Abses-hepar.docx

  • Uploaded by: dewi
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Abses-hepar.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,264
  • Pages: 27
LAPORAN KASUS BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

ABSES HEPAR

Disusun Oleh :

dr. Elva Ginting Pembimbing :

dr. Syarifuddin, Sp.PD

RSUD SELE BE SOLU PAPUA BARAT 2018

KATA PENGANTAR

Puji dan rasa syukur yang besar saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Dan terimakasih kepada dr. who, Sp.PD selaku pembimbing saya yang memberi kesempatan bagi saya menyelesaikan makalah ini guna memenuhi persyaratan penilaian Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Ilmu Penyakit Dalam di RSUD. Adapun judul makalah ini “ABSES HEPAR” Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan makalah ini. Saya selaku penyaji bahan juga menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari sempurna, sehingga dengan senang hati saya akan menerima segala bentuk kritik dan saran yang membangun. Demikian tulisan ini saya sajikan, Atas kritik dan sarannya saya ucapkan terimakasih.

Sorong, 6 Desember 2018 Penulis,

dr. Elva Rehulina Ginting

i

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................................

i

DAFTAR ISI .............................................................................................................

ii

BAB I PENDAHULUAN .........................................................................................

1

BAB II PEMBAHASAN ..........................................................................................

2

2.1.Anatomi fisiologi Hati .........................................................................................

2

2.2.Epidemiologi .......................................................................................................

5

2.3.Etiologi .................................................................................................................

5

2.4.Patogenesis ..........................................................................................................

7

2.5.Gambaran Klinis ..................................................................................................

9

2.6.Diagnosis ..............................................................................................................

11

2.7.Pemeriksaan Penunjang .......................................................................................

13

2.8.Penatalaksanaan ...................................................................................................

15

2.9.Komplikasi ...........................................................................................................

18

2.10.Diagnosis Banding .............................................................................................

19

BAB III KESIMPULAN ............................................................................................

22

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................

23

ii

BAB I PENDAHULUAN

Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem gastrointestinal

yang

ditandai

dengan

adanya

proses

supurasi

dengan

pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel darah didalam parenkim hati. Secara umum, abses hati terbagi 2, yaitu abses hati amebik (AHA) dan abses hati piogenik (AHP).2 AHA merupakan salah satu komplikasi amebiasis ekstraintestinal yang paling sering dijumpai di daerah tropik/subtropik, termasuk Indonesia. AHP dikenal juga sebagai hepatic abscess, bacterial liver abscess, bacterial abscess of the liver, bacterial hepatic abscess. AHP ini merupakan kasus yang relatif jarang, pertama ditemukan oleh Hippocrates (400 SM) dan dipublikasikan pertama kali oleh Bright pada tahun 1936. Abses hati banyak ditemukan di negara berkembang, terutama yang tinggal di daerah tropis dan subtropis. Angka mortalitas abses hati masih tinggi yaitu berkisar antara 10-40%. Insiden abses hati jarang, berkisar antara 15-20 kasus per 100.000 populasi dan tiga per empat kasus abses hati di negara maju adalah abses hepar piogenik, sedangkan di negara yang sedang berkembang lebih banyak ditemukan abses hati amebik. Untuk menegakkan diagnosis abses hati ini selain pemeriksaan fisik dan gejala klinik dibutuhkan pemeriksaan penunjang berupa laboratorium dan pemeriksaan radiologi. Referat ini dibuat untuk memberikan informasi mengenai epidemiologi, etiologi,

patofisiologi,

manifestasi

klinis,

penatalaksanaan dari abses hati.

1

penegakkan

diagnosis,

dan

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Anatomi dan Fisiologi Hati Hepar merupakan organ intra abdomen terbesar. Organ ini dibungkus oleh jaringan ikat, dan terletak pada kuadran kanan atas, yaitu di daerah hipokondriaka kanan sampai epigastrium. Permukaan atas hepar yang cembung melengkung pada permukaan bawah kubah diafragma. Permukaan postero-inferior atau permukaan visera membentuk cetakan visera yang berdekatan dan oleh karena itu bentuknya tidak teratur, permukaan ini berhubungan dengan pars abdominalis esophagus, lambung, duodenum, fleksura colli dekstra, ginjal kanan,kelenjar suprarenalis dan kandung empedu.

Gambar 1. Anatomi Hepar

Hepar terdiri dari tiga lobus yaitu lobus kanan, lobus kiri dan lobus kaudatus. Lobus kanan dengan kiri dipisahkan oleh vena hepatika media. Lobus kanan terdiri dari segmen anterior dan posterior yang dipisahkan oleh vena hepatika kanan. Lobus kiri terletak di epigastrium dan hipokondrium kiri, dan terdiri dari segmen medial dan lateral yang dipisahkan oleh vena hepatika kiri, ligamentum teres dan fusiform. Lobus kaudatus merupakan lobus terkecil, terletak di permukaan posterosuperior dan lobus kanan, dipisahkan dari lobus kiri oleh ligamentum venosum.

2

Hepar merupakan suatu organ yang memiliki dua sistem anatomi segmental yang diperkenalkan oleh Bismuth-Couinaud pada tahun 1954, yang membagi hepar menjadi 8 segmen, berdasarkan vena porta dan vena hepatika. Tiga cabang utama dari vena hepatika membagi hepar secara vertikal dan oblik serta garis yang melewati percabangan vena porta kanan dan kiri membagi hepar secara transversal. Segmen 1, menunjukkan lobus kaudatus, karena vaskularisasi segmen ini pada posisi yang unik dan mendapatkan perdarahan dari cabang utama dari vena porta dan dari cabang kanan dan kiri. Terlebih lagi, drainase pada segmen 1 tidak masuk ke dalam vena hepatika melainkan ke vena kava inferior. Lobus kanan dan kiri dipisahkan oleh vena hepatika media dan vesika felea. Segmen posterior lobus kanan mendapat suplai darah dari cabang posterior vena porta kanan. Segmen anterior mendapat suplai darah dari cabang anterior vena porta kanan. Bidang transversal membagi heparpada tingkat bifurkasio vena porta menjadi cabang kanan kiri.Lobus kiri terbentuk mulai segmen 2 sampai 4. Vena hepatika terletak di antara segmen. Vena hepatika sinistra membagi lobus kiri hepar menjadi segmen lateral dan medial. Vena hepatika dekstra membagi lobus kanan hepar menjadi segmen anterior dan posterior.

Gambar 2. Lobus Hepar

Hepar merupakan suatu organ yang memiliki dua aliran darah, dimana 30 % nya disuplai oleh arteri hepatika dan 70 % dari vena porta. Arteri hepatika membawa darah teroksigenasi ke hepar sedangkan vena porta membawa darah venosa yang kaya akan hasil pencernaan yang telah diabsorbsi dari saluran cerna. Arteri hepatika dan vena porta bercabang-cabang paralel satu sama lain. Darah arteri dan vena vena masuk ke vena centralis dari setiap lobulus hepar melalui

3

sinusoid hepar. Vena centralis mengalirkan darah ke vena hepatika kanan kiri, dan vena ini meninggalkan permukaan posterior hepar dan bermuara langsung ke dalam vena cava inferior. Hati mempunyai fungsi yang sangat beraneka ragam. Fungsi utama hati adalah pembentukkan dan ekskresi empedu. Hati mengekskresikan empedu sebanyak 1 liter per hari ke dalam usus halus. Garam empedu, lesitin, dan kolesterol merupakan komponen terbesar (90%) cairan empedu, sisanya (10%) adalah bilirubin, asam lemak dan garam empedu. Empedu yang dihasilkan ini sangat berguna bagi percernaan terutama untuk menetralisir racun terutama obatobatan dan bahan bernitrogen seperti amonia. Bilirubin merupakan hasil akhir metabolisme dan walaupun secara fisiologis tidak berperan aktif, tetapi penting sebagai indikator penyakit hati dan saluran empedu, karena bilirubin dapat memberi warna pada jaringan dan cairan yang berhubungan dengannya. Sirkulasi vena porta yang memberikan suplai darah 75% dari seluruh asupan asinus memegang peranan penting dalam fisiologi hati, terutama dalam hal metabolisme karbohidrat, protein dan asam lemak. Hasil metabolisme monosakarida dari usus halus diubah menjadi glikogen dan disimpan di hati (glikogenesis). Dari pasokan glikogen ini diubah menjadi glukosa secara spontan ke darah (glikogenolisis) untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Sebagian glukosa dimetabolisme dalam jaringan untuk menghasilkan tenaga dan sisanya diubah menjadi glikogen (yang disimpan dalam otot) atau lemak (yang disimpan dalam jaringan subkutan). Pada zona-zona hepatosit yang oksigenasinya lebih baik, kemampuan glukoneogenesis dan sintesis glutation lebih baik dibandingkan zona lainnya. Fungsi hati dalam metabolisme protein adalah mengasilkan protein plasma berupa albumin, protrombin, fibrinogen, dan faktor bekuan lainnya. Fungsi hati dalam metabolisme lemak adalah menghasilkan lipoprotein dan kolesterol, fosfolipid dan asam asetoasetat. Hati merupakan komponen sentral sistem imun. Sel kupffler yang merupakan 15% massa hati dan 80% dari total populasi fagosit tubuh, merupakan sel yang sangat penting dalam menanggulangi antigen yang berasal dari luar tubuh dan mempresentasikan antigen tersebut kepada limfosit.

4

2.2 Epidemiologi Di negara-negara yang sedang berkembang, AHA didapatkan secara endemik dan jauh lebih sering dibandingkan AHP. Hampir 10% penduduk dunia terutama negara berkembang terinfeksi E.histolytica tetapi hanya 1/10 yang memperlihatkan gejala. Insidens amubiasis hati di berbagai rumah sakit di Indonesia berkisar antara 5-15% pasien/tahun. Penularan umumnya melalui jalur oral-fekal dan dapat juga oral-anal-fekal. Kebanyakan yang menderita amubiasis hati adalah pria dengan rasio 3,4-8,5 kali lebih sering dari wanita. Usia yang sering dikenai berkisar antara 20-50 tahun terutama dewasa muda dan lebih jarang pada anak. Infeksi E.histolytica memiliki prevalensi yang tinggi di daerah subtropikal dan tropikal dengan kondisi yang padat penduduk, sanitasi serta gizi yang buruk. AHP tersebar di seluruh dunia, dan terbanyak di daerah tropis dengan kondisi sanitasi yang kurang. Secara epidemiologi, didapatkan 8-15 per 100.000 kasus AHP yang memerlukan perawatan di rumah sakit, dan dari beberapa kepustakaan Barat, didapatkan prevalensi autopsi bervariasi antara 0,29-1,47% sedangkan prevalensi di rumah sakit antara 0,008-0,016%. AHP lebih sering terjadi pada pria dibandingkan perempuan, dengan rentang usia berkisar lebih dari 40 tahun, dengan insidensi puncak pada dekade ke-6.

2.3 Etiologi A. Abses Hati Amebik (AHA) Abses hati amebik disebabkan oleh strain virulen Entamoeba hystolitica yang tinggi. Sebagai host definitif, individu-individu yang asimptomatis mengeluarkan tropozoit dan kista bersama kotoran mereka. Infeksi biasanya terjadi setelah meminum air atau memakan makanan yang terkontaminasi kotoran yang mengandung tropozoit atau kista tersebut. Dinding kista akan dicerna oleh usus halus, keluarlah tropozoit imatur. Tropozoit dewasa tinggal di usus besar terutama sekum. Strain Entamoeba hystolitica tertentu dapat menginvasi dinding kolon. Strain ini berbentuk tropozoit besar yang mana di bawah mikroskop tampak menelan sel darah merah dan sel PMN. Pertahanan tubuh penderita juga berperan dalam terjadinya amubiasis invasif.

5

B. Abses Hati Piogenik (AHP) Etiologi AHP adalah enterobacteriaceae, microaerophilic streptococci, anaerobic streptococci, klebsiella pneumoniae, bacteriodes, fusobacterium, staphylococcus aureus, staphylococcus milleri, candida albicans, aspergillus, actinomyces, eikenella corrodens, yersinia enterolitica, salmonella typhi, brucella melitensis, dan fungal. Organisme penyebab yang paling sering ditemukan adalah E.Coli, Klebsiella pneumoniae, Proteus vulgaris, Enterobacter aerogenes dan spesies dari bakteri anaerob (contohnya Streptococcus Milleri). Staphylococcus aureus biasanya organisme penyebab pada pasien yang juga memiliki penyakit granuloma yang kronik. Organisme yang

jarang

ditemukan

sebagai

penyebabnya

adalah

Salmonella,

Haemophillus, dan Yersinia. Kebanyakan abses hati piogenik adalah infeksi sekunder di dalam abdomen. Bakteri dapat mengivasi hati melalui : 1. Vena porta yaitu infeksi pelvis atau gastrointestinal atau bisa menyebabkan fileplebitis porta. 2. Arteri hepatika sehingga terjadi bakteremia sistemik. 3. Komplikasi

infeksi

intra

abdominal

seperti

divertikulitis,

peritonitis, dan infeksi post operasi. 4. Komplikasi dari sistem biliaris, langsung dari kantong empedu atau saluran-saluran

empedu.

Obstruksi

bilier

ekstrahepatik

menyebabkan kolangitis. Penyebab lainnya biasanya berhubungan dengan

choledocholithiasis,

tumor

jinak

dan

ganas

atau

pascaoperasi striktur. 5. Trauma tusuk atau tumpul. Selain itu embolisasi transarterial dan cryoablation massa hati sekarang diakui sebagai etiologi baru abses piogenik. 6. Kriptogenik tanpa faktor predisposisi yang jelas, terutama pada orang lanjut usia. Namun insiden meningkat pada pasien dengan diabetes atau kanker metastatik.

6

2.4 Patogenesis A. Abses Hati Amebik (AHA)

Gambar 3. Patogenesis AHA

Cara penularan umumnya fecal-oral yaitu dengan menelan kista, baik melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi atau transmisi langsung pada orang dengan higiene yang buruk. Kasus yang jarang terjadi adalah penularan melalui seks oral ataupun anal. E.hystolitica dalam 2 bentuk, baik bentuk trofozoit yang menyebabkan penyakit invasif maupun kista bentuk infektif yang dapat ditemukan pada lumen usus. Bentuk kista tahan terhadap asam lambung namun dindingnya akan diurai oleh tripsin dalam usus halus. Kemudian kista pecah dan melepaskan trofozoit yang kemudian menginvasi lapisan mukosa usus. Amuba ini dapat menjadi patogen dengan mensekresi enzim cysteine protease, sehingga melisiskan jaringan maupun eritrosit dan menyebar keseluruh organ secara hematogen dan perkontinuinatum. Amoeba yang masuk ke submukosa memasuki kapiler darah, ikut dalam aliran darah melalui vena porta ke hati. Di hati E.hystolitica mensekresi enzim proteolitik yang melisis jaringan hati, dan membentuk abses. 7

Di hati terjadi fokus akumulasi neutrofil periportal yang disertai nekrosis dan infiltrasi granulomatosa. Lesi membesar, bersatu, dan granuloma diganti dengan nekrotik. Bagian nekrotik ini dikelilingi kapsul tipis seperti jaringan fibrosa. Lokasi yang sering adalah di lobus kanan (70% - 90%) karena lobus kanan menerima darah dari arteri mesenterika superior dan vena portal sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri mesenterika inferior dan aliran limfatik. Secara mikroskopik di bagian tengah didapatkan bahan nekrotik dan fibrinous, sedangkan di perifer tampak bentuk ameboid dengan sitoplasma bergranul serta inti kecil. Jaringan sekitarnya edematous dengan infiltrasi limfosit dan proliferasi ringan sel kupffer dengan tidak ditemukan sel PMN. Lesi amebiasis hati tidak disertai pembentukan jaringan parut karena tidak terbentuknya jaringan fibrosis. Dinding abses bervariasi tebalnya, bergantung pada lamanya penyakit. Secara klasik, cairan abses menyerupai ”achovy paste” dan berwarna coklat kemerahan, sebagai akibat jaringan hepar serta sel darah merah yang dicerna.

B. Abses Hati Piogenik (AHP) Abses hati dapat berbentuk soliter maupun multipel. Hal ini dapat terjadi dari penyebaran hematogen maupun secara langsung dari tempat terjadinya infeksi di dalam rongga peritoneum. Hati menerima darah secara sistemik maupun melalui sirkulasi vena portal, hal ini memungkinkan terinfeksinya hati oleh karena paparan bakteri yang berulang, tetapi dengan adanya sel Kuppfer yang membatasi sinusoid hati akan menghindari terinfeksinya hati oleh bakteri tersebut. Bakteri piogenik dapat memperoleh akses ke hati dengan ekstensi langsung dari organ-organ yang berdekatan atau melalui vena portal atau arteri hepatika. Adanya penyakit sistem biliaris sehingga terjadi obstruksi aliran empedu akan menyebabkan terjadinya proliferasi bakteri. Adanya tekanan dan distensi kanalikuli akan melibatkan cabang-cabang dari vena portal dan limfatik sehingga akan terbentuk formasi abses fileflebitis. Mikroabses yang terbentuk akan menyebar secara hematogen sehingga terjadi bakteremia sistemik.

8

Penetrasi akibat luka tusuk akan menyebabkan inokulasi bakteri pada parenkim hati sehingga terjadi AHP. Penetrasi akibat trauma tumpul menyebabkan nekrosis hati, perdarahan intrahepatik dan terjadinya kebocoran saluran empedu sehingga terjadi kerusakan dari kanalikuli. Kerusakan kanalikuli menyebabkan masuknya bakteri ke hati dan terjadi pembentukan pus. Abses hati piogenik dilaporkan sebagai infeksi sekunder dari abses hati amebic, hydatid cystic cavities, dan tumor hati. Selain itu dapat juga disebabkan oleh proses transplantasi hati, embolisasi arteri hepatika pada perawatan karsinoma hepatoseluler dan penghancuran benda asing dari dalam tubuh.

2.5 Gambaran Klinis A. Abses Hati Amebik (AHA) Anamnesis: a. Demam. b. Nyeri perut kanan atas, yang bertambah saat berubah posisi atau batuk. Penderita lebih enak berbaring ke sebelah kiri. Kadang nyeri epigastrium bila abses di lobus kiri dan dapat menjalar hingga bahu kanan dan daerah skapula bila abses terletak dekat diafragma. c. Anoreksia, nausea, vomitus. d. Berat badan menurun. e. Batuk. f. Kadang terjadi cegukan (hiccup). Pemeriksaan Fisik: a. Ikterus. b. Temperatur naik. c. Malnutrisi. d. Hepatomegali yang nyeri spontan atau nyeri tekan. e. Ludwig sign (+) f. Fluktuasi

9

B. Abses Hati Piogenik (AHP) Gambaran klinis AHP menunjukkan manifestasi sistemik yang lebih berat dari AHA. Dicuragai adanya AHP apabila ditemukan sindrom klinis klasik berupa nyeri spontan perut kanan atas, yang ditandai dengan jalan membungkuk ke depan dengan kedua tangan diletakkan di atasnya. Demam tinggi merupakan keluhan paling utama. Apabila AHP letaknya dekat digfragma, maka akan terjadi iritasi diagfragma sehingga terjadi nyeri pada bahu sebelah kanan, batuk ataupun terjadi atelektesis. Pasien mengeluh mual dan muntah, berkurangnya nafsu makan, terjadi penurunan berat badan yang unintentional, ikterus, BAB berwarna seperti kapur dan BAK berwarna gelap. Pada pemeriksaan fisik didapatkan demam tinggi, pada palpasi terdapat hepatomegali serta perkusi terdapat nyer tekan hepar, yang diperberat dengan adanya pergerakan abdomen, splenomegali didapatkan apabila AHP telah menjadi kronik. Bisa didapatkan asites, ikterus, serta tanda-tanda hipertensi portal.

Tabel 1. Perbedaan Klinis Abses Hepar Piogenik dan Abses Hepar Amoebik

Demografi

Faktor risiko mayor

Abses hati piogenik

Abses hati amoebik

Usia: 50-70 tahun

Usia: 20-40 tahun

JK : laki-laki = perempuan

JK: laki-laki> perempuan (10:1)

Infeksi bakteri akut, khususnya intra abdominal

Bepergian atau menetap di daerah endemic ( pernah Obstruksi bilier/manipulasi menetap)

Obstruksi bilier/manipulasi Diabetes mellitus Gejala Klinis

Nyeri perut regio kuadran kanan atas, demam, menggigil, rigor, lemah, malaise, anoreksia, penurunan berat badan, diare, batuk, nyeri dada pleuritik

10

Akut: demam tinggi,menggigil, nyeri abdomen, sepsis Sub akut: Penurunan berat badan; demam dan nyeri abdomen relatif jarang Khas: Tak ada gejala kolonisasi usus dan colitis

Hepatomegali disertai nyeri Nyeri tekan perut regio tekan, massa abdomen, kanan atas bervariasi

Tanda klinis

ikterus Lekositosis, anemia, peningkatan enzim-enzim hati (alkali fosfatase melebihi aminotransferase), peningkatan bilirubin, hipoalbuminemia Kultur darah positif (50%60%)

Laboratorium

Serologi amuba positif (70%-95%)

Lekositosis bervariasi dan Anemia Tidak ditemukan eosinofilia Alkali fosfatase meningkat, namun aminotransferase biasanya normal

Cairan Aspirasi

Purulen

Konsistensi dan warna Bervariasi

Tampak kuman pada pewarnaan gram

Steril

Kultur positif (80%)

Tropozoit jarang ditemukan

2.6 Diagnosis A. Abses Hati Amebik (AHA) Diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi hati untuk menemukan trofozoit amuba. Diagnosis abses hati amebik di daerah endemik dapat dipertimbangkan jika terdapat demam, nyeri perut kanan atas, hepatomegali yang juga ada nyeri tekan. Disamping itu bila didapatkan leukositosis, fosfatase alkali meninggi disertai letak diafragma yang tinggi dan perlu dipastikan dengan pemeriksaan USG juga dibantu oleh tes serologi. Untuk diagnosis abses hati amebik juga dapat menggunakan kriteria Sherlock (1969), kriteria Ramachandran (1973), atau kriteria Lamont dan Pooler. a. Kriteria Sherlock (1969) 1. Hepatomegali yang nyeri tekan 2. Respon baik terhadap obat amebisid 3. Leukositosis

11

4. Peninggian diafragma kanan dan pergerakan yang kurang. 5. Aspirasi pus 6. Pada USG didapatkan rongga dalam hati 7. Tes hemaglutinasi positif b. Kriteria Ramachandran (1973) Bila didapatkan 3 atau lebih dari: 1. Hepatomegali yang nyeri 2. Riwayat disentri 3. Leukositosis 4. Kelainan radiologis 5. Respons terhadap terapi amebisid c. Kriteria Lamont Dan Pooler Bila didapatkan 3 atau lebih dari: 1. Hepatomegali yang nyeri 2. Kelainan hematologis 3. Kelainan radiologis 4. Pus amebik 5. Tes serologi positif 6. Kelainan sidikan hati 7. Respons terhadap terapi amebisid

B. Abses Hati Piogenik (AHP) Menegakkan diagnosis AHP berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan laboratoris serta pemeriksaan penunjang. Diagnosis AHP kadang-kadang sulit ditegakkan sebab gejala dan tanda klinis sering tidak spesifik. Diagnosis dapat ditegakkan bukan hanya dengan CT-Scan saja, meskipun pada akhirnya dengan CT-Scan mempunyai nilai prediksi yang tinggi untuk diagnosis AHP, demikian juga dengan tes serologi yang dilakukan. Tes serologi yang negatif menyingkirkan diagnosis AHA, meskipun terdapat pada sedikit kasus, tes ini menjadi positif beberapa hari kemudian. Diagnosis berdasarkan penyebab adalah dengan menemukan bakteri penyebab pada pemeriksaan kultur hasil aspirasi, ini merupakan standar emas untuk diagnosis.

12

2.7 Pemeriksaan Penunjang A. Abses Hati Amebik (AHA) Pemeriksaan darah menunjukkan leukositosis dengan jumlah sel polimorfonuklear sekitar 70-80%, peningkatan laju endah darah, anemia ringan, peningkatan alkali fosfatase dan kadar bilirubin. Uji fungsi hati pada umumnya normal. Feses dapat mengandung kista, pada disentri ditemukan trofozoit hematofagus. Kista positif pada feses hanya ditemukan pada 10-40% kasus. Foto dada menunjukkan hemidiafragma kanan terangkat dengan atelektasis atau pleural efusi. Pada pemeriksaan USG, biasanya dijumpai lesi soliter,hipoekoik homogen dengan fine internal echo,bentuk bulat atau oval, batas tegas, dengan lokasi lebih sering di perifer (subcapsuler).

A

B

Gambar 4. (A)Tampak gambaran abses amoeba dengan internal echo disertai gambaran hallo hipoekoik. (B) Tampak gambaran abses hepar amoeba dengan posterior acoustic enhancement. (Diambil dari Ahuja.T.Anil.Piogenic Hepatic Abscess. Diagnostic Imaging Ultrasound : 1.42-1.45).

Tak tampak adanya pembentukan gas. Kadang ditemukan adanya septa, tetapi tak tampak adanya peningkatan vaskularisasi baik pada dinding ataupun septa.Dapat pula ditemukan gambaran hallo yang hipoekoik maupun posterior enhancement yang mild. Uji serologis dapat membantu menegakkan diagnosis abses hati amoeba, antara lain IHA (indirect hemagglutination antibody), EIA (enzyme

13

immunoassay), IFA (indirect immunolfuoresent antibotic), LA (latex agglutination),

AGD

(agar

gel

diffusion),

dan

CIE

(counter

immunoelectrophoresis). Antibodi hemaglutinasi indirek terhadap Entamoeba histolytica telah banyak digunakan dan meningkat pada 90% pasien. Sensitivitas IHA pada keadaan akut 70-80%, sedangkan pada masa konvalesen > 90%. Kekurangan IHA selain hasil tes diperoleh terlalu lama, hasilnya juga tetap positif selama 20 tahun sehingga dapat memberi gambaran penyakit infeksi sebelumnya dan bukan infeksi yang akut. Saat ini IHA telah digantikan oleh EIA yang dapat mendeteksiantibodi E.histolytica baik IgG maupun imunoglobulin total. Uji serologis ini relatif lebih sederhana, mudah dilakukan, cepat, stabil dan murah harganya serta memiliki sensitivitas 99% dan spesifisitas > 90%.

B. Abses Hati Piogenik (AHP) Pada pemeriksaan penunjang , leukositosis ditemukan pada 66% pasien, sering disertai dengan anemia akibat infeksi kronis dan peningkatan laju endap darah. Kadar alkali fosfatase biasanya meningkat, hipoalbuminemia dan kadar enzim transaminase yang sedikit meningkat. Foto polos dada dan abdomen memperlihatkan pembesaran hati, kadangkala tampak air fluid level di dalam rongga abses dan diafragma kanan biasanya terangkat. Hampir semua kasus abses hepar dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan ultrasonografi dan CT scan. Kedua teknik pencitraan ini dapat menentukan lokasi abses yang berukuran minimal 1 cm di parenkim hepar. Ultrasonografi adalah metode pencitraan yang direkomendasikan karena cepat, noninvasif, cost effective, dan dapat juga digunakan sebagai pemandu aspirasi abses untuk diagnostik dan terapi. Ultrasonografi dan CT scan jugadapat digunakan untuk memantau keberhasilan terapi. Pemantauan abses secara serial dengan ultrasonografi atau CT scan hanya dilakukan jika pasien tidak memberi respons yang baik secara klinis. Pada pemeriksaan USG tampak gambaran lesi dengan ukuran yang bervariasi , dapat multiple maupun solitair. Biasanya bentuk bulat atau oval, tepi regular kadang irregular, dinding tipis atau tebal. Ekogenesitas abses

14

piogenik dapat pula bervariasi , berupa lesi anekoik (50 %), hiperekoik (25%), hipoekoik (25 %) , dapat dijumpai adanya fluid level atau debris, internal septa dan posterior acoustic enhancement.18,19,20 Terbentuknya gas pada lesi memberikan gambaran berupa lesi hiperekoik dengan posterior artefak. Pada pemeriksaan color Doppler tampak peningkatan vaskuler terutama pada dinding abses. Parenkim hepar yang berbatasan dengan abses, dijumpai peningkatan vaskularisasi karena adanya proses inflamasi. Pemeriksaan biakan abses dapat menemukan bakteri patogen pada 86% kasus, hasil biakan steril ditemukan pada 14% kasus. Bakteri aerob gram negatif ditemukan tumbuh pada 70% kasus dan yang paling sering adalah Escherichia coli. Pemeriksaan biakan darah memberikan hasil positif pada 57% kasus.

2.8 Penatalaksanaan A. Abses Hati Amebik (AHA) 1. Medikamentosa Abses hati amoeba tanpa komplikasi lain dapat menunjukkan penyembuhan yang besar bila diterapi hanya dengan antiamoeba. Pengobatan yang dianjurkan adalah: a. Metronidazole Metronidazole merupakan derivat nitroimidazole, efektif untuk amubiasis intestinal maupun ekstraintestinal., efek samping yang paling sering adalah sakit kepala, mual, mulut kering, dan rasa kecap logam. Dosis yang dianjurkan untuk kasus abses hati amoeba adalah 3 x 750 mg per hari selama 5 – 10 hari. Sedangkan untuk anak ialah 3550 mg/kgBB/hari terbagi dalam tiga dosis. Derivat nitroimidazole lainnya yang dapat digunakan adalah tinidazole dengan dosis 3 x 800 mg perhari selama 5 hari, untuk anak diberikan 60 mg/kgBB/hari dalam dosis tunggal selama 3-5 hari. b. Dehydroemetine (DHE) Merupakan

derivat

diloxanine

furoate.

Dosis

yang

direkomendasikan untuk mengatasi abses liver sebesar 3 x 500 mg

15

perhari selama 10 hari atau 1-1,5 mg/kgBB/hari intramuskular (max. 99 mg/hari) selama 10 hari. DHE relatif lebih aman karena ekskresinya lebih cepat dan kadarnya pada otot jantung lebih rendah. Sebaiknya tidak digunakan pada penyakit jantung, kehamilan, ginjal, dan anakanak c. Chloroquin Dosis

klorokuin

basa

untuk

dewasa

dengan

amubiasis

ekstraintestinal ialah 2x300 mg/hari pada hari pertama dan dilanjutkan dengan 2x150 mg/hari selama 2 atau 3 minggu. Dosis untuk anak ialah 10 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis terbagi selama 3 minggu. Dosis yang dianjurkan adalah 1 g/hari selama 2 hari dan diikuti 500 mg/hari selama 20 hari. 2. Aspirasi Apabila pengobatan medikamentosa dengan berbagai cara tersebut di atas tidak berhasil (72 jam), terutama pada lesi multipel, atau pada ancaman ruptur atau bila terapi dcngan metronidazol merupakan kontraindikasi seperti pada kehamilan, perlu dilakukan aspirasi. Aspirasi dilakukan dengan tuntunan USG. 3.

Drainase Perkutan Drainase perkutan indikasinya pada abses besar dengan ancaman ruptur atau diameter abses > 7 cm, respons kemoterapi kurang, infeksi campuran, letak abses dekat dengan permukaan kulit, tidak ada tanda perforasi dan abses pada lobus kiri hati. Selain itu, drainase perkutan berguna juga pada penanganan komplikasi paru, peritoneum, dan perikardial.

4. Drainase Bedah Pembedahan diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak berhasil mcmbaik dengan cara yang lebih konservatif, kemudian secara teknis susah dicapai dengan aspirasi biasa. Selain itu, drainase bedah diindikasikan juga untuk perdarahan yang jarang tcrjadi tetapi mengancam jiwa penderita, disertai atau tanpa adanya ruptur abses. Penderita dengan septikemia karena abses amuba yang mengalami

16

infeksi sekunder juga dicalonkan untuk tindakan bedah, khususnya bila usaha dekompresi perkutan tidak berhasil Laparoskopi juga dikedepankan untuk kemungkinannya dalam mengevaluasi tcrjadinya ruptur abses amuba intraperitoneal.

B. Abses Hati Piogenik (AHP) 1.

Pencegahan Merupakan cara efektif untuk menurunkan mortalitas akibat abses hati piogenik yaitu dengan cara: a. Dekompresi pada keadaan obstruksi bilier baik akibat batu ataupun tumor dengan rute transhepatik atau dengan melakukan endoskopi b. Pemberian antibiotik pada sepsis intra-abdominal

2. Terapi definitif Terapi ini terdiri dari antibiotik, drainase abses yang adekuat dan menghilangkan penyakit dasar seperti sepsis yang berasal dari saluran cerna. Pemberian antibiotika secara intravena sampai 3 gr/hari selama 3 minggu diikuti pemberian oral selama 1-2 bulan. Antibiotik ini yang diberikan terdiri dari: a.

Penisilin atau sefalosporin untuk coccus gram positif dan beberapa jenis bakteri gram negatif yang sensitif. Misalnya sefalosporin

generasi

ketiga

seperti

cefoperazone

1-2

gr/12jam/IV. b.

Metronidazole, klindamisin atau kloramfenikol untuk bakteri anaerob terutama B. fragilis. Dosis metronidazole 500 mg/6 jam/IV.

c.

Aminoglikosida untuk bakteri gram negatif yang resisten.

d.

Ampicilin-sulbaktam atau kombinasi klindamisin-metronidazole, aminoglikosida dan siklosporin.

3.

Drainase abses Pengobatan pilihan untuk keberhasilan pengobatan adalah drainase terbuka terutama pada kasus yang gagal dengan pengobatan

17

konservatif. Penatalaksanaan saat ini adalah dengan menggunakan drainase perkutaneus abses intraabdominal dengan tuntunan abdomen ultrasound atau tomografi komputer. 4.

Drainase bedah Drainase bedah dilakukan pada kegagalan terapi antibiotik, aspirasi perkutan, drainase perkutan, serta adanya penyakit intraabdomen yang memerlukan manajemen operasi.

2.9 Komplikasi A. Abses Hati Amebik (AHA) Komplikasi yang paling sering adalah ruptur abses sebesar 5 - 5,6 %. Ruptur dapat terjadi ke pleura, paru, perikardium, usus, intraperitoneal atau kulit. Kadang-kadang dapat terjadi superinfeksi, terutama setelah aspirasi atau drainase. Infeksi pleuropneumonal adalah komplikasi yang paling umum terjadi. Mekanisme infeksi termasuk pengembangan efusi serosa simpatik, pecahnya abses hati ke dalam rongga dada yang dapat menyebabkan empiema, serta penyebaran hematogen sehingga terjadi infeksi parenkim. Fistula hepatobronkial dapat menyebabkan batuk produktif dengan bahan nekrotik mengandung amoeba. Fistula bronkopleural mungkin jarang terjadi. Komplikasi pada jantung biasanya dikaitkan pecahnya abses pada lobus kiri hati dimana ini dapat menimbulkan kematian. Pecah atau rupturnya abses dapat ke organ-organ peritonium dan mediastinum. Kasus pseudoaneurysm arteri hepatika telah dilaporkan terjadi sebagai komplikasi. B. Abses Hati Piogenik (AHP) Saat diagnosis ditegakkan, menggambarkan keadaan penyakit berat seperti septikamia/bakterimia dengan mortalitas 85%, ruptur abses hati disertai

peritonitis

generalisata

dengan

mortalitas

6-7%,

kelainan

pleuropulmonal, gagal hati, perdarahan ke dalam rongga abses, hemobilia, empiema,

fistula

retroperineum.

hepatobronkial,

Sesudah

ruptur

mendapatkan

ke

terapi,

dalam sering

perikard terjadi

atau

diatesis

hemoragik, infeksi luka, abses rekuren, perdarahan sekunder dan terjadi rekurensi atau reaktifasi abses.

18

2.10 Diagnosis Banding 1) Kista Hepar Ditemukan pada hepar yang sehat dengan angka prevalensi sekitar 27%. Sering ditemukan pada wanita kira – kira 40 % kasus dapat dijumpai pada pasien dengan autosomal dominant polycysticdisease disertai multiple kista hepar. Patognomonik pada kista hepar lesi yang terlokalisir atau multipel kavitas disertai fluid level didalamnya dengan ukuran yang bervariasi yang berbatas tegas dengan parenkim. Pada pemeriksaan USG tampak gambaran anekoik, bentuk bulat yang ditandai dengan peningkatan acoustic enhancement.

Gambar 5. Pada pemeriksaan USG tampak lesi anechoic , batas tegas, tepi regular dengan posterior acoustic enhancement enhancemen. (Diambil dari Bates, Jane, Abdominal Ultrasound, How,Why and When, 2 nd edition, Churchill.Livingstones 2004 : 80)

2) Metastasis Hepar Kebanyakan

tumor

hepar

berasal

dari

hematogen.

Tumor

gastrointestinal bermetastasis ke hepar melalui vena porta dan tumor dari tempat lain melalui arteri hepatika.Pada pemeriksaan USG dapat ditemukan lesi dengan berbagai tipe dapat berupa lesi dengan gambaran hiperekoik, hipoechoik dan isoechoik Metastasis pada hepar cenderung solid, batas tidak tegas.

19

A

B

Gambar 6. (A). Tampak lesi anechoic, lobulated, batas tegas pada lobus kanan hepar yang merupakan lesi sekunder karena penyebaran peritoneal karsinomaovarium. (B) Tampak lesi anekoik, tepi irregular di daerah sekitar vena porta, pada penderita dengan carcinoma colon. (Diambil dari Bates, Jane, Abdominal Ultrasound, How,Why and When, 2nd edition, Churchill Livingstones.2004: 84 )

Kadang dapat dijumpai lesi besar dengan nekrotik area didalamnya disertai cairan. Dapat pula ditemukan adanya kalsifikasi didalamnya, biasanya pada kasus- kasus metastasis setelah terapi kemoraterapi.

3) Kista Echinococcus Kista Echinococcus (Hydatid disease) disebabkan oleh parasit, Echinococcus, yang sering ditemukan pada daerah endemik seperti Timur Tengah. Cacing hidup di saluran cerna anjing yang terinfeksi yang mengeluarkan telur cacing . Selain anjing, sapi atau domba dapat terinfeksi oleh cacing ini, dan kemudian siklus ini sampai ke manusia. Parasit menyebar melalui aliran darah menuju ke hepar yang menyebabkan reaksi peradangan. Kista tumbuh biasanya sangat lambat dan asimptomatik . Pada USG, kista ini biasanya memiliki dua lapisan dinding berupa kapsul dengan dinding yang tebal, yang mungkin terpisah.

20

Gambar 7. Pada pemeriksaan USG tampak multipel lesi anechoic, bersepta-septa yang memberikan gambaran daughter cysts. (Diambil dari Bates, Jane, Abdominal Ultrasound, How,Why and When, 2 nd edition, Churchill Livingstones.2004 : 82)

21

BAB III KESIMPULAN Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem gastrointestinal

yang

ditandai

dengan

adanya

proses

supurasi

dengan

pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel darah didalam parenkim hati. Terdapat dua jenis abses hati berdasarkan jenis penyebabnya, yaitu abses hati piogenik dan abses hati amoebik. Abses hati piogenik pada umumnya disebabkan oleh bakteri aerob gram negatif dan anaerob, yang tersering adalah bakteri yang berasal dari flora normal usus seperti Escherichia coli, Klebsiella pneumonia,Bacteriodes, enterokokus, streptokokus anaerob, dan streptokokus mikroaerofilik. Gambaran klasik abses hati piogenik adalah nyeri perut terutama kuadran kanan atas, demam yang naik turun disertai menggigil, penurunan berat badan, muntah, ikterus dan nyeri dada saat batuk. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan leukositosis sering disertai dengan anemia akibat infeksi kronis dan peningkatan laju endap darah. Abses hati amoebik disebabkan oleh Entamoeba histolytica. Insiden abses hati amoebik dipengaruhi oleh keadaan nutrisi, hygiene individu yang buruk, dan kepadatan penduduk. Pasien dapat merasakan gejala sejak beberapa hari hingga beberapa minggu sebelumnya. Nyeri perut kanan atas merupakan keluhan yang menonjol, pasien tampak sakit berat, dan demam.

22

DAFTAR PUSTAKA 1. Dull JS, Topa L, Balgha V, Pap A. Non-surgical Treatment of Biliary Liver Abscesses : Efficacy of Endoscopic Drainage and Local Antibiotic Lavage with Nasobiliary Catheter. Gastrointest Endosc. 1999 ; 51:55-9. 2. Chu KM, Fan ST, Lai ECS, Lo CM, Wong J. Pyogenic Liver Abscess. Arch Surg. 1996; 131 : 148-52. 3. Ong E, Espat NJ, Helton WS. Hepatic Abscess. Curr Treatment Opt Infect Dis. 2003 ; 5:393-406. 4. Ahsan T, Jehngir MU, Mahmood T, Ahmed N, Saleem M, Shahid M. Amoebic Versus Pyogenic Liver Abscess. JPMA. 2002; 52:497-501. 5. Mishra K, Basu S, Roychoudhury S, Kumar P. Liver Abscess in Children:an Overview. World J Pediatr. 2010;6(3):210-6. 6. Stain SC, Yellin AE, Donovan AJ, Brien HW. Pyogenic Liver Abscess Modern Treatment. Arch Surg. 1991;126:991-6. 7. Halvorsen RA, Foster WL, Wilkinson RH, Silverman PM, Thompson WM. Hepatic Abcess : Sensitivity of Imaging Test and Clinical Findings. Gastrointest Radiol. 1988;13(2):135-41. 8. Wagener O.Whole Body Computed Tomography. 2

nd

edition. Hamburg.

Germany.July 1992.244-75. 9. Grainger RG,Alison DJ, adam.A, Dixon AK..Diagnostic Radiology A Texbook of Medical Imaging. 4

th

edition. Churchill Livingstone .2003

:1237–72. 10. Sutton D.Texbook of Radiology and Imaging Vol.2.Churchill Livingstone. 2003 : 737-86. 11. Haaga JR,Lanzieri G, Gilkeson RC. CT and MRI of the Whole Body. Volume 2. 4 th edition. Missouri Mosby, 2003:1318 – 37. 12. Knollmann

F,

Coakley

FV.Multislice

CT

:

Principles

and

rotocols.Saunders Elsever.Philadelphia. 2006 : 123 – 47. 13. Sudoyo, Aru. W., dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006.

23

14. Brook I, Fraizer EH. Role of Anaerobic Bacteria Inliver Abscess in Children. Pediatr Infect Dis J 1993;12:743-6. 15. Prianti Y, Bisanto J, Firman K. Abses Hati Pada Anak. Sari Pediatri, vol 7 No 1. Juni 2005 ; 50-6. 16. Kelly DA,. Diseases of The Liver and Biliary System in Children. London: Blackwell Science, 1999 ; 65-76. 17. Perez JAP, Gonzalez JJ, Baldonedo RF, Sanz L, Carreiio G, Junco A, et al. Clinical course, treatment, and multivariate analysis of risk factors for pyogenic liver abscess. Am J Surg 2001;181:177-86. 18. Allan P, Baxter G, Weston M. Clinical Ultrasound. Third Edition. Churchill Livingstone Elsevier. 2011; 120-66. 19. Walls P, Barnes P, Radin D R, Colleti P, Halls J. Sonographic Features of Amebic and Pyogenic Liver Abcesses : A Blinded Comparison. AJR. 1987 ; 149 : 499-501. 20. Bugti Q, Baloch M, Wadood A, Mulghani A, Azem B, Ahmed J. Pyogenic Liver

Abscess

:

Demographic,

Clinical,

Radiological

and

BacteriologicalCharacteristics and Management Strategies. Gomal Journal of Medical Sciences vol 3 no 1. 2005 ; 10-4. 21. Cosme A, Ojeda E, Zamarreno I, Bujanda L, Garmendia G, Benavente J, et al. Pyogenic versus Amoebic liver abscesses. A comparative clinical study in a series of 58 patients. Rev Esp Enfem Dig vol 102. 2010 ; 90-9. 22. Mc Kaigney C. Hepatic Abscess : Case Report and Review. Western Journal of Emergency Medicine. Volume XIV no 2. 2013 ; 154-7. 23. Gupta M, Kesarwala H, Gaur S. Amebic liver abscess in a child. Clin Pediatr 1996; 3:155-6. 24. Bates, Jane, Abdominal Ultrasound, How,Why and When, 2 Churchill Livingstones. 2004.

24

nd

edition,

More Documents from "dewi"

Bedah Batch Maret2019.docx
October 2019 67
Nomorantri2.docx
December 2019 6
Lampiran Sk.docx
April 2020 5
1.docx
November 2019 15