233766_word Bintil Merah Kel.5.docx

  • Uploaded by: Njw
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 233766_word Bintil Merah Kel.5.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 8,853
  • Pages: 41
BAB I PENDAHULUAN A. Skenario Seorang anak perempuan berusia 8 tahun dibawa oleh ibunya ke puskesmas dengan keluhan muncul bintil berisi air pada dada dan perutnya. Keluhan dirasakan sejak 3 hari. Keluhan disertai demam, malaise dan nyeri kepala. B. Kata Kunci -

Anak perempuan 8 tahun

-

Muncul bintil berisi air di dada dan perut

-

Dirasakan sejak 3 hari

-

Demam, malaise dan nyeri kepala

C. Daftar Pertanyaan 1. Jelaskan anatomi, fisiologi dan histologi kulit? 2. Jelaskan definisi dan etiopatomekanisme bintil merah? 3. Jelaskan etiopatomekanisme gejala penyerta serta hubungannya dengan gejala utama? 4. Jelaskan diagnosis banding sesuai skenario? 5. Jelaskan integrasi keislaman sesuai skenario?

D. Learning Outcome 1. Mahasiswa mampu menjelaskan anatomi, fisiologi dan histologi kulit. 2. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi dan etiopatomekanisme bintil merah. 3. Mahasiswa mampu menjelaskan etiopatomekanisme gejala penyerta serta hubungannya dengan gejala utama. 4. Mahasiswa mampu menjelaskan diagnosis banding pada skenario 5. Mahasiswa mampu menjelaskan integrasi keislaman yang terkait dengan skenario.

1

E. Problem Tree

2

BAB II PEMBAHASAN

1. Anatomi, fisiologi dan histologi kulit. 1 Struktur kulit terdiri atas 2 lapisan utama yaitu epidermis dan dermis. Epidermis merupakan jaringan epitel yang berasal dari ektoderm, sedangkan dermis berupa jaringan ikat agak padat yang berasal dari mesoderm. Di bawah dermis terdapat selapis jaringan ikat longgar yaitu hipodermis, yang pada beberapa tempat terutama terdiri dari jaringan lemak.

(Sumber : Kalangi, 2013. Anatomi, Histologi dan Fisiolofi Kulit)

a) Epidermis Epidermis merupakan lapisan paling luar kulit dan terdiri atas epitel berlapis gepeng dengan lapisan tanduk. Epidermis hanya terdiri dari jaringan epitel, tidak mempunyai pembuluh darah maupun limfe, oleh karena itu semua nutrien dan oksigen diperoleh dari kapiler pada lapisan dermis. Epitel berlapis gepeng pada epidermis ini tersusun oleh banyak lapis sel yang disebut keratinosit. Sel-sel ini secara tetap diperbarui melalui mitosis sel-sel dalam lapis basal yang secara berangsur digeser ke permukaan epitel. Selama perjalanannya, sel-sel ini berdiferensiasi,

membesar,

dan

mengumpulkan

filamen

keratin

dalam

sitoplasmanya. Mendekati permukaan, sel-sel ini mati dan secara tetap dilepaskan (terkelupas). Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai permukaan adalah 20 sampai 30 hari. Modifikasi struktur selama perjalanan ini disebut sitomorfosis dari sel-sel 3

epidermis. Bentuknya yang berubah pada tingkat berbeda dalam epitel memungkinkan pembagian dalam potongan histologik tegak lurus terhadap permukaan kulit. Epidermis terdiri atas 5 lapisan yaitu, dari dalam ke luar, stratum basal, stratum spinosum, stratum granulosum, stratum lusidum, dan stratum korneum. Stratum basal (lapis basal, lapis benih) Lapisan ini terletak paling dalam dan terdiri atas satu lapis sel yang tersusun berderet-deret di atas membran basal dan melekat pada dermis di bawahnya. Selselnya kuboid atau silindris. Intinya besar, jika dibanding ukuran selnya, dan sitoplasmanya basofilik. Pada lapisan ini biasanya terlihat gambaran mitotik sel, proliferasi selnya berfungsi untuk regenerasi epitel. Sel-sel pada lapisan ini bermigrasi ke arah permukaan untuk memasok sel-sel pada lapisan yang lebih superfisial. Pergerakan ini dipercepat oleh adalah luka, dan regenerasinya dalam keadaan normal cepat. Stratum spinosum (lapis taju) Lapisan ini terdiri atas beberapa lapis sel yang besar-besar berbentuk poligonal dengan inti lonjong. Sitoplasmanya kebiruan. Bila dilakukan pengamatan dengan pembesaran obyektif 45x, maka pada dinding sel yang berbatasan dengan sel di sebelahnya akan terlihat taju-taju yang seolah-olah menghubungkan sel yang satu dengan yang lainnya. Pada taju inilah terletak desmosom yang melekatkan selsel satu sama lain pada lapisan ini. Semakin ke atas bentuk sel semakin gepeng. Stratum granulosum (lapis berbutir) Lapisan ini terdiri atas 2-4 lapis sel gepeng yang mengandung banyak granula basofilik yang disebut granula keratohialin, yang dengan mikroskop elektron ternyata merupakan partikel amorf tanpa membran tetapi dikelilingi ribosom. Mikrofilamen melekat pada permukaan granula.

4

Stratum lusidum (lapis bening) Lapisan ini dibentuk oleh 2-3 lapisan sel gepeng yang tembus cahaya, dan agak eosinofilik. Tak ada inti maupun organel pada sel-sel lapisan ini. Walaupun ada sedikit desmosom, tetapi pada lapisan ini adhesi kurang sehingga pada sajian seringkali tampak garis celah yang memisahkan stratum korneum dari lapisan lain di bawahnya. Stratum korneum (lapis tanduk) Lapisan ini terdiri atas banyak lapisan sel-sel mati, pipih dan tidak berinti serta sitoplasmanya digantikan oleh keratin. Selsel yang paling permukaan merupakan sisik zat tanduk yang terdehidrasi yang selalu terkelupas. Sel-sel epidermis Terdapat empat jenis sel epidermis, yaitu: keratinosit, melanosit, sel Langerhans, dan sel Merkel. 1) Keratinosit Keratinosit merupakan sel terbanyak (85-95%), berasal dari ektoderm permukaan. Merupakan sel epitel yang mengalami keratinisasi, menghasilkan lapisan kedap air dan perisai pelidung tubuh. Proses keratinisasi berlangsung 2-3 minggu mulai dari proliferasi mitosis, diferensiasi, kematian sel, dan pengelupasan (deskuamasi). Pada tahap akhir diferensiasi terjadi proses penuaan sel diikuti penebalan membran sel, kehilangan inti organel lainnya. Keratinosit merupakan sel induk bagi sel epitel di atasnya dan derivat kulit lain. 2) Melanosit Melanosit meliputi 7-10% sel epidermis, merupakan sel kecil dengan cabang dendritik panjang tipis dan berakhir pada keratinosit di stratum basal dan spinosum. Terletak di antara sel pada stratum basal, folikel rambut dan sedikit dalam dermis. Dengan pewarnaan rutin sulit dikenali. Dengan reagen DOPA (3,4dihidroksi-fenilalanin), melanosit akan terlihat hitam. Pembentukan melanin terjadi 5

dalam melanosom, salah satu organel sel melanosit yang mengandung asam amino tirosin dan enzim tirosinase. Melalui serentetan reaksi, tirosin akan diubah menjadi melanin yang berfungsi sebagai tirai penahan radiasi ultraviolet yang berbahaya. 3) Sel Langerhans Sel Langerhans merupakan sel dendritik yang bentuknya ireguler, ditemukan terutama di antara keratinosit dalam stratum spinosum. Tidak berwarna baik dengan HE. Sel ini berperan dalam respon imun kulit, merupakan sel pembawa-antigen yang merangsang reaksi hipersensitivitas tipe lambat pada kulit. 4) Sel Merkel Jumlah sel jenis ini paling sedikit, berasal dari krista neuralis dan ditemukan pada lapisan basal kulit tebal, folikel rambut, dan membran mukosa mulut. Merupakan sel besar dengan cabang sitoplasma pendek. Serat saraf tak bermielin menembus membran basal, melebar seperti cakram dan berakhir pada bagian bawah sel Merkel. Kemungkinan badan merkel ini merupakan mekanoreseptor atau reseptor rasa sentuh.

b) Dermis Dermis terdiri atas stratum papilaris dan stratum retikularis, batas antara kedua lapisan tidak tegas, serat antaranya saling menjalin. Stratum papilaris Lapisan ini tersusun lebih longgar, ditandai oleh adanya 6elativ dermis yang jumlahnya bervariasi antara 50 – 250/mm2. Jumlahnya terbanyak dan lebih dalam pada daerah di mana tekanan paling besar, seperti pada telapak kaki. Sebagian besar 6elativ mengandung pembuluh-pembuluh kapiler yang memberi nutrisi pada epitel di atasnya. Papila lainnya mengandung badan akhir saraf sensoris yaitu badan Meissner. Tepat di bawah epidermis serat-serat kolagen tersusun rapat.

6

Stratum retikularis Lapisan ini lebih tebal dan dalam. Berkas-berkas kolagen kasar dan sejumlah kecil serat elastin membentuk jalinan yang padat ireguler. Pada bagian lebih dalam, jalinan lebih terbuka, rongga-rongga di antaranya terisi jaringan lemak, kelenjar keringat dan sebasea, serta folikel rambut. Serat otot polos juga ditemukan pada tempat-tempat tertentu, seperti folikel rambut, skrotum, preputium, dan putting payudara. Pada kulit wajah dan leher, serat otot skelet menyusupi jaringan ikat pada dermis. Otot-otot ini berperan untuk ekspresi wajah. Lapisan retikular menyatu dengan hipodermis/fasia superfisialis di bawahnya yaitu jaringan ikat longgar yang banyak mengandung sel lemak. Sel-sel dermis Jumlah sel dalam dermis relatif sedikit. Sel-sel dermis merupakan sel-sel jaringan ikat seperti fibroblas, sel lemak, sedikit makrofag dan sel mast.

c) Hipodermis Sebuah lapisan subkutan di bawah retikularis dermis disebut hipodermis. Ia berupa jaringan ikat lebih longgar dengan serat kolagen halus terorientasi terutama sejajar terhadap permukaan kulit, dengan beberapa di antaranya menyatu dengan yang dari dermis. Pada daerah tertentu, seperti punggung tangan, lapis ini meungkinkan gerakan kulit di atas struktur di bawahnya. Di daerah lain, serat-serat yang masuk ke dermis lebih banyak dan kulit relatif sukar digerakkan. Sel-sel lemak lebih banyak daripada dalam dermis. Jumlahnya tergantung jenis kelamin dan keadaan gizinya. Lemak subkutan cenderung mengumpul di daerah tertentu. Tidak ada atau sedikit lemak ditemukan dalam jaringan subkutan kelopak mata atau penis, namun di abdomen, paha, dan bokong, dapat mencapai ketebalan 3 cm atau lebih. Lapisan lemak ini disebut pannikulus adiposus.

7

Fungsi kulit Kulit mempunyai berbagai fungsi yaitu sebagai berikut: 1. Pelindung atau proteksi Epidermis terutama lapisan tanduk berguna untuk menutupi jaringanjaringan tubuh di sebelah dalam dan melindungi tubuh dari pengaruh-pengaruh luar seperti luka dan serangan kuman. Lapisan paling luar dari kulit ari diselubungi dengan lapisan tipis lemak, yang menjadikan kulit tahan air. Kulit dapat menahan suhu tubuh, menahan luka-luka kecil, mencegah zat kimia dan bakteri masuk ke dalam tubuh serta menghalau

rangsang-rangsang

fisik

seperti

sinar

sensorik

yang

ultraviolet dari matahari. 2. Penerima rangsang Kulit

sangat

peka

terhadap

berbagai

rangsang

berhubungan dengan sakit, suhu panas atau dingin, tekanan, rabaan, dan getaran. Kulit sebagai alat perasa dirasakan melalui ujung-ujung saraf sensasi. 3. Pengatur panas atau thermoregulasi Kulit mengatur suhu tubuh melalui dilatasi dan konstruksi pembuluh kapiler serta melalui respirasi yang keduanya dipengaruhi saraf otonom. Tubuh yang sehat memiliki suhu tetap kira-kira 98,6 derajat Farenheit atau sekitar 36,50 C. Ketika terjadi perubahan pada suhu luar, darah dan kelenjar keringat kulit mengadakan penyesuaian seperlunya dalam fungsinya masing-masing. Pengatur panas adalah salah satu fungsi kulit sebagai organ antara tubuh dan lingkungan. Panas akan hilang dengan penguapan keringat. 4. Pengeluaran (ekskresi) Kulit mengeluarkan zat-zat tertentu yaitu keringat dari kelenjar-kelenjar keringat yang dikeluarkan melalui pori-pori keringat dengan membawa garam, yodium dan zat kimia lainnya.Air yang dikeluarkan melalui kulit tidak saja disalurkan melalui keringat tetapi juga melalui penguapan air transepidermis sebagai pembentukan keringat yang tidak disadari. 5. Penyimpanan Kulit dapat menyimpan lemak di dalam kelenjar lemak.

8

6. Penyerapan terbatas Kulit dapat menyerap zat-zat tertentu, terutama zat-zat yang larut dalam lemak dapat diserap ke dalam kulit. Hormon yang terdapat pada krim muka dapat masuk melalui kulit dan mempengaruhi lapisan kulit pada tingkatan yang sangat tipis. Penyerapan terjadi melalui muara kandung rambut dan masuk ke dalam saluran kelenjar palit, merembes melalui dinding pembuluh darah ke dalam peredaran darah kemudian ke berbagai organ tubuh lainnya.

2. Definisi dan etiopatomekanisme bintil merah. 2,3 Vesikel atau bula adalah lesi menojol berbatas tegas dan berisi cairan. Vesikel dengan diameter > 0,5 cm disebut bula. Vesikel atau bula terjadi karena adanya celah dalam epidermis/ taut dermoepidermal. Dapat disertai dengan kemerahan akibat adanya infeksi oleh mikroorganisme.

Selain infeksi

mikroorganisme, vesikel dapat disebabkan oleh alergi, iritasi dan autoimunitas. Terdapat 3 macam vesikel atau bula, beserta patomekanisme nya : 1. Sub Korneal: khasnya mempunyai dinding tipis, kendur, rapuh. Contoh: Impetigo Bulosa 2. Intraepidermal: khasnya mempunyai dinding agak tegang, seperti tetesan air. Patomekanisme: a. Spongiosis: dimulai dengan terjadinya edema interselular di antara selsel keratinosit yang terisi cairan. Contoh: dermatitis kontak alergi (DKA). b. Degenerasi balon: dimulai dengan terjadinya edema intraselular biasanya karena adanya suatu proses infeksi. Virus akan menginfeksi sel epidermis sehingga sel kulit akan mengalami pembengkakan akibat adanya degenerasi, spongiosum maupun nekrosis yang disebabkan virus sehingga akan terjadi akumulasi dari cairan yang akan terbentuk dan tertumpuk di dalam jaringan, penumpukan cairan tadi akan memicu terbentuk vesikel. Contoh: herpes zoster, herpes simplex.

9

c. Akantolisis: terjadi karena adanya proses akantolisis, yakni hilangnya spina atau akanta atau jembatan antar sel, sehingga ikatan antara sel menjadi hilang atau lepas, dan akhirnya akan terbentuk celahatau rongga yang berisi cairan. Contoh: pemphigus. d. Sub-corneal: terbentuk karena lepasnya stratum korneum dari lapisan di bawahnya. Contoh: impetigo, miliaria kristalina. 3. Subdermal: khasnya mempunyai dinding sangat tegang, berisi cairan serous atau hemorragik sering disertai gatal. Dapat terjadi karena lepasnya lapisan basal dari membrana basalis. Keadaan ini biasanya terjadi pada penderita autoimun. Contoh: Epidermolisis Bulosa.

3. Etiopatomekanisme gejala penyerta serta hubungannya dengan gejala utama. a. Demam Demam dapat disebabkan oleh faktor infeksi ataupun faktor non infeksi. Demam akibat infeksi bisa disebabkan karena bakteri, virus,jamur ataupun parasit. Infeksi bakteri yang pada umumnya menimbulkan demam pada anak-anak antara lain pneumonia, bronkitis, osteomyelitis, appendisitis, tuberculosis, bakteremia, sepsis, meningitis, infeksi daluran kemih, dan lain-lain. 4 Demam akibat non infeksi dapat disebabkan oleh beberapahalantara lain faktor lingkungan (suhulingkungan yang eksternal terlalu tinggi,keadaan tumbub gigi, dll), penyakit autoimun (athritis, systemic lupus erythematosus, vaskulitis, dll), keganasan (penyakit hodgkin, limfoma , leukimia, dll), dan pemakaian obat-obatan (antibiotik, difenilhidantoin, dan antihistmanin).5 Hallain yang juga berperan sebagai faktot non infeksi penyebab demam adalah gangguan sistem saraf pusat seperti perdarahan otak, status epileptikus, koma,cedera hipotalamus, dan gangguan lainnya. 6 Demam terjadi karena adanya suatu zat yang dikenal dengan pirogen. Pirogen terbagi dua yaitu pirogen eksogen adalah produk mikroorganisme seperti toksin 10

atau mikroorganisme seutuhnya. Jenis lain dari pirogen adalah pirogen endogen yang merupakan pirogen yang berasal dari dalam tubuh antara lain IL-1, IL-6, TNFα, dan IFN. Proses terjadinya demam dimulai dari stimulasi sel-sel darah putih oleh pirogen eksogen baik berupa toksin, mediator inflamasi atau reksi imun. Sel-sel darah putih tersebut akan mengeluarkan zat kimia yang dikenal dengan pirogen endogen (IL-1, IL-6, TNF-α, dan IFN). Pirogen eksogen dan pirogen endogen akan merangsang

endotelium

hipotalamus

untuk

membentuk

prostaglandin.7

Prostaglandin yang terbentuk kemudian akan meningkatkan patokan termostat di pusat termoregulasi hipotalamus. Hipotalamus akan menganggap suhu sekarang lebih rendah dari suhu patokan yang baru sehingga ini memicu mekanismemekanisme untuk meningkatkan panas antara lain menggigil, vasokonstriksi kulit dan mekanisme volunter seperti memakai selimut. Sehingga akan terjadi peningkatan produksi panas dan penurunan pengurangan panas yang pada akhirnya akan menyebabkan suhu tubuh naik ke patokan yang baru tersebut.8 b. Nyeri Kepala Penyebab dari nyeri kepala tegang otot ini masih belum diketahui. Diduga dapatdisebabakan oleh faktor psikis maupun fakor fisik. Secara psikis, nyeri kepala ini dapattimbul akibat reaksi tubuh terhadap stress, kecemasan, depresi maupun konflik emosional. Sensitisasi nyeri kepala terdapat di nosiseptor meningeal dan neuron trigeminal sentral. Sebagian besar pembuluh darah intrakranial mendapatkan inervasi sensoris dari ganglion trigeminal, dan menghasilkan neuropeptida yang akan mengaktivasi nosiseptor –nosiseptor. Batang otak merupakan organ yang memiliki peranan penting dalam transmisi dan modulasi nyeri baik secara ascending maupun descending. Periaquaductal grey matter, locus coeruleus, nucleus raphe magnus dan reticular formation yang berada di batang otak akan mengatur integrasi nyeri, emosi dan respons otonomik.9,10

11

Gambar. Patogenesis Nyeri Kepala (Sumber: Alehan, F. 2010. Obesity and Paediatric Migraine)

- Rangsangan yang menganggu diterima oleh nosiseptor (reseptor nyeri) polimodal dan mekanoreseptor di meninges dan neuron ganglion trigeminal. - Pada innervasi sensoris pembuluh darah intrakranial (sebagian besar berasal dari ganglion trigeminal) di dalamnya mengandung neuropeptida seperti CGRP / Calcitonin Gene Related Peptide, Substance P, Nitric oxide, bradikinin, serotonin yang semakin mengaktivasi / mensensitisasi nosiseptor. - Rangsangan di bawa menuju cornu dorsalis cervical atas. - Transmisi dan modulasi nyeri terletak pada batang otak (periaquaductal grey matter, nucleus raphe magnus, formasio retikularis). - Hipotalamus dan sistem limbik memberikan respon perilaku dan emosional terhadap nyeri. - Pada talamus hanya terjadi persepsi nyeri. - Dan terakhir pada korteks somatosensorik dapat mengetahui lokasi dan derajat intensitas nyeri.

12

b. Malaise Perasaan lemah yang tak terbatas atau kurang sehat sering kali mengindikasikan atau menyertai timbulnya suatu penyakit, biasanya orang yang terinfeksi penyakit akan merasakan malaise secara umum. Bisa juga diartikan sebagai perasaan tidak jelas

atau

tidak

fokus

tentang

kegelisahan

mental,

kelesuhan,

atau

ketidaknyamanan.

4. Diagnosis banding 4.1 Varicella 4.1.1 Definisi11 Varisela atau yang biasa kita kenal dengan cacar air atau chicken pox adalah penyakit infeksi akut primer oleh Virus Varisela Zoster (VVZ) yang menyerang kulit dan mukosa, klinis terdapat gejala konstitusi, disertai kelainan kulit polimorf, terutama berlokasi di bagian sentral tubuh. Virus Varisela Zoster memiliki amplop, berbentuk ikosahedral, DNA berantai ganda, yang masih termasuk keluarga herpes virus. 4.1.2 Epidemiologi Varisela terdapat di seluruh dunia, dan tidak ada perbedaan ras maupun jenis kelamin. Varisela dapat mengenai semua kelompok umur termasuk neonatus, tetapi hampir sembilan puluh persen kasus mengenai anak dibawah umur 10 tahun dan usia puncak terjadinya adalah 5-10 tahun. Penularan terjadi akibat kontak langsung, atau melalui udara. Di Amerika Serikat, sebelum diperkenalkan vaksin varisela terjadi epidemi tahunan setiap musim dingin dan musim semi. Tercatat angka kejadian sekitar 4 juta kasus, dan pada tahun 2000 menurun 71%-84% sejak diperkenalkannya vaksin varisela. Angka kejadian varisela di Indonesia belum pernah diteliti sedangkan berdasarkan data dari poliklinik umum Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta (IKARSCM) pada tahun 2005

13

sampai 2010 tercatat 77 kasus varisela tanpa penyulit. Penelitian varisela pada anak tahun 2009 - 2011 di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou yang dilakukan oleh Harahap J ditemukan 16 penderita (27,12%) varisela diantara 59 penderita penyakit infeksi virus lainnya.11 4.1.3 Etiologi Varicella, atau cacar air disebabkan oleh virus varicella zoster (VZV), DNA alpha-herpesvirus berganda. VZV masih termasuk dalam family virus herpes. Sama seperti virus herpes lainnya, VZV memiliki kapasitas untuk bertahan dalam tubub setelah infeksi primer sebagai infeksi laten. VZV tetap dalam ganglia saraf sensorik. Infeksi primer menyebabkan terjadinya varicella (chicken pox), sementara herpes zoster (shingles) adalah akibat dari infeksi berulang. VZV ini ditransmisikan dari manusia ke manusia dengan tetesan cairan vesikel.12 4.1.4 Patogenesis13 Seperti yang telah diketahui, bahwa penyebab varicella adalah varicella zoster cirus (VZV). VZV ini berbentuk bulat, berdiameter 150-200 nm, DNA terletak diantara nukleokapsid, dan dikelilingi oleh selaput membrane luar dengan sedikitnya terdapat tiga tonjolan glikoprotein mayor. Glikoprotein ini yang merupakan target imunitas humoral dan seluler. VZV masuk ke dalam tubuh melalui mukosa saluran napas atas atau orofaring. Virus bermultiplikasi di tempat masuk (port d’entry), menyebar melalui pembuluh darah dan limfe, mengakibatkan viremia primer. Tubuh mencoba mengeliminasi virus terutama melalui system pertahanan tubuh non spesifik, dan imunitas spesifik dari VZV. Apabila pertahanan tubuh tersebut gagal mengeliminasi virus terjadi viremia sekunder lebih dua minggu setelah infeksi. Viremia ini ditandai oleh erupsi varicella, terutama di bagian sentral tubuh dan bagian perifer lebih ringan. Pemahaman baru menyatakan bahwa erupsi kulit sudah dapat terjadi setelah viremia primer. Setelah erupsi kulit dan mukosa, virus masuk ke ujung saraf sensorik kemudian menjadi laten di ganglion dorsalis posterior. Pada suatu saat, bila terjadi reaktivasi VZV, dapat terjadi manifestasi herpes zoster, sesuai dermatom yang terkena.

14

4.1.5 Gejala klinis14,15 Masa inkubasi antara 14 sampai 16 hari setelah paparan, dengan kisaran 10 sampai 21 hari. Masa inkubasi dapat lebih lama pada pasien dengan defisiensi imun dan pada pasienyang telah menerima pengobatan pasca paparan dengan produk yang mengandung antibodi terhadap varicella. Gejala Prodromal Pada anak kecil jarang terdapat gejala prodromal. Sementara pada anak yang lebih besar dan dewasa, ruam yang

seringkali didahului oleh

demam selama 2-

3 hari, kedinginan, malaise, anoreksia, nyeri punggung, dan pada beberapa pasien dapat disertai nyeri tenggorokan dan batuk kering. Ruam pada Varicella Pada pasien yang belum mendapat vaksinasi, ruam dimulai dari muka dan skalp, dan kemudian menyebar secara cepat ke badan dan sedikit ke ekstremitas. Lesi baru muncul berturut-turut, dengan distribusi terutama di bagian sentral. Ruam cenderung padat kecil-kecil di punggung dan antara tulang belikat daripada skapula dan bokong dan lebih banyak terdapat pada medial daripada tungkai sebelah lateral. Tidak jarang terdapat lesi di telapak tangan dan telapak kaki, dan vesikula sering muncul sebelumnya dan dalam jumlah yanglebih besar di daerah peradangan, seperti daerah yang terkena sengatan matahari.

Gambar 1 Infeksi VZV : Varicella

Gambar 2 Infeksi VZV : Varicella dengan imunisasi

15

Gambaran dari lesi varicella berkembang secara cepat, yaitu lebih kurang 12 jam, dimana mula-mula berupa makula eritematosa yang berkembang menjadi papul, vesikel, pustul, dan krusta. Vesikel dari varicella berdiameter 2-3 mm, dan berbentuk elips, dengan aksis panjangnya sejajar dengan lipatan kulit. Vesikel biasanya superfisial dan berdinding tipis, dan dikelilingi daerah eritematosa sehingga tampak terlihat seperti “embun di atas daun mawar”. Cairan vesikel cepat menjadi keruh karena masuknya sel radang, sehingga mengubah vesikel menjadi pustul. Lesi kemudian mengering, mula-mula di bagian tengah sehingga menyebabkan umbilikasi dan kemudian menjadi krusta. Krusta akan lepas dalam 1-3 minggu, meninggalkan bekas bekas cekung kemerahan yang akan berangsur menghilang. Apabila terjadi superinfeksi dari bakteri maka dapat terbentuk jaringan parut. Lesi yang telah menyembuh dapat meninggalkan bercak hipopigmentasi yang dapat menetap selama beberapa minggu/bulan. Vesikel juga terdapat di mukosa mulut, hidung, faring, laring, trakea, salurancerna, kandung kemih, dan vagina. Vesikel di mukosa ini cepat pecah sehingga seringkali terlihat sebagai ulkus dangkal berdiameter 2-3 mm.

Gambar . Lesi dengan spektrum luas

Gambaran khas dari varicella adalah adanya lesi yang muncul secara simultan (terus-menerus), di setiap area kulit, dimana lesi tersebut terus berkembang. Suatu prospective study menunjukkan rata-rata jumlah lesi pada anak yang sehat berkisar antara 250-500. Pada kasus sekunder karena paparan di rumah

16

gejala klinisnya lebih berat daripada kasus primer karena paparan di sekolah, hal ini mungkin disebabkan karena paparan di rumah lebih intens dan lebih lama sehingga inokulasi virus lebih banyak. Demam biasanya berlangsung selama lesi baru masih timbul, dan tingginya demam sesuai dengan beratnya erupsi kulit. Jarang di atas 39ºC, tetapi pada keadaan yang berat dengan jumlah lesi banyak dapat mencapai 40,5ºC. Demam yang berkepanjangan atau yang kambuh kembali dapat disebabkan oleh infeksi sekunder bakterial atau komplikasi lainnya. Gejala yang paling mengganggu adalah gatal yang biasanya timbul selama stadium vesikuler. 4.1.6 Diagnosis14,15 Varicella biasanya mudah didiagnosa berdasarkan penampilan dan perubahan pada karakteristik dari ruam yang timbul, terutama apabila ada riwayat terpapar varicella 2-3 minggu sebelumnya. Laboratorium

Gambar. Pewarnaan Tzanck

Lesi pada varicella dan herpes zoster tidak dapat dibedakan secara histopatologi. Pada pemeriksaan menunjukkan sel raksasa berinti banyak dan sel epitel yang mengandung badan inklusi intranuklear yang asidofilik. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan pewarnaan Tzanck, dimana bahan pemeriksaan dikerok dari dasar vesikel yang muncul lebih awal, kemudian diletakkan di atas object glass, dan difiksasi dengan ethanol atau methanol, dan diwarnai dengan pewarnaan hematoxylin-eosin, Giemsa, Papanicolaou, atau pewarnaan Paragon.

17

Di samping itu Varicella Zoster Virus (VZV) polymerase chain reaction (PCR) adalah metode pilihan untuk diagnosis varicella. VZV juga dapat diisolasi dari kultur jaringan, meskipun kurang sensitif dan membutuhkan beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya. Bahan yang paling sering digunakan adalah isolasi dari cairan vesikuler. VZV PCR adalah metode pilihan untuk diagnosis klinis yang cepat. Real-time PCR metode tersedia secara luasdan merupakan metode yang paling sensitif dan spesifik dari tes yang tersedia. Hasil tersedia dalam beberapa jam. Jika real-time PCR tidak tersedia, antibodi langsung metode (DFA) neon dapat digunakan,

meskipun

kurang

sensitif

dibanding

PCR

dan

membutuhkan pengambilan spesimen yang lebih teliti. Berbagai tes serologi untuk antibodi terhadap varicella tersedia secara komersial termasuk uji aglutinasi lateks (LA) dan sejumlah enzyme-linked immunosorbent tes (ELISA). Saat ini tersedia metode ELISA, dan ternyata tidak cukup sensitif untuk mampu mendeteksi serokonversi terhadap vaksin, tetapi cukup kuat untuk mendeteksi orang yang memiliki kerentanan terhadap VZV. ELISA sensitif dan spesifik, sederhana untuk melakukan, dan banyak tersedia secara komersial. Di samping itu LA juga tersedia secara sensitif, sederhana,dan cepat untuk dilakukan. LA agak lebih sensitif dibandingkan ELISA komersial, meskipundapat menghasilkan hasil yang positif palsu, dan dapat menyebabkan kegagalan untuk mengidentifikasi orang-orang yang tidak terbukti memiliki imunitas terhadap varicella. Dimana salah satu dari tes ini akan berguna untuk skrining kekebalan terhadap varicella. 4.1.7 Penatalaksanaan14,15 a. Antivirus Beberapa analog nukleosida seperti acyclovir, famciclovir, valacyclovir, dan brivudin, dan analog pyrophosphate foskarnet terbukti efektif untuk mengobati infeksi VZV. Acyclovir adalah suatu analog guanosin yang secara selektif difosforilasi oleh timidin kinase VZV sehingga terkonsentrasi pada sel yang terinfeksi. Enzim-enzim selular kemudian mengubah acyclovir monofosfat menjadi trifosfat yang mengganggu sintesis DNA virus dengan menghambat DNA

18

polimerase virus. VZV kira-kira sepuluh kali lipat kurang sensitif terhadap acyclovir dibandingkan HSV. Valacyclovir dan famcyclovir, merupakan prodrug dari acyclovir yang mempunyai bioavaibilitas oral lebih baik daripada acyclovir sehingga kadar dalam darah lebih tinggi dan frekuensi pemberian obat berkurang. b. Topikal Pada anak normal varicella biasanya ringan dan dapat sembuh sendiri. Untuk mengatasi gatal dapat diberikan kompres dingin, atau lotion kalamin, antihistamin oral. Cream dan lotion yang mengandung kortikosteroid dan salep yang bersifat oklusif sebaiknya tidak digunakan. Kadang diperlukan antipiretik, tetapi pemberian olongan salisilat sebaiknya dihindari karena sering dihubungkan dengan terjadinya sindroma Reye. Mandi rendam dengan air hangat dapat mencegah infeksi sekunder bakterial. c. Anti virus pada anak Pengobatan dini varicella dengan pemberian acyclovir (dalam 24 jam setelah timbul ruam) pada anak imunokompeten berusia 2-12 tahun dengan dosis 4x20 mg/kgBB/hari selama 5 hari menurunkan jumlah lesi, penghentian terbentuknya lesi yang baru, dan menurunkan timbulnya ruam, demam, dan gejala konstitusi bila dibandingkan dengan placebo. Tetapi apabila pengobatan dimulai lebih dari 24 jam setelah timbulnya ruam cenderung tidak efektif lagi. Hal ini disebabkan karena varicella merupakan infeksi yang relatif ringan pada anak-anak dan manfaat klinis dari terapi tidak terlalu bagus, sehingga tidak memerlukan pengobatan acyclovir secara rutin. Namun pada keadaan dimana harga obat tidak menjadi masalah, dan kalau pengobatan bisa dimulai pada waktu yang menguntungkan menguntungkan pasien (dalam 24 jam setelah timbul ruam), dan ada kebutuhan untuk mempercepat penyembuhan sehingga orang tua pasien dapat kembali bekerja, maka obatantivirus dapat diberikan. d. Pada remaja dan dewasa Pengobatan dini varicella dengan pemberian acyclovir dengan dosis 5x800 mgselama 5 hari menurunkan jumlah lesi, penghentian terbentuknya lesi yang baru,

19

dan menurunkan timbulnya ruam, demam, dan gejala konstitusi bila dibandingkan dengan placebo. Secara acak, pemberian placebo dan acyclovir oral yang terkontrol pada orang dewasa muda yang sehat dengan varicella menunjukkan bahwa pengobatan dini (dalam waktu 24 jamsetelah timbulnya ruam) dengan acyclovir oral ( 5x800 mg selama 7 hari ) secara signifikan mengurangi terbentuknya lesi yang baru, mengurangi luasnya lesi yang terbentuk, dan menurunkan gejala dan demam. Dengan demikian, pengobatan rutin dari varicella pada orang dewasa tampaknya masuk akal. Meskipun tidak diuji, ada kemungkinan bahwa famciclovir,yang diberikan dengan dosis 500 mg per oral setiap 8 jam, atau valacyclovir dengan dosis1000 mg per oral setiap 8 jam mudah dan tepat sebagai pengganti acyclovir pada remajanormal dan dewasa, Banyak dokter tidak meresepkan acyclovir untuk varicella selama kehamilan karena risiko bagi janin yang dalam pengobatan belum diketahui. Sementaradokter lain merekomendasikan pemberian acyclovir secara oral untuk infeksi pada trisemester ketiga ketika organogenesis telah sempurna, ketika mungkin ada peningkatanterjadinya resiko pneumonia varicella, dan ketika infeksi dapat menyebar ke bayi yang barulahir. Pemberian acyclovir intravena sering dipertimbangkan untuk wanita hamil denganvaricella yang disertai dengan penyakit sistemik. 4.1.8 Komplikasi Pada anak-anak, varicella jarang disertai komplikasi. Komplikasi tersering umumnya disebabkan oleh infeksi sekunder bakterial pada lesi kulit, yang biasanya disebabkan oleh stafilokokus atau streptokokus, sehingga terjadi impetigo, furunkel, selulitis, atau erisipelas, tetapi jarang terjadi gangren. Infeksi fokal tersebut sering menyebabkan jaringan parut, tetapi jarang terjadi sepsis yang disertai infeksi metastase ke organ yang lainnya. Vesikel dapat menjadi bula bila terinfeksi stafilokokus yang menghasilkan toksin eksfoliatif. Pneumonia, otitis media, dan meningitis supurativa jarang terjadi dan responsifterhadap antibiotik yang tepat. Bagaimanapun juga, superinfeksi bakteri umum dijumpai dan berpotensi mengancam kehidupan pada pasien dengan leukopenia.

20

Pada orang dewasa demam dan gejala konstitusi biasanya lebih berat dan berlangsung lebih lama, ruam varicella lebih luas, dan komplikasi lebih sering terjadi. Pneumonia varicella primer merupakan komplikasi tersering pada orang dewasa. Pada beberapa pasien gejalanya asimpomatis, tetapi yang lainnya dapat berkembang mengenai sistem pernafasan dimana gejalanya dapat lebih parah seperti batuk, dyspnea, tachypnea, demam tinggi, nyeri dada pleuritis, sianosis, dan batuk darah yang biasanya timbul dalam 1-6 hari sesudah timbulnya ruam. Varicella pada kehamilan mengancam ibu dan janinnya. Infeksi yang menyebar luas dan varicella pneumonia dapat mengakibatkan kematian pada ibu, tetapi baik kejadian maupun keparahan pneumonia varicella tampaknya meningkat secara signifikan pada kehamilan. Janin dapat meninggal karena kelahiran prematur atau kematian ibu karena varicella pneumonia berat, tetapi varicella selama kehamilan, tidak, jika tidak secara subtansial meningkatkan kematian janin. Namun demikian, pada varicella yang tidak disertai komplikasi, viremia pada ibu dapat menyebabkan

infeksi

intrauterin

(kongenital),

dan

dapat

menyebabkan

abnormalitas kongenital. Varicella perinatal (varicella yang terjadi dalamwaktu 10 hari dari kelahiran) lebih serius daripada varicella yang terjadi pada bayi yang terinfeksi beberapa minggu kemudian. Morbiditas dan mortalitas pada varicella secara nyata meningkat pada pasien dengan defisiensi imun. Pada pasien ini replikasi virus yang terus-menerus dan menyebar luas mengakibatkan terjadinya viremia yang berkepanjangan, dimana mengakibatkan ruam yang semakin luas, jangka waktu yang lebih lama dalam pembentukan vesikel baru, dan penyebaran visceral klinis yang signifikan. Pada pasien dengan defisiensi imun dan diterapi dengan kortikosteroid mungkin dapat berkembang menjadi pneumonia, hepatitis, encephalitis, dan komplikasi berupa perdarahan, dimana derajat keparahan dimulai dari purpura yang ringan hingga parah dan seringkali mengakibatkan purpura yang fulminan dan varicella malignansi. Komplikasi susunan saraf pusat pada varicella terjadi kurang dari 1 diantara 1000 kasus. Varicella berhungan dengan sindroma Reye (ensepalopati akut disertai degenerasi lemak di liver) yang khas terjadi 2 hingga 7 hari setelah timbulnya ruam. 21

Dulu, dari 15-40% pada semua kasus sindroma Reye berhubungan dengan varicella, khususnya pada penderitayang diterapi dengan aspirin saat demam, dengan mortalitas setinggi 40%. Ataksia serebri akut lebih umum terjadi daripada kelainan neurologi yang lainnya. Encephalitis lebih jarang lagi terjadi yaitu pada 1 diantara 33.000 kasus, tetapi merupakan penyebab kematian tertinggi atau menyebabkan kelainan neurologi yang menetap. Patogenesa terjadinya ataksia serebelar dan ensephalitis tetap jelas, dimana pada banyak kasus ditemukan adanya VZV antigen, VZV antibodi, dan VZV DNA pada cairan cerebrospinal pada pasien, yang diduga menyebabkan infeksi secara langsung pada sistem saraf pusat. Komplikasi yang jarang terjadi antara lain myocarditis, pancreatitis, gastritis dan lesi ulserasi pada saluran pencernaan, artritis, vasculitis HenochSchonlein, neuritis, keratitis, daniritis. Patogenesa dari komplikasi ini belum diketahui, tetapi infeksi VZV melalui parenkim secara langsung dan endovascular, atau vasculitis yang disebabkan oleh VZV antigen-antibodi kompleks, tampaknya menjadi penyebab pada kebanyakan kasus. 4.1.8 Preventif a. Vaksin varicella Karakteristik Vaksin varicella (Varivax, Merck) merupakan vaksin virus hidup yang dilemahkan,yang berasal dari strain Oka VZV. Virus vaksin diisolasi oleh Takahashi pada awal tahun1970 dari cairan vesikular yang berasal dari anak sehat dengan penyakit varicella. Vaksinvaricella ini dilisensikan untuk penggunaan umum di Jepang dan Korea pada tahun 1988.Vaksin ini diijinkan di Amerika Serikat pada tahun 1995 untuk orang-orang usia 12 bulan dan yang lebih tua. Keefektifan Vaksin Setelah pemberian satu dosis tunggal vaksin varicella antigen, 97% dari anak yang berusia 12 bulan sampai 12 tahun mengembangkan titer antibodi yang dapat terdeteksi.Sedangkan lebih dari 90% dari responden vaksin mempertahankan antibodi untuk setidaknya 6 tahun. Dalam studi di Jepang, 97% dari anak-anak memiliki antibodi 7 sampai 10 tahun setelah vaksinasi. Efikasi vaksin diperkirakan

22

memiliki ketahanan 70% sampai 90% terhadap infeksi, dan 90% sampai 100% terhadap penyakit sedang atau berat. Di antara remaja yang sehat dan orang dewasa yang berusia 13 tahun dan yang lebih tua, rata-rata 78% mengembangkan antibodi setelah pemberian satu dosis, dan 99% mengembangkan antibodi setelah pemberian dosis kedua yang diberikan 4 sampai 8 minggu kemudian. Antibodi bertahan selama minimal 1 tahun pada 97% dari pemberian vaksinvaricella setelah dosis kedua yang diberikan pada 4 sampai 8 minggu setelah dosis pertama. Kekebalan tampaknya bertahan lama, dan mungkin permanen di sebagian besarvaksin. Infeksi pada orang yang pernah mendapat vaksin secara signifikan lebih ringan,dengan lesi sedikit (biasanya kurang dari 50), banyak yang makulopapular daripadavesikuler. Dimana kebanyakan orang yang pernah mendapat vaksinasi sebelumnya tidak terjadi demam. Meskipun pada penemuan dari beberapa studi telah menyarankan sebaliknya, penyelidikan sebagian belum diidentifikasi waktu sejak vaksinasi sebagai faktor risiko untukterobosan varicella. Beberapa, tetapi tidak semua, penyelidikan baru-baru telahmengidentifikasi adanya asma, penggunaan steroid, dan vaksinasi di lebih muda dari 15 bulanusia sebagai faktor risiko untuk terobosan varicella. Terobosan infeksi varicella bisa menjadihasil dari beberapa faktor, termasuk gangguan replikasi virus vaksin oleh sirkulasi antibodi,vaksin impoten akibat kesalahan penyimpanan atau penanganan, atau pencatatan tidak akurat. Penelitian telah menunjukkan bahwa dosis kedua vaksin varicella meningkatkankekebalan dan mengurangi penyakit terobosan pada anak-anak. Jadwal Vaksinasi dan Penggunaan Vaksin varicella dianjurkan untuk semua anak tanpa kontraindikasi yang berusia 12sampai 15 bulan. Vaksin ini dapat diberikan kepada semua anak pada usia ini terlepas dari riwayat varicella. Dosis kedua vaksin varicella harus diberikan pada 4 sampai 6 tahun kemudian. Dosiskedua dapat diberikan lebih awal dari 4 sampai 6 tahun jika setidaknya 3 bulan telah berlalusetelah dosis pertama (yaitu, interval minimum antara dosis vaksin varicella untuk anak-anak berusia di bawah 13 tahun adalah 3

23

bulan). Namun, jika dosis kedua diberikan setidaknya 28hari setelah dosis pertama, dosis kedua tidak perlu diulang. Dosis kedua vaksin varicella ini juga dianjurkan bagi orang yang lebih tua, dimana vaksin varicella diberikan kepada orang-orang 13 tahun atau lebih pada 4 sampai 8 minggu kemudian. Semua vaksin varicella harus diberikan melalui secara subkutan. Vaksin varicellatelah terbukti aman dan efektif pada anak-anak yang sehat bila diberikan pada saat yang sama sebagai vaksin MMR di lokasi terpisah dan dengan jarum suntik yang terpisah. Jika vaksin varicella dan MMR tidak diberikan pada kunjungan yang sama, maka pemberian harus dipisahkan setidaknya 28 hari. Vaksin varicella juga dapat diberikan simultan (tapi di lokasi terpisah dengan jarum suntik yang terpisah) dengan semua vaksin anak lainnya.

b. Profilaksis Pasca Terpapar Data dari Amerika Serikat dan Jepang dalam berbagai penelitian menunjukkan bahwa vaksin varicella ternyata efektif sekitar 70% sampai 100% dalam mencegah penyakit atau terjadinya keparahan penyakit jika digunakan dalam waktu 3 hari, dan mungkin sampai 5 hari, setelah paparan. ACIP merekomendasikan vaksin untuk digunakan pada orang yang tidak terbukti memiliki kekebalan terhadap varicella atau pada orang yang terpapar varicella.Jika paparan terhadap varicella tidak menyebabkan infeksi, vaksinasi pasca paparan harus diberikan untuk memberi perlindungan terhadap paparan berikutnya. Wabah varicella yang terjadi dalam beberapa keadaan (misalnya,pada tempat penitipan anak, dan sekolah) dapat bertahan sampai dengan 6 bulan. Tetapi vaksin varicella diketahui telah berhasil digunakan untuk mengendalikan wabah. ACIP merekomendasikan pemberian dosis kedua vaksin varicella untuk pengendalian wabah. Jadi selama wabah varicella, orang-orang yang telah menerima satu dosis vaksin varicella harus menerima dosis kedua, yang diberikan sesuai dengan interval vaksinasi yang telah berlalu sejak dosis pertama (3 bulan untuk orang yang berusia 12 bulan sampai 12 tahun dan setidaknya 4 minggu untukorang yang berusia 13 tahun dan lebih tua).

24

c. Kontraindikasi dan Tindakan Pencegahan untuk Vaksinasi Seseorang dengan reaksi alergi yang parah (anafilaksis) dengan komponen vaksin atau setelah dosis sebelumnya, seharusnya tidak menerima vaksin varicella. Orang dengan imunosupresi karena leukemia, limfoma, keganasan umum, penyakit defisiensi imun, atau terapi imunosupresif tidak harus divaksinasi dengan vaksin varicella. Namun, pengobatan dengan dosis rendah (kurang dari 2 mg / kg / hari), topikal, penggantian, atau steroid aerosol bukan merupakan kontraindikasi untuk vaksinasi. Orang yang imunosupresif yang diterapi dengan steroid telah dihentikan selama 1 bulan (3 bulan untuk kemoterapi) dapat divaksinasi. Orang dengan imunodefisiensi seluler sedang atau berat akibat infeksi human immunodeficiency virus (HIV), termasuk orang-orang yang didiagnosis dengan acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) tidak boleh menerima vaksin varicella. Anak yangterinfeksi HIV dengan persentase CD4 T-limfosit 15% atau lebih tinggi, dan anak-anak yanglebih tua dan orang dewasa dengan jumlah CD4 200 per mikroliter atau lebih tinggi dapatdipertimbangkan untuk vaksinasi. Wanita yang diketahui hamil atau mencoba untuk hamil sebaiknya tidak menerimanvaksin varicella. Sampai saat ini, tidak ada bukti yang merugikan kehamilan atau janin yang dilaporkan di kalangan perempuan yang secara tidak sengaja menerima vaksin varicella sesaat sebelum atau selama kehamilan. Tetapi ACIP

merekomendasikan kehamilan harus dihindari selama 1 bulan setelah

menerima vaksin varicella. Vaksinasi pada orang dengan penyakit akut, sedang atau berat sebaiknya ditunda sampai kondisi telah membaik. Tindakan pencegahan ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya komplikasi pada pasien , seperti demam. Pada penyakit yang cenderung ringan ,seperti otitis media dan infeksi saluran pernapasan atas, mendapat terapi antibiotik, dan paparan atau pemulihan dari penyakit lain tidak kontraindikasi terhadap vaksin varicella. Meskipun tidak ada bukti bahwa baik varicella atau vaksin varicella memperburuk tuberkulosis, vaksinasi tidak dianjurkan untuk orang-orang yang dikenal memiliki TB aktif.

25

4.2 Variola2 4.2.1 Defenisi Variola ialah penyakit virus yang di sertai keadaan umum yang buruk, dapat menyebabkan kematian, efloresensinya bersifat monomorf terutama terdapat di perifer tubuh. 4.2.2 Epidemiologi Penyebaran penyakit ini kosmopolit, Tetapi pada daerah tertentu memberi insidens yang tinggi, misalnya di amerika tengah dan selatan, hindia barat, dan timur jauh. Dengan vaksinisasi yang teratur dan terorganisasi baik, maka insidens akan jauh menurun, sehingga di daerah yang sebelumnya terdapat endemi tidak lagi dijumpai kasus variola dan daerah ini dapat disebut sebagai bebas variola seperti di indonesia. Sejak tahun 1984, WHO menyatakan seluruh dunia telah bebas dari penyakit ini. Meskipun demikian kita harus waspada terhadap munculnya kembali penyakit ini. 4.2.3 Etiologi

Gambar. Virus Poks

Penyebab variola ialah virus poks (pox virus variola). Dikenal 2 tipe virus yang hampir identik, tetapi menyebabkan 2 tipe variola, yaitu variola mayor dan variola minor (alastrim). Perbedaan kedua tipe virus tersebut adalah bahwa virus yang menyebabkan variola mayor bila diinokulasikan pada membran korioalantoik tumbuh pada suhu 38-38,5°C, sedangkan yang menyebabkan variola minor tumbuh dibawah suhu 38°C. Virus ini sangat stabil pada suhu ruangan,

sehingga dapat

hidup di luar tubuh selama berbulan-bulan. 26

4.2.4 Patogenesis Transmisi terjadi secara arrogen karena virus ini terdapat dalam jumlah yang sangat banyak di saluran napas bagian atas dan juga terdapat/terbawa di pakaian penderitaan. Setelah masuk ke dalam tubuh, virus akan mengalami multipikasi dalam sistem retikuloendotelial, kemudian masuk ke dalam darah (virema) dan melepaskan diri melalui kapiler dermis menuju sel epidermis (epidermotropik) dan membentuk badan inklusi intra sitoplasma yang terletak di inti sel (badan guarneri). Tipe variola yang timbul tergantung pada imunitas, tipe virus dan gizi penderita. 4.2.5 Gejala klinik

Gambar. Variola pada kaki

Gambar. Variola pada tangan

Inkubasinya 2-3 minggu, terdapat 4 stadium : 1. Stadium inkubasi erupsi (prodromal) Terdapat nyeri kepala, nyeri tulang dan sendi disertai demam tinggi, menggigil, lemas, dan muntah-muntah, yang berlangaung selama 3-4 hari. 2. Stadium makulo-papular Timbul banyak makula eritomatosa yang cepat menjadi papul, terutama di wajah dan ekstremitas, termasuk telapak tangan dan telapak kaki. Pada stadium ini suhu tubuh normal kembali, penderita merasa sehat dan tidak timbul lesi baru.

27

3. Stadium vesikulo-pustulosa Dalam waktu 5-10 hari timbul vesikel yang kemudian menjadi pustul dan pada saat ini suhu tubuh meningkat lagi. Pada kelainan tersebut timbul umbilikasi. 4. Stadium resolusi Stadium ini berlangsung dalam waktu 2 minggu, timbul krusta dan suhu tubuh mulai menurun. Kemudian, krusta terlepas dan menibggalkan sikatriks yang atrofi. Kadang-kadang dapat timbul perdarahan yang disebabkan depresi hematopoietik dan disebut sebagai black variola yang sering batal. Mortalitas variola bervariasi di antara 1-50%. 4.2.6 Penunjang diagnosis Terdiri atas inokulasi pada koriolantoik, pemeriksaan virus dengan mikroskop elektron dan deteksi antigen virus pada agar sel. Kecuali itu juga pemeriksaan histopatologik dan tes serologik (tes ikatan komplemen). 4.2.7 Pengobatan Penderita harus dikarantinakan. Sistemik dapat diberikan obat antiviral (asiklovir atau valasiklovir) misalnya isoprinoson dan interferon dapat pula diberikan globulin gama. Kecuali itu obat bersifat simtomatik misalnya analgetik/antipiretik. Diawasi pula kemungkinan timbulnya infeksi sekunder, maupun infeksi nosokomial, serta cairan tubuh dan elektrolit. Jika dimulut masih terdapat lesi, diberikan makanan lunak. Pengobatan topikal bersifat penunjang, misalnya kompres dengan antiseptik atau salep antibiotik. 4.2.8 Pencegahan Vaksinasi dengan virus vaksinia yang diberikan dengan metode multiple puncture merupakan teknik yang dianggap terbaik. Pada waktu pemberian vaksinasi tempat tersebut tidak dibersihkan dengan alkohol tetapi cukup dengan eter atau aseton agar alkohol tidak menginaktifkan virus vaksinasi tersebut.

28

Kontraindikasi vaksinasi adalah atopi, penderita yang sedang mendapat kortikosteroid dan dengan defisiensi imunologik. 4.2.9 Prognosis Prognosis sangat bergantung pada penatalaksanaan pertama dan fasilitas perawatan yang tersedia, maka mortalitas sangat bervariasi di anatara 1-50%. Jaringan parut yang timbul dapat diperbaiki dengan tindakan dermabrasi atau pemberian collagen implant. 4.2.10 Komplikasi Komplikasi ialah bronkopneumonia infeksi kulit sekunder (furunkel, impetigo dan sebagainya), ulkus kornea, ensefalitis, efluvium, telogen dalam waktu 3-4 bulan.

4.3 Impetigo Bullosa 4.3.1 Definisi Impetigo adalah bentuk pioderma superfisialis yang terbatas pada epidermis. Merupakan kelainan kulit berupa benjolan kecil yang dengan cepat membesar menjadi benjolan besar berisi cairan (bula). Penyebab terseringnya adalah Staphylococcus aureus. Impetigo bulosa adalah jenis impetigo yang khas terjadi pada bayi baru lahir, meskipun dapat terjadi pula pada anak-anak dan orang dewasa.16 4.3.2 Epidemiologi Dalam studi kasus di United Kingdom, insiden terjadinya impetigo pada anak usia hingga 4 tahun adalah 2,8%, sedangkan untuk anak usia 5-15 tahun adalah 1,6 %.17 Impetigo Bulosa sendiri sering terjadi pada anak baru lahir, tetapi dapat juga terjadi pada anak-anak dan orang dewasa.16

29

4.3.3 Etiologi Penyebab tersering dari Impetigo Bulosa disebabkan oleh Staphylococcus aureus.16 Staphylococcus merupakan bakteri sel gram positif yang memiliki bentuk bulat dan berukuran 1 µm, biasanya tersusun dalam bentuk kluster yang tidak teratur, kokus tunggal, berpasangan, tetrad, dan berbentuk rantai juga bisa didapatkan. Cara kerja Staphylococcus dengan melakukan pembelahan diri dan menyebar luas masuk ke dalam jaringan dan melalui produksi beberapa bahan ekstraseluler. Bahan-bahan tersebut berupa enzim dan yang lain berupa toksin meskipun fungsinya adalah sebagai enzim. Staphylococcus dapat menghasilkan beberapa bahan seperti katalase, koagulase, hyaluronidase, eksotoksin, lekosidin, toksin eksfoliatif, toksik sindrom syok toksik, dan enterotoksin. 4.3.4 Patomekanisme Infeksi akibat Staphylococcus aureus dimana sebelumnya diketahui bakteri tersebut dapat menyebabkan penyakit berkat kemampuannya mengadakan pembelahan dan menyebar luas ke dalam jaringan dan melalui produksi beberapa bahan ekstraseluler. Beberapa dari bahan tersebut adalah enzim dan yang lain berupa toksin meskipun fungsinya adalah sebagai enzim. Staphylococcus aureus dapat menghasilkan katalase, koagulase, hyaluronidase, eksotoksin, lekosidin, toksin eksfoliatif, toksik sindrom syok toksik, dan enterotoksin. Toksin yang dihasilkan Staphylococcus aureus ini dapat menyebabkan impetigo menyebar ke area lainnya. Toksin ini menyerang protein yang membantu mengikat sel-sel kulit. Sehingga membuat protein ini rusak, dan semakin memudahkan bakteri menyebar dengan cepat. Dan enzim yang dikeluarkan oleh Staphylococcus aureus akan membuat struktur kulit rusak dan akan timbul rasa gatal yang dapat menyebabkan terbentuknya lesi pada kulit. 18 Pada awalnya, rasa gatal dengan lesi berbentuk berupa makula eritematosa yang berukuran 1-2 mm, kemudian berubah menjadi bula atau vesikel. Pada Impetigo Bulosa, bula yang timbul secara tiba tiba pada kulit yang sehat dari plak 30

(penonjolan datar di atas permukaan kulit) merah, berdiameter 1-5 cm, pada daerah dalam dari alat gerak (daerah ekstensor), bervariasi dari miliar sampai lentikular dengan dinding yang tebal, dapat bertahan selama 2 sampai 3 hari. Bila pecah, dapat terlihat krusta berwarna kuning yang mengalir dengan perlahan.18 Impetigo bulosa umumnya disebabkan oleh racun eksfoliatif dari Staphylococcus aureus yang disebut exfoliatins A dan B. Pada tahun 2006, racun eksfoliatif D (ETD) diidentifikasi pada 10% isolat Staphylococcus aureus.19 Eksotoksin ini menyebabkan hilangnya adhesi sel pada dermis superfisial, yang pada gilirannya, menyebabkan lepuh dan kulit mengelupas dengan cara membelah lapisan sel granular epidermis. Salah satu protein target untuk exotoxin A adalah desmoglein I, yang menjaga adhesi sel. Molekul-molekul ini juga merupakan superantigen yang bekerja secara lokal dan mengaktifkan limfosit T. Koagulase dapat menyebabkan toksin ini tetap terlokalisasi dalam epidermis atas dengan memproduksi fibrin thrombi. Tidak seperti impetigo nonbullous, lesi impetigo bulosa terjadi pada kulit yang utuh.18 4.3.5 Gejala Klinis 20,21

Impetigo bulosa paling sering terjadi pada neonatus dan bayi, dan ciri khasnya adalah pertumbuhan cepat vesikel menjadi bula yang lunak. Bula biasanya muncul di area kulit yang normal. Nicolsky sign (kulit yang tampak normal akan terkelupas jika kulit tersebut ditekan dan digeser) negatif. Pada umumnya bula terdiri atas cairan kuning yang jernih yang kemudian menjadi berwarna kuning 31

gelap dan keruh, berbatas tegas dan tidak dikelilingi oleh eritem. Bula terdapat di permukaan kulit, dan dalam satu atau dua hari bula tersebut akan pecah dan kolaps sehingga membentuk krusta yang tipis dan berwarna cokelat terang hingga kuningkuning emas. Keadaan umum tidak dipengaruhi. Pada impetigo bulosa, predileksi tersering adalah di ketiak, dada, punggung. Sering bersama-sama dengan miliaria. Kelainan pada kulit berupa eritema, bula, dan bula hipopion. Kadang-kadang waktu penderita datang berobat, vesikel/bula telah pecah sehingga yang tampak hanya koleret dan dasarnya masih eritematosa. 4.3.6 Penegakan Diagnosis16 Anamnesis Dengan mengajukan beberapa pertanyaan kepada pasien, seperti : tempat timbulnya, riwayat sebelumnya terdapat lepuh, dan lain-lain. Dan pada skenario sudah didaptakan beberapa gejala dan keluhan yang dialami oleh pasien. Pemeriksaan Fisis Dilakukan isnpeksi pada bagian-bagian badan tempat timbulnya bula. Pada hasil inspeksi bisa didapatkan cairan bening atau keruh pada bula dengan dinding yang tebal dan tipis, miliar hingga letikuler, kulit sekitarnya tidak menunjukkan peradangan, kadang-kadang tampak hipopion. Dan pada palpasi, bula bisa didapatkan permukaan bula yang tegang. 4.3.7 Pemeriksaan Penunjang Tes laboratorium dapat dilakukan dengan memeriksa eksudat dari bula di mana dapat dilihat koloni bakteri gram positif. Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes grup 2 dapat dikultur dari spesimen bula yang intak. Histopatologi, lesi dari impetigo bulosa menunjukkan bentuk vesikel di subkorneum atau di stratum granulosum, kadang nampak akantolitik dengan bula,

32

spongiosis, edema papila dermis dan infiltrat campuran limfosit dan neutrofil di sekitar pembuluh darah plexus superfisialis.16 4.3.8 Diagnosis Banding16 Penyakit-penyakit yang dapat dimasukkan sebagai diagnosis banding dari impetigo bulosa adalah dermatitis kontak, pemfigoid bulosa, dermatitis herpetiformis, dan eritema multiforme. Dermatitis Kontak Dermatitis kontak adalah dermatitis yang disebabkan oleh bahan/substansi yang menempel pada kulit. Ada dua jenis dermatitis kontak, yaitu : 1. Dermatitis kontak iritan (DKI), merupakan reaksi peradangan kulit nonimunologik, jadi kerusakan kulit terjadi langsung tanpa didahului proses sensitisasi. DKI timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan melalui kerja kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin, menyingkirkan lemak lapisan tanduk, dan mengubah daya ikat air kulit sehingga kulit menjadi kering. 2. Dermatitis kontak alergi (DKA), terjadi pada seseorang yang telah mengalami terhadap suatu alergen. Mekanisme terjadinya kelainan kulit adalah mengikuti respon imunyang diperantarai oleh cell-mediated immune respons atau reaksi imunologik / hipersensitivitas tipe IV. Penderita umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada keparahan dermatitis dan lokalisasinya. Pada yang akut dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas, kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel, atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi (basah).

33

Pemfigoid Bulosa Pemfigoid bulosa adalah penyakit autoimun kronik yang ditandai oleh adanya bula subepidermal yang besar dan berdinding tegang. Keadaan umum penderita baik. Terdapat pada semua umur terutama pada orang tua. Kelainan kulit terutama terdiri atas bula (dapat bercampur dengan vesikel), berdinding tegang, sering disertai eritema. Predileksinya di ketiak, lengan bawah fleksor, dan lipat paha. Jika bula pecah, terdapat daerah erosif yang luas. Mulut dapat terkena kirakira pada 20% kasus. Pada pemeriksaan histopatologi, dapat dilihat celah di perbatasan dermalepidermal. Bula terletak di subepidermal, sel infiltrat yang utama adalah eosinofil. Pada pemeriksaan imunofluoresensi terdapat endapan IgG dan C3 tersusun seperti pita di Basement Membrane Zone. Dermatitis Herpetiformis Dermatitis herpetiformis (DH) adalah penyakit yang menahun dan residif, ruam bersifat polimorfik terutama berupa vesikel, tersusun berkelompok dan simetrik serta disertai rasa sangat gatal. Penyebabnya belum diketahui. Dermatitis herpertiformis mengenai anak dan dewasa, terbanyak pada umur dekade ketiga. Mulainya penyakit biasa perlahan-lahan, perjalanannya kronik dan residif. Keadaan umum penderita baik. Keluhan utamanya sangat gatal. Predileksi di punggung, daerah sakrum, bokong, daerah ekstensor di lengan atas, sekitar siku, dan lutut. Ruam berupa eritem, papulovesikel, dan vesikel/bula yang berkelompok dan sistemik. Kelainan yang utama ialah vesikel. Oleh karena itu disebut herpetiformis yang berarti seperti herpes zoster. Vesikel-vesikel tersebut dapat tersusun arsinar atau sirsinar. Dinding vesikel atau bula tegang. Pada pemeriksaan histopatologi terdapat kumpulan neutrofil di papil dermis yang membentuk mikroabses neutrofilik. Kemudian terbentuk edema papilar, celah subepidermal, dan vesikel multiokuler dan subepidermal. Terdapat pula eosinofil pada infiltrat dermal dan cairan vesikel. Hasil laboratorium pemeriksaan darah tepi terdapat hipereosinofilia, dapat melebihi 40%. Imunoglobulin A terdapat di papil dermal berbentuk granular di kulit sekitar lesi dan kulit normal.

34

Eritema Multiforme Eritema multiforme (EM) merupakan erupsi mendadak dan rekuren pada kulit dan kadang-kadang pada selaput lendir. Dapat terjadi pada semua umur. Pada anakanak dan dewasa muda, erupsi biasanya disertai dengan infeksi. Gejala klinis berupa spektrum yang bervariasi dari erupsi lokal kulit dan selaput lendir sampai bentuk berupa kelainan multisistem yang dapat menyebabkan kematian. Didapat 2 tipe dasar, yaitu tipe makula-eritem dan tipe vesikobulosa. Pada tipe vesikobulosa, lesi mula-mula berupa makula, papul, dan urtika yang kemudian timbul lesi vesikobulosa di tengahnya. Bentuk ini juga dapat mengenai selaput lendir. 4.3.9 Penatalaksanaan Terapi non-medikamentosa antara lain, menghilangkan krusta dengan cara mandikan anak selama 20-30 menit, disertai mengelupaskan krusta dengan handuk basah, mencegah anak untuk menggaruk daerah lecet, dapat dengan menutup daerah yang lecet dengan perban tahan air dan memotong kuku anak, lakukan drainase pada bula dan pustule secara aseptik dengan jarum suntik untuk mencegah penyebaran lokal, lanjutkan pengobatan sampai semua lesi sembuh dan dapat dilakukan kompres dengan menggunakan larutan natrium klorida (NaCl) 0,9% pada lesi yang basah. Adapun terapi medikamentosa menggunakan terapi topikal dan sistemik. Pengobatan topikal sebelum memberikan salep antibiotik sebaiknya krusta sedikit dilepaskan baru kemudian diberi salep antibiotik. Pada pengobatan topikal impetigo bulosa bisa dilakukan dengan pemberian antiseptik atau salap antibiotik.22 Antiseptik yang dapat dijadikan pertimbangan dalam pengobatan impetigo terutama yang telah dilakukan penelitian di Indonesia khususnya Jember dengan menggunakan Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA) adalah triklosan 2%. Pada hasil penelitian didapatkan jumlah koloni yang dapat tumbuh setelah kontak dengan triklosan 2% selama 30”, 60”, 90”, dan 120” adalah sebanyak 0 koloni. Sehingga dapat dikatakan bahwa triklosan 2% mampu untuk mengendalikan penyebaran penyakit akibat infeksi Staphylococcus aureus.23

35

Antibiotik Topikal dapat menggunakan mupirocin, fusidic acid, ratapamulin, dicloxacillin. Terapi sistemik dapat menggunakan penisilin dan semisintetiknya, ampicillin, amoksicillin, cloxacillin, phenoxymethyl penicillin (penicillin V), eritromisin (bila alergi penisilin), clindamisin (alergi penisilin dan menderita saluran cerna) dan penggunaan terapi antibiotik sistemik lainnya. Tindakan yang bisa dilakukan guna pencegahan impetigo diantaranya cuci tangan segera dengan menggunakan air mengalir bila habis kontak dengan pasien, terutama apabila terkena luka, jangan menggunakan pakaian yang sama dengan penderita, bersihkan dan lakukan desinfektan pada mainan yang mungkin bisa menularkan pada orang lain, setelah digunakan pasien, mandi teratur dengan sabun dan air (sabun antiseptik dapat digunakan, namun dapat mengiritasi pada sebagian kulit orang yang kulit sensitif), higiene yang baik, mencakup cuci tangan teratur, menjaga kuku jari tetap pendek dan bersih, jauhkan diri dari orang dengan impetigo, cuci pakaian, handuk dan sprei dari anak dengan impetigo terpisah dari yang lainnya. Cuci dengan air panas dan keringkan di bawah sinar matahari atau pengering yang panas. Mainan yang dipakai dapat dicuci dengan disinfektan dan gunakan sarung tangan saat mengoleskan antibiotik topikal di tempat yang terinfeksi dan cuci tangan setelah itu.23,24 4.3.10 Komplikasi Dapat berkomplikasi menjadi selulitis, limpangitis, dan bakteremia, sehingga pada keadaan lanjut dapat menjadi osteomielitis, arthritis septic, pneumonia, dan sepsis. Toksin eksfoliatif juga bisa menyebabkan SSSS (Staphylococcal Scaldes-Skin Syndrome) pada anak dan pada orang dewasa dapat terjadi pada orang yang imunokompromais atau terdapat gangguan pada ginjal.22 4.3.11 Prognosis Impetigo bullosa biasanya sembuh dalam waktu 2-3 minggu. Namun, pengobatan menghasilkan angka kesembuhan yang lebih tinggi dan mengurangi penyebaran infeksi ke bagian lain dari tubuh (melalui inokulasi) atau untuk orang lain. Dengan pengobatan yang tepat lesi ini biasanya hilang setelah 7-10 hari.22

36

5. Integrasi keislaman

ْ ُّ‫َّوي ُِحب‬ ‫طﻬِّ ِريْن‬ ََّ َ‫َّﺍل ُمت‬ َ َ‫ﺍِنَّﷲَي ُِحبُّ َّﺍلتوﺍ ِبيْن‬... “...Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan orang orang yang menyucikan / membersihkan diri”. (QS. Al-Baqarah: 222)

۟ ُ‫اسَّ ُكل‬ ْ ِ‫َّمماَّف‬ َ َّ‫ضَّ َح َٰلَ اًل‬ ‫ط ِيّباا‬ ِ ‫وﺍ‬ ِ ‫ىَّٱْل َ ْر‬ ُ ‫َٰ َيَٰٓأَيُّ َﻬاَّٱلن‬ “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi,” (QS. Al-Baqarah: 168) Pada dua penggalan ayat Al-Qur’an tersebut, Allah SWT. telah memerintahkan manusia untuk menjaga kebersihan dan menjaga pola makan, hal ini berhubungan dengan penyebab penyakit kulit. Yang pertama yaitu kurangnya menjaga kebersihan sehingga terdapat banyak mikroorganisme di lingkungan yang menyebabkan mudah terinfeksi. Selanjutnya, makanan juga menjadi salah satu penyebab penyakit kulit, dengan makan makanan sembarangan, makan berlebihan atau kurang makan sehingga sistem imun menurun dan menyebabkan tubuh lemah dan mudah dimasuki mikroorganisme. Maka hal yang dapat mausia terapkan dari kedua ayat ini adalah menjaga kebersihan dan menjaga pola makan untuk menghindari terkena penyakit kulit.

37

BAB III PENUTUP Berdasarkan skenario yang kelompok kami dapat, yaitu seorang anak perempuan berusia 8 tahun dibawa oleh ibunya ke puskesmas dengan keluhan muncul bitil berisi air pada dada dan perutnya. Keluhan dirasakan sejak 3 hari. Keluhan disertai demam, malaise dan nyeri kepala. Maka kelompok kami telah melakukan studi literatur dan pembahasan lebih mendalam terkait kasus tersebut, sehingga kami dapat menentukan beberapa penyakit yang mungkin diderita pasien, yakni Varisela, Variola atau Impetigo Bulosa. Adapun tabel diagnosis banding sesuai skenario sebagai berikut: Varisela

Variola

Impetigo

Anak perempuan berusia 8 tahun

+

+

+

Bintil berisi air

+

+

+

+

+/-

Pada dada dan perut

(sentral ke perifer)

+/-

(perifer ke sentral)

Onset 3 hari

+

+

+

Demam, malaise, nyeri kepala

+

-

+

Setelah melihat tabel diagnosis banding diatas, maka kelompok kami menentukan diagnosis utama untuk skenario ini yaitu varisela.

38

DAFTAR PUSTAKA 1. Kalangi, Sonny J. R. Anatomi, Histologi dan Fisiolofi Kulit. Manado: Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi. 2013. 2. Djuanda, Adhi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam. Jakarta: FKUI. 2010. 3. Siregar, R.S. Atlas Saripati Penyakit Kulit Edisi 2. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. 4. Graneto, J.W. Pediatric Fever. Chicago College of Osteopathic Medicine of

Midwestern University,

Dalam:

http://emedicine.

medscape.com/article/801598-overview. Dikutip 22 Oktober 2012. 2010 5. Kaneshiro, N.K., Zieve, D. Fever. University of Washington. 2010. 6. Nelwan, R.H. Demam: Tipe dan Pendekatan. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., dan Setiati, S., ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III, Edisi 5, Jakarta: Interna Publishing, 2009. hal. 2767-8. 7. Dinarello, C.A., Gelfand, J.A. Fever and Hyperthermia.In: Kasper, D.L., et. al., ed. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th ed. The McGraw-Hill Company. Singapore. 2005 8. Sherwood, L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 2. Jakarta: EGC hal. 600-2. 2009. 9. Kinik, S.T., Alehan, F., Erol, I. and Kanra, A.R..Obesity and Paediatric Migraine. International Headache Society. 2010. 10. Konsensus Nasional II Diagnostik dan Penatalaksanaan Nyeri Kepala. Kelompok Studi Nyeri Kepala Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). 2005. 11. Sondakh, C.C., Kandou, R.T., & Kapantow, G.M. Profil Varisela Di Poliklinik Kulit Dan Kelamin Rsup Prof. Dr. R.D Kandou Manado Periode Januari – Desember 2012. Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 3, 1. 2015. hal. 181-182

39

12. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Varicella Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Diseases, 13th Edition. Diakses dari: https://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/ downloads/varicella.pdf. 2015. 13. Aisah S., Handoko, R.P. Varisela. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi ke-VII Cetakan ke-V. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 2018. hal. 128-131 14. Wolff, Klaus. Johnson, Richard Allen. Fitzpatrick’s Color Atlas and Sypnosis of Clinical Dermatology sixth edition. 2009. page 831-8354. 15. Straus, Stephen E. Oxman, Michael N. Schmader, Kenneth E. Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine 7th edition, vol 1 and 2. 2008. page 1885-18955 16. Djuanda, Adhi. Pioderma. Dalam : Sri Linuwih SW Menaldi, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2015. p.72-73. 17. George A, Rubin G. A. Systematic review and meta-analysis of treatments for impetigo. Br J Gen Pract. 2003. 53:480–7. 18. Marwali Harahap. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates. 2000. 19. Yamasaki O, Tristan A, Yamaguchi T, et al. Distribution of the exfoliative toxin D gene in clinical Staphylococcus aureus isolates in France. Clin Microbiol Infect. 2006. 12(6):585-8. 20. Siregar, R.S. Atlas Saripati Penyakit Kulit Edisi 2. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. 21. Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran Edisi Revisi. Jakarta; Binarupa Aksara. 1994. 22. Djuanda. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2005. hal. 35-36 23. Suswati, E. Efek Hambatan Triklosan 2% Terhadap Pertumbuhan Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA). (Tesis). Fakultas Kedokteran Universitas Jember. Jember. 2003. hal. 43-44

40

24. Northern Kentucky Health Department.. Impetigo. Kentucky : Epidemiology Services, Northern Kentucky Health Department. 2005. hal. 138-149

41

Related Documents

Kampak Merah
June 2020 9
Jas Merah
June 2020 24
Lampu Merah
October 2019 44

More Documents from "Anonymous CxTBhLoE8F"