ANALISIS KEBIJAKAN UU BHP IMPLIKASINYA TERHADAP MADRASAH (Analisis Bab I ayat 11 dan 12 dan Bab V)
A. Pendahuluan Pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu upaya mewariskan nilai, yang akan menjadi penolong dan penentu umat manusia dalam menjalani kehidupan, dan sekaligus untuk memperbaiki nasib dan peradaban umat manusia. Tanpa pendidikan, maka diyakini bahwa manusia sekarang tidak berbeda dengan generasi manusia masa lampau, yang dibandingkan dengan manusia sekarang, telah sangat tertinggal baik kualitas kehidupan maupun proes-proses pembedayaannya. Secara ekstrim bahkan dapat dikatakan, bahwa maju mundurnya atau baik buruknya peradaban suatu masyarakat, suatu bangsa, akan ditentukan oleh bagaimana pendidikan yang dijalani oleh masyarakat bangsa tersebut. Pendidikan islam (Madrasah) merupakan salah satu pilar pendidikan nasional, dalam catatan historis merupakan pencetak militan muslim untuk merebut kemerdekaan. Pendidikan Islam dalam perkembangannya dewasa ini sudah mengalami penguatan secara konstitusional, dimana Madrasah merupakan bagaian dari sub sistem pendidikan nasional. Sehingga lulusan Madrasah dapat bersaing dengan lulusan dari institusi dibawah departeman lainnya. Lahirnya
UU BHP merupakan amanat dari bagian pembukaan (menimbang point
C)
Sisdiknas berbunyi, bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan. Untuk itu pemerintah perlu melakukan perbaikan pada system pendidikan dari PT sampai tingkat Dasar guna mencapai tujuan di atas. Sehingga pendidikan tersebut memeliki kredibilitas dan akuntabilitas dimata public. Untuk maka satuan pendidikan itu perlu berbentuk badan hukum pendidikan. Seperti yang ditetapkan dalam sisdiknas pasal 53 ayat 14 yang berbunyi: (1) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. (2) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan 1
pendidikan kepada peserta didik. (3) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. (4) Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan Undang-undang tersendiri. Undang-undung Badan Hukum Pendidikan merupakan usaha pemerintah untuk memperbaiki kualitas pendidikan serta untuk menghilangkan diskriminasi antara madrasah swasta dan negeri antara dibawah Diknas dan non Diknas serta untuk mendekatkan madrasah kepada masyarakat dan memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk ikut mengelola, mengawasi dan memberikan sumbangsih pendanaan dari satuan pendidikan. Selain itu dimunculkannya uu bhp terkait dengan penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan oleh pihak swasta. Hampir semua penyelenggara pendidikan swasta dilakukan oleh badan hukum berupa yayasan. Penggunaan yayasan sebagai sebagai badan hukum menimbulkan pengelolaan ganda, yaitu oleh yayasan dan pengurus lembaga pendidikan. Dalam beberapa tahun terakhir kerap muncul perselisihan antara pengurus yayasan dan pengurus lembaga pendidikan. Dengan munculnya uu bhp diharapkan menjadi solusi untuk menghilangkan kepengurusan ganda tersebut. Kemunculan RUU BHP mendapat tantangan yang keras dari berbagai pihak terutama dari kalangan perguruan tinggi, mereka beranggapan bahwa BHP akan melepaskan tanggungjawab pemerintah dan akan membuka komersialisasi pendidikan. Dengan demikian akan menimbulkan kesenjangan social yang semakin mencolok sedang dari segi politik akan menghilangkan kedaulatan Negara dalam pendidikan, namun anehnya pihak madrasah tidak terlalu bereaksi terhadap munculnya uu bhp, inilah yang akan penulis uraikan dalam pembahasan serta plus-minu UU BHP bagi madrasah. Seperti yang kita ketahui madarasah lebih banyak yang berstatus swasta, serta bagaimana posisi mereka dalam BHP. B. Madrasah Dalam Sejarah 1. Masa Hindia Belanda Pendidikan Islam (baca: Madrasah) pada kemunculannya tidak bisa dipisahkan dari gerakan pembaharuan Islam yang dilakukan tokoh intelektual Islam. Madarasah pada masa
kolonial
Hindia
Belanda
mulai
menunjukkan
proses
pertumbuhan
dan
perkembangan, seiring didengungkannya pembaharun1 oleh para tokoh intelektual Islam. 1 Pembaharuan-pembaharuan tersebut, menurut Karl Sternbrink (1986), meliputi tiga hal, yaitu: 1.Usaha
Lahirnya Madrasah dilatar belakangi oleh dua faktor penting, pertama pendidikan islam tradisional dianggap kurang sistematis dan kurang memberikan kemampuan praksis yang memadai,
kedua
perkembangan
madrasah-madrasah
Belanda
yang
mengalami
pertumbuhan yang sangat pesat diwilayah Indonesia. Kejadian di atas akan membawa dampak sekularisasi, sehingga hal ini menjadi kekhawatiran tersendiri bagi intelektual muslim. Dari sini muncul suatu gagasan untuk mendirikan pendidikan islam yang memberikan porsi yang sama besar terhadap pendidikan agama dan umum2. Kebijakan pendidikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda lebih banyak menekan pendidikan Islam (Madrasah), yang disebabkan oleh kekhawatiran pemerintah Hindia Belanda, terhadap munculnya militansi muslim terpelajar. Hal ini membawa konsekuensi pendidikan Islam selalu diawasi oleh pemerintah Belanda. Dengan menerapkan kebijakan ordonansi guru, sehingga setiap guru agama diwajibkan untuk memiliki sertifikat mengajar dari pemerintah (kalau dalam istilah sekarang sertifikat guru, dalam waktu yang sama menaikan profesionalisme dan kesejahteraan bagi guru), sehingga guru pendidikan agama yang mengusai agama secara kaffah belum tentu dapat mengajar, tentu mereka akan dipersulit, supaya mereka tidak menjadikan muridnya sebagai pembebas dari penjajahan. tentu hal ini membawa konsekuensi pengkerdilan pendidikan islam dan agama Islam. Pendidikan Islam pada masa ini secara metodologi dan kurikulum (tidak menyimbangkan pendidikan agama dan keduniawian) serta hasil lulusan yang tidak dapat bersaing dengan lulusan madrasah Belanda. Tokoh muslim yang pernah belajar dan mengenyam pendidikan di Timur Tengah serta pendidikan Belanda. Mulai berpikir keras untuk mencari formula yang tepat untuk memerangi diskriminasi yang dilakukan pemerintah Belanda serta pendidikan Islam yang tidak dapat bersaing dengan pendidikan Belanda. Oleh Karena itu, mereka mulai mengembangkan pendidikan Islam yang mandiri dengan penyesuaian kurikulum, system pengajaran dan kelembagaannya. Wujud nyata dari kebijakan ini banyak bermunculannya pendidikan Islam di pulau jawa, Sumatra dan Kalimantan. 2. Masa Orde Lama menyempurnakan sistem pendidikan pesantren, 2. Penyesuaian dengan sistem pendidikan Barat, dan 3. Upaya menjembatani antara sistem pendidikan tradisional pesantren dan sistem pendidikan Barat. lihat A. Steenbrink Karel, Pesantren Madrasah Dan Madrasah: Pendidikan Islam Dalam Kurun Modern, Jakarta, LP3ES, hal 26-29. 1984.
2 3
Perkembangan dan pertumbuhan pendidikan Islam pada masa ini terkait erat dengan peran Departemen Agama3. Lembaga ini menjadi tumpuan bagi umat Islam dalam menyelenggarakan dan mengembangkan pendidikan islam secara luas di Indonesia serta guru pendidikan Agama. Disamping itu depag menjadi andalan secara politis untuk mengangkat posisi Madrasah agar memperoleh perhatian dari pengambil kebijakan. lembaga ini melanjutkan usaha yang sudah dilakukan oleh tokoh intelektual islam pada masa sebelumnya, tetapi juga mulai mengembangkan program-program perluasan dan peningkatan mutu Madrasah. Sebagai contoh pengembangan dan peningkatan mutu Madrasah, adalah dikembangkan pendidikan Guru Agama (PGA) dan Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN). kedua lembaga ini menandai perkembangan dan sekaligus mencetak tenaga keagamaan dan pendidikan agama yang secara otomatis sebagai motor penggerak dan pengelola pendidikan Madrasah. Selain itu Depag mulai melakukan penjenjangan Madrasah. Pada masa ini mempunyai peran yang penting dalam pengembangan Madrasah pada masa akan datang, perkembangan Madrasah pada masa ini mengalami pertumbuhan yang sangat signifikan seperti dapat dilihat pada tabel berikut: Tahun 1951
Jumlah Madrasah 25
1954
30
1960-an
Rendah 13.057 Pertama 776 Atas 16 Sumber dari Dr. Maksum
dari gambaran di atas pendidikan islam sudah perperan aktif dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara. Pendidikan Islam masa ini belum secara implicit diakui dalam system pendidikan nasional. 3. Masa Orde Baru dan Reformasi Kebijkan Orde baru pada awalnya tidak memberikan penguatan kepada Madrasah. pada tahun 1972 dan Inpres 1974 pemerintah mengeluarkan keputusan presiden (Kepres) dimana kedua kebijakan tersebut sangat merugikan bagi eksistensi Madrasah di Indonesia, 3 Resmi berdiri pada tanggal 3 Januari 1946.
bagaiman tidak karena Madrasah akan berada pengelolaannya dibawah Departemen Pendidikan Nasional yang sebelumnya menjadi kewenangan dari Departemen Agama. Kebijakan tersebut tentu mendapat reaksi dan tentang keras dari umat Islam, karena dinilai akan menghilangkan kehidupan beragama dari kegiatan (khusunya dalam pendidikan) serta menghilangkan Madrasah dari nusantara tercinta. Pemerintah mulai mencari solusi untuk menenangkan kemarahan umat Islam dengan mengeluarkan SKB 3 menteri tentang Madrasah. Dimana isinya mengembalikan eksistensi Madrasah dibawah departemen agama, serta memasukkan kurikulum umum dalam yang sudah ditentukan. Tentu hal ini semakin memperkuat eksistensi Madrasah dan para lulusannya. Tidak berhenti sampai disitu usaha pemerintah orba bersama wakil rakyat mengeluarkan UU No 20 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional, dengan dikeluarkannya sisdiknas ini Madrasah secara otomatis kedudukannya sudah terintegrasi dengan pendidikan nasional. Hal ini nampaknya menjadi tonggak awal perkembangan Madrasah yang sangat cepat, dengan indikator semakin banyak berdirinya Madrasah, terutama swasta, mulai dari tingkatan terndah sampai pada tingkat Madrasah Aliyah. Indikator ini menjadi bukti bahawa peran masyarakat di Madrasah sesungguhnya sangat besar. Namun, masyarakat tidak banyak mempunyai akses untuk mengelola Madrasah, karena semuanya sudah ditentukan dari otoritas dipusat. Dalam era reformasi kedudukan Madrasah semakin kuat dengan diundangkannya sisdikana No 20 Tahun 2003. Pemerintah pada era ini semakin meningkatkan perhatian kepada departemen agama melalui pengingkatan anggaran yang membawa konsekuensi akan meningkatnya mutu madrsah baik negeri maupun swasta. Serta pemerintah memberlakukan perbaikan perbaikan kepada kesejahteraan guru dengan adanya sertifikasi. C. Implikasi BHP Terhadap Pendidikan Islam (Madrasah) 1. Kepala Madrasah sebagai Penentu Kesuksesan Madrasah Pendidikan Islam (Madrasah) merupakan lembaga pendidikan yang yang tidak didesentralisasikan. Hal ini membawa konsekuensi pendanaan untuk kelancaran dalam kegiatan belajar mengajar ditanggung oleh pemerintah pusat dalam hal ini departement agama (khususnya yang berstatus negeri). Manajemen Madrasah pada akhirnya menjadi sentralistik jadi tidak mengherankan Madrasah tidak sedikit mengalami keterlambatan 5
dalam perbaikannya, sarana dan prasarana (laboratorium, perpustakaan). Dalam UU BHP pasal 1 ayat 11 ”mengatakan pengelolaan pendidikan disebut dengan Kepala Madrasah Madrasah” jadi kepala Madrasah merupakan orang yang bertanggung jawab dalam mengelola, mengembangkan serta memajukan institusi (lembaga yang dipimpin) harus memiliki persyaratan serta kompetensi. Adapun kompetensi kepala sekolah sesaui peraturan perundang-undangan sebagai berikut: kepribadian, manajerial, supervisi, kewirausahaan, sosial. Kepala madrasah yang kita amati sekarang banyak yang tidak mampu menjadi manajer pendidikan yang tangguh, dapat kita lihat berapa banyak sekolah yang mampu menata organ-oragan pendidikan menjadi pendidikan yang bertaraf internasional, karena memang mereka kurang mendapatkan pelatihan untuk mengelola madrasah secara bagus.disamping itu kompetensi supervise yang tidak dapat dilaksanakan kepala madrasah dengan baik, dimana banyak wali muri dan murid mengeluh tentang cara guru mengajar yang kurang variatif dan menjenuhkan, serta kurang dapat merencanakan kegiatan belajarnya, seharusnya kepala madrasah selalu melihat dan mengejcek RRP para gurunya, serta melihat cara guru mengajar dikelas, mana yang kurang baik mereka memberikan solusi bagaiman sebaiknya dia mengajar. Disamping itu kepala madrasah kurang memiliki pandangan visioner dan berwawasan wirausaha, sehingga lembaga yang dipimpinnya tidak dapat berajak dari tempat duduknya. Kesulitan mencari sumber dana selain dari pemerintah. Maka dalam salah satu poin BHP bahwa Madrasah akan berbentuk manajemen berbasis mdarasah dan ini nampaknya akan membawa kesulitan bagi sebagian kepala Madrasah yang tidak berwawasan visioner dan kewirausahaan, tentu mereka akan mencari sumber pendanaan hanya dengan mengandalkan peserta didik, orang tua dari peserta didik, tanpa memikirkan dari pihak lain yang bermodal besar. Para pemodal besar yang memberikan bantuan kepada pendidikan juga akan memperoleh insentif perpajakan dari pemerintah. Pendanaan pendidikan dari perusahaan ini seharusnya dapat menjadi alternatif bagi keberlangsungan Madrasah.
Nampaknya
pula
kepala
madrasah
mengalami
kesulitan
untuk
mengkomunikasikan keberhasilan dan hasil karyanya untuk dapat dilihat dan dinikmati oleh public, sehingga hasil karya peserta didiknya dapat dinikmati oleh banyak kalangan serta tentunya akan menghasilkan sumber dana bagi yang dapat dimanfaatkan dalam
proses kelangsungan hidup madrasah tersebut. 2. Kelebihan dan Kekurangan UU BHP Bagi Madrasah Madrasah merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional. Madrasah akhir-akhir ini memperolah perhatian yang sangat serius dari Departemen Agama sebagai induknya. Bentuk perhatian dan perbaikan tersebut dilakukan untuk memperbaiki mutu dan citra Madrasah yang selama ini terpuruk, agar Madrasah tidak kalah bersaing dengan lembaga pendidikan yang lain. Madrasah sejak kemunculan isu RUU BHP yang dibuat drafnya oleh pemerintah dan hiruk-pikuk demonstrasi dimana-mana sampai disahkannya RUU tersebut menjadi UU BHP, nampaknya pihak madrsah tidak menunjukkan reaksi yang berlebihan seperti pihak yang lain. Memang UU ini lebih diutamakan untuk madrasah menengah dan perguruan tinggi, serta kalangan Madrasah tidak banyak mendiskusikan dan mengetahui apa isi undang-undang tersebut, sebagaimana yang diungkapkan kepala sekolah “Kasek SMA Kolese Santo Yusup Kota Malang, Peter Sihombing mengatakan belum siap memberlakukan status sekolah/madrasah menjadi BHP. Karena, hingga saat ini sekolah/madrasah belum mengetahui isi BHP. Akan tetapi, sekilas membaca UU BHP ternyata tidak ada urgensi bagi sekolah/madrasah swasta. Alasannya, di SMA swasta telah mengadopsi dua produk hukum yakni UU Sisdiknas dan UU Yayasan”4. Madrasah Dasar dan Menengah masih menjadi tanggung jawab pemerintah dengan pendidikan wajar 9 tahun. Madrasah dan sekolah lebih banyak menunggu adanya aturan turunannya baik berupa PP, Permendiknas dan aturan yang lain yang mengikutinya. Dengan diterapkannya undang-undang ini nampaknya akan membawa keuntungan dan kelemahan bagi Madrasah terutama Madrasah swasta yang paling banyak dibawah departemen agama. Dalam tulisan dibawah ini akan kami uraikan plus-minus dari undangundang BHP bagi Madrasah. a. Keunggulan UU BHP Bagi Madrasah Selama ini kita melihat bahwa, hampir semua madrasah swasta telah memilki badan hukum, yaitu badan hukum yayasan. Dimana manajemen pengelolaan baik mulai dari pembelian bollpoint sampai pemilihan Kepala Madrasah semuanya dikuasai oleh pengelola yayasan, yang mana pengelolaannya mengarah tidak adanya transparansi. 4 www.Surabaya Post.com. diunduh pada tanggal 24 Mei 2009
7
Memang pelaksanaannya secara aturan dilaksanakan secara bersama antara kepala madrasah dan yayasan, namun lebih banyak dikuasai oleh yayasan. Diterapkannya BPH dalam dunia madrasah, kepala madrasah dapat mengelola madrasahnya tanpa dicampuri oleh pihak yayasan, karena yayasan menjadi Majlis Wali Amanat (MWA) yang merupakan bagian dari lembaga pendidikan, serta tidak mempunyai kewenangan untuk mengatur lembaga pendidikan. Sehingga lembaga pendidikan dapat mengelola madrasah sesuai dengan tuntutan zaman yang selalu berubah dengan cepat, dengan demikian madrasah akan menjadi madrasah yang mandiri pada akhirnya akan menjadi madrasah yang berkualitas. Disamping undang-undang BHP akan memberikan transparansi pengelolaan, seperti kita ketahui pengelolaan yayasan lebih perspektif usaha, jenis usaha yang dimiliki yayasan bisa bersifat profit maupun non profit. Sementara kegiatan sekolah bagi yayasan biasanya dimasukkan dalam kegiatan nonprofit. Namun dalam prakteknya, banyak sekolah yang menjadi unit usaha nonprofit yayasan, dikelola sama seperti perusahaan, malah sebagian besar menjadi profit center yayasan. Parahnya lagi banyak Pengurus Yayasan yang tidak mengerti tentang dunia pendidikan, malah mengelola pendidikan seperti halnya mengelola perusahaan. Yang saya maksud perusahaan disini adalah sikap dan pemikiran yang hanya berdasarkan untung-rugi saja. Sehingga, secara internal Yayasan dan sekolah-sekolah swasta kita mengalami dehumanisasi. Sebagai contoh pecahnya yayasan pendidikan al-azhar menjadi dua bagian karena pengelolaan bergaya perusahaan dan kurang trasnparan. Maka dengan diundangkannya BHP akan membawa angin segar bagi madrasah swasta karena tiap madrasah harus melaporkan akuntabilitas kekayaannya, serta diaudit oleh akuntan public, sehingga seluruh warga madrasah akan mengetahui dari mana dan kemana dana yang digunakan oleh madrasah yitu masyarakat akan mengetahui secara transparan anggaran yang diperoleh madrasah. BHP merupakan salah satu terobosan dari pemerintah untuk meningkatkan mutu madrasah yang selama ini masih dibawah lembaga pendidikan yang lain. Karena untuk dapat masuk menuju BHP madrasah dan lembaga pendidikan yang lain harus memenuhi standar delapan SNP dan minimal terakreditasi A, tentu hal ini akan memacu setiap madrsah untuk menerapkan standar-standar yang telah ditentukan oleh pemerintah,
tentunya hal ini akan meningkatkan daya saing madrasah satu dengan yang lain dan lembaga pendidikan yang ada. Disamping itu UU BHP dengan tujuannya untuk menghilangkan diskriminasi antara madrasah swasta dan negeri. Hal ini memberikan angi segar kepada pengelola madrsah swasta untuk dapat menunjukkan taringnya bahwa madrasah swasta tidak klah mutuya dengan madrsah “negeri”. Ketika kompetisi ini terjadi maka pendidikan yang ada pasca diterapkannya BHP adalah lembaga pendididikan yang murah bagi masyarakat tetapi berkualitas. Masyarakat akan memiliki pilihan-pilihan untuk menyekolahkan anaknya sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya. Pendidikan Madrasah yang lahir pada masa penjajahan kolonial, meskipun berbagai rintangan dan tekanan dari pemerintah, namun tetap memperlihatkan eksistensinya sampai zaman reformasi sekarang. hal ini menyebabkan pendidikan Islam menyandang bebagai jenis nilai luhur sebagai berikut: pertama nilai historis dimana pendidikan islam tetap eksis dari masa penjajahan sampai masa reformasi. pendidikan Islam telah menyumbang nilai-nilai yang sangat besar dalam perjuangan bangsa Indonesia dalam memperoleh kemerdekaan, membentuk tatan kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, kedua nilai religious pendidikan islam dalam perkembangannya telah mempertahankan nilai-nilai agama islam sebagai salah stu budaya Indonesia, ketiga nilai moral pendidikan islam tidak dapat disangkal sebagai pusat pemelihara dan pengembangan nilai-nilai moral berdasar keislaman. Baik diMadrasah, pesantren bukan hanya sebagai pusat pendidikan tetapi juga sebagai benteng pendidikan moral5. Pendidikan Islam lahir dan dibesarkan oleh masyarakat. Oleh karena itu Madrasah pada hakekatnya dimiliki dan dikelola oleh masyarakat secara demokratis. Walaupun pada masa sekarang Madrasah dikelola oleh yayasan, perorangan, pemerintah, tetapi kehidupan Madrasah masih ditopang oleh masyarakat. ketika banyak orang berbicara tentang pendidikan berbasis pada masyarakat atau manajemen berbasis madrasah (MBS merupakan salah satu ciri peran serta masyarakat yang diamanatkan BHP). Madrasah sudah memiliki pengalaman yang sangat lama. Dalam pendidikan Madrasah proses demokratisasi sudah muncul dalam proses belajar mengajar, yang mana kegiatan (proses) ini akan akan membantu perkembangan berpikir 5 Tilaar HAR, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta, Renika Cipta, 2004. Hal 78
9
siswa yang kreatif, disamping itu Madrasah juga membentuk dan mempersiapkan manusia yang beriman dan bertaqwa dan menguasai ilmu dan teknologi untuk mengahapi era globalisasi. b. Permasalahan UU BHP Bagi Madrasah Undang-undang badan hukum pendidikan yang telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rkyat pada tanggal 17 Desember 2009. UU ini menyisakan persoalan yang cukup pelik bagi madrasah khususnya swasta, sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa pengelolaan madrasah khusunya swasta dalam pengelolaannya lebih dikuasai oleh yayasan sebagai penguasa tunggalnya dan kepala madrasah hanya sebagai “ban serap”, dengan diterapkan UU ini akan menghilangkan kekuatan/peran yayasan yang berupah menjadi Majlis Wali Amanat (MWA) yang menjadi bagian dari lembaga pendidikan (madrasah). Dalam UU BHP pengurus yayasan tidak lagi mempunyai kewenangan yang selama ini melekat pada yayasan, seperti pengangkatan kepala sekolah dan mengelola keuangan tentu yayasan tidak akan menerima dengan keadaan semacam ini karena madrasah yang selama ini ada merupak ladang dalam “menghidupi” anggota yayasan, masalah krusial semacam ini harusnya peka untuk segera mencarikan solusinya. Disamping itu dikhawatirkan madrasah dimasuki orang luar yang akan melunturkan atau bahkan bisa menghilangkan visi dan misi madrasah yang telah dibangun oleh pendiri madrasah tersebut. Undang-undang Badan Hukum Pendidikan, nampaknya masih membuat cemas lembaga pendidikan swasta (madrasah) dan bersifat diskriminatif terhadap madrasah swasta, bentuk diskriminasi salah satunya masih biasnya adalah pendanaan. BHP madrsah dan sekolah swasta tidak diakomodasi, karena dalam undang-undang badan hukum pendidikan hanya disebutkan “dibantu” pemerintah. Sementara untuk BHP negeri Pemerintah dalam hal ini akan memberikan bantuan kepada BHPP paling sedikit sebesar ½ dari biaya opersional dan untuk BHPP/BHPD untuk pendidikan menengah sebesar 1/3 untuk biaya operasional, sedangkan nantinya BHPM tidak boleh memungut kepada wali murid/siswa tidak lebih besar dari 1/3. Tentu hal ini akan menyulitkan keberlangsungan madrasah swasta yang menurut data dari Departemen Agama menunjukkan bahwa jumlah total madrasah Madrasah Ibtidaiyah sebasar 2.870.83, dari jumlah tersebut yang negeri 342.579 atau 7,4% sedangkan jumlah Ibtidiyah swasta sebesar 2.528.260 atau 92,6%. Pada tingkatan MTs terdapat 2.347.186
untuk seluruh wilayah Indonesia, untuk MTs swasta berjumlah 1.789.086, adapun untuk MTs negeri hanya berjumlah 558.100. Pada tingkatan yang lebih tinggi yaitu Madrasah Aliyah swasta sebesar 4.754 atau 88,1% sisanya adalah Madrasah Aliyah negeri yang berjumlah 644 atau 11,9%
jumlah Madrasah Aliyah sebesar 5.3986. Seperti yang
diungkapkan Mendiknas “Disini kata-katanya memberikan bantuan, artinya pemerintah wajib memberikan bantuan, lebih tegas lagi, bukan dapat memberikan bantuan, seperti bunyi ayat dalam UU Sisdiknas. Namanya bantuan tentu tidak total seperti negeri, kalau total lebih baik dinegerikan saja, kata Menteri”7. Perkataan Mendiknas, di atas semakin menyudutkan posisi madrasah pasca diundangkannya BHP, disatu sisi tidak boleh memungut biaya dari masyarakat terlalu besar disisi lainnya pemerintah dalam membantu madrasah khususnya swasta masih setengah-tengah. Padahal secara umum pendidikan Islam (madrasah) masih dihadapkan pada empat permasalahan pokok sebagai berikut: fasilitas (prasarana dan sarana), guru, mulai lunturnya jati diri serta mutu pendidikan. Pendidikan Islam (Madrasah) yang sebagaian besar berstatus swasta memiliki masalah yang sangat klasik yaitu minimnya prasarana dan sarana pendidikan. Hal ini dapat diamati dari gedung madrasah yang kurang mendukung bagi kegiatan belajar mengajar, ruang laboratorium (bahasa, ilmu pengetahuan alam, komputer) yang kurang memadai, sarana bermain dan olah raga bagi siswa yang sangat sempit (kalau boleh dikatakan tidak punya), ruang perpustakaan (itu pun kalau hanya ada sisa ruangan) dan buku yang dimilikinya hanyalah buku pelajaran yang sudah usang dan tidak lagi mengikuti perkembangan zaman, fasilitas pembelajarnnya pun masih sangat tertinggal bahkan kalau boleh dikata tradisional (memang ada yang sudah baik tapi tidak banyak). Hal ini tentu tidak bisa dilepaskan dari minimnya dana yang dimiliki oleh madrasah yang rata-rata siswanya berasal dari menengah kebawah untuk meningkatkan prasarana dan sarana. Lembaga pendidikan semacam ini boleh dikatakan laya mutu wa la yahya. Permasalahan yang tidak kalah peliknya adalah kualitas guru yang dimiliki Departemen Agama yang belum memenuhi standar, indikator yang dapat dilihat masih banyaknya guru yang tidak mengajar pada bidang yang dikuasainya, serta guru 6 Lihat Buku Saku Depag, diunduh dari www.depag.go.id pada tanggal 5 Mei 2009 7 www. Kompas. Com. Diunduh tanggal 23 juni 2009
11
berdasarkan status PNS dan non PNS menurut depag masih banyak yang non PNS, dari 221.051 guru MI hanya 17,3% yang berstatus PNS dan 82,7 berstatus non PNS, begitu juga MTs dari 242.175 hanya PNS 15,1% serta sisanya 84,9 berstatus non PNS, pada tingkat MA dari 112.410 yang berstatus PNS 17,8% dan sisanya 82,2% non PNS8. Dengan permasalahan madrasah yang kebanyakan berstatus swasta, dengan tidak diperbolehkan memungut dana dari masyarakat lebih dari 1/3, sedangkan kebanyakan dari siswa dan orang tua golongan menengah kebawah tentu hal ini akan membuat madrasah kesulitan untuk menarik dana sumbangan dari wali murid, tentu dalam hal ini madrasah kesulitan untuk menutupi biaya yang dibutuhkan, sedangkan bantuan dari pemerintah terhadap BHPM tidak ada kejelasannya seberapa besar. Ketika hal ini terjadi bukan tidak mungkin banyak madrasah yang akan gulung tikar dan akan menimulkan implikasi yang sangat besar mulai social, ekonomi serta politik. Permasalahan lain diterapkan BHP bagi madrasah adalah berkaitan dengan akuntabilitas keuangan, dimana ada keharusan pengelola pendidikan untuk melaporkan keuangan mulai dari Madrasah Ibtidaiyah Sampai Madrasah Aliyah diaudit oleh akuntan public atau tim audit independen9, Tentu menimbulkan masalah baru bagi madrasah yang kebanyakan swasta “gurem”, karena audit memakan biaya yang sangat mahal dan akan membebani madrasah serta kemungkin sulit untuk dilaksanakan. 3. Komersialisasi dan Mahalnya Madrasah Pasca BHP Benarkah? Sejak kemunculan RUU BHP diwarnai dengan kecemasan dan kegelisahan oleh berbagai pihak, karena undang-undang ini akan menghilangkan peran pemerintah, sebagai penyelenggara pendidikan, seperti amanat undang-undang dasar 45. Disamping itu pada saat sekarang pemerintah mengalami kesulitan dalam pembiayaan terutama bidang pendidikan dan yang lainnya. Sehingga permasalahan inilah yang membuat banyak pihak merasa pendidikan akan sulit diakses oleh masyarakat miskin. Persoalan yang paling dikhawatirkan oleh banyak pihak adalah privatisasi pada dunia pendidikan, karena pendidikan akan dimiliki atau dijual kepada masyarakat, dengan terjadinya hali ini maka perguruan tinggi ataupun sekolah akan menjadi komoditas 8 www.depag.go.id 9 www.jawapos.com. diunduh pada tanggal 24 Mei 2009
perusahaan, dimana yang ada hanya untuk mencari keuntungan semata tanpa memperhatikan keadaan kaum tertindas. Maka akan terjadi orang yang berduit akan dapat mengeyam pendidikan berpapun mereka hurus bayar, tinggal merogoh kantong, serta pendidikan hanya dan harus menjadikan mereka tetap menjadi penguasa, dan terus menjadi konglomerat. Sedang keadaan sebaliknya pendidikan haram bagi orang miskin dan mereka harus terpakasa menjadi orang minskin dan yang dikuasai, mereka hanya pantas menjadi pembantu. Namun semenjak disahkannya RUU BHP menjadi UU BHP tidak banyak masyarakat yang memprotesnya, mungkin karena mereka telah melihat banyak perubahan dan mereka telah mencermati apa yang ada pada uu tersebut, kalau kita menengok kebelakang pendidikan sebelum diterapkannya UU BHP dunia pendidikan sudah sangat mahal terutama swasta. Dengan diundangkan bhp sebetulnya peran pemerintah masih sangat pokok dalam menyelenggarakan proses pendidikan mulai dari pendidikan tinggi sampai sekolah dasar. Hal ini dapat dicermati pada pasal 41 dimana pemeritah menanggun untuk BHPP dan BHPD khusus untuk pendidikan dasar menanggung seluruh biaya pendidikan mulai operasional ,investasi10 dan lian sebagainya. Sedangkan untuk BHPP dan BHPD untuk pendididikan menengah pemerintah menaggung 1/3 dari biaya operasional11 dan biaya yang linnya. Dan untuk BHPP pemerintah menanggung ½ dari biaya operasional. Dengan demikian masyarakat tidak akan terbebani biaya pendidikan yang tinggi, seperti yang diungkapkan oleh Dikti “masyarakat dapat menikmati pendidikan yang layak tanpa membayar dengan biaya tinggi”12. Sehingga tidak terjadi komersialisasi dan privatisasi pendidikan, karena seluruh laba yang diperoleh oleh bhp dikembalikan kepada lembaga pendidikan, tidak boleh dibagikan kepada yayasan atau orang lain (pasal 38). Kemungkinan pendidikan mahal dan komersial serta hanya diperuntukkan bagi orang kaya juga tidak akan terjadi. Khusus bagi keluarga miskin dengan diterapkan BHP bagi sekolah menengah dan perguruan tinggi menjadi sedikit melegakan. Sebab, UU BHP mewajibkan semua lembaga pendidikan menyisihkan kursi/jatahnya 20 persen dari semua 10 Biaya investasi meliputi lahan pendidikan dan selain lahan pendidikan 11 Biaya operasional adalah biaya personalia dan non personalia 12 www.media Indonesia.com
13
keseluruhan peserta didik yang baru. Disamping itu lembaga pendidikan harus menyediakan biasiswa, kredit pendidikan, pekerjaan, sehingga proses pendidikan tidak hanya dinikmati oleh mereka yang kaya. Ajaran islam dalam UU BHP mendapatkan pengakuan secara eksplisit (pasal 45). Masyarakat dapat memberikan bantuan biaya pendidikan berupa wakaf, zakat, nazar, hal ini termuat dalam surat at-taubah yat 60 disebutkan 8 asnaf penerima zakat, disini penulis hanya menyebutkan beberapa, dalam dunia modern saat ini budak sudah tidak ada alangkah baiknya dana tersebut digunakan untuk membiaya pendidikan masyarakat islam yang tidak dapat melanjutkan pendidikan, serta nazar yang selama ini banyak masyarakat muslim tidak memberikan untuk pendidikan dapat dialihkan kedunia pendidikan. Dengan kesadaran masyarakat seperti itu maka pendidikan islam akan menjadi bagus. Lembaga pendidikan hanya diperbolehkan untuk menarik biaya dari masyarakat 1/3 untuk biaya operasional, itupun sesuai dengan kemampuan para orang tua murid. Sehingga peserta didik tidakakan terbebani biaya pendidikan yang tinggi. Jadi mahal dan komersialisasi pendidikan dengan diterapkannya undang-undang badan hukum pendidikan dengan uraian diatas akan dapat diminimalisir. D. Penutup UU BHP lahir merupakan amanat dari undang-undang Sisdiknas khususnya pasal 53, dimana di dalamnya untuk membentuk undang-undang Badan Hukum Pendidikan. Di samping itu BHP ingin memberikan kebebasan dan otonomi pada satuan pendidikan sehingga pengelolaannya lebih transparan dan akuntabel. BHP akan dapat meminimalisir diskriminasi antara pendidikan di bawah Diknas maupun non Diknas, baik itu pendidikan negeri atau swasta. BHP memberikan keleluasaan kepada sekolah swasta untuk mengelola lembaga pendidikannya lebih baik karena tidak dicampuri oleh pengurus yayasan yang kadang-kadan menjadi penghambat kemajuan madrasah. Dilain hal masyarakat akan mengetahui penggunaan dana madrasah, karena harus diaudit dan ldilaporkan secara taransparan. Namun disisi lain kebjikan ini memiliki kekurangnan dengan dihilangkannya peran yayasan akan memberikan damapak lembaga pendidikan ada kemungkinan dimasuki orang lain yang kan merubah visi dan misi madrasah tersebut. Pemerintah nampaknya masih setengah hati untuk menghilangkan diskriminasi terhadap
madrasah swasta dengan tidak memberikan kejelasan seberapa besar kewajiban pemerintah membantu bhpm dalam hal operasionalnya dll, sedang disisi lain madrasah tidak boleh menarik biaya pendidikan yang lebih dari 1/3 dari masyarakat. Namun anehnya BHP lagi-lagi lebih memperhatikan kesejahteraan guru PNS, dimana disebutkan mereka akan mendapatkan penghasilan dari pemerintah dan BHP, lalu nasib guru swasta dalam undang-undang ini belum ada kejelasan perbaikan nasib mereka, ataukah mereka menginduk kepada UU tenaga kerja, atau yang lainnya belum ada kejelasan. Padahal Madrasah lebih banyak di huni oleh guru yang berstatus swasta. Undang-undang BHP lebih memberikan kejelasan peran serta pemerintah dalam memberikan pendidikan kepada masyarakatnya secara layak. Dalam undang-undang badan hukum pendidikan melindungi masyarakat dari pengeluaran biaya pendidikan yang mahal, disamping itu lebih mengakomodasi para masyarakat yang notabene dalam keadaan yang kurang mampu. Karena badan hukum pendidikan mewajibkan memberikan ruang kepada mereka yang kurang mampu, dengan beasiswa, pekerjaan dan lain sebagainya. E. Rekomendasi 1. Kepada pembuat kebijakan, langkah baik jika segera membuat peraturan turunannya sehingga lembaga pendidikan dapat mempersiapkan diri sejak dini, sehingga mereka tidak akan kebingungan ketika BHP ini diterapkan. 2. Pemerintah dan DPR alangkah tepatnya memberikan peraturan kejelasan tentang peran pemerintah dalam memberikan bantuan kepada madrasah swasta, karena madrasah nantinya tidak dperbolahkan untuk menarik dala lebih dari 1/3 dari masayarakat. 3. Kepala sekolah dan yayasan sudah seharusnya mulai saat ini menyelaraskan pemikirannya untuk menghadapi undangundang BHP, serta madrasah mulai utuk melaporkan dari mana dan digunakan untuk apa dana yang diperohnya secara trasparan kepada wwarga sekolah. 4. Kepada pendidik, dalam uu ini statusnya menjadi orang yang dipekerjakan
maka 15
sudah
selayaknya
meningkatkan
profesionalismenya dalam proses belajar-mengajar. Sehingga akan memberikan layanan yang memuaskan kepada seluruh pelanggan pendidikan. 5. Kepada
masyarakat,
seharusnya
lebih
peduli
terhadap
pendidikan dengan membayarkan zakat dan nazarnya untuk memajukan pendidikan khususnya islam
Daftar Pustaka Arief Armai, Reformulasi Pendidikan Islam, Jakarta, CDRS Press, 2007. Azra Azumardi, Pendidikan Islam “Tradisi dan Modernisasi Menuju Millennium Baru”, Jakarta,
Logos, 1999. Hasbullah, Otonomi Pendidikan (Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan), Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2007. Imron Ali, “Kebijaksanaan Pendidikan Indonesia “Proses, Produk dan Masa Depannya”, Jakarta, cet III, Bumi Aksara, 2008 Maksum, Madrasah dan Perkembangannya, Jakarta, Logos, 1999. PP nomor 48 tahun 2008 tentang pembiayaan pendidikan Rachman Saleh Abdul, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa (Visi, Misi dan Aksi), Jakarta, Rajawali Press, 2004. Tilaar HAR, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta, Renika Cipta, 2004 UU RI Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. UU RI nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. UU nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan www.depag.go.id www.diknas.go.id www.surabaya post.com www.republika.com www.cyber suara mendeka.com www.media Indonesia.com
Lampiran Sisdiknas Pasal 53 17
(1) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. (2) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik. (3) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. (4) Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan Undang-undang tersendiri. BHP BAB I (Ayat 11 dan 12) 11. Pemimpin organ pengelola pendidikan adalah pejabat yang memimpin pengelolaan pendidika dengan sebutan kepala sekolah/madrasah atau sebutan lain pada pendidikan dasar dan pendidika menengah, atau rektor untuk universitas/institut, ketua untuk sekolah tinggi, atau direktur untuk politeknik/akademi pada pendidikan tinggi. 12. Pimpinan organ pengelola pendidikan adalah pemimpin organ pengelola pendidikan dan semua pejabat di bawahnya yang diangkat dan/atau ditetapkan oleh pemimpin organ pengelola pendidikan atau ditetapkan lain sesuai anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga badan hukum pendidikan. Pasal 39 Kekayaan berupa uang, barang, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang milik badan hukum pendidikan, dilarang dialihkan kepemilikannya secara langsung atau tidak langsung kepada siapa pun, kecuali untuk memenuhi kewajiban yang timbul sebagai konsekuensi pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (6).
BAB VI PENDANAAN Pasal 40
(1) Sumber dana untuk pendidikan formal yang diselenggarakan badan hukum pendidikan ditetapkan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan. (2) Pendanaan pendidikan formal yang diselenggarakan badan hukum pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Badan hukum pendidikan menyediakan anggaran untuk membantu peserta didik Warga Negara Indonesia yang tidak mampu membiayai pendidikannya, dalam bentuk: a. beasiswa; b. bantuan biaya pendidikan; c. kredit mahasiswa; dan/atau d. pemberian pekerjaan kepada mahasiswa. (4) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab dalam penyediaan dana pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (5) Dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang disalurkan dalam bentuk hibah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk badan hukum pendidikan diterima dan dikelola oleh pemimpin organ pengelola pendidikan. Pasal 41 (1) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung seluruh biaya pendidikan untuk BHPP dan BHPPD dalam menyelenggarakan pendidikan dasar untuk biaya operasional, biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik, berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan. (2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dapat memberikan bantuan sumberdaya pendidikan kepada badan hukum pendidikan. (3) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung seluruh biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan pada BHPP dan BHPPD yang menyelenggarakan pendidikan menengah berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan. (4) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung paling sedikit 1/3 (sepertiga) biaya operasional pada BHPP dan BHPPD yang menyelenggarakan pendidikan 19
menengah berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan. (5) Pemerintah bersama-sama dengan BHPP menanggung seluruh biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan pada BHPP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan. (6) Pemerintah bersama-sama dengan BHPP menanggung paling sedikit 1/2 (seperdua) biaya operasional, pada BHPP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan. (7) Peserta didik yang ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan harus menanggung biaya tersebut sesuai dengan kemampuan peserta didik, orang tua, atau pihak yang bertanggung jawab membiayainya. (8) Biaya penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) yang ditanggung oleh seluruh peserta didik dalam pendanaan pendidikan menengah berstandar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan pada BHPP atau BHPPD paling banyak 1/3 (sepertiga) dari biaya operasional. (9) Biaya penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) yang ditanggung oleh seluruh peserta didik dalam pendanaan pendidikan tinggi berstandar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan pada BHPP paling banyak 1/3 (sepertiga) dari biaya operasional. (10) Dana pendidikan dari Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya pada badan hukum pendidikan diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 42 (1) Badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi dapat melakukan investasi dalam bentuk portofolio. (2) Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 37 ayat (6) huruf d. (3) Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) danayat (2) dan investasi tambahan setiap tahunnya tidak melampaui 10% (sepuluh persen) dari volume pendapatan dalam anggaran tahunan badan hukum pendidikan. (4) Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan atas dasar prinsip kehati-hatian untuk membatasi risiko yang ditanggung badan hukum pendidikan.
(5) Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola dan dibukukan secara profesional oleh pimpinan organ pengelola pendidikan, terpisah dari pengelolaan kekayaan dan pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) sampai dengan ayat (4). (6) Seluruh keuntungan dari investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (6). (7) Perusahaan yang dikuasai badan hukum pendidikan melalui investasi portofolio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dimanfaatkan untuk sarana peserta didik.
21