Aktualisasi Kerukunan Umat Beragama

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Aktualisasi Kerukunan Umat Beragama as PDF for free.

More details

  • Words: 1,229
  • Pages: 6
Aktualisasi Kerukunan Umat Beragama Oleh: Agus Saputera

Keanekaragaman agama dan budaya di Indonesia adalah dintara modal dasar dalam mendukung pembangunan, namun sekaligus dapat menjadi penghambat. Apabila perbedaan tersebut dikelola dengan baik, maka terciptalah kerukunan hidup dalam masyarakat yang akan mendukung pembangunan nasional. Namun sebaliknya, apabila salah mengelolanya justru akan menghambat kelancaran pembangunan nasional. Kerukunan umat beragama adalah merupakan bagian dari kerukunan nasional. Ia menjadi inti dari kedamaian, ketentraman, dan keharmonisan dalam masyarakat. Kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kerukunan atau keharmonisan hidup beragama tersebut adalah proses dan suasana kehidupan beragama dari umat dan pemeluk agama yang plural secara serasi dalam kehidupan bangsa, dimana agama-agama yang berbeda dapat dapat diamalkan oleh pemeluknya tanpa berbenturan satu dengan lain. Pemeliharaan kerukunan umat beragama adalah merupakan upaya bersama antara umat beragama dan pemerintah di bidang pelayanan, pengaturan, dan pemberdayaan umat beragama. Untuk itu ada tiga pilar utama yang harus menjadi perhatian agar kerukunan tersebut dapat terwujud dalam masyarakat yang multikultural dan plural seperti Indonesia. Pertama, adanya para pengambil kebijakan publik yang adil dan mampu mengantisipasi dampak negatif yang akan ditimbulkan oleh kebijakan publik tersebut terhadap kerukunan 1

beragama. Kedua, adanya para pemimpin agama yang berwawasan kebangsaan yang luas dan lebih mengedepankan agama sebagai nilai daripada agama institusional. Ketiga, adanya masyarakat yang berpendidikan dan bersikap rasional dalam menyikapi keragaman keagamaan dan perubahan sosial Karena itu untuk mewujudkan kerukunan tersebut negara membuat undang-undang dan peraturan tentang pemeliharaan kerukunan umat beragama. Salah satunya yang sangat signifikan adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) No. 9 dan No. 8 Tahun 2006 yang mengatur tentang pedoman pelaksanaan tugas kepala daerah/wakil kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama (FKUB), dan pendirian rumah ibadat. Dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 29 dinyatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan menjamin kemerdekaan penduduk untuk memeluk agama dan menjalankan ibadat sesuai dengan kepercayaannya. Jadi penduduk Indonesia adalah masyarakat religius yang pasti menganut salah satu diantara agama-agama resmi yang ada di Indonesia (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan yang terbaru Konghucu) atau beberapa aliran kepercayaan yang diakui keberadaannya di negara kita. Sedangkan asas kemerdekaan beragama mengandung makna bahwa kemerdekaan memeluk agama dan beribadah menurut agamanya harus dikembangkan atas kesadaran adanya perbedaan dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga dapat menerima kenyataan berbeda dengan sikap syukur sebagai realitas obyektif, bukan hanya memahami dan mengerti tetapi juga sebagai potensi dinamik yang memberikan berbagai kemungkinan dan harapan akan masa depan yang lebih baik dan bermakna. Prinsip pengamalan agama seperti yang terdapat dalam pasal 29 UUD 1945 tersebut harus benar-benar dipahami oleh seluruh pemeluk agama di Indonesia. Apabila kurang 2

dipahami dan dihayati oleh masing-masing umat beragama dalam beribadah dan menjalankan agama mereka, maka pada saat itulah akan terjadi pergeseran, perselisihan, dan konflik baik intern maupun antar umat beragama. Di sinilah peran para tokoh-tokoh agama, alim-ulama, pendakwah dan penyiar agama untuk memberikan pemahaman kepada umatnya masingmasing dalam membina dan melestariakan kerukunan umat beragama. Penghambat kerukunan Ada beberapa faktor yang menjadi pemicu konflik atau menghambat kerukunan umat beragama antara lain: (1). Pendirian rumah ibadah. Yaitu apabila dalam mendirikannya tidak memperhatikan situasi dan kondisi umat beragama baik secara sosial maupun budaya masyarakat setempat. (2). Penyiaran agama. Apabila dalam penyiarannya bersifat agitasi dan memaksakan kehendak bahwa agamanya sendirilah yang paling benar dan tidak mau memahami kebenaran agama lain. Apalagi kalau penyiaran agama itu ditujukan kepada orang yang sudah beragama. (3). Bantuan luar negeri. Walaupun kelihatannya tidak langsung mempengaruhi, namun bantuan tersebut dapat juga memicu konflik baik intern maupun antar agama, karena pemberi bantuan biasanya menitipkan misi tertentu yang harus dilaksanakan. (4). Perkawinan beda agama. Perkawinan beda agama akan mengakibatkan hubungan yang tidak harmonis, apalagi jika menyangkut hukum perkawinan, warisan, harta benda, dan akidah. (5). Perayaan hari besar keagamaan. Apabila perayaan tersebut dilaksanakan tanpa mempertimbangkan situasi, kondisi, dan lokasi masyarakat sekitar, ia juga bisa mamancing ketegangan dengan penganut agama lain. (6). Penodaan agama. Yaitu suatu perbuatan bersifat melecehkan atau menodai doktrin suatu agama tertentu. Tindakan ini sangat sering terjadi baik dilakukan oleh perorangan maupun kelompok tanpa disadari apalagi dengan sengaja. (7). Kegiatan aliran sempalan. Adalah suatu kegiatan yang menyimpang dari doktrin

3

agama yang sudah diyakini kebenarannya ataupun kegiatan tersebut merupakan suatu aliran baru. Dengan mengetahui faktor-faktor penyebab konflik, maka masing-masing penganut agama akan berupaya sekuat tenaga menghindarinya sehingga mencegah sedini mungkin terjadinya konflik tersebut. Tindakan ini disebut dengan pencegahan konflik. Namun apabila terlanjur terjadi konflik, harus diakhiri perilaku kekerasan dan anarkis di dalamnya melalui persetujuan perdamain. Ini disebut penyelesaian konflik. Ada juga yang dinamakan dengan pengelolaan konflik, yaitu membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perilaku perubahan yang positif bagi pihak-pihak yang terlibat. Kemudian ada lagi resolusi konflik, yaitu menangani sebab-sebab konflik diantara kelompok-kelompok yang bertikai dan berusaha membangun hubungan baru dan bertahan lama. Lalu yang terakhir adalah transformasi konflik, yaitu mengatasi sumber-sumber konflik yang lebih luas dan berusaha merubahnya ke arah positif. Demikian juga dengan mengetahui akar konflik kita tidak mudah terjebak pada rumusan bahwa pertikaian yang terjadi saat ini dikatakan sebagai konflik agama semata-mata. Tanpa mengurangi objektivitas bahwa agama memang mudah dijadikan sumber konflik, karena ikatan emosional yang menyangkut identitas keagamaannya tersebut sesungguhnya yang terjadi di Indonesia tidaklah murni konflik agama, tetapi konflik laten, yakni manifestasi dari ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintaham masa lalu yang menindas masyarakat dalam bidang politik, ekonomi dan budaya yang dijadikan alat pemicu, rekayasa politik dalam level lokal maupun nasional. (Susetyo, 2005). Agenda membina kerukunan Patut disadari bahwa kondisi masyarakat yang majemuk kapan saja dapat memicu terjadinya konflik. Untuk itu perlu senantiasa membangun, mempertahankan, memperkuat 4

dan melestariakan kerukunan umat beragama dengan berupaya melakukan beberapa program atau agenda penting. Diantaranya adalah rekonsialisasi (ishlah) nasional dan pemberdayaan forum kerukunan umat beragama. Seperti diketahui bahwa kerapnya terjadi konflik yang bernuansa SARA di beberapa wilayah Indonesia beberapa tahun lalu sedikit banyak telah mempengaruhi situasi psikologis dan sosiologis keagamaan masyarakat, sehingga dikhawatirkan antara kelompok agama akan diliputi perasaan tidak aman dan tidak nyaman. Dengan demikian makin jelas dan mendesak, pentingnya untuk merajut kembali persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah basyariyyah) dan persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathoniyyah) guna merekatkan kembali persatuan dan kesatuan bangsa. Gagasan untuk melakukan rekonsiliasi, rujuk, atau ishlah nasional adalah suatu tindakan tepat dan bijaksana yang sangat diharapkan oleh masyarakat. Yang juga tak kalah pentingnya adalah terwujudnya suatu forum kerukunan umat beragama di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Forum tersebut atau yang lebih dikenal dengan nama FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) dibentuk oleh unsur-unsur pemuka agama dan tokoh masyarakat yang difasilitasi oleh pemerintah daerah. Tugasnya adalah melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat, menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat, menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan bupati/walikota, mensosialisasikan peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat, dan memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadat. Sedemikian penting dan strategisnya peran FKUB tersebut dalam membantu menciptakan kerukunan umat beragama di Indonesia, namun ironisnya selama ini masyarakat kurang menyadari kehadirannya. Bahkan ada diantara kepala daerah/wakil kepala daerah di 5

kabupaten/kota yang tidak mengetahui bahwa dirinya adalah salah satu unsur yang duduk sebagai dewan penasihat FKUB. Sebuah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan sesegera mungkin oleh FKUB kabupaten/kota untuk mensosialisasikan keberadaannya agar kerukunan umat beragama senantiasa langgeng di bumi Indonesia. Apabila masyarakat rukun dan harmonis pembangunan berjalan lancar.

6

Related Documents