Anak-anak Menerima Rapot Musim anak menerima rapot, mirip Lebaran saja layaknya. Sekolah jadi ramai sekali. Mobil-mobil berderet, dan ada bazar pula sebagai pelengkapnya. Sementara anak-anak langsung sibuk dengan keramaian, orang tualah yang tegang tehadap rapot anakanaknya. Para guru menjadi seperti pejabat saja layaknya. Diantre demikian rupa. Para orang tua itu, ada yang cuma bapaknya, ada yang cuma ibunya, ada yang lengkap bapak dan ibunya, seperti pasien yang saling berebut dokter. Dan rapot itu, seperti diagnosa penyakit, yang ditunggu dengan segenap ketegangan. Jika vonis dokter ternyata menggembirakan, jika ranking anak naik, seorang ibu bisa keluar ruangan seperti pasien rampung dioperasi. Tangannya melambai ke mana saja. Tawanya berderai ke segenap jurusan dan ia menjadi ramah luar biasa. Tapi jika ranking anaknya melorot, nilai-nilainya merosot, orang tua ini bisa menjadi pasien yang hendak menyandera dokternya. Ia mengusut habisan-habisan: ada apa dengan penyakit anak ini, kenapa ia tiba-tiba terserang wabah goblok. Padahal semua jenis alat kepintaran telah disediakan, jam belajar ketat diterapkan, hukuman kemalasan kerap dijatuhkan, tetapi kenapa ranking ini merosot juga. Pendek kata ini kemerosotan harus dijelaskan sejelas-jelasnya. Jangan-jangan semua ini salah gurunya. Pokoknya, kekecewaan ini harus dihibur sebesar-besarnya. Guru itu harus tetap di tempat, melayani segenap keributan ini dengan kesabaran ekstra. Ketika giliran saya tiba, guru ini pun bersiap melayani kecerewetan berikutnya. Senyum ramahnya masih mengembang. Tapi mustahil disembunyikan, betapa ia telah amat lelah akibat telah menjawab ragam pertanyaan, begitu sibuk melayani berbagai interogasi dan keluhan. Betapa ada saja jenis orang tua yang terlalu banyak bertanya, terlalu banyak tidak puas, meski semua jawaban sudah diberikan. Karena sesungguhnya, para orang tua yang sedang berduka itu memang tidak sedang bertanya, tapi sedang ngerumpi, curhat sedang menumpahkan perasaan. Jadi tak ada batasan waktu bagi pemuas perasaan. Maka kalau boleh jujur, guru ini pasti sudah depresi dengan topeng keramahan. Maka senyum yang mengembang di depan saya itu lebih mirip senyum manusia yang nyaris putus asa. Ia telah hampir menyerah karena apapun situasinya, ia cuma satu pilihan: keramahan. Jadi sebel sambil ramah tentu tugas yang menyiksa. Tapi guru ini pasti salah sangka. Karena sejak jauh-jauh hari, saya sudah tidak berniat mengganggu kelelahannya. Saya cuma butuh menerima rapot itu untuk secepatnya pulang, itu saja. Bagi saya ranking anak naik-anak merosot tak membuat berubah hidup saya. Semua masih begini-begini saja. Jika anak ranking pertama, bukan berarti ia terlalu pintar. Jika anak merosot nilainya, bukan berarti ia terlalu goblok. Jadi tak perlu harus serba buru-buru. Maka ketika keputusan itu pula yang saya ambil, guru ini nyaris terbelalak. Bisa jadi ia bergembira atas sikap saya, tapi bisa juga dihinggapi rasa bersalah karena telah berpikir dengan prasangka. Jangan-jangan saya juga akan bawel seperti yang ia duga. Dan ketika saya bener-benar berlalu tanpa membuka rapot itu di hadapannya, melakukan klarifikasi, menginterogasi segenap asal usul nilai anak, dan meyakinkan bahwa apapun nilai yang ada di dalamnya tidak membuat gengsi saya di kampung turun, tidak membuat saya menjadi tambah miskin atau tambah kaya, tidak juga membuat anak saya bergembira atau berduka karena ia tengah sibuk dengan bazarnya.... Guru ini tampak lega luar biasa. Lega karena tak harus lagi harus melayani kecerewetan yang pasti sudah membosankan hatinya itu.
Benar, keputusan ini saya ambil, karena ada perasaan tidak tega mengganggu guru yang sudah lelah ini. Yang saya tidak tahu, apakah besar gajinya sudah sepadan dengan besar tanggung jawabnya. Walau niat ini sebetulnya bukan niat utama. Yang utama ialah karena saya tidak tega membayangkan anak saya menjadi pihak yang teraniaya. Dia masih sekecil itu. Adakah ia akan saya tuntut untuk pintar metematika, agama, bahasa, menggambar, sempoa, komputer, menyanyi, menari dan olah raga sekaligus. Adakah ia adalah anak seorang superhero yang bisa menjadi ahli apa saja di usia sedini itu. Saya khawatir semua ini hanyalah sarana menjadikan anak sebagai alat pemuas bapak-ibunya. Maka, katimbang sibuk membuka rapot anak demi melihat nilainya, saya lebih suka melihat foto si kecil ini yang bikin tertawa karena matanya yang memelas dan bibirnya yang cenderung ngowoh dan terbuka. Hahaha.... Sungguh fotocopy bapaknya! Saya bersyukur, apapun kualitas tampang anak saya, ia tidak mirip wajah tetangga. (PrieGS/)