LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN RISIKO PERILAKU KEKERASAN DI RUANG TERATAI RSUP DR SARDJITO YOGYAKARTA
Tugas Mandiri Stase Keperawatan Jiwa
Disusun Oleh:
Bella Wilita Desi 18/436102/KU/20958
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN KESEHATAN MASYARAKAT DAN KEPERAWATAN UNIVERSITAS GADJAH MADA 2018
I. 1.
KONSEP PERILAKU KEKERASAN Pengertian Perilaku Kekerasan Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan hilangnya kendali perilaku seseorang yang diarahkan pada diri sendiri, orang lain, atau lingkungan. Perilaku kekerasan pada diri sendiri dapat berbentuk melukai diri untuk bunuh diri atau membiarkan diri dalam bentuk penelantaran diri. Perilaku kekerasan pada orang adalah tindakan agresif yang ditujukan untuk melukai atau membunuh orang lain. Perilaku kekerasan pada lingkungan dapat berupa perilaku merusak lingkungan, melempar kaca, genting, dan semua yang ada di lingkungan. Pasien yang dibawa ke rumah sakit jiwa sebagian besar akibat melakukan kekerasan di rumah. Perawat harus jeli dalam melakukan pengkajian untuk menggali penyebab perilaku kekerasan yang dilakukan selama di rumah (Yusuf, et al., 2015). Perilaku kekerasan merupakan bagian dari rentang respons marah yang paling maladaptif, yaitu amuk. Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respons terhadap kecemasan (kebutuhan yang tidak terpenuhi) yang dirasakan sebagai ancaman. (Stuart dan Sundeen, 2007).
2.
Rentang Respon Marah Perilaku kekerasan merupakan suatu rentang emosi dan ungkapan kemarahan yang dimanifestasikan dalam bentuk fisik. Kemarahan tersebut merupakan suatu bentuk komunikasi dan proses penyampaian pesan dari individu. Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap kecemasan atau kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dirasakan sebagai ancaman. Orang yang mengalami kemarahan sebenarnya ingin menyampaikan pesan bahwa ia “tidak setuju, tersinggung, merasa tidak dianggap, merasa tidak dituruti atau diremehkan” Perasaan marah normal bagi individu, namun perilaku yang dimanifestasikan oleh perasaan marah dapat berfluktuasi sepanjang rentang adaptif dan maladaptif (Potter & Perry, 2006).
Gambar 1. Rentang respon marah Perilaku yang dilimpahkan mulai dari yang rendah sampai pada tingkat yang lebih tinggi, yaitu : a.
Asertif Kemarahan atau rasa tidak setuju yang dinyatakan atau diungkapkan tanpa menyakiti orang lain. Dapat memberikan kelegaan pada individu dan tidak akan menimbulkan masalah.
b.
Frustasi Respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan karena tujuan yang tidak realistis atau hambatan dalam proses pencapaian tujuan. Dalam hal ini tidak ditemukan alternatif lain.
c.
Pasif Respon lanjut, dimana individu tidak mampu mengungkapkan perasaan yang dialami unutk menghindari tuntutannya.
d.
Agresif Perilaku destruktif (memperlihatkan permusuhan, keras dan menuntut, mendekati orang lain dengan ancaman) tapi masih terkontrol.
e.
Amuk/Kekerasan Dapat disebut juga dengan amuk yaitu perasaan marah dan bermusuhan yang kuat disertai kehilangan kontrol diri individu dapat merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Contohnya membanting barang-barang menyakiti diri sendiri (bunuh diri). Tabel 1. Perbandingan Perilaku Pasif, Asertif, dan Agresif
Karakteristik
Asertif
- Negatif - Menghina diri - Dapatkah saya lakukan? - Dapatkah ia lakukan? - Diam - Lemah - Merengek - Melorot - Menundukan kepala
- Positif - Menghargai diri sendiri - Saya dapat/akan lakukan
Personal space
- Orang lain dapat masuk pada teritorial pribadinya
Gerakan
-
Nada bicara
Amuk -
- Diatur
-
- Tegak - Relaks
-
- Menjaga jarak yang menyenangkan - Mempertahankan hak tempat/teritorial - Memperlihatkan gerakan yang sesuai
-
- Sekali-sekali (intermiten) sesuai dengan kebutuhan interaksi Penyebab Terjadinya Proses Terjadinya Perilaku Kekerasan
-
Nada suara
Sikap tubuh
Kontak mata
2.
Pasif
Minimal Lemah Resah Sedikit/tidak ada
-
Berlebihan Menghina orang lain Anda selalu/tidak pernah? Tinggi Menuntut Tegang Bersandar ke depan Memiliki teritorial orang lain Mengancam, ekspansi gerakan Melotot
Menurut (Suliswati, et al., 2004; Varcarolis, 2006), faktor yang menyebabkan terjdinya periaku marah, antara lain: a.
Faktor Predisposisi 1) Teori Biologik
a) Neurologic factor, beragam komponen dari sistem syaraf seperti synap, neurotransmitter, dendrit, axon terminalis mempunyai peran memfasilitasi atau menghambat rangsangan dan pesan-pesan yang akan mempengaruhi sifat agresif. Sistem limbik sangat terlibat dalam menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan respons agresif. b) Genetic factor, adanya faktor gen yang diturunkan melalui orang tua, menjadi potensi perilaku agresif. Dalam gen manusia terdapat dormant (potensi) agresif yang sedang tidur dan akan bangun jika terstimulasi oleh faktor eksternal. Menurut penelitian genetik tipe karyotipe XYY, pada umumnya dimiliki oleh penghuni pelaku tindak kriminal serta orang-orang yang tersangkut hukum akibat perilaku agresif. c) Cyrcardian Rhytm (irama sirkardian tubuh), memegang peranan pada individu. Menurut penelitian pada jam-jam tertentu manusia mengalami peningkatan cortisol terutama pada jam-jam sibuk seperti menjelang masuk kerja dan menjelang berakhirnya pekerjaan sekitar jam 9 dan jam 13. Pada jam tertentu orang lebih mudah terstimulasi untuk bersikap agresif. d) Biochemistry factor (faktor biokimia tubuh) seperti neurotransmitter di otak (epinephrin, norephineprine, dopamine, asetilkoline, dan serotonin) sangat berperan dalam penyampaian informasi melalui sistem persyarafan dalam tubuh, adanya stimulus dari luar tubuh yang dianggap mengancam atau membahayakan akan dihantar melalui impuls neurotransmitter ke otak dan meresponnya melalui serabut efferent. Peningkatan hormon androgen dan norepinephrine serta penurunan serotonin dan GABA pada cairan cerebrospinal vertebra dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya perilaku agresif. e) Brain Area Disorder, gangguan pada sistem limbik dan lobus temporal, sindrom otak organik, tumor otak, penyakit ensepalitis, epilepsi ditemukan sangat berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan. 2) Teori Psikologik a) Teori Psikoanalisa. Agresivitas dan kekerasan dapat dipengaruhi oleh riwayat tumbuh kembang seseorang (life span history). Teori ini menjelaskan bahwa adanya ketidakpuasan fase oral antara usia 0-2 tahun dimana anak tidak mendapat kasih sayang dan pemenuhan kebutuhan air susu yang cukup cenderung mengembangkan sikap agresif dan bermusuhan setelah dewasa
sebagai kompensasi adanya ketidakpercayaan pada lingkungannya. Tidak terpenuhinya kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri yang rendah.. b) Imitation, modeling, and information processing theory Menurut teori ini perilaku kekerasan bisa berkembang dalam lingkungan yang menolerir kekerasan. Adanya contoh, model dan perilaku yang ditiru dari media atau lingkungan sekitar memungkinkan sekitar memungkinkan individu meniru perilaku tersebut. Dalam suatu penelitian beberapa anak dikumpulkan untuk menonton tayangan pada pemukulan boneka dengan reward positif (makin keras pukulannya akan diberi coklat), anak lain menonton tayangan cara mengasihi dan mencium boneka tersebut dengan reward positif pula (makin baik belaiannya mendapat hadiah coklat). Setelah anak-anak keluar dan diberi boneka ternyata masing-masing anak berperilaku sesuai dengan tontonan yang pernah dialaminya. c) Learning theory Perilaku kekerasan merupakan hasil belajar individu terhadap lingkungan terdekatnya. Ia mengamati bagaimana respon ayah saat menerima kekecewaan dan mengamati bagaimana repon ibu saat marah. Ia juga belajar bahwa dengan agresivitas lingkungan sekitar menjadi peduli, bertanya, menanggapi, dan menganggap bahwa dirinya eksis dan patut untuk diperhitungkan (Yosep & Sutini, 2014). 3) Teori Sosiokultural Dalam budaya tertentuseperti rebutan berkah, rebutan uang receh, sesaji atau kotoran kerbau di keraton, serta ritual-ritual yang cenderung mengarah pada kemusyrikan secara tidak langsung turut memupuk sifat agresif dan ingin menang sendiri. Kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan menerima perilaku kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah dalam masyarakat merupakan faktor predisposisi terjadinya perilaku kekerasan. hal ini dipicu juga dengan maraknya demonstrasi, film-film kekerasan, mistik, tahayul, dan perdukuhan (santet, teluh) dalam tayangan televisi. 4) Aspek Religiusitas
Dalam tinjauan religiusitas, kemarahan dan agresivitas merupakan dorongan bisikan syetan yang sangat menyukai kerusakan agar manusia menyesal (devil support). Semua bentuk kekerasan adalah bentuk bisikan syetan melalui pembuluh darah ke jantung, otak, dan organ vital manusia lain yang dituruti manusia sebagai bentuk kompensasi bahwa kebutuhan dirinya terancam dan harus segera dipenuhi tetapi tanpa melibatkan akal (ego) dan norma agama (super ego). b. Faktor Presipitasi Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan seringkali berkaitan dengan: 1) Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian massal dan sebagianya. 2) Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi. 3) Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melakukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik. 4) Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan seseorang dalam menempatkan dirinya sebagai seseorang yang dewasa. 5) Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi rasa frustasi. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga (Yosep & Sutini, 2014). 3.
Proses Terjadinya Perilaku Kekerasan Menurut Stuart & Sundeen (2007), kemarahan diawali oleh adanya stressor yang berasal dari internal atau eksterna.Stressor internal seperti penyakit, hormonal, dendam, kesal sedangkan stressor eksternal bisa berasal dari ledekan, cacian, makian, hilangnya benda berharga, tertipu, penggusuran, bencana dan sebagainya. Hal tersebut akan mengakibatkan kehilangan atau gangguan pada sistem individu (Disruption and loss). Hal yang terpenting adalah bagaimana individu memaknai setiap kejadian yang menyedihkanataumenjengkelkan
tersebut (personal meaning). Bila seseorang memberi makna positif, misalnya : macet adalah waktu untuk istirahat, penyakit adalah sarana penggugur dosa, suasana bising adalah melatih persyarafan telinga maka ia akan dapat melakukan kegiatan secara positif (compensatory act) dan tercapai perasaan lega (resolution). Bila ia gagal dalam memberikan makna menganggap segala sesuatunya sebagai ancaman dan tidak mampu melakukan kegiatan positif (olah raga, menyapu atau baca puisi saat ia marah dan sebagainya) maka akan muncul perasaan tidak berdaya dan sengsara (helplessness). Perasaan itu akan memicu timbulnya kemarahan (anger). Kemarahan yang diekspresikan keluar (ekspressedoutward) dengan kegiatan yang kontruktif dapat menyelesaikan masalah.Kemarahan yang diekspresikan dengan kegiatan destruktif dapat menimbulkan perasaan bersalah dan menyesal (guilt). Kemarahan yang dipendam akan menimbulkan gejala psikomatis (painfullsymptom). Respon terhadap marah dapat diungkapkan melalui 3 cara yaitu : 1) Mengungkapkan secara verbal: Bicara dengan kata-kata kotor,bicara kasar. 2) Menekan: Mendominasi, meremehkan. 3) Menentang: Berdebat, penuh dengan rasa curiga. Dari ketiga cara ini yang pertama adalah konstruktif sedang dua cara lain adalah destruktif. Dengan melarikan diri atau menantang akan menimbulkan rasa bermusuhan dan bila cara ini dipakai terus menerus, maka kemarahan dapat diekspresikan pada diri sendiri atau lingkungan dan akan tampak sebagai depresi psikosomatik atau agresif dan mengamuk. 4.
Fungsi Positif Respon Marah Respon marah menurut Stuart & Laraia (2005); Vacarolis (2006) memiliki beberapa fungsi, meliputi: a.
Energizing function: dimana rasa marah tersebut dapat menambah/meningkatkan tenaga seseorang, contoh : orang mengamuk tenaganya sangat kuat.
b.
Expressive function: yaitu untuk mengekspresikan perasaan kecewa atau tidak puas.
c.
Self Promotional function: yaitu untuk meningkatkan harga diri, contoh : seseorang marah karena merasa dihina.
d.
Defensive function: rasa marah sebagai mekenisme koping, contoh : seseorang melampiaskan kemarahannya, kemudian akan merasa lega.
e.
Pitentiating function: yaitu untuk meningkatkan kemampuan. Orang yang merasa dihina, kemudian berusaha meningkatkan kemampuannya dalam berbagai segi. Contoh : orang yang bersaing secara tidak sehat.
f.
Discriminative function: yaitu untuk membedakan seseorang dalam berbagai keadaan alam perasaan. Contoh : gembira, sedih, jengkel dan sebagainya.
5.
Gejala Atau Tanda Marah (Perilaku) Gejala atau tanda marah menurut Yusuf, et al. (2015): a.
Emosi 1) Tidak adekuat 2) Tidak aman 3) Rasa terganggu 4) Marah (dendam) 5) Jengkel
b.
Intelektual 1) Mendominasi 2) Bawel 3) Sarkasme 4) Berdebat 5) Meremehkan
c.
Fisik 1) Muka merah 2) Pandangan tajam 3) Napas pendek
4) Keringat 5) Sakit fisik 6) Penyalahgunaan zat 7) Tekanan darah meningkat d.
Spiritual 1) Kemahakuasaan 2) Kebijakan/kebenaran diri 3) Keraguan 4) Tidak bermoral 5) Kebejatan 6) Kreativitas terlambat
e. Sosial 1) Menarik diri 2) Pengasingan 3) Penolakan 4) Kekerasan 5) Ejekan 6) Humor 6.
Penanganan Perilaku Kekerasan Penanganan yang dapat dilakukan untuk menangani pasien dengan perilaku kekerasan, antara lain: a.
Tindakan Medis Menurut Maramis (2010), obat-obatan yang biasa diberikan pada pasien dengan marah atau perilaku kekerasan adalah:
1) Antianxiety dan sedative hipnotics. Obat-obatan ini dapat mengendalikan agitasi yang akut. Benzodiazepine seperti Lorazepam dan Clonazepam, sering digunakan dalam kedaruratan psikiatrik untuk menenangkan perlawanan klien. Tapi obat ini tidak direkomendasikan untuk penggunaan dalam waktu lama karena dapat menyebabkan kebingungan dan ketergantungan, juga bisa memperburuk simptom depresi. 2) Buspirone obat antianxiety, efektif dalam mengendalikan perilaku kekerasan yang berkaitan dengan kecemasan dan depresi. 3) Antidepressants, penggunaan obat ini mampu mengontrol impulsif dan perilaku agresif klien yang berkaitan dengan perubahan mood. Amitriptyline dan Trazodone, menghilangkan agresifitas yang berhubungan dengan cedera kepala dan gangguan mental organik. 4) Lithium efektif untuk agresif karena manik. 5) Antipsychotic dipergunakan untuk perawatan perilaku kekerasan b.
Tindakan Keperawatan untuk Pasien 1) Tujuan a) Pasien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan. b) Pasien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan. c) Pasien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah dilakukannya. d) Pasien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang dilakukannya e) Pasien dapat menyebutkan cara mencegah/mengontrol perilaku kekerasannya f)
Pasien dapat mencegah/mengontrol perilaku kekerasannya secara fisik, spiritual, sosial, dan dengan terapi psikofarmaka.
2) Tindakan a) Bina hubungan saling percaya.
Mengucapkan salam terapeutik.
Berjabat tangan.
Menjelaskan tujuan interaksi.
Membuat kontrak topik, waktu, dan tempat setiap kali bertemu pasien.
b) Diskusikan bersama pasien penyebab perilaku kekerasan saat ini dan masa lalu. c) Diskusikan perasaan pasien jika terjadi penyebab perilaku kekerasan.
Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara fisik.
Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara psikologis.
Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara sosial.
Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara spiritual.
Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara intelektual.
d) Diskusikan bersama pasien perilaku kekerasan yang biasa dilakukan pada saat marah secara:
verbal,
terhadap orang lain,
terhadap diri sendiri,
terhadap lingkungan.
e) Diskusikan bersama pasien akibat perilakunya. f)
Diskusikan bersama pasien cara mengontrol perilaku kekerasan secara:
fisik, misalnya pukul kasur dan batal, tarik napas dalam;
obat;
sosial/verbal, misalnya menyatakan secara asertif rasa marahnya;
spiritual, misalnya sholat atau berdoa sesuai keyakinan pasien.
g) Latih pasien mengontrol perilaku kekerasan secara fisik, yaitu latihan napas dalam dan pukul kasur/bantal, secara sosial/verbal, secara spiritual, dan patuh minum obat h) Ikut sertakan pasien dalam terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi mengontrol perilaku kekerasan (Damaiyanti, 2010). c.
Tindakan Keperawatan untuk Keluarga 1) Tujuan Keluarga dapat merawat pasien di rumah. 2) Tindakan a) Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat pasien. b) Diskusikan bersama keluarga tentang perilaku kekerasan (penyebab, tanda dan gejala, serta perilaku yang muncul dan akibat dari perilaku tersebut). c) Diskusikan bersama keluarga kondisi-kondisi pasien yang perlu segera dilaporkan kepada perawat, seperti melempar atau memukul benda/orang lain. d) Latih keluarga merawat pasien dengan perilaku kekerasan.
Anjurkan keluarga untuk memotivasi pasien melakukan tindakan yang telah diajarkan oleh perawat.
Ajarkan keluarga untuk memberikan pujian kepada pasien bila pasien dapat melakukan kegiatan tersebut secara tepat.
Diskusikan bersama keluarga tindakan yang harus dilakukan bila pasien menunjukkan gejala-gejala perilaku kekerasan.
e) Buat perencanaan pulang bersama keluarga (Damaiyanti, 2010). Strategi Penahanan
Gambar 2 Strategi Penaganan d.
Manajemen Krisis 1) Identifikasi pemimpin tim krisis. 2) Susun atau kumpulkan tim krisis. 3) Beritahu petugas keamanan yang diperlukan. 4) Pindahkan semua pasien dari area tersebut. 5) Siapkan atau dapatkan alat pengekang (restrains). 6) Susun strategi dan beritahu anggota lain. 7) Tugas penanganan pasien secara fisik. 8) Jelaskan semua tindakan pada pasien, “Kami harus mengontrol Tono, karena perilaku Tono berbahaya pada Tono dan orang lain. Jika Tono sudah dapat mengontrol perilakunya, kami akan lepaskan”. 9) Ikat/kekang pasien sesuai instruksi pemimpin (posisi yang nyaman). 10) Berikan obat psikofarmaka sesuai instruksi. 11) Jaga tetap kalem dan konsisten. 12) Evaluasi tindakan dengan tim. 13) Jelaskan kejadian pada pasien lain dan staf seperlunya.
14) Secara bertahap integrasikan pasien pada lingkungan (Yusuf, et al. 2015). e. Pengasingan Pengasingan dilakukan untuk memisahkan pasien dari orang lain di tempat yang aman dan cocok untuk tindakan keperawatan. Tujuannya adalah melindungi pasien, orang lain, dan staf dari bahaya. Hal ini legal jika dilakukan secara terapeutik dan etis. Prinsip pengasingan antara lain sebagai berikut: 1) Pembatasan gerak a) Aman dari mencederai diri. b) Lingkungan aman dari perilaku pasien. 2) Isolasi a) Pasien butuh untuk jauh dari orang lain, contohnya paranoid. b) Area terbatas untuk adaptasi, ditingkatkan secara bertahap. 3) Pembatasan input sensoris Ruangan yang sepi akan mengurangi stimulus (Yusuf, et al. 2015). f.
Pengekangan Tujuan dari pengekangan adalah mengurangi gerakan fisik pasien, serta melindungi pasien dan orang lain dari cedera. Indikasi antara lain sebagai berikut: 1) Ketidakmampuan mengontrol perilaku. 2) Perilaku tidak dapat dikontrol oleh obat atau teknik psikososial. 3) Hiperaktif dan agitasi. Prosedur pelaksanaan pengekangan adalah sebagai berikut: 1) Jelaskan pada pasien alasan pengekangan. 2) Lakukan dengan hati-hati dan tidak melukai. 3) Ada perawat yang ditugaskan untuk mengontrol tanda vital, sirkulasi, dan membuka ikatan untuk latihan gerak.
4) Penuhi kebutuhan fisik, yaitu makan, minum, eliminasi, dan perawatan diri (Yusuf, et al. 2015). II.
PENGKAJIAN KEPERAWATAN Menurut Keliat (2007); Varcarolis (2006), data yang perlu dikaji pada pasien dengan perilaku kekerasan yaitu pada data subyektif klien mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, mengatakan dendam dan jengkel. Klien juga menyalahkan dan menuntut.pada data obyektif klien menunjukkan tanda-tanda mata melotot dan pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah memerah dan tegang, postur tubuh kaku dan suara keras. Data ini didapat melalui wawancara perawat kepada klien dan keluarganya. Data didapatkan perawat melalui teknik pengumpulan data. Tujuan dari pengumpulan data adalah menilai status kesehatan dan kemungkinan adanya masalah keperawatan yang memerlukan intervensi dari perawat. Data yang dikumpulkan bisa berupa data objektif yaitu data yang dapat secara nyata melalui observasi atau pemeriksaan langsung oleh perawat. Sedangkan data subjektif yaitu data yang disampaikan secara lisan oleh klien dan keluarganya. Untuk dapat menyaring data yang diperlukan, umumnya yang dikembangkan formulir pengkajian dan petunjuk teknis pengkajian agar memudahkan dalam pengkajian. Sistematika pengkajian, meliputi: 1.
Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pekerjaan, alamat, tanggal masuk, tanggal pengkajiannya nomor rekam medik, diagnosa medis dan identitas penanggung jawab.
2.
Keluhan utama dan alasan masuk, tanyakan pada klien atau keluarga apa yang menyebabkan klien datang ke rumah sakit saat ini serta bagaimana hasil dari tindakan orang tersebut.
3.
Faktor predisposisi, menanyakan kepada klien atau keluarganya: a.
Apakah klien pernah mengalami gangguan jiwa atau tidak
b.
Apakah ya, bagaimana hasil pengobatan sebelumnya.
c.
Klien pernah melakukan, mengalami atau menyaksikan penganiayaan fisik, seksual, penolakan dari lingkungan, kekerasan dalam keluarga dan tindakan kriminal.
d.
Apakah anggota keluarga ada yang mengalami gangguan jiwa.
e.
Pengalaman klien yang tidak menyenangkan (kegagalan yang terulang lagi, penolakan orang tua, harapan orang tua yang tidak realistis) atau faktor lain, misalnya kurang mempunyai tanggung jawab personal.
4.
Aspek fisik atau biologis, observasi tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, suhu, pernafasan klien), ukur tinggi badan dan berat badan klien.
5.
Psikososial, membuat genogram minimal tiga generasi yang dapat menggambarkan hubungan klien dengan keluarga. Masalah yang terkait dengan komunikasi pengembalian keputusan dan pola asuh.
6.
Status mental meliputi pembicaraan, penampilan, aktivitas motorik, alam perasaan, afek, interaksi selama wawancara, persepsi, proses pikir, isi pikir, tingkat kesadaran, emosi, tingkat konsentrasi dan berhitung, kemampuan penilaian dan daya tilik diri.
7.
Kebutuhan persiapan pulang, kemampuan klien dalam makan, BAB/BAK, mandi, berpakaian, istirahat, tidur, penggunaan obat, pemeliharaan kesehatan, aktivitas di dalam rumah dan di luar rumah.
8.
Mekanisme koping, didapat melalui wawancara pada klien atau keluarga baik adaptif maupun maladaptif.
9.
Masalah psikososial dan lingkungan, di dapat dari klien atau keluarga bagaimana tentang keadaan lingkungan klien, masalah pendidikan dan masalah pekerjaan.
10. Pengetahuan, apakah klien mengetahui tentang kesehatan jiwa. 11. Aspek medik, obat-obatan klien saat ini baik obat fisik, psikofarmako dan terapi lain.
III.
DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG SERING MUNCUL 1.
Ketidakefektifan control impuls
2.
Risiko Prilaku Kekerasan Terhadap Diri Sendiri
3.
Risiko Prilaku Kekerasan Terhadap Orang Lain
4.
Ketidakefektifan Koping Keluarga
IV. No. 1.
2.
Diagnosa Keperawatan Ketidakefektifan Kontrol Impuls
RENCANA KEPERAWATAN
NOC
Control Impuls Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, masalah ketidakefektifan kontrol impuls pasien teratasi dengan kriteria hasil: Mampu menyebutkan tanda-tanda akan melakukan kekerasan, seperti perasaan ingin marah, jengkel, ingin merusak, memukul, dll Melaporkan pada petugas kesehatan saat muncul tanda-tanda kekerasan Melaporkan kepada petugas kesehatan setiap muncul tanda-tanda akan melakukan kekerasan Resiko perilaku Anger Self-Restraint kekerasan terhadap diri Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, masalah risiko kekerasan sendiri terhadap diri sendiri pasien teratasi dengan kriteria hasil: - Mampu mengidentifikasi waktu marah - Mampu mengidentifikasi tanda-tanda awal marah - Mampu mengidentifikasi penyebab marah
NIC Impulse Control Training Aktivitas: - Jelaskan pada klien manfaat penyaluran energi marah - bantu klien memilih sendiri cara marah yang adaptif - bantu klien mengambil keputusan untuk mengeluarkan energi marah/perilaku kekerasan yang adaptif - beri kesempatan pada klien untuk mendiskusikan cara yang dipilihnya - anjurkan klian mempraktikkan cara yang dipilihnya - beri kesempatan pada klien untuk mendiskusikan cara yang telah - dipraktikan - evaluasi perasaan klien tentang cara yang dipilih dan telah dipraktikkan
Anger Control Assistance Aktifitas: - Membina hubungan saling percaya dengan pasien (BHSP) - Menggunakan pendekatan yang tenang - Meminta pasien untuk mencari bantuan perawat selama periode marah meningkat - Memonitor potensi peilaku agresif sebelum dilakukan - Melakukan restrain atau menjauhkan benda-benda tajam ketika pasien marah
- Menggunakan nafas dalam ketika merasa mulai marah
3
Resiko kekerasan orang lain
perilaku Menahan diri dari agresifitas terhadap Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, masalah risiko kekerasan terhadap diri sendiri dan orang lain pasien teratasi dengan kriteria hasil: Menahan diri dari menyerang orang lain (dari jarang dilakukan menjadi kadang dilakukan) Menahan diri dari membahayakan orang lain (dari jarang dilakukan menjadi kadang dilakukan) Menggunakan teknik untuk mengendalikan amarah (dari jarang dilakukan menjadi kadang dilakukan)
- Mengajarkan pasien teknik relaksasi nafas dalam untuk menurunkan marah - Berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat - Membantu pasien mengidentifikasi waktu marah, tanda-tanda awal marahnya, sumber marahnya - Membantu pasien merencanakan strategi untuk untuk mencegah ekspresi marah yang tidak tepat - Bersama dengan pasien mengidentifikasi manfaat marah dengan cara yang adaptif tanpa kekerasan - Mendukung pasien untuk mengimplementasikan strategi kontrol marah dan mengekspresikan marah dengan tepat - Memberikan pujian kepada pasien saat mampu mengekspresikan marah dengan tepat Impulse Control Training Aktivitas: - Jelaskan pada klien manfaat penyaluran energi marah - bantu klien memilih sendiri cara marah yang adaptif bantu klien mengambil keputusan untuk mengeluarkan energi marah/perilaku kekerasan yang adaptif - beri kesempatan pada klien untuk mendiskusikan cara yang dipilihnya - anjurkan klian mempraktikkan cara yang dipilihnya beri kesempatan pada klien untuk mendiskusikan cara yang telah dipraktikan evaluasi perasaan klien tentang cara yang dipilih dan telah dipraktikkan
4.
Menghindari merusak ruang personal orang lain (dari jarang dilakukan menjadi kadang dilakukan)
Koping keluarga tidak Family Coping Setelah dilakukan interaksi dengan 3x24 efektif jam, masalah koping keluargatidak efektif teratasi dengan kriteria hasil: - Mengatasi masalah keluarga - Mengekspresikan perasaan diantara anggota keluarga - Menentukan prioritas - Memutuskan perawatan - Membantu perawatan - Memberikan dukungan sosial
Family Involvement - Identifikasi peran, kultur, dan situasi keluarga dalam pengaruhnya teryadap perilaku klien - Berikan informasi yang tepat tentang penanganan klien dengan perilaku marah/kekerasan - Ajarkan ketrampilan koping efektif yang digunakan untuk pengangan klien marah/perilaku kekerasan - Bantu keluarga memilih/menentukan bantuan dalam menghadapi klien marah/perilaku kekerasan - Berikan konseling pada keluarga - Fasilitasi pertemuan keluarga dengan career/pemberi perawatan - Beri kesempatan pada keluarga untuk mendiskusikan cara yang dipilih - Anjurkan kepada keluarga untuk menerapkan cara yang dipilih.
DAFTAR PUSTAKA Damaiyanti, M. 2010. Komunikasi Terapeutik Dalam Praktik Keperawatan. Bandung: Refika Aditama. Keliat, B.A., Akemat, Helena, N.C.D., dan Nurhaeni, H. 2007. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas: CMHN (Basic Courese). Jakarta: EGC. Lab/UPF Kedokteran Jiwa. Maramis, W.F. 2010. Pedoman Diagnosis dan Terapi. RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Airlangga University Press: Surabaya. Nurjannah, Intansari. 2014. ISDA : Intan’s Screening Diagnoses Assesment. Versi Bahasa Indonesia. Yogyakarta : Moco Media. Potter & Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses, dan Praktik Edisi 4 Volume 2. Jakarta: EGC. Stuart & Laraia. 2005. Principles and Practice of Psychiatric Nursing. 8th Edition. St.Louis: Mosby. Stuart, G. W. dan Sundeen, S. J. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 5. Jakarta: EGC. Suliswati, et al. 2004. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC. Varcarolis. 2006. Fundamentalis of Psychiatric Nursing Edisi 5. St. Louis: Elsevier. Yosep, H.I., Sutini, T. 2014. Buku Ajar Keperawatan Jiwa and Advance Mental Health Nursing. Cetakan ke-6. Bandung: PT Refika Aditama. Yusuf, Fitryasari, RPK, Nihayanti, E. 2015. Buku Ajar Ilmu Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.