HUKUM PERDATA INTERNASIONAL Tentang Analisa Pelaksanaan Putusan Hakim Asing di Indonesia
Oleh:
MUHAMMAD BAYU
PEMBATALAN KONTRAK DAGANG INTERNATIONAL DEWAN ARBITRASE DIKESAMPINGKAN Kasus Posisi: Seorang Pengusaha Indonesia di Jakarta pada 1982 mengimpor gula pasir putih dari seorang pengusaha gula di London. Jual beli gula pasir putih ini dituangkan dalam suatu Perjanjian Dagang yaitu: 1.
Contract for White Sugar No. 7458 tanggal 12 Februari 1982, untuk jual beli gula sebanyak 300.000 metrik ton.
2.
Contract for White Sugar No. 7527 tanggal 23 Maret 1982, untuk jual beli gula sebanyak 100.000 metrik ton.
Dalam Perjanjian jual beli gula tersebut: - Pihak Penjual adalah E.D. & F. MAN SUGAR, Ltd, Sugar quay London. Sedang pihak Pembeli adalah Jani Haryanto (Importir Indonesia) berkedudukan di Jakarta. - Dalam pasal 14 dari Contract for White Sugar No. 7458 dan No. 7527, telah disepakati bersama yang isinya sebagai berikut: "segala sengketa yang timbul dalam pelaksanaan perjanjian jual beli gula ini, kedua pihak sepakat diselesaikan oleh "suatu Badan Arbitrase Gula" atau yang disebut dengan istilah: "The Council of The Refened Sugar Association" yang berkedudukan di London, sesuai dengan ketentuan dalam "the Rules of the Refened - Sugar Association Relating to Arbitration.
Kemudian Contract for White Sugar tersebut ditanda tangani oleh kedua belah pihak pada Februari dan Maret 1982. Pelaksanaan perjanjian jual beli gula pasir ini ternyata mengalami kegagalan, karena pihak Pembeli, Importir Indonesia Jani Haryanto, menolak melaksanakan perjanjian jual beli tersebut, dengan alasan bahwa import gula pasir adalah wewenang dari BULOG (BADAN URUSAN LOGISTIK). Perorangan/Pribadi tidak dibenarkan import gula. Larangan ini diatur dalam: 1.
Keputusan Presiden No. 43/Tahun 1971, tanggal 14 Juli 1971, yang berisikan: Kebijaksanaan Pemerintah dalam bidang Pengadaan beras, gula dan lain-lain oleh BULOG.
2.
Keputusan Presiden No. 39/1978, yang mengatur kewenangan BULOG dalam mengendalikan pengadaan harga beras, gula ... dst.
Pada saat perjanjian jual beli dibuat dan ditanda tangani, kedua belah pihak tidak mengetahui adanya Keppres No. 43/1971 jo Keppres No. 39/1978 tersebut. Baru diketahui setelah perjanjian akan dilaksanakan. Mengetahui adanya larangan import gula ke Indonesia oleh perorangan (importir) yang diatur dalam Keppres No. 43/1971, maka pihak importir Indonesia, Pihak Pembeli (Jani Haryanto) berusaha untuk membatalkan perjanjian jual beli (Contract for White Sugar No. 7458 dan No. 7527) tersebut. Sebaliknya Pihak Penjual Exportir gula di London (E.D. & F. MAN SUGAR, Ltd) karena perjanjian (contract) tersebut dibatalkan oleh Pembeli (Importir Indonesia), maka Penjual menuntut uang ganti rugi karena pembatalan perjanjian oleh Pembeli sebesar + Rp. 146.000.000,Sengketa ini telah ditangani di Negara Inggris yaitu: - The English High Court di London
- The English Court of Appeal di London yang memberikan putusan, bahwa sesuai dengan bunyi Contract yang telah disepakati, maka sengketa tersebut merupakan wewenang "Dewan Arbitrase Gula" di London (The Council of Refened Sugar Association di London). Diperintahkan agar sengketa tersebut diajukan kepada Dewan Arbitrase. Sengketa belum sampai diajukan ke Dewan Arbitrase di London, maka beberapa waktu kemudian, pihak Pembeli/Importir Indonesia (Jani Haryanto) berusaha membatalkan pelaksanaan "Perjanjian jual beli gula" tersebut diatas melalui Badan Peradilan di Indonesia, setelah tidak berhasil melalui Peradilan di Inggris. Pada tahun 1988, maka pengusaha Indonesia bernama : Jani Haryanto sebagai Penggugat mengajukan gugatan perdata terhadap Tergugat: Penjual gula di Inggris, yakni E.D. & F. MAN SUGAR LTD. LONDON di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dengan dalil yang pokoknya sebagai berikut: 1.
bahwa antara Penggugat dengan Tergugat telah disepakati Perjanjian jual beli gula, yang dituangkan dalam Contracta for White Sugar No. 7458, tanggal 12 Februari 1982 dan No. 7527 tanggal 23 Maret 1982.
2.
bahwa menurut Keppres No. 43/1971 jo Keppres No. 39/1978, ditentukan bahwa pembelian (pengadaan) gula pasir hanya dapat dilakukan oleh BULOG.
Dengan adanya larangan pengadaan gula oleh perorangan dalam Surat Keputusan Presiden tersebut diatas, maka Perjanjian Jual Beli Gula (Contract for White Sugar) tersebut diatas menjadi batal demi hukum, karena Perjanjian tersebut mempunyai causa/sebab yang dilarang oleh Peraturan. Hal mana sesuai dengan ketentuan dalam pasal 1320 (4) jo pasal 1337 BW. Penggugat tidak ingin melaksanakan Perjanjian jual beli yang causanya dilarang oleh Peraturan Negara RI tersebut.
Sebaliknya Tergugat, Penjual gula selalu berusaha mengambil langkah untuk melaksanakan Perjanjian Jual Beli Gula tersebut atau menuntut ganti rugi uang. Dengan dalil gugatan tersebut, maka Penggugat mengajukan tuntutan (petitum) yang pokoknya sebagai berikut: Dalam Provisi: Memerintahkan Tergugat untuk tidak mengambil tindakan apapun yang bersumber pada Perjanjian Jual Beli Gula tersebut dengan sanksi Tergugat harus membayar uang paksa Rp. 1.000.000,perhari bila perintah tersebut dilanggarnya. Dalam Pokok Perkara: 1.
Membatalkan atau Menyatakan Batal Demi Hukum Perjanjian: a. Contract for White Sugar No. 7458. b. Contract for White Sugar No. 7527. dengan segala akibat hukumnya.
2. Menghukum Tergugat untuk tunduk dan taat kepada putusan ini. PENGADILAN NEGERI: Gugatan Perdata yang diajukan oleh Pengusaha Importir Indonesia terhadap mitra dagangnya Luar Negeri E.D. & F. MAN SUGAR LONDON tersebut diajukan dan diterima oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan dasar pasal 100 Rv. Pihak Kuasa Tergugat dalam menanggapi gugatan tersebut mengajukan "eksepsi tentang kewenangan absolut" dengan menyatakan sebagai berikut: Bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili sengketa dagang jual beli ini. Alasannya dalam salah satu clausule Perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak pasal 14 ditentukan bahwa semua sengketa yang timbul dalam pelaksanaan
Perjanjian ini akan diselesaikan oleh Dewan Arbitrase Gula di London, atau The Council of the Refened Sugar Association sesuai dengan Rules of the Refened Sugar Association Relating of Arbitration. Dengan demikian sengketa pelaksanaan Perjanjian Jual Beli Gula ini sesuai dengan kesepakatan harus diselesaikan oleh Dewan Arbitrase Gula di London. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana halnya The English High Court, seharusnya menyerahkan sengketa ini kepada "Dewan Arbitrase" yang disepakati oleh para pihak. Di dalam Akta Perdamaian juga telah disepakati diselesaikan oleh Dewan Arbitrase. PUTUSAN SELA: Hakim Pertama dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, setelah memeriksa perkara ini memberikan "Putusan Sela" yang amarnya: 1. 2. 3.
Menolak eksepsi yang diajukan oleh Tergugat. Menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat adalah berwenang memeriksa dan mengadili gugatan ini. Memerintahkan kepada para pihak untuk melanjutkan perkara ini.
"Putusan Sela" tersebut didasari oleh pertimbangan hukum yang inti pokoknya sebagai berikut: Eksepsi ini berkaitan dengan "Clausule Arbitrase", ex pasal 14 Perjanjian Jual Beli. Karena kedua Perjanjian Jual Beli (Contract) tersebut adalah menjadi pokok persengketaan antara para pihak, yang oleh Penggugat dimohon pembatalannya didalam "Pokok Perkara", maka hakekat daripada materi eksepsi tentang kewenangan "Dewan Arbitrase" sudah tidak bersifat eksepsi lagi, melainkan sudah menyangkut materi pokok perkara.
Dengan alasan ini, maka persoalan eksepsi tentang "Dewan Arbitrase" ini, tidak harus diajukan dalam tahap eksepsi, melainkan akan diperiksa dalam materi pokok perkara. PUTUSAN AKHIR: Selama sidang, Tergugat tidak menjawab materi pokok perkara, sebagaimana yang didalilkan oleh Penggugat dalam Surat Gugatannya. Namun Tergugat masih tetap menyatakan bahwa sengketa ini harus diselesaikan oleh "Dewan Arbitrase di London". Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang memeriksa sengketa ini. Hakim Pertama yang mengadili perkara gugatan ini dalam putusannya mengemukakan pertimbangan hukum yang intinya sebagai berikut: Bahwa benar sengketa tentang pelaksanaan Perjanjian (Contract) ini telah pernah diperiksa oleh Badan Peradilan Asing di London yang mendasarkan putusannya pada Contract for White Sugar No. 7458 dan No. 7527 tentang jual beli gula antara Penggugat dengan Tergugat. Bahwa perbuatan import gula oleh seseorang pribadi (Penggugat) adalah perbuatan yang bertentangan dengan Surat Keputusan Presiden No. 43/1971; dengan demikian menurut Hakim Pertama, maka Contract (Perjanjian) jual beli gula pasir antara Penggugat dengan Tergugat ini adalah didasarkan kepada "sebab atau causa yang dilarang", karena causa tersebut bertentangan dengan peraturan yang berlaku di negara Republik Indonesia. Dengan demikian, maka Perjanjian Jual Beli Gula (Contract for White Sugar No. 7458 dan No. 7527) antara Penggugat dengan Tergugat harus dibatalkan. Mengenai adanya putusan Badan Peradilan Asing (English High Court dan The English Court of Appeal tanggal 5 Maret 1986), Hakim Pertama berpendapat, bahwa putusan Hakim Asing ini adalah putusan yang bertentangan dengan Undang-Undang dan
Ketertiban Hukum di Indonesia, maka Putusan Hakim Asing di London tersebut adalah putusan yang tidak mempunyai daya mengikat. Dengan pertimbangan hukum yang intinya dikutib di atas, maka Hakim Pertama memberikan "Putusan Akhir" yang diktumnya sebagai berikut: Mengadili: Dalam Eksepsi: Menolak eksepsi yang diajukan oleh Tergugat. Dalam Provisi: Menolak permohonan provisi. Dalam Pokok Perkara: 1. Membatalkan dengan segala akibat hukumnya: - Perjanjian Contract for White Sugar No. 7458 tgl. 12 Februari 1982; - Perjanjian Contract for White Sugar No. 7527 tgl. 23 Maret 1982; 2. Menghukum Tergugat untuk taat dan tunduk kepada putusan ini. 3. Menghukum Tergugat untuk membayar ongkos perkara ini. 4. dst ................................... dst ................................... dst. PENGADILAN TINGGI: Pihak Tergugat "E.D. & F. MAN SUGAR Ltd." menolak putusan Pengadilan Negeri tersebut di atas dan mohon pemeriksaan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Hakim Banding setelah memeriksa perkara ini dalam putusannya memberikan pertimbangan hukum yang pokoknya sebagai berikut: Bahwa in casu, ternyata Pembanding semula Tergugat telah menyangkal bahwa Perjanjian (Contract, bukti P.1 dan P.2) adalah sebagai Perjanjian yang sah sebagaimana diatur dalam pasal 1320 B.W., karena itu, sebelum dapat melaksanakan kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa melalui Arbitrase, a quo, perlu
ada kepastian lebih dulu; apakah Perjanjian P.1 dan P.2 sudah sah atau belum. Dan masalah ini adalah merupakan materi pokok perkara. Dalam hal ini, lain halnya, apabila Perjanjian P.1 dan P.2 tersebut tidak disangkal kebenarannya atas perjanjian penyelesaian melalui Arbitrase a quo, telah dibuat tersendiri dan terpisah dari Perjanjian P.1 dan P.2 tersebut, maka kesepakatan tentang penyelesaian sengketa tersebut melalui Arbitrase adalah merupakan masalah "kewenangan absolut" dalam mengadili perkara yang timbul dalam perjanjian yang bersangkutan. (Bandingkan Putusan Mahkamah Agung RI No. 1851.K/Pdt/1984 tanggal 24 Desember 1985). Mengenai pelaksanaan putusan Hakim Negara Asing dan putusan Arbitrase Asing, maka Hakim Banding berpedoman kepada Putusan Mahkamah Agung RI No. 2944.K/Pdt/1983, tanggal 29 Nopember 1984, yang menggariskan "Putusan Hakim Negara Asing dan putusan Dewan Arbitrase Asing, tidak dapat dilaksanakan di Indonesia, kecuali kalau antara Negara Republik Indonesia dengan Negara Asing tersebut, telah diadakan Perjanjian ......................... dst. Dengan pertimbangan yang intinya dikutib diatas, maka Hakim Banding berpendirian bahwa putusan dan pertimbangan dari Hakim Pertama dinilai sudah benar dalam menyelesaikan perkara ini. Berdasar atas alasan ini, maka Hakim Banding memberikan putusan; Menguatkan putusan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. MAHKAMAH AGUNG RI: E.D. & F. MAN SUGAR LTD. London, menolak putusan Pengadilan Tinggi yang diktumnya menguatkan putusan Hakim Pertama tersebut diatas dan mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung RI.
Pemohon Kasasi mengajukan beberapa "keberatan kasasi" yang salah satunya dikemukakan sebagai berikut: Bahwa menurut Contract (P.1 dan P.2) telah diatur bahwa para pihak telah memilih domisili hukum dihadapan suatu "Dewan Arbitrase" yaitu: The Council of the Refened Sugar Association" di London. Karena itu gugatan ini harus melalui "Dewan Arbitrase" London sesuai dengan kesepakatan dalam Contract (P.1 dan P.2). Bahwa antara pihak telah dibuat "Perjanjian Perdamaian" untuk menyelesaikan sengketa antara para pihak melalui "Dewan Arbitrase". Bahwa masalahnya bukan pelaksanaan putusan Arbitrase Asing. Judex facti salah menjabarkan sanggahan pemohon kasasi, karena: - hingga kini sengketa masih belum sampai pada tahap melaksanakan putusan "Dewan Arbitrase Asing", karena putusan Arbitrase Asing masih belum ada. - Putusan Dewan Arbitrase Asing yang dipilih oleh kedua belah pihak, masih belum pernah ada. - Dengan demikian judex facti salah menerapkan hukum. Bahwa baik di dalam Contract (bukti P.1 dan P.2), maupun dalam "Akta Perdamaian" (P.21) biar bagaimanapun masih sah berlaku, bahwa para pihak sepakat untuk menyelesaikan segala sengketa yang timbul dari Contract tersebut melalui dan dihadapan "Dewan Arbitrase". Dengan adanya kesepakatan untuk penyelesaian sengketa ini melalui
Analisa Kasus Putusan arbitrase internasional/asing (foreign arbitral awards) ialah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional. Hukum acara Perdata kita (HIR/RBg.) tidak mengatur mengenai eksekusi putusan hakim asing termasuk putusan arbitrase asing, kecuali kalau ada perjanjian tentang pelaksanaan putusan pengadilan asing atau putusan arbitrase asing. Yurisprudensi pada umumnya mengikuti ketentuan pasal 436 Rv, melarang untuk melaksanakan putusan hakim asing. Hal ini sesuai dengan doktrin yang menyatakan yurisdiksi peradilan ditentukan oleh batasbatas kedaulatan atau kekuasaan negara (principle of Territorial Souvereignity). Indonesia baru meratifikasi 2 konvensi internasional yang berhubungan dengan pelaksanaan putusan arbitrase asing yaitu :
1. Convention on the Settlement of Investment Disputes Between States and Nationals of Other States. atau ICSID Convention, berdasarkan Undangundang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Persetujuan atas Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan antara Negara dan Warga Negara Asing mengenai Penanaman Modal tanggal 29 Juni 1968. 2. Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards atau New York Convention 1958 disahkan berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 34 Tahun 1981. Sekalipun pada tahun 1981 kita sudah meratifikasi konvensi New York 1958, akan tetapi putusan arbitrase asing belum dapat dilaksanakan secara efektif , karena menurut Mahkamah Agung belum ada aturan pelaksanaannya. Baru pada tahun 1990, dengan terbitnya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 1990 putusan arbitrase asing dapat dilaksanakan di Indonesia, dan kemudian dikuatkan lagi dengan lahimya Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Lembaga yang memberikan otoritas tunggal untuk menangani masalah pengakuan (recognition) dan pelaksanaan (enforcement) putusan arbitrase asing di Indonesia ialah Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tentang bagaimanakah putusan arbitrase asing dilaksanakan, maka dalam hal ini meliputi tiga tahap : 1. tahap penyerahan dan pendaftaran putusan. 2. tahap pemberian eksekuatur. 3. tahap eksekusi putusan.
tersebut
Tahap Penyerahan dan Pendaftaran Putusan. Putusan arbitrase asing barn dapat dilaksanakanldieksekusi setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan (deponir/deposit) oleh arbiter atau kuasanya kepada Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan hams dilengkapi data-data : a. lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase asing b. terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia c. lembar asli atau salinan otentik perjanjian d. terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia
e. keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia yang bersangkutan. Tahapan Pemberian Eksekuatur. Putusan arbitrase asing tersebut dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, atau dari Mahkamah Agung dalam hal salah satu pihaknya menyangkut Negara Republik Indonesia. Ketua Pengadilan Negeri, sebelum memberikan perintah pelaksanaan (eksekuatur) terhadap putusan arbitrase yang bersangkutan, diwajibkan terlebih dahulu untuk memeriksa secara substantif, apakah putusan arbitrase asing tersebut ; - melebihi kewenangan arbiter, - bertentangan dengan ketertiban umum, - telah memenuhi syarat, bertentangan dengan kesusilaan, dalam ruang lingkup perdagangan, sengketa yang tidak boleh didamaikan, - tentang hak dalam kekuasaan para pihak. Tahap Pelaksanaan/Eksekusi Putusan. Undang - undang Arbitrase menyatakan bahwa tatacara untuk melaksanakan suatu putusan arbitrase asing tersebut berpedoman kepada Hukum Acara Perdata yang berlaku. Menurut hukum acara perdata kita, suatu putusan pengadilan dan berlaku juga terhadap putusan arbitrase asing, dijalankan dengan tatacara sebagai berikut : - Peringatan/tegoran (aanmaning), - Sita Eksekusi (Executorial Beslag), - Penjualan/Lelang, - Pengosongan.