl badan yang bersifat nasional. Dan bukan hanya itu saja, dengan 15 16
Basiq Jalil, Peradilan Agama, (Jakarta: Prenada media Graop 2006). Hlm. 60. Ibid.
berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 menunjukkan dengan jelas maksudmaksud untuk mempersatukan administrasi Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh wilayah Indonesia di bawah pengawasan Kementrian Agama. Akan tetapi usaha untuk menghapuskan pengadilan agama masih terus berlangsung sampai dengan keluarnya Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948 dan Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil, antara lain mengandung ketentuan pokok bahwa Peradilan Agama merupakan bagian tersendiri dati peradilan swapraja dan peradilan adat tidak turut terhapus dan kelanjutannya diatur dengan peraturan pemerintah. Proses keluarnya peraturan pemerintah inilah yang mengalami banyak hambatan, sehingga dapat keluar setelah berjalan tujuh tahun dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957. Setelah orde baru berkuasa, pemerintah mengeluarkan Undang -undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang ini membuat kedudukan Peradilan Agama mulai nampak jelas dalam sistem peradilan di Indonesia. Undang-undang ini menegaskan prinsip-prinsip sebagai berikut:
Pertama, Peradilan dilakukan "Demi Keadilan Berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa"; Kedua, Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara; Ketiga, Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi. Keempat, Badan-badan yang melaksanakan peradilan secara organisatoris, administratif, dan finansial ada di bawah masing-masing departemen yang bersangkutan. Kelima, susunan kekuasaan serta acara dari badan peradilan itu masing-masing diatur dalam undang-undang tersendiri. Hal ini dengan sendirinya memberikan landasan yang kokoh bagi kemandirian peradilan agama, dan memberikan status yang sarna dengan peradilan-peradilan lainnya di Indonesia. Lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga memperkokoh keberadaan pengadilan agama. Di dalam undang-undang ini tidak ada ketentuan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Pasa12 ayat (1) undang-undang ini semakin memperteguh pelaksanaan ajaran Islam (Hukum Islam). Suasana cerah kembali mewarnai perkembangan peradilan agama di Indonesia dengan keluarnya Undang- undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah memberikan landasan untuk mewujudkan peradilan agama yang mandiri, sederajat dan
memantapkan serta mensejajarkan kedudukan peradilan agama dengan lingkungan peradilan lainnya.17 3.4. Undang-Undang Peradilan Agama Undang- undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah disahkan dan diundangkan itu terdiri dari VII bab, 108 pasal dengan ‘sistematik’ dan ‘garis-garis besarnya’ isinya sebagai berikut: Bab I tentang ketentuan umum, Bab II sampai Bab III mengenai susunan dan kekuasaan Peradilan Agama, Bab IV tentang hukum acara, Bab V ketentuan-ketentuan lain, Bab VI ketentuan peralihan dan Bab VII tentang ketentuan penutup.18 Dalam Bab I Undang- undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dijelaskan secara singkat mengenai penradilan agama, antara lain disebutkan bahwa Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam, yang terdiri dari Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama sebagai pengadilan tingkat banding. Dan kedua-duanya merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara-perkara perdata.19 Namun undang-undang ini sudah dirubah/diamandemen sebanyak 2 kali, yakni pada tahun 2006 dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, dan dirubah lagi pada tahun 2009 dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. 3.5. Susunan Pengadilan Agama Berdasarkan BAB II Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, pada bagian pertama menyebutkan bahwa Pengadilan agama terdiri dari Pengadilan Agama, yang merupakan Pengadilan Tingkat Pertama; dan Pengadilan Tinggi Agama, yang merupakan Pengadilan Tingkat Banding.20 Untuk susunanya sendiri disebutkan bahwa di dalam Pengadilan Agama terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera, Sekretaris, dan Juru Sita. Sedangkan susunan untuk Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera, dan Sekretaris.21
17
Endah P “Sejarah Peradilan Agama” diaskses dari https://badilag.mahkamahagung.go.id/sejarah/profilditjen-badilag-1/sejarah-ditjen-badilag pada tanggal 03-20-2019 pukul 20.16 18 Daud Ali, Op Cit, Hlm. 283 19 Ibid, Hlm. 285. 20 Lihat Pasal 6, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama. 21 Lihat Pasal 9, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama.
3.6. Kekuasaan dan Kewenangan Peradilan Agama Dalam BAB III Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang mengatur tentang ‘Kekuasaan peradilan agama’, menjelaskan bahwa Pengadilan Agama adalah pengadilan yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:22 a. perkawinan; b. kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; c. wakaf dan shadaqah. Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud huruf a diatas ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku.23 Kemudian di jelaskan lebih rinci lagi mengenai perkawinan didalam penjelasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang terdiri dari 22 butir, yaitu: 1. izin beristri lebih dari seorang 2. izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat; 3. dispensasi kawin; 4. pencegahan perkawinan; 5. penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah; 6. pembatalan perkawinan; 7. gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri; 8. perceraian karena talak; 9. gugatan perceraian; 10. penyelesaian harta bersama; 11. mengenai penguasaan anak-anak; 12. ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya; 13. penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri. 14. putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak; 15. putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua; 16. pencabutan kekuasaan wali; 17. penunjukan orang lain sebagai wali oleh Pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut;
22 23
Lihat Pasal 49 ayat 1, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama. Lihat Pasal 49 ayat 2, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama.
18. menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya pada hal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya; 19. pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya; 20. penetapan asal usul seorang anak; 21. putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran; 22. pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain. Setelah itu dijelaskan lebih lanjut tentang bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud huruf b ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.24 Menurut Yahya harahap dalam Ilham Thohari, ada lima tugas dan wewenang yang terdapat di lingkungan Peradilan Agama, yaitu:25
Fungsi kewenangan mengadili; Memberi keterangan, pertimbangan, dan nasehat tentang hukum Islam kepada pemerintah; kewenangan lain oleh atau berdasarkan undang-undang; Kewenangan Pengadilan Tinggi Agama mengedili perkara dalam tingkat bangding dan mengadili sengketa kompetensi relative; Serta bertugas mengawasi jalannya peradilan. Selain kewenangan diatas, juga terdapat kewenangan Pengadilan Agama yang ada pada tiap-tiap lingkungan peradilan yang terdiri dari kewenangan relative dan kewenangan absolut. 1. Kewenangan relatif Kewenanga relatif yaitu kewenangan yang diberikan antara pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama atau wewenang yang berhubungan dengan wilayah hukum antar Pengadilan Agama dalam lingkungan Peradilan Agama, atau dengan kata lain, kewenangan ini berkaitan dengan tempat tinggal pihak-pihak berperkara.26 Kompetensi relatif setiap Pengadilan Agama pada dasarnya berpedoman pada 24
Lihat Pasal 49 ayat 3, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama. Ilham Thohari. Konflik Kewenangan Antara Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama Dalam Menangani Perkara Sengketa Waris Islam. Jurnal Universum, Vol. 9 No. 2 Juli 2015, Hlm. 178. 26 Dyah Ochtorina Susanti, Hukum Islam: sejarah dan perkembangannya di Indonesia, (Bogor: Pustaka Amma Alamia, 2018). Hlm. 195. 25
ketentuan Undang-Undang Hukum Acara Perdata. Hal ini terdapat pada Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang berbunyi “Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini.” Dan berlandaskan ketentuan inilah, landasan untuk menentukan kewenangan relatif Pengadilan Agama merujuk pada Pasal 142 Rechtreglement voor de Buitengewesten (RBG) jo Pasal 73 UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, dimana wilayah hukum tertentu atau mempunyai “yurisdiksi relative” tertentu, dalam hal ini meliputi kota madya atau satu kabupaten.27 2. Kewenangan Absolut Kewenangan Absolut adalah kewenangan yang berhubungan dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan, atau dengan arti lain yaitu kewenangan mengadili yang menyangkut pembagian kekuasaan atar badan-badan peradilan, atau kewenangan mengadili yang diberikan kepada masing-masing pengadilan di lingkungan badan peradilan yang berbeda.28 Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa Pengadilan Agama yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara tingkat pertama, tidak boleh langsung berperkara di Pengadilan Tinggi Agama atau Mahkamah Agung. Hal ini menunjukkan bahwa segala sesuatu yang telah menjadi batas-batas kewenangan mengadili antar lingkungan peradilan menjadi porsi setiap lingkungan peradilan, dan secara absolut menjadi kewenangan peradilan untuk memeriksa dan memutus suatu perkara. Berkenaan dengan hal tersebut, lingkungan peradilan lain secara mutlak tidak berwenang lagi untuk mengadilinya.29 3.7 Hukum Acara Peradilan Agama Hukum acara peradilan agama diatur dalam Bab IV. Bagian pertama mengatur hal-hal yang bersifat ‘umum.’ Diantaranya disebutkan bahwa hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalm lingkungan peradilan umum, kecuali tentang hal-hal yamg ‘diatur secara khusus’ dalam undang-undang ini. Hal-hal yang diatur secara khusus dalam undang-undang peradilan agama, disebutkan dalam bagian kedua undang-undang ini yaitu ‘pemeriksaan sengketa perkawinan,’ yang mengenai (a) cerai talak yang datang dari pihak suami (b) cerai gugat yangdatang dari istri atau dari suami, (c) cerai karena alasan zina. Sementara itu perlu dicatat pula pada bagian utama bab IV ini disebutkan pula bahwa penetapan dan putusan peradilan agama (harus) dimulai dengan kalimat
27
Ilham Thohari. Op. Cit., Hlm. 179. Dyah Ochtorina Susanti, Op. Cit., Hlm. 202. 29 Ilham Thohari. Op. Cit., Hlm. 180. 28
bismillahirrahmanirrahim diikuti dengan kata-kata demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Penyebutan kata-kata bismillahirrahmanirrahim pada setiap penetapan dan putusan peradilan agama, selain menunjukkan ciri jhusus pelaksana kekuasaan kehakiman yang satu ini, kata-kata itu juga dapat dihubungkan langsung dengan kata-kata ‘Atas Berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa’ yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Selain merupakan penjabaran kalimat yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 kata-kata tersebut mempunyai fungsi dan makna tersendiri bagi hakim dan para pejabat di lingkungan peradilan agama dalam melaksanakan tugasnya. Melalui kalimat pendek yang mencakup maknanya itu, mereka diingatkan agar selalu teliti dan hati-hati bekerja, sebab semua (isi) penetapan dan putusan yang mereka tentukan dan mereka laksanakan yang diawali dengan asma (nama) Allah itu, sesungguhnya berada dalam tilikan Allah yang maha mengetahui, maha adil dan maha bijaksana, yang pasti, menurut keyakinan seorang muslim, akan dimintai pertanggung jawabannya kelak diakhirat. Bagian lain yakni bagian ketiga Bab IV ini menyebut soal biaya perkara yang diatur oleh Menteri Agama dengan persetujuan Mahkamah Agung berdasarkan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan.30 IV.
PENUTUP KESIMPULAN
Peradilan Agama merupakan bukti historis dari perkembangan hukum Islam di Indonesia. Awal mula pengadilan agama ini dikenal sebagai tahkim, yang terbentuk ketika para pendatang Muslim memasuki kawasan Nusantara. Berikutnya, institusi peradilan ini berubah menjadi Ahl Hally wa al’Aqdi, ketika terbentuk komunitaskomunitas Muslim. Akhirnya sejalan dengan perkembangan politik Muslim. Institusi inipun menjadi tawuliyah, seperti tampak dari adanya Pengadilan Surambi pada masa kerjaan Mataram Islam. Hal ini diikuti oleh kerajaan-kerjaan lainnya, seperti Mataram, anten, Cirebon, dan Aceh. Pada masa pejajahan belanda kedudukan dan wewenang Pengadilan Agama diatur melalui staatblad 1882 nomor 152. Yang isinya antara lain adalah: 1) Pengadilan Agama yang baru disamping Landraad dengan wiklayah hukum yang sama, yaitu rata-rata seluas daerah kabupaten. 2) Pengadilan Agama menetapkan perkara-perkara meliputi; peernikahan, perceraian, mahar, nafkah, keabsahan anak, perwalian, kewarisan, hibah, wakaf, dan baitul mal yang semuanya erat dengan ajaran agaama Islam. 3) Ketentaun tersebut berlaku bagi Pengadilan Agama di Jawa dan Madura. Setelah Indonesia merdeka mulai tercipta kesatuan hukum yang mengatur Peradilan Agama di seluruh Indonesia, sebagai penerapan wawasan nusantara. Kemudian, disusul dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama maka mulai terlihatlah Peradilan Agama telah menjadi peradilan mandiri,
30
Daud Ali, Op Cit, Hlm. 289-290.
kedudukannya benar-benar telah sejajar dan sederajat dengan Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara. Disamping itu, dalam ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman tahun 1970 terutama disebutkan pada Pasal 10 ayat 1 mengenai kedudukan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama dan Pasal 12 tentang susunan, kekuasaan dan (hukum) acaranya, telah diwujudkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. SARAN Dengan kita melihat ke belakang, ke sejarah mengenai Peradilan Agama, hendaknya peraturan perundang-undangan mengenai Peradilan Agama menjadi lebih baik, mengingat perjuangan masyarakat yang berusaha mempertahankan keberadaan Peradilan Agama. Selanjutnya dengan adanya peraturan perundang-undangan yang lebih baik, maka para penegak hukum hendaknya bertindak secara maksimal sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku, untuk menghindari adanya penyelewengan hukum.
DAFTAR PUSTAKA Sumber Buku 1. Abdul Halim, Peradilan Agama Dalam Politik Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000; 2. Basiq Jalil, Peradilan Agama, Jakarta: Prenada media Group 2006. 3. Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003; 4. Dyah Ochtorina Susanti, Hukum Islam: sejarah dan perkembangannya di Indonesia, Bogor: Pustaka Amma Alamia, 2018; 5. Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar ilmu hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014; 6. Zainuddin Ali, Hukum Islam: Pengantar ilmu Hukum Islam di Indonesia Jakarta: Sinar Grafika 2018.
Sumber Undang-Undang 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama 2. Staatblad 1882 no.152 3. Undang -undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
Sumber Lain 1. Ilham Thohari. Konflik Kewenangan Antara Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama Dalam Menangani Perkara Sengketa Waris Islam. Jurnal Universum, Vol. 9 No. 2 Juli 2015. 2. Endah P “Sejarah Peradilan Agama” diaskses dari https://badilag.mahkamahagung.go.id/sejarah/profil-ditjen-badilag-1/sejarah-ditjenbadilag