All Of.docx

  • Uploaded by: Sbol Ola
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View All Of.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 18,735
  • Pages: 87
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masyarakat dalam istilah bahasa Inggris adalah society yang berasal dari kata Latin socius yang berarti (kawan).Istilah masyarakat berasal dari kata bahasa Arab syaraka yang berarti (ikut serta dan berpartisipasi).Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul, dalam istilah ilmiah adalah saling berinteraksi.Suatu kesatuan manusia dapat mempunyai prasarana melalui warga-warganya dapat saling berinteraksi. Definisi lain, masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu bersifat kontinyu, dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Kontinuitas merupakan kesatuan masyarakat yang memiliki keempat ciri yaitu: 1) Interaksi antar warga-warganya, 2). Adat istiadat, 3) Kontinuitas waktu, 4) Rasa identitas kuat yang mengikat semua warga (Koentjaraningrat, 2009: 115-118). Komunitas (community) adalah sekelompok masyarakat yang mempunyai persamaan nilai (values), perhatian (interest) yang merupakan kelompok khusus dengan batas-batas geografi yang jelas, dengan norma dan nilai yang telah melembaga (Sumijatun dkk, 2006). Keperawatan komunitas sebagai suatu bidang keperawatan yang merupakan perpaduan antara keperawatan dan kesehatan masyarakat (public health) dengan dukungan peran serta masyarakat secara aktif serta mengutamakan pelayanan promotif dan preventif secara berkesinambungan tanpa mengabaikan perawatan kuratif dan rehabilitatif secara menyeluruh dan terpadu yang ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok serta masyarakat sebagai kesatuan utuh melalui proses keperawatan (nursing process) untuk meningkatkan fungsi kehidupan manusia secara optimal, sehingga mampu mandiri dalam upaya kesehatan (Mubarak, 2006). Dalam penyelenggaraannya pelayanan keperawatan komunitas tidak lepas dari pelayanan pada kelompok khusus seperti pelayanan terpusat dilakukan di sekolah, lingkungan kesehatan kerja, lembaga perawatan kesehatan di rumah dan lingkungan kesehatan kerja lainnya (Mubarak 2006). Mengurangi transmisi penyakit menular antar pekerja, memberikan program peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, dan

pendidikan kesehatan.Khususnya pada daerah yang merupakan tempat beresiko terjadi penularan penyakit. B. Tujuan 1. Tujuan Umum Untuk mendeskripsikan asuhan keperawatan mengenai kelompok khusus dalam pelayanan keperawatan komunitas pada WTS, Lembaga Pemasyarakatan, Kelompok Remaja dengan Masalah Seks, dan Penyalahgunaan obat kriminal

2. Tujuan Khusus a. Mendeskripsikan tentang konsep lokalisasi dalam konteks pelayanan keperawatan komunitas. b. Memberikan gambaran pelaksanaan asuhan keerawatan pada kelompok khusus WTS

BAB II PEMBAHASAN 1. KELOMPOK WTS A. Definisi Kata prostitusi berasal dari perkataan latin prostituere yang berarti menyerahkan diri dengan terang-terangan kepada perzinahan. Sedangkan secara etimologi berasal dari kata prostare artinya menjual, menjajakan (Simandjuntak, Patologi Sosial (Bandung: Tarsito, 1985), hal. 112.). Jadi prostitusi adalah suatu transaksi antara si peerempuan pelacur dan si pemakai jasa pelacur yang memberi sejumlah uang untuk interaksi seksual.(Ratna Saptari, BrigitteHolzner, Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial Sebuah Pengantar Studi Perempuan, 1997, hal. 391).Lokalisasi merupakan suatu bentuk dari legalisasi aktifitas prostitusi secara eksklusif pada suatu wilaya tertentu. Jadi Lokalisasi erat kaitannya dengan prostitusi atau dengan kata lain sebagai bentuk legalisasi praktek atau aktifitas prostitusi. Ada tiga Kategori PSK di Indonesia: 1. Kelompok perempuan cantik yang memilih profesi menjajakan diri dengan bayaran sangat tinggi. 2. Grup PSK yang menjajakan diri mereka ditemani dengan mucikari dan biasanya ditemukan di tempat lokalisasi 3. Kelompok pelacur yang sungguh-sungguh menjajakan diri karena terdesak kebutuhan ekonomi

B. Jenis Prostitusi dan Lokalisasi Jenis prostitusi dapat dibagi menurut aktivitasnya yaitu terdaftar dan terorganisir, dan yang tidak terdaftar. a. Prostitusi yang terdaftar Pelakunya diawasi oleh bagian Vice Control dari kepolisian, yang dibantu dan bekerja sama dengan jawatan sosial dan jawatan kesehatan. Pada umumnya mereka dilokalisir dalam satu daerah tertentu. Penghuninya secara periodik harus memeriksakan diri pada dokter atau petugas kesehatan, dan mendapatkan suntikan serta pengobatan, sebagai tindakan dan keamanan umum. b. Prostitusi yang tidak terdaftar Termasuk dalam kelompok ini ialah mereka yang melakukan prostitusi secara gelap-gelapan dan liar, baik secara perorangan maupun dalam kelompok. Perbuatannya tidak terorganisir, tempatnya pun tidak tertentu. Bisa disembarang tempat, baik mencari mangsa sendiri maupun melalui calo-calo dan panggilan. Mereka tidak mencatatkan diri kepada yang berwajib. Sehingga kesehatannya sangat diragukan, karena belum tentu mereka itu mau memeriksakan kesehatannya kepada dokter. Menurut jumlahnya, prostitusi dapat dibagi dalam: 1. Prostitusi yang beroprasi secara individual, merupakan single operator. Atau 2. Prostitusi yang bekerja dengan bantuan organisasi dan sindikat yang teratur rapi. Jadi mereka itu tidak bekerja sendirian akan tetapi diatur melalui satu sistem kerja suatu organisasi. Noeleen Heyzer membedakan tiga macam tipe pelacur menurut hubungannya dengan pihak pengelola bisnis pelacuran, yaitu: a. Mereka bekerja sendiri tanpa calo atau majikan. Sering kali mereka beroperasi di pinggir jalan atau keluar masuk satu bar ke bar lain. b. Mereka memiliki calo atau beberapa calo yang saling terkait secara hierarkis. Calo atau perantara bisa “germo” yang mengkhususkan diri pada bisnis pelacuran, pemilik club malam, guide turis baik lokal maupun asing, supir taksi atau pegawai hotel. Biasanya si pelacur sendiri hanya memperoleh sebagian kecil dari uang yang dibayarkan oleh kliennya.

c. Mereka berada langsung di bawah naungan sebuah lembaga atau organisasi mapan. Contohnya klub panti pijat, tempat lokalisasi dan hotelhotel (Ratna dan Brigitte, 199, hal. 391). Sedang menurut tempat penggolongan atau lokasinya, prostitusi dapat dibagi menjadi: -

Segregasi atau lokalisasi, yang terisolir atau terpisah dari kompleks penduduk lainnya. Komplek ini dikenal sebagai daerah “lampu merah” atau petak-petak daerah tertutup.

-

Rumah-rumah panggilan (call houses tempat rendezvour, parlour).

-

Dibalik front organisasi atau dibalik business-business terhormat. (apotik, salon kecantikan, rumah makan, tempat mandi uap dan pijat, anak wayang, sirkus dan lain-lain) (Kartini Kartono, Patologi Sosial ,1981, hal. 240242.).

C. Faktor Penyebab terjadi Prostitusi Kehidupan wanita dalam dunia seks (prostitusi), bisa terjadi karena dua faktor utama yaitu “faktor internal” dan “faktor eksternal”.Faktor internal adalah yang datang dari individu wanita itu sendiri, yaitu yang berkenaan dengan hasrat, rasa frustrasi, kualitas konsep diri, dan sebagainya.Sedangkan faktor eksternal adalah sebab yang datang bukan secara langsung dari individu wanita itu sendiri melainkan karena ada faktor luar yang mempengaruhinya untuk melakukan hal yang demikian.Faktor eksternal ini bisa berbentuk desakan kondisi ekonomi, pengaruh lingkungan, kegagalan kehidupan keluarga, dan sebagainya. Selain itu factor penyebab terjadninya prostitusi menurut Kartini Kartono, 1981 hal adalah sebagai berikut : 1. Adanya kecenderungan menghancurkan diri 2. Adanya nafsu seksual yang abnormal 3. Tekanan ekonomi 4. Aspirasi material (materialistis) 5. Kompensasi terhadap perasaan inferior 6.

Rasa ingin tahu yang besar

7. Memberontak terhadap otoritas orang tua 8. Pengalaman seksual di masa anak 9. Tergiur bujukan laki-laki hidung belang atau calo 10. Banyaknya stimulasi seksual 11. Broken home 12. Pengaruh narkoba D. Faktor Pendukung Prostitusi Menurut penelitian yang dilakukan oleh Setiawan tahun 2010 dengan metode wawancara terhadap 20 wanita yang terlibat prostitusi dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab mereka terjun ke dunia ‘hitam’ tersebut adalah sebagai berikut : -

Faktor ekonomi, yaitu sebanyak 45%,

-

Faktor frustasi karena putus cinta, sebanyak 20%,

-

Faktor lingkungan 15%,

-

Faktor hasrat seks 10%, dan

-

Faktor tipuan mucikari yang katanya hendak mencarikan kerja yang pantas dan gajinya besar, sebanyak 10%

E. Eradikasi (Penanggulangan Prostitusi) Usaha untuk mengatasi masalah tuna susila ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu: a. Usaha yang bersifat preventif Usaha yang bersifat preventif diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan untuk mencegah terjadinya pelacuran. Usaha ini antara lain berupa: 1) Penyempurnaan

perundang-undangan

mengenai

larangan

atau

pengaturan penyelenggaraan pelacuran. 2) Intensifikasi pemberian pendidikan keagamaan dan kerohanian untuk memperkuat keimanan terhadap nilai-nilai religius dan norma kesusilaan 3) Menciptakan bermacam-macam ksibukan dan kesempatan bagi anakanak puber dan adolesens untuk menyalurkan kelebihan energinya.

4) Memperluas lapangan kerja bagi kaum wanita, disesuaikan dengan kodrat dan bakatnya, serta mendapatkan upah/gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap harinya. 5) Penyelenggaraan pendidikan seks dan pemahaman nilai perkawinan alam kehidupan keluarga. 6) Pembentukan

badan

atau

team

koordinasi

dari

semua

usaha

penanggulangan pelacuran, yang dilakukan oleh beberapa instansi. Sekaligus mengikut sertakan potensi masyarakat lokal untuk membantu melaksanakan kegiatan pencegahan dan penyebaran pelacuran. 7) Penyitaan terhadap buku-buku dan majala-majalah cabul, gambargambar porno, film-film biru dan sarana-sarana lain yang merangsang nafsu seks. 8) Meningkatkan kesejahteraan rakyat pada umumnya. b. Tindakan bersifat represif dan kuratif Sedang usaha yang represif dan kuratif dimaksudkan sebagai; kegiatan untuk menekan (menghapuskan, menindas) dan usaha menyembuhkan para wanita dari ketuna susilaannya, untuk kemudian membawa mereka ke jalan benar. Usaha represif dan kuratif ini antara lain berupa: 1) Melalui lokalisasi yang sering ditafsirkan sebagai legalisasi, orang melakukan pengawasan/kontrol yang ketat demi menjamin kesehatan dan keamanan para prostitue serta lingkungannya. 2) Untuk mengurangi pelacuran, diusahakan melalui aktivitas rehabilitasi dan resosialisasi, agar mereka bisa

dikembalikan sebagai warga

masyarakat yang susila rehabilitasi dan resosialisasi ini dilakukan melalui pendidikan moral dan agama, latihan-latihan kerja dan pendidikan keterampilan agar mereka bersifat kreatif dan produktif. 3) Penyempurnaan tempat-tempat penampungan bagi para wanita tuna susila yang terkena razia, disertai pembinaan mereka, sesuai akat dan minat masing-masing. 4) Pemberian suntikan dan pengobatan pada interval waktu tetap untuk menjamin kesehatan para prostitue dan lingkungannya.

5) Menyediakan lapangan kerja baru bagi mereka yang bersedia meninggalkan profesi pelacuran dan mau memulai hidup susila. 6) Mengadakan pendekatan terhadap pihak keluarga para pelacur dan masyarakat asal mereka, agar mereka mau menerima kembali bekasbekas wanita tuna susila itu mengawali hidup baru. 7) Mencarikan pasangan hidup yang permanen/ suami bagi para wanita tuna susila, untuk membawa mereka ke jalan benar. Pemerintah juga telah menempuh berbagai upaya untuk mengatasi masalah pelacuran dan akibat yang ditimbulkannya, diantaranya dengan sering mengadakan rasia oleh trantib untuk menangkap dan kemudian memberi pengarahan kepada para pelacur jalanan, namun cara itu tidak efektif menekan perkembangan

prostitusi.

Upaya-upaya

yang

dilakukan

Pemerintah

dalam penanggulangan prostitusi antara lain dengan cara : 1. Melarang dengan undang-undang, diikuti oleh razia-razia/penangkapan, sesuai dengan Peraturan daerah yang berlaku (Mislanya wilayah jawa barat Perda yang mengatur adalah Peraturan Daerah Kota Bandung No.11 Tahun 2005 Tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan, selanjutnya disingkat PERDA K3 khususnya Pasal 39 huruf (g, h, i) yang berbunyi : “Dalam rangka mewujudkan Daerah yang bersih dari tuna wisma , tuna social dan tuna susila, setiap orang, Badan Hukum dan/atau perkumpulan, dilarang: a. Menyediakan, menghimpun wanita tuna susila untuk dipanggil, member kesempatan kepada khayalak umum untuk berbuat asusila; b. Menjajakan cinta atau tingkah lakunya yang patut di duga akan berbuat asusila dengan berada di jalan, jalur hijau, taman dan tempat umum lainnya serta tempat-tempat yang dicurigai akan digunakan sebagai tempat melakukan perbuatan asusila; c. Menarik keuntungan dari perbuatan asusila sebagai mata pencaharian.” 2. Dengan pencatatan dan pengawasan kesehatannya, 3. Ditampung di tempat-tempat jauh di luar kota dengan pengawasan dan perawatan serta diberikan penerangan-penerangan agama atau pendidikan juga diadakan larangan-larangan terhadap anak-anak muda yang mengunjungi tempat tersebut, 4. Rehabilitasi dalam asrama-asrama dimana para pelacur yang tertangkap diseleksi, yang dianggap masih dapat diperbaiki ditampung dalam asrama,

mereka dididik dalam keterampilan, agama dan lain-lain dipersiapkan untuk dapat kembali ke masyarakat sebagai warga yang baik kembali. Kurangnya sanksi atau hukuman bagi laki-laki hidung belang yang menikmati jasa para pelacur mengakibatkan para penikmat perempuan malam itu tidak merasa jera. Selama tidak ada solusi pemecahan persoalan pelacuran yang tepat, maka upaya-upaya yang telah dan akan ditempuh ibaratnya seperti meremas sebuah balon, di mana bagian yang ditekan akan cenderung tenggelam dan tidak tampak, akan tetapi bagian yang lain akan menonjol lebih besar. Hal ini persis seperti apa yang terjadi dengan persoalan prostitusi di Jakarta; begitu satu lokalisasi dirazia dan ditutup, maka akan muncul lokalisasi-lokalisasi lainnya. F. Prevalensi Tempat Lokalisasi di Indonesia Menurut beritagar.id.com dalam Indonesia Bebas Prostitusi 2019, kemensos mencatat ada 168 daerah yang memiliki lokalisasi prostitusi, dengan jumlah PSK (Pekerja Seks Komersial) 56.000 orang pada bulan februari 2016. Selain itu Kalimantan Timur memiliki lokalisasi prostitusi terbanyak di Indonesia. Setidaknya ada sekitar 4.000 PSK yang tersebar di 35 lokalisasi. Penutupan dilakukan secara bertahap. Ketika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menutup Kalijodo, beberapa waktu lalu, Jumlah lokalisasi di Indonesia kini tinggal 99 tempat. Dari jumlah tersebut, sebanyak 35 lokalisasi berlokasi di Kalimantan Timur, 12 di antaranya di Kukar. Dilansir dari detik.com pada bulan juni 2016 kemensos Khofifah Indar Parawansa dalam acara penutupuan 22 titik lokalisasi di Kalimantan timur menyatakan: “Penutupan seluruh titik lokasi dan lokalisasi di Kalimantan Timur, berarti secara nasional tinggal 69 titik lagi. Yang terbesar sekarang 11 titik lokalisasi di Jawa Barat.” Selain itu Khofifah dalam sambutannya menyampaikan “ di Indonesia, jumlah lokalisasi terbesar kini ada di Jawa Barat.” G. Dampak Prostitusi Prostitusi ditinjau dari sudut manapun merupakan suatu kegiatan yang berdampak tidak baik (negatif). Dampak negatif tersebut antara lain :

a. Secara sosiologis, prostitusi merupakan perbuatan amoral yang bertentangan dengan norma dan etika yang ada di dalam masyarakat, b. Dari aspek pendidikan, prostitusi merupakan kegiatan yang demoralisasi, c. Dari aspek kewanitaan, prostitusi merupakan kegiatan merendahkan martabat wanita, d. Dari aspek ekonomi, prostitusi dalam prakteknya sering terjadi pemerasan tenaga kerja, e. Dari aspek kesehatan, praktek prostitusi merupakan media yang sangat efektif untuk menularnya penyakit kelamin dan kandungan yang sangat berbahaya, f. Dari aspek kamtibmas, praktek prostitusi dapat menimbulkan kegiatankegiatan criminal, g. Dari aspek penataan kota, prostitusi dapat menurunkan kualitas dan estetika lingkungan perkotaan. H. Faktor Penyebab Penutupan Lokalisasi Prostitusi Berbicara tentang faktor penyebab penutupan lokalisasi prostitusi, maka tidak lepas dari akibat-akibat yang ditimbulkan dari prostitusi sendiri, diantaranya yaitu: a. Menimbulkan dan menyebarluaskan penyakit kelamin dan kulit. b. Merusak sendi-sendi kehidupan keluarga c. Mendemoralisir atau memberikan pengaruh demoralisasi kepada lingkungan, khususnya anak-anak muda remaja pada masa puber dan adolesensi. d. Berkorelasi dengan kriminalitas dan kecanduan bahan-bahan narkotika (ganja, morfin, heroin, dan lain-lain). e. Merusak sendi-sendi moral, susila, hukum dan agama. f. Adanya pengeksploitasian manusia oleh manusia lain.

B. LEMBAGA PEMASYARAKATAN A. Definisi Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan (Pasal 1 ayat (3) UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan). Lembaga Pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sistem pemasyarakatan merupakan serangkaian penegakan hukum yang bertujuan agar Warga Binaan Pemasyarakatan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. B. Ciri ciri warga binaan permasyarakatan Warga Binaan Pemasyarakatan Terdiri dari: 1. Narapidana Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di LAPAS. 2. Anak Didik Pemasyarakatan Anak Didik Pemasyarakatan adalah: a. Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 tahun. b. Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 tahun.

c. Anak Sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 tahun. Penempatan Anak Sipil di LAPAS Anak paling lama 6 bulan bagi mereka yang belum berumur 14 tahun, dan paling lama 1 tahun bagi mereka yang pada saat penetapan pengadilan berumur 14 tahun dan.

C.

Klasifikasi 1. Asas Pelaksanaan Sistem Pembinaan Sesuai UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas: a. pengayoman, b. persamaan perlakuan dan pelayanan, c. pendidikan, d. pembimbingan, e. penghormatan harkat dan martabat manusia, f. kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan, dan g. terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu. (Pasal 5)

2. Penggolongan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Dalam rangka pembinaan terhadap Narapidana di LAPAS dilakukan penggolongan atas dasar: a. umur, b. jenis kelamin, c. lama pidana yang dijatuhkan, d. jenis kejahatan, e. kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan (Pasal 12)

3. Hak Narapidana (Pasal 14) a. melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya; b. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani; c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran; d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; e. menyampaikan keluhan; f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang; g. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan; h. menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya; i. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi); j. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga; k. mendapatkan pembebasan bersyarat; l. mendapatkan cuti menjelang bebas; dan m. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. D.

Pertumbuhan dan perkembangan fisik kognitif dan psikososial Jumlah kriminalitas secara kuantitas maupun kualitas semakin meningkat. Secara kuantitas nampak dari hampir semua lembaga pemasyarakatan overcapacity. Banyaknya kasus pembunuhan semakin sadis dilakukan dengan mutilasi; kasus pemerkosaan pada anak, korbannya semakin muda dan pelakunya dapat dilakukan oleh saudara, paman, guru, pejabat bahkan ayah kandung sendiri; dan kasus korupsi juga makin marak melibatkan pejabat. Dari perspektif psikologi penyebab kriminalitas adalah multifactor, salah satunya adalah aspek psikologis seseorang yang berinteraksi dengan penyebab eksternal, seperti kontrol diri kurang dan masalah emosi yang berinteraksi dengan pengaruh eksternal seperti pengaruh kelompok sebaya yang negatif. Seorang anak yang pengelolaan emosi dan kontrol dirinya negatif dan adanya pengaruh buruk teman ganknya dapat menyebabkan anak terlibat tawuran dan berakibat kematian. Dengan perspektif tersebut, diperlukan rehabilitasi dalam penanganan criminal.

Lapas adalah muara dari sebuah sistem hukum, tempat pembinaan para pelaku kriminal yang sudah divonis bersalah oleh peradilan pidana. Fungsi Lapas dalam kacamata psikologi menjadi lebih dituntut untuk menjalankan fungsi konstruktif yang menekankan pada upaya menciptakan konstruk perubahan perilaku; fungsi rehabilitatif yang mengkoreksi/memperbaiki dan memulihkan atas perilaku yang salah menjadi lebih benar; dan fungsi transformatif yaitu membangun manusia baru yang kemudian akan siap menjadi bagian masyarakat yang lebih produktif secara sosial dan tidak mengulang tindak kejahatan. Peran psikologi menjadi lebih urgent untuk memaksimalkan peran lembaga pemasyarakatan baik dalam tataran keilmuan maupun praktik profesi psikologi itu sendiri, baik untuk perlakuan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) maupun untuk kesiapan mental para petugas pemasyarakatan dalam mengemban amanat UU Pemasyarakatan. Beberapa masalah psikologis yang muncul di lembaga pemasyaratan yang membutuhkan penanganan psikolog antara lain : 1.

Overcapacity sel akan menimbulkan perasaan ketersesakan yang

mempengaruhi proses kognitif dan emosi serta perilaku WBP. Interaksi antara berbagai perangkat hukum yang ada di Lapas, seperti sistem hukum, prosedur keamanan dan pengamanan, tata ruang dan orang-orang yang terlibat di dalamnya baik itu Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP), petugas pemasyarakatan sampai Kepala Lapas dan pengunjung Lapas memproduksi satu proses psikologis yang kental dengan ketidaknyamanan. 2.

Berbagai dimensi sosial, budaya, ekonomi, hukum kriminal, dan politik

berkonfigurasi dan turut berinteraksi menjadi sebuah proses belajar yang menghasilkan perilaku unik, baik pada WBP maupun petugas. Secara teoritis, berbagai situasi di Lapas kerap menjadi pencetus terjadinya sebuah proses keterasingan yang ditandai dengan meningkatnya rasa kesepian, hasrat hidup yang menurun, hasrat untuk meraih sesuatu namun sulit untuk meraihnya. Kondisi seperti ini berisiko tidak mampu ditampung dalam jendela toleransi individu sehingga potensial terjadi keadaan frustrasi dengan respon-respon yang tidak diharapkan mulai dari meningkatnya agresivitas sampai pada situasi krisis

emosional dan kognitif yang berujung pada keadaan depresif dan perilaku bunuh diri.Intervensi Krisis merupakan salah satu program yang sangat dibutuhkan. Bukan hanya sekali dua kali terjadi tindakan bunuh diri atau pembunuhan pada WBP di dalam Lapas. 3.

Pada masing-masing terpidana mati, meskipun memiliki kondisi yaitu

menunggu proses eksekusi yang telah dijadwalkan, ternyata memiliki kondisi psikologis yang berbeda satu sama lain sehingga membutuhkan pendekatan dan perlakuan psikologis yang berbeda. Tujuan pendampingan psikologis adalah mengupayakan kestabilan emosi masingmasing terpidana dalam menghadapi proses eksekusi agar lebih mampu menyiapkan diri dengan risiko minimal seperti kemungkinan terjadinya perilaku agresif ke dalam dirinya sendiri (menyakiti diri hingga bunuh diri), atau perilaku agresif keluar (menyakiti hingga melukai orang lain). Memberikan kesempatan pada terpidana untuk menyampaikan apapun yang dipikirkan dan dirasakan tanpa disalahkan akan menjadi saluran untuk melepas emosinya, dan teknik-teknik stabilisasi serta beberapa teknik menemukan insight sangat membantu terpidana dalam menghadapi situasi yang sangat berat bagi diri dan kehidupannya. Hal tersebut diakui secara langsung oleh para terpidana yang mendapatkan dampingan psikologis. Manusia secara individual tidak bisa lepas dari entitas sosialnya. Selalu ada proses belajar sosial dan pertukaran sosial. Struktur kepribadian individu berada dalam kondisi sosial psikologis lingkungannya akan membentuk pengalaman hidup yang dipersepsi secara individual dan mempengaruhi perilaku. Dengan makin banyaknya warga negara asing yang menjalankan masa pidananya di Lapas Indonesia, terjadi saling bertukar budaya dengan para WBP lain dan para petugas pemasyarakatan. Berbagai motif sosial dan motif personal saling berinteraksi mewujudkan perilaku tertentu. Khususnya pada Anak Didik Pemsyarakatan (ADP), perlu penanganan psikologis yang lebih khusus agar perilaku di lapas bisa terwujud. Pendidikan bagi ADP menjadi problem tersendiri yang perlu dipikirkan beriringan dengan solusi

penanganan perilaku secara tepat. Gambaran secara umum kondisi psikologis ADP di Lapas, anak berisiko dalam hal penghayatan mereka terhadap kondisi kesepian, persepsi terhadap minimalnya dukungan sosial, rendahnya tingkat self efficacy, kepekaan yang rendah terhadap masa depan sampai ke berbagai kecemasan menjelang masa bebas karena mereka mengkhawatirkan adanya stigma yang menghambat masa depan mereka. Diperlukan intervensi psikologis seperti pembinaan kepribadian dan kemandirian sebagai upaya pemasyarakatan, konseling dan psikoterapi untuk membantu ADP mengatur proses berpikir dan emosinya, di samping kegiatan keagamaan, kegiatan hobi dan kegiatan ketrampilan. Selain itu, diperlukan program yang memberi kesempatan pada ADP untuk mengenali dan menyadari potensi diri, diberi kesempatan untuk menampilkan diri dan potensi dirinya dengan umpan balik yang apresiatif. Program-program untuk optimalisasi tumbuh kembang anak seperti lingkungan pola asuh yang penuh cinta serta pemberian model positif menuntut perilaku petugas pemasyarakatan untuk lebih sensitif dalam isu perilaku moral. ADP membutuhkan pula stimulasi perkembangan kognitif dan emosi agar mampu mengembangkan manifestasi pola pikir yang positif disertai kemampuan meregulasi emosi secara adaptif. Isu psikososial saat ADP berada dalam usia pubertas dan remaja dapat diantisipasi melalui pendidikan seksual yang dirancang secara berkesinambungan hingga tertanam pemahaman seksualitas dan moral. Jika dikaitkan dengan Lapas perempuan, maka diperlukan intervensi psikologis yang sensitif terhadap isu gender dan peran seorang perempuan. Misalnya ketika berhadapan dengan situasi dimana WBP perempuan tersebut ternyata sedang mengandung dan harus melahirkan dalam masa hukumannya sehingga tentunya akan menjadi masalah psikologis ganda, baik bagi WBP perempuan itu dan bagi anak yang dilahirkannya.

E.

Pelayanan kesehatan

Kondisi kesehatan di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan negara (rutan) Indonesia sejak tahun 2000-an telah terbawa ke suatu titik yang memprihatinkan. Ledakan epidemi HIV di kalangan pengguna napza suntik di Indonesia dan kebanyakan negara Asia lainnya turut pula masuk ke dalam rutan dan lapas-lapas karena intensifikasi penegakan hukum kasus-kasus narkoba sejak direvisinya kebijakan napza di tanah air pada tahun 1997. Keprihatinan ini mengundang perhatian berbagai pihak termasuk pemerintah untuk merespon situasi yang telah menyebabkan meningkatnya angka kematian dan kesakitan di dalamnya. Departemen Hukum dan HAM RI sendiri sebagai sektor yang langsung mengelola sistem pemasyarakatan, melalui Ditjen Pemasyarakatannya pada tahun 2005 telah merumuskan Strategi Penanggulangan HIV/AIDS dan Penyalahgunaan Narkoba pada Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara di Indonesia 2005-2009. Dokumen tersebut kemudian menjadi refleksi akan perlindungan seluruh warga negara, termasuk penghuni lapas dan rutan, akan layanan kesehatan yang dijamin dalam konstitusi negara Republik Indonesia. Pemerintah sebagai aparatur negara memiliki unit-unit kerja berdasarkan sektor baik di tingkat pusat maupun daerah. Koordinasi lintas sektor dibutuhkan untuk memfungsikan secara efektif seluruh unit kerja pemerintah melalui tugas-tugas pokok dan fungsinya, termasuk produk-produk kebijakannya. Perkembangan situasi di Indonesia, khususnya dalam merespon berbagai permasalahan, turut pula menimbulkan perkembangan sistem pemerintahan termasuk bertambahnya lembaga atau institusi negara yang memiliki tugas khusus terhadap permasalahan spesifik. Walaupun demikian, layanan publik sebagai wujud dari perlindungan HAM harus tetap menjadi perhatian utama untuk dapat meningkatkan kualitas hidup warga negara Indonesia termasuk penghuni lapas dan rutannya. Ketersediaan dan peningkatan mutu layanan tersebut, selain harus berpihak pada kesejahteraan masyarakat (publik), juga hanya akan terjadi ketika unit-unit kerja pemerintah sebagai yang berkewajiban menyediakan layanan dapat berkoordinasi untuk mencapai cita-cita tersebut. a.

Instansi Vertikal Bidang Pemasyarakatan

Lapas dan rutan merupakan unit pelaksana teknis (UPT) Departemen Hukum dan HAM RI melalui Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Dalam melaksanakan kegiatannya sesuai dengan kebijakan dan pedoman yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan, UPT mendapatkan dukungan baik berupa bimbingan teknis maupun pendanaan dari APBN (pusat). Penyusunan rencana kegiatan dan anggaran dilakukan UPT sesuai dengan kebutuhan bidang tugasnya masing-masing (bagian-bagian). Bimbingan teknis pemasyarakatan kepada lapas secara fungsional dilakukan oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan melalui Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM yang bersangkutan. Secara umum, lapas dan rutan memilki peran utama pelayanan atau pelaksanaan teknis di bidang pemasyarakatan. Kantor wilayah adalah instansi vertikal Departemen Hukum dan HAM RI berkedudukan di provinsi yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Hukum dan HAM RI. Terdapat Divisi Pemasyarakatan untuk membawahi bidang pemasyarakatan. Divisi ini melaksanakan sebagian tugas kantor wilayah di bidang pemasyarkatan berdasarkan kebijakan teknis yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pemasyarkatan. Instansi ini juga menyusun rencana kegiatan dan anggaran sesuai dengan tugas dan fungsinya. Peran utama instansi di tingkat kantor wilayah ini adalah supervisi pelaksanaan teknis dan koordinasi di bidang pemasyarakatan. Departemen Hukum dan HAM merupakan instansi pusat yang menaungi bidang pemasyarakatan. Bidang ini berada di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang peran utamanya adalah perumusan kebijakan untuk bidang-bidang kerja di lingkup direktorat jenderal termasuk bimbingan teknis dan evaluasi. Masing-masing instansi yang telah diuraikan di atas bertanggung jawab dalam menyusun dan melaksanakan rencana kerja masing-masing sesuai dengan peran utamanya serta tugas dan fungsi yang telah ditetapkan kepada instansi yang berada di atasnya (vertikal). Secara hukum, instansi ini merupakan instansi dengan domain ‘pemasyarakatan’ mulai dari perumusan kebijakan, pengawasan, hingga pelaksanaan teknis. Jika menyinggung masalah pelayanan kesehatan, maka domain tersebut berada pada departemen lain dimana saat ini telah didesentralisasi – otonomi daerah.

b.

Desentralisasi Bidang Kesehatan

Secara umun peran instansi-instansi untuk bidang kesehatan tidak jauh berbeda dengan instansi

vertikal,

yaitu

terdapat

perumusan

kebijakan,

pengawasan,

dan

pelayanan/pelaksanaan teknis. Namun yang menjadi perbedaan adalah tiap tingkatan daerah memiliki kebijakan masing-masing di bidang tersebut, dan untuk pelaksanaan teknis paling banyak dilakukan di tingkat kota/kabupaten. Kebijakan, yang berkonsekuensi pada anggaran, bidang ini mau tidak mau mengikuti kebijakan dan arah pembangunan pemerintah kota/kabupaten secara umum. Upaya penanggulangan penyakit bisa saja tidak seragam antara daerah satu dengan yang lainnya. Sebagai contoh, terdapat perencanaan dan anggaran untuk pemberantasan muntaber di daerah A, namun tidak di daerah B. Namun jika terdapat wabah muntaber di daerah B, maka pemerintah pusat atau provinsi dapat membantu pemerintah kota/kabupaten tersebut. c.

Memadukan Instansi Vertikal dalam Desentralisasi Kesehatan

Untuk menjawab masalah-masalah kesehatan di lapas dan rutan yang berkedudukan di wilayah suatu kabupaten atau kota, maka pemaduan kedua jenis instansi dan bidang perlu dilakukan. Hal ini bukan hanya untuk perencanaan dan kebijakan, namun juga bimbingan teknis, pengawasan, dan evaluasi pelayanan. Lapas dan rutan memiliki klinik kesehatan, namun klinik ini tentunya tidak dapat berfungsi sebagaimana layaknya puskesmas atau rumah sakit dengan fasilitas dan anggaran operasionalnya. Karena lapas dan rutan berada di wilayah kabupaten atau kota, dan Kanwil Departemen Hukum dan HAM berada di tingkat provinsi, maka kepala UPT pemasyarakatan diharapkan berperan untuk mengkoordinasikan pelayanan kesehatan dengan pemerintah kota/kabupaten. Lapas dan rutan bersama dinas kesehatan dan jajarannya diharapkan dapat menjalin hubungan kerja sesuai tugas dan fungsinya masing-masing. Dengan demikian, maka anggaran, perencanaan, dan pembinaan teknis upaya-upaya pelayanan kesehatan di lapas dan rutan dapat terlaksana dan berkesinambungan. Di tingkat kantor wilayah atau provinsi juga diharapkan terjadi perpaduan tersebut. Sesuai dengan peran utamanya, divisi pemasyarakatan kanwil melakukan koordinasi

dan bimbingan teknis pelayanan kesehatan melalui kerja sama dengan dinas kesehatan provinsi beserta jajarannya. Dengan kata lain, untuk ‘bidang pemasyarakatan’ tiap-tiap tingkatan instansi bekerja secara vertikal, namun untuk ‘bidang layanan kesehatan’ bekerja secara horizontal. Sehingga apa yang tertulis dalam paragraf penutup Ringkasan Eksekutif Strategi Penanggulangan HIV/AIDS dan Penyalahgunaan Narkoba pada Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara di Indonesia 2005-2009, Ditjen Pemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM RI dan yang menjadi kewajiban negara ini dapat terwujud sebagaimana tertulis di bawah ini: “Selanjutnya, narapidana/tahanan yang menderita sakit mendapatkan hak pelayanan kesehatan serta dapat mengikuti kegiatan baik di bidang bimbingan hukum maupun bidang pelayanan sosial di lapas/rutan.” F.

Peran Perawat Peran perawat kesehatan kelompok binaan di lembaga permasyarakatan meliputi beberapa aspek yaitu : 1. Pemberi asuhan keperawatan ( care provider ) Peran perawat pelaksana (care provider) bertugas untuk memberikan pelayanan berupa asuhan keperawatan secara langsung kepada klien (individu, keluarga, maupun komunitas) sesuai dengan kewenangannya. Asuhan keperawatan ini dapat dilakukan perawat dengan memperhatikan keadaan kebutuhan dasar manusia melalui pemberian pelayanan keperawatan dengan menggunakan proses keperawatan, sehingga masalah yang muncul dapat

ditentukan diagnosis keperawatannya, perencanaannya, dan

dilakukan tindakan yang tepat sesuai dengan tingkat kebutuhan yang dialaminya, kemudian dapat dievaluasi tingkat perkembangannya. Asuhan keperawatan yang diberikan melalui hal yang sederhana sampai dengan masalah yang kompleks (Mubarak & Chayatin, 2009). Apabila penghuni lapas terserang penyakit segera melakukan perawatan dengan tata cara penghuni lapas melakukan pendaftaran, pemanggilan tahanan, melakukan anamnesis dan pemeriksaan, terakhir pengambilan obat.

2. Peran sebagai penemu kasus Sebagai perawat kesehatan kelompok binaan lembaga permasyarakatan berperan dalam mendeteksi serta dalam menemukan kasus serta melakukan penelusuran terjadinya penyakit yang menyerang para penghuni lapas.

3. Peran sebagai pendidik kesehatan ( Health Educator ) Sebagai perawat kesehatan kelompok binaan lembaga permasyarakatan harus memberikan pendidikan kepada para penghuni lapas. Pendidikan kesehatan ini bertujuan untuk mengurangi angka sakit antar penghuni lapas.

4. Peran sebagai kolaborator Perawat melakukan koordinasi terhadap semua pelayanan kesehatan serta bekerjasama (kolaborasi) dengan tenaga kesehatan lain dalam perencanaan pelayanan kesehatan serta sebagai penghubung dengan institusi pelayanan kesehatan dan sektor terkait lainnya. Misalnya apabila terdapat penghuni lapas yang sakit maka terlebih dahulu dibawa ke klinik yang ada di lapas dan apabila saran dan prasarana di klinik tidak memadai maka penghuni lapas dapat dibawa ke rumah sakit di luar lapas. 5. Peran sebagai konselor Perawat sebagai konselor melakukan konseling keperawatan sebagai usaha memecahkan masalah secara efektif. Kegiatan yang dapat dilakukan perawat antara lain menyediakan informasi, mendengar secara objektif, memberi dukungan, memberi asuhan dan meyakinkan klien, menolong klien mengidentifikasi masalah dan faktor faktor terkait, memandu klien menggali permasalahan, dan memilih pemecahan masalah yang dikerjakan. Dengan adanya konseling maka muncul pendekatan baik secara psikologis dan fisik bisa dilakukan dengan bimbingan lapas maupun kepala lapas.

G.

ASUHAN KEPERAWATAN a. Pengkajian

1. Pengkajian Sosial a. Umur Saat ini semakin banyak orang yang tinggal dalam panti rehabilitasi baik anak muda maupun dewasa. Sebagian besar pelanggaran yang dilakukan oleh remaja berhubungan dengan kekerasan dan penyalahgunaan obat. Semakin banyak anak muda yang masuk penjara dan diperlakukan seperti orang dewasa. Hal ini berarti bahwa pemberian pelayanan kesehatan harus memenuhi kebutuhan perkembangan usia ini seperti memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis. Dalam institusi correctional juga terjadi peningkatan jumlah orang dewasa secara signifikan. Proses penuaan pada penghuni penjara berarti bahwa perawat harus mengatasi masalah utama yang terjadi pada orang dewasa. b. Fisik Saat ini semakin banyak orang yang tinggal dalam panti rehabilitasi baik anak muda maupun dewasa. Sebagian besar pelanggaran yang dilakukan oleh remaja berhubungan dengan kekerasan dan penyalahgunaan obat. Semakin banyak anak muda yang masuk penjara dan diperlakukan seperti orang dewasa. Hal ini berarti bahwa pemberian pelayanan kesehatan harus memenuhi kebutuhan perkembangan usia ini seperti memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis. Dalam institusi correctional juga terjadi peningkatan jumlah orang dewasa secara signifikan. Proses penuaan pada penghuni penjara berarti bahwa perawat harus mengatasi masalah utama yang terjadi pada orang dewasa.

c. Genetik Ada 2 faktor genetik yang mempengaruhi kesehatan dalam correctional settingadalah jenis kelamin dan etnisitas.

Jenis kelamin Secara umum fasilitas dalam institisi correctional terpisah antara pria dan wanita. Sehingga perawat yang bekerja dengan tahanan pria tidak bekerja seperti tahanan wanita .Namun apapun gender, perawat mungkin menemukan masalah yang unik dalam kelompok baik pria maupun wanita. Tahanan wanita mengalami masalah kesehatan yang berbeda karena jumlah mereka kecil. Etnisitas Merupakan aspek lain yang dipertimbangkan dalam populasi penjara. Anggota kelompok minoritas mempunyai status kesehatan yang rendah dan memiliki resiko terkena penyakitmenular selama dipenjara. Perawat perlu mengkaji kelompok minoritas ini untuk mengetahui masalah utama yang terjadi pada kelompok ini. 2. Pengkajian Epidemiologi Perawat dalam correctional setting perlu mengkaji klien secara individu untuk mengetahui masalah kesehatan fisik. Perawat perlu untuk mengidentifikasi masalah yang memiliki kejadian yang tinggi di institusi. Area yang perlu diperhatikan meliputi penyakit menular, penyakit kronik, cedera dan kehamilan. Penyakit menular meliputi TBC, HIV AIDS , hepatitis B , dan penyakit seksual lain. A. TBC Perawat sebaiknya menanyakan gejala dan riwayat penyakit agar pasien yang terinfeksi dapat diisolasi.

B. HIV AIDS

Perawat mengkaji riwayat HIV, perilaku beresiko tinggi dan riwayat atau gejala infeksi oportunistik yang mungkin terjadi pada semua tahanan. C. Hepatitis B dan penyakit seksual lain Perawat mengkaji riwayat penyakit menular seksual dan hepatitis B serta waspada adanyatanda fisik dan gejala penyakit ini. D. Penyakit kronis yang biasa terjadi antara lain : diabetes, penyakit jantung, dan paru serta kejang. Perawat harus mengkaji dengan tepat riwayat kesehatan dari klien, anggota keluarga dan pemberi pelayanan kesehatan di komunitas. Perawat harus mengkaji adanya penyakit / kondisi kronik pada klien dan mengidentifikasi masalah dengan tingkat kejadian yang tinggi di institusi / populasi dimana ia bekerja. E. Cedera Merupakan area lain dari fungsi fisiologis yang harus dikaji oleh perawat. Cedera mungkin diakibatkan karena aktivitas sebelum penahanan, tindakan petugas atau kecelakaan yang terjadi selama di tahanan. Perawat harus memperhatikan potensial terjadinya cedera internal dan mengkaji tanda – tanda trauma. F. Kehamilan 3. Pengkajian Perilaku dan lingkungan Faktor – faktor yang mempengaruhi kesehatan di correctional setting meliputi diet, penyalahgunaan obat, merokok, kesempatan berolahraga / rekreasi , serta penggunaan kondom di lingkungan correctional setting

Pengkajian psikologis pada correctional setting juga penting karena :

a. Banyak tahanan yang mengalami penyakit mental yang terjadi selama berada di tahanan. b. Berada di tahanan merupakan hal yang menimbulkan stress dan menimbulkan efek psikis seperti depresi dan bunuh diri. Perawat di correctional setting harus mewaspadai tanda – tanda depresi dan masalah mental ( correctional setting ) lain pada tahanan dan mengkaji potensi terjadinya bunuh diri. Semua correctional settingharus mempunyai program pencegahan bunuh diri dan penaganan bunuh diri. Perwat harus melakukan pengawasan yang ketat pada tahanan yang berada dalam isolasi . c. Lingkungan dalam correctional setting juga dapat menimbulkan kekerasan seksual yang menimbulkan konsekuensi psikis. Dalam mengkaji hal ini, perawat harus mewaspadai tanda – tanda kekerasan dan menanyakan pada klien mengenai masalah ini. Jika kekerasan seksual telah terjadi, perawat perlu untuk melindungi klien dari cedera yang lebih lanjut. d. Layanan kesehatan mental mungkin kurang di beberapa correctional setting. e. Tahanan yang dihukum mati, memerlukan dukungan emosi dan psikologis. Perawat harus mengkaji masalah psikis yang timbul dan membantu mereka melalui konseling dengan tepat 4. Pengkajian Administratif dan policy .Perawat di correctional setting juga mengkaji keadekuatan sistem pelayanan kesehatan dalam

memenuhi

kebutuhan

tahanan.

Fasilitas

di correctional

setting bisa

menggunakan salah satu pendekatan di bawah ini untuk menyediakan perawatan kesehatan untuk tahanan. a) Layanan kesehatan diberikan oleh staf yang bekerja di institusi. b) Membuat kontrak dengan agensi untuk menyediakan pelayanan kesehatan.

Apapun pendekatan yang digunakan, perawat perlu mengkaji keadekuatan pelayanan kesehatan yang diberikan untuk tahanan. Pelayanan minimal meliputi perwatan primer dan sekunder b. Diagnosa Keperawatan 1. Ansietas 2. Isolasi Sosial 3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh 4. Sindroma pasca trauma 5. Ketidakberdayaan 6. Kurang perawatan diri : Hygiene, berpakaian, makan 7. Resiko mencederai diri

c. Intervensi Intervensi yang bisa dilakukan di lembaga pemasyarakatan 1.

Assertive Community Treatment ( ACT )

Nama asli dari terapi ini adalah Training in Community Living ( TCL ), terapi ini cocok dilakukan untuk kelompk yang berada di luar layanan perawatan pasien ( diluar Rumah Sakit). ACT digunakan secara interdispliner ( perawat psikiatrik, social worker, activity therapist ). Terapi ini digunakan pada dewasa yang mengalami gangguan jiwa berat.

2.

Multisystemic Theraphy

Pendekatan pengobatan yang sangat fleksibel yang membahas beberapa kebutuhan dari klien, emosional klien dan keluarganya. Bisa digunakan pada setting rumah tahanan,

sekolah,dan setting di lingkungan rumah. Terapi ini digunakan pada orang dewasa yang mengalami gangguan emosional. 3.

Therapeutic Elements

Therapeutic elements terdiri dari pragmatic, outcome-oriented, treatment approaches, home-based interventions, dan individual treatment.

C. KELOMPOK REMAJA dan MASALAH SEKS A. Definisi Remaja Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional sosial dan fisik.Remaja sebenarnya tidak mempunyai tempat yang jelas karena tidak termasuk golongan anak tetapi tidak juga golongan dewasa atau tua.Seperti yang dikemukakan oleh Calon (dalam Monks, dkk 1994) bahwa masa remaja menunjukkan dengan jelas sifat transisi atau peralihan karena remaja belum memperoleh status dewasa dan tidak lagi memiliki status anak.Menurut Sri Rumini & Siti Sundari (2004: 53) masa remaja adalah peralihan dari masa anak dengan masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek/ fungsi untuk memasuki masa dewasa. Masa remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria. Sedangkan menurut Zakiah Darajat (1990: 23) remaja adalah: masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa. Dalam masa ini anak mengalami masa pertumbuhan dan masa perkembangan fisiknya maupun perkembangan psikisnya. Mereka bukanlah anak-anak baik bentuk badan ataupun cara berfikir atau bertindak, tetapi bukan pula orang dewasa yang telah matang.

B.

Karakteristik Remaja Karakteristik pertumbuhan dan perkembangan remaja yang mencakup perubahan transisi biologis, transisi kognitif, dan transisi sosial akan dipaparkan di bawah ini: 1. Transisi Biologis

Menurut Santrock (2003: 91) perubahan fisik yang terjadi pada remaja terlihat nampak pada saat masa pubertas yaitu meningkatnya tinggi dan berat badan serta kematangan sosial.Diantara perubahan fisik itu, yang terbesar pengaruhnya pada perkembangan jiwa remaja adalah pertumbuhan tubuh (badan menjadi semakin panjang dan tinggi).Selanjutnya, mulai berfungsinya alat-alat reproduksi (ditandai dengan haid pada wanita dan mimpi basah pada laki-laki) dan tandatanda seksual sekunder yang tumbuh (Sarlito Wirawan Sarwono, 2006: 52). Selanjutnya, Menurut Muss (dalam Sunarto & Agung Hartono, 2002: 79) menguraikan bahwa perubahan fisik yang terjadi pada anak perempuan yaitu; perertumbuhan tulang-tulang, badan menjadi tinggi, anggota-anggota badan menjadi panjang, tumbuh payudara.Tumbuh bulu yang halus berwarna gelap di kemaluan, mencapai pertumbuhan ketinggian badan yang maksimum setiap tahunnya, bulu kemaluan menjadi kriting, menstruasi atau haid, tumbuh bulubulu ketiak. 2.

Transisi Kognitif Dalam perkembangan kognitif, remaja tidak terlepas dari lingkungan sosial.Hal ini menekankan pentingnya interaksi sosial dan budaya dalam perkembangan kognitif remaja.

Menurut Piaget (dalam Santrock, 2003: 110) secara lebih nyata pemikiran opersional formal bersifat lebih abstrak, idealistis dan logis.Remaja berpikir lebih abstrak dibandingkan dengan anak-anak misalnya dapat menyelesaikan persamaan aljabar abstrak. 3. Transisi Sosial Perkembangan sosial anak telah dimulai sejak bayi, kemudian pada masa kanak-kanak dan selanjutnya pada masa remaja.Hubungan sosial anak pertama-tama masing sangat terbatas dengan orang tuanya dalam kehidupan keluarga, khususnya dengan ibu dan berkembang semakin meluas dengan anggota keluarga lain, teman bermain dan teman sejenis maupun lain jenis (dalam Rita Eka Izzaty dkk, (2008: 139).

1.

Masa pra-pubertas (12 - 13 tahun) Masa ini disebut juga masa pueral, yaitu masa peralihan dari kanak-kanak ke remaja.Pada anak perempuan, masa ini lebih singkat dibandingkan dengan anak laki-laki.Pada masa ini, terjadi perubahan yang besar pada remaja, yaitu meningkatnya hormon seksualitas dan mulai berkembangnya organ-organ seksual serta organ-organ reproduksi remaja.Di samping itu, perkembangan intelektualitas yang sangat pesat jga terjadi pada fase ini.Akibatnya, remaja-remaja

ini cenderung bersikap suka mengkritik (karena merasa tahu segalanya), yang sering diwujudkan dalam bentuk pembangkangan ataupun pembantahan terhadap orang tua, mulai menyukai orang dewasa yang dianggapnya baik, serta menjadikannya sebagai "hero" atau pujaannya. Perilaku ini akan diikuti dengan meniru segala yang dilakukan oleh pujaannya, seperti model rambut, gaya bicara, sampai dengan kebiasaan hidup pujaan tersebut. 2.

Masa pubertas (14 - 16 tahun) Masa ini disebut juga masa remaja awal, dimana perkembangan fisik mereka begitu menonjol. Remaja sangat cemas akan perkembangan fisiknya, sekaligus bangga bahwa hal itu menunjukkan bahwa ia memang bukan anak-anak lagi. Pada masa ini, emosi remaja menjadi sangat labil akibat dari perkembangan hormon-hormon seksualnya yang begitu pesat.Keinginan seksual juga mulai kuat muncul pada masa ini.Pada remaja wanita ditandai dengan datangnya menstruasi yang pertama, sedangkan pada remaja pris ditandai dengan datangnya mimpi basah yang pertama. Remaja akan merasa bingung dan malu akan hal ini, sehingga orang tua harus mendampinginya serta memberikan pengertian yang baik dan benar tentang seksualitas. Jika hal ini gagal ditangani dengan baik, perkembangan psikis mereka khususnya dalam hal pengenalan diri/gender dan seksualitasnya akan terganggu. Kasus-kasus gay dan lesbi banyak diawali dengan gagalnya perkembangan remaja pada tahap ini.

3.

Masa akhir pubertas (17 - 18 tahun) Pada masa ini, remaja yang mampu melewati masa sebelumnya dengan baik, akan dapat menerima kodratnya, baik sebagai laki-laki maupun perempuan. Mereka juga bangga karena tubuh mereka dianggap menentukan harga diri mereka.Masa ini berlangsung sangat singkat. Pada remaja putri, masa ini berlangsung lebih singkat daripada remaja pria, sehingga proses kedewasaan remaja putri lebih cepat dicapai dibandingkan remaja pria. Umumnya kematangan fisik dan seksualitas mereka sudah tercapai sepenuhnya.Namun kematangan psikologis belum tercapai sepenuhnya.

D.

Remaja dan Permasalahannya Masalah remaja sebagai usia bermasalah. Setiap periode hidup manusia punya masalahnya tersendiri, termasuk periode remaja.Remaja seringkali sulit mengatasi masalah mereka. Ada dua alasan hal itu terjadi, yaitu : pertama; ketika masih anak-anak, seluruh masalah mereka selalu diatasi oleh orang-orang dewasa. Hal inilah yang membuat remaja tidak mempunyai pengalaman dalam menghadapi masalah.Kedua; karena remaja merasa dirinya telah mandiri, maka mereka

mempunyai

gengsi

dan

menolak

bantuan

dan

orang

dewasa.

Remaja pada umunya mengalami bahwa pencarian jati diri atau keutuhan diri itu suatu masalah utama karena adanya perubahan-perubahan sosial, fisiologi dan psikologis di dalam diri mereka maupun di tengah masyarakat tempat mereka hidup.Perubahan-perubahan ini dipergencar dalam masyarakat kita yang semakin kompleks dan berteknologi modern. Adapun masalah yang dihadapi remaja masa kini antara lain : 1.

Kebutuhan akan figur teladan Remaja jauh lebih mudah terkesan akan nilai-nilai luhur yang berlangsung dan keteladanan orang tua mereka daripada hanya sekedar nasehat-nasehat bagus yang tinggal hanya kata-kata indah

2.

Sikap Apatis

Sikap apatis meruapakan kecenderungan untuk menolak sesuatu dan pada saat yang bersamaan tidak mau melibatkan diri di dalamnya. Sikap apatis ini terwujud di dalam ketidakacuhannya akan apa yang terjadi di masyarakatnya.

3. Kecemasan dan kurangnya harga diri Kata stess atau frustasi semakin umum dipakai kalangan remaja.Banyak kaum muda yang mencoba mengatasi rasa cemasnya dalam bentuk “pelarian” (memburu kenikmatan lewat minuman keras, obat penenang, seks dan lainnya). 4. Ketidakmampuan untuk melibatkan diri Kecenderungan untuk mengintelektualkan segala sesuatu dan pola pikir ekonomis, membuat para remaja sulit melibatkan diri secara emosional maupun efektif dalam hubungan pribadi dan dalam kehidupan di masyarakat.Persahabatan dinilai dengan untung rugi atau malahan dengan uang.

5. Perasaan tidak berdaya Perasaan tidak berdaya ini muncul pertama-tama karena teknologi semakin menguasai gaya hidup dan pola berpikir masyarakat modern. Teknologi mau tidak mau menciptakan masyarakat teknokratis yang memaksa kita untuk berpikir tentang keselamatan diri kita di tengah-

tengah masyarakat. Lebih jauh remaja mencari “jalan pintas”, misalnya menggunakan segala cara untuk tidak belajar tetapi mendapat nilai baik atau ijazah

6. Pemujaan akan pengalaman Sebagian besar tindakan-tindakan negatif anak muda dengan minumam keras, obat-obatan dan seks pada mulanya berawal dan hanya mencoba-coba.Lingkungan pergaulan anak muda dewasa ini memberikan pandangan yagn keliru tentang pengalaman. Bentuk-bentuk dan perbuatan yang anti sosial antara lain: a. Anak-anak muda yang berasal dan golongan orang kaya yang biasanya memakain pakaian yang mewah, hidup hura-hura dengan pergi ke diskotik merupakan gaya hidup mewah yang tidak selaras dengan kebiasaan adat timur. b. Di sekolah, misalnya dengan melanggar tata tertib sekolah seperti bolos, terlambat masuk kelas, tidak mengerjakan tugas dan lain sebagainya. c. Ngebut, yaitu mengendarai mobil atau motor ditengah-tengah keramaian kota dengan kecepatan yang melampaui batas maksimum yang dilakukan oleh para pemuda belasan tahun. d. Membentuk kelompok (genk-genk) remaja yang tingkah lakunya sangat menyimpang dengan norma yang berlaku di masyarakat, seperti tawuran antar kelompok.

A.

Masalah Keperawatan

Diagnosis Keperawatan

NOC

NIC

Data Kode

Diagnosis

Kode

Hasil

Kode

Intervensi

Masalah kesehatan komunitas pada kelompok khusus Lokalisasi : Kesehatan reproduksi (Resiko Infeksi Menular Seksual) - Akses terhadap

00215

Defisiensi Kesehatan Komunitas

pelayanan kesehatan yang minimal - Tenaga

Prevensi Primer

Prevensi Primer

2700

Kompetensi Masyarakat

8700

Pengembangan Program

2701

Derajat Kesehatan Masyarakat

4350

Menejemen Perilaku

4360

Modifikasi Perilaku

4356

Menejemen Perilaku seksual

(2010; LOE 2.1) Domain 1. Promosi Kesehatan, Kelas 2. Menejemen Kesehatan

VCT terlatih puskesmas

Definisi:

yang masih

Adanya satu atau lebih

terbatas

masalah kesehatan atau

- Dukungan

factor yang meganggu

social

kesejahteraan

atau

Kasus

meningkatkan

resiko

Penularan

masalah kesehatan yang

HIV yang

dialami

tidak

kelompok.

oleh

7970

Monitoring Kebijakan kesehatan

Prevensi Sekunder

suatu 2702

Prevensi Sekunder

Tingkat Kekerasan Masyarakat

6520

Skrining Kesehatan

Kontrol terhadap kelompok

6652

Surveileins Komunitas

7160

Menjaga Kesuburan

7910

Konsultasi

8190

Tindak Lanjut melalui Telepon

adekuat 2802

- Adanya temuan kasus IMS dan HIV - Stigma

beresiko penularan

Batasan Karakteristik: - Masalah kesehatan yang dialami

oleh

sutu

kelompok atau populasi.

2808

Efektifitas Program Masyarakat

masyarakat terhdap

-

Resiko

hospitalisasi

WTS/PSK

yang

dan

kelompok atau populasi.

dialami

oleh

penderita HIV

- Resiko status fisiologis yang dialami kelompok

Prevensi Tertier

Prevensi Tertier

Program efektifitas komunitas

8180

Konsultasi melalui telepon

untuk mencegah satu atau 1634

Perilaku Pemeriksaan Kesehatan

8100

Rujukan

lebih masalah kesehatan

Pribadi

atau populasi.

2808

- Tidak tersedia program

bagi suatu kelompok atau populasi. (IPKKI PPNI 2017, Hal. 124) - Tidak Tersedia program untuk

menghilangkan

satu atau lebih masalah kesehatan

bagi

suatu

kelompok atau populasi. - Tidak tersedia program untuk mengurangi satu atau

lebih

kesehatan

bagi

masalah suatu

kelompok atau populasi.

(IPKKI PPNI 2017, Hal. 124)

- Tidak tersedia program untuk

meningkatkan

kesejahteraan bagi suatu kelompok atau populasi.

Faktor

yang

berhubungan: -Ketidakcukupan ahli di komunitas. - Ketidakcukupan akses pada pemberi pelayanan kesehatan. - Ketidakcukupan biaya program - Ketidakcukupan data hasil program sumber

Ketidakcukupan daya

(mis,

finansial,

social

pengetahuan). -Ketidakmampuan konsumen

terhadap

program. -

Ketidakketepatan

rencana

evaluasi

program. -

Program

seluruhnya

tidak mengatasi

masalah kesehatan.

(Nanda

International,

Diagnosis Keperawatan Definisi dan klasifikasi 2015-2017 Ed. 2010, Hal 159)

B.

Kasus Simulasi Jurnal :Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Tingginya Kejadian PMS Di Lokalisasi Gang Sadar Baturaden Kabupaten Banyumas Tahun 2011(Pipit Reviliana, Artathi Eka Suryandari dan Warni Fridayanti. Bidan Prada : Jurnal Ilmiah Kebidanan, Vol.3 No.1 Edisi Juni 2012, e-mail : [email protected] ) Data Fokus : 1. Host Beberapa faktor yang terdapat pada host, berperan pada perbedaan insiden penyakit menular adalah : 1) Umur 2) Jenis kelamin 3) Pilihan dalam hubungan seksual : Faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang ada tiga yaitu faktor predisposisi, faktor-faktor pendukung dan faktor pendorong. Faktor predisposisi adalah yang memudahkan terjadinya perilaku antara lain pengetahuan individu, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai pandangan dan persepsi, tradisi, norma sosial, pendapatan, pendidikan, umur dan status sosial. Faktor pendukung adalah faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya perilaku, antara lain adanya keterampilan dan sumber daya seperti fasilitas, personal dan pelayanan kesehatan serta kemudahan untuk mencapainya. Faktor pendorong adalah faktorfaktor yang mampu menguatkan seseorang untuk melakukan perilaku tersebut, diantaranya sikap dan perilaku petugas kesehatan serta dorongan yang berasal dari masyarakat (Notoatmodjo, 2003). 4) Lama bekerja sebagai pekerja seks komersial : Pekerjaan seseorang sering merupakan ikatan erat dengan kemungkinan terjadinya PMS. Pada beberapa orang yang bekerjadengan kondisi tertentu dan lingkungan yang memberikan peluang terjadinya kontak seksual akan meningkatkan penderita PMS. Orang tersebut termasuk dalam kelompok risiko tinggi terkena PMS. 5) Status perkawinan

Insiden PMS lebih tinggi pada orang yang belum kawin, bercerai atau orang yang terpisah dari keluarganya bila dibandingkan dengan orang yang sudah kawin karena pemenuhan kebutuhan seksualnya terpenuhi (Setyawulan, 2007). 6) Pemakaian kondom (Saifudin, 2006). 2. Agent Penyakit menular seksual sangat bervariasi dapat berupa virus, parasit, bakteri, protozoa (Widyastuti, 2009). 3. Enviroment 1) Faktor demografi a) Bertambahnya jumlah penduduk dan pemukiman yang padat. b) Perpindahan populasi yang menambah migrasi dan mobilisasi penduduk misalnya : perdagangan, hiburan dan lain-lain. c) Meningkatnya prostitusi dan homo seksual. d) Remaja lebih cepat matang dibidang seksual yang ingin lebih cepat mendapatkan kepuasan seksual. 2) Faktor sosial ekonomi Alasan seorang wanita terjerumus menjadi pekerja seks adalah karena desakan ekonomi, dimana untuk memenuhi kebutuhan sehari- hari, namun sulitnya mencari pekerjaan, sehingga menjadi pekerja seks merupakan pekerjaan yang termudah (Utami, 2010). Pelacuran erat hubungannya dengan masalah sosial. Kemiskinan sering memaksa orang bisa berbuat apa saja demi memenuhi kebutuhan hidup termasuk melacurkan diri ke lingkaran prostitusi. Hal ini biasanya dialami oleh perempuan kalangan menengah kebawah (Utami, 2010). Penyebab lain diantaranya tidak memiliki modal untuk kegiatan ekonomi, tidak memiliki keterampilan maupun pendidikan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik sehingga menjadi pekerja seks merupakan pilihan. Faktor pendorong lain untuk bekerja sebagai PSK antara lain terkena PHK sehingga untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup menjadi PSK merupakan pekerjaan yang paling mudah mendapatkan uang (Utami, 2010). 3) Faktor kebudayaan Kekosongan spiritual berhubungan dengan rendahnya pemahaman terhadap nilai-nilai agama pada pekerja seks komersial yang terlihat.Berdasarkan hasil

penelitian bahwa konflik kebutuhan justru menjadi konflik utama dalam diri mereka, dan bukan konflik yang disebabkan munculnya perasaan bersalah dan berdosa pada Tuhan.Manajemen konflik yang dilakukan subjek juga terpusat pada pengelolaan konflik kebutuhan, sehingga adanya kekosongan spiritual dalam diri mereka yang menyebabkan mereka tetap bertahan dari pekerjaannya sebagai wanita pekerja seks komersial (Utami, 2010). 4) Faktor medik Standar Minimum berlaku untuk Klinik IMS yang telah dikembangkan guna memperbaiki kualitas diagnosis dan pengobatan IMS secara keseluruhan di seluruh klinik IMS di Indonesia. Untuk melaksanakan ini, setiap klinik IMS harus melakukan hal-hal seperti promosi kondom dan seks yang aman, pelayanan ditargetkan untuk kelompok berisiko tinggi, misalnya pekerja seks dan kelompok “penghubung” pelanggan mereka, pelayanan yang efektif yaitu pengobatan secepatnya bagi orang dengan gejala, program penapisan, dan pengobatan secepatnya untuk IMS yang tanpa gejala pada kelompok risiko tinggi yang menjadi sasaran (Arifianti, 2008).

2. LEMBAGA PEMASYARAKATAN H. Definisi Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan (Pasal 1 ayat (3) UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan). Lembaga Pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sistem pemasyarakatan merupakan serangkaian penegakan hukum yang bertujuan agar Warga Binaan Pemasyarakatan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

I.

Ciri ciri warga binaan permasyarakatan

Warga Binaan Pemasyarakatan Terdiri dari: 3. Narapidana Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di LAPAS. 4. Anak Didik Pemasyarakatan Anak Didik Pemasyarakatan adalah: d. Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 tahun. e. Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 tahun. f. Anak Sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 tahun. Penempatan Anak Sipil di LAPAS Anak paling lama 6 bulan bagi mereka yang belum berumur 14 tahun, dan paling lama 1 tahun bagi mereka yang pada saat penetapan pengadilan berumur 14 tahun dan.

J.

Klasifikasi 4. Asas Pelaksanaan Sistem Pembinaan Sesuai UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas: h. pengayoman, i. persamaan perlakuan dan pelayanan, j. pendidikan, k. pembimbingan, l. penghormatan harkat dan martabat manusia,

m. kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan, dan n. terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu. (Pasal 5)

5. Penggolongan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Dalam rangka pembinaan terhadap Narapidana di LAPAS dilakukan penggolongan atas dasar: f. umur, g. jenis kelamin, h. lama pidana yang dijatuhkan, i. jenis kejahatan, j. kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan (Pasal 12) 6. Hak Narapidana (Pasal 14) n. melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya; o. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani; p. mendapatkan pendidikan dan pengajaran; q. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; r. menyampaikan keluhan; s. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang; t. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan; u. menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya; v. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi); w. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga; x. mendapatkan pembebasan bersyarat; y. mendapatkan cuti menjelang bebas; dan z. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

K.

Pertumbuhan dan perkembangan fisik kognitif dan psikososial Jumlah kriminalitas secara kuantitas maupun kualitas semakin meningkat. Secara kuantitas nampak dari hampir semua lembaga pemasyarakatan overcapacity. Banyaknya kasus pembunuhan semakin sadis dilakukan dengan mutilasi; kasus pemerkosaan pada anak, korbannya semakin muda dan pelakunya dapat dilakukan oleh saudara, paman, guru, pejabat bahkan ayah kandung sendiri; dan kasus korupsi juga makin marak melibatkan pejabat. Dari perspektif psikologi penyebab kriminalitas adalah multifactor, salah satunya adalah aspek psikologis seseorang yang berinteraksi dengan penyebab eksternal, seperti kontrol diri kurang dan masalah emosi yang berinteraksi dengan pengaruh eksternal seperti pengaruh kelompok sebaya yang negatif. Seorang anak yang pengelolaan emosi dan kontrol dirinya negatif dan adanya pengaruh buruk teman ganknya dapat menyebabkan anak terlibat tawuran dan berakibat kematian. Dengan perspektif tersebut, diperlukan rehabilitasi dalam penanganan criminal. Lapas adalah muara dari sebuah sistem hukum, tempat pembinaan para pelaku kriminal yang sudah divonis bersalah oleh peradilan pidana. Fungsi Lapas dalam kacamata psikologi menjadi lebih dituntut untuk menjalankan fungsi konstruktif yang menekankan pada upaya menciptakan konstruk perubahan perilaku; fungsi rehabilitatif yang mengkoreksi/memperbaiki dan memulihkan atas perilaku yang salah menjadi lebih benar; dan fungsi transformatif yaitu membangun manusia baru yang kemudian akan siap menjadi bagian masyarakat yang lebih produktif secara sosial dan tidak mengulang tindak kejahatan. Peran psikologi menjadi lebih urgent untuk memaksimalkan peran lembaga pemasyarakatan baik dalam tataran keilmuan maupun praktik profesi psikologi itu sendiri, baik untuk perlakuan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) maupun untuk kesiapan mental para petugas pemasyarakatan dalam mengemban amanat UU Pemasyarakatan. Beberapa masalah psikologis yang muncul di lembaga pemasyaratan yang membutuhkan penanganan psikolog antara lain : 4.

Overcapacity sel akan menimbulkan perasaan ketersesakan yang

mempengaruhi proses kognitif dan emosi serta perilaku WBP. Interaksi antara

berbagai perangkat hukum yang ada di Lapas, seperti sistem hukum, prosedur keamanan dan pengamanan, tata ruang dan orang-orang yang terlibat di dalamnya baik itu Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP), petugas pemasyarakatan sampai Kepala Lapas dan pengunjung Lapas memproduksi satu proses psikologis yang kental dengan ketidaknyamanan. 5.

Berbagai dimensi sosial, budaya, ekonomi, hukum kriminal, dan politik

berkonfigurasi dan turut berinteraksi menjadi sebuah proses belajar yang menghasilkan perilaku unik, baik pada WBP maupun petugas. Secara teoritis, berbagai situasi di Lapas kerap menjadi pencetus terjadinya sebuah proses keterasingan yang ditandai dengan meningkatnya rasa kesepian, hasrat hidup yang menurun, hasrat untuk meraih sesuatu namun sulit untuk meraihnya. Kondisi seperti ini berisiko tidak mampu ditampung dalam jendela toleransi individu sehingga potensial terjadi keadaan frustrasi dengan respon-respon yang tidak diharapkan mulai dari meningkatnya agresivitas sampai pada situasi krisis emosional dan kognitif yang berujung pada keadaan depresif dan perilaku bunuh diri.Intervensi Krisis merupakan salah satu program yang sangat dibutuhkan. Bukan hanya sekali dua kali terjadi tindakan bunuh diri atau pembunuhan pada WBP di dalam Lapas. 6.

Pada masing-masing terpidana mati, meskipun memiliki kondisi yaitu

menunggu proses eksekusi yang telah dijadwalkan, ternyata memiliki kondisi psikologis yang berbeda satu sama lain sehingga membutuhkan pendekatan dan perlakuan psikologis yang berbeda. Tujuan pendampingan psikologis adalah mengupayakan kestabilan emosi masingmasing terpidana dalam menghadapi proses eksekusi agar lebih mampu menyiapkan diri dengan risiko minimal seperti kemungkinan terjadinya perilaku agresif ke dalam dirinya sendiri (menyakiti diri hingga bunuh diri), atau perilaku agresif keluar (menyakiti hingga melukai orang lain). Memberikan kesempatan pada terpidana untuk menyampaikan apapun yang dipikirkan dan dirasakan tanpa disalahkan akan menjadi saluran untuk melepas emosinya, dan teknik-teknik stabilisasi serta beberapa teknik menemukan insight sangat membantu terpidana

dalam menghadapi situasi yang sangat berat bagi diri dan kehidupannya. Hal tersebut diakui secara langsung oleh para terpidana yang mendapatkan dampingan psikologis. Manusia secara individual tidak bisa lepas dari entitas sosialnya. Selalu ada proses belajar sosial dan pertukaran sosial. Struktur kepribadian individu berada dalam kondisi sosial psikologis lingkungannya akan membentuk pengalaman hidup yang dipersepsi secara individual dan mempengaruhi perilaku. Dengan makin banyaknya warga negara asing yang menjalankan masa pidananya di Lapas Indonesia, terjadi saling bertukar budaya dengan para WBP lain dan para petugas pemasyarakatan. Berbagai motif sosial dan motif personal saling berinteraksi mewujudkan perilaku tertentu. Khususnya pada Anak Didik Pemsyarakatan (ADP), perlu penanganan psikologis yang lebih khusus agar perilaku di lapas bisa terwujud. Pendidikan bagi ADP menjadi problem tersendiri yang perlu dipikirkan beriringan dengan solusi penanganan perilaku secara tepat. Gambaran secara umum kondisi psikologis ADP di Lapas, anak berisiko dalam hal penghayatan mereka terhadap kondisi kesepian, persepsi terhadap minimalnya dukungan sosial, rendahnya tingkat self efficacy, kepekaan yang rendah terhadap masa depan sampai ke berbagai kecemasan menjelang masa bebas karena mereka mengkhawatirkan adanya stigma yang menghambat masa depan mereka. Diperlukan intervensi psikologis seperti pembinaan kepribadian dan kemandirian sebagai upaya pemasyarakatan, konseling dan psikoterapi untuk membantu ADP mengatur proses berpikir dan emosinya, di samping kegiatan keagamaan, kegiatan hobi dan kegiatan ketrampilan. Selain itu, diperlukan program yang memberi kesempatan pada ADP untuk mengenali dan menyadari potensi diri, diberi kesempatan untuk menampilkan diri dan potensi dirinya dengan umpan balik yang apresiatif. Program-program untuk optimalisasi tumbuh kembang anak seperti lingkungan pola asuh yang penuh cinta serta pemberian model positif menuntut perilaku petugas pemasyarakatan untuk lebih sensitif dalam isu perilaku moral. ADP membutuhkan pula stimulasi perkembangan kognitif dan emosi agar mampu mengembangkan manifestasi pola

pikir yang positif disertai kemampuan meregulasi emosi secara adaptif. Isu psikososial saat ADP berada dalam usia pubertas dan remaja dapat diantisipasi melalui pendidikan seksual yang dirancang secara berkesinambungan hingga tertanam pemahaman seksualitas dan moral. Jika dikaitkan dengan Lapas perempuan, maka diperlukan intervensi psikologis yang sensitif terhadap isu gender dan peran seorang perempuan. Misalnya ketika berhadapan dengan situasi dimana WBP perempuan tersebut ternyata sedang mengandung dan harus melahirkan dalam masa hukumannya sehingga tentunya akan menjadi masalah psikologis ganda, baik bagi WBP perempuan itu dan bagi anak yang dilahirkannya.

L.

Masalah kesehatan a.

Karakteristik Responden 1. Umur Tabel 1 Distribusi Frekuensi Umur Responden di Lembaga Permasyarakatan Klas

IIA Ambarawa Variabel

Median

SD

Min-Maks

Umur

32,00

10,833

19-59

Pada tabel 1 dapat diketahui bahwa responden mempunyai nilai tengah 32,00 tahun dengan standar deviasi 10,833 tahun. Umur minimal responden 19 tahun dan umur maksimal responden 59 tahun.

2. Pendidikan Tabel 2 Distribusi Frekuensi Pendidikan di Lembaga Permasyarakatan Klas IIA Ambarawa

Variabel

Pendidikan

Frekuensi

%

Pendidikan

Tidak sekolah

2

2,8

SD

13

18,3

SMP

22

31,0

SMA

28

39,4

Perguruan Tinggi

6

8,5

71

100,0

Pada tabel 2 terdapat variabel pendidikan dimana sebagian besar responden berpendidikan SMA yaitu sebesar 39,4% (28 orang) dan sangat sedikit responden Tidak Sekolah sbesar 2,8% (2 orang). b.

Analisis Univariat

1. Lingkungan Fisik Ruang Tahanan Tabel 3 Distribusi Frekuensi Lingkungan Fisik di Lembaga Permasyarakatan Klas IIA Ambarawa Variabel

Kategori

Frekuensi

(%)

Kepadatan

Padat

4

100,0

Tidak Padat

0

0,0

0

0,0

Memenuhi syarat

4

100,0

Tidak normal

0

0,0

Normal

4

100,0

3

75,0

Luas Ventilasi

Tidak

memenuhi

syarat

Suhu

Pencahayaan

Tidak syarat

memenuhi

Memenuhi syarat Kelembaban

Tidak

memenuhi

syarat Memenuhi syarat Total

1

25,0

1

25,0

3

75,0

4

100,0

a) Kepadatan Hunian Kamar Dari tabel 3 didapatkan bahwa kepadatan hunian kamar responden yang menunjukkan padat yaitu sebesar 100,0% (4 kamar) dengan 1 orang mendapatkan 2m². Ruangan untuk narapidana berjumlah 4 kamar dengan jumlah penghuni 23 orang pada kamar 1, 35 orang pada kamar 2, 35 orang pada kamar 3, 31 orang pada kamar 4. Dengan jumlah tersebut, maka responden yang menempati kamar berukuran 48m² mendapatkan 2m² perorang yang seharusnya mendapatkan 4m² sehingga dinyatakan padat. Sebagai contoh kamar 1, apabila setiap 1 orang penghuni mendapatkan 4m² maka penghuni kamar 1 berjumlah 12 orang. Dalam kenyataannya, kamar 1 berpenghuni 23 orang. Kepadatan hunian dapat mempengaruhi kualitas udara di dalam ruangan, dimana semakin banyak jumlah penghuni maka akan semakin cepat udara di dalam ruangan akan mengalami pencemaran. Selain mempengaruhi kualitas udara, kepadatan hunian juga mempengaruhi kemudahan dalam proses penularan penyakit pernafasan seperti ISPA. Semakin banyak jumlah penghuni dalam ruangan maka apabila dalam ruangan tersebut

terdapat

penderita

ISPA

akan

terjadi

pencemaran

udara

oleh

mikroorganisme penyebab ISPA yang berasal dari droplet penderita. Kepadatan merupakan salah satu aspek lingkungan yang dapat menyebabkan stress, penyakit atau akibat-akibat negatif pada perilaku masyarakat. b) Luas Ventilasi Dari tabel 3 didapatkan bahwa luas ventilasi kamar responden yang memenuhi syarat yaitu sebesar 100,0% (4 kamar) dengan luas ventilasi per kamar 8m². Dari hasil

pengukuran, didapatkan bahwa masing-masing ruangan terdapat 4 buah ventilasi berupa jendela dengan ukuran 2x1 meter sehingga didapatkan ventilasi per ruangan 8m² yang mana jika diukur dengan luas ruangan hasilnya 4,8m². Dengan hasil itu, 4,8m² ≥10% luas lantai. Luas ventilasi yang memenuhi syarat disebabkan karena ventilasi yang digunakan berupa jendela yang terbuat dari kaca yang dapat dibuka dan ditutup. Jendela tersebut juga dilengkapi dengan besi-besi sebagai keamanan tetapi udara bisa tetap masuk. Fungsi ventilasi selain sebagai masuknya udara juga untuk menjaga tempat tinggal dalam tingkat kelembaban yang optimum karena kelembaban dapat menjadi media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen (bakteri-bakteri penyebab penyakit). c) Suhu Dari tabel 3 didapatkan bahwa ruangan responden yang berada pada suhu ruangan normal yaitu sebesar 100,0% (4 kamar) dengan suhu ruangan antara 28,6º-29,6ºC. Dari hasil pengukuran, didapatkan bahwa suhu ruangan pada kamar 1 sebesar 29,1ºC, kamar 2 sebesar 29,6ºC, kamar 3 sebesar 29,4ºC dan kamar 4 sebesar 28,6ºC dimana dari semua kamar responden suhu ruangan berada pada kisaran 18º-30ºC. Suhu yang normal disebabkan karena dipengaruhi salah satunya suhu adalah karena ventilasi yang ada dimana di lembaga pemasyarakatan menggunakan ventilasi berupa jendela yang dapat dibuka dan ditutup. Suhu juga berpengaruh pada kelembaban dimana hal itu berguna untuk membebaskan bakteri dan virus karena suhu yang tidak memenuhi syarat kesehatan menjadi faktor resiko terjadinya ISPA sebesar 4 kali. d) Pencahayaan Dari tabel 3 didapatkan bahwa pencahayaan ruangan responden yang tidak memenuhi syarat yaitu sebesar 75,0% (3 kamar) dengan pencahyaan <60 lux (42 lux) dan >120 lux (130-151 lux), danpencahayaan ruangan responden yang memenuhi syarat yaitu sebesar 25,0% (1 kamar) dengan pencahayaan 78,5 lux. Dari hasil pengukuran, didapatkan bahwa pencahayaan pada kamar 1 sebesar 42 lux, kamar 2 sebesar 130 lux, kamar 3 sebesar 151 lux dan kamar 4 sebesar 78,5 lux. Maka sebanyak 3 kamar dengan pencahayaan tidak memenuhi syarat karena pencahayaan <60 lux dan >120 lux.Pencahayaan yang tidak memenuhi syarat disebabkan karena sinar matahari

masuk langsung melalui jendela yang ada tanpa terhalang sehingga pencahayaan cukup tinggi >120 lux. Dalam penggunaan jendela, sinar matahari yang masuk terlalu banyak dapat berpengaruh pada tingginya suhu ruangan namun dengan sinar matahari yang mudah masuk ke dalam ruangan juga berperan mematikan bibit penyebab penyakit.Sinar matahari yang masuk terlalu sedikit juga berpengaruh pada berkembangnya bibit penyakit. Pencahayaan yang tidak memenuhi syarat dapat berperan terjadinya ISPA dari faktor lingkungan. e) Kelembaban Dari tabel 3 diapatkan bahwa kelambaban udara kamar responden yang memenuhi syarat yaitu sebesar 75,0% (3 kamar) dengan kelembaban antara 40% hingga 55% dan kelembaban udara kamar responden yang tidak memenuhi syarat yaitu sebesar 25,0% (1 kamar) dengan kelembaban 35%.Dari hasil pengukuran, didapatkan bahwa kelembaban pada kamar 1 sebesar 55%, kamar 2 sebesar 35%, kamar 3 sebesar 40% dan kamar 4 sebesar 42% dimana sebanyak 3 kamar yang memenuhi syarat karena kelembaban berada pada kelembaban normal yaitu 40%- 70%. Sedangkan 1 kamar dengan kelembaban <40% sehingga dikategorikan tidak memenuhi syarat. Kelembaban udara yang memenuhi syarat karena didukung oleh adanya ventilasi yang memenuhi syarat yaitu jendela yang luasnya ≥10% dari luas lantai. Dari hasil pengukuran, sebesar 25,0% (1 kamar) dengan kelembaban tidak memenuhi syarat karena salah satu jendela terhalang oleh perlengkapan dari responden yang ada sehingga udara dan cahaya matahari yang membuat kelembaban tidak memenuhi syarat. Kelembaban udara yang <40% dari kelembaban normal dapat mempengaruhi penurunanan daya tahan tubuh seseorang dan meningkatkan kerentanan tubuh terhadap penyakit terutama penyakit infeksi. Penurunan daya tahan tubuh terjadi ketika kondisi ruangan panas oleh pencahayaan yang berlebihan maka proses radiasi dan konduksi tubuh melalui kulit menurun serta tidak terjadi evaporasi. 2. Personal Hygiene dan Kebiasaan Merokok Tabel 4 Distribusi Frekuensi Personal Hygiene dan kebiasaan Merokok Responden di Lembaga Permasyarakatan Klas IIA Ambarawa

Variabel

Kategori

Frekuensi

(%)

Personal hygiene

Buruk

20

28,2

Baik

51

71,8

Ya

66

93,0

Tidak

5

7,0

71

100,0

Kebiasaan Merokok

Total

a) Personal Hygiene Dari tabel 4 didapatkan bahwa sebagian besar responden yang personal hygiene baik yaitu sebesar 71,8% (51 orang) dan sebagian kecil responden yang personal hygiene buruk yaitu sebesar 28,2% (20 orang). Hal ini disebabkan karena kebersihan yang meliputi pakaian, badan dan handuk sebagian besar memenuhi syarat. Dapat dilihat dari frekuensi mandi responden 2 kali sehari sebesar 66,2% (47 orang). Hal ini terjdi karena kemudahan responden dalam mengakses air untuk kebutuhan mandi. Dari kebersihan pakaian responden, sebesar 70,4% (50 orang) mencuci pakaian menggunakan air dan deterjen, dan sebesar 53,5% (38 orang) selalu dipisah dalam mencuci pakaaian dikarenakan tempat mencuci yang luas dan air yang mencukupi. Responden mendapatkan peralatan mandi seperti sabun dan deterjen melalui kantin yang ada di dalam lembaga pemasyarakatan. Selain itu, di lembaga pemasyarakatan mempunyai fasilitas dimana peralatan mandi seperti sabun, deterjen, dan lain-lain diberikan selama 3 bulan sekali, namun apabila peralatan habis sebelum 3 bulan tersebut, maka kebutuhan tersebut ditanggung masingmasing penghuni. Personal hygiene merupakan hal yang sangat penting dan harus diperhatikan karena kebersihan mempengaruhi kesehatan dan psikis seseorang. Dampak yang sering timbul pada masalah personal hygiene adalah dampak fisik banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak terpeliharanya personal higiene dengan

baik seperti gangguan integritas kulit, gangguan membran mukosa mulut, infeksi pada mata dantelinga, dan gangguan fisik pada kuku. b) Kebiasaan Merokok Dari tabel 4 didapatkan bahwa responden yang mempunyai kebiasaan merokok yaitu sebesar 93,0% (66 orang) dan responden yang tidak mempunyai kebiasaan merokok yaitu sebesar 7,0% (5 orang). Hal ini disebabkan karena responden sudah mempunyai kebiasaan merokok sebelum tinggal di lembaga pemasyarakatan. Kebiasaan merokok juga dilakukan narapidana didalam lembaga pemasyarakatan karena tidak terdapat aturan larangan merokok sehingga kebiasaan merokok narapidana tidak dibatasi waktu dan tempat. Dalam hal ini bisa dilihat dari tingkat konsumsi rokok responden, sebesar 1,5% (1 orang) dengan tingkat konsumsi rokok tinggi, sebesar 37,9% (25 orang) dengan tingkat konsumsi rokok sedang dan sebesar 60,6% (40 orang) dengan tingkat konsumsi rokok rendah. Konsumsi rokok narapidana bisa dilakukan di dalam ataupun di luar kamar sel dan juga secara tidak langsung terbantu oleh adanya kantin di dalam lembaga pemasyarakatan yang menjual batang rokok sehingga kebutuhan akan rokok bisa terpenuhi sewaktu-waktu. Selain dari kantin, peran teman juga berpengaruhi karena kebutuhan rokok bisa jadi didapat dari sanak saudara yang berkunjung. Dengan itu, teman yang tidak mempunyai uang untuk membeli batang rokok di kantin dapat mengkonsumsi rokok dari pemberian temannya. Dari hasil penelitian, sebesar 45,5% (30 orang) sudah mengkonsumsi rokok pada kategori umur remaja awal yaitu pada umur 12-16 tahun dimana umur tersebut sedang aktif mencari teman dalam pergaulan. Remaja mulai merokok berkaitan dengan adanya krisis aspek psikososial yang dialami pada masa perkembangannya yaitu masa ketika mencari jati diri. Dalam masa remaja ini sering terjadi ketidaksesuaian antara perkembangan

psikis

dan

perkembangan sosial. Bahwasannya perilaku merokok bagi remaja merupakan perilaku simbolisasi. Simbol dari kematangan, kekuatan, kepemimpinan, dan daya tarik terhadap lawan jenis. 3. Masalah Kesehatan Tabel 5 Distribusi Frekuensi Masalah Kesehatan Responden di Lembaga Permasyarakatan Klas IIA Ambarawa

Variabel

Kategori

Frekuensi

(%)

ISPA

Ya

28

39,4

Tidak

43

60,6

Ya

42

59,2

Tidak

29

40,8

Skabies

Total

71

a) ISPA Dari tabel 5 didapatkan bahwa responden yang tidak menderita ISPA yaitu sebesar 60,6% (43 orang) dan responden yang menderita ISPA yaitu sebesar 39,4% (28 orang).Dari hasil crosstabs antara penderita ISPA dan kebiasaan merokok, diantara responden yang menderita ISPA terdapat 26,0% (25 orang) mengkonsumsi rokok, sedangkan responden yang menderita ISPA terdapat 2,0% (3 orang) tidak mengkonsumsi rokok. Responden yang mengkonsumsi rokok terdapat 35,5% (30 orang) yang telah mengkonsumsi rokok dari remaja awal, meskipun tingkat konsumi rokok tinggi hanya sebesar 1,5% (1 orang) namun tetap memungkinkan terjadinya ISPA, hal ini dikarenakan Lembaga Pemasyarakatan membolehkan narapidana merokok dimana saja termasuk didalam kamar narapidana yang mana asap dari rokok dapat menyebabkan pencemaran udara dalam ruangan yang dapat merusak mekanisme paruparu bagi orang yang menghisapnya. Kualitas udara dalam ruangan dipengaruhi salah satunya oleh kepadatan hunian. Dari 4 kamar narapidana ada, semua masuk dalam kategori padat dimana kepadatan di dalam kamar yang tidak sesuai dengan standar akan meningkatkan suhu ruangan yang disebabkan oleh pengeluaran panas badan penghuninya dan akan meningkatkan kelembaban akibat uap air dari pernapasan tersebut. b) Skabies

Dari tabel 5 didapatkan bahwa responden yang menderita skabies yaitu sebesar 59,2% (42 orang) dan responden yang tidak menderita skabies yaitu sebesar 40,8% (29 orang). Hal ini disebabkan karena salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya skabies yaitu buruknya personal hygiene. Salah satu indikator personal hygiene buruk yaitu penggunaan handuk dimana sebesar 29,6% (21 orang) mandi menggunakan handuk bersama. Penggunaan handuk secara bersama diduga menjadi salah satu cara penularan skabies apabila handuk yang digunakan oleh penderita skabies membawa tungau sarcoptes scabiei berpindah dari handuk ke tubuh penjamu (host) yang kemudian menginfeksinya. Selain penggunaan handuk bersama, tidur dengan penderita skabies bisa menjadi faktor resiko dalam menularkan skabies dimana aktivitas tungau sarcoptes scabiei banyak lakukan dimalam hari ketika orang tidur, ditambah kondisi kamar yang padat akan memudahkan terjadinya kontak fisik sehingga penularan penyakit meningkat. Penularan skabies terjadi ketika perlengkapan kebersihan seperti sabun dan handuk, fasilitas asrama serta fasilitas umum yang dipakai secara bersama-sama di lingkungan padat penduduk. Pemakaian alat dan fasilitas umum bersama-sama membuat kebersihan kurang maksimal salah satunya kebersihan badan.

M.

Program Pemerintah di Lembaga Permasyarakatan Dalam sejarahnya Lembaga Pemasyarakatan Malang merupakan tempat tahanan, pada waktu itu belum dikenal adanya lembaga pemasyarakatan, yang pada zaman kolonial Belanda digunakan untuk mendidik para narapidana yang melakukan tindak pidana. Namun dalam perkembangannya lembaga tersebut lebih difungsikan untuk menahan para pejuang yang memberontak kepada pemerintah Hindia Belanda. Sampai pada tahun 1964 nama penjara berlaku dan setelah itu berubah menjadi lembaga pemasyarakatan, perubahan ini terjadi setelah diadakannya kongres di Bandung, yang menghasilkan Instruksi Kepala Direktorat Pemasyarakatan Nomor J. H. G. 8/506 tanggal 17 juni 1964. Setelah sistem kepenjaraan di ganti dengan sistem pemasyarakatan, peran Negara dalam memberikan kesejahteraan dan keadilan warga negaranya yang berada di dalam lembaga pemasyarakatan menjadi lebih besar.

Peran Negara dalam hal ini melalui Lembaga Pemasyarakatan, yang merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, banyak melakukan perubahan dalam hal pola pembinaannya, karena sekarang lembaga pemasyarakatan lebih manusiawi dalam pemberian pembinaan kepada narapidananya. Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang sendiri juga mengalami perkembangan dalam memberikan pembinaan, karena hal tersebut merupakan aturan yang telah dibuat Negara untuk lebih menghargai manusia. Beberapa peran Negara dalam pembinaan narapidana yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang meliputi, pertama, peran Negara dalam pemberian pendidikan, maksudnya adalah Peran Negara dalam hal ini adalah sebagai penyedia sarana dan prasarana atas terselenggaranya berbagai macam pendidikan, pelatihan-pelatihan, dan diklat kepada petugas. Bentuk-bentuk Pendidikan yang ada Lembaga Pemasyarakatan wanita Kelas IIA Malang meliputi Pendidikan Umum, Pendidikan Jasmani, dan Pendidikan Rohani. Kedua, pemberikan ketrampilan kepada warga binaan maksudnya adalah Peran Negara dalam hal ini adalah sebagai penyedia anggaran, sarana, prasarana, perlengkapan, peralatan, dan semua kebutuhan yang di butuhkan guna menunjang terlaksananya pemberianketrampilan kepada narapidana wanita ada beberapa jenis ketrampilan yang dipelajari di dalam Lembaga Pemasyarakatan wanita Kelas IIA Malang yaitu: keterampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri, ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha kecil, keterampilan yang dikembangkan sesuai dengan minat dan bakat masingmasing narapidana, dan keterampilan untuk mendukung usaha-usaha industri, pertanian, dan perkebunan, dengan teknologi madya/tinggi. Ketiga, peran regulasi. Peran negara dalam hal ini adalah sebagai perencana, pembuat, pelaksana, dan yang melakukan evaluasi terhadap Undang-Undang, kebijakan, dan aturan-aturan yang telah di buatnya dalam pemberian pembinaan kepada narapidana wanita, sehingga dapat terlaksana dengan baik dan berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Peran regulasi yang digunakan Negara dalam menjalankan pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan, meliputi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12

Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, pelaksanaan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan atas peraturan pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, pelaksanaan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, dan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 1999 tentang Kerjasama

Penyelenggaraan

Pembinaan

dan

Pembimbingan

Warga

Binaan

Pemasyarakatan. Keempat adalah peran negara sebagaiperan konsumsi. Maksud Peran Negara disini adalah sebagai pengguna anggaran yang telah diberikan oleh Negara untuk menjalankan roda organisasi. Lembaga Pemasyarakatan wanita Kelas IIA Malangsangat tergantung dari anggaran yang diberikan oleh Negara dalam melakukan pembiayaan para aparaturnya, pemenuhan sarana dan prasarana lembaga pemasyarakatan, proses pembinaan, dan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Kelima adalah peran negara sebagai peran distribusi social. Peran Negara disini adalah sebagai pelaksana atau pengelola anggaran yang di gunakan dengan sebaikbaiknya untuk menjalankan roda organisasi dan pemberian pembinaan kepada narapidana wanita. Anggaran yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan semua kegiatan di dalam Lembaga Pemasyarakatan wanita Kelas IIA Malang, meliputi pembayaran gaji pegawai, gaji pegawai meliputi gaji pokok dan tunjangannya, pemenuhan sarana dan prasarana, yang dimaksud dengan sarana dan prasarana disini adalah infrakstruktur, perlengkapan dan peralatan kantor, petugas/pegawai, dan narapidana, kemudian transportasi, pemenuhan proses pembinaan, yang dimaksud dengan pemenuhan proses pembinaan disini adalah pemenuhan kelengkapan penunjang implementasi program pembinaan seperti: peralatan dan perlengkapan pembinaan ketrampilan, pemasaran ketrampilan, dan mendatangkan para ahli-ahli untuk memberikan pelatihanpelatihan kepada narapidana maupun petugas, dan pemenuhan kebutuhan seharihari, seperti kebutuhan makan, minum, perawatan bangunan, keperluan wanita, keperluan peribadatan, dan pemenuhan biaya operasional.

Menurut Montesquieu dalam Soehino (2008, h.117), Kekuasaan Eksekutif adalah kekuasaan menjalankan undang-undang ataukekuasaan menjalankan pemerintahan. Seperti yang diungkapkan oleh Montesquieu, Pemerintah adalah badan eksekutif dalam suatu Negara yang mempunyai peran yang telah diberikan Negara untuk mengelola, dan menjalankan fungsi dari Negara yang bertujuan untuk menyejahterakan rakyatnya, sedangkan fungsi pemerintah sendiri adalah selain menjalankan peran Negara juga memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakatnya. Hal ini bertujuan untuk menyejahterakan serta memakmurkan rakyatnya dimanapun berada, tidak terkecuali dengan masyarakat yang berada di dalam lembaga Pemasyarakatan. Beberapa fungsi pemerintah yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang, yaitu: Fungsi pengaturan yang ada di dalam di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang, meliputi pemberian aturan atau tata tertib kepada narapidana. Pemberian peraturan dan tata tertib ini bertujuan untuk menjaga ketertiban dan keamanan di dalam Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang. Kemudian fungsi pelayanan, pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya bertujuan untuk menyejahterakan serta memakmurkan rakyatnya dimanapun berada, tidak terkecuali dengan masyarakat yang berada di dalam lembaga Pemasyarakatan. Fungsi pemerintah sebagai fungsi pelayanan, maksudnya adalah pihak lembaga pemasyarakatan melaksanakan dan memberikan pelayanan kepada narapidana, seperti yang tertuang pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 31 tahun 1999 tentang pembinaan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan yang menyebutkan tahap pembinaan ada 3, yaitu : Tahap awal, Tahap Lanjutan, dan Tahap Integrasi. Setiap tahapan inilah fungsi pemerintah sebagai fungsi pelayanan diterapkan. Berikut ini merupakan pelayanan yang diberikan pihak Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang kepada narapidana, yaitu: a.

Pelayanan Pendidikan,

b.

Pelayanan Beragama,

c.

Pelayanan Ketrampilan,

d.

Pelayanan Makan,

e.

Pelayanan Administrasi,

f.

Pelayanan Sarana dan Prasarana,

g.

Pelayanan kesehatan, dan

h.

Pelayanan konseling.

Dan yang terakhir fungsi pemerintah sebagai fungsi pemberdayaan, fungsi pemerintah sebagai fungsi pemberdayaan adalah pemerintah dalam hal ini pihak Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang, dapat melakukan kerjasama dengan instansi lain dan memanfaatkan sumberdaya yang ada guna mendukung terlaksananya program pembinaan. Tujuan fungsi pemberdayaan ini adalah sebagai sarana untuk menunjang pemberian keterampilan dan pelatihan kepada penghuni Lembaga pemasyarakatan wanita kelas IIA Malang seperti: petugas dan narapidana. Beberapa bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini pihak Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang, dengan instansi pemerintah terkait, Badan-badan Kemasyarakatan, maupun perorangan dalam menunjang fungsi pemberdayaan, adalah sebagai berikut: a.

Dalam Pembinaan kesadaran beragama Pihak Lembaga Pemasyarakatan Wanita

Kelas IIA Malang bekerja sama dengan Kemenag Kota/Kabupaten Malang, Yayasan Aisyah,

Rohmatul

Ummat,

gereja-gereja

seluruh

Kabupaten/Kota

Malang,

Muhammadiyah, dan NU. b.

Dalam Pembinaan Berbangsa dan Bernegara Pihak Lembaga Pemasyarakatan

Wanita Kelas IIA Malang bekerja sama dengan Universitas–Universitas terkemuka yang ada di Malang dan juga kantor sospol di Malang. c.

Dalam Pembinaan Keintelektualan selain dari petugas Lembaga Pemasyarakatan

Wanita Kelas IIA Malang sendiri yang memberikan pendidikan, juga mengundang guru melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan KAB/Kota Malang. d.

Dalam Pembinaan Kesadaran Hukum selain dari petugas Lembaga Pemasyarakatan

Wanita Kelas IIA Malang sendiri yang memberikan penyuluhan, juga bekerja sama dengan Universitas terkemuka yang ada di Malang, Kejaksaan Negeri, dan juga Kepolisian.

e.

Dalam Pembinaan kemandirian pihak Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA

Malang bekerjasama dengan Raisa Ang dalam pemasaran pernak pernik dan hasil dari menyulam, merajut, dan bordir. f.

Dalam pemberian Asimilasi pihak Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA

Malang juga melakukan kerjasama dengan Kejaksaan Negeri, Kepolisian, Pengadilan Negeri dan Kementerian Hukum dan Ham melalui Balai Pemasyarakatan (BAPAS). Keberadaan petugas atau pegawai Lembaga Pemasyarakatan dalam menjalankan roda organisasi dan juga sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah dalam menjalankan program pembinaan narapidana memiliki peran yang sangat besar, karena petugas/pegawailah yang langsung berhubungan dengan narapidana. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan petugas/pegawai Lembaga pemasyarakatan wanita kelas IIA Malang ini merupakan uraian dari tugas yang diberikan kepada setiap bagian dan seksi yang ada di Lembaga pemasyarakatan wanita kelas IIA Malang, dengan adanya pembagian tugas dan wewenang dalam setiap pelaksanaannya akan membuat petugas/pegawai lebih fokus terhadap job description masing-masing, sehingga akan membuat roda organisasi dapat berjalan dengan baik, terencana, dan sesuai dengan aturan yang dibuat oleh pemerintah Indonesia melalui Kementerian Hukum dan HAM. Peranan dari Tim Pengamat Pemasyarakatan dalam pembuatan program pembinaan yang tepat dan sesuai dengan minat dan bakat dari narapidana sangatlah besar. Seperti yang tertuang dalam pasal 45 ayat 4 UU No.12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan yang berbunyi Tim Pengamat Pemasyarakatan yang terdiri dari pejabat-pejabat LAPAS, BAPAS atau pejabat terkait lainnya bertugas : memberi saran mengenai bentuk dan program pembinaan dan pembimbingan dalam melaksanakan sistem pemasyarakatan, membuat penilaian atas pelaksanaan program pembinaan dan pembimbingan, atau menerima keluhan dan pengaduan dari Warga Binaan Pemasyarakatan. Pola pembinaan yang dilakukan Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang sangat mengedepankan button up dan juga top down approach seperti model implementasi yang di utarakan oleh Brian W, Hogwood dan Lewis A. Guun (1978,1986) dalam Wahab (2008, h.71). Model mereka seringkali disebut dengan “the

top down approach” atau melakukan pembinaan dengan mendengar, mengamati, dan mendapatkan usulan dari petugas sendiri ataupun narapidana, maksudnya petugas Lembaga Pemasyarakatan tidak serta merta melakukan pembinaan atau menjalankan program pembinaan kepada narapidana tanpa persetujuan dari narapidana, tetapi mereka melakukan jaring aspirasi untuk mengetahui program pembinaan apa yang cocok dan mudah diterapkan kepada Warga binaan. Berikut ini merupakan Alur Pembuatan Program Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang:

Usul dari warga binaan atau petugas lembaga

Dikaji oleh Kepala Lembaga Permasyarakatan, sudah sesuai dengan peraturan atau belum

Sidang Tim Pengamat Permsyarakatan (TPP)

Implementasi Program Pembinaan

Evaluasi program pembinaan

Sumber : Lembaga Permasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang

Peran Negara dalam implementasi program pembinaan yang ada di dalam Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang sangat besar, hampir disetiap sendi-sendi organisasi peran negara dapat dirasakan manfaatnya. Dengan peran Negara yang besar dampaknya secara otomatis tujuan dari Negara juga akan mudah untuk diraih, yaitu menyejahterakan

masyarakatnya.

Tetapi

dalam

kenyataanya

tidak

menutup

kemungkinan adanya faktor-faktor yang mendukung ataupun adanya faktor-faktor yang menghambat dalam mencapai tujuan Negara tersebut. Peran

negara

dalam

implementasi

program

pembinaan

di

Lembaga

Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang tersebut terdapat beberapa faktor yang menjadi pendukung dan penghambat. Faktor pendukung peran negara dalam

implementasi program pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang adalah: Pertama,

adanya

pelatihan-pelatihan

bagi

petugas/pegawai

Lembaga

Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang sehingga kinerja petugas/pegawai dapat lebih optimal. Kedua, adanya bantuan dari narapidana sendiri yang disebut dengan “Tamping” dalam proses pembinaan. Ketiga, adanya struktur organisasi sendiri dalam narapidana, seperti : Kepala Kamar, dan Kepala Blok. Keempat, adanya dukungan dari pemerintah dalam proses pembinaan berupa diberikannya

sertifikat

bebas

narkoba

bagipetugas,

pelatihan-pelatihan

bagi

petugas/pegawai Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang, diberikannya ISO 9001:2000 pada tahun 2008 oleh Menteri Hukum dan Ham Indonesia Andi Matalatta. Dengan diperolehnya ISO 9001:2000 pada tahun 2008 menjadikan pelayanan dan pembinaan yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang menjadi lebih terstruktur dan transparan, maksudnya adalah narapidana bebas untuk mencari tahu pembinaan apa yang akan di jalankan dan juga narapidana lebih mengetahui tata cara dalam melakukan proses pengajuan pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Bersyarat (CB), dan Cuti Menjelang Bebas (CMB). Kelima, adanya kerja sama dengan instansi pemerintah yang lain, seperti : Kementerian Agama Kabupaten/Kota Malang, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kab./Kota Malang, Kejaksaan Negeri, Kepolisian, Pengadilan Negeri, dan Balai Pemasyarakatan (BAPAS). Dan adanya dukungan dari pihak swasta maupun lembaga keagamaan dalam proses pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang. Keberhasilan peran negara dalam implementasi program pembinaan yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang, tidak terlepas dari upaya Petugas/pegawai Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang sendiri. Dengan di perolehnya ISO 9001:2000 pada tahun 2008 membawa dampak yang positif bagi kinerja petugas/pegawai Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang, sehingga perlakuan yang diberikan oleh petugas kepada narapidana yang berada di dalam Lembaga

Pemasyarakatan

Petugas/pegawai

di

Wanita

Lembaga

Kelas

IIA

Malang

juga

Pemasyarakatan

Wanita

Kelas

ikut IIA

berubah. Malang

memperlakukan narapidana selayaknya bukan di penjara, tetapi layaknya di asrama putri maupun pondok pesantren, dalam hal pembagian kamar hingga perlakuan terhadap narapidana di buat semanusiawi mungkin oleh petugas/pegawai. Kemudian dalam hal pembagian makanan, narapidana tidak perlu mengantri untuk mendapatkan makanan, tetapi petugas di bantu dengan narapidana yang disebut dengan “Tamping” yang mempersiapkannya di ruang makan, hal ini merupakan contoh kecil dari pelayanan dan pembinaan yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang. Berikut ini merupakan indikator-indikator Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang dalam memperoleh ISO 9001:2000 pada tahun 2008 adalah: a.

Berjalannya Model proses Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang,

b.

Ketersediaannya sarana dan prasarana penunjang pembinaan di Lembaga

Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang, c.

Melakukan pelatihan-pelatihan ± 4 kali dalam 1 tahun,

d.

Adanya kerja sama dengan pihak ketiga (Kejaksaan Negeri, Kepolisian, Pengadilan

Negeri, Kementerian Hukum dan Ham melalui Balai Pemasyarakatan (BAPAS), dan instansi pemerintah/swasta), e.

Adanya Premi (upah hasil kerja),

f.

Standart bahan baku yang harus ada dan sesuai dengan kebutuhan,

g.

Adanya target dalam pembebasan bersyarat (PB) dan cuti menjelang bebas,

h.

Menerapkan dengan baik Surat Edaran,

i.

Standart makan yang memenuhi Gizi,

j.

Chek list untuk daftar narapidana. Dalam melaksanakan implementasi program pembinaan kepada narapidana

wanita Petugas/pegawai Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang sangat mengedepankan memperlakukan

sistem

kekeluargaan

narapidana

wanita

maksudnya

sebagai

keluarga

adalah

petugas/pegawai

meskipun

masih

ada

batasanbatasan antara petugas dengan narapidana, hal ini dilakukan karena sangat membantu narapidana dalam menjalankan program pembinaan dan segala bentuk kegiatan yang diberikan oleh petugas. Metode yang dipakai oleh petugas/pegawai dalam implementasi program pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang adalah dengan cara

memberikan motivasi-motivasi kepada narapidana agar narapidana merasa sedang tidak menjalani hukuman melainkan sedang belajar untuk disiplin. Petugas/pegawai memberikan motivasi ketika narapidana mengalami masalah maupun kesulitan dalam beradaptasi dengan lingkungan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang, sehingga narapidana tidak bosan atau jenuh dalam menjalani masa hukumannya. Selain adanya faktor yang mendukung Peran Negara dalam implementasi program pembinaan narapidana wanita, di Lembaga Pemasyarakatan manapun juga menghadapi permasalahan ataupun hambatan, hal ini tidak terlepas karena perkembangan zaman semakin pesat dan mengharuskan setiap manusia untuk mengikutinya. Program pembinaan narapidana yang dilakukan di Lembaga pemasyarakatan wanita kelas IIA Malang sebenarnya sudah berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan sebagai peraturan pelaksananya, namun dalam pelaksanaannya kurang berjalan dengan optimal karena adanya akibat over capacity atau kelebihan penghuni, kurangnya sarana prasarana, dan kekurangan petugas/pegawai, maka pola pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang menjadi tidak efektif sebagaimana yang diharapkan oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya. Berikut ini beberapa faktor-faktor yang menjadi penghambat peran negara dalam implementasi program pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang adalah: a.

Masih kurang lengkapnya Sarana dan Prasarana,

b.

Kurangnya jumlah petugas/pegawai,

c.

Kurangnya keberagaman dari program pembinaan,

d.

Minimnya Anggaran Lembaga Pemasyarakatan,

e.

Masih rendahnya kesejahteraan petugas.

Dengan masih adanya permasalahan yang di hadapi oleh petugas/pegawai lembaga pemasyarakatan akan membuat implementasi program pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Malang menjadi terhambat dan akan membuat pelaksanaannya menjadi kurang berjalan dengan efektif.

N.

Pelayanan kesehatan

Kondisi kesehatan di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan negara (rutan) Indonesia sejak tahun 2000-an telah terbawa ke suatu titik yang memprihatinkan. Ledakan epidemi HIV di kalangan pengguna napza suntik di Indonesia dan kebanyakan negara Asia lainnya turut pula masuk ke dalam rutan dan lapas-lapas karena intensifikasi penegakan hukum kasus-kasus narkoba sejak direvisinya kebijakan napza di tanah air pada tahun 1997. Keprihatinan ini mengundang perhatian berbagai pihak termasuk pemerintah untuk merespon situasi yang telah menyebabkan meningkatnya angka kematian dan kesakitan di dalamnya. Departemen Hukum dan HAM RI sendiri sebagai sektor yang langsung mengelola sistem pemasyarakatan, melalui Ditjen Pemasyarakatannya pada tahun 2005 telah merumuskan Strategi Penanggulangan HIV/AIDS dan Penyalahgunaan Narkoba pada Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara di Indonesia 2005-2009. Dokumen tersebut kemudian menjadi refleksi akan perlindungan seluruh warga negara, termasuk penghuni lapas dan rutan, akan layanan kesehatan yang dijamin dalam konstitusi negara Republik Indonesia. Pemerintah sebagai aparatur negara memiliki unit-unit kerja berdasarkan sektor baik di tingkat pusat maupun daerah. Koordinasi lintas sektor dibutuhkan untuk memfungsikan secara efektif seluruh unit kerja pemerintah melalui tugas-tugas pokok dan fungsinya, termasuk produk-produk kebijakannya. Perkembangan situasi di Indonesia, khususnya dalam merespon berbagai permasalahan, turut pula menimbulkan perkembangan sistem pemerintahan termasuk bertambahnya lembaga atau institusi negara yang memiliki tugas khusus terhadap permasalahan spesifik. Walaupun demikian, layanan publik sebagai wujud dari perlindungan HAM harus tetap menjadi perhatian utama untuk dapat meningkatkan kualitas hidup warga negara Indonesia termasuk penghuni lapas dan rutannya. Ketersediaan dan peningkatan mutu layanan tersebut, selain harus berpihak pada kesejahteraan masyarakat (publik), juga hanya akan terjadi ketika unit-unit kerja pemerintah sebagai yang berkewajiban menyediakan layanan dapat berkoordinasi untuk mencapai cita-cita tersebut. d.

Instansi Vertikal Bidang Pemasyarakatan

Lapas dan rutan merupakan unit pelaksana teknis (UPT) Departemen Hukum dan HAM RI melalui Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Dalam melaksanakan kegiatannya sesuai dengan kebijakan dan pedoman yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan, UPT mendapatkan dukungan baik berupa bimbingan teknis maupun pendanaan dari APBN (pusat). Penyusunan rencana kegiatan dan anggaran dilakukan UPT sesuai dengan kebutuhan bidang tugasnya masing-masing (bagian-bagian). Bimbingan teknis pemasyarakatan kepada lapas secara fungsional dilakukan oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan melalui Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM yang bersangkutan. Secara umum, lapas dan rutan memilki peran utama pelayanan atau pelaksanaan teknis di bidang pemasyarakatan. Kantor wilayah adalah instansi vertikal Departemen Hukum dan HAM RI berkedudukan di provinsi yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Hukum dan HAM RI. Terdapat Divisi Pemasyarakatan untuk membawahi bidang pemasyarakatan. Divisi ini melaksanakan sebagian tugas kantor wilayah di bidang pemasyarkatan berdasarkan kebijakan teknis yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pemasyarkatan. Instansi ini juga menyusun rencana kegiatan dan anggaran sesuai dengan tugas dan fungsinya. Peran utama instansi di tingkat kantor wilayah ini adalah supervisi pelaksanaan teknis dan koordinasi di bidang pemasyarakatan. Departemen Hukum dan HAM merupakan instansi pusat yang menaungi bidang pemasyarakatan. Bidang ini berada di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang peran utamanya adalah perumusan kebijakan untuk bidang-bidang kerja di lingkup direktorat jenderal termasuk bimbingan teknis dan evaluasi. Masing-masing instansi yang telah diuraikan di atas bertanggung jawab dalam menyusun dan melaksanakan rencana kerja masing-masing sesuai dengan peran utamanya serta tugas dan fungsi yang telah ditetapkan kepada instansi yang berada di atasnya (vertikal). Secara hukum, instansi ini merupakan instansi dengan domain ‘pemasyarakatan’ mulai dari perumusan kebijakan, pengawasan, hingga pelaksanaan teknis. Jika menyinggung masalah pelayanan kesehatan, maka domain tersebut berada pada departemen lain dimana saat ini telah didesentralisasi – otonomi daerah.

e.

Desentralisasi Bidang Kesehatan

Secara umun peran instansi-instansi untuk bidang kesehatan tidak jauh berbeda dengan instansi

vertikal,

yaitu

terdapat

perumusan

kebijakan,

pengawasan,

dan

pelayanan/pelaksanaan teknis. Namun yang menjadi perbedaan adalah tiap tingkatan daerah memiliki kebijakan masing-masing di bidang tersebut, dan untuk pelaksanaan teknis paling banyak dilakukan di tingkat kota/kabupaten. Kebijakan, yang berkonsekuensi pada anggaran, bidang ini mau tidak mau mengikuti kebijakan dan arah pembangunan pemerintah kota/kabupaten secara umum. Upaya penanggulangan penyakit bisa saja tidak seragam antara daerah satu dengan yang lainnya. Sebagai contoh, terdapat perencanaan dan anggaran untuk pemberantasan muntaber di daerah A, namun tidak di daerah B. Namun jika terdapat wabah muntaber di daerah B, maka pemerintah pusat atau provinsi dapat membantu pemerintah kota/kabupaten tersebut. f.

Memadukan Instansi Vertikal dalam Desentralisasi Kesehatan

Untuk menjawab masalah-masalah kesehatan di lapas dan rutan yang berkedudukan di wilayah suatu kabupaten atau kota, maka pemaduan kedua jenis instansi dan bidang perlu dilakukan. Hal ini bukan hanya untuk perencanaan dan kebijakan, namun juga bimbingan teknis, pengawasan, dan evaluasi pelayanan. Lapas dan rutan memiliki klinik kesehatan, namun klinik ini tentunya tidak dapat berfungsi sebagaimana layaknya puskesmas atau rumah sakit dengan fasilitas dan anggaran operasionalnya. Karena lapas dan rutan berada di wilayah kabupaten atau kota, dan Kanwil Departemen Hukum dan HAM berada di tingkat provinsi, maka kepala UPT pemasyarakatan diharapkan berperan untuk mengkoordinasikan pelayanan kesehatan dengan pemerintah kota/kabupaten. Lapas dan rutan bersama dinas kesehatan dan jajarannya diharapkan dapat menjalin hubungan kerja sesuai tugas dan fungsinya masing-masing. Dengan demikian, maka anggaran, perencanaan, dan pembinaan teknis upaya-upaya pelayanan kesehatan di lapas dan rutan dapat terlaksana dan berkesinambungan. Di tingkat kantor wilayah atau provinsi juga diharapkan terjadi perpaduan tersebut. Sesuai dengan peran utamanya, divisi pemasyarakatan kanwil melakukan koordinasi

dan bimbingan teknis pelayanan kesehatan melalui kerja sama dengan dinas kesehatan provinsi beserta jajarannya. Dengan kata lain, untuk ‘bidang pemasyarakatan’ tiap-tiap tingkatan instansi bekerja secara vertikal, namun untuk ‘bidang layanan kesehatan’ bekerja secara horizontal. Sehingga apa yang tertulis dalam paragraf penutup Ringkasan Eksekutif Strategi Penanggulangan HIV/AIDS dan Penyalahgunaan Narkoba pada Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara di Indonesia 2005-2009, Ditjen Pemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM RI dan yang menjadi kewajiban negara ini dapat terwujud sebagaimana tertulis di bawah ini: “Selanjutnya, narapidana/tahanan yang menderita sakit mendapatkan hak pelayanan kesehatan serta dapat mengikuti kegiatan baik di bidang bimbingan hukum maupun bidang pelayanan sosial di lapas/rutan.” O.

Peran Perawat Peran perawat kesehatan kelompok binaan di lembaga permasyarakatan meliputi beberapa aspek yaitu : 6. Pemberi asuhan keperawatan ( care provider ) Peran perawat pelaksana (care provider) bertugas untuk memberikan pelayanan berupa asuhan keperawatan secara langsung kepada klien (individu, keluarga, maupun komunitas) sesuai dengan kewenangannya. Asuhan keperawatan ini dapat dilakukan perawat dengan memperhatikan keadaan kebutuhan dasar manusia melalui pemberian pelayanan keperawatan dengan menggunakan proses keperawatan, sehingga masalah yang muncul dapat

ditentukan diagnosis keperawatannya, perencanaannya, dan

dilakukan tindakan yang tepat sesuai dengan tingkat kebutuhan yang dialaminya, kemudian dapat dievaluasi tingkat perkembangannya. Asuhan keperawatan yang diberikan melalui hal yang sederhana sampai dengan masalah yang kompleks (Mubarak & Chayatin, 2009). Apabila penghuni lapas terserang penyakit segera melakukan perawatan dengan tata cara penghuni lapas melakukan pendaftaran, pemanggilan tahanan, melakukan anamnesis dan pemeriksaan, terakhir pengambilan obat.

7. Peran sebagai penemu kasus Sebagai perawat kesehatan kelompok binaan lembaga permasyarakatan berperan dalam mendeteksi serta dalam menemukan kasus serta melakukan penelusuran terjadinya penyakit yang menyerang para penghuni lapas.

8. Peran sebagai pendidik kesehatan ( Health Educator ) Sebagai perawat kesehatan kelompok binaan lembaga permasyarakatan harus memberikan pendidikan kepada para penghuni lapas. Pendidikan kesehatan ini bertujuan untuk mengurangi angka sakit antar penghuni lapas.

9. Peran sebagai kolaborator Perawat melakukan koordinasi terhadap semua pelayanan kesehatan serta bekerjasama (kolaborasi) dengan tenaga kesehatan lain dalam perencanaan pelayanan kesehatan serta sebagai penghubung dengan institusi pelayanan kesehatan dan sektor terkait lainnya. Misalnya apabila terdapat penghuni lapas yang sakit maka terlebih dahulu dibawa ke klinik yang ada di lapas dan apabila saran dan prasarana di klinik tidak memadai maka penghuni lapas dapat dibawa ke rumah sakit di luar lapas. 10. Peran sebagai konselor Perawat sebagai konselor melakukan konseling keperawatan sebagai usaha memecahkan masalah secara efektif. Kegiatan yang dapat dilakukan perawat antara lain menyediakan informasi, mendengar secara objektif, memberi dukungan, memberi asuhan dan meyakinkan klien, menolong klien mengidentifikasi masalah dan faktor faktor terkait, memandu klien menggali permasalahan, dan memilih pemecahan masalah yang dikerjakan. Dengan adanya konseling maka muncul pendekatan baik secara psikologis dan fisik bisa dilakukan dengan bimbingan lapas maupun kepala lapas.

I. ASUHAN KEPERAWATAN a. Pengkajian 1. Pengkajian Sosial a. Umur Saat ini semakin banyak orang yang tinggal dalam panti rehabilitasi baik anak muda maupun dewasa. Sebagian besar pelanggaran yang dilakukan oleh remaja berhubungan dengan kekerasan dan penyalahgunaan obat. Semakin banyak anak muda yang masuk penjara dan diperlakukan seperti orang dewasa. Hal ini berarti bahwa pemberian pelayanan kesehatan harus memenuhi kebutuhan perkembangan usia ini seperti memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis. Dalam institusi correctional juga terjadi peningkatan jumlah orang dewasa secara signifikan. Proses penuaan pada penghuni penjara berarti bahwa perawat harus mengatasi masalah utama yang terjadi pada orang dewasa. b. Fisik Saat ini semakin banyak orang yang tinggal dalam panti rehabilitasi baik anak muda maupun dewasa. Sebagian besar pelanggaran yang dilakukan oleh remaja berhubungan dengan kekerasan dan penyalahgunaan obat. Semakin banyak anak muda yang masuk penjara dan diperlakukan seperti orang dewasa. Hal ini berarti bahwa pemberian pelayanan kesehatan harus memenuhi kebutuhan perkembangan usia ini seperti memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis.

Dalam institusi correctional juga terjadi peningkatan jumlah orang dewasa secara signifikan. Proses penuaan pada penghuni penjara berarti bahwa perawat harus mengatasi masalah utama yang terjadi pada orang dewasa. c. Genetik Ada 2 faktor genetik yang mempengaruhi kesehatan dalam correctional settingadalah jenis kelamin dan etnisitas. Jenis kelamin Secara umum fasilitas dalam institisi correctional terpisah antara pria dan wanita. Sehingga perawat yang bekerja dengan tahanan pria tidak bekerja seperti tahanan wanita .Namun apapun gender, perawat mungkin menemukan masalah yang unik dalam kelompok baik pria maupun wanita. Tahanan wanita mengalami masalah kesehatan yang berbeda karena jumlah mereka kecil. Etnisitas Merupakan aspek lain yang dipertimbangkan dalam populasi penjara. Anggota kelompok minoritas mempunyai status kesehatan yang rendah dan memiliki resiko terkena penyakitmenular selama dipenjara. Perawat perlu mengkaji kelompok minoritas ini untuk mengetahui masalah utama yang terjadi pada kelompok ini. 2. Pengkajian Epidemiologi Perawat dalam correctional setting perlu mengkaji klien secara individu untuk mengetahui masalah kesehatan fisik. Perawat perlu untuk mengidentifikasi masalah yang memiliki kejadian yang tinggi di institusi. Area yang perlu diperhatikan meliputi penyakit menular, penyakit kronik, cedera dan kehamilan. Penyakit menular meliputi TBC, HIV AIDS , hepatitis B , dan penyakit seksual lain. F. TBC

Perawat sebaiknya menanyakan gejala dan riwayat penyakit agar pasien yang terinfeksi dapat diisolasi.

G. HIV AIDS Perawat mengkaji riwayat HIV, perilaku beresiko tinggi dan riwayat atau gejala infeksi oportunistik yang mungkin terjadi pada semua tahanan. H. Hepatitis B dan penyakit seksual lain Perawat mengkaji riwayat penyakit menular seksual dan hepatitis B serta waspada adanyatanda fisik dan gejala penyakit ini. I. Penyakit kronis yang biasa terjadi antara lain : diabetes, penyakit jantung, dan paru serta kejang. Perawat harus mengkaji dengan tepat riwayat kesehatan dari klien, anggota keluarga dan pemberi pelayanan kesehatan di komunitas. Perawat harus mengkaji adanya penyakit / kondisi kronik pada klien dan mengidentifikasi masalah dengan tingkat kejadian yang tinggi di institusi / populasi dimana ia bekerja. J. Cedera Merupakan area lain dari fungsi fisiologis yang harus dikaji oleh perawat. Cedera mungkin diakibatkan karena aktivitas sebelum penahanan, tindakan petugas atau kecelakaan yang terjadi selama di tahanan. Perawat harus memperhatikan potensial terjadinya cedera internal dan mengkaji tanda – tanda trauma. F. Kehamilan 3. Pengkajian Perilaku dan lingkungan

Faktor – faktor yang mempengaruhi kesehatan di correctional setting meliputi diet, penyalahgunaan obat, merokok, kesempatan berolahraga / rekreasi , serta penggunaan kondom di lingkungan correctional setting

Pengkajian psikologis pada correctional setting juga penting karena : a. Banyak tahanan yang mengalami penyakit mental yang terjadi selama berada di tahanan. b. Berada di tahanan merupakan hal yang menimbulkan stress dan menimbulkan efek psikis seperti depresi dan bunuh diri. Perawat di correctional setting harus mewaspadai tanda – tanda depresi dan masalah mental ( correctional setting ) lain pada tahanan dan mengkaji potensi terjadinya bunuh diri. Semua correctional settingharus mempunyai program pencegahan bunuh diri dan penaganan bunuh diri. Perwat harus melakukan pengawasan yang ketat pada tahanan yang berada dalam isolasi . c. Lingkungan dalam correctional setting juga dapat menimbulkan kekerasan seksual yang menimbulkan konsekuensi psikis. Dalam mengkaji hal ini, perawat harus mewaspadai tanda – tanda kekerasan dan menanyakan pada klien mengenai masalah ini. Jika kekerasan seksual telah terjadi, perawat perlu untuk melindungi klien dari cedera yang lebih lanjut. d. Layanan kesehatan mental mungkin kurang di beberapa correctional setting. e. Tahanan yang dihukum mati, memerlukan dukungan emosi dan psikologis. Perawat harus mengkaji masalah psikis yang timbul dan membantu mereka melalui konseling dengan tepat 4. Pengkajian Administratif dan policy .Perawat di correctional setting juga mengkaji keadekuatan sistem pelayanan kesehatan dalam

memenuhi

kebutuhan

tahanan.

Fasilitas

di correctional

setting bisa

menggunakan salah satu pendekatan di bawah ini untuk menyediakan perawatan kesehatan untuk tahanan. a) Layanan kesehatan diberikan oleh staf yang bekerja di institusi. b) Membuat kontrak dengan agensi untuk menyediakan pelayanan kesehatan. Apapun pendekatan yang digunakan, perawat perlu mengkaji keadekuatan pelayanan kesehatan yang diberikan untuk tahanan. Pelayanan minimal meliputi perwatan primer dan sekunder b. Diagnosa Keperawatan 1. Ansietas 2. Isolasi Sosial 3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh 4. Sindroma pasca trauma 5. Ketidakberdayaan 6. Kurang perawatan diri : Hygiene, berpakaian, makan 7. Resiko mencederai diri

c. Intervensi Intervensi yang bisa dilakukan di lembaga pemasyarakatan 4.

Assertive Community Treatment ( ACT )

Nama asli dari terapi ini adalah Training in Community Living ( TCL ), terapi ini cocok dilakukan untuk kelompk yang berada di luar layanan perawatan pasien ( diluar Rumah

Sakit). ACT digunakan secara interdispliner ( perawat psikiatrik, social worker, activity therapist ). Terapi ini digunakan pada dewasa yang mengalami gangguan jiwa berat.

5.

Multisystemic Theraphy

Pendekatan pengobatan yang sangat fleksibel yang membahas beberapa kebutuhan dari klien, emosional klien dan keluarganya. Bisa digunakan pada setting rumah tahanan, sekolah,dan setting di lingkungan rumah. Terapi ini digunakan pada orang dewasa yang mengalami gangguan emosional. 6.

Therapeutic Elements

Therapeutic elements terdiri dari pragmatic, outcome-oriented, treatment approaches, home-based interventions, dan individual treatment. Kasus Lembaga Pemasyarakatan Anak kelas IIB Pontianak dibangun sejak tahun 2000 dengan luas sekitar 2000 m2. Saat ini jumlah warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan Anak kelas IIB Pontianak sebanyak 40 orang. Terdiri atas 24 orang narapidana, yakni 23 orang pria dan 1 orang wanita dan 16 orang tahanan yakni 15 orang pria dan 1 wanita, dan tercatat juga jumlah pegawai atau petugas lapas sebanyak 49 orang. Dari total jumlah warga binaan yang berusia 14 tahun sebanyak 7 orang, berusia 15 tahun sebanyak 8 orang, berusia 17 tahun sebanyak 9 orang, dan berusia 18 tahun sebanyak 16 orang. Sebanyak 65% terkait kasus penggunaan obat-obatan terlarang, 20% terkait kasus pencurian, 10 % terkait kasus kekerasan, dan 5% untuk kasus lain-lainnya. Lingkungan diseluruh area lapas termasuk bersih namun sanitasi masih buruk serta jumlah air bersih yang masih kurang. Sebanyak 70 % warga binaan mengalami ansietas. Pola hidup yang jauh dari sehat menjadikan warga binaan anak menjadi individu yang rentan tertular berbagai penyakit. Selama 6 bulan terakhir sebanyak 8 orang mengalami diare dan 1 orang mengalami gatal – gatal. Sebanyak 10 orang memiliki kebiasaan merokok. Fasilitas yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Anak kelas II B Pontianak antara lain lapangan sepak bola. Kegiatan yang ada antara lain senam pagi setiap hari minggu, kegiatan kerohanian, pendidikan, dan lain – lain.

Pengkajian A. Data Inti Komunitas I Data Umum 1. Sejarah Lembaga Pemasyarakatan Anak kelas IIB Pontianak dibangun sejak tahun 2000 2. Luas wilayah Lembaga Pemasyarakatan Anak kelas IIB Pontianak luasnya sekitar 2000 m2.

II Demografi -

Jumlah warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan Anak kelas IIB Pontianak sebanyak 40 orang. Terdiri atas 24 orang narapidana, yakni 23 orang pria dan 1 orang wanita dan 16 orang tahanan yakni 15 orang pria dan 1 wanita, dan tercatat juga jumlah pegawai atau petugas lapas sebanyak 49 orang.

-

Dari total jumlah warga binaan yang berusia 14 tahun sebanyak 7 orang, berusia 15 tahun sebanyak 8 orang, berusia 17 tahun sebanyak 9 orang, dan berusia 18 tahun sebanyak 16 orang.

-

Sebanyak 65% terkait kasus penggunaan obat-obatan terlarang, 20% terkait kasus pencurian, 10 % terkait kasus kekerasan, dan 5% untuk kasus lain-lainnya. III. Status Kesehatan

-

Selama 6 bulan terakhir sebanyak 8 orang mengalami diare dan 1 orang mengalami gatal – gatal.

-

Sebanyak 70 % warga binaan mengalami ansietas.

B. Data Sub Sistem -

Lingkungan diseluruh area lapas termasuk bersih

-

Sanitasi masih buruk

-

Jumlah air bersih yang masih kurang.

C. Perilaku terhadap kesehatan -

Sebanyak 10 orang memiliki kebiasaan merokok.

-

Fasilitas yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Anak kelas II B Pontianak antara lain lapangan sepak bola.

-

Kegiatan yang ada antara lain senam pagi setiap hari minggu, kegiatan kerohanian, pendidikan, dan lain – lain.

Data

00146

70 % warga binaan mengalami ansietas

Ansietas

Hasil Wawancara 1. Ansietas sering terjadi pada warga binaan yang pertama kali masuk lembaga pemasyarakatan 2. Perasaan takut menghadapi situasi yang

ada

di

lembaga

pemasyarakatan

Diagnosa : Domain 9 Koping / Toleransi Stres Kelas 2 Respon Koping Kode 00146 Ansietas b.d perasaan takut, distres NOC

NIC

Domain III Psychosocial Health

Domain 3 Pola Kebiasaan

Class M Psychological Well Kelas

Psikologikal,

Promosi

Being

nyaman

Code 1210

Kode 5820

Tingkat Ketakutan

Menurunkan tingkat ansietas

Preventif Primer

Preventif Primer

121001 Distres ( 1-5 )

rasa

121004 Kurang percaya diri ( 1-

-

5)

Lakukan

pendekatan

secara

perlahan

121015

Mencari

sumber

-

ketakutan (1-5)

Jelaskan tingkat harapan terhadap kebiasaan pasien

-

Dampingi pasien untuk mendorong rasa nyaman dan menurunkan rasa takut

-

Mendengarkan penuh perhatian

Preventif sekunder -

Identifikasi

ketika

terjadi

perubahan tingkat ketakutan -

Instruksikan pasien menggunakan teknik relaksasi

-

Berikan

medikasi

untuk

menurunkan ansietas, bila perlu

Data : -

Sanitasi masih buruk

-

Jumlah air bersih yang masih kurang

-

8 orang mengalami diare

-

1 orang mengalami gatal – gatal.

Ketidakefektifan manajemen kesehatan

Diagnosa : Domain 1 Promosi Kesehatan Kelas 2 Manajemen kesehatan Kode 00078 Ketidakefektifan manajemen kesehatan b.d insufiensi pengetahuan NOC

NIC

Domain IV Pengetahuan dan Domain 3 Kebiasaan Pola Kebiasaan Hidup Sehat

Kelas S Edukasi Pasien

Kelas S Manajemen Kesehatan

Kode 5510

Kode 1805

Edukasi Kesehatan

Pengetahuan : Kebiasaan Hidup Preventif primer Sehat

-

Preventif primer 180518

Health

Tentukan pengetahuan dan pola hidup sehat individu atau kelompok

Promotion

-

Service (1-5)

Identifikasi faktor eksternal dan internal yang dapat meningkatkan dan

menurunkan

motivasi

kebiasaan hidup sehat -

Libatkan individu atau kelompok dalam

perencanaan

dan

pelaksanaaan rencana gaya hidup atau kebiasaan hidup sehat -

Jelaskan

strategi

yang

bisa

digunakan untuk menolak atau berisiko

untuk

memunculkan

kebiasaan tidak sehat

Data -

10

00118 orang

memiliki

kebiasaan merokok Perilaku kesehatan cenderung beresiko

Diagnosa Domain 1 Health Promotion Class 2 Health Management Code 00118 Perilaku kesehatan cenderung beresiko b.d kebiasaan merokok NOC

NIC

Domain IV Health Knowledge Domain 3 Behavioral & Behavior

Class O Behavior Therapy

Class Q Health Behavior Code 1602 Perilaku Promosi Kesehatan 160203

:

Monitor

Code 4360 Modifikasi Perilaku

perilaku Preventif Primer

individu terhadap risiko ( 1-5 ) 160207 : Melakukan perilaku

-

Motivasi pasien untuk berubah

-

Perkenalkan

melakukan 1602100 : mendorong dukungan

1-5 ) 160219

kepada

seseorang atau group yang berhasil

sehat secara teratur ( 1-5 )

sosial untuk promosi kesehatan (

pasien

perubahan

pada

pengalaman yang sama -

Hindari

penolakan

atau

meremehkan terhadap usaha pasien :

menghindari

penggunaan tembakau ( 1-5 )

dalam perubahan perilaku -

Dorong pasien untuk merubah perilaku dari hal kecil

-

Gunakan periode waktu spesifik ketika mengukur berapa banyak batang rokok yang digunakan per hari

-

Dorong pasien untuk berpartisipasi dalam memantau dan mencatat perilaku

A.

Definisi Remaja Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional sosial dan fisik.Remaja sebenarnya tidak mempunyai tempat yang jelas karena tidak termasuk golongan anak tetapi tidak juga golongan dewasa atau tua.Seperti yang dikemukakan oleh Calon (dalam Monks, dkk 1994) bahwa masa remaja menunjukkan dengan jelas sifat transisi atau peralihan karena remaja belum memperoleh status dewasa dan tidak lagi memiliki status anak.Menurut Sri Rumini & Siti Sundari (2004: 53) masa remaja adalah peralihan dari masa anak dengan masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek/ fungsi untuk memasuki masa dewasa. Masa remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria. Sedangkan menurut Zakiah Darajat (1990: 23) remaja adalah: masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa. Dalam masa ini anak mengalami masa pertumbuhan dan masa perkembangan fisiknya maupun perkembangan psikisnya. Mereka bukanlah anak-anak baik bentuk badan ataupun cara berfikir atau bertindak, tetapi bukan pula orang dewasa yang telah matang. Hal senada diungkapkan oleh Santrock (2003: 26) bahwa remaja (adolescene) diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Batasan usia remaja yang umum digunakan oleh para ahli adalah antara 12 hingga 21 tahun. Rentang waktu usia remaja ini biasanya dibedakan atas tiga, yaitu 12 – 15 tahun = masa remaja awal, 15 – 18 tahun = masa remaja pertengahan, dan 18 – 21 tahun = masa remaja akhir. Tetapi Monks, Knoers, dan Haditono membedakan masa remaja menjadi empat bagian, yaitu masa pra-remaja 10 – 12 tahun, masa remaja awal 12 – 15 tahun, masa remaja pertengahan 15 – 18 tahun, dan masa remaja akhir 18 – 21 tahun (Deswita, 2006: 192) Definisi yang dipaparkan oleh Sri Rumini & Siti Sundari, Zakiah Darajat, dan Santrock tersebut menggambarkan bahwa masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak-anak dengan

masa dewasa dengan rentang usia antara 12-22 tahun, dimana pada masa tersebut terjadi proses pematangan baik itu pematangan fisik, maupun psikologis.

B.

Karakteristik Remaja Karakteristik pertumbuhan dan perkembangan remaja yang mencakup perubahan transisi biologis, transisi kognitif, dan transisi sosial akan dipaparkan di bawah ini: 2. Transisi Biologis Menurut Santrock (2003: 91) perubahan fisik yang terjadi pada remaja terlihat nampak pada saat masa pubertas yaitu meningkatnya tinggi dan berat badan serta kematangan sosial.Diantara perubahan fisik itu, yang terbesar pengaruhnya pada perkembangan jiwa remaja adalah pertumbuhan tubuh (badan menjadi semakin panjang dan tinggi).Selanjutnya, mulai berfungsinya alat-alat reproduksi (ditandai dengan haid pada wanita dan mimpi basah pada laki-laki) dan tandatanda seksual sekunder yang tumbuh (Sarlito Wirawan Sarwono, 2006: 52). Selanjutnya, Menurut Muss (dalam Sunarto & Agung Hartono, 2002: 79) menguraikan bahwa perubahan fisik yang terjadi pada anak perempuan yaitu; perertumbuhan tulang-tulang, badan menjadi tinggi, anggota-anggota badan menjadi panjang, tumbuh payudara.Tumbuh bulu yang halus berwarna gelap di kemaluan, mencapai pertumbuhan ketinggian badan yang maksimum setiap tahunnya, bulu kemaluan menjadi kriting, menstruasi atau haid, tumbuh bulubulu ketiak. Sedangkan pada anak laki-laki peubahan yang terjadi antara lain; pertumbuhan tulangtulang, testis (buah pelir) membesar, tumbuh bulu kemaluan yang halus, lurus, dan berwarna gelap, awal perubahan suara, ejakulasi (keluarnya air mani), bulu kemaluan menjadi keriting,

pertumbuhan tinggi badan mencapai tingkat maksimum setiap tahunnya, tumbuh rambut-rambut halus diwajaah (kumis, jenggot), tumbuh bulu ketiak, akhir perubahan suara, rambut-rambut diwajah bertambah tebal dan gelap, dan tumbuh bulu dada. Pada

dasarnya

perubahan

fisik

remaja

disebabkan

oleh

kelenjar pituitarydan

kelenjar hypothalamus. Kedua kelenjar itu masing-masing menyebabkan terjadinya pertumbuhan ukuran tubuh dan merangsang aktifitas serta pertumbuhan alat kelamin utama dan kedua pada remaja (Sunarto & Agung Hartono, 2002: 94) 2.

Transisi Kognitif Dalam perkembangan kognitif, remaja tidak terlepas dari lingkungan sosial.Hal ini menekankan pentingnya interaksi sosial dan budaya dalam perkembangan kognitif remaja. Menurut Piaget (dalam Santrock, 2003: 110) secara lebih nyata pemikiran opersional formal bersifat lebih abstrak, idealistis dan logis.Remaja berpikir lebih abstrak dibandingkan dengan anak-anak misalnya dapat menyelesaikan persamaan aljabar abstrak. Remaja juga lebih idealistis dalam berpikir seperti memikirkan karakteristik ideal dari diri sendiri, orang lain dan dunia. Remaja berfikir secara logis yang mulai berpikir seperti ilmuwan, menyusun berbagai rencana untuk memecahkan masalah dan secara sistematis menguji cara pemecahan yang terpikirkan.

3. Transisi Sosial Perkembangan sosial anak telah dimulai sejak bayi, kemudian pada masa kanak-kanak dan selanjutnya pada masa remaja.Hubungan sosial anak pertama-tama masing sangat terbatas dengan orang tuanya dalam kehidupan keluarga, khususnya dengan ibu dan berkembang semakin meluas dengan anggota keluarga lain, teman bermain dan teman sejenis maupun lain jenis (dalam Rita Eka Izzaty dkk, (2008: 139).

C.

Fase Pertumbuhan Remaja

1.

Masa pra-pubertas (12 - 13 tahun) Masa ini disebut juga masa pueral, yaitu masa peralihan dari kanak-kanak ke remaja.Pada anak perempuan, masa ini lebih singkat dibandingkan dengan anak laki-laki.Pada masa ini, terjadi perubahan yang besar pada remaja, yaitu meningkatnya hormon seksualitas dan mulai berkembangnya organ-organ seksual serta organ-organ reproduksi remaja.Di samping itu,

perkembangan intelektualitas yang sangat pesat jga terjadi pada fase ini.Akibatnya, remaja-remaja ini cenderung bersikap suka mengkritik (karena merasa tahu segalanya), yang sering diwujudkan dalam bentuk pembangkangan ataupun pembantahan terhadap orang tua, mulai menyukai orang dewasa yang dianggapnya baik, serta menjadikannya sebagai "hero" atau pujaannya. Perilaku ini akan diikuti dengan meniru segala yang dilakukan oleh pujaannya, seperti model rambut, gaya bicara, sampai dengan kebiasaan hidup pujaan tersebut. Selain itu, pada masa ini remaja juga cenderung lebih berani mengutarakan keinginan hatinya, lebih berani mengemukakan pendapatnya, bahkan akan mempertahankan pendapatnya sekuat mungkin. Hal ini yang sering ditanggapi oleh orang tua sebagai pembangkangan.Remaja tidak ingin diperlakukan sebagai anak kecil lagi.Mereka lebih senang bergaul dengan kelompok yang dianggapnya sesuai dengan kesenangannya. Mereka juga semakin berani menentang tradisi orang tua yang dianggapnya kuno dan tidak/kurang berguna, maupun peraturan-peraturan yang menurut mereka tidak beralasan, seperti tidak boleh mampir ke tempat lain selepas sekolah, dan sebagainya. Mereka akan semakin kehilangan minat untuk bergabung dalam kelompok sosial yang formal, dan cenderung bergabung dengan teman-teman pilihannya. Misalnya, mereka akan memilih main ke tempat teman karibnya daripada bersama keluarga berkunjung ke rumah saudara. Tapi, pada saat yang sama, mereka juga butuh pertolongan dan bantuan yang selalu siap sedia dari orang tuanya, jika mereka tidak mampu menjelmakan keinginannya. Pada saat ini adalah saat yang kritis. Jika orang tua tidak mampu memenuhi kebutuhan psikisnya untuk mengatasi konflik yang terjadi saat itu, remaja akan mencarinya dari orang lain. Orang tua harus ingat, bahwa masalah yang dihadapi remaja, meskipun bagi orang tua itu merupakan masalah sepele, tetapi bagi remaja itu adalah masalah yang sangat-sangat berat.

2.

Masa pubertas (14 - 16 tahun) Masa ini disebut juga masa remaja awal, dimana perkembangan fisik mereka begitu menonjol. Remaja sangat cemas akan perkembangan fisiknya, sekaligus bangga bahwa hal itu menunjukkan bahwa ia memang bukan anak-anak lagi. Pada masa ini, emosi remaja menjadi sangat labil akibat dari perkembangan hormon-hormon seksualnya yang begitu pesat.Keinginan seksual juga mulai kuat muncul pada masa ini.Pada remaja wanita ditandai dengan datangnya menstruasi yang pertama, sedangkan pada remaja pris ditandai dengan datangnya mimpi basah

yang pertama. Remaja akan merasa bingung dan malu akan hal ini, sehingga orang tua harus mendampinginya serta memberikan pengertian yang baik dan benar tentang seksualitas. Jika hal ini gagal ditangani dengan baik, perkembangan psikis mereka khususnya dalam hal pengenalan diri/gender dan seksualitasnya akan terganggu. Kasus-kasus gay dan lesbi banyak diawali dengan gagalnya perkembangan remaja pada tahap ini. Di samping itu, remaja mulai mengerti tentang gengsi, penampilan, dan daya tarik seksual.Karena kebingungan mereka ditambah labilnya emosi akibat pengaruh perkembangan seksualitasnya, remaja sukar diselami perasaannya.Kadang mereka bersikap kasar, kadang lembut. Kadang suka melamun, di lain waktu dia begitu ceria. Perasaan sosial remaja di masa ini semakin kuat, dan mereka bergabung dengan kelompok yang disukainya dan membuat peraturan-peraturan dengan pikirannya sendiri. 3.

Masa akhir pubertas (17 - 18 tahun) Pada masa ini, remaja yang mampu melewati masa sebelumnya dengan baik, akan dapat menerima kodratnya, baik sebagai laki-laki maupun perempuan. Mereka juga bangga karena tubuh mereka dianggap menentukan harga diri mereka.Masa ini berlangsung sangat singkat. Pada remaja putri, masa ini berlangsung lebih singkat daripada remaja pria, sehingga proses kedewasaan remaja putri lebih cepat dicapai dibandingkan remaja pria. Umumnya kematangan fisik dan seksualitas mereka sudah tercapai sepenuhnya.Namun kematangan psikologis belum tercapai sepenuhnya.

4.

Periode remaja Adolesen (19 - 21 tahun) Pada periode ini umumnya remaja sudah mencapai kematangan yang sempurna, baik segi fisik, emosi, maupun psikisnya. Mereka akan mempelajari berbagai macam hal yang abstrak dan mulai memperjuangkan suatu idealisme yang didapat dari pikiran mereka. Mereka mulai menyadari bahwa mengkritik itu lebih mudah daripada menjalaninya.Sikapnya terhadap kehidupan mulai terlihat jelas, seperti cita-citanya, minatnya, bakatnya, dan sebagainya. Arah kehidupannya serta sifat-sifat yang menonjol akan terlihat jelas pada fase ini.

D.

Remaja dan Permasalahannya Masalah remaja sebagai usia bermasalah. Setiap periode hidup manusia punya masalahnya tersendiri, termasuk periode remaja.Remaja seringkali sulit mengatasi masalah mereka. Ada dua

alasan hal itu terjadi, yaitu : pertama; ketika masih anak-anak, seluruh masalah mereka selalu diatasi oleh orang-orang dewasa. Hal inilah yang membuat remaja tidak mempunyai pengalaman dalam menghadapi masalah.Kedua; karena remaja merasa dirinya telah mandiri, maka mereka mempunyai

gengsi

dan

menolak

bantuan

dan

orang

dewasa.

Remaja pada umunya mengalami bahwa pencarian jati diri atau keutuhan diri itu suatu masalah utama karena adanya perubahan-perubahan sosial, fisiologi dan psikologis di dalam diri mereka maupun di tengah masyarakat tempat mereka hidup.Perubahan-perubahan ini dipergencar dalam masyarakat kita yang semakin kompleks dan berteknologi modern. Adapun masalah yang dihadapi remaja masa kini antara lain : 1.

Kebutuhan akan figur teladan Remaja jauh lebih mudah terkesan akan nilai-nilai luhur yang berlangsung dan keteladanan orang tua mereka daripada hanya sekedar nasehat-nasehat bagus yang tinggal hanya kata-kata indah

2.

Sikap Apatis

Sikap apatis meruapakan kecenderungan untuk menolak sesuatu dan pada saat yang bersamaan tidak mau melibatkan diri di dalamnya. Sikap apatis ini terwujud di dalam ketidakacuhannya akan apa yang terjadi di masyarakatnya.

3. Kecemasan dan kurangnya harga diri Kata stess atau frustasi semakin umum dipakai kalangan remaja.Banyak kaum muda yang mencoba mengatasi rasa cemasnya dalam bentuk “pelarian” (memburu kenikmatan lewat minuman keras, obat penenang, seks dan lainnya).

4. Ketidakmampuan untuk melibatkan diri Kecenderungan untuk mengintelektualkan segala sesuatu dan pola pikir ekonomis, membuat para remaja sulit melibatkan diri secara emosional maupun efektif dalam hubungan pribadi dan dalam kehidupan di masyarakat.Persahabatan dinilai dengan untung rugi atau malahan dengan uang.

5. Perasaan tidak berdaya

Perasaan tidak berdaya ini muncul pertama-tama karena teknologi semakin menguasai gaya hidup dan pola berpikir masyarakat modern. Teknologi mau tidak mau menciptakan masyarakat teknokratis yang memaksa kita untuk berpikir tentang keselamatan diri kita di tengahtengah masyarakat. Lebih jauh remaja mencari “jalan pintas”, misalnya menggunakan segala cara untuk tidak belajar tetapi mendapat nilai baik atau ijazah

6. Pemujaan akan pengalaman Sebagian besar tindakan-tindakan negatif anak muda dengan minumam keras, obat-obatan dan seks pada mulanya berawal dan hanya mencoba-coba.Lingkungan pergaulan anak muda dewasa ini memberikan pandangan yagn keliru tentang pengalaman. Bentuk-bentuk dan perbuatan yang anti sosial antara lain: a. Anak-anak muda yang berasal dan golongan orang kaya yang biasanya memakain pakaian yang mewah, hidup hura-hura dengan pergi ke diskotik merupakan gaya hidup mewah yang tidak selaras dengan kebiasaan adat timur. b. Di sekolah, misalnya dengan melanggar tata tertib sekolah seperti bolos, terlambat masuk kelas, tidak mengerjakan tugas dan lain sebagainya. c. Ngebut, yaitu mengendarai mobil atau motor ditengah-tengah keramaian kota dengan kecepatan yang melampaui batas maksimum yang dilakukan oleh para pemuda belasan tahun. d. Membentuk kelompok (genk-genk) remaja yang tingkah lakunya sangat menyimpang dengan norma yang berlaku di masyarakat, seperti tawuran antar kelompok.

BAB III KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA Anizar, 2009.Teknik Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Industri. Yogyakarta: Graha Ilmu. Dermawan, Deden.2012.Proses Keperawatan Penerapan Konsep dan Kerangka Kerja.Gosyen Publising :Yogyakarta. Dewi Sri Maryani, 2014, Ilmu Keperawatan Komunitas, Bandung ; CV Yrama Widya. dr. Dainur, 1995, hal 74, Materi-Materi Pokok Ilmu Kesehatan Masyarakat. Di terbitkan pertama kali oleh Penerbit Widya Medika dr. Indan Entjang, 2000, al 119, Ilmu Kesehatan Masyarakat. Penerbit : PT. Citra Ferry Efendi. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori Dan Praktek Dalam Keperawatan. Jilid 1.Jakarta : Salemba Medika. Kartini Kartono, 1981, Patologi Sosial (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Mubarok,Wahit Iqbal,dkk. 2009. Ilmu Keperawatan Komunitas. Jakarta : Salemba Medika Nanda International inc, Diagnosis Keperawatan ; Definisi dan klasifikasi 2015-2017, Jakarta :EGC Ni Made Riamini dkk,2017 Panduan Asuhan Keperawatan Individu, Keluarga, Kelompok dank Komunitas dengan Modifikasi NANDA, ICNP, NOC, dan NIC di Puskesmas dan Masyarakat.IPKKI PPNI, Jakarta ; UI-Press. Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor : 03 /MEN/1998 tentang Tata Cara Pelaporan dan Pemeriksaan Kecelakaan Perda Bandunh no 5 tahun 2005

Ratna Saptari dan Brigitte Holzner,1997, Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial Sebuah Pengantar Studi Perempuan, Jakarta: Kalyanamitra. Simandjuntak, 1985,Patologi Sosial, Bandung: Tarsito. Soekidjoe Notoadmojo, 2012, Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Jakarta ; Rineka Cipta. Nies & Swansons, 2002; American Asscociation of Occupational Health Nursing AAOHN www.beritagar.id.com dalam Indonesia Bebas Prostitusi 2019,Parawansa diakses tanggal 18 april 2016 www.detik.com pada bulan juni 2016 kemensos Khofifah IndarParawansa diakses tanggal 18 april 2016

Related Documents

All
June 2020 28
All
July 2020 23
All
November 2019 40
All
May 2020 30
All
October 2019 40
All
October 2019 26

More Documents from ""