6. Bab V - Pembahasan Siti Rokoyah 0104.docx

  • Uploaded by: diazmln
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 6. Bab V - Pembahasan Siti Rokoyah 0104.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,690
  • Pages: 7
BAB V PEMBAHASAN 5.1. Karakteristik Demografi Pasien DSD Kelompok usia pasien terbanyak didiagnosis DSD pada penelitian ini adalah early-childhood (32,5%), kemudian late-childhood (28,5%), dan early-infancy dan adults masing-masing 11,3%. Hasil penelitian ini selaras dengan hasil penelitian Juniarto dkk., 2012 di Semarang, Indonesia, yaitu pasien paling banyak dibawa ke RS dan didiagnosis DSD saat usia anak-anak yaitu dalam rentang 2-12 tahun (42%) dan dewasa (12%). Namun hasil ini sedikit berbeda dengan hasil penelitian Shawky dan El-Din di Cairo pada tahun 2011 yaitu pada kelompok usia adolescens (36,56%), adults (24,88%) dan neonates (8,70%). Persamaan hasil penelitian ini mungkin disebabkan oleh persamaan kemampuan diagnosis DSD diantara kedua center dan persamaan kultur (misal; orang tua membawa anaknya ke mantri untuk disunat pada usia childhood, yaitu dalam rentang usia 2-12 tahun). Sedangkan perbedaan hasil temuan kelompok usia pasien saat dibawa ke RS dan didiagnosis DSD ini mungkin disebabkan oleh penemuan pasien DSD di Mesir yang memang sering tertunda akibat orang tua yang malu dan merasa tabu akan kondisi anaknya (Shawky dan El-Din, 2011). Penegakan diagnosis yang tertunda juga dapat disebabkan oleh rendahnya tingkat kesadaran terhadap eksistensi dan dampak DSD bahkan pada tenaga medis, fasilitas diagnosis dan terapi yang terbatas serta masalah sosioeonomi (Warne dkk., 2008). Distribusi temuan jenis kelamin pasien DSD pada penelitian ini lebih dominan pada laki-laki (84,8%) dibanding perempuan (13,2%) dan undetermined sex type (2%). Hasil ini selaras dengan hasil penelitian Shawky dan El-Din pada 2011 yaitu laki-laki (60,35%) dan perempuan (39,64%) serta hasil penelitian Juniarto, dkk., 2012 di Semarang Indonesia yaitu laki-laki (52,09%), perempuan (39,77%) dan undetermined (1,13%).

37

38

Perbandingan proporsi jenis kelamin ini dapat disebabkan oleh tampilan klinis pasien DSD dengan phallus yang memungkinkan pasien DSD lebih condong ditetapkan sebagai laki-laki (Zdravković, 2001). Selain itu, kelainan tampilan klinis genitalia pada laki-laki dapat lebih dini diidentifikasi oleh keluarga dibandingkan kelainan pada perempuan (misal; infertilitas primer dengan amenorrhea) dan jenis kelamin yang cenderung dipilih saat penentuan gender adalah laki-laki (Mazen, 2008).

5.2. Distribusi Pasien DSD berdasarkan Jenis DSD Jenis-jenis DSD dalam penelitian ini tidak sesuai dengan rekomendasi Konsensus Chicago 2006 sebab tidak dilakukan pemeriksaan kromosom pada pasien terkait. Jenis DSD yang paling banyak ditemukan pada penelitian ini secara berurutan adalah hipospadia berbagai jenis (52,98%), kemudian Undescended Testis (UDT) Unilateral dan Bilateral (29,14%), agenesis vagina (9,27%), Congenital Adrenal Hyperplasia (CAH) dan pseudohermafrodit masing-masing 1,98%, micropenis, sinekia labia minora dan hermafrodit masing-masing 1,33% dan paling sedikit adalah burried penis (0,66%). Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Thyen pada tahun 2004-2006 di Jerman dengan mayoritas jenis DSD secara berurutan yaitu CAH, kemudian AIS dan mixed gonadal dysgenesis. Begitu pula hasil penelitian Shawky dan El-Din pada tahun 1966-2009 yang dipublikasi pada tahun 2011 menemukan mayoritas jenis DSD secara berurutan adalah Sindroma Turner (26,98%), Mullerian dysgenesis (15,19%), Sindroma Klinefelter (14,31%), hipospadia (9,69%) dan CAH (8,59%). Di Indonesia data mengenai jenis DSD yang tersedia hanya di RSUP Dr. Kariadi Semarang dengan urutan terbanyak yaitu disorder of androgen action (32,94%),

hipospadia (22,72%), CAH (17,04%) dan gonadal

dysgenesis (10,22%) (Juniarto, 2012). Perbedaan temuan jenis DSD pada keempat center ini mungkin disebabkan oleh bedanya paparan faktor risiko di wilayah setempat seperti

39

riwayat pengobatan atau paparan terhadap androgen, riwayat virilisasi pada ibu,

ataupun

riwayat

konsanguinitas.

Draper

pada

tahun

2014

mengemukakan beberapa faktor lain yang turut menjadi faktor risiko dari kejadian DSD antara lain riwayat kematian anak sebelumnya oleh defisiensi androgen, dan riwayat DSD pada keluarga derajat 1 yang juga mencerminkan riwayat konsanguinitas. Pada penelitian ini riwayat paparan terhadap androgen, virilisasi pada ibu atau kematian saudara akibat defisiensi androgen tidak diteliti. Namun riwayat DSD pada keluarga derajat 1 dan riwayat konsanguinitas juga tidak banyak ditemukan. Pembahasan mengenai riwayat keluarga mengalami DSD dan riwayat konsanguinitas lebih lanjut pada sub-bab 5.5 dan 5.6. Perbedaan hasil temuan jenis DSD pada penelitian ini juga mungkin disebabkan oleh perbedaan metode pengumpulan data dan kriteria inklusi/eksklusi yang ditetapkan. Metode pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan pendekatan potong-lintang. Sehingga data jenis DSD yang diambil hanya berdasarkan informasi yang tercantum pada formulir rekam medis. Metode pengumpulan data pada penelitian di RSUD Dr. Kariadi Semarang melibatkan tahap diagnosis lanjutan berupa pemeriksaan hormon dan kromosom seks sehingga jenis DSD yang ditemukan lebih detil. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah data rekam medis yang lengkap diagnosis, temuan klinis genitalia, riwayat keluarga dan riwayat konsanguinitas sehingga jenis DSD yang hanya dicantumkan dalam database komputer rekam medis namun tidak lengkap atau tidak ditemukan berkasnya tidak dimasukkan dalam penelitian. Sedangkan kriteria inklusi pada penelitian Thyen di Jerman tahun 2004-2006 adalah data rekam medis yang memiliki informasi mengenai fenotip, hasil tes laboratorium, imaging results, diagnosis, manajemen awal dan sex assignment sehingga jenis DSD yang ditemukan bisa lebih spesifik.

40

5.3. Distribusi Pasien DSD berdasarkan Temuan Klinis Organ Genitalia Temuan klinis organ genitalia pasien DSD pada penelitian ini terdiri dari 22 variasi. Variasi terbanyak adalah hipospadia (43,7%), UDT bilateral dan unilateral (25,17%), hipospadia disertai UDT bilateral, hipospadia disertai UDT unilateral dan agenesis vagina disertai amenorrhea masingmasing 3,97%. Hasil ini selaras dengan data statistik Amerika Serikat yang dihimpun oleh Hutcheson dkk., 2014 dengan temuan klinis terbanyak adalah hipospadia (1:300 kelahiran hidup), lalu disusul hipospadia disertai UDT (50% dari pasien hipospadia disertai UDT di Children's Hospital di Boston dikonfirmasi mengalami DSD). Namun hasil ini sedikit berbeda dengan hasil penelitian Shawky dan El-Din pada tahun 2011 dengan urutan temuan klinis terbanyak secara berurutan yaitu Infertilitas Primer pada perempuan, amenorrhea primer, infertilitas primer pada laki-laki dan ambigus genitalia. Persamaan proporsi temuan klinis terbanyak (hipospadia) di Palembang dan Amerika Serikat mungkin disebabkan oleh multifaktorial yang mempengaruhi timbulnya hipospadia (George dkk., 2015). Faktorfaktor risiko hipospadia di Palembang diketahui adalah paparan terhadap pestisida dan paparan terhadap rokok (Mulawarman, 2016) sedangkan faktor-faktor yang ditemui di Amerika adalah penggunaan obat-obatan (George dkk., 2015). Perbedaan temuan klinis terbanyak di Palembang dan Cairo mungkin disebabkan oleh faktor-faktor yang memengaruhi jenis DSD seperti pada sub-bab 5.2.

5.4. Distribusi Pasien DSD berdasarkan Riwayat Keluarga Pada penelitian ditemukan satu (0,66%) pasien memiliki riwayat keluarga derajat 1 mengalami DSD. Pasien tersebut adalah pasien hiposadia dengan riwayat hipospadia pada kakak kandung laki-lakinya. Selanjutnya ditemukan tiga pasien memiliki riwayat keluarga derajat 2 mengalami DSD (1,99%). Ketiga pasien tersebut secara berurutan adalah pasien hipospadia dengan riwayat keluarga berupa sepupu yang juga menderita hipospadia,

41

pasien UDT dengan paman dari pihak ayah dengan riwayat UDT, dan pasien ambigus genitalia dengan kakek riwayat hipospadia. Selain itu ditemukan 33 (21,85%) pasien tidak memiliki riwayat keluarga mengalami DSD, 64 (42,38%) pasien tidak bisa dihubungi dan 49 (32,45%) pasien tidak memiliki nomor kontak di rekam medis. 64 pasien yang tidak bisa dihubungi terdiri dari beberapa variasi yaitu 20 (13,24%) nomor kontak tidak aktif meski telah diulang pada hari ke-2, 9 (5,96%) telepon tidak diangkat 3 kali sehari dan diulang pada hari ke-2, 24 (15,90%) telepon tidak tersambung, 9 (5,96%) salah nomor kontak dan telepon ditolak sebanyak 3 nomor (1,99%). Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Shawky dan El-Din periode 1966-2009 dengan riwayat keluarga mengalami DSD sebanyak 253 (27,86%). Perbedaan ini dapat disebabkan oleh metode pengumpulan data yang berbeda serta perbedaan jenis DSD yang dapat diwariskan secara genetik. Metode pengumpulan data penelitian ini sebatas wawancara via telepon, sedangkan penelitian Shawky dan El-Din mengumpulkan data dengan analisis pedigree dan sitogenetika pada anggota keluarga dari pasien DSD. Wawancara via telepon memungkinkan keluarga lupa, tidak mengetahui atau menutupi riwayat sesungguhnya karena malu atau merasa tabu (Warne, 2008). Jenis DSD terbanyak pada penelitian ini adalah hipospadia dengan faktor risiko yang beragam. Sedangkan pada penelitian Shawky dan El-Din jenis DSD terbanyak adalah sindroma turner yang terjadi akibat variasi kromosom yang belum diketahui pasti penyebabnya. Pada data pasien DSD yang ditemukan di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 2014-2016, terdapat 49 data yang tidak dilengkapi dengan nomor kontak pasien (32,45%). Data yang tidak lengkap tersebut mengakibatkan hasil yang didapatkan tidak menggambarkan distribusi pasien berdasarkan riwayat keluarga yang sesungguhnya.

42

5.5. Distribusi Pasien DSD berdasarkan Riwayat Konsanguinitas Tidak ditemukan pasien DSD dengan riwayat konsanguinitas keluarga derajat 1 pada penelitian ini, namun dijumpai pasien dengan riwayat konsanguinitas keluarga (tidak diketahui derajatnya) sebanyak 2 pasien (1,32%). Kedua pasien tersebut adalah pasien hipospadia dengan riwayat konsanguinitas pada kakek dan neneknya. Selanjutnya sebanyak 35 pasien tidak memiliki riwayat konsanguinitas dalam keluarganya (23,17%). Sementara sisanya tidak berhasil didientifikasi datanya dikarenakan berbagai alasan; tidak bisa dihubungi sebanyak 64 (42,38%) dan 49 (32,45%) pasien tidak memiliki nomor kontak. Hasil ini berbeda dibanding temuan pada penelitian Shawky dan ElDin di Cairo dengan proporsi riwayat konsanguinitas pasien DSD sebesar 55,50%. Begitu pula riwayat konsanguinitas pada pasien DSD di rumah sakit rujukan utama Arab Saudi sebesar 52% (Al-Jurrayan, 2011). Perbedaan ini dapat disebabkan oleh jenis DSD (CAH) yang ditemukan di Mesir dan Arab Saudi yang disebabkan oleh timbulnya fenotip resesif X akibat konsanguinitas. Sedangkan riwayat konsanguinitas yang dapat menimbulkan kelainan pada 46,XY DSD (termasuk hipospadia dan UDT) hanya bisa terjadi jika terdapat novel recessive pathogenic mutation pada gen populasi terkait (Bashamboo dan McElreavy, 2014).

5.6. Distribusi Pasien DSD berdasarkan Afek Afek pasien DSD dan keluarga selama perawatan dicatat dalam data rekam medis. Pada penelitian ditemukan pasien dengan afek tenang sebanyak 33 (21,85%), kemudian 22 pasien cemas (14,57%), pasien cemas/takut dan orang tua pasien cemas masing-masing 9,27%, pasien cemas/takut disertai orang tua cemas (7,95%), tiga pasien takut (1,99%), satu pasien rendah diri (0,66%) dam 34,44% rekam medis tanpa keterangan afek. Hasil ini selaras dengan hasil penelitian Annastasia, di Semarang, Indonesia yang menemukan mayoritas pasien DSD usia 6-18 tahun merasa

43

sedih dan tertekan, pasien dewasa merasa cemas, depresi bahkan menarik diri dari lingkungan dan orang tua pasien merasa sedih sama seperti yang dirasakan oleh anak mereka. Tingginya angka kecemasan pada pasien dan keluarga dapat disebabkan oleh tidak tersedianya informasi yang jelas mengenai DSD bagi pasien dan keluarga, penatalaksanaan yang belum bersifat multidisiplin (klinis fisik dan mental dan kejiwaan) tidak hanya bagi pasien namun juga bagi keluarga. (Brain dkk. 2015).

5.7. Keterbatasan Penelitian Keterbatasan dalam penelitian ini adalah data rekam medik mengenai informasi riwayat keluarga dan riwayat konsanguinitas yang tidak lengkap. Data tambahan diperoleh dari wawancara melalui telepon tergantung ingatan dan pengetahuan orang tua tentang riwayat keluarganya, sehingga berpotensi menimbulkan bias. Jenis DSD pada penelitian ini belum sesuai dengan hasil Konsensus Chicago 2006 sebab belum tersedia layanan analisis kromosom di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang. Layanan analisis kromosom yang tidak tersedia juga menjadi peluang adanya kasus DSD yang misdiagnosed bahkan undiagnosed.

Related Documents


More Documents from "Nur Wilia Septiarini"