“PEDULI” Sejak awal kehadiran manusia ke permukaan bumi, mereka hadir dengan anugerah besar, yakni “fithrah” yang bersih (suci dari noda dan dosa), sehingg ujud "manusia bermartabat”. Wajar, bila kembali kepada fithrah dirayakan sebagai kemenangan besar. Apalagi setelah ujian berat "pengendalian diri", berkemampuan "mengalahkan hawa nafsu" melalui ibadah berat "shiyam" (puasa) oleh jasmani (menahan makan, minum, dan jima' disiang hari), dan rohaniyah dalam menahan amarah, memupuk kesabaran, serta mengendalikan keinginan-keinginan. Semua dilaksanakan karena mengharap redha Allah, terjauh dari pujian makhluk kecuali hanya dari Allah semata. Perjuangan ini tidak akan dimenangkan oleh orang yang tidak mempunyai kesabaran sebagai nilai utama muttaqin. NILAI taqwa merupakan nilai puncak yang diminati dan dikejar oleh setiap mukmin. Muttaqin (orang-orang bertaqwa) mendapatkan jaminan untuk memperoleh petunjuk dari Al Quran (Wahyu Allah), memperoleh penerangan, contoh-contoh dan pelajaran di dalam menata kehidupan meteriil maupun immaterial (lihat QS.2:2/2:66/3:138/5:46/21:48/24:34 dan 69:48). Karena itu mereka akan mudah memahami makna terkandung dalam Al Quran (Wahyu Allah) Lihat(QS.19:98). Setiap insan yang memiliki fithrah adalah pribadi yang kuat, yaitu "pribadi muttaqien". Yang tegak dan jujur, tabah dan berdisiplin. Yang tahu "harga diri" dan tahu "berterima kasih". Memiliki "pribadi yang berwatak". Yang memiliki hati nurani yang hidup. Yang "peduli" dengan keadaan "kaum dhu'afa" (kaum lemah) yang jumlahnya lebih besar sebagaimana layaknya alas pada sebuah kerucut. Dengan kesabaran seorang hamba akan mendapatkan sorga, tempat kembali terbaik. Memperoleh kehormatan dari Allah (QS.3:133/26:90/38:49/50:31 dan 68:34). Mewarisi kehidupan akhirat yang kekal abadi, sebagai balasan terbaik dari Allah (QS.43:35). Orang muttaqin akan mendapatkan kemenangan(QS.78:31), karena mereka selalu disertai oleh Allah (QS.2:194/9:36 dan 123). Dan akan menjadi tamu terhormat dari Allah pada hari setiap manusia dikumpulkan di Yaumil Mahsyar (QS.19:85). Mereka akan selalu dicintai oleh Allah Maha Pencipta. Karena keteduhan dalam memelihara sifat-sifat terpuji, menepati janji, tak suka berbuat angkuh, berlaku jujur dan lurus, selalu konsisten (istiqomah) ( QS.3:76/9:4,7). Disamping itu, selalu pula mendapatkan jalan keluar (way out) dari setiap problema hidup yang dihadapi. Selalu mendapatkan rezeki yang baik dari sumber-sumber yang tidak disangka. Senantiasa berserah diri (tawakal) kepada Allah. Dan Allah mencukupkan keperluan baginya dalam hidup. Redha dengan ketentuan Allah, sehingga Allah pula yang akan memberikan kemudahan dalam setiap urusan. Memiliki fithrah berarti punya rasa bahagia dalam kalbu berupa "kebahagiaan dalam memberi". Suka memberi, menyiratkan rasa bahagia pada pemberi dan penerima. "Memberi dan menerima", sesuai dengan martabat manusia yang harus dihormati keberadaannya ditiap-tiap anggota masyarakat. "Memberi" bukan monopoli kalangan kaya semata. "Menerima" tidaklah kwalitas baku milik kalangan "bernasib malang". "Si-pemberi", memikul kewajiban karena ditangannya ada hak orang lain, yang wajib dia tunaikan dan mesti di keluarkan. "Si-penerima", memiliki kewajiban dengan menerimakan haknya dari orang lain. Sebenarnya dia telah menyelamatkan sipemberi dari siksaan, bila sempat menahan hak orang lain. Sipenerima memiliki kewajiban untuk menerimakan haknya, dan membebaskan sipemberi dari hukuman tersebab lupa mensyukuri nikmat Allah yang ada di tangannya. Kedua-duanya sama-sama "bermartabat" manusia.
Tidak ada tempat bagi "perasaan rendah" yang melumpuhkan "kalangan tak punya". Tak ada peluang tumbuhnya "perasaan tinggi” atau sombong, yang sering melumpuhkan "kalangan berada". Kedua kelompok, atas-bawah dan kaya-miskin ini bisa berperan serta mengisi kehidupan duniawi yang indah dan serasi, dengan perwujudan saling mempertinggi makna kehidupan duniawi yang saling menghargai menurut kemampuan masing-masing pula. Atas dasar hak dan kewajiban yang setara itulah, kita persiapkan amalan besar tanpa riya. Pekerjaan riya akan menghilangkan "kepedulian sosial", karena yang berpunya bisa gelak ketawa, sementara yang malang hanya berurai mata. Yang lebih utama lagi, bahwa orang muttaqin akan mendapatkan penghapusan dari kesalahan-kesalahan karena mereka selalu kembali kepada Allah. Untuk mereka dilipatgandakan amalan dan pahala mereka ( QS.65 ayat 2,3,4 dan 5). Di sinilah tingginya nilai taqwa. Membentuk watak sabar sebagai ciri-ciri orang Muhsinin (orang dan pahala mereka(QS.12:90). Dalam mengatasi kesenjangan sosial yang terjadi, Rasulullah SAW mewajibkan setiap Muslim "membayarkan zakat, mengeluarkan infaq, shadaqah” mengulurkan tangan dari atas ke bawah, tidak sebaliknya, menyuruh yang dibawah menampung belas kasihan semata. Firman Allah ; “Di dalam harta orang kaya itu ada hak orang lain, yang meminta ataupun yang tidak mau meminta.” (Q.S. 70, Al Ma'arij, ayat 24- 25) Maknanya adalah bahwa orang kaya semestinya mengatahui beban derita serta kebutuhan orang melarat di kelilingnya. Jangan dinanti mereka meminta, tetapi ulurkan tangan di saat ada kemampuan. Inilah kepedulian menurut ajaran Agama Islam. Aplikasinya adalah, fungsikan lembaga-lembaga sosial yang ada, giatkan kepedulian pendistribusian kekayaan secara teratur dengan mengutamakan nilai manfaat serta pendayagunaan Lembaga Baitul Maal, atau Amil Zakat dan Masjid-Masjid. Data secara lengkap "kaum dhu'afa" (kalangan lemah) dilingkungan sendiri, termasuk juga Anak Yatim. Bagikan kepada yang "berhak" dengan amanah secara jujur dan benar. Bila perlu, ketok pintu "kalangan tak berpunya" itu, antarkan langsung kerumahnya. Dan bersedia pula "mengetok hati" kalangan berpunya (orang berada dan kaya), bahwa sebenarnya ditangan mereka ada hak orang lain, yang wajib dia keluarkan. Sehingga kesenjangan sosial teratasi. Wa ila'ilahi turja'ul umuur.