Penanganan Cedera Servikal.docx

  • Uploaded by: putri firda erlina
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Penanganan Cedera Servikal.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 921
  • Pages: 4
2.4. Manajemen fraktur servikal 2.4.1. Penatalaksanaan awal Pasien dengan fraktur servikal biasanya memiliki beberapa trauma, sehingga perlu dilakukan stabilisasi segera di tempat kejadian. Penatalaksanaan pertama cedera servikal yaitu penanganan awal berdasarkan primary survey ABCDE (airway and C-spine control, breathing and ventilatory, circulation and stop bleeding, disability and exposure) (American College of Surgeons Comittee on Trauma,2008).

1. A : Airway, dengan kontrol servikal. Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas. Ini meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas oleh adanya benda asing atau fraktur di bagian wajah. Usaha untuk membebaskan jalan nafas harus memproteksi tulang servikal, karena itu teknik Jaw Thrust dapat digunakan. Pasien dengan gangguan kesadaran atau GCS kurang dari 8 biasanya memerlukan pemasangan airway definitif . 2. B : Breathing. Setelah mengamankan airway maka selanjutnya kita harus menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik meliputi fungsi dari paru paru yang baik, dinding dada dan diafragma. 3. C : Circulation. Ketika mengevaluasi sirkulasi maka yang harus diperhatikan di sini adalah volume darah, pendarahan, dan cardiac output. Pendarahan sering menjadi permasalahan utama pada kasus patah tulang, terutama patah tulang terbuka. Patah tulang femur dapat menyebabkan kehilangan darah dalam paha 3 – 4 unit darah dan membuat syok kelas III. Menghentikan pendarahan yang terbaik adalah

menggunakan

penekanan

langsung

(balut

tekan)

dan

meninggikan lokasi atau ekstrimitas yang mengalami pendarahan di atas level tubuh. Penggantian cairan yang agresif merupakan hal penting disamping usaha menghentikan pendarahan 4. D : Disability. menjelang akhir survey primer maka dilakukan evaluasi singkat terhadap keadaan neurologis. yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan tingkat cedera servikal.

5. E : Exposure. pasien harus dibuka keseluruhan pakaiannya, seiring dengan cara menggunting, guna memeriksa dan evaluasi pasien. setelah pakaian dibuka, penting bahwa pasien diselimuti agar pasien tidak hipotermia . Pemeriksaan tambahan pada pasien dengan trauma muskuloskeletal seperti fraktur adalah imobilisasi patah tulang dan pemeriksaan radiologi. 2.4.3. Medikamentosa Obat yang diberikan pada pasien cedera servikal adalah golongan kortikosteroid. Steroid berfungsi memperbaiki cedera medula spinalis dan diberikan pada 8 jam pertama setelah cedera. Methylprednisolon dapat menurunkan respon inflamasi dengan menekan migrasi polymorphonuclear (PMN) dan menghambat peningkatan permeabilitas vaskular. Dosis yang diberikan 30 mg/kgbb intravena dalam 15 menit pertama diikuti 45 menit berikutnya dengan dosis 5,4 mg/kgbb/jam selama 23 jam (Mahadewa, 2009). 2.4.4. Bedah Bila terdapat tanda kompresi pada medula spinalis karena deformitas tulang, fragmen tulang, atau hematom, diperlukan tindakan dekompresi. Tujuan terapi awal adalah untuk dekompresi medula spinalis dengan memperbaiki diameter sagital normal dari kolumna vertebralis. Berkurangnya dislokasi baik parsial atau komplit juga akan mengurangi nyeri. Dislokasi yang disertai instabilitas tulang belakang memerlukan tindakan reposisi dan stabilisasi. Indikasi operasi cedera servikal adalah (Mahadewa, 2009): 

Reduksi terbuka dislokasi dengan atau tanpa disertai fraktur pada daerah servikal, bilamana traksi atau manipulasi gagal



Adanya fraktur servikal dengan lesi parsial medula spinalis, dengan fragmen tulang tetap menekan permukaan anterior medula spinalis, meskipun telah dilakukan traksi yang adekuat



Trauma servikal dengan lesi parsial medula spinalis, dimana tidak tampak adanya fragmen tulang dan diduga terdapat penekanan medula spinalis oleh diskus intervertebralis. Perlu dilakukan pemeriksaan myelografi dan CT Scan untuk membuktikannya



Fragmen yang menekan lengkung saraf



Adanya benda asing atau fragmen tulang dalam kanalis spinalis



Lesi parsial medula spinalis yang memburuk setelah mulanya dengan cara konservatif maksimal menunjukkan perbaikan, harus dicurigai adanya hematoma



Jika masih terdapat kelemahan motorik yang signifikan setelah suatu periode perbaikan



Jika terdapat instabilitas spinal Pembedahan darurat dilakukan bila terdapat gangguan neurologis progresif

akibat penekanan dan pada luka tembus. Pembedahan akan mengurangi kemungkinan terjadinya penyulit tetapi tidak harus dilakukan sebagai tindakan darurat. Pasien dengan kompresi sekunder dari herniasi diskus akibat trauma harus segera didekompresi. Cedera medula spinalis akibat osteofit, penebalan ligamen flavum, atau stenosis tidak memerlukan operasi segera. Terdapat 3 indikasi utama untuk melakukan tindakan operasi yaitu untuk dekompresi elemen saraf, koreksi deformitas, dan stabilisasi segmen (Mahadewa, 2009; Cohen, 1997) . 2.4.5. Rehabilitasi Rehabilitasi dilakukan sedini mungkin untuk mencegah timbulnya komplikasi, mengurangi kecacatan, dan menyiapkan penderita kembali ke masyarakat. Tim rehabilitasi yang diperlukan terdiri dari dokter (ahli bedah saraf, ahli bedah tulang), perawat, fisioterapis, petugas sosial, psikolog, ahli terapi kerja. Program rehabilitasi dapat dibagi 2 tahap. Tahap pertama pada fase akut yaitu semasa pasien dalam pengobatan yang intensif, terutama dikerjakan oleh perawat dan fisioterapis. Tindakan yang dilakukan pada tahap ini adalah latihan, masase, memelihara jalan nafas, merawat gangguan miksi dan defekasi. Tahap kedua adalah rehabilitasi jangka panjang dengan tujuan mengembalikan penderita kembali ke masyarakat, yang meliputi menyiapkan keadaan mental penderita agar tetap dapat berkarya walaupun cacat, edukasi pada penderita dan keluarga tentang perawatan di rumah, latihan cara makan, berpakaian, miksi dan defekasi, latihan menggunakan alat bantu, alih pekerjaan sesuai dengan kondisi penderita.



Terapi fisik dilakukan untuk pemulihan ROM (range of motion) dan meningkatkan kemampuan mobilitas. Hal terpenting adalah memperkuat otot ekstremitas atas, juga menjaga keseimbangan dan stabilitas tubuh. Otot ekstremitas atas biasanya lebih parah dari ekstremitas bawah, maka pasien akan kesulitan untuk menggunakan alat bantu berjalan yang membutuhkan bantuan tangan.



Terapi rehabilitasi kerja ditujukan untuk perbaikan kemampuan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari, memperkuat ekstremitas atas, dan perbaikan ROM. Bidai digunakan untuk mempertahankan posisi fungional tangan dan kaki juga mencegah kontraktur.



Terapi bicara diberikan untuk pasien yang mengalami disfagia akibat pemakaian alat-alat untuk mempertahankan stabilitas servikal atau akibat fusi servikalis anterior. Pasien diajarkan cara menelan agar tidak memperparah disfagi dan mencegah aspirasi. (Mahadewa, 2009)

American College of Surgeons Comittee on Trauma. Advanced Trauma Life Support for Doctors (ATLS) Student Course Manual. 8th ed. Chicago, IL : American College of Surgeons ; 2008

Mahadewa, T.G.B., Maliawan, S. 2009. Cedera saraf tulang belakang.Denpasar : Udayana University Press

Related Documents

Cedera Kepala
June 2020 38
Cedera Kepala.doc
June 2020 24
Cedera Kepala.docx
October 2019 30
Cedera Maksilofasial
June 2020 21
Cedera Kepala
June 2020 48

More Documents from "Suparjo, Skep.Ns"