Anakku Sudah Bisa Kencing Sendiri Oleh Prie GS Kami sekeluarga belum lama ini menyelenggarakan sebuah syukuran sederhana atas keberhasilan anak bungsu kami yang masih balita karena ia sudah bisa kencing sendiri. Ini adalah prestasi pertamanya sejak ia bayi. Kami semua berteriak gembira menyambut hari yang bersejarah ini. Dan si anak bukan main gembira melihat respon sekitarnya yang begitu luar biasa. Ia merasa telah menjadi anak gede, suatu imajinasi yang tak henti-hentinya ia bayangkan. Ia mulai merasa nikmatinya menjadi gede dan menolak disebut sebagai bocah. Memang kencing pertama ini belum sempurna. Masih muncrat di sana-sini, baju serta kaos anak ini pun menjadi pesing semua. Ia pun belum cukup sabar untuk menunggu tetes terakhir habis dan sudah buru-buru memasukkan titit kecilnya itu kembali ke celana. Tapi siapa peduli atas ketidaksempurnaan ini. Kami semua menciuminya bertubi-tubi dan kami kabarkan prestasi ini ke tetangga dan sanak saudara. Kami tidak peduli apakah para tetangga ini peduli. Kami juga tak mau repot-repot apakah respon mereka itu sekadar basa-basi, tulus atau malah muak. Yang jelas kami menjadi sibuk dengan kegembiraan kami sendiri. Bagi kami yang merawat ini sejak ia masih dalam kandungan, prestasi semacam ini jelas sesuatu yang mengguncangkan. Inilah ancaman beranak-pinak, kami begini gampang menjadi menyebalkan tanpa kami sadari. Bayangkan, jangankan membuka celanannya sendiri untuk kemudian bisa pipis sendiri, bahkan ketika anak ini mulai bisa menatap benda-benda, mulai bisa menatap lawan bicaranya pun, kami semua berteriak-teriak gembira. Ketika kemudian ia bisa mengapai-gapai dan bersuara, kami berteriak-teriak lagi. Pendek kata, sepanjang menyangkut soal anak, hidup kami menjadi penuh teriakan. Tapi setelah rampung menuntaskan hajat kegembiraan ini saya mengajak istri untuk bincang-bincang secara serius. ''Mulai saat ini, anak kita sudah akan terbiasa mengelola tititnya sendiri. Memang masih akan butuh bantuan kita, tapi sepenuhnya, barang itu akan menjadi miliknya yang sangat pribadi. Ia akan menjadi anak muda nanti. Dan kita pernah mengalami sendiri, betapa berat menjadi anak muda. Kita sendiri butuh jatuh bangun untuk menyelamatkan masa muda kita. Jurang menganga di mana-mana dan kita suka atau terpaksa pasti pernah berada di tepi-tepinya. Beruntung tidak sampai nyebur, tapi sungguh itu adalah sebuah tahapan yang sangat berbahaya. Terpeleset sedikit kita sudah langsung akan terkubur di dalam aib bersama.'' Istri saya mulai sentimental. Matanya mulai berkaca-kaca. Saya tetap tidak peduli dan semangat kotbah saya malah menjadi-jadi. ''Padahal kau tahu, mengurus titit itu makin lama makin tidak mudah. Bayangkan, jika banyak remaja sekarang ini tidak cuma bebas pacaran tapi juga bebas begituan. Sambil begituan pun mereka mereka bisa memotret aksinya sendiri, merekamnya sendiri untuk akhirnya dipertontokan sebagai bioskop umum nasional,'' kata saya. Kali ini saya terpaksa menghentikan kotbah karena istri saya sudah menangis dengan kerasnya. Sebabnya jelas, ia pasti tengah membayangkan fantasi buruk tentang anak kesayangannya. Di luar, anak-anak saya tampak bercanda dengan gembira. Si balita, yang lagi-lagi dengan suara keras pamer pada teman-temannya bahwa betapa ia sekarang sudah bisa pipis sendiri. Sementara banyak anak-anak tertawa mendengar pengakuan anak ini, tangis istri saya malah makin menjadi-jadi. Susah payah saya menenangkannya, ini bukti bahwa beranak-pinak tidak cuma berisi teriakan dan kegembiraan semata, tapi juga puasa terus-menerus. Puasa dalam
berbagi bentuk. ''Aku puasa untuk tidak selingkuh, dan kamu kuat puasa untuk setia,'' kata saya. ''Karena jika orang tuanya rajin puasa, anak-anak itu pasti terperangkap dalam resonansinya. Jika ia melanggar pasti cukup sewajarnya. Jika ia terpeleset, pasti cepat bangunnya dan jika ia salah, pastilah mudah ampunannya,'' tambah saya sok berfilsafat. Maka tantangan saya pada istri ialah: kuatkah kita berdua selalu berpuasa menghadapi zaman yang keras ini. Ia tidak menjawab. Tapi begitulah gayanya jika ia sedang setuju. Mirip ketika saya pertama kali melamarnya. ''Puasa, siapa takut!'' kami berdua akhirnya tertawa.