TEORI AKUNTANSI Long-Term Assets I: Property, Plant, and Equipment
KELOMPOK 8: Arief Kurniawan
1510531029
Azizah Ulfah
1510532009
Nadya Khairat Nasly 1510532015
JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS ANDALAS PADANG 2018
Property, Plant, and Equipment (PPE) Property, plant, and equipment adalah salah satu dari aset jangka panjang (long-term assets). Aset jangka panjang adalah aset yang tidak dimaksudkan untuk diubah menjadi uang tunai atau dikonsumsi dalam waktu satu tahun neraca. Selain PPE, yang termasuk dalam aset jangka panjang adalah investasi jangka panjang, aset tak berwujud dll. Perbedaan aset jangka panjang dengan aset jangka pendek adalah aset jangka pendek dapat dijual, dikonversi menjadi uang tunai, atau dilikuidasi untuk membayar kewajiban perusahaan dalam satu tahun neraca. Pos-pos yang termasuk dalam aset jangka pendek yaitu kas, investasi jangka pendek, dll. Berdasarkan IFRS, aset tetap atau PPE (Property, Plant, and Equipment) adalah aset berwujud (tangible assets) yang digunakan dalam kegiatan operasional perusahaan, yang memiliki manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Jadi dapat dikatakan bahwa item-item yang terdapat pada PPE umumnya merupakan sumber utama potensi masa depan bagi perusahaan. Penilaian terhadap PPE cukup penting karena menunjukkan sumber daya fisik perusahaan yang tersedia dan juga memberikan indikasi likuiditas masa depan dan arus kas. Beberapa tujuan dari akuntansi atas PPE adalah sebagai berikut: 1. Melaporkan tentang perusahaan kepada investor 2. Merencanakan akuisisi baru melalui penganggaran 3. Memberikan informasi kepada otoritas perpajakan 4. Menyediakan informasi untuk pengambilan keputusan industri 5. Akuntansi untuk penggunaan dan deteriorasi PPE A. Accounting For Cost Banyak bisnis yang memberikan sumber daya perusahaan yang besar untuk memperoleh PPE. Investor, kreditor, dan pengguna lain bergantung pada akuntan untuk melaporkan sejauh mana investasi perusahaan dalam aset ini. Investasi awal (initial investment) adalah pengorbanan sumber daya yang diberikan perusahaan pada masa sekarang untuk mencapai tujuan masa depan. Secara tradisional, akuntan menekankan pada prinsip bukti objektif untuk menentukan penilaian awal aset jangka panjang. Biaya/cost (pengorbanan ekonomi yang terjadi) adalah metode penilaian yang lebih sering digunakan untuk memperhitungkan akuisisi PPE karena, seperti yang telah dibahas dalam Bab 5, biaya (cost) lebih dapat diandalkan dan dapat diverifikasi daripada metode
penilaian lain. Ada juga yang beranggapan bahwa harga pembelian yang disepakati mewakili potensi masa depan aset. Meskipun keandalan dan verifikasi harga pembelian sebagai dasar untuk awalnya mencatat PPE, penetapan biaya untuk aset individu tidak selalu mudah seperti yang diharapkan. Beberapa masalah yang dihadapi yaitu: 1. Pembelian sekaligus (Group purchases) Ketika sekelompok aset diperoleh untuk harga pembelian lump-sum, total biaya akuisisi harus dialokasikan ke masing-masing aset sehingga jumlah biaya yang sesuai dapat dibebankan ke biaya sebagai potensi dari aset individu. Solusi yang paling umum untuk masalah alokasi ini adalah menetapkan biaya perolehan ke berbagai aset berdasarkan rata-rata tertimbang dari penilaian masing-masing. Jika nilai-nilai penilaian tidak tersedia, penetapan biaya dapat didasarkan pada nilai tercatat relatif pada buku-buku penjual. 2. Aset yang dibangun sendiri (self-constructed assets) Aset yang dibangun sendiri (self-constructed assets) menimbulkan pertanyaan tentang komponen biaya yang tepat. Meskipun secara umum disepakati bahwa semua biaya yang terkait langsung dengan proses konstruksi harus dimasukkan dalam biaya aset yang tercatat (material, tenaga kerja langsung, dll.), ada masalah mengenai penempatan biaya tetap dan kapitalisasi bunga. Jika sebuah pabrik beroperasi kurang dari kapasitas penuh dan fixed-overhead ditugaskan untuk self-constructed assets, pembebanan aset dengan sebagian dari fixed-overhead akan menyebabkan margin keuntungan pada semua produk lain meningkat selama periode konstruksi. Tiga pendekatan untuk menyelesaikan masalah ini: a. Tidak ada lokasi biaya tetap untuk proyek self-constructed. b. Hanya alokasikan incremental fixed-overhead untuk proyek. c. Alokasikan fixed-overhead ke proyek dengan dasar yang sama sebagaimana dialokasikan ke produk lain. 3. Penghapusan aset yang ada (removal of existing assets) Ketika perusahaan mengakuisisi properti yang mengandung struktur yang harus dihapus, muncul pertanyaan mengenai perlakuan yang tepat dari biaya menghilangkan struktur ini. Praktik yang dilakukan saat ini adalah menetapkan removal costs lebih kecil dari pendapatan yang diterima dari penjualan aset ke tanah,
karena biaya ini diperlukan untuk menempatkan aset dalam keadaan siap untuk konstruksi. 4. Aset yang diperoleh dari transaksi non kas (assets acquired in noncash transactions) Selain transaksi tunai, aset juga dapat diperoleh dengan perdagangan sekuritas, atau satu aset dapat ditukarkan dengan pembayaran sebagian atau penuh untuk yang lain (tukar tambah). Ketika sekuritas dipertukarkan untuk aset, prinsip biaya menyatakan bahwa nilai tercatat dari aset adalah jumlah yang diberikan. Jumlah ini biasanya adalah nilai pasar dari surat berharga yang dipertukarkan. Pada tahun 2004, FASB mengeluarkan SFAS No. 153, “Pertukaran Aset Non-Moneter” yang menyebutkan nilai buku dari aset yang ditukar akan digunakan untuk mengukur aset yang diperoleh dalam pertukaran. Dengan demikian, tidak ada keuntungan yang harus diakui; namun, kerugian harus diakui jika nilai wajar dari aset yang ditukarkan kurang dari nilai bukunya (terdapat penurunan nilai).
Financial Analysis of Property, Plant and Equipment Seperti yang diketahui, untuk menganalisis profitabilitas perusahaan dapat menggunakan rasio return-on-asset (ROA). Namun, bagi perusahaan yang memiliki investasi yang cukup besar dalam property, plant dan peralatan tidak bisa berpedoman kepada pengukuran ROA saja. Hal ini dikarenakan total asset akan berkurang karena adanya depresiasi yang mengakibatkan persentase pengembalian yang meningkat untuk jumlah laba yang stabil. Sedangkan ada kemungkinan tidak adanya biaya cadangan untuk penggantian asset tetap. Sedangkan kegiatan operasional perusahaan bergantung kepada asset tetapnya. Alokasi Biaya Kapitalisasi biaya merupakan gambaran dari potensi suatu asset di masa depan, yang mana diharapkan dapat menghasilkan sumber daya. Ketika adanya biaya-biaya yang tidak memiliki potensi di masa depan, makan harus dibebankan selama periode pendapatan tersebut sesuai dengan alokasi yang ditetapkan. Untuk asset seperti property, pabrik dan peralatan, pengalokasian biaya ini disebut dengan depresiasi.
Seperti yang diketahui, neraca secara teoritis akan mencerminkan potensi dari asset pada masa depan. Namun, ekspektasi terhadap potensi itu dapat berubah. Sehingga, asset yang pada awalnya masih memiliki potensi masa depan dapat berkurang atau tidak memiliki potensi lagi karena adanya perubahan teknologi dan lain-lain. Akibatnya, tidak ada metode alokasi biaya yang dapat memberikan informasi pengukuran neraca secara konsisten mencerminkan potensi layanan masa depan. Depresiasi Konsep penyusutan digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam mengalokasikan biaya properti, pabrik, dan peralatan selama periode yang pemanfaatan dari penggunaan aset jangka panjang. Karena penyusutan merupakan bentuk alokasi biaya, semua konsep depresiasi terkait dengan beberapa pandangan pengukuran pendapatan. Depresiasi biasanya digambarkan sebagai proses alokasi biaya yang sistematis dan rasional yang tidak dimaksudkan untuk menghasilkan penyajian nilai wajar aset di neraca. Poin ini pertama kali ditekankan oleh Komite tentang Terminologi AICPA sebagai berikut: Depresiasi akuntansi adalah sistem akuntansi yang bertujuan untuk mendistribusikan biaya atau nilai dasar lainnya dari aset modal berwujud, nilai sisa lebih sedikit (jika ada), selama perkiraan masa manfaat unit (yang mungkin merupakan kelompok aset) secara sistematis dan cara rasional. Ini adalah proses alokasi, bukan penilaian.8 [Lihat FASB ASC 36010-35-4.] Proses Depresiasi 1. Menetapkan basis depresiasi Merupakan porsi biaya yang dibebankan kepada asset pada periode pemanfaatan. Karena biaya tersebut dapat mewakilkan potensi dari pemanfaatan asset dimasa depan, maka biaya tersebut harus menjadi pengurang dari nilai asset sekarang setelah dikurangi dengan nilai sisa. 2. Memperkirakan umur layanan yang bermanfaat Merupakan perkiraan waktu dari pemanfaatan asset secara efisien. Namun, perkiraan ini bisa saja tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Hal ini bisa disebabkan oleh; perkembangan teknologi, keusangan, perubahan lingkungan sosial dan lain-lain
3. Memilih metode depresiasi a. Straight Line Metode garis lurus mengalokasikan porsi yang sama dari biaya penyusutan aset untuk setiap periode aset digunakan. Penggunaan metode garis lurus menyiratkan bahwa aset tersebut menurun dalam potensi layanan dalam jumlah yang sama selama perkiraan masa pakai layanannya b. Accelerated Metode-metode ini menghasilkan biaya yang lebih besar untuk membiayai pada tahun-tahun awal penggunaan asset. Metode ini lebih disukai daripada metode straight line karena semakin lama penggunaan asset, biaya penyusutan yang lebih kecil yang mana dikaitkan dengan biaya perawatan yang lebih tinggi. c. Units of Activity Penyusutan didasari pada jumlah unit output yang dihasilkan selama periode akuntansi. Ukuran aktivitas depresiasi mengasumsikan bahwa setiap produk yang dihasilkan selama keberadaan aset menerima jumlah manfaat yang sama dari aset. Namun asumsi ini tidak dapat diterapkan pada seluruh kegiatan. Sebagai contoh, ketika jam kerja langsung digunakan sebagai ukuran unit output, penurunan efisiensi produksi dari penggunaan aset pada tahun berikutnya akan menyebabkan penambahan jam kerja langsung lebih banyak per produk, yang akan menghasilkan biaya lebih per unit. Pengungkapan Metode Depresiasi Sebagian besar perusahaan AS menggunakan depresiasi garis lurus, seperti yang ditunjukkan oleh Tren dan Teknik Akuntansi edisi 2010, yang melaporkan bahwa 488 dari 600 perusahaan yang disurvei menggunakan penyusutan garis lurus untuk setidaknya beberapa aset mereka. Karena penggunaan metode garis lurus lebih mudah, hasil produktifitas merata. Capital and Revenue Expenditure Pengeluaran yang dilakukan terhadap asset yang dimiliki biasanya akan dibebankan langsung. Hal ini apabila, pengeluaran tersebut bersifat untuk memelihara asset tanpa
memberikan nilai tambah pada asset tersebut berupa peningkatan potensi pelayanan untuk masa depan. Pengeluaran yang berdampak pada peningkatan potensi pelayanan masa depan akan menjadi penambah dari nilai buku saat ini. Recognition and Measurement Terdapat dua pendekatan dalam depresiasi, yaitu cost dan current value. Pendekatan berdasarkan cost, akan berpedoman terhadap nilai buku awal. Sedangkan pendekatan current value berpedoman terhadap nilai buku sebenarnya, sehingga setiap akhir periode akuntansi akan dilakukan revaluasi terhadap asset sebelum menghitung beban depresiasinya. Namun, pendekatan current value ini sulit untuk diterapkan dan membutuhkan biaya yang lebih besar. Sehingga dalam penentuan pendekatan ini kebutuhan terhadap relevansi dan reliabilitas.
Nilai Impairment Impairment adalah penurunan nilai aset karena nilai tercatat aset (carrying amount) melebihi nilai yang akan dipulihkan (recoverable amount) melalui penggunaan atau penjualan asset. Salah satu penyebab terjadinya impairment; 1. Penurunan signifikan dalam nilai pasar suatu asset 2. Perubahan signifikan dalam tingkat atau cara di mana suatu aset digunakan 3. Perubahan merugikan yang signifikan dalam faktor hukum atau dalam iklim bisnis yang mempengaruhi nilai asset 4. Akumulasi biaya signifikan yang melebihi jumlah yang awalnya dikeluarkan untuk memperoleh atau membangun asset 5. Proyeksi atau perkiraan yang menunjukkan riwayat kerugian berkelanjutan yang terkait dengan aset Ketika impairment terjadi, kerugian diakui untuk perbedaan antara nilai tercatat suatu aset dan nilai saat ini dikurangi dengan taksiran biaya untuk membuang aset tersebut
Pada tahun 2001, FASB mengeluarkan PSAK No. 144, “Akuntansi untuk Kelemahan atau Pembuangan Aset Long-Lived” (lihat FASB ASCs 360-10-35-15 hingga 49). FASB menyatakan bahwa standar baru dikeluarkan karena PSAK No. 121 tidak membahas akuntansi untuk segmen bisnis yang diperhitungkan sebagai operasi yang dihentikan, seperti yang aslinya dipersyaratkan oleh APB Opini 30. Panduan di FASB ASC 360-10-40 berlaku untuk semua disposisi aset jangka panjang; Namun, itu tidak termasuk aset lancar, tidak berwujud, dan instrumen keuangan karena mereka tercakup dalam rilis lainnya. Menurut ketentuannya, aset harus diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Aset jangka panjang dimiliki dan digunakan 2. Aset berumur panjang untuk dibuang selain dari penjualan 3. Aset berumur panjang harus dibuang dengan penjualan Accounting For Asset Retirement Obligations Pada saat SFAS No. 143 dikeluarkan, FASB mencatat bahwa praktik yang ada tidak konsisten; akibatnya, tujuan dari rilis ini adalah untuk menyediakan persyaratan akuntansi untuk semua kewajiban yang terkait dengan penghapusan aset berumur panjang. FASB ASC 410-20 berlaku untuk semua entitas yang menghadapi kewajiban hukum yang ada terkait dengan pensiun dari aset berumur panjang yang nyata. FASB ASC 410-20 memberikan definisi berikut yang terkait dengan masalah ini: 1. Kewajiban pensiun aset. Kewajiban terkait dengan pelepasan akhir aset jangka panjang 2. Biaya pensiun aset. Kenaikan biaya modal dari aset jangka panjang yang terjadi ketika kewajiban untuk kewajiban pensiun aset diakui 3. Pensiun. Penghapusan aset jangka panjang selain dari layanan dengan penjualan, pengabaian, atau pembuangan lainnya 4. Promissory estoppel. Konsep hukum yang menyatakan bahwa janji yang dibuat tanpa pertimbangan dapat ditegakkan untuk mencegah ketidakadilan
Untuk setiap kewajiban penghentian-aset, perusahaan harus terlebih dahulu mencatat nilai wajar (nilai sekarang) dari liabilitas untuk membuang aset ketika estimasi wajar atas nilai wajarnya tersedia. Perusahaan diminta untuk menggunakan kriteria SFAC No. 7 untuk pengakuan kewajiban, yang merupakan nilai sekarang dari aset pada tingkat yang disesuaikan dengan kredit. Jumlah ini didefinisikan sebagai jumlah pihak ketiga dengan kedudukan kredit yang sebanding akan mengenakan biaya untuk menanggung kewajiban. Selanjutnya, biaya aset-pensiun dikapitalisasi dialokasikan secara sistematis dan rasional sebagai biaya penyusutan atas estimasi masa manfaat aset. Selain itu, nilai tercatat awal dari kewajiban meningkat setiap tahun dengan menggunakan metode bunga menggunakan suku bunga yang disesuaikan dengan kredit dan diklasifikasikan sebagai biaya pertambahan dan bukan biaya bunga. Jika ada asumsi asli yang berubah, penghitungan ulang kewajiban dan biaya terkait selanjutnya harus dicatat sebagai perubahan dalam estimasi akuntansi.
International Accounting Standard IASB mengeluarkan pernyataan terkait Property, Plant, and Equipment: 1. Keseluruhan masalah yang terkait dengan akuntansi terhadap PPE direvisi dalam IAS No. 16, “Property, plant and equipment” 2. Kapitalisasi biaya bunga terhadap perolehan asset diatur dalam IAS No. 23, “Borrowing Cost” 3. Perlakuan akuntansi terhadap penurunan nilai asset diatur dalam IAS No. 36, “Impairment of Assets” 4. Perlakuan akuntansi terhadap provisi untuk pelunasan kewajiban dan asset diatur dalam IAS No. 37, “Provisions, Contingent Liabilities, and Contingent Asset” 5. Perlakuan akuntansi terhadap asset yang dimiliki untuk dijual diatur dalam IFRS No. 5 “Non-Current Assets Held for Sale and Discontinued Operations” 6. Akuntansi untuk sumber daya mineral daiatur dalam IFRS No. 6, “Exploration for and Evaluation of Mineral Resources”
I.
IAS NO. 16
Pada awalnya IAS No. 16 diterbitkan pada tahun 1982 dan kemudian direvisi pada tahun 2003. Tujuan dari IAS No. 16 adalah untuk menentukan perlakuan akuntani terhadap
Property, Plant, and Equipmnet. Permasalahan utama yang dikaji dalam IAS No. 16 adalah pengakuan asset, penentuan nilai tercatatnya, dan depresiasi yang dibebankan serta kerugian penurunan nilai yang diakui terkait asset tersebut. Revisi IAS No.16 tidak merubah pendekatan mendasar terhadap akuntasi PPE. Namun tujuan lembaga melakukan revisi terhadap standar sebelumnya adalah untuk menyediakan petunjuk tambahan pada masalah terkait. Standar yang telah direvisi ini juga mensyaratkan depresiasi untuk dihitung dengan cara yang lebih menyerupai penurunan yang sebenarnya dalam potensi pemanfaatan asset. IAS No. 16 menyatakan bahwa hal terkait Property, Plant, and Equipment harus diakui sebagai asset ketika PPE tersebut memberikan manfaat ekonomis pada masa yang akan datang pada perusahaan dan biaya nya dapat diukur dengan andal. Dengan kondisi ini, pengukuran awal dari nilai asset ditentukan sebagai biayanya. Kemudian perlakuan yang lebih diutamakan adalah untuk menyusutkan biaya historis asset; namun perlakuan alternative yang diperbolehkan adalah revaluasi asset secara periodik terhadap nilai wajar pasar. Pengakuan terhadap kenaikan atau penurunan nilai akibat revaluasi dilakukan langsung pada kenaikan atau penurunan akibat revaluasi, kecuali jika revaluasi dilakukan pada tahun-tahun berikutnya. Apabila revaluasi dilakukan untuk yang kedua kali dan seterusnya, terdapat perlakuan yang berbeda. Perbedaan tersebut adalah: Jika jumlah tercatat aset meningkat akibat revaluasi, kenaikan tersebut langsung dikredit ke ekuitas pada bagian surplus revaluasi. Namun kenaikan tersebut harus diakui di dalam laporan laba rugi hingga sebesar jumlah penurunan nilai aset akibat revaluasi yang pernah dilakukan sebelumnya dalam laporan laba rugi. Jika jumlah tercatat aset turun akibat revaluasi, penurunan tersebut diakui dalam laporan laba rugi. Namun penurunan nilai akibat revaluasi tersebut langsung didebit ke dalam ekuitas pada bagian surplus revaluasi selama penurunan tersebut tidak melebihi saldo kredit surplus revaluasi untuk aset tersebut. Contoh kelompok asset yang akan direvaluasi adalah tanah, gedung, mesin dan PPE lainnya. Pengungkapan yang disyaratkan terhadap Plant, Property, and Equipment serta pengukuran asset, rekonsiliasi saldo awal dan akhir untuk memasukkan disposisi dan akuisisi dan setiap penyesuaian revaluasi. IAS No. 16 juga mensyaratkan perusahaan untuk meninjau nilai wajar PPE secara periodik untuk menentukan apakah jumlah asset yang dapat diperoleh kembali mengalami penurunan dibawah nilai wajar nya. Ketika penurunan terjadi, pengurangan ini diakui sebagai beban pada periode berjalan. IAS No. 16 juga menjelaskan pencatatan atas kejadian yang tidak ada. Perlakuan ini berbanding terbalik dengan persyaratan dari SFAS No. 144 yang mengizinkan pengakuan atas penemuan berikutnya. Sehubungan dengan depresiasi, IAS No. 16 menjelaskan bahwa biaya periodik harus dialokasiakan dengan dasar sistematik atas nilai guna asset dan metode depresiasi yang dipilih harus menggambarkan pola manfaat ekonomis asset yang digunakan. Standar ini membutuhkan tinjauan secara periodik terhadap pola manfaat ekonomi yang dikonsumsi, dan ketika perubahan dalam pola manfaat terbukti, metode penyusutan harus diubah untuk mencerminkan pola manfaat saat ini. Perubahan seperti itu dalam metode penyusutan harus
dicatat sebagai perubahan dalam prinsip akuntansi. Perlakuan ini sangat berbeda dari US. GAAP (Generally Accepted Accounting Principles), di mana metode depresiasi yang dipilih hanya diperlukan untuk menjadi sistematis dan rasional, dan perubahan dalam metode penyusutan hanya diperbolehkan dalam keadaan yang tidak biasa (memaksa). Penjelasan secara garis besar pada IAS No. 16 yang telah direvisi adalah sebagai berikut: 1. Pendekatan komponen disyaratkan untuk penyusutan. Dalam pendekatan komponen, setiap komponen pokok dari gabungan asset dengan masa manfaat yang berbeda atau pola depresiasi yang berbeda dihitung secara terpisah dengan tujuan penyusutan dan akuntansi untuk beban berikutnya (termasuk pergantian dan pembaharuan). 2. Biaya perolehan dari PPE harus termasuk jumlah dari (IAS No. 37) provisi atas biaya prekiraan dari pembongkaran dan biayaperkiraan dari pemindahan serta perbaikan asset, kedua provisi ini diakui saat aset diperoleh dan provisi tambahan diakui selama aset tersebut digunakan. Bagaimanapun, setelah provisi diakui, peningkatan terhadap provisi berasal dari penambahan bunga atau perubahan tingkat diskon yang akan dikenakan pada beban, bukan ditambahkan kepada biaya asset. 3. Akuntansi terhadap penghasilan tidak tetap (dan beban terkait) selama konstruksi atau pengembangan asset tergantung pada apakah pendapatan tidak tetap tersebut merupakan aktifitas penting dalam membawa asset ke lokasi dan kondisi kerja yang diperlukan agar dapat mengoperasikan cara yang diperuntukkan oleh manajemen (termasuk menguji apakah asset berfungsi secara tepat): a. Keuntungan penjualan bersih yang diterima selama aktifitas yang diperlukan untuk membawa asset ke lokasi dan kondisi kerja yang diperlukan agar mampu beroperasi secara tepat dikurangi dengan biaya asset tersebut. b. Pendapatan dan beban terkait harus diakui secara terpisah dari operasi yang terjadi sehubungan dengan konstruksi atau pengembangan asset namun tidak diperlukan untuk membawa asset ke lokasi dan kondisi kerja yang diperlukan agar mampu beroperasi secara tepat. 4. Pengukuran dari nilai residu didefinisikan sebagai harga asset sekarang dari umur yang sama dan keadaan terhadap estimasi umur dan keadaan asset ketika asset tersebut mencapai akhir dari masa manfaatnya. 5. Penukaran dari PPE yang sama dicatat sesuai dengan nilai wajar, untung ataupun rugi akan diakui, kecuali jika nilai wajar aset yang diserahkan atau nilai wajar aset yang diperoleh dapat diukur dengan andal, dalam hal ini biaya aset yang diakuisisi adalah jumlah tercatat aset yang diserahkan. 6. Pengeluaran setelah perolehan ditambahkan ke nilai tercatat aset hanya jika pengeluaran meningkatkan manfaat ekonomi masa depan aset yang menggambarkan
II.
IAS NO. 23
IAS No. 23 pertama kali diterbitkan pada tahun 1984 dan lalu diubah pada tahun 2007. Tujuan yang dinyatakan oleh IAS No. 23 adalah untuk menentukan perlakuan akuntansi untuk
biaya pinjaman, yang termasuk bunga atas cerukan (overdraft) dan pinjaman bank, amortisasi diskonto atau premium atas pinjaman, amortisasi biaya tambahan yang timbul dalam pengaturan pinjaman, biaya keuangan atas sewa pembiayaan, dan selisih kurs atas pinjaman dalam mata uang asing di mana mereka dianggap sebagai penyesuaian terhadap biaya bunga. Standar sebelumnya mengizinkan perusahaan untuk memilih antara dua metode akuntansi terhadap biaya pinjaman. Dalam perlakuan tolak ukur, perusahaan diharuskan untuk mengakui biaya bunga dalam periode berjalan. Dibawah perlakuan alternatif yang diizinkan, biaya bunga yang dapat diatribusikan secara langsung dengan akuisisi, konstruksi, atau produksi suatu aset kualifikasi dikapitalisasi sebagai bagian dari aset tersebut. Biaya bunga yang akan dikapitalisasi adalah biaya yang dapat dihindari jika pengeluaran untuk aset kualifikasi belum dilakukan. Pada tahun 2007, IASB merevisi IAS No. 23 sebagai bentuk proyek kerjasama jangka pendek dengan FASB untuk mengurangi perbedaan anatara IFRS dan U.S. GAAP. Revisi tersebut menghapuskan perbedaan besar antara pernyataan asli dan SFAS No. 34. Perubahan utama pada revisi IAS No. 23 adalah penghapusan opsi untuk mengakui semua biaya pinjaman sebagai beban, yang merupakan perlakuan standar sebelumnya. Standar yang direvisi mensyaratkan bahwa entitas mengkapitalisasi biaya pinjaman yang secara langsung terkait dengan perolehan, konstruksi, atau produksi aset yang memenuhi syarat sebagai bagian dari biaya aset tersebut, hal ini merupakan perlakuan alternatif yang diizinkan oleh IAS No. 23 yang asli. III.
IAS No. 36
Tujuan dari IAS No.36 adalah untuk memastikan bahwa asset tidak melebihi jumlah perolehan kembali dan untuk menjelaskan bagaimana jumlah perolehan kembali dihitung. IAS No.36 mensyaratkan kerugian penurunan nilai akan diakui ketika jumlah perolehan dari asset lebih kecil dari nilai tercatat asset tersebut (nilai buku asset tersebut). Jumlah perolehan kembali asset adalah harga penjualan bersih asset tertinggi dan nilai guna asset. Keduanya berdasarkan penghitungan nilai sekarang (present value). Berikut ini merupakan pengertian penting yang diterapkan pada IAS No. 36: Impairment: penurunan nilai aset karena nilai tercatat aset (carrying amount) melebihi
nilai yang akan dipulihkan (recoverable amount) melalui penggunaan atau penjualan asset. Carrying amount: nilai yang disajikan dalam neraca setelah dikurangi akumulasi depresiasi atau amortisasi dan akumulasi rugi penurunan nilai. Recoverable amount: nilai tertinggi antara harga jual neto dengan nilai pakai (value in use) suatu aktiva. Fair value: jumlah aset yang dapat dipertukarkan, atau kewajiban diselesaikan, antara pihak yang memahami dan berkeinginan untuk transaksi lengan panjang. Value in use: nilai sekarang dari taksiran aliran kas yang diharapkan akan diterima atas penggunaan aktiva dan penghentian penggunaan aktiva pada akhir masa manfaatnya
IAS No. 36 menjelaskan bahwa kerugian penurunan nilai harus diakui sebagai beban dalam laporan laba rugi sebagai aset yang dicatat sebesar biaya dan diperlakukan sebagai penurunan revaluasi atas aset yang tercatat pada jumlah yang dinilai kembali. Kerugian penurunan nilai harus dibalik (dan pendapatan diakui) ketika telah terjadi perubahan estimasi yang digunakan untuk menentukan jumlah asset yang dapat dipulihkan karena kerugian penurunan nilai yang diakui. Dalam menentukan value in use perusahaan menggunakan dua metode sebagai berikut: 1. Proyeksi arus kas berdasarkan asumsi wajar dan mendukung yang menggambarkan kondisi asset pada saat ini dan merepresentasikan estimasi manajemen yang tepat dan mengatur kondisi ekonomi yang akan terjadi setelah sisa nilai guna asset tersebut (perkiraan arus kas dimasa yang akan datang harus termasuk seluruh perkiraan arus kas masuk dan arus kas keluar dimasa depan, kecuali untuk arus kas yang berasal dari kegiatan pembiayaan dan penerimaan serta pembayaran pendapatan pajak). 2. Tingkat diskon sebelum pajak yang menggambarkan nilai waktu uang pasar saat ini dan risiko tertentu terhadap asset (tingkat diskon harus tidak menggambarkan risiko atas arus kas dimasa yang akan dating yang telah disesuaikan). IV.
IAS No. 37
IAS No. 37 menguraikan akuntansi atas provisi yaitu, kewajiban yang jumlah dan waktunya tidak pasti, aset kontijensi dan kewajiban kontinjensi. Provisi harus dihitung dengan perkiraan yang tepat, termasuk risiko dan ketidakpastian atas pengeluaran yang diperlukan untuk melunasi kewajiban saat ini, dan menggambarkan nilai pengeluaran sekarang yang diperlukan untuk melunasi kewajiban dengan nilai waktu uang yang material. Ketentuan akuntansi atas provisi yang berkaitan dengan pelunasan kewajiban asset seperti yang diuraikan dalam SFAS No. 144. V.
IFRS No. 5
IFRS No. 5 menetapkan perlakuan akuntansi atas operasi yang dihentikan dan aset jangka panjang untuk dijual. IFRS No. 5 mencapai konvergensi substansial dengan ketentuan akuntansi yang awalnya dijabarkan dalam SFAS No. 144, "akuntansi atas penurunan atau penghapusan aset berumur panjang," sehubungan dengan definisi operasi yang dihentikan, klasifikasi waktu operasi sebagai operasi yang dihentikan dan pengungkapannya. Menurut IFRS No. 5, operasi yang dihentikan adalah komponen dari entitas yang telah dibuang atau diklasifikasikan sebagai dimiliki untuk dijual, dan Mewakili suatu lini bisnis utama yang terpisah atau area operasi geografis. Merupakan bagian dari rencana terkoordinasi tunggal untuk menghapuskan garis besar yang terpisah dari bisnis atau wilayah geografis operasi. Merupakan anak perusahaan yang diakuisisi secara eksklusif dengan maksud untuk dijual kembali dan penghapusan atas hilangnya kendali.
Operasi yang dihentikan diungkapkan sebagai jumlah tunggal yang terdiri dari jumlah laba setelah pajak atau rugi akibat operasi yang dihentikan dan keuntungan atau kerugian setelah pajak yang diakui dengan menghitung nilai wajar dari operasi aset yang dihentikan. Dalam IFRS No. 5, asset diklasifikasikan dimiliki untuk dijual ketika asset tersebut tersedia untuk dijual sesegera mungkin dan penjualanny sangat memungkinkan. Kriteria kemungkinan yang tinggi tersebut tercapai ketika: Manajemen melakukan perencanaan untuk menjual Asset tersedia untuk dijual segera Program gesit untuk menemukan pelanggan dimulai Penjualan berkemungkinan tinggi dalam jangka waktu 12 bulan Asset dipasarkan secara aktif untuk dijual dengan harga pasar yang wajar sesuai dengan nilai wajar asset tersebut Tindakan yang diperlukan untuk memenuhi perencanaan menunjukkan ketidakmungkinan bahwa perencanaan tersebut berubah atau dihapuskan. Berikut ini prinsip pengakuan dan pengukuran asset dimiliki untuk dijual yang dijelaskan pada IFRS No. 5: 1. Klasifikasi asset dimiliki untuk dijual pada saat itu. Dengan segera sebelum klasifikasi awal dari asset dimiliki untuk dijual, nilai tercatat asset akan dihitung sesuai dengan penerapan IFRS. 2. Setelah klasifikasi asset dimiliki untuk dijual. Asset tidak lancar atau kelompok asset yang dihapuskan yang diklasifikasikan dimiliki untuk dijual dihitung dengan nilai tercatat terendah dan nilai wajar dikurangi dengan biaya untuk penjualan. Kerugian penurunan nilai diakui ketika keuntungan atau kerugian dari seluruh pencatatan asset pada awalnya dan setelah perolehan atau kelompok penghapusan pada nilai wajar dikurangi biaya untuk penjualan. 3. Asset dicatat sesuai nilai wajar sebelum klasifikasi awal. Untuk beberapa asset, ketentuan untuk mengurangi biaya terhadap penjualan dari nilai wajar akan menghasilkan keuntungan atau kerugian. 4. Peningkatan nilai wajar setelah perolehan. Keuntungan atas peningkatan nilai wajar setelah perolehan mengurangi biaya untuk menjual asset yang dapat diakui pada kuntungan atau kerugian akurat yang tidak melebihi jumlah kerugian penurunan nilai yang telah diakui sesuai dengan IFRS No. 5 atau IAS No. 36 sebelumnya. Asset diklasifikasikan sebagai dimiliki untuk dijual, dan asset serta kewajiban termasuk dalam kelompok penghapusan asset dimiliki untuk dijual harus disajikan secara terpisah pada neraca dan tidak disusutkan. Pengungkpan berikut ini mensyaratkan: 1. Asset tidak lancer diklasifikasikan sebagai dimiliki untuk dijual dan klasifikasi kelompok penghapusan asset yang dimiliki untuk dijual harus diungkapkan secara terpisah dengan asset lainnya pada neraca.
2. Kelompok penghapusan kewajiban diklasifikasikan sebagai dimiliki untuk dijual juga harus diungkapkan secara terpisah dari kewajiban lainnya pada neraca. 3. Juga ada beberapa pengungkapan tambahan lainnya, termasuk deskripsi sifat, fakta, dan keadaan asset yang dimiliki untuk dijual.
VI.
IFRS No. 6
Berdasarkan ketentuan IFRS No. 6, asset eksplorasi dan evaluasi pada awalnya harus diukur berdasarkan biaya. Pengeluaran yang terasuk dalam biaya asset ini ditentukan oleh entitas sebagai masalah kebijakan akuntansi dan harus diterapkan secara konsisten. Dalam membuat ketentuan tersebut, entitas harus mempertimbangkan sejauh mana pengeluaran dapat dikaitkan dengan penemuan sumber daya mineral spesifik. Ketika suatu entitas menimbulkan kewajiban karena penghapusan dan pengembalian sebagai konsekuensi atas ekspolari dan evaluasi sumber daya mineral, kewajiban tersebut diakui sesuai dengan peryaratan dan ketentuan IAS No.37 “Provisions, Contingent Liabilities, and Contingent Assets”. Setelah pengakuan awal, entitas dapat menerapkan baik model biaya atau model revaluasi untuk asset eksplorasi dan evaluasi. Ketika model revaluasi sudah dipilih, peraturan IAS No.16 dapat diterapkan untuk asset eksplorasi dan evaluasi yang dikelompokkan sebagai asset tak berwujud, dan peraturan IAS No. 38, “ Intangible Asset” diterapkan untuk asset tak berwujud tersebut. Selain itu, karena kesulitan dalam memperoleh informasi yang diperlukan untuk memperkirakan arus kas masa depan dari asset eksplorasi dan evaluasi, IFRS No. 6 memodifikasi aturan IAS No. 36 sehubungan dengan keadaan ketika aset tersebut harus dinilai untuk penurunan nilai. Uji penurunan nilai secara terperinci diperlukan dalam dua keadaan: 1. ketika kelayakan teknis dan kelayakan komersial ekstraksi sumber daya mineral menjadi dapat dibuktikan, dititik manakah aset berada di luar ruang lingkup IFRS No. 6 dan direklasifikasi dalam laporan keuangan. 2. Ketika fakta dan keadaan menunjukkan bahwa nilai tercatat aset dapat melebihi jumlah perolehannya. Perusahaan yang menerapkan standar ini disyarakan untuk mengungkapkan informasi yang mengidentifikasikan dan menjelaskan jumlah yang diakui dalam laporan keuangan yang timbul dari explorasi dan evaluasi sumber daya mineral. Oleh karena itu, hal berikut ini harus diungkapkan: Kebijakan entitas akuntansi atas pengeluaran eksplorasi dan evaluasi, termasuk pengakuan dari asset ekoplorasi dan evaluasi Jumlah asset, kewajiban, pendapatan dan pengeluaran, dan arus kas dari kegiatan usaha dan kegiatan investasi eksplorasi dan evaluasi sumber daya mineral.
Kemudian, asset eksplorasi dan evaluasi asset harus diperlakukan sebagai kelas asset terpisah untuk tujuan pengungkapan. Pengungkapan yang disyaratkan baik oleh IAS No. 1 ataupun IAS No. 38 harus diikuti, sesuai dengan bagaimana asset tersebut dikelompokkan.