PROF. DR. BAGIR MANAN, SH., M.CL. AKIBAT HUKUM DI DALAM NEGERI PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL (TINJAUAN HUKUM TATA NEGARA) Pengertian-pengertian Dalam tulisan ini yang diartikan dengan : “Perjanjian Internasional” adalah perjanjian sebagaimana dimaksud Pasal 11 UUD.1 “Pengesahan” adalah pengesahan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Bentuk Hukum “Pengesahan Perjanjian Internasional” Pasal 11 UUD tidak menyebut bentuk hukum (Undang-Undang atau bentuk lain). Yang disebut adalah “persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”, bukan produk hukumnya. Berbeda dengan UUDS ’50 menyebutkan: “Kecuali jika ditentukan lain dengan UndangUndang, perjanjian atau persetujuan lain tidak disahkan, melainkan sesudah disetujui dengan Undang-Undang”. Ketentuan UUDS ’50, Pasal 120 ayat (1), serupa dengan Konstitusi RIS, Pasal 175 ayat (1) kalimat kedua.2 Walaupun Pasal 11 UUD hanya menyebut “dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”, dalam praktek ketatanegaraan sebelum Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 (Perjanjian Internasional), setiap perjanjian yang memerlukan persetujuan DPR diberi bentuk Undang-Undang. Mengapa? Pertama: berkaitan dengan makna “persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Baik berdasarkan praktek kelaziman, maupun ketentuan-ketentuan yang berlaku, dalam sistem perwakilan demokrasi, ada tiga fungsi yang melekat (dilekatkan) pada DPR yaitu fungsi legislatif (legislative function), fungsi pengesahan anggaran (budget function), dan fungsi pengawasan atau kendali (control function). Perjanjian Internasional adalah 1 UUD 1945, Pasal 11: “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat…membuat…perjanjian dengan Negara lain. 2 Konstitusi RIS Pasal 175 ayat (1) kalimat kedua: “kecuali jika ditentukan lain dengan undang-undang federal, perjanjian atau persetujuan lain tidak disahkan, melainkan jika sudah disetujui dalam bentuk UndangUndang”.
Focus Group Discussion tentang Status Perjanjian Internasional dalam Sistem Hukum Indonesia (kerjasama Departemen Luar Negeri dengan Unpad, Bandung, 29 November 2008).
kesepakatan antara dua Negara atau lebih untuk melahirkan hukum atau persetujuan mengikatkan diri pada suatu hukum yang berlaku lintas Negara (Pasal 1 angka 1, Undang-Undang No. 24 Tahun 2000).3 Kalau pengertian Perjanjian Internasional tersebut dikaitkan dengan fungsi DPR, akan termasuk fungsi membuat Undang-Undang, karena menciptakan hukum atau menyetujui suatu hukum yang berlaku lintas Negara. Telah menjadi kesepahaman umum, bentuk hukum yang dibuat DPR dalam menjalankan fungsi legislatif adalah Undang-Undang. Karena tidak ada bentuk peraturan perundang-undangan yang bersifat atau berlaku umum yang dapat dibuat DPR, kecuali Undang-Undang. UndangUndang adalah produk fungsi legislatif DPR, karena itu, setiap Perjanjian Internasional yang memerlukan persetujuan DPR akan diberi bentuk Undang-Undang. Kedua: berdasarkan praktek ketatanegaraan.
3
Undang-Undang No. 24 Tahun 2000, Pasal 1 angka 1: “Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam Hukum Internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik”.
8
Telah menjadi praktek ketatanegaraan sekaligus mengandung makna “bentuk (konvensi) setiap Perjanjian Internasional yang Undang-Undang”. memerlukan persetujuan DPR diberi bentuk Undang-Undang. Di masa sebelum UndangSejak tahun 2000, argumen-argumen di Undang No. 24 Tahun 2000, berlaku pedoman atas telah dikukuhkan Undang-Undang No. 24 atas dasar Surat Presiden No. 2826/HK/60. Tahun 2000 sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Surat ini dikeluarkan sebagai jawaban atas ayat (2), dan Pasal 10.5 surat Ketua DPR meminta ketegasan Pemerintah mengenai bentuk hukum Perjanjian Kedudukan dan kekuatan mengikat Internasional, baik yang memerlukan Undang-Undang Perjanjian persetujuan DPR, maupun yang tidak Internasional memerlukan persetujuan DPR (executive agreement). Surat Ketua DPR, karena UUD Ilmu Hukum Indonesia atau Ilmu Tata 1945 tidak memuat Hukum Indonesia, “Jadi ada semacam kontradiksi ketentuan seperti diatur keilmuan. Disatu pihak, Perjanjian mengajukan berbagai UUDS ’50, Pasal 120 Internasional ditempatkan sebagai sumber hukum formal ayat (1). Dalam Ilmu – antara lain – sumber hukum yang berdiri Hukum Tata Negara, peraturan perundangsendiri, dipihak lain Perjanjian surat semacam ini – undangan dan Internasional diberi bentuk demikian pula peraturan perundang-undangan.” Perjanjian memorandum tertulis – (Undang-Undang atau Keputusan Internasional (traktat, Presiden/Peraturan Presiden)”. dikategorikan sebagai treaty). Dua sumber menciptakan Konvensi tersebut terpisah Ketatanegaraan – walaupun tertulis – bukan masing-masing berdiri sendiri. Tetapi dipihak hukum. Hal ini sesuai dengan pengertian lain, setiap Perjanjian Internasional yang konvensi sebagai ketentuan (rule) yang tidak dibuat atau dimasuki diberi bentuk Hukum dapat ditegakkan melalui pengadilan, karena Nasional yaitu Undang-Undang atau bersifat etik belaka (constitutional ethic).4 Keputusan Presiden (sekarang, lebih tepat Dalam Ilmu Hukum Administrasi Negara, surat Peraturan Presiden).6 Undang-Undang dan semacam ini digolongkan sebagai peraturan Keputusan Presiden yang bersifat mengatur kebijakan (policy rules, beleidsregel), yang (Peraturan Presiden), adalah peraturan didasarkan pada asas manfaat (doelmatigheid), perundang-undangan. Dengan demikian bukan berdasarkan hukum (rechtmatigheid). ditinjau dari sumber hukum, Perjanjian Internasional (traktat, treaty), bukan sumber Ketiga: setelah UUD 1945 berlaku kembali (5 hukum yang berdiri sendiri, melainkan masuk Juli 1959), melalui Pasal II (sekarang Pasal I) sebagai salah satu sumber peraturan Aturan Peralihan, dapat diterapkan ketentuan perundang-undangan. Jadi ada semacam UUDS ’50, Pasal 120 ayat (1) kalimat kedua. kontradiksi keilmuan. Disatu pihak, Perjanjian Internasional ditempatkan sebagai sumber Ketentuan Pasal 120 ayat (1) kalimat kedua hukum yang berdiri sendiri, dipihak lain tetap dapat diterapkan, karena tidak Perjanjian Internasional diberi bentuk bertentangan dengan UUD 1945, bahkan peraturan perundang-undangan (Undangtersirat dalam Pasal 11 yang menyebut “dengan Undang atau Keputusan Presiden/Peraturan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”, Presiden).
4
Lihat, KC. Wheare, Modern Constitutions….
5 Undang-Undang No. 24 Tahun 2000, Pasal 9 ayat (2): “Pengesahan Perjanjian Internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan Undang-Undang atau Keputusan Presiden. Undang-Undang No. 24 Tahun 2000, Pasal 10 “Pengesahan Perjanjian Internasional dilakukan dengan Undang-Undang apabila berkenaan dengan: a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan Negara. b. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah Negara Republik Indonesia. c. Kedaulatan atau hak berdaulat Negara. d. Hak asasi manusia dan lingkungan hidup. e. Pembentukan kaidah hukum baru. f. Pinjaman dan/atau hibah luar negeri. 6 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
9
Sistematik keilmuan ini berbeda dengan misalnya pada Negara-Negara Uni Eropa (27 Negara). Semua anggota Uni Eropa tidak memberi bentuk peraturan perundangundangan nasional (seperti Undang-Undang). Perjanjian antar anggota Uni Eropa dan peraturan-peraturan yang ditetapkan Uni Eropa, berkedudukan lebih tinggi dari semua peraturan perundang-undangan nasional. Bahkan UUD harus menyesuaikan dengan traktat Uni Eropa. Perjanjian Internasional, khususnya perjanjian antar anggota, berada pada urutan teratas sumber hukum. Dengan demikian, Perjanjian Internasional (traktat, treaty), memang mempunyai bentuk hukum tersendiri terpisah dari peraturan perundang-undangan nasional, seperti Undang-Undang.
khusus sebagai kekuasaan administrasi Negara. Hal semacam ini dapat diperluas pada yang dalam ilmu hukum disebut “Undang-Undang formil” (formeel wet)7 lain, seperti UndangUndang pembentukan daerah otonom, pembentukan pengadilan tinggi, semestinya inisiatif hanya pada Presiden. Dalam praktek dijumpai pembentukan Kabupaten, Kota, Propinsi atas inisiatif DPR.
Kedua, DPR tidak mempunyai Hak Amandemen dalam pengesahan Perjanjian Internasional. DPR hanya berwenang menyetujui atau tidak menyetujui, menerima atau menolak mengesahkan suatu Perjanjian Internasional. Rancangan Undang-Undang suatu Perjanjian Internasional adalah hasil kesepakatan yang sudah diparaf oleh masingmasing Pemerintah. Dalam hal memasuki Kembali kepada memberi bentuk UndangPerjanjian Internasional, DPR hanya setuju Undang Perjanjian Internasional. Sebagai atau tidak setuju mengikatkan diri pada konsekuensi diberi bentuk Undang-Undang, Perjanjian Internasional yang sudah ada. Jadi, maka segala tata cara membentuk Undangkalau DPR, baik di dalam atau di luar sidang Undang berlaku pada peraturan perundangberpendapat agar ada perubahan isi suatu undangan Perjanjian Perjanjian “DPR tidak mempunyai hak Internasional, kecuali: Internasional, sebagai amandemen dalam pengesahan syarat pengesahan, Perjanjian Internasional. DPR Pertama, hak inisiatif hanya berwenang menyetujui atau merupakan sesuatu membuat atau tidak menyetujui, menerima atau ucapan atau tindakan memasuki suatu tanpa wewenang. menolak mengesahkan suatu Perjanjian Internasional Perjanjian Internasional.” semata-mata ada pada Setiap UndangPresiden. DPR tidak Undang akan serta mempunyai hak merta mengikat setelah inisiatif membuat atau memasuki suatu segala tata cara melahirkan Undang - Undang Perjanjian Internasional. Mengapa? dipenuhi, kecuali : Berdasarkan sistem pembagian kekuasaan (1) Undang-Undang itu sendiri menyatakan Negara, apalagi pemisahan kekuasaan, saat (waktu) mulai berlaku. hubungan luar negeri termasuk membuat atau (2) Undang-Undang itu sendiri menyatakan memasuki Perjanjian Internasional masuk ke akan berlaku setelah ada peraturan dalam lingkungan kekuasaan eksekutif bahkan pelaksana (implementing regulation). sebagai kekuasaan eksklusif (exclusive power) eksekutif (dhi. Presiden atau Pemerintah yang Suatu contoh, Undang-Undang tentang bertindak atas kuasa atau atas nama Presiden). Peradilan Tata Usaha Negara (Undang-Undang Jadi, kalau pernah ada pengesahan suatu No. 5 Tahun 1986). Undang-undang ini Perjanjian Internasional atas inisiatif DPR menegaskan akan berlaku setelah lima tahun merupakan suatu penyimpangan atas Asas dan ada peraturan pelaksana (Peraturan Pembagian Kekuasaan sebagai kekuasaan Pemerintah). eksklusif Presiden (Pemerintah). Hal ini serupa 7 formil (formeel wet) berbeda dengan Undangdengan hak budget. Meskipun DPR UndangUndang-undang dalam arti formil (wet in formeel zijn). Undang-undang formil mempunyai hak budget, tetapi tidak adalah Undang-Undang yang dinamakan Undang-Undang karena cara pembentukannya sehingga diberi nama Undang-Undang. Undang-undang mempunyai hak inisiatif mengajukan RUU formil tidak memenuhi kriteria mengikat (secara ) umum, bahkan isinya APBN. Membuat dan melaksanakan APBN lebih merupakan sebuah “beschikking”. Berbeda dengan Undang-Undang dalam arti formil. Selain berbentuk Undang-Undang, juga mengikat adalah kekuasaan eksekutif, bahkan lebih (secara) umum. 10
serupa dalam Konstitusi RIS. Demikian pula dalam AB dan IS.8
Kasus yang sama berlaku juga pada Undang-Undang Perjanjian Internasional. Undang-Undang Perjanjian Internasional akan Bagaimana praktek ketatanegaraan yang serta merta berlaku sebagaimana Undangberlaku. Ketentuan wajib memuat dalam Undang pada umumnya, sepanjang tidak ada Lembaran Negara dimuat dalam Undangketentuan pengecualian di atas. Khusus untuk Undang yang bersangkutan dengan Undang-Undang Perjanjian Internasional dapat menyebutkan: “Agar setiap orang dapat ditambahkan klausula lain sehingga tidak serta mengetahuinya, memerintahkan pengundangan merta berlaku. Undang-Undang ini melalui Lembaran Negara (1) Syarat jumlah Negara penandatangan. Republik Indonesia”. Misalnya setelah ditandatangani lebih dari separoh anggota PBB. Secara kebahasaan, ketentuan di atas (2) Mencantumkan syarat peraturan seolah-olah hanya bersifat pengumuman (agar pelaksanaan (implementing regulation) baik setiap orang mengetahui). Apakah sekedar untuk seluruh atau pasal-pasal tertentu. pengumuman? Misalnya, terhadap ketentuan yang menimbulkan kewajiban pada warga negara Ketentuan “agar setiap orang (kewajiban individual). mengetahui...” merupakan pengejawantahan (3) Memerlukan penyesuaian hukum nasional, fiksi hukum: “setiap orang dianggap seperti penyesuaian UUD yang memuat mengetahui Undang-Undang”. Setiap Undangketentuan berbeda dengan Perjanjian Undang atau peraturan yang telah dimuat Internasional yang bersangkutan. dalam Lembaran Negara, tidak ada lagi alasan (4) Praktek ketatanegaraan yang senantiasa mengatakan tidak mengetahui, karena itu tidak memerlukan peraturan pelaksana sebagai terikat. Dengan perkataan lain, memuat dalam syarat Perjanjian Internasional berlaku Lembaran Negara yang secara kebahasaan efektif. Praktek ini seyogyanya tidak seolah-olah sekedar untuk diketahui berlaku bagi Negara yang memberi bentuk (mengetahui), secara substantif mengandung Undang-Undang arti dengan dimuat “Harus diakui ada kemungkinan suatu pada Perjanjian Undang-Undang Perjanjian Internasional, dalam Lembaran seperti juga Undang-Undang lain, Internasional. Negara berarti setiap mengatur sesuatu sangat umum, lebihorang terikat. Karena lebih kalau akan berlaku pada individu, Di atas telah itu Undang-Undang sehingga memerlukan peraturan dikemukakan, tentang suatu pelaksanaan. Peraturan pelaksanaan sepanjang UndangPerjanjian dibuat karena kebutuhan penerapan, Undang Perjanjian bukan sebagai syarat berlaku efektif.” Internasional dimuat Internasional telah dalam Lembaran dibuat dengan tata cara Negara, maka dengan yang diatur Undangsendirinya mempunyai Undang (Undangkekuatan mengikat, Undang No. 10 Tahun 2004 dan Peraturan Tata kecuali kalau ada klausula yang sudah Tertib DPR), Undang-Undang tersebut akan diuraikan di atas. serta merta mengikat, kecuali Undang-Undang tersebut menentukan lain. Salah satu tata cara yang perlu dicatat adalah “memuat dalam Lembaran Negara”. UUD 1945 (termasuk setelah perubahan), tidak memuat fungsi hukum “memuat dalam Lembaran Negara”. Berbeda dengan UUDS ’50 yang menegaskan: “Pengundangan, terjadi dalam bentuk menurut Undang-Undang, adalah syarat tunggal untuk kekuatan mengikat”. Hal
8
UUDS’ 50, Pasal 100 ayat (2), menggunakan kata “pengundangan”, Konstitusi RIS, Pasal 143 ayat (2) menggunakan kata “pengumuman” dengan maksud yang sama yaitu “pengundangan”. Dalam terjemahan bahasa Belanda, baik UUDS’ 50 Pasal 100 ayat (2) maupun Konstitusi RIS Pasal 143 ayat (2), sama-sama diterjemahkan “afkondiging” yang secara baku diartikan ”pengundangan”. AB, Pasal 1: “De bepalingen door de Koning, of, in zijnen noam, door den Gouverneur General vosgesteld, verkrijgen in Indonesie kracht van wet door hare afkondiging, in de vorm bebuald bij het reglement op het beleid der regering”. IS, Pasal 95 ayat (2): “Die afkondiging wordt gerekend geschied te zijn door plaatsing in het Staatsblad van wed-indie. Zij is, in geldigen vorm geschied, de eenige voorwaarde der verbindbaarheid”.
11
Persoalannya, mungkin ditinjau dari bentuk hukum dan prinsip-prinsip pembentukan Undang-Undang, sudah semestinya UndangUndang Perjanjian Internasional mengikat, tetapi Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 sebagai Undang-Undang yang mengatur tata cara membuat atau memasuki Perjanjian Internasional, tidak mencantumkan ketentuan mengikat tersebut. Lebih-lebih lagi jika dihubungkan dengan praktek ketatanegaraan yang selalu menyediakan peraturan pelaksanaan agar Perjanjian Internasional berlaku efektif. Bukankah dalam keadaan semacam itu, praktek ketatanegaraan yang telah menjadi konvensi mempunyai kedudukan kuat, bahkan lebih kuat? Acap kali ada kekeliruan (misleading) mengartikan hubungan antara hukum atau peraturan perundang-undangan yang umum dengan yang khusus. Seolah-olah yang khusus harus atau pasti mengesampingkan yang umum. Semestinya tidak demikian. Prinsip yang benar adalah, ketentuan-ketentuan yang bersifat umum tetap berlaku pada peraturan khusus yang bersangkutan. Mari simak bunyi Pasal 1 KUH Dagang: “Ketentuan-ketentuan KUH Perdata, sepanjang tidak diatur khusus dalam Kitab Undang-Undang ini (maksudnya KUH Dagang) tetap berlaku (diterapkan). Hal serupa dengan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 yang tidak mengatur berbagai akibat hukum Perjanjian Internasional yang berbentuk Undang-Undang, maka berlaku asas dan ketentuan berlakunya suatu Undang-Undang. Karena sudah ada Undang-Undang (UndangUndang No. 24 Tahun 2000) yang mengatur Perjanjian Internasional dalam bentuk UndangUndang, maka segala sesuatu harus diselesaikan dengan bentuk Undang-Undang termasuk tata cara berlaku suatu UndangUndang.
Ditinjau dari teori dan tata cara pembentukkan Undang-Undang, suatu Undang-Undang yang materi muatannya berasal dari Perjanjian Internasional akan serta merta mengikat seperti Undang-Undang lainnya. Agar suatu Undang-Undang yang materi muatannya bersumber dari Perjanjian Internasional tidak perlu memerlukan UndangUndang atau peraturan pelaksanaan (implementing regulation), kecuali UndangUndang tersebut menentukan sendiri peraturan pelaksanaan. PROF. DR. BAGIR MANAN, SH., M.CL. Bagir Manan adalah Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, kelahiran Lampung, 6 Oktober 1941. Pada tahun 2001, beliau diangkat menjadi Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia. Kariernya di bidang hukum tergolong panjang. Ia pernah menjabat sebagai Dirjen Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman. Sebelumnya, ia menjabat Direktur Perundang-undangan Ditjen Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman (1990-1995), serta dosen luar biasa di UI, UGM dan sejumlah perguruan tinggi lain. Ia alumnus FH Unpad (1967), Master of Comparative Law Southern Methodist di University Law School Dallas Texas AS (1981), dan doktor ilmu hukum tata negara lulusan Unpad tahun 1990.
Harus diakui ada kemungkinan suatu Undang-Undang Perjanjian Internasional, seperti juga Undang-Undang lain, mengatur sesuatu sangat umum, lebih-lebih kalau akan berlaku pada individu, sehingga memerlukan peraturan pelaksanaan. Peraturan pelaksanaan dibuat karena kebutuhan penerapan, bukan sebagai syarat berlaku efektif. Penutup 12
13