Analisa Pengaruh Water Cut Pada Sistem Produksi Menggunakan Analisa Nodal Dengan Metode Hagedorn & Brown Di Lapangan Jk Kenes Yohana.pdf

  • Uploaded by: Dominggus Mangalik Rante Lembang
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Analisa Pengaruh Water Cut Pada Sistem Produksi Menggunakan Analisa Nodal Dengan Metode Hagedorn & Brown Di Lapangan Jk Kenes Yohana.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 15,347
  • Pages: 106
ANALISA PENGARUH WATER CUT PADA SISTEM PRODUKSI MENGGUNAKAN ANALISA NODAL DENGAN METODE HAGEDORN & BROWN DI LAPANGAN “JK” Oleh :

KENES YOHANA 023210099 Disetujui dan disahkan oleh Jurusan Teknik Perminyakan

Disetujui oleh :

Ir. H. Ali Musnal,MT Pembimbing I

Disetujui oleh :

Cio CioMario,ST,MT Pembimbing II

Disahkan oleh :

Adi Nopriansyah,MT Prof. Dr. Ir. H. Sugeng Wiyono. MMT.IP Dekan Fakultas Teknik

Sekretaris Jurusan Teknik i

KATA PENGANTAR

Bismillah hirrahman nirrahim Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat sang Maha Pencipta ALLAH S.W.T atas segala limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya kapda penulis, sehingga sapat menyelesaikan Tugas Akhir ini dengan judul “ Analisa Pengaruh Water Cut Pada Sistem Produksi Dengan Menggunakan Analisa Nodal Dilapangan “JK” yang merupakan salah satu syarat agar mendapatkan gelar sarjana di Fakultas Teknik Jurusan Perminyakan Universitas Islam Riau. Setra shalawat dan salam juga tak lupa penulis ucapkan kepada Nabi Besar Muhammad S.A.W. Kemudian dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan banyak penghargaan dan terima kasih kepada : 1. Bapak Ir. Ali Musnal, MT selaku Dosen Pembimbing I. 2. Bapak Cio Cio Mario, MT selaku Dosen pembimbing II. 3. Bapak Prof.DR Ir.H. Sugeng Wiyono, MMT.I.PU selaku Dekan Fakultas Teknik Universitas Islam Riau. 4. Sel Seluruh Staf Tata Usaha Teknik Universitas Islam Riau. 5. Seluruh Staf Dosen Teknik Perminyakan Universitas Islam Riau. 6. Papa (Tamsirman) dan mama (Ira Sujarwan) serta adik- adikku (Yuyun, Cici, Yoga) atas kasih sayang, nasihat dan dukungan yang diberikan. 7. Ananda Venesha Aulia Tasya dan Jupriadi, Spd yang telah memberikan penulis semangat dan motifasi dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini. ii

8. Rekan-rekan Mahasiswa/i angkatan 2002 di jurusan Teknik Perminyakan Universitas Islam Riau. 9. Semua pihak yang telah membantu baik secara langsung atau tidak langsung kepada penulis dalam meyelesaikan Tugas Akhir ini. Dalam penulisan Tugas Akhir ini penulis menyadari sepenuhnya bahwa isinya masih jauh dari kesempurnaan dan tak luput dari kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu penulis harapkan kepada semua pihak atas kritik dan sarannya yang bersifat membangun demi kesempurnaan Tugas Akhir ini. Akhir kata penulis hanya mengharapkan semoga Tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan khususnya penulis sendiri sebagai mana mestinya.

Pekanbaru, Juli 2010 Penulis

KENES YOHANA

iii

ANALISA PENGARUH WATER CUT PADA SISTEM PRODUKSI MENGGUNAKAN ANALISA NODAL DENGAN METODE HAGEDORN & BROWN DI LAPANGAN “JK”

KENES YOHANA 023210099

Abstrak Menggunakan analisa pada sistem produksi sangat penting dalam menghitung besarnya pengaruh water cut pada sistem produksi dan menghitung kehilangan tekanan yang terjadi pada komponen. Kehilangan tekanan yang terjadi bukan hanya laju alir tetapi bisa juga karena besarnya water cut. Sistem analisa nodal merupakan metode yang paling mudah digunakan untuk memperbaiki kinerja sumur. Prosedur untuk menentukan kehilangan tekanan yang digunakan adalah korelasi Hagedorn dan Brown dengan menentukan IPR inflow dan IPR outflow nya. Dalam hal ini titik nodal diletakkan didasar sumur, maka pembuatan kurva inflownya terdiri dari IPR saja, sedangkan kurva outflownya terdiri dari P1 (inside tubing) ditambah dengan Pwf (tekanan didasar sumur). Dengan laju alir maksimum untuk masing-masing sumur K1, K2, K3 adalah 1791.2 Bpd, 2487.81 Bpd, 2750.31 Bpd, dan uji sensitivitas water cutnya 10%, 50%, dan 75%,maka diperoleh Laju Alir Optimumnya 1583 Bpd, 1891 Bpd, 1320 Bpd. Penambahan Water Cut pada Laju Alir fluida akan menyebabkan produksi disumur tersebut akan menurun , terbukti dari peningkatan produksi air yang berlebihan di lapangan “JK” berkaitan dengan adanya reservoir yang bertenaga dorong air (Water Drive Reservoir), dimana hal ini dapat dilihat dari Water Cut masing-masing sumur. Kata Kunci : Water cut, Kehilangan Tekanan, Nodal, Inflow, Outflow, Laju Alir, IPR, Sensitivitas, Laju Alir Optimum,Water Drive Reservoir,

iv

ANALISA PENGARUH WATER CUT PADA SISTEM PRODUKSI MENGGUNAKAN ANALISA NODAL DENGAN METODE HAGEDORN & BROWN DI LAPANGAN “JK”

KENES YOHANA 023210099

Abstract Using the analysis on the production system is very important in determining the influence of water cut in production systems and to calculate the pressure loss occurs in the component. Pressure loss that occurs not only flow rates but could also be due to the amount of water cut. Nodal analysis system is the easiest method is used to improve the performance of wells. Procedures for determining the pressure loss is used Hagedorn and Brown correlation by determining IPR IPR inflow and its outflow. In this case the nodal point is placed well grounded, then the inflow curve consists of IPR only, while the outflow curve consisted of P1 (inside tubing) plus Pwf (based pressure wells). With a maximum flow rate for each well of K1, K2, K3 is 1791.2 BPD, BPD 2487.81, 2750.31 bpd, and test the water cut of 10% sensitivity, 50%, and 75%, the obtained optimum Flow Rate 1583 BPD, BPD 1891, BPD in 1320. Addition of Water Flow Rate Cut on the fluid will cause the production of these wells will decline, evidenced by the increased production of excessive water in the field "JK" related to the existence of a forceful push the water reservoir (Water Drive Reservoir), where this can be seen from the respective Water Cut respective wells. Keywords : Water-cut, pressure loss, nodal, Inflow, Outflow, Flow Rate, IPR, Sensitivity, Optimum Flow Rate, Water Drive Reservoir,

v

DAFTAR ISI

Halaman LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................

i

KATA PENGANTAR ................................................................................

ii

ABSTRAK ..................................................................................................

iv

DAFTAR ISI ..............................................................................................

vi

DAFTAR GAMBAR .................................................................................

x

DAFTAR TABEL ....................................................................................

xii

DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................

xiii

DAFTAR SIMBOL ....................................................................................

xiv

BAB I. PENDAHULUAN .......................................................................

1

1.1.Latar Belakang ............................................................................

1

1.2.Tujuan Penulisan ........................................................................

2

1.3.Batasan Masalah .........................................................................

2

1.4.Metodologi Penulisan .................................................................

2

1.5.Sistematika Penulisan ................................................................

4

vi

BAB II. TINJAUAN UMUM LAPANGAN ..........................................

5

2.1.Sejarah Singkat Lapangan “JK” ................................................

5

2.2.Keadaan Geologi .......................................................................

6

2.2.1.Deskripsi Reservoir ...........................................................

7

2.3.Karakteristik Reservoir ...............................................................

7

2.3.1.Karakteristik Batuan Reservoir .......................................

8

2.3.2.Karakteristik Fluida Reservoir ........................................

8

2.4.Heterogenitas Reservoir ............................................................

9

BAB III.TEORI DASAR ........................................................................

10

3.1.Kurva Inflow Performance Relationship (IPR) ........................

11

3.1.1.Produtivity Index (PI) .....................................................

11

3.1.2.Kurva IPR Satu Fasa .......................................................

13

3.1.3.Kurva IPR Dua Fasa .......................................................

14

3.1.4.Kurva IPR Kombinasi .....................................................

16

3.2.Aliran Fluida Dalam Pipa Satu Fasa .........................................

17

3.2.1.Persamaan Kehilangan Tekanan ......................................

20

3.3. Vertikal Lift Performance .........................................................

23

3.3.1.Metode Hagedorn dan Brown .........................................

24

3.3.2.Penggunaan Korelasi Gradien Tekanan Aliran Dua Fasa Dalam Pipa ...............................................................

28 vii

3.3.2.1.Pengaruh Ukuran Tubing .....................................

29

3.3.2.2.Pengaruh Laju Produksi .......................................

31

3.3.2.3.Pengaruh Gas Liquid Ratio ..................................

32

3.3.2.4.Pengaruh Densitas ...............................................

33

3.3.2.5.Pengaruh Water Oil Ratio ...................................

34

3.3.2.5.1.Pengukuran Water Oil Ratio ................

35

3.3.2.5.2.Pengukuran Gas Oil Ratio ...................

35

3.3.2.6.Pengaruh Viscositas ............................................

36

3.4.Teori Dasar Electrical Submersible Pump (ESP) .....................

39

3.4.1.Prinsip Kerja ESP ............................................................

40

3.4.2.Komponen ESP ................................................................

40

3.4.3.Pemilihan Electric Submersible Pump .............................

51

3.4.3.1.Pengumpulan Data ...............................................

51

3.5.Analisa Sistem Nodal Untuk Sumur Minyak ............................

52

3.5.1.Sistem Nodal Pada Sumur Sembur Alam ...........................

55

3.5.1.1.Analisa Nodal Bila Titik Nodal Didasar Sumur......

59

3.5.1.2.Analisa Nodal Bila Titik Nodal Dikepala Sumur....

61

3.5.1.3.Analisa Nodal Bila Titik Nodal Diseparator .........

63

3.5.1.4.Analisa Nodal di Pertengahan Reservoir ..............

65

3.5.2.Sistem Nodal Untuk Sumur Pompa Electrik (ESP) ............

65 viii

BAB V. ANALISA DATA DAN PERHITUNGAN ................................

70

BAB VI. PEMBAHASAN ..........................................................................

104

BAB V . KESIMPULAN ..........................................................................

107

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar

Halaman

2.1 Peta Lokasi Lapangan “JK” .............................................................

5

2.2 Peta Stratigrafi Lapangan “JK” .........................................................

5

2.3 Stratigrafi Kelompok Telisa dan Bekasap .......................................

6

3.1 Kurva IPR Satu Fasa .......................................................................

13

3.2 Kurva IPR Dua Fasa ......................................................................

14

3.3 Kurva IPR Kombinasi ....................................................................

16

3.4 Sistem Aliran Fluida Didalam Pipa................................................

18

3.5 Korelasi Faktor Gesekan Hagedorn dan Brown ...........................

23

3.6 Korelasi untuk Koefisien C-Number..............................................

24

3.7 Faktor Korelasi Hold-up ...............................................................

25

3.8 Faktor Korelasi Kedua .................................................................

25

3.9 Pengaruh Ukuran Tubing ...........................................................

30

3.10 Penentuan Ukuran Tubing .........................................................

31

3.11 Pengaruh Laju Produksi Terhadap Gradien Tekanan ...............

32

3.12 Pengaruh GLR Terhadap Gradien Tekanan ..............................

33

3.13 Pengaruh Densitas Terhadap Gradien Tekanan ........................

34

3.14 Pengaruh Water Cut Terhadap Gradien Tekanan ....................

35

3.15 Pengaruh GLR dan Water Cut ..................................................

36

3.16 Pengaruh Viscositas Terhadap Gradien Tekanan ....................

39

3.17 Komponen ESP ........................................................................

41

3.18 Komponen di Atas Permukaan .................................................

42

3.19 Transformer ...............................................................................

43

3.20 Swictcboard

...........................................................................................

43

3.21 Power Cable .............................................................................

44

3.22 Pompa ESP ...............................................................................

46 x

3.23 Gas Separator ..........................................................................

47

3.24 Protektor ..................................................................................

48

3.25 Motor ......................................................................................

49

3.26 Sistem Sumur Secara Keseluruhan .........................................

56

3.27 Kehilangan Tekanan dalam Sistem Korelasi .........................

57

3.28 Lokasi Berbagai Node Pada Sistem Produksi .......................

58

3.29 Arah Perhitungan Analisa Nodal di Dasar Sumur ................

59

3.30 Plot Kurva IPR dan Kurva Tubing Intake .............................

60

3.31 Arah Perhitungan Analisa Nodal di Kepala Sumur ...............

62

3.32 Plot Kurva Tubing dan Kurva Pipa Salur ..............................

63

3.33 Arah Perhitungan Analisa Nodal di Separator ........................

64

3.34 Diagram Tekanan Laju Produksi untuk Rangkaian Pipa ........

64

3.35 Pengurangan Sumur Akibat Peningkatan Water Cut ..............

67

3.36 Plot Kurva Outflow dengan Kurva Inflow .............................

67

3.37 Kurva Performance Pompa .....................................................

68

4.1 Kurva IPR dan Kurva Outflow Dengan WC = 10% ................

78

4.2 Hasil Plot Antara Inflow dan Outflow Pada Sumur K1.............

79

4.3 Kurva IPR dan Kurva Outflow Dengan WC = 10% ................

84

4.4 Hasil Plot Antara Inflow dan Outflow Pada Sumur K2 ............

85

4.5 Kurva IPR dan Kurva Outflow Dengan WC = 10% .................

90

4.6 Hasil Plot Antara Inflow dan Outflow Pada Sumur K3 .............

91

xi

DAFTAR TABEL

Tabel

Halaman

2.2 Karakteristik Batuan Reservoir Lapangan “JK” ...................

7

2.3 Karakteristik Fluida Reservoir Lapangan “JK” ....................

8

4.1 Harga Perhitungan Tekanan (Pwf)..........................................

72

4.2 Harga Q dengan Metode Kehilangan Tekanan Hagedorn & Brown ................................................................

79

4.3 Harga Perhitungan Tekanan (Pwf)........................................

81

4.4a Menentukan Kehilangan Tekanan .........................................

82

4.4b Menentukan Kehilangan Tekanan .........................................

82

4.4c Menentukan Kehilangan Tekanan .........................................

83

4.5 Menentukan Kurva Tubing Intake (Water Cut) .....................

83

4.6 Harga Q dengan Metode Kehilangan Tekanan Hagedorn & Brown ...............................................................

85

4.7 Hasil Tekanan (Pwf) dengan Q asumsi ..................................

87

4.8a Menentukan Kehilangan Tekanan ........................................

88

4.8b Menentukan Kehilangan Tekanan ........................................

88

4.8c Menentukan Kehilangan Tekanan ........................................

89

4.9 Menentukan Kurva Tubing Intake (Water Cut) ....................

89

4.6 Harga Q dengan Metode Kehilangan Tekanan Hagedorn & Brown.................................................................

91

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A Pembuatan Kurva Inflow dan Outflow Untuk Sumur K1

Lampiran B Pembuatan Kurva Inflow dan Outflow Untuk Sumur K2

Lampiran C Pembuatan Kurva Inflow dan Outflow Untuk Sumur K3

Lampiran D Data Produksi Untuk Sumur K1 Data Produksi Untuk Sumur K2 Data Produksi Untuk Sumur K3 Data Reservoir Dilapangan “JK” Kurva Performance Pompa

xiii

DAFTAR SIMBOL

Pwf

= Tekanan didasar sumur, Psi

Pr

= Tekanan reservoir, Psi

Pwh

= Tekanan dikepala sumur, Psi

PI

= Produktivity Indeks, Bpd/Psi

h

= Tebal formasi produksi, ft

μo

= Viscositas minyak, cp

Pb

= Tekanan Babble point, Psi

Q

= Laju alir, Bpd

Qmax = Laju produksi maksimum, Bpd ρ

= Densitas minyak, lb/ft3

V

= Kecepatan aliran, m/s

d

= Diameter pipa, ft

f

= Faktor gesekan

NRe

= Bilangan Reynold

ε

= Relatif roughness, ft

σ

= Tension liquid, dyne/cm

ΔP

= Kehilangan tekanan, Psi

P2

= Tekanan inside tubing, Psi

P3

= Tekanan Tubing intake, Psi

P4

= Tekanan dasar sumur, Psi

SGw = Spesifik grafity air SGo = Spesifik grafity minyak

xiv

PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam Tugas Akhir ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Pekanbaru, Juni 2010

KENES YOHANA N P M : 023210099

xv

1

BAB I PENDAHULUAN 1.1

Latar Belakang Produksi dari sumur minyak, umumnya fluida dapat mengalir sendiri

kepermukaan karena mempunyai tenaga pendorong alamiah yaitu tekanan reservoir (Pr). Karena sumur diproduksikan terus-menerus dan tekanan reservoir sumur semakin menurun sehingga tenaganya tidak dapat lagi mendorong atau mengangkat fluida kepermukaan. Agar tekanan reservoir tidak cepat menurun drastis, maka harus dilakukan optimasi produksi antara laju produksi yang diinginkan, diameter tubing, diameter flowline, tekanan didasar sumur tersebut. Ini dapat dilakukan dengan studi produktivitas sumur, studi ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan sumur berproduksi yang juga akan membantu untuk perencanaan atau mendisain laju produksi sumur sembur alam (Natural Flow) dan untuk sumur pengangkatan buatan (Artificial Lift). Salah satu metoda produktivitas sumur adalah dengan menganalisa sistem nodal, pada analisa nodal ini kita bisa melihat kemampuan produksi sumur dengan memakai kurva IPR. Pembuatan analisa nodal didasar sumur dengan memplot kurva IPR dengan Tubing Intake, dan kurva ini bisa mempergunakan untuk menganalisa pengaruh perameter yang ada seperti water cut dan mendisain Pwh agar menghasilkan qo optimum, untuk setiap penurunan qo yang diperoleh sumur. Perencanaan sistem sumur produksi ataupun perkiraan laju produksi dari sistem sumur yang telah ada dengan menggunakan Analisa Sistem Nodal ini sangat tergantung dari ketelitian dan tepatnya pemilihan korelasi/metoda kelakuan aliran fluida reservoir yang digunakan dalam analisa. Metode yang digunakan adalah metode Hagedorn & Brown, dimana metode ini menjelaskan tentang kelakuan aliran fluida formasi dalam pipa vertikal (tubing) disepanjang sumur, terutama mengenai analisa kehilangan tekanan dalam pipa

2

vertikal tersebut,sehingga dapat menganalisa pengaruh water cut yang terjadi didalam tubing terhadap laju poduksi yng diinginkan.

1.2

Tujuan Penulisan Tujuan penulisan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa pengaruh water

cut pada sumur produksi dengan melakukan uji sensitivitas water cut terhadap laju alir sumur dengan menggunakan analisa sistem nodal sehingga dapat diperkirakan laju produksi dari sistem sumur yang telah ada.

1.3

Batasan Masalah Dalam penulisan Tugas Akhir ini penulis menitik beratkan untuk melakukan

uji sensitivitas water cut pada sumur produksi dengan metoda kehilangan tekanan vertikal dalam tubing menggunakan korelasi Hagedorn dan Brown dengan melakukan analisa nodal untuk sumur pompa elektrik (ESP).

1.4

Metodologi Penulisan Penulisan tugas akhir ini dilakukan dengan mengumpulkan data-data lapangan

yang dianggap perlu oleh penulis dan kemudian mengolahnya sesuai dengan teori yang didapatkan dari beberapa literatur yang ada. Kemudian dilakukan analisa data yang membawa kepada beberapa kesimpulan yang merupakan tujuan tugas akhir ini.

3

FLOW CHART Start

Data : - Data Produksi - Swab Test

Analisa Data dan Perhitungan

Menentukan Kurva IPR

Menentukan Kurva Tubing Intake dengan Menggunakan Metode Hagedorn & Brown

diplot

Analisa Nodal

Pembahasan

Kesimpulan

Selesai

4

1.5

Sistematika Penulisan. Tugas akhir ini dirangkum dalam beberapa bab yang disusun berdasarkan

sistematika penulisan sebagai berikut : BAB I :

Pendahuluan Menjelaskan tentang latar belakang, tujuan, batasan masalah, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II : Tinjauan Umum Lapangan Menjelaskan tentang sejarah lapangan, geologi, stratigrafi

lapangan,

karakteristik batuan dan fluida reservoir, dan heterogenitas lapangan. BAB III : Teori Dasar Menjelaskan tentang

kurva IPR, aliran fluida dalam pipa, persamaan

kehilangan tekanan vertikal dalam tubing, penggunaan korelasi gradien tekanan aliran satu fasa dalam pipa, analisa sistem nodal untuk pompa elektrik (ESP) BAB IV : Analisa Data dan Perhitungan Menjelaskan tentang data dan perhitungan Kurva IPR, kehilangan tekanan dan perpotongan Kurva Inflow dan kurva Outflow. BAB V :

Pembahasan Menjelaskan tentang Kurva IPR dan kehilangan tekanan dengan metoda Hagedorn & Brown, serta pengaruh terhadap laju produksi.

BAB VI : Kesimpulan Menjelaskan tentang rangkuman dari semua bab yang terdapat dalam tugas akhir ini.

5

BAB II TINJAUAN UMUM LAPANGAN JK

2.1

Sejarah Singkat Lapangan ”JK” Lapangan ”JK” yang berada dipusat Sumatera, yang merupakan salah satu aset RTM

Kotabatak Petapahan – Light Sumatera Selatan dengan OOIP dari 347 MMBO. Lapangan ”JK” terletak di Blok Rokan dari Kontrak Bagi Hasil Chevron Daerah, Propinsi Riau, Sumatera dan berjarak sekitar 80 km Utara-Barat, Pekanbaru, ibukota Propinsi Riau (Gambar 2.1). Lapangan ”JK” yang ditemukan pada bulan Juni 1971 dan di produksikan pada bulan Januari 1973. Puncak produksi 48.000 BOPD dengan 13% water cut pada bulan April 1973 dari sebelas sumur. Water cut terus meningkat dan mencapai 93% pada tahun 2001 ini. Saat ini, lapangan ”JK” telah memproduksikan sekitar 3.900 BOPD dengan 93% water cut. Dari 48 sumur yang telah dibor pada lapangan ”JK” ini, 32 dari sumur tersebut masih memproduksi. Produksi kumulatif pada September 2008 adalah 115 MMBO dari OOIP 347 MMBO (33% Faktor Perolehan). Berdasarkan

catatan dari tahun 2008 dari cadangan

kandungan minyak awal 7,2 MMBO ada Cadangan Terbukti (PI), 4,1 MMBO Kemungkinan Reserves (P2), 1,7 MMBO Posible Reserves (P3) dan 10,5 MMBO Resources (P4-P6). Tekanan reservoir awal Bekasap Sand tercatat 1718 psig. Tekanan saat ini tercatat antara 500-700 psig di Bekasap A dan B Sand dan 1500 psig di Bekasap C Sand. Bekasap C Sand tehitung sebesar 70% dari porositas dengan tenaga air pendorong dan permeabilitas yang tinggi. Pada awal 2008, sumur di lapangan ”JK” dilakukan proyek pemboran. Proyek ini sangat sukses dengan total produksi awalnya lebih dari 6.000 BOPD. Dalam bulan Januari sampai periode Oktober 2008 telah memproduksikan minyak komulatif sebesar 463.000 Bbls. Itu merupakan peningkatan laju produksi dari rata-rata 2.900 BOPD pada tahun 2007 dengan 95% water cut, menjadi rata-rata 3.900 BOPD dengan 93% water cut pada tahun 2008 (Gambar 2.2). Saat ini injeksi air rata-rata di lapangan ”JK” dipermukaan 60.000 BWPD. Agar produksi minyak lebih optimal, injeksi air dilakukan dengan pola inverted seven spot (satu sumur injeksi dikelilingi enam sumur produksi) dan diharapkan efisiensi injeksi air semakin meningkat untuk yang akan datang.

6

Gambar 2.1 Peta Lokasi Lapangan “JK”

Gambar 2.2. Grafik Perbandingan Water Cut Lapangan “JK”

2.2

Keadaan Geologi Keadaan geologi pada lapangan ”JK” terbagi dua reservoir yang dipisahkan oleh

suatu patahan besar yaitu reservoir utama dan reservoir Barat Laut ke arah Tenggara di Sumatera Tengah. anticline asimetris sumbu, dibentuk oleh kesalahan reverse, downthrown ke timur laut. Anticline ini terbentuk akibat tumbukan lempeng Samudera Indonesia dan lempeng Benua Asia dan terjadi bersamaan dengan patahan normal pada formasi Sihapas. Formasi Sihapas dipotong oleh delapan patahan dengan struktur yang sederhana.

7

2.2.1

Deskripsi Reservoir Struktur lapangan ”JK” terbagi menjadi dua kubah antiklin (Blok A dan B) yaitu

pada Blok upthrown dan satu antiklin (Blok C) di Northwest Segment. Kesalahan normal yang terjadi pada Northeast-Southwest ditafsirkan pada pengolahan baru seismik yang tidak ditampilkan pada kumpulan data sebelumnya. Berdasarkan Fault Sealing Analysis (FSA) yang dilakukan oleh ITB 2006 sebagian besar kesalahan adalah pemerian reservoir. (Gambar 2.3). Bagian stratigrafi yang ditampilkan pada Gambar 2.4, hanya dua formasi yang bisa menembus di lapangan ”JK”, yaitu formasi Telisa dan Bekasap yang berada di bawah permukaan. Ada empat belas reservoir minyak yang berbeda dalam Telisa dan formasi Bekasap. Lingkungan pengendapan formasi Telisa dan Bekasap relatif sama dengan apa yang telah ditemukan di sekitar lapangan seperti Kotabatak. Komponen pembentuk reservoir adalah laut dangkal pasir dari formasi Bekasap sebagai target utama proses pengeboran.

Gambar 2.4 Stratigrafi Kelompok Telisa dan Bekasap

2.3

Karakteristik Reservoir Lapangan minyak ”JK” mempunyai mekanisme pendorong yang berupa tenaga air

yang aktif dan kuat (strong water drive). Mekanisme ini ditambah dengan pemakaian ESP

8

pada laju produksi yang tinggi sehingga mengakibatkan air terproduksi menjadi cepat, hal ini ditunjukkan oleh peningkatan water cut yang cepat sekali. Oleh sebab itu zona-zona yang ditinggalkan minyak segera diisi oleh air yang berada di bawahnya, sehingga tekanan reservoir relatif konstan.

2.3.1

Karakteristik Batuan Reservoir Reservoir

merupakan

wadah

tempat

berkumpulnya

hidrokarbon.

Ruang

penyimpanan hidrokarbon dalam reservoir berupa rongga atau pori-pori yang terdapat antara butiran mineral. Batuan reservoir yang umumnya dijumpai adalah sandstone, limestone, dolomite atau campuran ketiganya. Formasi batuan hanya terdiri dari sandstone atau limestone maka disebut formasi bersih atau clean formation, sedangkan formasi batuan yang mengandung clay atau shale disebut dirty atau shaly formation. Reservoir lapangan ”JK” tergolong pada reservoir batu pasir yang terdapat pada lapisan T, A, B, D, dan S.

Tabel 2.1. Karakteristik Batuan Reservoir Lapangan ”JK” Lapisan Pasir

2.3.2

Harga Rata-Rata Porositas

Permeabitas

(%)

(mD)

A

22

515

B

23

786

C1

22

1,150

C2

22

957

C3

20

46

Karakteristik Fluida Reservoir Reservoir lapangan ”JK” memiliki Gas Oil Ratio (GOR) yaitu 27 SCF/STB, densitas

minyak 3.3 cp dan Faktor Volume Formasi (FVF) 10,800 RB/STB yang diukur pada Bubble Pressure (Pb) sebasar 246 psig.

9

Tabel 2.2. Karakterisrik Fluida Reservoir Lapangan ”JK” Parameter

unit

T

A

B

C

S

Porosity,Mean

%

22

23

22

22

0

Water Sat,Mean

%

20

20

20

20

20

RB/STB

10.800

10.800

10.800

10.800

10.800

Permeability,Mean

mD

515

786

1,150

957

46

Press Orig,Mean

Psig

1,718

1,718

1,718

1,718

1,718

Press Currt,Avg

Psig

1,346

1,421

1,450

1,174

1,027

FT.SS

4,075

4,075

4,075

4,075

4,075

Psig

246

246

246

246

246

Oil FVF

Press Datum,Depth Oil Sat.Preesure

2.4

Heterogenitas Reservoir Prosedur yang umum seperti yang dijelaskan diatas, menunjukkan bahwa perforasi

dilakukan pada interval teratas untuk reservoir dengan tenaga pendorong air yang kuat seperti Lapangan ”JK”. Sebagian besar formasi batu pasir pada mula terhampar sebagai lapisan yang berlapis dengan porositas dan permeabilitas yang bervariasi. Proses sedimentasi yang normal menyebabkan perlapisan secara alamiah. Aliran fluida pada lapisan-lapisan tersebut memilki derajat kemudahan alir yang berbeda-beda dan zona-zona non permeabel akan memisahkan lapisan permeabel, sehingga tidak terdapat fluida yang mengalir dari satu lapisan ke lapisan lainnya. Pada lapisan tipis atau lapisan terstratifikasi, kemungkinan pergerakan fluida berbentuk pararel terhadap perlapisan (fingering), seperti gas bebas bergerak ke bawah dari tudung gas atau naiknya air dari aquifer, dapat terjadi ketika penyelesaian dilakukan dengan interval yang pendek disertai laju alir produksi sumur yabg tinggi. Pada bagian reservoir terstratifikasi baik oleh shale break atau oleh variasi permeabilitas, maka merupakan hal yang penting untuk mengatur interval penyelesaian dimana seluruh variasi lapisan reservoir harus dipastikan mengalir. Beberapa pengaturan interval penyelesaian secara vertikal dapat berpengaruh pada laju pengembalian dari variasi lapisan tersebut. Untuk memaksimumkan perolehan dari reservoir tersebut, secar praktis interval produksi harus dilakukan pada zona yang sudah diidentifikasi.

10

BAB III TEORI DASAR

3.1

Kurva IPR Kurva Inflow Performance Relationship (IPR) adalah kurva yang

menggambarkan kemampuan suatu sumur untuk berproduksi, yang dinyatakan dalam bentuk hubungan antara laju produksi (q) terhadap tekanan alir dasar sumur (Pwf). Dalam persiapan pembuatan kurva IPR terlebih dahulu harus diketahui Productivity Index (PI) sumur tersebut, yang merupakan gambaran secara kwalitatif mengenai kemampuan suatu sumur untuk berproduksi.

3.1.1

Produktivity Index (PI) Produktivity Index merupakan indeks yang digunakan untuk menyatakan

kemampuan suatu sumur untuk berproduksi pada suatu kondisi tertentu, atau dinyatakan sebagai perbandingan antara laju produksi suatu sumur pada suatu harga tekanan alir dasar sumur (Pwf) tertentu dengan perbedaan tekanan dasar sumur pada keadaan statik (Ps) dan tekanan dasar sumur pada saat terjadi aliran (Pwf), dinyatakan dalam stock tank barrel per day. Secara matematis bentuknya dapat dituliskan sebagai berikut : PI = J =

qo .................................................................................. (3-1) Ps − Pwf

PI

= Productivity Index, bpd/psi

Q

= Laju Produksi, bbl/day

Ps

= Tekanan Statik Dasar Sumur, Psi

Pwf

= Tekanan Alir Dasar Sumur, Psi

dimana :

11

Secara teoritis persamaan (3-1) dapat didekati oleh persamaan radial dari Darcy untuk fluida homogen, incompressible dan horizontal. Dengan demikian untuk aliran minyak saja berlaku hubungan : 7.082 x 10 -3 k h J= µ o β o ln (re/rw)

7.082 x 10 -3 h J= ln (re/rw)

..............……………………...……..............….. (3-2)

 ko kw   ……...….…..........................…..(3-3)  +  µo Bo µw Bw 

dimana : J

= Productivity index, bbl/hari/psi

k

= Permeabilitas batuan, mD

h

= Tebal formasi produksi, ft, m

µo

= Viscositas minyak, cp

re

= Jari-jari pengurasan sumur, ft

rw

= Jari-jari sumur, ft

kw

= Permeabilitas efektif terhadap sumur, mD

ko

= Permeabilitas efektif terhadap minyak, mD

µw

= Viscositas air, cp

Bo

= Faktor volume formasi minyak, bbl/STB

Bw

= Foktar volume formasi air, bbl/STB

Selanjutnya jika fluida yang mengalir merupakan kombinasi dari fluida fasa satu dan fluida dua fasa, yaitu terjadi pada kondisi tekanan reservoir (Pr) lebih besar dari pada tekanan bubble point (Pb) dan tekanan alir dasar sumur (Pwf) sudah mengalami penurunan hingga lebih kecil dari Pb. Aliran satu fasa yaitu qb, terjadi mulai dari Pr hingga Pb, dan aliran fluida dua fasa yaitu q, akan terjadi mulai dari Pb hingga Pwf.

12

Dalam persiapan pembuatan kurva IPR untuk kondisi satu fasa lebih dahulu harus diketahui hubungan sebagai berikut ini, dimana PI (J) pada saat Pwf = 0 Psi adalah :

q max = J (Pr − Pwf ) )

........................................................................(3-4)

Jika test dilakukan pada kondisi dibawah tekanan gelembung minyak (Pb). maka J dapat ditentukan dengan persamaan berikut :

J=

qtest  P P  Pr − Pb + b 1 − 0,2 wf  P 1,8    b  

 P  − 0,8 wf   Pb

  

2

   

....................................(3-5)

dan apabila test dilakukan pada saat Pwf > Pb maka :

J=

qtest Pr − Pwf test

Semua penentuan harga PI yang telah dikemukakan di atas dapat dilakukan bila data-data dari hasil test yang telah tersedia.

3.1.2

Kurva IPR Satu Fasa Kurva IPR untuk satu fasa akan membentuk suatu garis linear dengan harga

PI yang konstan untuk setiap harga Pwf. Hal ini terjadi apabila tekanan reservoir (Pr) lebih besar dari tekanan gelembung minyak (Pb). Aliran fluida pada tekanan reservoir lebih besar dari pada tekanan gelembung atau PI konstan dan Ps juga konstan, maka variabelnya adalah laju produksi (q) dan tekanan aliran di dasar sumur (Pwf) kurva IPR dapat dibuat persamaan : Pwf = Pr −

q PI

..........................................................................................(3-6)

Pada persaman (3-6) terlihat bahwa Pwf dan laju produksi mempunyai hubungan yang linier, yang disebut Inflow Performance Relationship, yang menggambarkan reaksi-reaksi reservoir bila ada perbedaan tekanan didalamnya.

13

Berdasarkan anggapan diatas, maka bentuk garis dari persamaan (3-6) adalah merupakan garis lurus seperti yang terlihat pada Gambar 3.1 Apabila sudut OAB adalah θ, maka : tan θ =

OB PI x Ps = = PI ……..……….........………..........………. (3-7) OA Ps

Gambar 3.1. Kurva IPR Satu Fasa Untuk membuat kurva IPR diperlukan data-data sebagai berikut : •

Laju produksi (q)



Tekanan alir dasar sumur (Pwf)



Tekanan statik atau tekanan reservoir (Pr) Ketiga data tersebut diperoleh dari hasil uji sumur serta test produksi dari

sumur yang bersangkutan.

14

3.1.3

Kurva IPR Dua Fasa Muskat menyatakan apabila fluida yang mengalir adalah fluida dua fasa

(minyak dan air), maka bentuk kurva IPR akan merupakan suatu garis lengkung, dan harga PI tidak lagi merupakan harga yang konstan, karena kemiringan garis IPR akan berubah secara kontinyu untuk setiap harga Pwf.

Gambar 3.2. Kurva IPR Dua Fasa Untuk membuat kurva IPR dua fasa, Vogel menurunkan suatu persamaan dengan dasar penggembangan untuk solution gas drive reservoir saja. Selain itu juga hanya berlaku untuk fluida dua fasa, minyak dan gas. Tetapi dalam reservoir partal water drive, dimana terdapat sumur–sumur yang terisolasi dari perembesan air, kurva dasar IPR masih dapat dipergunakan. Persamaan Vogel tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut : qo q o max

 Pwf = 1 − 0,2  Pr

 P  − 0,8 wf   Pr

2

  ............................................................ (3-8) 

15

atau :

  q Pwf = 0,125 Pr − 1 + 81 − 80 o   q o max

   ..................................................... (3-9)  

Pembuatan kurva IPR dengan persamaan ini memerlukan satu data uji produksi (qo dan Pwf) dan uji tekanan statik. Persamaan ini dikembangkan untuk menentukan kurva IPR apabila tekanan statik lebih besar dari tekanan gelembung. Pada kondisi ini kurva IPR terdiri dari dua bagian seperti gambar 3.2, yaitu : - Kurva IPR linier, apabila tekanan alir dasar sumur lebih besar dari tekanan gelembung. Pada kondisi ini persamaan (3-6) digunakan untuk menentukan kurva IPR. - Kurva IPR tidak linier, apabila tekanan dasar sumur lebih kecil dari tekanan gelembung. Pada kondisi ini persamaan kurva IPR berupa persamaan (3-8) Harga qo dan qmax ditentukan dengan persamaan sebagai berikut : q vogel = J (Pr − Pb ) ................................................................................ (3-10) q max = q vogel +

J x Pb ........................................................................ (3-11) 1.8

dimana : qo

= Laju produksi, BPD

qvogel

= Laju produksi pada tekanan bubble point, BPD

Pwf

= Tekanan dasar sumur, Psia

Pb

= Tekanan Bubble point, Psia

qmax

= Laju prouksi maksimum, BPD

PI = J = Productivitas Index, BPD/Psia

16

Grafik IPR yang dihasilkan reservoir simulator tersebut akan melengkung dan model reservoir yang disimulasikan merupakan reservoir hipotesi dengan tenaga dorong gas terlarut. Selain itu dalam pengembangannya dilakukan anggapan : a. Reservoir bertenaga dorong gas terlarut b. Harga skin disekitar lubang bor sama dengan nol c. Tekanan reservoir dibawah tekanan saturasi

3.1.4

Kurva IPR Kombinasi Bila fluida yang mengalir merupakan kombinasi aliran fluida satu fasa dan

dua fasa, maka kurva IPR akan terdiri dari dua bagian, yaitu : 1. Bagian kurva yang lurus, untuk kondisi Pr > Pb dan Pwf ≥ Pb. 2. Bagian kurva yang lengkung, untuk kondisi Pwf < Pb.

Gambar 3.3 Kurva IPR kombinasi

Pembuatan kurva IPR untuk dua hal diatas tergantung kepada Pwf tes, lebih besar atau lebih kecil dari Pb. Pada bagian garis IPR yang lengkung (Pwf < Pb) berlaku hubungan sebagai berikut :

17

a. Untuk grafik IPR, dimana Pwf < Pb, berlaku hubungan berikut :

q o = q b + (q

max

 P - q b ) 1 - 0.2  wf   Pb

b. Untuk penentuan q

max

P   - 0.8  wf   Pb

  

2

  …...….…......….(3-12) 

, pada IPR dengan kondisi Ps > Pb , berlaku

hubungan : q

max

= qb +

PI . Pb 1.8

…………………………………..…........…. (3-13)

dimana :

q b = PI(Pr - Pb )

3.2.

Aliran Fluida Dalam Media Pipa Satu Fasa Selama fluida di dalam pipa, distribusi tekanan aliran disepanjang pipa harus

diketahui supaya dapat diperkirakan besarnya kehilangan tekanan yang akan terjadi. Untuk memperkirakan kehilangan tekanan secara menyeluruh selama fluida mengalir di dalam pipa, ada tiga komponen penting yang harus diketahui, yaitu : 1. Komponen ketinggian (elevation) 2. Komponen gesekan (friction) 3. Komponen percepatan (acceleration) Penentuan faktor gesekan untuk aliran fluida satu fasa tergantung tipe alirannya. Pada aliran satu fasa laminer, faktor gesekan ditentukan dengan persamaan Hagen-Poiseuille, yaitu : d 2 g c  dP  v=  ...................................................................................... (3-14)  32 µ  dL  f

fm =

64 µ 64 ............................................................................ …. = ρvd N Re

(3-15)

Pendekatan untuk penentuan faktor gesekan aliran satu fasa turbulen dibuat berdasarkan kekasaran pipa. Untuk pipa halus korelasi yang dikembangkan berlaku

18

untuk selang bilangan Reynold (NRe) yang berbeda-beda. Persamaan yang umum digunakan untuk selang harga NRe yang luas, yaitu 3000
(3-16)

Untuk pipa kasar dapat digunakan persamaan Colebrook dan White (1939) yang merupakan penyempurnaan persamaan Nikuradse, yaitu :  2ε 18.7 = 1.74 − 2 log +  d fc N Re f g 

1

  ............................................... ….  

(3-17)

dimana : fc = faktor gesekan sebagai hasil perhitungan fg = faktor gesekan yang dimisalkan Persamaan gradien tekanan yang dapat digunakan untuk setiap fluida satu fasa yang mengalir pada sudut kemiringan pipa tertentu sebagai berikut : dP g fρv 2 ρvdv ....................................................... (3-18) ρ sin θ + = + dL g c 2 g c d g c dZ Secara umum persamaan gradien tekanan total dapat dinyatakan dalam tiga komponen, yaitu : dP  dP   dP   dP  =  ........................................................... (3-19)  +  + dL  dL  el  dP  f  dL  acc

dimana : (dP/dL)el

= (g/gc) ρ sin θ, merupakan komponen yang ditimbulkan oleh adanya perubahan energi potensial atau perubahan ketinggian.

(dP/dL)f

= (fρv2)/(2gcd), merupakan komponen yang ditimbulkan oleh adanya gesekan.

19

(dP/dL)acc = (ρvdv)/(gcdz), merupakan komponen yang ditimbulkan oleh adanya perubahan energi kinetik.

Tinjauan lebih luas mengenai aliran fluida satu fasa ini adalah sebagai berikut ini : 1.

Komponen Perubahan Ketinggian Komponen ini sama dengan nol untuk aliran horizontal dan mempunyai harga untuk aliran compressible atau incompressible atau transient, baik dalam aliran pipa vertikal maupun miring. Untuk aliran ke bawah harga sin θ berharga negatif dan tekanan hidrostatik akan bertambah pada arah aliran.

2. Komponen Friction Loss Komponen ini berlaku untuk semua jenis aliran pada setiap sudut pipa dan menyebabkan penurunan tekanan dalam arah aliran. Pada aliran laminer friction loss berbanding lurus dengan kecepatan fluida. Sedangkan pada aliran turbulen friction loss berbanding lurus dengan vn, dimana 1,7
3.2.1. Persamaan Kehilangan Tekanan Dasar persamaan aliran fluida di dalam pipa adalah persamaan energi yang menyatakan keseimbangan energi atau dapat dinyatakan bahwa energi fluida yang masuk kedalam sistem ditambah dengan setiap perubahan energi terhadap waktu, harus sama dengan energi yang meninggalkan sistem.

20

Secara sederhana persamaan keseimbangan energi antara dua titik dalam sistem dapat dinyatakan sebagai berikut : Energi masuk + energi disekitar sistem = energi keluar

Titik A

UA m v A2 2 gc m g zA gc p A VA

Titik B + q

UB

penambahan panas pada fluida

Z2

pompa -W

Datum

kerja dari pompa pada fluida

Z1

m vB2 2 gc m g zB gc p BVB

Gambar 3.4 Sistem Aliran Fluida dalam Pipa

Keseimbangan energi tersebut dapat ditulis sebagai berikut : 2

2

mV1 mgZ1 mV2 mgZ 2 ............. (3-20) U 1 + P1V1 + + − q − Ws = U 2 + P2V2 + + gc 2gc 2gc gc

dimana : U

= Energi dalam

PV

= Energi ekspansi atau energi kompresi

mV 2 = Energi kinetik 2g c mgZ gc

= Energi potensial

Q

= Energi panas yang masuk ke dalam fluida

21

Ws

= Kerja yang dilakukan terhadap fluida.

Z

= Ketinggian yang dihitung dari suatu datum tertentu.

Untuk mendapatkan energi per unit massa, maka dalam bentuk diferensial dapat ditulis :  P  Vdv g dU + d   + + dZ − dq − dWs ................................................. (3-21) gc  ρ  gc Persamaan di atas masih dalam bentuk energi dalam, sehingga dalam bentuk energi mekanik dimana tidak ada kerja yang dilakukan baik terhadap maupun oleh fluida, didapat : dP

ρ

+

Vdv gdZ + + dL W = 0 .................................................................. (3-22) gc gc

Untuk pipa miring dengan sudut kemiringan θ terhadap bidang horizontal dimana dZ = dL sin θ, maka : dP

ρ

+

Vdv g + dL sin θ + dL W = 0 ........................................................... (3-23) gc gc

Bila persamaan 3-23 dikalikan dengan ρ/dL pada kondisi atau kemiringan tertentu, maka diperoleh :

ρdL W dP ρvdv ρg + + = 0 ......................................................... (3-24) sin θ + dL gcdL gc dL dimana dLW adalah kehilangan energi akibat proses irreversibilitas, misalnya oleh adanya gesekan. Persamaan (3-24) tersebut dapat digunakan untuk menghitung gradien tekanan dan dengan menganggap penurunan tekanan adalah positif dalam arah aliran, maka :

22

dP ρvdv ρg  dP  sin θ +  = +  = 0 ......................................................... (3-25) dL gcdL gc  dL  f dimana :

ρdL W  dP  = gradien tekanan yang disebabkan adanya gesekan.   = dL  dL  f Kehilangan tekanan untuk aliran di dalam pipa disebabkan oleh gesekan, perbedaan ketinggian serta adanya perubahan energi kinetik. Karena gesekan terjadi pada dinding pipa maka perbandingan antara shear stress (τw) dengan energi kinetik per satuan volume (ρv2/2gc) menunjukkan peran shear stress terhadap kehilangan tekanan secara keseluruhan. Perbandingan ini membentuk suatu kelompok tidak berdimensi yang dikenal sebagai faktor gesekan Fanning, sebagai berikut: f=

τw ρv / 2 g c 2

=

2τ w g c .............................................................................. (3-26) ρv 2

Gradien tekanan yang disebabkan oleh faktor gesekan dinyatakan dalam persamaan Fanning, yaitu : 2 fρv 2  dP  .......................................................................................(3-27) =   gcd  dL  f

Dalam bentuk faktor gesekan Moody (fm), dimana fm = 4f , sehingga persamaan (3-28) menjadi : f m ρv 2  dP   =  2gc d  dL  f

3.3

...............................................................................(3-28)

Vertikal Lift Performance. Vertikal lift performance adalah kelakuan aliran fluida formasi dalam pipa

vertikal (tubing) disepanjang sumur, terutama mengenai analisa kehilangan tekanan dalam pipa vertikal tersebut.

23

Analisa fluida reservoir dari dasar sumur kepermukaan akan mengalami penurunan tekanan aliran, penurunan ini tergantung pada besarnya volume fluida yang mengalir dalam tubing, karakteristik fluidanya dan diameter dalam tubing. Penurunan tekanan dalam tubing ini terutama disebabkan terjadinya gesekan antara fluida formasi dengan dinding bagian dalam tubing dan antara fluida dengan fluidanya sendiri. Penurunan tekanan aliran yang terlalu besar dapat mengurangi produktifitas formasi (aliran fluida) yang sampai kepermukaan, oleh sebab itu harus diusahakan agar penurunan tekanan aliran fluida formasi tidak terlalu besar, sehingga tekanan aliran fluida formasi dipermukaan (THP) masih bisa mendorong fluida formasi keseparator, terutama cara produksi yang merupakan sumber alam dan gas lift. Tujuan dari vertikal lift performance ini adalah untuk mengetahui distribusi tekanan dalam tubing pada saat berbagai kedalaman. Hal ini perlu untuk perencanaan gas lift, penentuan tekanan alir dasar sumur serta untuk pemilihan tubing agar natural flow dapat dipertahankan selama mungkin. Berikut sebagian dari salah satu metode perkiraan penurunan tekanan aliran sepanjang pipa.

3.3.1

Metoda Hagedorn dan Brown Usaha yang dilakukan oleh Hagedorn dan Brown adalah membuat suatu

korelasi perhitungan gradien tekanan yang dapat digunakan pada range laju aliran yang sering ditemui dalam praktek, range GLR yang luas, dapat digunakan untuk setiap ukuran tubing serta berbagai sifat fisik dari pada fluida yang mengalir. Persamaan gradien tekanan yang diturunkan dari persamaan energi dengan menggunakan prinsip-prinsip termodinamika adalah sebagai berikut :

f .ρ .V 2 ρ .V .dV  dP  g ρ . sin θ + +  = 2.g c .d g c .dh  dh  g c

........................................ (3-30)

24

Dengan anggapan semua fluida pada kondisi mantap (steady state) dan aliran satu dimensi. Penggunaan persamaan ini memerlukan data ρ, f, V, yang harus ditentukan pada kondisi satu fasa, variabel ini dapat ditentukan dengan mudah. Dalam kasus ini kehilangan tekanan akibat elevasi = 0 karena merupakan aliran vetilkal. Begitu juga dengan acceleration sangat kecil karena luas penampangnya yang konstan. Jadi persamaan Hagedorn & Brown menjadi : dP  dP  f .ρ .V 2 = =  dL  dL  frictiom 2.g c .d .................................................................... (3-31)

Korelasi Faktor Gesekan Dalam Hold Up Baik Liquid holdup maupun pola aliran tidak diukur selama studi Hagedorn dan Brown, meskipun korelasi untuk liquid holdup disajikan. Korelasi tersebut dikembangkan dengan mengasumsikan bahwa faktor gesekan satu fasa dapat diperoleh dari diagram Moody yang didasarkan pada Reynolds Number dua fasa. Bilangan Reynold ini membutuhkan nilai untuk HL. dalam syarat viskositas. NRen = 1488

ρ m vm d µm

.......................................................................... (3-32)

Nilai HL yang diperoleh belum tentu liquid holdup yang sebenarnya, tapi itu adalah nilai yang dibutuhkan untuk menyeimbangkan kehilangan tekanan dan faktor gesekan yang dipilih. Beberapa bilangan berdimensi yang digunakan untuk mengkorelasikan HL dan dua faktor koreksi sekunder. Bilangan berdimensi ini telah ditetapkan sebelumnya oleh Ros dan diberikan sebagai berikut: NLV = 1,938VSL (ρL / σ) 0,25 .................................................................. (3-33) NGV = 1.938Vsg (ρL / σ) 0,25 .................................................................... (3-34) Nd = 120,872d (ρL / σ )0,5 .................................................................... (3-35) NL = 0,15726µL (1,0 / ρLσ3) 0,25.............................................................. (3-36)

25

Gambar 3.5 Korelasi Faktor Gesekan dari Hagedorn & Brown. dimana : NLV

= Bilangan kecepatan aliran

NGV

= Bilangan kecepatan gas

Nd

= Bilangan diameter

NL

= Bilangan viskositas cairan

σ

= Tension liquid, dyne/cm

Dengan menggunakan teknik regresi, untuk menghubungkan keempat parameter tak berdimensi diatas, maka dapat dibuat hubungan faktor hold-up, seperti yang terlihat pada Gambar 3.6 tetapi yang harus diingat adalah bahwa korelasi holdup tersebut merupakan korelasi pseodo hold-up. Hal ini disebabkan, karena Hagedorn

26

dan Brown tidak melakukan pengukuran hold-up, melainkan hold-up tersebut ditentukan berdasarkan perhitungan atas dasar data penurunan tekanan (diukur)dan faktor gesekan yang ditentukan berdasarkan bilangan Reynold. Pengaruh viscositas dari pada cairan, diperhitungkan dalam bentuk harga CNL, yang merupakan salah satu elemen Gambar 3.6. Harga CNL ini ditentukan berdasarkan grafik hubungan antara NL dengan CNL seperti pada Gambar 3.7. Grafik Gambar 3.7 ini dibuat berdasarkan pada viscositas air, yang mana harga C untuk air sama dengan 1. Grafik tersebut menunjukkan bahwa untuk viscositas cairan yang rendah, maka viscositas tidak memberikan pangaruh yang berarti. Sebelumnya telah diuraikan bahwa Gambar 3.6 , merupakan korelasi pseodo holld-up, dengan demikian untuk menetukan harga hold-up sebenarnya diperlukan Faktor Korelasi Sekunder (ψ), yang mana faktor ini diplot terhadap parameter tak berdimensi X2. Grafik ini dapat dilihat pada Gambar 3.8. X2 =

N gv * N L Nd

0.38

2.14

.......................................................................................... (3-37)

Gambar.3.6 Korelasi untuk Koefisien C-Number

27

Gambar 3.7 Faktor Korelasi Holdup

Gambar 3.8 Faktor Korelasi Kedua

28

3.3.2. Penggunaan Korelasi Gradien Tekanan Aliran Vertikal dalam Pipa. Ketelitian dari pada korelasi-korelasi gradien tekanan yang telah dibahas sebelumnya, cukup baik, sehingga sesuai untuk dapat digunakan dalam beberapa hal berikut ini : 1. Untuk pemilihan ukuran tubing yang tepat. 2. Untuk

memperkirakan

kapan

suatu

sumur

akan

mati

dan

untuk

memperkirakan kapan diperlukan artificial lift. 3. Untuk perencanaan artificial lift. 4. Untuk penentuan tekanan aliran dasar sumur. 5. Untuk penentuan Productivity indeks dari pada sumur. 6. Perkiraan laju produksi yang maksimum. Dalam penggunaan korelasi perhitungan gradien tekanan tersebut, diperlukan pengertian tentang pengaruh beberapa variabel, misalnya diameter pipa, laju produksi, perbandingan gas dengan cairan, water cut, densitas dan sebagainya terhadap gradien tekanan yang dihasilkan atau terhadap grafik distribusi tekanan sepanjang pipa. Dalam praktek penggunaan korelasi gradien tekanan aliran vertikal, dapat dilakukan dengan salah satu cara berikut ini : 1. Dengan menggunakan komputer. 2. Dengan menggunakan grafik-grafik yang telah tersedia. Apabila waktu bukan merupakan suatu hal yang penting, maka dianjurkan untuk menggunakan komputer (jika fasilitas komputer tersedia). Berikut ini akan dijelaskan tentang bagaimana pangaruh beberapa variabel yang telah disebutkan diatas terhadap grafik distribusi tekanan aliran sepanjang pipa.

3.3.2.1.Pengaruh Ukuran Tubing. Gambar 3.9 berikut ini menunjukkan bagaimana perbedaan gradien tekanan yang dihasilkan oleh masing-masing ukuran tubing sesuai dengan data yang tercantum dalam grafik tersebut.

29

Dari Gambar 3.9 tersebut dapat disimpulkan bahwa makin kecil ukuran tubing makin besar penurunan tekanan yang terjadi. Sebagai contoh untuk laju aliran sebesar 200 STB/hari dan tekanan da kepala sumur 150 psi, untuk ukuran tubing 3 in diperlukan tekanan aliran dasar sumur sebesar 1150 psi, sedangkan untuk ukuran tubing 1 in diperlukan tekanan aliran dasar sumur sebesar 3175 psi. Penentuan ukuran tubing ini sangat penting, oleh karena pemilihan tubing berukuran berapa yang akan digunakan harus dilakukan sebelum pemboran dimulai (lihat Gambar 3.10).

Gambar 3.9 Pengaruh Ukuran Tubing

Gambar 3.10 Penentuan Ukuran Tubing

30

3.3.2.2. Pengaruh Laju Produksi Pengaruh laju produksi terhadap gradien tekanan dapat dilihat pada Gambar 3.11, dimana pada gambar tersebut ditunjukkan bagaimana perubahan gradien tekanan didalam tubing ukuran 4 in dengan laju produksi mulai dari 2000 STB/hari hingga 10.000 STB/hari, dengan tekanan pada kepala tubing diambil sama, yaitu 100 psi. Kecendrungan yang sama juga tetap diperoleh, untuk ukuran tubing yang lain, tetapi laju aliran/produksi maximum dan minimum yang akan mungkin akan terjadi untuk tubing ukuran tertentu, akan berbeda. Laju produksi yang diperoleh dipermukaan menentukan tekanan aliran dasar sumur yang diperlukan, dengan demikan juga mempengaruhi pemilihan ukuran tubing.

Gambar 3.11 Pengaruh Laju Produksi Terhadap Gradien Tekanan

31

3.3.2.2.Pengaruh Gas Liquid Ratio Adanya gas yang mengalir bersama cairan, juga mempengaruhi gradien tekanan yang dihasilkan. Gambar 3.12 berikut ini, menunjukkan perbedaan gradien tekanan yang terjadi, pada aliran dalam tubing ukuran 2 inch dan laju produksi 200 STB/hari, untuk GLR dari 0 sampai 5000 SCF/STB. Peningkatan harga GLR menimbulkan pengurangan tekanan aliran dasar sumur yang diperlukan. Pada suatu titik akan dicapai bahwa penambahab GLR akan meningkatkan tekanan aliran dasar sumur. Hal ini disebabkan adanya pembesaran gradien tekanan didekat permukaan dan bertambah besarnya gesekan sepanjang tubing. Hal ini dapat dimengerti karena apabila gas bertambah dan akan menyababkan gesekan akan meningkat pula. Dengan demikian harus diketahui pada saat GLR berapa, penambahan GLR sksn memperbesar tekanan aliran dasar sumur, yang berarti akan mengurangi laju produksi.

Gambar 3.12 Pengaruh GLR Terhadap Gradien Tekanan

32

3.3.2.3.Pengaruh Densitas Pengaruh densitas terhadap gradien tekanan dapat dilihat pada Gambar 3.13, yang dinyatakan dalam bentuk °API dan viscositas dibuat konstan sebesar 1 cp. Oleh karena ada hubungan antara densitas dengan viscositas, maka viskositas perlu dibuat konstan untuk menghilangkan pengaruh densitas terhadap viscositas. Pada Gambar 3.13 tersebut dapat dilihat bahwa apibila °API gravity bertambah besar maka tekanan aliran didasar sumur akan berkurang.

Gambar 3.13 Pengaruh Densitas Terhadap Gradien Tekanan

33

3.3.2.5. Pengaruh Water Oil Ratio Pada Gambar 3.14, ditunjukkan pengaruh peningkatan produksi air terhadap gradien tekanan aliran. Pada dasarnya dengan bertambahnya air yang diikuti terproduksi, maka densitas cairan yang mengalir akan bertambah besar, dan dengan demikian gradien tekanan yang timbul juga akan besar.

Gambar 3.14 Pengaruh Water Cut Terhadap Gradien Tekanan

34

Dengan ikut tercampurnya air pada sumur sembur alam dapat menimbulkan beberapa persoalan antara lain : 1. Menimbulkan emulsi. 2. Menimbulkan persoalan dalam proses pemisahan. 3. Kondisi pengangkatan dari pada sumur berubah. 4. Dapat mematikan sumur. Gambar 3.15 menunjukkan pengaruh peningkatan water cut, terhadap tekanan dasar sumur yang diperlukan untuk mengalirkan minyak dengan laju produksi tertentu.

Gambar 3.15 Pengaruh GLR dan Water Cut.

35

Dengan adanya perubahan garis gradien tekanan tersebut, tentunya laju produksi yang dihasilkan juga akan mengalami perubahan atau pengurangan, dengan adanya air yang terproduksi. tentunya dengan makin bertambahnya air, maka tekanan yang diperlukan untuk mengangkat fluida makin berkurang dan apabila tidak tersedianya tekanan sebesar yang diperlukan maka sumur akan mati.

3.3.2.5.1 Pengukuran Water Oil Ratio Water-oil ratio didefinisikan sebagai perbandingan antara besarnya laju alir air terhadap laju alir minyak yang terproduksi, pada kondisi reservoir dinyatakan dengan persamaan : (WOR)Res =

qw k µ = w o qo ko µw

..................................................................... (3-38)

Besarnya laju produksi minyak dipermukaan (stock tank barrel oil, STBO) harus dikoreksi terhadap faktor volume formasi minyak (Bo). Hal ini berkaitan dengan besarnya volume gas yang terbebaskan dari minyak akibat dari besarnya kelarutan gas dalam minyak. Sedangkan untuk air, laju produksi air di permukaan akan sama dengan laju produksi air di reservoir, karena gas mempunyai harga kelarutan yang kecil terhadap gas. Dengan demikian besarnya water-oil ratio untuk kondisi di permukaan dinyatakan dengan : (WOR)Surf =

k w µ o Bo k o µ w Bw

....................................................................… (3-39)

dimana : Bo = Faktor volume formasi minyak, bbl/bbl Bw = Faktor volume formasi air, bbl/bbl

36

3.3.2.5.2 Pengukuran Gas Oil Ratio Gas oil ratio didefinisikan sebagai perbandingan antara besarnya laju alir gas terhadap laju alir minyak yang terproduksi, atau dinyatakan dengan persamaan : (GOR)Res =

qg qo

=

k g µo k o µg

....................................................................... (3-34)

Untuk menentukan besarnya gas-oil ratio pada kondisi permukaan, faktor yang berpengaruh antara lain adalah besarnya gas terlarut dalam minyak (Rs, SCF gas per STB minyak) dan konversi parameter tekanan dan temperatur dari kondisi reservoir ke dalam kondisi standar, sehingga besarnya gas-oil ratio pada kondisi permukaan dinyatakan dengan :  k g µ o   B o p f Tsc  (GOR)Surf = R s +   k o µ g   p sc Tf z  

  ............................................. (3-40) 

dimana : Rs

= Gas terlarut @ kondisi reservoir, scf/stb

pf

= Tekanan reservoir, psi

psc = Tekanan standar, atm Tf

= Temperatur reservoir, oF

Tsc = Temperatur standar, oR z

= Faktor (relevansi dari hukum gas nyata).

3.3.2.6.Pengaruh Viscositas Gambar 3.16 dibawah ini menunjukkan pengaruh viscositas terhadap gradien tekanan dan pada ganbar tersebut disertakan pula ºAPI dari fluida yang mengalir.

37

Gambar.3.16 Pengaruh Viscositas Terhadap Gradien Tekanan

3.4.

Teori Dasar Electrical Submersible Pump (ESP) Pompa lisrik bawah permukaan (ESP) merupakan pompa sentrifugal

bertingkat banyak (multi stage) yang diciptakan oleh Armaiss Arutonoff pada tahun 1911 dengan jenis REDA (Russian Electric Dynamo by Arutonoff), yang merupakan gabungan dari motor submersible dengan pompa putar (sentrifugal). Adapun keunggulan ESP ini antara lain : 1. Sanggup mengangkat fluida sampai 60.000 ft. 2. Dapat digunakan pada temperatur yang tinggi 3. Dapat bekerja pada kedalaman 15.000 ft

38

4. Dapat mengangkat fluida dengan viskositas tinggi. Setiap pompa mempunyai beberapa tingkat (stage), setiap tingkat pompa sentrifugal ini terdiri dari satu impeler dan satu diffuser. Impeler melekat pada as (fixed) atau dapat bergerak sepanjang as (floating Impeler) dan merupakan bagian yang berputar bersama poros pompa dan berlawanan arah jarum jam yang merubah energi listrik menjadi energi mekanis. Diffuser dan Impeler terbuat dari alloy besi nikel (Ni), Bronze. Head per stage sangat bergantung pada diameter impeller, karena diameter impeller ini terbatas oleh casing maka diperlukan banyak stage.

3.4.1. Prinsip Kerja ESP Prinsip kerja ESP adalah Electrical power disuplai dari transformer menuju switchboard. Melalui switchboard, semua kinerja dari SPS dan kabel akan dimonitor (amperage, voltage). Dari switchboard, power akan diteruskan ke motor melalui power cable yang terikat sepanjang tubing dan SPS unit. Melalui motor, electric power akan dirubah menjadi mechanical power yaitu berupa tenaga putaran. Tenaga putaran akan diteruskan ke protector dan pump melalui shaft yang dihubungkan dengan coupling. Shaft dari pompa akan berputar, dan pada waktu yang sama impeller akan ikut berputar untuk mendorong fluida yang masuk melalui pump intake atau gas separator ke permukaan. Fluida yang didorong secara terus menerus akan mengisi tubing, bergerak ke permukaan dan teru menuju ke Gathering Station.

3.4.2. Komponen ESP Komponen ESP dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu komponen diatas permukaan dan dibawah permukaan separti yang terlihat pada gambar 3.17 berikut.

39

1.Transformator 2.Switchboard

2

1

3.Ammeter 4.Surface cable

3

5.Junction Box

5

6.Well head

6

7.Bleeder valve 8.Round cable 4

7

8 9 1 1

9.Splice

1

10.Tubing 11.Flat cable

1

12.Pump 1 1

1

1

1.

Gambar 3.17 Komponen ESP

Komponen Diatas Permukaan. ESP unit yang berada diatas permukaan diartikan suatu kesatuan peralatan yang penempatannya berada di atas permukaan tanah yaitu wellhead, junction box,

switcboard,

transformator

penghubungnya (lihat Gambar 3.18)

dan

electric

cable

sebagai

media

40

Gambar 3.18 Komponen diatas permukaan



Transformator berfungsi sebagai alat yang dapat mengubah tegangan supply sesuai dengan tagangan yang diperlukan (Gambar 3.19).



Switchboard merupakan panel kontak yang dilindungi dalam kontak baja yang tahan cuaca, yang berfungsi mengatur dan melindungi ESP pada waktu operasi (Gambar 3.20).



Junction Box (Kotak Penghubung) digunakan untuk melepaskan gas yang ikut dalam kabel agar tidak menimbulkan kebakaran di switchboard



Well head (Tubing Hanger) digunakan untuk menggantungkan tubing string dan pompa dalam sumur dari permukaan.

41

3.19 Transformer

3.20 Switchboard

42

2.

Komponen Di Bawah Permukaan. •

Check Valve, dipasang pada rangkaian pipa dengan tujuan mencegah terjadinya back pressure terhadap ESP, sehingga tidak ada beban sewaktu akan dihidupkan.



Drain Valve, dipasang diatas check valve agar fluida dalam tubing dapat dibuang kedalam sumur sewaktu mencabut tubing. Dan dipasang satujoint tubing diatas check valve agar dapat mengurangi kolom dalam tubing sewaktu menservis sumur.



Centralizer berfungsi untuk meluruskan motor dan pompa agar mendapatkan pendingin yang sempurna dan untuk melindungi cable agar tidak rusak akibat bergeseran dengan casing.



Power Cable berfungsi untuk mengalir arus listrik dari switchboard ke motor dalam sumur (Gambar 3.21).

Gambar 3.21 Power Cable •

Cable Band (Pengikat Kabel) digunakan untuk mengikat kabel dan tubing control line dengan rangkaian tubing.

43



Reda Pump adalah bagian yang terletak diatas intake gas separator dan berfungsi untuk mengangkat fluida sampai kepermukaan (lihat Gambar 3.24). Secara umum pompa sering disebut dengan Reda Pump yang terdiri dari beberapa bagian : -

Impeller, merupakan komponen dari pompa yang berputar bersamsama dengan poros yand dikunci dengan spline memanjang sepanjang poros yang berfungsi untuk memberikan gaya sentrifugal sehingga fluida bergerak menjauhi poros sehingga fluida naik dari sumur minyak ke permukaan.

-

Diffuser, merupakan komponen dari pompa yang terjepit pada housing dan dijaga agar tidak bergerak dan berfungsi sebagai membalikkan arah fluida dan mengarahkan kembali ke poros dan ke bagian tengah dari impeller diatasnya.

-

Housing, merupakan rumah pompa ESP yang mempunyai bentuk memanjang karena tingkatan (stage) pompanya lebih dari satu.

-

Poros (Shaft), merupakan komponen yang memberikan daya pada pompa dengan cara mengubahnya menjadi energi fluida. Dan digerakkan oleh motor listrik yang terletak dibawah pompa dan protector. Pada poros terdapat spline yang memanjang sebagai tempat dudukan pompa sentrifugal.

Selain hal tersebut diatas, impeller juga digunakan untuk mengubah energi putaran (shaft torque) ke energi kinetik (velocity), sedangkan diffuser kegunaanya adalah untuk mengubah energi kinetik menjadi energi potensial (tekanan). Dalam pemasangan dilapangan bisa menggunakan lebih dari satu pompa, bisa dua atau tiga, pemasangan ini disebut tandem, yang bertujuan untuk memenuhi jumlah stages pompa dan untuk mendapatkan kapasitas head yang dibutuhkan untuk menaikkan fluida sumur ke permukaan.

44

Untuk pompa ESP discharge rate atau pressure yang diinginkan sangat tergantung kepada : RPM, ukuran Impeller, desain Impeller, jumlah stages, dinamic head dimana pompa dipasang dan sifat-sifat fisik fluida yang akan dipompakan.

Gambar 3.22 Pompa ESP

45

Gambar 3.23 Gas Separator

46

Gambar 3.24 Protektor

47

Gambar 3.25 Motor

48



Pemisah Gas (Gas Separator), dipasang diantara protektor dan pompa yang berfungsi sebagai pemisah gas dan cairan juga sebagai pintu masuknya fluida (fluida intake) lihat Gambar 3.23



Pelindung (protektor), dipasang di atas motor yang berfungsi sebagai penyekat untuk mencegah fluida masuk ke dalam motor, memudahkan minyak yang ada di motor untuk dapat memuai dan menyusut akibat panas dan dingin pada penoperasian atau berhenti, menyamakan tekanan yang ada didalam motor dengan tekanan yang datang dari sumur. Komponen utamanya adalah coupling, shaft, bag/labyrinth chamber, shaft seal, dielectric oil, thrust bearing (lihat Gambar 3.24).



Motor, berfungsi untuk menggerakan pompa dengan cara mengubah electrical energy menjadi mekanis (mechanical energy). Energi ini menggerakan protector dan pompa melalui shaft yang terdapat pada setiap unit yang dihubungkan dengan coupling. Komponen utamanya rotor (susunan elemen tipis yang berputar dan di tengah-tengahnya terdapat shaft yang jaraknya yaitu 0.007 inch), stator (kumparan kabel yang dipasang di bagian dalam bodi motor), dielectric oil (berfungsi sebagai pelumas dan pendingin motor), lihat Gambar 3.25.

Sistem pendingin pada motor Panas yang ditimbulkan oleh rotor akan dipindahkan ke dinding (housing) motor melalui media pengantar minyak rotor selanjutnya dibawa kepermukaan oleh fluida sumur yang terproduksi.untuk mendapatkan pendinginan yang sempurna, pemasangan ESP disumur sangat dianjurkan diatas perforasi agar semua fluida produksi melalui dinding motor. Tetapi karena suatu alasan ESP terkadang harus dipasang dibawah perforasi untuk itu dibutuhkan casing selubung motor (casing shround).

49

Pendingin yang baik bisa didapatkan apabila velocity fluida yang melewati dinding motor tidak kurang dari 1 feet/detik, kurang dari itu motor akan menjadi panas yang berlebihan. Pada unit ESP material pompa yang digunakan harus sesuai dengan keperluan penggunaannya terutama ketahanan terhadap keausan dan korosi. Komposisi material pompa yang digunakan adalah : 1. Pumping Housing, rumah pompa bertujuan untuk mencegah terjadinya korosi dan terbuat dari baja karbon rendah yang tebal dan tanpa sambungan (seamless). 2. Shaft dan Kopling, terbuat dari monel yang mempunyai ketahanan terhadap aus dan korosi yang tinggi. 3. Stage, bahan yang dugunakan adalah Ni-Resist yaitu paduan nikel yang dicor yang mempunyai ketahanan terhadap temperatur yang tinggi dan aus serta fibrasi yang baik, Ryton (polyphenelene sulfide) yaitu plastik teknologi tinggi yang dibuat dengan proses cetak injeksi.

3.4.2. Pemilihan Electric Submersible Pump Proses pemilihan ESP melibatkan banyak faktor, antara lain kondisi sumur dan fluida sumur yang akan dipompa. Pengumpulan data yang jelas merupakan suatu keharusan untuk menghasilkan pemilihan pompa yang tepat. Bila unit ESP dipilih dan dipasang, segala pengoperasiannya dimonitor dengan baik, maka proses produksi akan lebih ekonomis dan gangguan yang timbul akan dapat ditanggulangi. 3.4.2.1.Pengumpulan Data. Perencanaan unit ESP bukanlah hal yang sulit jika data-data yang diperlukan terpenuhi. Tetapi bila data yang diperlukan tersebut kurang memadai, maka proses perencanaan pompa akan sulit dilakukan dan dapat menyebabkan kerusakan pada

50

pompa serta akan memperbesar biaya operasional dan proses produksi dapat terhenti. Pemakaian pompa yang salah akan menyebabkan overload atau underload pada motor, serta pompa tidak bekerja secara optimum. Data-data diperlukan dalam proses pemilihan unit ESP antara lain : 1.Data sumur minyak meliputi data kedalaman total dearah kerja (penentuan permukaan minyak), intervaal perforasi, ukuran tubing (menentukan kerugian karena gesekan fluida dan dinding pipa) dan temperatur lubang sumur. 2.Data fluida meliputi spesific grafity (SG), untuk menentukan viskositas fluida, water cut nya untuk menentukan jumlah air yang tercampur dalam fluida formasi dan gas oil ratio (GOR) untuk menentukan volume gas yang terkandung dalam setiap barrel fluida yang dipompakan.

3.5.

Analisa Sistem Nodal Untuk Sumur Minyak Sistem sumur produksi yang berhubungan antara formasi produktif dengan

separator, dapat dibagi menjadi beberapa komponen yang berdasarkan kelakuan aliran pada masing-masing komponen, yaitu pada media berpori dan kelakuan aliran dalam pipa. Untuk sumur dengan komplesi sederhana, dapat dibagi dalam enam komponen yaitu: 1. Komponen formasi produktif/reservoir Dalam komponen ini fluida reservoir mengalir dari atas reservoir menuju ke lubang sumur, melalui media berpori, yang dinyatakan dalam bentuk hubungan antara tekanan alir didasar sumur dengan laju produksi. 2. Komponen komplesi Adanya lubang perforasi ataupun gravel pack didasar lubang sumur akan mempengaruhi aliran fluida dari formasi ke dasar lubang sumur. Berdasarkan

51

analisa di komponen ini, dapat diketahui pengaruh jumlah lubang perforasi ataupun adanya gravel pack terhadap laju produksi sumur. 3. Komponen tubing Fluida multifasa yang mengalir dalam pipa tegak ataupun miring akan mengalami kehilangan tekanan yang besarnya antara lain tergantung dari ukuran tubing. Dengan demikian analisa tentang pengaruh ukuran tubing terhadap laju produksi dapat dilakukan dalam komponen ini.

4. Komponen pipa salur Pengaruh pipa salur terhadap laju produksi yang dihasilkan suatu sumur, dapat dianalisa berdasarkan komponen ini, seperti halnya pengaruh ukuran tubing berdasarkan komponen tubing 5. Komponen jepitan Jepitan yang dapasang dikepala sumur dipasang didalam tubing sebagai safety valve, akan mempengaruhi besarnya laju produksi yang dihasilkan dari suatu sumur. Pemilihan ataupun analisa tentang pengaruh jepitan terhadap laju produksi dapat dianalisa di komponen ini. 6. Komponen separator Laju produksi suatu sumur dapat berubah dengan berubahnya tekana kerja separator. Pengaruh perubahan tekanan kerja separator terhadap laju produksi untuk sistem sumur dapat dilakukan di komponen ini. Ke-enam komponen tersebut berpengaruh terhadap laju produksi sumur yang dihasilkan. Laju produksi yang optimum dapat diperoleh dengan cara mengubah-ubah ukuran tubing, pipa salur, jepitan dan tekana kerja separator. Pengaruh kelakuan

52

aliran fluida di masing-masing komponen terhadap sistem sumur secara keseluruhan akan dianalisa dengan menggunakan sistem nodal. Nodal merupakan titik pertemuan antara dua komponen, dan pada titik pertemuan tersebut secara fisik akan terjadi keseimbangan massa fluida yang keluar dari suatu komponen akan sama dengan massa yang masuk kedalam komponen berikutnya yang saling berhubungan atau tekanan diujung suatu komponen akan sama dengan tekanan diujung komponen yang lain berhubungan. Analisa sistem nodal dilakukan dengan membuat diagram tekanan laju produksi, yang merupakan grafik yang menghubungkan antara perubahan tekanan dan laju produksi untuk setiap komponen. Hubungan antara tekanan dan laju produksi diujung setiap komponen untuk sistem sumur secara keseluruhan, pada dasarnya merupakan kelakuan aliran : 1. Media berpori menuju dasar sumur 2. Pipa tegak / tubing dan pipa datar / horizontal 3. Jepitan Analisa sistem nodal terhadap suatu sumur, diperlukan untuk tujuan : 1. Menganalisa kelakuan aliran fluida reservoir di setiap komponen sistem sumur untuk menentukan pangaruh masing-masing komponen tersebut terhadap sistim sumur secara keseluruhan. 2. Menggabungkan kelakuan aliran fluida di reservoir di seluruh komponen sehingga dapat diperkirakan laju produksi sumur. Untuk melakukan analisa pengaruh suatu komponen terhadap sistem sumur secara keseluruhan, dipilih titik nodal yang terdekat dengan komponen tersebut. Sebagai contoh apabila ingin mengetahui pengaruh ukuran jepitan terhadap laju produksi, maka dipilih titik nodal dikepala sumur atau apabila ingin mengetahui

53

pengaruh jumlah lubang perforasi terhadap laju produksi maka dipilih titik nodal di dasar sumur.

3.5.1 Sistem Nodal Pada Sumur Sembur Alam Pada sumur sembur alam, terdapat beberapa faktor yang harus dimengerti secara keseluruhan (lihat Gambar 3.26), dalam hubungannya dengan penentuan laju produksi yang dapat dihasilkan ataupun untuk menganalisa kelakuan produksi dari sumur sembur alam. Faktor tersebut adalah : 1. Inflow Performance, yaitu kelakuan aliran fluida dari formasi ke lubang sumur. 2. Vertikal Flow Performance, yaitu kelakuan aliran fluida dalam pipa vertikal atau tubing. 3. Sistem dipermukaan. 4. Fasilitas peralatan dipermukaan 5. Fasilitas peralatan didalam sumur. Semua faktor tersebut saling berkaitan dengan erat satu sama lain dan merupakan satu kesatuan yang mempengaruhi aliran gas, minyak dam air dari reservoir sampai ke sistem permukaan. dan gambar berikut ini akan menunjukan letak dari pada faktor-faktor tersebut dalam sistem produksi secara keseluruhan.

54

Gambar 3.26 Sistim Sumur Secara Keseluruhan.

Analisa sistem nodal merupakan suatu cara pendekatan untuk optimisasi produksi sumur minyak dan gas, dengan cara mengevaluasi secara menyeluruh sistem produksi sumur. Secara lengkap tujuan analisa nodal untuk suatu sumur yang mempunyai Produktivitas Indeks (PI) dan sistem rangkaian tubing didalam sumur pipa salur di permukaan tertentu adalah sebagai berikut : 1.

Menentukan laju produksi yang dapat diperoleh secara sembur alam.

2.

Menentukan kapan sumur mati.

3.

Menentukan saat yang baik untuk mengubah sumur sembur alam menjadi sumur sembur buatan.

4.

Optimisasi laju produksi

5.

Memeriksa setiap komponen dalam sistem sumur produksi untuk menentukan adanya hambatan aliran.

55

Analisa sistem nodal adalah teknik menganalisa laju produksi pada suatu titik atau node tertentu, dimana pada titik ini terjadi pertemuan dua komponen sistem produksi. Analisa ini berguna untuk mengoptimalkan fungsi dari komponenkomponen yang ada dalam sistem produksi itu sendiri.

Gambar 3.27 Kehilangan Tekanan dalam Sistem Korelasi.

Kehilangan tekanan dapat terjadi dibeberapa tempat didalam sistem yang komplek (lihat Gambar 3.27), mulai dari reservoir sampai keseperator. Nodes atau titik tersebut adalah: •

ΔP1 =

: yaitu kehilangan tekanan pada media berpori.



ΔP2 =

: yaitu kehilangan tekanan pada komplesi.



ΔP3 =

: yaitu kehilangan tekanan pada tubing nipple atau choke.



ΔP3 =

: yaitu kehilangan tekanan pada savety valve.



ΔP5 =

: yaitu kehilangan tekanan pada choke permukaan.



ΔP6 =

: yaitu kehilangan tekanan pada flow line permukaan.

56



ΔP7 =

: yaitu total kehilangan tekanan pada tubing string.



ΔP8 =

: yaitu total kehilangan tekanan flow line.

Disini akan dibahas problem kehilangan tekanan, khususnya yang berhubungan dengan kemampuan sumur untuk memproduksikan fluida yang akan disesuaikan dengan kemampuan pipa tersebut. Dalam urutan pemecahan masalah sistem produksi yang komplek, nodal ditempatkan sebagai bagian yang didefinisikan oleh perbedaan persamaan atau korelasi, disini akan dipakai korelasi kehilangan tekanan dengan menggunakan metode Hagedorn dan Brown.Gambar 3.28 menunjukkan berbagai titik nodal yang dimaksud. Suatu nodal dikelompokkan sebagai fungsi ketika pada titik tersebut terdapat perbedaan. Pengaruh tekanan atau laju alir digambarkan oleh beberapa fungsi matematik. Pemilihan titik nodal itu sendiri tergantung pada komponen yang diinginkan seperti di dasar sumur, kepala sumur, separator, pertengahan reservoir, ujung reservoir dan sebagainya.

Gambar 3.28 Lokasi Berbagai Node pada Sistem Produksi

57

Penyelesaian analisa sistem nodal pada sumur natural flow atau sembur alam, dimana pendekatan sistem nodal adalah cara yang efektif untuk mengevaluasi sistem produksi secara lengkap. Semua komponen didalam sumur mulai dari reservoir (Pr) sampai separator (Psep) dapat dievaluasi. 3.5.1.1.Analisa Nodal Bila Titik Nodal di Dasar Sumur Titik

nodal

ini

merupakan

pertemuan

antara

komponen

formasi

produktif/reservoir dengan komponen tubing apabila komplesi sumur adalah “open hole” atau titik pertemuan antara komponen tubing dengan komponen komplesi apabila sumur diperforasi atau dipasang gravel pack. Jika dasar sumur yang digunakan sebagai titik nodal, maka perhitungan yang dilakukan mulai dari separator ke kepala sumur dan dilanjutkan ke dasar sumur

Gambar.3.29.Arah Perhitungan Analisa Nodal di Dasar Sumur. Dari Gambar 3.29 terlihat bahwa dasar sumur merupakan pertemuan antara dua komponen, yaitu :

58



Komponen sistem rangkaian pipa keseluruhan.



Komponen kemampuan sumur untuk berproduksi, (IPR). Kedua komponen tersebut dinyatakan dalam grafis dalam diagram tekanan-

laju produksi, seperti yang tertera pada Gambar 3.30. Perpotongan kedua grafik tersebut memberikan laju produksi yang sesuai dengan kedua komponen tersebut di atas.

Gambar.3.30 Plot Kurva IPR dan Kurva Tubing Intake Analisa nodal dengan titik nodal didasar sumur ini terutama digunakan untuk penurunan produksi sebagai perubahan IPR di kemudian hari untuk sistem rangkaian pipa keseluruhan yang tetap.

59

3.5.1.2.Analisa Nodal Bila Titik Nodal di Kepala Sumur Tiitik nodal ini merupakan pertemuan antara komponen tubing dan komponen pipa salur dalam hal sumur tidak dilengkapi dengan jepitan atau merupakan titik pertemuan antara komponen tubing dengan komponen jepitan apabila sumur dilengkapi dengan jepitan. Gambar 3.31 menunjukkan arah perhitungan apabila kepala sumur digunakan sebagai titik nodal. Dua komponen yang ditemukan dalam hal ini adalah : 1. Komponen separator dan pipa salur. 2. Komponen reservoir dan tubing. Secara grafis pada tekanan - laju produksi dapat dilihat pada Gambar 3.32 diperlukan perubahan laju produksi terhadap tekanan kepala sumur. Perpotongan kedua grafis tersebut menunjukkan laju produksi yang akan diperoleh sesuai dengan IPR dan ukuran tubing tertentu serta tekanan separator dan ukuran pipa salur yang digunakan. Titik nodal di kapala sumur ini digunakan untuk melihat pengaruh ukuran pipa salur dan kurva tubing untuk beberapa ukuran, maka dapat dipilih kombinasi ukuran pipa salur dan tubing yang terbaik.

60

Gambar 3.31. Arah Perhitungan Analisa Nodal di Kepala Sumur.

Gambar.3.32 Plot Kurva Tubing dan Kurva Pipa Salur

61

3.5.1.3.Analisa Nodal Bila Titik Nodal di Separator Gambar 3.33 menunjukkan arah perhitungan jika separator digunakan sebagai titik nodal. Komponen reservoir dan sistem pipa di dalam sumur dan di permukaan ditentukan dengan harga tekanan separator yang direncanakan, yang secara grafis ditunjukkan pada diagram laju produksi-tekanan pada Gambar 3.34. Cara ini digunakan untuk melihat dengan mudah pengaruh tekanan separator terhadap laju produksi yang akan diperoleh.

Gambar 3.33 Arah Perhitungan Analisa Nodal di Separator

62

Gambar 3.34 Diagram Tekanan Laju Produksi Untuk Rangkaian Pipa.

3.5.1.4.Analisa Nodal di Pertengahan Reservoir.

Sebenarnya solusi untuk posisi nodal ini kurang penting bila dilihat dari segi nilai praktisnya dibandingkan posisi nodal yang lain. Tetapi ini cukup penting untuk menggambarkan bahwa laju alir yang sama ditentukan tanpa mempertimbangkan posisi pemecahannya. Posisi ini cukup bagus sebagai gambaran sederhana dari pengaruh perubahan tekanan reservoir (Pr). Penurunan nilai Pr, menyebabkan GOR akan meningkat ke suatu titik dimanan akan mengurangi jumlah gas yang terlarut dalam reservoir tersebut cara penyelesaiannya pada posisi ini, kita mulai pada titik akhir yang lain (tekanan separator) dan melalui semua jalur sampai mencapai Pr dengan menjumlahkan semua kehilangan yang terjadi pada jalur yang dilalui. Apabila tekanan reservoir cukup besar, sehingga mampu mendorong fluida reservoir dari reservoir ke permukaan maka sumur yang berproduksi dari reservoir

63

tersebut, merupakan sumur sembur alam. keadaan ini umumnya ditemui pada permulaan masa produksi, tetapi keadaan ini tidak dapat dipertahankan antara lain disebabkan penurunan tekanan reservoir.

3.5.2. Sistem Nodal Untuk Sumur Pompa Electrik (ESP)

Analisa sistem nodal dapat digunakan tidak hanya untuk sumur sembur alami tetapi juga dapat digunakan pada sumur dengan pengangkatan buatan, misalnya sumur sembur buatan (gas lift), sumur pompa angguk, sumur pompa electrik (ESP), pompa jet maupun pompa hidraulik. Seperti halnya dengan pemakaian analisa nodal ini dapat pula digunakan untuk pemilihan peralatan pangangkatan buatan, optimasi produksi dan analisa sensitivitas terhadap parameter-parameter pangangkatan buatan. Pada awal perencanaan sumur pangangkatan buatan, sumur tetap diperlakukan sebagai sumur sembur alam. Dengan mempertimbangkan seluruh sistem pipa dan peralatan produksi serta produktifitatif lapisan, dibuat plot antara laju produksi cairan terhadap tekanan pada suatu titik nodal, baik pada kondisi “outflow” dan “inflow”. Pada Gambar 3.35 menunjukkan hasil plot kurva “outflow” dan Kurva “inflow’ apabila titik nodal nya didasar sumur diambil sebagai titik nodal. Sebagai ilustrasi, harga kadar air pada laju produksi cairan, pada Gambar 3.35 sebesar 25%. Laju produksi sumur, ditentukan oleh harga kadar air tesebut meningkat menjadi 70% ternyata kurva inflow tidak memotong kurva outflow. Dalam prakteknya,suatu sumur tidak akan ditunggu sampai “mati”, melainkan apabila sumur tidak lagi dapat berproduksi secara ekonomis, maka sumur dianggap “mati”. Untuk selanjutnya adalah menghidupkan kembali sumur yang telah mati tersebut. Berdasarkan Gambar 3.35, apabila ditinjau dari letak kurva outflow, maka sumur dapat berproduksi kembali apabila kurva outflow tersebut bergeser kebawah sampai memotong kurva inflow. Perubahan letak outflow ini dapat dilakukan dengan menurunkan harga-harga tekanan pada kurva outflow sebesar (P3 – P2), seperti ditunjukkan pada Gambar 3.36.

64

Usaha mengurangi harga-harga tekanan pada kurva outflow dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu : 1.

Dengan menginjeksi gas pada tubing, sehingga perbandingan gas-cairan reservoir yang mengalir dalam tubing akan meningkat, peningkatan perbandingan gas-cairan ini akan menurunkan tekanan aliran dalam tubing (dP), sehingga kurva outflow akan bergeser kebawah dan memotong kurva inflow pada laju alir yangg lebih besar.

2.

Dengan memasang pompa, baik pompa elektrik, angguk, pompa jet, maupun pompa hidrolik. semua pompa tersebut menghasilkan perbedaan tekanan antara titik masuk pompa dengan titik keluar pompa. Apabila perbedaan tekanan yang dihasilkan pompa tersebut cukup besar, maka tekanan pada titik masuk akan rendah. Dengan demikian kurva outflow bergeser kebawah dan memotong kurva inflow pada laju produksi yang lebih tinggi.

Gambar 3.35 Pengurangan Produksi Akibat Peningkatan Water Cut

65

Gambar 3.36 Plot Kurva Outflow Dengan Kurva Inflow

Pembuatan kurva outflow pada analisa sistem nodal untuk sumur pengangkatan buatan, pada dasarnya sama dengan seperti sumur sembur alam. Pembuatan kurva outflow untuk sumur sembur alam lebih mudah dibandingkan dengan pembuatan kurva outflow untuk sumur pengangkatan buatan. Karena kemampuan antara sumur sembur alam dengan sumur pengangkatan buatan, maka perbedaan terletak pada penggunaan perbandingan gas-cairan dari formasi dan perbandingan gas-cairan total (penggabungan antara gas dan formasi dan gas yang diinjeksikan). Analisa sistem nodal pada pompa elektrik ini hampir sama dengan analisa untuk sumur pompa angguk, dan tambahan dalam sistem nodal di pompa elektrik adalah menentukan kehilangan tekanan tersebut antara lain diperlukan kurva kelakuan pompa Pump Performance Curve (Gambar 3.37). Kurva ini tergantung dari pabrik pembuat pompa.

66

Gambar 3.37 Kurva Performance Pompa

Kurva kelakuan pompa menyatakan hubungan antara head, horsepower dan effisiensi terhadap kapasitas laju alir fluida, yang dapat merupakan liquid saja (minyak dan air). Dan juga diasumsikan bahwa pompa dipasang didasar sumur dengan tekanan kepala sumur (pwh) dan diameter tubing tetap. Karena liquid merupakan fluida slightly incompressible, maka volume dari laju produksi dapat dianggap konstan dan sama dengan laju alir produksi di permukaan (Qsc), sehingga Head per Stage nya juga konstan.

 ρ fsc × h   × St ........................................................................... (3-41) P3 = P2 −  808 . 314   Dimana : P3 = Tekanan Tubing Intake, Psi P2 = Tekanan Discharge, Psi h = Head ,ft/stage St = Stage, ft/stage

67

BAB IV ANALISA DATA DAN PERHITUNGAN Lapangan ”JK” yang ditemukan pada bulan Juni 1971 dan di produksikan pada bulan Januari 1973. Puncak produksi 48.000 BOPD dengan 13% water cut pada bulan April 1973 dari sebelas sumur. Water cut terus meningkat dan mencapai 93% pada tahun 2001 ini. Saat ini, lapangan ”JK” telah memproduksikan sekitar 3.900 BOPD dengan 93% water cut. Dengan ikut terproduksinya air pada sumur sembur alam dapat menimbulkan beberapa persoalan antara lain adalah : -

Menimbulkan emulsi

-

Menimbulkan persoalan dalam proses pemisahan

-

Kodisi pengangkatan dari pada sumur berubah

-

Dapat mematikan sumur Dalam melakukan analisa nodal untuk sumur pompa Electric (ESP) dengan

menggunakan pompa REDA dan melihat pengaruh water cut nya sehingga menghasilkan laju produksi yang tinggi pada tekanan didasar sumur produksi, maka akan dilakukan setting di antara perforasi, dan bagaimana hasil produksinya, water cutnya, dan gradient tekanannya, sehingga diperoleh laju alir produksi yang diinginkan. Dalam analisa nodal diperlukan kurva inflow dan kurva outflow pada titik yang ditetapkan.Berikut ini akan dijelaskan prosedur untuk menentukan pengaruh water cut pada sitem produksi dengan menggunakan analisa nodal didasar sumur.

68

4.1

Prosedur Perhitungan Menggunakan Persamaan Kehilangan tekanan Metode Hagedorn & Brown.

Data Sumur Sumur K1

Data-data penunjang : Depth

: 5089 Ft

SFL

: 469 Ft

WFL

: 2170 Ft

WC

: 10 %

SGwtr

: 1.005

API

: 33

Q

: 725.76 Bpd

T

: 234 °F

Pb

: 246 Psi

Tubing Size

: 2.992 in

σ

: 25 dyne/cm

μl

: 0.26 cp

Pa

: 14.7 Psi

Stage

: 102 ft/stage

Sgoil

:

141.5 = 0.86 131.5 + API

A. Penentuan Kurva Inflow Perlu dicari hubungan tekanan didasar suur (Pwf) dengan reservior yang ada, dimana outflow-nya terdiri dari IPR saja. Dengan menggunakan data penunjang di atas dapat kita hitung besarnya harga kurva IPR sebagai berikut :

69

1. Menentukan harga SGmix SGmix = WC × Sg water × (1 − WC ) × SGoil = 0.1*1.005*(1-0.1)*0.86 = 0.875

2. Menentukan nilai Tekanan Reservoir (Pr) . Pr = 0.433 − SGmix * ( Depth − SFL) = 0.433 - 0.875*(5089 - 469) = 1749.73 Psi

3. Menentukan nilai Tekanan Dibawah Sumur (Pwf) Pwf = 0.433 − SGmix * ( Depth − WFL)

= 0.433 – 0.875*(5089 – 2170) = 1105.52 Psi

4. Menetukan nilai Produktiviti Indeks (PI)

PI =

=

Q Pr − Pwf 725.76 1749.73 − 1105.52

= 1.13 Bpd/Psi

5. Menentukan nilai Pwf untuk masing-masing Qasumsi - Asumsi I Asumsikan laju alir (Q = 0Bpd) Pwf = Pr −

Q PI

70

= 1749.73 −

0 1.13

= 1749.73 Psi -Asumsi II Asumsikan laju alir (Q = 100 Bpd) Pwf = Pr −

Q PI

= 1749.73 −

100 =1660.9 Bpd 1.13

- Untuk harga Pwf yang lain dapt dilihat pada tabel 4.1 dibawah.

6. Menentukan Laju Alir Maksimum (Qmax), pada saat Pwf = 0 Psi. Qmax = J (Pr − Pwf

)

= 1.13Bfpd / Psi(1749.73Psi − 0 ) = 1971.2 Bpd

4.1

Hasil Perhitungan Pwf

Q asumsi (Bpd) 0 100 250 500 750 1000 1200 1400 1600 1800 1971,2 2500

Pwf (Psi) 1749,73061 1660,96587 1527,81876 1305,9069 1083,99504 862,083184 684,553698 507,024212 329,494726 151,96524 0

71

Untuk membuat kurva IPR adalah dengan memplot harga Q dan Pwf, maka didapat harga Q pada titik nodal.

B. Penentuan Kurva Outflow Dalam kasus ini dipilih titik nodal didasar sumur yang arahnya dari surface ke reservoir maka komponen pembentuk Kurva inflow-nya adalah Tubing Inflow ditambah tekanan dikepala sumur (Pwh). Dengan menggunakan korelasi Hagedorn & Brown.

1. Tentukan Luas Permukaan Tubing (ΔP) ΔP = πd2/4 = 3.14*(2.992/12)2/4 = 0.048 Ft2 2. Tentukan Kecepatan Superfisial Campuran (Vm) Vsl =

=

Q ∆P

0.0065lbm / cuft = 0.1332 Ft/sec 0.048 ft 2

Maka diperoleh Vm = Vsl= 0.1332 Ft/sec 3. Hitung No-slip liquid hold-up:

λl =

4.

VM 0.1332 Ft / sec = = 1 Ft/sec VSL 0.1332 Ft / sec

Hitung Densitas cairan (ρL)

ρ L = 62.4 * SGmix = 62.4*0.875 = 54.58 lbm/cuft

72

5.

Hitung Densitas Campuran (ρn)

ρ n = ρ L * λ L + ρ g (1 − λ L ) = 54.58*1+0(1-1) = 54.58 lbm/cuft

6.

Hitung ρL/σ

ρ 54.58lbm / cuft = σ 25dyne / cm = 2.2

7.

lbm / cuft dyne / cm

Menentukan Liquid Velosity Number

N Lv = 1.938 * Vsl * (ρ L / σ )

0.25

= 1.938*1*(2.2)0.25 = 0.32

8.

Menghitung Pipe Diameter Number

N d = 1.938 * Vsl * (ρ L / σ )

0.25

= 1.938*1*(2.2)0.25 = 44.5

9.

Menghitung Liquid Viscosity Number N L = 0.15726 * µ L * (1.0 / ρ L * σ )

0.25

= 0.15726*0.26*(1.0/53.68*25)0.25 = 0.034

10. Lihat Gambar 3.7 didapat harga CNL CNL = 0.003

73

11. Menentukan nilai X1 Χ1 =

=

N Lv * CN L * P 0.1 N d * Pa 0.1 0.325 * 0.003 * 246 0.1 44.5 * 14.7 0.1

= 2.81*10-5

12. Lihat gambar 3.8 maka didapat harga HL /ψ HL /ψ = 1 13. Menghitung Faktor Korelasi Sekunder (X2) Χ2 =

=

N Lv * N L Nd

0.38

2.14

0.325 * 0.034 0.38 44.5 2.14

= 2.8*10-5

14. Lihat Gambar 3.9 diperoleh nilai ψ Ψ=1 15. Menentukan harga HL HL = ψ* HL /ψ = 1*1 =1

16. Menentukan harga Densitas Campuran pada hold-up

ρ m = ρ L * H L + ρ g (1 − H L ) = 54.58*1+0(1-1) = 54.58 lbm/cuft

74

17. Menentukan harga Densitas fluida

ρn2 ρf = ρm =

54.58 2 lbm / cuft 54.58lbm / cuft

= 54.58 lbm/cuft

18. Menentukan Viscositas Campuran (μm)

µ m = µ L HL = 0.261 = 0.26 cp

19. Menentukan Nilai Bilangan Reynold N rem = =

1488 * ρ n * Vm * d

µm 1488 * 54.58 * 0.1332 * 0.249 0.26

=1.1*10-4

20. Menentukan Ukuran Tubing

ε

d  = 0.00015  d  12  = 0.0073

21.

Dari gambar 3.5 didapat harga friction (f) f = 0.037

75

22.

Sehingga diperoleh gradient tekanan nya f * ρ m * (Vm ) dp = ρm + 2 * gc * d dh = 54.58 +

2

0.037 * 54.58 * (0.1332 ) 2 * 32.2 * 0.249

2

= 54.58 lb/cuft = (54.58*144) = 0.38 Psi/ft Untuk menentukan gradien tekanan yang lain untuk sumur K1 pada water cut 10 % dapat dilihat pada lampiran A.

23.

Menentukan Harga Kehilangan Tekanan ∆P =

dp * ∆L dh

= 0.38*5089 = 1929.73 Psi

24.

Menentukan Nilai Tekanan Discharge (P2) P2 = Pwh + ∆P = 100 + 1929.73 = 2029.73 Psi

25. -

Menentukan Nilai Tekanan Tubing Intake (P3) Sebelumnya dicari terlebih dahulu Densitas fluida untuk masing-masing Water Cut yang berbeda.

ρ fsc = 350 * WC * γ wsc + 350 * (1 − Wc) * γ osc = 350*0.1*1.005+350*(1-0.1)*0.86 = 306.133 lb/stb

76

 ρ fsc * h   * St P3 = P2 −  808 . 314    306.133 * 57.5  = 2029.73 −   * 102  808.314 

= -172.3 Psi

Menentukan Nilai Tekanan Dibawah Sumur (P4)

-

P4 = P3 + 0.433 * 100 = -172.3+0.433*100 = -128.9 Psi -

Untuk harga P2, P3, P4 yang lain dapat dilihat pada lampiran A.

Nodal di Dasar Sumur Menggunakan Metoda Hagedorn & Brown (WC = 10 %) 2000

Tekanan (Psi)

1500 IPR VOGEL WC = 10 %

1000

500

Q = 1583 Bpd 0 0

500

1000

1500

2000

2500

3000

Laju Alir (Bpd)

Gambar 4.1 Kurva IPR dan Kurva Outflow Dengan WC = 10%

-

Plot hasil Tekanan didasar sumur (Pwf) dengan laju alir asumsi (Qass), maka perpotongan kurva tubing intake dengan kurva IPR nya adalah laju alir

77

optimumnya. Untuk Water Cut nya 10 % dibaca Laju alirnya (Qp) pada tekanan 338.8 Psi adalah 1583 Bpd.

C. Untuk harga Water Cut 0%, 25%, 50%, 75%, 100% dapat dibuat sesuai dengan prosedur diatas dan dapat dilihat pada lampiran A.

D. Dengan menggabungkan semua kurva outflow-nya pada satu grafik maka didapat harga Q untuk masing Water Cut.

Nodal di Dasar Sumur K1 dengan Menggunakan Metoda Hagedorn & Brown 400 380

Tekanan (Psi)

360 340 IPR VOGEL

320

WC = 0 % WC = 10 %

300

WC = 25 % WC = 50 %

280

WC = 75 %

Q = 1578 Bpd

260

WC = 100 % Q = 1581 Bpd

240

Q = 1572 Bpd Q = 1583 Bpd

220

Q = 1568 Bpd

200 1500

1520

1540

Q = 1585 Bpd 1560

1580

1600

1620

1640

Laju Alir (Bpd)

Gambar 4.2

Hasil Plot Antara Inflow dan Outflow Pada Sumur K1.

Dari hasil plot antara inflow (IPR) dengan outflow (P4) dapat dihasilkan harga Q (Bpd) seperti tabel berikut :

Tabel 4.2 Harga Q dengan Metode Kehilangan Tekanan Hagedorn & Brown Sumur K1

Q (Bpd) WC =0% 1585

Q (Bpd) WC = 10% 1583

Q (Bpd) WC = 25% 1581

Q (Bpd) WC = 50% 1578

Q (Bpd) WC = 75% 1572

Q (Bpd) WC = 100% 1568

Data Sumur Sumur K2

Data-data penunjang : Depth

: 4889 Ft

SFL

: 1643 Ft

WFL

: 4216 Ft

WC

: 10 %

SGwtr

: 1.005

API

: 33

Q

: 1972 Bpd

T

: 234 °F

Pb

: 246 Psi

Tubing Size

: 2.992 in

σ

: 25 dyne/cm

μl

: 0.26 cp

Pa

: 14.7 Psi

Stage

: 118 ft/stage

Sgoil

:

141.5 = 0.86 131.5 + API

E. Penentuan Kurva Inflow Perlu dicari hubungan tekanan didasar suur (Pwf) dengan reservior yang ada, dimana outflow-nya terdiri dari IPR saja. Dengan prosedur yang sama dengan K1 menggunakan data penunjang di atas dapat kita hitung besarnya harga kurva IPR sebagai berikut :

Tabel 4.3 Hasil Tekanan (Pwf) dengan Q asumsi Q asumsi (Bpd) 0 100 250 500 750 1000 1200 1600 1800 2000 2487,8 2800

Pwf (Psi) 1229,356 1179,941 1105,818 982,2793 858,7409 735,2024 636,3717 438,7102 339,8794 241,0487 0

Untuk membuat Kurva IPR adalah dengan memplot harga Q dan Pwf, maka didapat harga Q pada titik nodal.

F. Penentuan Kurva Outflow Dalam kasus ini dipilih titik nodal didasar sumur yang arahnya dari surface ke reservoir maka komponen pembentuk Kurva inflow-nya adalah Tubing Inflow ditambah tekanan dikepala sumur (Pwh). Prosedur yang sama dengan sumur K1 menggunakan korelasi Hagedorn & Brown. Tabel 4.4a Menentukan Kehilangan Tekanan Q (Bpd) i 0 100 250 500 750 1000 1200 1600 1800 2000 2487,8 2800

Q asumsi (lbm/cuft) 0 0,006499 0,016247 0,032494 0,048741 0,064988 0,077986 0,103981 0,116979 0,129977 0,161678 0,181968

Pwh (Psi) 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

Pb (Psi) 246 246 246 246 246 246 246 246 246 246 246 246

VsL (ft/sec) 0 0,13317 0,332924 0,665849 0,998773 1,331698 1,598037 2,130716 2,397056 2,663396 3,312998 3,728754

Vm (ft/sec) 0 0,13317 0,332924 0,665849 0,998773 1,331698 1,598037 2,130716 2,397056 2,663396 3,312998 3,728754

ρL (lb / ft) 54,57904 54,57904 54,57904 54,57904 54,57904 54,57904 54,57904 54,57904 54,57904 54,57904 54,57904 54,57904

ρn (lbm/cuft) 0 54,57904 54,57904 54,57904 54,57904 54,57904 54,57904 54,57904 54,57904 54,57904 54,57904 54,57904

Tabel 4.4b Menentukan Kehilangan Tekanan γL

NLV

Nd

NL

CNL

Χ1

HL

Χ2

0

0

44,47009

0,033637

0,0029

0

1

0

1

0,312093

44,47009

0,033637

0,0029

2,7E-05

1

2,56E-05

1

0,780233

44,47009

0,033637

0,0029

6,74E-05

1

6,39E-05

1

1,560466

44,47009

0,033637

0,0029

0,000135

1

0,000128

1

2,340698

44,47009

0,033637

0,0029

0,000202

1

0,000192

1

3,120931

44,47009

0,033637

0,0029

0,00027

1

0,000256

1

3,745117

44,47009

0,033637

0,0029

0,000324

1

0,000307

1

4,99349

44,47009

0,033637

0,0029

0,000432

1

0,000409

1

5,617676

44,47009

0,033637

0,0029

0,000486

1

0,00046

1

6,241862

44,47009

0,033637

0,0029

0,00054

1

0,000511

1

7,764252

44,47009

0,033637

0,0029

0,000671

1

0,000636

1

8,738607

44,47009

0,033637

0,0029

0,000755

1

0,000716

(ft/sec)

Tabel 4.4c Menentukan Kehilangan Tekanan ρm

Ρf

μm

dp/dh

dp/dh

ΔP

(lbm/cuft)

(lbm/cuft)

(cp)

(lbm/cuft)

(Psi/ft)

(Psi)

54,5790419

0

0,26

0

0,048

54,57904

0,379179

1853,807

54,5790419

54,57904

0,26

10357,63

0,0388

54,58138

0,379195

1853,886

54,5790419

54,57904

0,26

25894,08

0,0364

54,57904

0,379179

1853,807

54,5790419

54,57904

0,26

51788,16

0,0332

54,62914

0,379527

1855,508

54,5790419

54,57904

0,26

77682,25

0,033

54,69109

0,379958

1857,612

54,5790419

54,57904

0,26

103576,3

0,0329

54,77763

0,380559

1860,552

54,5790419

54,57904

0,26

124291,6

0,0328

54,86414

0,38116

1863,49

54,5790419

54,57904

0,26

165722,1

0,0327

55,08433

0,38269

1870,969

54,5790419

54,57904

0,26

186437,4

0,0326

55,21659

0,383608

1875,461

54,5790419

54,57904

0,26

207152,7

0,0325

55,36373

0,384631

1880,459

54,5790419

54,57904

0,26

257677,2

0,0324

55,78944

0,387588

1894,919

54,5790419

54,57904

0,26

290013,7

0,0323

56,10756

0,389798

1905,724

Nrem

f

Tabel 4.5 Menentukan Kurva Tubing Intake (Water Cut) Q asumsi

Pwf

Pwh

h

P2

P3

P4

(Bpd)

(Psi)

(Psi)

(ft/stages)

(Psi)

(Psi)

(Psi)

0

1229,356

100

57,5

1953,807

-615,8737

0

100

1179,941

100

57

1953,886

-593,4491

0

250

1105,818

100

56,5

1953,807

-571,1835

0

500

982,2793

100

55,5

1955,508

-524,7919

0

750

858,7409

100

54,1

1957,612

-460,1218

0

1000

735,2024

100

52,5

1960,552

-385,6782

0

1200

636,3717

100

51

1963,49

-315,7047

0

1600

438,7102

100

45

1970,969

-40,08513

3,214874

1800

339,8794

100

41

1975,461

143,1676

186,4676

2000

241,0487

100

35

1980,459

416,3057

459,6057

2487,8

0

100

17

1994,919

1235,187

1278,487

100

0

2005,724

2005,724

2049,024

2800

Plot hasil Tekanan didasar sumur (Pwf) dengan Laju Alir asumsi (Qass) dapat dilihat pada Gambar 4.3, maka perpotongan Kurva Tubing Intake dengan Kurva IPR nya adalah laju alir optimumnya. Untuk water cut nya 10 % dibaca Laju Alir Optimumnya (Qp) pada tekanan 360 Psi adalah 1895,5 Bpd.

Nodal di Dasar Sumur dengan Menggunakan Metoda Hagedorn & Brwon (WC =10%) 2500

2000

IPR VOGEL WC = 10 %

Tekanan (Psi)

1500

1000

500

Q = 1895,5 Bpd

0 0

500

1000

1500

2000

2500

Laju Alir (Bpd)

Gambar 4.3 Kurva IPR dan Kurva Outflow Dengan WC = 10%

3000

G. Untuk harga Water Cut 10%, 25%, 50%, 75%, 100% dapat dibuat sesuai dengan prosedur diatas dan dapat dilihat pada lampiran B.

H. Dengan menggabungkan semua Kurva Outflow-nya pada satu grafik maka didapat harga Q untuk masing Water Cut.

Nodal di Dasar Sumur K2 dengan Menggunakan Metda Hagedorn & Brown 600

550

Tekanan (Psi)

500

IPR VOGEL

450

WC = 0 % WC = 10 % 400

WC = 25 % WC = 50 % WC = 75 %

350

WC = 100 % 300

250

200 1600

1800

2000

2200

2400

2600

2800

3000

Laju Alir (Bpd)

Gambar 4.4

Hasil Plot Antara Inflow dan Outflow Pada Sumur K2.

Dari hasil plot antara inflow (IPR) dengan outflow (P4) dapat dihasilkan harga Q (Bpd) seperti tabel berikut :

Tabel 4.6 Harga Q dengan Metode Kehilangan Tekanan Hagedorn & Brown Sumur

Q (Bpd)

Q (Bpd)

Q (Bpd)

Q (Bpd)

Q (Bpd)

Q (Bpd)

WC =0%

WC = 10%

WC = 25%

WC = 50%

WC = 75%

WC = 100%

1896

1895,5

1895

1891

1890

1889

K2

Data Sumur Sumur K3 Data-data penunjang : Depth

: 4700 Ft

SFL

: 29 Ft

WFL

: 4216 Ft

WC

:0%

SGwtr

: 1.005

API

: 33

Q

: 852 Bpd

T

: 234 °F

Pb

: 246 Psi

Tubing Size

: 2.992 in

σ

: 25 dyne/cm

μl

: 0.26 cp

Pa

: 14.7 Psi

Stage

: 49 ft/stage

Sgoil

:

141.5 = 0.86 131.5 + API

I. Penentuan Kurva Inflow Perlu dicari hubungan tekanan didasar suur (Pwf) dengan reservior yang ada, dimana outflow-nya terdiri dari IPR saja. Dengan menggunakan data penunjang di atas dapat kita hitung besarnya harga kurva IPR pada tabel berikut :

Tabel 4.7 Hasil Tekanan (Pwf) dengan Q asumsi Q asumsi (Bpd) 0 100 250 500 750 1000 1200 1400 1600 1800 2000 2750,31

Pwf (Psi) 1769,045821 1704,724027 1608,241335 1447,436849 1286,632364 1125,827878 997,1842891 868,5407005 739,8971118 611,2535232 482,6099345 0

Untuk membuat Kurva IPR adalah dengan memplot harga Q dan Pwf, maka didapat Kurva IPR Vogel.

J. Penentuan Kurva Outflow Dalam kasus ini dipilih titik nodal didasar sumur yang arahnya dari surface ke reservoir maka komponen pembentuk Kurva inflow-nya adalah Tubing Inflow ditambah tekanan dikepala sumur (Pwh). Dengan Prosedur yang sama dengan sumur K2 yang menggunakan korelasi Hagedorn & Brown :

Tabel 4.8a Menentukan Kehilangan Tekanan Q asumsi (Bpd) 0 100 250 500 750 1000 1200 1400 1600 1800 2000 2750,31

Q asumsi (lbm/cuft) 0 0,006498843 0,016247106 0,032494213 0,048741319 0,064988426 0,077986111 0,090983796 0,103981481 0,116979167 0,129976852 0,178738318

Pwh (Psi) 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50

Pb (Psi) 246 246 246 246 246 246 246 246 246 246 246 246

VsL (ft/sec) 0 0,133169778 0,332924444 0,665848889 0,998773333 1,331697778 1,598037334 1,864376889 2,130716445 2,397056 2,663395556 3,662581716

Vm (ft/sec) 0 0,13316978 0,33292444 0,66584889 0,99877333 1,33169778 1,59803733 1,86437689 2,13071644 2,397056 2,66339556 3,66258172

ρL (lbm/cuft) 54,579042 54,579042 54,579042 54,579042 54,579042 54,579042 54,579042 54,579042 54,579042 54,579042 54,579042 54,579042

ρn (lbm/cuft) 0 54,5790419 54,5790419 54,5790419 54,5790419 54,5790419 54,5790419 54,5790419 54,5790419 54,5790419 54,5790419 54,5790419

Tabel 4.8b Menentukan Kehilangan Tekanan γL

NLV

Nd

NL

CNL

Χ1

HL

Χ2

0

0

44,47008965

0,033637224

0,003

0

1

0

1

0,312093109

44,47008965

0,033637224

0,003

2,7906E-05

1

2,5563E-05

1

0,780232772

44,47008965

0,033637224

0,003

6,9765E-05

1

6,3907E-05

1

1,560465545

44,47008965

0,033637224

0,003

0,00013953

1

0,00012781

1

2,340698317

44,47008965

0,033637224

0,003

0,0002093

1

0,00019172

1

3,120931089

44,47008965

0,033637224

0,003

0,00027906

1

0,00025563

1

3,745117307

44,47008965

0,033637224

0,003

0,00033487

1

0,00030675

1

4,369303525

44,47008965

0,033637224

0,003

0,00039069

1

0,00035788

1

4,993489743

44,47008965

0,033637224

0,003

0,0004465

1

0,00040901

1

5,617675961

44,47008965

0,033637224

0,003

0,00050231

1

0,00046013

1

6,241862179

44,47008965

0,033637224

0,003

0,00055812

1

0,00051126

1

8,583527984

44,47008965

0,033637224

0,003

0,0007675

1

0,00070306

(ft/sec)

Tabel 4.8c Menentukan Kehlangan Tekanan ρm

ρf

μm

dp/dh

dp/dh

ΔP

(lbm/cuft)

(lbm/cuft)

(cp)

(lbm/cuft)

(Psi/ft)

(Psi)

54,5790419

0

0,26

0

0,048

54,5790419

0,3791791

1782,14184

54,5790419

54,57904195

0,26

10357,63287

0,0388

54,5813839

0,3791954

1782,21832

54,5790419

54,57904195

0,26

25894,08219

0,0362

54,5790439

0,3791791

1782,14191

54,5790419

54,57904195

0,26

51788,16437

0,0339

54,6301974

0,3795345

1783,8122

54,5790419

54,57904195

0,26

77682,24656

0,033

54,6910859

0,3799575

1785,80036

54,5790419

54,57904195

0,26

103576,3287

0,0329

54,7776276

0,3805588

1788,62616

54,5790419

54,57904195

0,26

124291,5945

0,0328

54,8641361

0,3811598

1791,45088

54,5790419

54,57904195

0,26

145006,8602

0,0327

54,9659038

0,3818668

1794,77385

54,5790419

54,57904195

0,26

165722,126

0,0326

55,0827856

0,3826788

1798,59033

54,5790419

54,57904195

0,26

186437,3917

0,0325

55,2146369

0,3835948

1802,8956

54,5790419

54,57904195

0,26

207152,6575

0,0324

55,3613126

0,3846138

1807,68493

54,5790419

54,57904195

0,26

284867,0127

0,0323

56,0537901

0,3894247

1830,29605

Nrem

f

Tabel 4.9 Menentukan Kurva Tubing Intake (Water Cut) Q asumsi

Pwf

Pwh

h

P2

P3

P4

(Bpd)

(Psi)

(Psi)

(ft/stages)

(Psi)

(Psi)

(Psi)

0

1769,045821

50

57,5

1832,141845

765,071166

808,37117

100

1704,724027

50

57

1832,218316

774,426513

817,72651

250

1608,241335

50

56,5

1832,141908

783,628979

826,92898

500

1447,436849

50

55,5

1833,812197

803,85702

847,15702

750

1286,632364

50

54,1

1835,80036

831,826034

875,12603

1000

1125,827878

50

52,5

1838,626163

864,344238

907,64424

1200

997,1842891

50

51

1841,450881

895,005583

938,30558

1400

868,5407005

50

48

1844,773848

954,001803

997,3018

1600

739,8971118

50

45

1848,590332

1013,49154

1056,7915

1800

611,2535232

50

40

1852,895604

1110,58557

1153,8856

2000

482,6099345

50

35

1857,684933

1208,16365

1251,4637

2750,31

0

50

13

1880,29605

1639,04529

1682,3453

Nodal di Dasar Sumur dengan Mengguanakan metoda Hagedorn & Brwon (WC = 10%) 2000

Tekanan (Psi)

1500 IPR VOGEL WC = 10 %

1000

500

Q = 1400 Bpd

0 0

500

1000

1500

2000

2500

Laju Alir (Bpd)

Gambar 4.5 Kurva IPR dan Kurva Outflow Dengan WC = 10%

3000

Plot hasil Tekanan didasar sumur (Pwf) dengan Laju alir asumsi (Qass), maka perpotongan Kurva Tubing Intake dengan Kurva IPR nya adalah laju alir optimumnya. Untuk Water Cut nya 10 % dibaca Laju alirnya (Qp) pada tekanan 942.1 Psi adalah 1400 Bpd.

K. Untuk harga Water Cut 10%, 25%, 50%, 75%, 100% dapat dibuat sesuai dengan prosedur diatas dan dapat dilihat pada lampiran C.

L. Dengan menggabungkan semua Kurva Outflow-nya pada satu grafik maka didapat harga Q untuk masing Water Cut.

Nodal di Dasar Sumur K3 dengan Menggunakan Metda Hagedorn & Brown 2000

1800

Tekanan (Psi)

1600

IPR VOGEL Q = 1320 Bpd

WC = 0 % Q = 1340 Bpd

1400

Q = 1298 Bpd

WC = 10 % WC = 25 %

Q = 1380 Bpd

WC = 50 % WC = 75 %

1200

WC = 100 % 1000

Q = 1400 Bpd Q = 1420 Bpd

800 1000

1200

1400

1600

1800

2000

2200

2400

2600

2800

LajuAlir (Bpd)

Gambar 4.6 Hasil Plot Antara Inflow dan Outflow Pada Sumur K3

Dari hasil plot antara inflow (IPR) dengan outflow (P4) dapat dihasilkan harga Q (Bpd) seperti tabel berikut :

Tabel 4.6 Harga Q dengan Metode Kehilangan Tekanan Hagedorn & Browna Sumur K3

Q (Bpd) WC =0% 1420

Q (Bpd) WC = 10% 1400

Q (Bpd) WC = 25% 1380

Q (Bpd) WC = 50% 1340

Q (Bpd) WC = 75% 1320

Q (Bpd) WC = 100% 1298

BAB V PEMBAHASAN

Pada awalnya minyak diproduksi sampai ke permukaan dengan tenaga pendorong alami (Natural Drive), karena terus menerus diproduksikan tenaga pendorong alami mengalami penurunan maka digunakan pengangkatan buatan dengan menggunakan pumping unit. Karena alasan tersebut maka pada lapangan ini dilakukan analisa pengaruh water cut pada sistem produksi dengan nenggunakan analisa nodal. Tugas Akhir ini difokuskan pada 3 sumur yaitu sumur K1, K2, K3 tentang analisa nodal didasar sumur, dan untuk kehilangan tekanan disepanjang tubing digunakan metoda Hagedorn & Brown, metoda yang lain masih ada tapi dalam pembahasan ini tidak dimasukkan. Analisa sistem nodal yang penulis gunakan adalah sumur produksi. Disamping dengan menggunakan metode Hagedorn & Brown, penulis juga membandingkan sejauh mana sensitivitas water cut mempengaruhi perbedaan laju alir (Q). Sebelum masuk pada inti permasalahan ada beberapa fungsi nodal, diantaranya untuk mengoptimalkan system produksi, mengetahui laju alir dan tekanan didasar sumur. Penulis mencoba mengasumsikan beberapa water cut dan tidak ada kriteria khusus dalam perbandingan. Diantaranya data yang diasumsikan adalah sebagai berikut: water cut 10%, 25%, 505, 75%, dan 100%. Muncul pertanyaan water cut mana yang akan sangat mempengaruhi sIstem produksi? Yang jelasnya yang sesuai dengan kondisi aktualnya, diambil dari perpotongan inflow dan outflow yang optimumnya, misalkan saja laju alir 725.26 Bpd pada water cut 10%, maka perpotongan inflow dan outflow adalah 1583 Bpd, sehingga dapat dilihat pangaruh water cut terhadap laju alirnya. Dalam menganalisa nodal yang penting adalah pembuatan kurva infow dan kurva outflow. Dalam kasus ini nodal diletakan didasar sumur, maka inflow-

nya hanya IPR saja, dan kurva outflow-nya terdiri dari tekanan dikepala sumur, tekanan tubing intake yang merupakan tekanan disepanjang tubing mulai dari surface sampai ke reservoir yang dipengaruhi tekanan dikepala sumur, tekanan hidrostatik, kehilangan tekanan akibat gesekan. Didalam perhitungan kehilangan tekanan akibat gesekan terdapat parameter-parameter yang mempengaruhinya, salah satu parameter tersebut adalah water cut.Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pembahasan sumur K1, K2, K3 dengan perbedaan water cutnya, dan kehilangan tekanan sepanjang tubing dengan metode Hagedorn & Brown. Laju produksi untuk sumur K1 1583 BPD dengan 10% water cut, untuk sumur K2 1891 BPD dengan 50 % water cut, dan untuk sumur K3 laju produksinya 1320 BPD dengan water cut 75% pada tahun 2009.

Tabel 5.1 Hasil Harga Q dari Berbagai Water Cut (Hagedorn & Brown) Sumur

Q (Bpd)

Q (Bpd)

Q (Bpd)

Q (Bpd)

Q (Bpd)

Q (Bpd)

WC = 0%

WC = 10%

WC = 25%

WC = 50%

WC = 75%

WC = 100%

K1

1585

1583

1581

1578

1572

1568

K2

1896

1895.5

1895

1891

1890

1889

K3

1420

1400

1380

1340

1320

1298

BAB VI KESIMPULAN Dari analisa data dan perhitungan yang menggunakan metode kehilangan tekanan dengan korelasi Hagedorn dan Brown untuk menentukan pengaruh Water Cut pada sistem produksi di sumur K1, K2, K3, pada lapangan “JK”,dengan menggunakan pompa REDA dapat diambil beberapa kesimpulan :

1. Secara umum penambahan Water Cut pada Laju Alir fluida akan menyebabkan produksi disumur tersebut akan menurun , terbukti dari peningkatan produksi air yang berlebihan di lapangan “JK” berkaitan dengan adanya reservoir yang bertenaga dorong air (Water Drive Reservoir).

Sumur

Q (Bpd)

Q (Bpd)

Q (Bpd)

Q (Bpd)

Q (Bpd)

Q (Bpd)

WC = 0%

WC = 10%

WC = 25%

WC = 50%

WC = 75%

WC = 100%

K1

1585

1583

1581

1578

1572

1568

K2

1896

1895.5

1895

1891

1890

1889

K3

1420

1400

1380

1340

1320

1298

2.

Bahwa dengan menggunakan metoda Hagedorn & Brown dilapangan “JK” maka didapat perbedaan yang signifikan pada kehilangan tekanan ditubing untuk masing-masing sumur.

3.

Analisa nodal yang dipakai adalah node didasar sumur, dengan melihat pengaruh parameter nya, maka didapat nilai water cutnya untuk masingmasing sumur, sebagai kurva tubing intake.

Related Documents


More Documents from ""