BAB I PENDAHULUAN A. Skenario Seorang wanita 27 tahun datang ke dokter umum dengan keluhan kemerehan pada kulit di seluruh badan yang disertai gatal setelah makan udang. Riwayat keluhan sering berulang setiap kali mengomsumsi makanan yang mengandung udang. Dari anamnesis diperoleh informasi bahwa ayahnya juga memiliki riwayat alergi. Hasil pemeriksaan fisis ditemukan adanya eritema dan edema di seluruh tubuh dan perioral.
B. Kata Kunci -
Wanita 27 tahun
-
Kemerahan pada kulit
-
Gatal setelah makan udang
-
Riwayat berulang
-
Riwayat keluarga
-
Pemeriksaan fisis ditemukan adanya eritema dan edema diseluruh tubuh dan perioral
C. Daftar pertanyaan 1. Jelaskan defenisi ruam merah pada kulit? 2. Jelaskan anatomi, histologi, dan fisiologi kulit? 3. Jelaskan etiopatogenesis ruam merah pada kulit ? 4. Jelaskan mekanisme dan faktor pencetus terjadinya alergi? 5. Jelaskan mekanisme gejala penyerta serta hubungannya dengan gejala utama? 6. Jelaskan diagnosis banding sesuai skenario? 7. Jelaskan cara pencegahan sesuai skenario? 8. Jelaskan integrasi keislaman sesuai skenario?
Page 1
D. Learning Outcome 1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan defenisi ruam merah pada kulit 2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan anatomi, fisiologi dan histologi kulit. 3. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan etiopatogenesis ruam merah pada kulit 4. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan faktor resiko terjadinya alergi 5. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mekanisme gejela penyerta serta hubungannya dengan gejala utama 6. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan diagnosis banding pada skenario 7. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pencegahan terkait dengan skenario 8. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan integrasi keislaman yang terkait dengan skenario.
Page 2
E. Problem Tree
Page 3
BAB II PEMBAHASAN A. Defenisi ruam merah pada kulit Peradangan dan perubahan warna yang terjadi pada kulit. Timbulnya gatagatal, mengelupas, atau iritasi merupakan bentuk-bentuk reaksi kulit yang mengalami ruam. Ruam merah juga biasanya tidak disertai penonjolan.
B. Anatomi, histologi, dan fisiologi kulit 1. Anatomi dan Histologi 1 Struktur kulit terdiri atas 2 lapisan utama yaitu epidermis dan dermis. Epidermis merupakan jaringan epitel yang berasal dari ektoderm, sedangkan dermis berupa jaringan ikat agak padat yang berasal dari mesoderm. Di bawah dermis terdapat selapis jaringan ikat longgar yaitu hipodermis, yang pada beberapa tempat terutama terdiri dari jaringan lemak.
Page 4
(Sumber : Kalangi, 2013. Anatomi, Histologi dan Fisiolofi Kulit) a) Epidermis Epidermis merupakan lapisan paling luar kulit dan terdiri atas epitel berlapis gepeng dengan lapisan tanduk. Epidermis hanya terdiri dari jaringan epitel, tidak mempunyai pembuluh darah maupun limfe, oleh karena itu semua nutrien dan oksigen diperoleh dari kapiler pada lapisan dermis. Epitel berlapis gepeng pada epidermis ini tersusun oleh banyak lapis sel yang disebut keratinosit. Sel-sel ini secara tetap diperbarui melalui mitosis sel-sel dalam lapis basal yang secara berangsur digeser ke permukaan epitel. Selama perjalanannya, sel-sel ini berdiferensiasi, membesar, dan mengumpulkan filamen keratin dalam sitoplasmanya. Mendekati permukaan, sel-sel ini mati dan secara tetap dilepaskan (terkelupas). Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai permukaan adalah 20 sampai 30 hari. Modifikasi struktur selama perjalanan ini disebut sitomorfosis dari sel-sel epidermis. Bentuknya yang berubah pada tingkat berbeda dalam epitel memungkinkan pembagian dalam potongan histologik tegak lurus terhadap permukaan kulit. Epidermis terdiri atas 5 lapisan yaitu, dari dalam ke luar, stratum basal, stratum spinosum, stratum granulosum, stratum lusidum, dan stratum korneum. a) Stratum basal (lapis basal, lapis benih) Lapisan ini terletak paling dalam dan terdiri atas satu lapis sel yang tersusun berderet-deret di atas membran basal dan melekat pada dermis di bawahnya. Sel-selnya kuboid atau silindris. Intinya besar, jika dibanding ukuran selnya, dan sitoplasmanya basofilik. Pada lapisan ini biasanya terlihat gambaran mitotik sel, proliferasi selnya berfungsi untuk regenerasi epitel. Sel-sel pada lapisan ini bermigrasi ke arah permukaan untuk memasok sel-sel pada lapisan yang lebih superfisial. Pergerakan ini dipercepat oleh adalah luka, dan regenerasinya dalam keadaan normal cepat. b) Stratum spinosum (lapis taju)
Page 5
Lapisan ini terdiri atas beberapa lapis sel yang besar-besar berbentuk poligonal dengan inti lonjong. Sitoplasmanya kebiruan. Bila dilakukan pengamatan dengan pembesaran obyektif 45x, maka pada dinding sel yang berbatasan dengan sel di sebelahnya akan terlihat taju-taju yang seolah-olah menghubungkan sel yang satu dengan yang lainnya. Pada taju inilah terletak desmosom yang melekatkan sel-sel satu sama lain pada lapisan ini. Semakin ke atas bentuk sel semakin gepeng. c) Stratum granulosum (lapis berbutir) Lapisan ini terdiri atas 2-4 lapis sel gepeng yang mengandung banyak granula basofilik yang disebut granula keratohialin, yang dengan mikroskop elektron ternyata merupakan partikel amorf tanpa membran tetapi dikelilingi ribosom. Mikrofilamen melekat pada permukaan granula. d) Stratum lusidum (lapis bening) Lapisan ini dibentuk oleh 2-3 lapisan sel gepeng yang tembus cahaya, dan agak eosinofilik. Tak ada inti maupun organel pada sel-sel lapisan ini. Walaupun ada sedikit desmosom, tetapi pada lapisan ini adhesi kurang sehingga pada sajian seringkali tampak garis celah yang memisahkan stratum korneum dari lapisan lain di bawahnya. e) Stratum korneum (lapis tanduk) Lapisan ini terdiri atas banyak lapisan sel-sel mati, pipih dan tidak berinti serta sitoplasmanya digantikan oleh keratin. Selsel yang paling permukaan merupa-kan sisik zat tanduk yang terdehidrasi yang selalu terkelupas. Selain terdiri dari lapisan-lapisa, epidermis juga mempunyai beberapa jenis sel yang tersebar. Terdapat empat jenis sel epidermis, yaitu: keratinosit, melanosit, sel Langerhans, dan sel Merkel. f) Keratinosit
Page 6
Keratinosit merupakan sel terbanyak (85-95%), berasal dari ektoderm permukaan. Merupakan sel epitel yang mengalami keratinisasi, menghasilkan lapisan kedap air dan perisai pelidung tubuh. Proses keratinisasi berlangsung 2-3 minggu mulai dari proliferasi mitosis, diferensiasi, kematian sel, dan pengelupasan (deskuamasi). Pada tahap akhir diferensiasi terjadi proses penuaan sel diikuti penebalan membran sel, kehilangan inti organel lainnya. Keratinosit merupakan sel induk bagi sel epitel di atasnya dan derivat kulit lain. g) Melanosit Melanosit meliputi 7-10% sel epidermis, merupakan sel kecil dengan cabang dendritik panjang tipis dan berakhir pada keratinosit di stratum basal dan spinosum. Terletak di antara sel pada stratum basal, folikel rambut dan sedikit dalam dermis. Dengan pewarnaan rutin sulit dikenali. Dengan reagen DOPA (3,4dihidroksi-fenilalanin),
melanosit
akan
terlihat
hitam.
Pembentukan melanin terjadi dalam melanosom, salah satu organel sel melanosit yang mengandung asam amino tirosin dan enzim tirosinase. Melalui serentetan reaksi, tirosin akan diubah menjadi melanin yang berfungsi sebagai tirai penahan radiasi ultraviolet yang berbahaya. h) Sel Langerhans Sel Langerhans merupakan sel dendritik yang bentuknya ireguler, ditemukan terutama di antara keratinosit dalam stratum spinosum. Tidak berwarna baik dengan HE. Sel ini berperan dalam respon imun kulit, merupakan sel pembawa-antigen yang merangsang reaksi hipersensitivitas tipe lambat pada kulit. i) Sel Merkel Jumlah sel jenis ini paling sedikit, berasal dari krista neuralis dan ditemukan pada lapisan basal kulit tebal, folikel rambut, dan membran mukosa mulut. Merupakan sel besar dengan cabang
Page 7
sitoplasma pendek. Serat saraf tak bermielin menembus membran basal, melebar seperti cakram dan berakhir pada bagian bawah sel Merkel.
Kemungkinan
badan
merkel
ini
merupakan
mekanoreseptor atau reseptor rasa sentuh.
b) Dermis Dermis terdiri atas stratum papilaris dan stratum retikularis, batas antara kedua lapisan tidak tegas, serat antaranya saling menjalin. j) Stratum papilaris Lapisan ini tersusun lebih longgar, ditandai oleh adanya 8elativ dermis yang jumlahnya bervariasi antara 50 – 250/mm2. Jumlahnya terbanyak dan lebih dalam pada daerah di mana tekanan paling besar, seperti pada telapak kaki. Sebagian besar 8elativ mengandung pembuluh-pembuluh kapiler yang memberi nutrisi pada epitel di atasnya. Papila lainnya mengandung badan akhir saraf sensoris yaitu badan Meissner. Tepat di bawah epidermis serat-serat kolagen tersusun rapat.
k) Stratum retikularis Lapisan ini lebih tebal dan dalam. Berkas-berkas kolagen kasar dan sejumlah kecil serat elastin membentuk jalinan yang padat ireguler. Pada bagian lebih dalam, jalinan lebih terbuka, rongga-rongga di antaranya terisi jaringan lemak, kelenjar keringat dan sebasea, serta folikel rambut. Serat otot polos juga ditemukan pada tempattempat tertentu, seperti folikel rambut, skrotum, preputium, dan putting payudara. Pada kulit wajah dan leher, serat otot skelet menyusupi jaringan ikat pada dermis. Otot-otot ini berperan untuk ekspresi wajah. Lapisan retikular menyatu dengan hipodermis/fasia superfisialis di bawahnya yaitu jaringan ikat longgar yang banyak mengandung sel lemak.
Page 8
Jumlah sel dalam dermis relatif sedikit. Sel-sel dermis merupakan sel-sel jaringan ikat seperti fibroblas, sel lemak, sedikit makrofag dan sel mast. c) Hipodermis Sebuah lapisan subkutan di bawah retikularis dermis disebut hipodermis. Ia berupa jaringan ikat lebih longgar dengan serat kolagen halus terorientasi terutama sejajar terhadap permukaan kulit, dengan beberapa di antaranya menyatu dengan yang dari dermis. Pada daerah tertentu, seperti punggung tangan, lapis ini meungkinkan gerakan kulit di atas struktur di bawahnya. Di daerah lain, serat-serat yang masuk ke dermis lebih banyak dan kulit relatif sukar digerakkan. Sel-sel lemak lebih banyak daripada dalam dermis. Jumlahnya tergantung jenis kelamin dan keadaan gizinya. Lemak subkutan cenderung mengumpul di daerah tertentu. Tidak ada atau sedikit lemak ditemukan dalam jaringan subkutan kelopak mata atau penis, namun di abdomen, paha, dan bokong, dapat mencapai ketebalan 3 cm atau lebih. Lapisan lemak ini disebut pannikulus adiposus.
2. Fungsi kulit : a) Pelindung atau proteksi Epidermis
terutama
lapisan
tanduk
berguna
untuk
menutupi
jaringan-jaringan tubuh di sebelah dalam dan melindungi tubuh dari pengaruh-pengaruh luar seperti luka dan serangan kuman. Lapisan paling luar dari kulit ari diselubungi dengan lapisan tipis lemak, yang menjadikan kulit tahan air. Kulit dapat menahan suhu tubuh, menahan luka-luka kecil, mencegah zat kimia dan bakteri masuk ke dalam tubuh serta menghalau rangsang-rangsang fisik seperti sinar ultraviolet dari matahari.
b) Penerima rangsang Kulit sangat peka terhadap berbagai rangsang sensorik yang berhubungan dengan sakit, suhu panas atau dingin, tekanan, rabaan,
Page 9
dan getaran. Kulit sebagai alat perasa dirasakan melalui ujung-ujung saraf sensasi.
c) Pengatur panas atau thermoregulasi Kulit mengatur suhu tubuh melalui dilatasi dan konstruksi pembuluh kapiler serta melalui respirasi yang keduanya dipengaruhi saraf otonom. Tubuh yang sehat memiliki suhu tetap kira-kira 98,6 derajat Farenheit atau sekitar 36,50 C. Ketika terjadi perubahan pada suhu luar, darah dan kelenjar keringat kulit mengadakan penyesuaian seperlunya dalam fungsinya masing-masing. Pengatur panas adalah salah satu fungsi kulit sebagai organ antara tubuh dan lingkungan. Panas akan hilang dengan penguapan keringat.
d) Pengeluaran (ekskresi) Kulit mengeluarkan zat-zat tertentu yaitu keringat dari kelenjarkelenjar keringat yang dikeluarkan melalui pori-pori keringat dengan membawa garam, yodium dan zat kimia lainnya.Air yang dikeluarkan melalui kulit tidak saja disalurkan melalui keringat tetapi juga melalui penguapan air transepidermis sebagai pembentukan keringat yang tidak disadari.
e) Penyimpanan Kulit dapat menyimpan lemak di dalam kelenjar lemak.
f) Penyerapan terbatas Kulit dapat menyerap zat-zat tertentu, terutama zat-zat yang larut dalam lemak dapat diserap ke dalam kulit. Hormon yang terdapat pada krim muka dapat masuk melalui kulit dan mempengaruhi lapisan kulit pada tingkatan yang sangat tipis. Penyerapan terjadi melalui muara kandung rambut dan masuk ke dalam saluran kelenjar
Page 10
palit, merembes melalui dinding pembuluh darah ke dalam peredaran darah kemudian ke berbagai organ tubuh lainnya.
C. Etiopatogenesis ruam merah pada kulit2 1. Autoimun Ada dua teori utama yang me-nerangkan mekanisme terjadinya penyakit autoimun. Pertama, autoimun disebabkan oleh kegagalan pada delesi DNA limfosit normal untuk mengenali antigen tubuh sendiri.Kedua,autoimun disebabkan oleh kegagalan regulasi normal sistem imunitas (yang mengandung beberapa sel imun yang mengenali antigen tubuh sendiri namun mengalami supresi). Terjadinya kombinasi antara faktor lingkungan,faktor genetik dan tubuh sendiri berperan dalam ekspresi penyakit autoimun. Penyebab dari autoimun biasanya infeksi dan kemiripanmolekular seperti virus, bakteri, dan respon imun. Juga bisa karena kegagalan autoregulasi, obat-obatan, dan faktor keturunan.
2. Hipersensitivitas Jenis reaksi hipersensitivitas dibahas berdasarkan mekanisme patofisiologinya. a) Tipe I Hipersensitivitas imediat : anafilaksis/atopi Anafikasis mengacu pada reaksi akut yang biasanya dihubungkan dengan tipe reaksi kulit berupa bintil dan merah serta vasodilatasi yang dapat mencetuskan syok sirkulasi. Atopi yang diakibatkan oleh mekanisme yangsama terjadi secara menahun pada respon yang bergantung pada antigen, frekuensi kontak, rutekontak, dan sensitivitas organ pada antigen. Atopi adalah reaksi sensitivitas paling umum, reaksi ini umunya disebut alergi, terjadi pada organ yang terpajan pada antigen lingkungan. Kerentanan terhadap alergi
Page 11
ditentukan oleh faktor genetik dan faktor lain yang memungkinkan pajanan pada alergen. b) Tipe II Hipersensitivitas sitotoksik : Suatu antibodi sirkulasi biasanya IgG beraksi dengan antigen pada permukaan sel. Suatu benda asing seperti agen farmakologis yang melekat pada permukaan sel hospes itu sendiri. Antibodi yang diproduksi
pada
sel
darah
merah
hospes
sendiri
dapat
menimbulkan enmia hemolitik autoimun. Sel ini dirusak oleh reaksi pada permukaannya baik oleh fagosit atau lisis. c) Tipe III Penyakit kompleks imun : Mengakibatkan pembentukan kompleks antigen-antibodi yang mengaktivasi berbagai faktor serum khususnya komplemen yang mengakibatkan pengendapan kompleks dalam area yang rentan yang menimbulkan inflamasi intravaskular, sinovial, endokardial dan
proses
inflamasi
membran
lain
yang
mempengaruhi
kerentanan organ. d) Tipe IV Hipersensitivitas selular : Respon tipe IV akibat dari limfosit T yang disensitisasi secara khusus tanpa pastisipasi antibodi.
3. Inflamasi Penyebab inflamasi antara lain mikroorganisme, trauma mekanis, zatzat kimia, dan pengaruh fisika. Tujuan akhir dari respon inflamasi adalah menarik protein plasma dan fagosit ke tempat yang mengalami cedera atau terinvasi agar dapat mengisolasi, menghancurkan, atau menginaktifkan agen yang masuk, membersihkan debris dan mempersiapkan jaringan untuk proses penyembuhan . Respon antiinflamasi meliputi kerusakan mikrovaskular, meningkatnya permeabilitas kapiler dan migrasi leukosit ke jaringan radang. Gejala proses inflamasi yang sudah dikenal ialah:
Page 12
Kemerahan (rubor) Terjadinya warna kemerahan ini karena arteri yang mengedarkan darah ke daerah tersebut berdilatasi sehingga terjadi peningkatan aliran darah ke tempat cedera.
Rasa panas (kalor) Rasa panas dan warna kemerahan terjadi secara bersamaan. Dimana rasa panas disebabkan karena jumlah darah lebih banyak di tempat radang daripada di daerah lain di sekitar radang. Fenomena panas ini terjadi bila terjadi di permukaan kulit. Sedangkan bila terjadi jauh di dalam tubuh tidak dapat kita lihat dan rasakan.
Rasa sakit (dolor) Rasa sakit akibat radang dapat disebabkan beberapa hal: adanya peregangan jaringan akibat adanya edema sehingga terjadi peningkatan tekanan lokal yang dapat menimbulkan rasa nyeri, (2) adanya pengeluaran zat – zat kimia atau mediator nyeri seperti prostaglandin, histamin, bradikinin yang dapat merangsang saraf – saraf perifer di sekitar radang sehingga dirasakan nyeri.
Pembengkakan (tumor) Gejala paling nyata pada peradangan adalah pembengkakan yang disebabkan oleh terjadinya peningkatan permeabilitas kapiler, adanya peningkatan aliran darah dan cairan ke jaringan yang mengalami cedera sehingga protein plasma dapat keluar dari pembuluh darah ke ruang interstitium.
Fungsiolaesa Fungsiolaesa merupakan gangguan fungsi dari jaringan yang terkena inflamasi dan sekitarnya akibat proses inflamasi.
4. Infeksi Infeksi adalah kolonalisasi yang dilakukan oleh spesies asing terhadap organisme inang, dan bersifat paling membahayakan inang. Organisme Page 13
penginfeksi, atau patogen, menggunakan sarana yang dimiliki inang untuk dapat memperbanyak diri, yang pada akhirnya merugikan inang. Patogen mengganggu fungsi normal inang dan dapat berakibat pada luka kronik, gangrene, kehilangan organ tubuh, dan bahkan kematian. Respons inang terhadap infeksi disebut peradangan. Secara umum, patogen umumnya dikategorikan sebagai organisme mikroskopik, walaupun sebenarnya definisinya lebih luas, mencakup bakteri, parasit, fungi, virus, prion, dan viroid. Simbiosis antara parasit dan inang, di mana satu pihak diuntungkan dan satu pihak dirugikan, digolongkan sebagai parasitisme. Cabang kedokteran yang menitikberatkan infeksi dan patogen adalah cabang penyakit infeksi. Secara umum infeksi terbagi menjadi dua golongan besar: a) Infeksi yang terjadi karena terpapar oleh antigen dari luar tubuh b) Infeksi yang terjadi karena difusi cairan tubuh atau jaringan, seperti virus HIV, karena virus tersebut tidak dapat hidup di luar tubuh. Infeksi awal Setelah menembus jaringan, patogen dapat berkembang pada di luar sel tubuh (ekstraselular) atau menggunakan sel tubuh sebagai inangnya (intraselular). Patogen intraselular lebih lanjut dapat diklasifikasikan lebih lanjut:
patogen yang berkembang biak dengan bebas di dalam sel, seperti : virus dan beberapa bakteri.
patogen yang berkembang biak di dalam vesikel, seperti Mycobacteria.
Jaringan yang tertembus dapat mengalami kerusakan oleh karena infeksi patogen, misalnya oleh eksotoksin yang disekresi pada permukaan sel, atau sekresi endotoksin yang memicu sekresi sitokina oleh makrofaga, dan mengakibatkan gejala-gejala lokal maupun sistemik. Pada tahapan umum sebuah infeksi, antigen selalu akan memicu sistem kekebalan turunan, dan kemudian sistem kekebalan
Page 14
tiruan pada saat akut. Tetapi lintasan infeksi tidak selalu demikian, sistem kekebalan dapat gagal memadamkan infeksi, karena terjadi fokus infeksi berupa ; subversi sistem kekebalan oleh patogen, kelainan bawaan yang disebabkan gen, tidak terkendalinya mekanisme sistem kekebalan.
Perambatan perkembangan patogen bergantung pada kemampuan replikasi di dalam inangnya dan kemudian menyebar ke dalam inang yang baru dengan proses infeksi. Untuk itu, patogen diharuskan untuk berkembangbiak tanpa memicu sistem kekebalan, atau dengan kata lain, patogen diharuskan untuk tidak menggerogoti inangnya terlalu cepat. Patogen yang dapat bertahan hanya patogen yang telah mengembangkan mekanisme untuk menghindari terpicunya sistem kekebalan.
Patogenesis Kelainan Kulit karena Infeksi. Patogenesis kelainan kulit yang ditimbulkan infeksi dapat dibagi dalam 3 kategori: 1) Mikroorganisme patogen dari aliran darah menyebabkan infeksi sekunder pada kulit. 2) Penyebaran toksin spesifik yang berasal dari mikroorganisme patogen menyebabkan kelainan pada kulit. 3) Penyakit sistemik menimbulkan kelainan kulit karena proses imunologik
D. Mekanisme dan faktor pencetus terjadinya alergi 1) Mekanisme Alergi (Reaksi Hipersensitivitas Tipe I)4 : Alergi atau hipersensitivitas tipe I adalah kegagalan kekebalan tubuh dimana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi
terhadap
bahan-bahan
yang
umumnya
imunogenik
(antigenik) atau dikatakan orang yang bersangkutan bersifat atopik.
Page 15
Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan
terhadap
lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing dan berbahaya, padahal sebenarnya tidak untuk orang-orang yang tidak bersifat
atopic. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas
tersebut disebut allergen. Hipersensitivitas tipe 1 ini ditengahi oleh IgE yang dikeluarkan dari sel mast basophil.
Reaksi ini terjadi secara cepat (biasanya dalam beberapa menit) setelah interaksi antara antigen dan antibodi IgE pada permukaan sel mast pada individu yang tersensitisasi (terpapar antigen). Adapun urutan kejadian pada reaksi hipersensitivitas adalah sebagai berikut : a) Aktivasi sel TH-2 dan produksi antibodi IgE. Alergen mungkin masuk lewat inhalasi, ingesti atau suntikan. Allergen kemudia memicu setl TH-2. Kemuadian sel TH2 akan mensekresikan beberapa sitokin, termasuk IL-4, 1L-5 dan 1L-13, yang
bertanggung
jawab
untuk
hampir
semua
reaksi
hipersensitivitas segera. IL-4 merangsang reaksi sel B yang spesifik terhadap alergen, memicu perubahan kelas rantai berat imunoglobulin ke IgE dan mensekresikan antibodi isotip tersebut. IL-5 mengaktifkan eosinofil dan didatangkan ketempat reaksi, sedangkan IL-13 bekerja pada sel epitel dan merangsang sekresi mukus. b) Sensitisasi set mast oleh antibodi IgE. Sel mast memaparkan reseptor yang berafinitas tinggi untuk bagian Fc dari rantai berat E dari IgE, disebut FceRI. Walaupun konsentrasi IgE serum sangat rendah, afinitas reseptor FcERI pada sel mast sangat tinggi sehingga reseptor selalu diduduki oleh IgE. Sel mast yang mengandungi antibodi tersebut tersensitisasi untuk bereaksi apabila antigen berikatan dengan molekuI antibodi.
Page 16
c) Aktivasi sel mast dan pelepasan mediator. Apabila seseorang yang sudah pernah tersensitisasi oleh pemajanan terhadap suatu alergen kemudian terpajang kembali terhadap alergen itu, maka alergen akan berikatan dengan banyak molekul IgE spesifik pada permukaan sel mast, biasanya pada atau di dekat pintu masuk alergen. Pada waktu molekul IgE ini mengalami ikatan silang (cross linked), serangkaian isyarat biokimia akan dipicu di dalam sel mast dan diikuti sekresi berbagai mediator. Tiga kelompok mediator yang paling penting dalam reaksi hipersensitivitas segera, yaitu :
Vasoaktif amin yang dilepaskan dari penyimpanan dalam granula. Granula sel mast berisi histamin yang dilepaskan dalam waktu beberapa detik atau menit pada waktu aktivasi.
Histamin
menyebabkan
vasodilatasi,
meningkatkan permeabilitas vaskular, kontraksi otot polos dan sekresi mukus. Mediator lain yang cepat dilepaskan adalah adenosin (yang menyebabkan penyempitan bronkus dan
menghambat
agregrasi
trombosit)
dan
faktor
kemotaksis untuk neutrofil dan eosinofil.
Mediator lipid yang baru disintesa. Sel mast mensintesa dan
mensekresikan
prostaglandin
dan
leukotrin.
Prostaglandin D2 (PGD2) menyebabkan bronkospame yang kuat dan peningkatan sekresi mukus. Leukotrin LTC, dan LTD, adalah zat vasoaktif dan spasmogenik yang kuat; dalam kadar molar mereka beberapa ratus kali lebih kuat daripada
histamin
dalam
peningkatan
permeabilitas
vaskular dan kontraksi otot polos bronkus.
Sitokin. Aktivasi sel mast menyebabkan sintesa dan sekresi beberapa sitokin yang penting dalam reaksi fase lambat. Ini termasuk TNF dan kemokin, yang mendatangkan dan mengaktifkan leukosit. IL-4 dan IL-5 melipat gandakan Page 17
reaksi sel TH2; dan IL-13 yang merangsang sel epitel untuk sekresi mukus.
2) Pencetus Alergi Makanan5 : a) Genetik (atopi) b) Imaturitas usus c) Pajanan alergen yang kadang memerlukan faktor pencetus. Faktor pencetus tersebut dapat berupa faktor fisik, psikis maupun hormonal.
(Abbas, A.K., Aster, J.C., dan Kumar, V. Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi 9)
Page 18
E. Mekanisme Gejala Penyerta serta Hubungannya dengan Gejala Utama6,7 Kemerahan yang terjadi diakibatkan karena proses inflamasi. Proses inflamasi sangat berkaitan erat dengan sistem imunitas tubuh. Secara garis besar imunitas tubuh dibagi atas 2 yaitu sistem imun bawaan/nonspesifik dan sistem imun didapat/spesifik. Sistem imun non spesifik akan menyerang semua antigen yang masuk, sedangkan sistem imun spesifik merupakan pertahanan selanjutnya yang memilih-milih antigen yang masuk. Ketika antigen masuk kedalam tubuh, maka spesialis-spesialis fagositik (makrofag dan neutrofil ) akan memfagosit antigen tersebut. Hal tersebut bersamaan dengan terjadinya pelepasan histamine oleh sel mast akibat daerah jaringan yang rusak. Histamin yang dilepaskan ini membuat kulit menjadi gatal dan membuat pembuluh darah menjadi vasodilatasi untuk meningkatkan aliran darah pada daerah yang terinfeksi. Selain itu, histamine juga membuat permeabilitas kapiler meningkat sehingga protein plasma yang seharusnya tetap berada di dalam pembuluh darah akan mudah keluar ke jaringan. Hal ini yang menyebabkan kulit berwarna kemerahan dan juga menyebabkan terjadinya edema.
F. Diagnosis Banding 1. Urtikaria a. Definisi 8 Urtikaria adalah reaksi vaskular di kulit akibat bermacam-macam sebab, biasanya ditandai dengan edema setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan, berwarna pucat dan kemerahan, meninggi di permukaan kulit, sekitarnya dapat dikelilingi halo. b. Epidemiologi10,11 Data epidemiologi urtikaria secara internasional menunjukkan bahwa urtikaria (kronis, akut, atau keduanya) terjadi pada 15-25% populasi pada suatu waktu dalam hidup mereka. Chronic idiopatic urticaria (CIU)
terjadi hingga 0,5-1,5% populasi semasa
Page 19
hidupnya. Insiden urtikaria akut lebih tinggi pada orang dengan atopi. Insiden urticaria kronis tidak meningkat pada orang dengan atopi. Data epidemiologi urtikaria berdasarkan usia menunjukkan bahwa urtikaria akut paling sering terjadi pada anak dan dewasa muda, sedangkan CIU lebih sering terjadi pada dewasa dan wanita setengah baya. Sebuah penelitian epidemiologi urtikaria di Spanyol menunjukkan bahwa terdapat perbedaan prevalensi urtikaria kronik yang signifikan pada perempuan (0.48%) daripada laki-laki (0.12%). Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan prevalensi urtikaria kronik berdasarkan status ekonomi, lokasi geografis, atau luas wilayah suatu kota. Sedangkan insidensi urtikaria akut pada suatu kota dengan penduduk lebih dari 500.000 orang mempunyai frekuensi urtikaria akut yang secara signifikan lebih tinggi daripada wilayah dengan jumlah penduduk kurang dari c. Etiologi8 Pada
penyelidikan
ternyata
hampir
80%
tidak
diketahui
penyebabnya. Diduga penyebab urtikaria bermacam-macam, antara lain:
Obat Bermacam-macam obat dapat menimbulkan urtikaria, baik secara imunologik maupun non-imunologik. Obat sistemik (penisilin,
sepalosporin,
dan
diuretik)
menimbulkan
urtikaria secara imunologik tipe I atau II. Sedangkan obat yang secara non-imunologik langsung merangsang sel mast untuk melepaskan histamin, misalnya opium dan zat kontras.
Makanan Peranan makanan ternyata lebih penting pada urtikaria akut, umumnya akibat reaksi imunologik. Makanan yang sering
Page 20
menimbulkan urtikaria adalah telur, ikan, kacang, udang, coklat, tomat, arbei, babi, keju, bawang, dan semangka.
Gigitan atau sengatan serangga Gigitan atau sengatan serangga dapat menimbulkan urtika setempat, hal ini lebih banyak diperantarai oleh IgE (tipe I) dan tipe seluler (tipe IV).
Bahan fotosenzitiser Bahan semacam ini, misalnya griseofulvin, fenotiazin, sulfonamid, bahan kosmetik, dan sabun germisid sering menimbulkan urtikaria.
Inhalan Inhalan berupa serbuk sari bunga (polen), spora jamur, debu, asap, bulu binatang, dan aerosol, umumnya lebih mudah menimbulkan urtikaria alergik (tipe I).
Kontaktan Kontaktan yang sering menimbulkan urtikaria ialah kutu binatang, serbuk tekstil, air liur binatang, tumbuhtumbuhan, buah-buahan, bahan kimia, misalnya insect repellent (penangkis serangga), dan bahan kosmetik.
Trauma Fisik Trauma fisik dapat diakibatkan oleh faktor dingin, faktor panas, faktor tekanan, dan emosi menyebabkan urtikaria fisik, baik secara imunologik maupun non imunologik. Dapat timbul urtika setelah goresan dengan benda tumpul beberapa menit sampai beberapa jam kemudian. Fenomena ini disebut dermografisme atau fenomena Darier.
Infeksi dan infestasi Bermacam-macam infeksi dapat menimbulkan urtikaria, misalnya infeksi bakteri, virus, jamur, maupun infestasi parasit.
Page 21
Psikis Tekanan jiwa dapat memacu sel mast atau langsung menyebabkan peningkatan permeabilitas dan vasodilatasi kapiler .
Genetik Faktor genetik juga berperan penting pada urtikaria, walaupun jarang menunjukkan penurunan autosomal dominant.
Penyakit sistemik Beberapa
penyakit
kolagen
dan
keganasan
dapat
menimbulkan urtikaria, reaksi lebih sering disebabkan reaksi kompleks antigen-antibodi. d. Patogenesis6 Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang
meningkat,
sehingga
terjadi
transudasi
cairan
yang
mengakibatkan pengumpulan cairan setempat. Sehingga secara klinis tampak edema setempat disertai kemerahan. Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat terjadi akibat pelepasan mediator-mediator misalnya histamine, kinin, serotonin, slow reacting substance of anaphylaxis (SRSA), dan prostaglandin oleh sel mast dan atau basofil.
Baik
faktor
imunologik,
maupun
nonimunologik
mampu
merangsang sel mast atau basofil untuk melepaskan mediator tersebut. Pada yang nonimunologik mungkin sekali siklik AMP (adenosin mono phosphate) memegang peranan penting pada pelepasan mediator. Beberapa bahan kimia seperti golongan amin dan derivat amidin, obat-obatan seperti morfin, kodein, polimiksin, dan beberapa antibiotik berperan pada keadaan ini. Bahan kolinergik misalnya asetilkolin, dilepaskan oleh saraf kolinergik kulit yang mekanismenya belum diketahui langsung dapat Page 22
mempengaruhi sel mast untuk melepaskan mediator. Faktor fisik misalnya panas, dingin, trauma tumpul, sinar X, dan pemijatan dapat langsung merangsang sel mast. Beberapa keadaan misalnya demam, panas, emosi, dan alcohol dapat merangsang langsung pada pembuluh darah kapiler sehingga terjadi vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas.
Faktor imunologik lebih berperan pada urtikaria yang akut daripada yang kronik; biasanya IgE terikat pada permukaan sel mast dan atau sel basofil karena adanya reseptor Fc bila ada antigen yang sesuai berikatan dengan IgE maka terjadi degranulasi sel, sehingga mampu melepaskan mediator. Keadaan ini jelas tampak pada reaksi tipe I (anafilaksis), misalnya alergi obat dan makanan. Komplemen juga ikut berperan, aktivasi komplemen secara klasik maupun secara alternatif menyebabkan pelepasan anafilatoksin (C3a, C5a) yang mampu merangsang sel mast dan basofil, misalnya tampak akibat venom atau toksin bakteri.
Ikatan dengan komplemen juga terjadi pada urtikaria akibat reaksi sitotoksik dan kompleks imun pada keadaan ini juga dilepaskan zat anafilatoksin. Urtikaria akibat kontak dapat juga terjadi misalnya setelah pemakaian bahan penangkis serangga, bahan kosmetik, dan sefalosporin. Kekurangan C1 esterase inhibitor secara genetik menyebabkan edema angioneurotik yang herediter.
e. Klasifikasi Klasifikasi urtikaria paling sering didasarkan pada karakteristik klinis daripada etiologi karena sering kali sulit untuk menentukan etiologi atau patogenesis urtikaria dan banyak kasus karena idiopatik.
Terdapat
bermacam-macam
klasifikasi
urtikaria,
Page 23
berdasarkan lamanya serangan berlangsung dibedakan urtikaria akut dan kronik.9 1) Urtikaria Akut Urtikaria akut terjadi bila serangan berlangsung kurang dari 6 minggu atau berlangsung selama 4 minggu tetapi timbul setiap hari.8 Lesi individu biasanya hilang dalam <24 jam, terjadi lebih sering pada anak-anak, dan sering dikaitkan dengan atopi. Sekitar 20%-30% pasien dengan urtikaria akut berkembang menjadi kronis atau rekuren.9 2) Urtikaria Kronik Urtikaria kronik terjadi bila serangan berlangsung lebih dari 6 minggu, pengembangan urtika kulit terjadi secara teratur (biasanya harian) selama lebih dari 6 minggu dengan setiap lesi berlangsung 4-36 jam. Gejalanya mungkin parah dan dapat mengganggu kesehatan terkait dengan kualitas hidup.9 3) Urtikaria Kontak Urtikaria
kontak
didefinisikan
sebagai
pengembangan
urticarial wheals di tempat di mana agen eksternal membuat kontak dengan kulit atau mukosa. Urtikaria kontak dapat dibagi lagi menjadi bentuk alergi (melibatkan IgE) atau non-alergi (IgE-independen).9 4) Urtikaria Fisik
Dermographism. Dermographism merupakan bentuk paling sering dari urtikaria fisik dan merupakan suatu edema setempat berbatas tegas yang biasanya berbentuk linier yang tepinya eritem yang muncul beberapa detik setelah kulit digores. Dermographism tampak sebagai garis biduran (linear wheal). Transient wheal atau biduran yang sementara muncul secara cepat dan biasanya memudar dalam 30 menit; akan tetapi, kulit biasanya mengalami pruritus sehingga bekas garukan dapat muncul.
Page 24
Gambar 3. Dermographisme. Tampak urtikaria dengan linear wheal.
Delayed dermographism. Delayed dermographism terjadi 3-6 jam setelah stimulasi, baik dengan atau tanpa immediate reaction, dan berlangsung sampai 24-48 jam. Erupsi terdiri dari nodul eritema linier. Kondisi ini mungkin berhubungan dengan delayed pressure urticaria.
Delayed pressure urticarial. Delayed pressure urticaria tampak sebagai lesi erythematous, edema lokal, sering disertai nyeri, yang timbul dalam 0,5-6 jam setelah terjadi tekanan terhadap kulit. Episode spontan terjadi setelah duduk pada kursi yang keras, di bawah sabuk pengaman, pada kaki setelah berlari, dan pada tangan setelah mengerjakan pekerjaan dengan tangan.
Gambar 4. Delayed Pressure Urticaria pada Kaki.9
Page 25
Vibratory angioedema. Vibratory angioedema dapat terjadi sebagai kelainan idiopatik didapat, dapat berhubungan dengan cholinergic urticaria, atau setelah beberapa tahun karena paparan vibrasi okupasional seperti pada pekerjapekerja di pengasahan logam karena getaran-getaran gerinda. Urtikaria ini dapat sebagai kelainan autosomal dominan
yang
diturunkan
dalam
keluarga.
Bentuk
keturunan sering disertai dengan flushing pada wajah.
Cold urticarial. Pada cold urticaria terdapat bentuk didapat (acquired) dan diturunkan (herediter). Serangan terjadi dalam hitungan menit setelah paparan yang meliputi perubahan dalam temperatur lingkungan dan kontak langsung dengan objek dingin. Jarak antara paparan dingin dan onset munculnya gejala adalah kurang lebih 2,5 jam, dan rata-rata durasi episode adalah 12 jam.
Gambar 5. Cold Urticaria.
Gambar 6. Cold Urticaria.
Page 26
Cholinergic urticarial. Cholinergic urticaria terjadi setelah peningkatan suhu inti tubuh. Cholinergic urticaria terjadi karena aksi asetilkolin terhadap sel mast. Erupsi tampak dengan biduran bentuk papular, bulat, ukuran kecil kirakira 2-4 mm yang dikelilingi oleh flare eritema sedikit atau luas merupakan gambaran khas dari urtikaria jenis ini.
Local heat urticaria. Local heat urticaria adalah bentuk yang jarang dimana biduran terjadi dalam beberapa menit setelah paparan dengan panas secara lokal, biasanya muncul 5 menit setelah kulit terpapar panas diatas 43°C. Area yang terekspos menjadi seperti terbakar, tersengat, dan menjadi merah, bengkak dan indurasi.
Gambar 7. Local Heat Urticaria.
Solar urticaria. Solar urticaria timbul sebagai biduran eritema dengan pruritus, dan kadang-kadang angioedema dapat terjadi dalam beberapa menit setelah paparan dengan sinar matahari atau sumber cahaya buatan. Histamin dan faktor kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil dapat ditemukan dalam darah setelah paparan dengan sinar ultraviolet A (UVA), UVB, dan sinar/cahaya yang terlihat.
Page 27
Gambar 8. Solar Urticaria.
Exercise-induced
anaphylaxis.
Exercise-induced
anaphylaxis adalah gejala klinis yang kompleks terdiri dari pruritus, urtikaria, angioedema (kutaneus, laringeal, dan intestinal), dan sinkop yang berbeda dari cholinergic urticaria.
Exercise-induced
anaphylaxis
memerlukan
olahraga/exercise sebagai stimulusnya.
Gambar 9. Exercise-induced anaphylaxis.
Adrenergic urticaria. Adrenergic urticaria timbul sebagai biduran yang dikelilingi oleh white halo yang terjadi selama stress emosional. Adrenergic urticaria terjadi karena peran norepinefrin. Biasanya muncul 10-15 menit setelah rangsangan faktor pencetus seperti emosional (rasa sedih), kopi, dan coklat.
Aquagenic urticaria and aquagenic pruritus. Kontak kulit dengan air pada temperatur berapapun dapat menghasilkan urtikaria dan atau pruritus. Air menyebabkan urtikaria karena
bertindak
sebagai
pembawa
antigen-antigen
epidermal yang larut air. Erupsi terdiri dari biduran-biduran kecil yang mirip dengan cholinergic urticaria. Page 28
f. Gejala Klinis8,10 a) Gejala Gejala urtikaria adalah sebagai berikut:
Gatal, rasa terbakar, atau tertusuk.
Biduran berwarna merah muda sampai merah.
Lesi dapat menghilang dalam 24 jam atau lebih, tapi lesi baru dapat mucul seterusnya.
Serangan berat sering disertai gangguan sistemik seperti nyeri perut diare, muntah dan nyeri kepala.
b) Tanda Tanda urtikatria adalah sebagai berikut:
Klinis tampak eritema dan edema setempat berbatas tegas dan kadang-kadang bagian tengah tampak lebih pucat.
Bentuknya dapat papular, lentikular, numular, dan plak.
Jika ada reaksi anafilaksis, perlu diperhatikan adanya gejala hipotensi, respiratory distress, stridor, dan gastrointestinal distress.
Jika ada lesi yang gatal, dapat dipalpasi, namun tidak memutih jika ditekan, maka merupakan lesi dari urticarial
vasculitis
yang
dapat
meninggalkan
perubahan pigmentasi.
Pemeriksaan untuk dermographism dengan cara kulit digores dengan objek tumpul dan diamati pembentukan wheal dengan eritema dalam 5-15 menit.
Edema jaringan kulit yang lebih dalam atau submukosa pada angioedema.
Page 29
g. Penegakan Diagnosis a) Anamnesis Informasi mengenai riwayat urtikaria sebelumnya, durasi rash/ruam, dan gatal dapat bermanfaat untuk mengkategorikan urtikaria sebagai akut, rekuren, atau kronik. Beberapa pertanyaan untuk menentukan penyebab alergi atau non-alergi adalah sebagai berikut:10
Apakah
biduran
berhubungan
dengan
makanan?
Apakah ada makanan baru yang ditambahkan dalam menu makanan?
Apakah pasien sedang menjalani pengobatan rutin atau menggunakan obat baru? Jika iya, apakah jenis obat tersebut?
Apakah pasien mempunyai penyakit kronik atau riwayat penyakit kronik?
Apakah pasien sedang hamil?
Apakah biduran disebabkan oleh stimulus fisik seperti panas, dingin, tekanan, vibrasi?
Apakah biduran berhubungan dengan senyawa yang dihirup atau kontak dengan kulit yang mungkin timbul pada tempat kerja?
Apakah biduran berhubungan dengan gigitan/sengatan serangga?
b) Pemeriksaan Fisik8 Pemeriksaan kulit pada urtikaria, meliputi:
Lokalisasi: badan, ekstremitas, kepala, dan leher.
Efloresensi: eritema dan edema setempat berbatas tegas dengan elevasi kulit, kadang-kadang bagian tengah tampak pucat.
Ukuran: beberapa milimeter hingga sentimeter. Page 30
Bentuk: papular, lentikular, numular, dan plakat.
Dermographism.
Pemeriksaan fisik sebaiknya terfokus pada keadaan yang memungkinkan menjadi presipitasi urtikaria atau dapat berpotensi mengancam nyawa, diantaranya adalah: i. Faringitis atau infeksi saluran nafas atas, khususnya pada anak-anak. ii. Angioedema pada bibir, lidah, atau laring. iii. Sklera
ikterik,
pembesaran
hati,
atau
nyeri
yang
mengindikasikan adanya hepatitis atau penyakit kolestatik hati. iv. Pembesaran kelenjar tiroid. v. Lymphadenopati
atau
splenomegali
yang
dicurigai
limfoma. vi. Pemeriksaan sendi untuk mencari bukti adanya penyakit jaringan penyambung, rheumatoid arthritis, atau systemic lupus erythematosus (SLE). vii. Pemeriksaan pulmonal untuk mencari pneumonia atau bronchospasm (asthma). viii. Ekstremitas untuk mencari adanya infeksi kulit bakteri atau jamur.
c) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan LaboratoriumPemeriksaan darah, urin, dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya infeksi yang tersembunyi atau kelainan pada alat dalam. Pemeriksaan darah
rutin
bisa
bermanfaat
untuk
mengetahui
kemungkinan adanya penyakit penyerta. Pemeriksaanpemeriksaan
seperti
komplemen,
autoantibodi,
elektrofloresis serum, faal ginjal, faal hati, faal hati, dan urinalisis akan membantu konfirmasi urtikaria vaskulitis. Page 31
Pemeriksaan C1 inhibitor dan C4 komplemen sangat penting pada
kasus
angioedema
berulang
tanpa
urtikaria.
Cryoglubulin dan cold hemolysin perlu diperiksa pada urtikaria dingin.8
Pemeriksaan gigi, telinga-hidung-tenggorok, serta usapan vagina. Pemeriksaan ini untuk menyingkirkan dugaan adanya infeksi fokal.8
Tes Alergi. Adanya kecurigaan terhadap alergi dapat dilakukan konfirmasi dengan melakukan tes kulit invivo (skin prick test) dan pemeriksaan IgE spesifik (radioallergosorbent
test-RASTs).
Tes
injeksi
intradermal
menggunakan serum pasien sendiri (autologous serum skin test-ASST) dapat dipakai sebagai tes penyaring yang cukup sederhana untuk mengetahui adanya faktor vasoaktif seperti histamine-releasing autoantibodies.11
Tes Provokasi. Tes provokasi akan sangat membantu diagnosa urtikaria fisik, bila tes-tes alergi memberi hasil yang meragukan atau negatif. Namun demikian, tes provokasi ini dipertimbangkan secara hati-hati untuk menjamin keamanannya.
Tes eleminasi makanan. Tes ini dilakukan dengan cara menghentikan semua makanan yang dicurigai untuk beberapa waktu, lalu mencobanya kembali satu demi satu.8
Tes foto tempel. Tes foto tempel dapat dilakukan pada urtikaria fisik akibat sinar.
Suntikan
mecholyl
intradermal.
Suntikan
mecholyl
intradermal dapat digunakan pada diagnosa urtikaria kolinergik.8
Tes fisik. Tes fisik ini bisa dengan es (ice cube test) atau air hangat apabila dicurigai adanya alergi pada suhu tertentu.8
Page 32
Pemeriksaan histopatologik. Pemeriksaan ini tidak selalu diperlukan, tetapi dapat membantu diagnosis.6 Pada urtikaria perubahan histopatologis tidak terlalu dramatis. Tidak terdapat perubahan epidermis. Pada dermis mungkin menunjukkan peningkatan jarak antara serabut-serabut kolagen karena dipisahkan oleh edema dermis. Selain itu terdapat dilatasi pembuluh darah kapiler di papilla dermis dan pembuluh limfe pada kulit yang berkaitan. Selain itu terdapat suatu infiltrat limfositik perivaskuler dan mungkin sejumlah eosinofil. Sel mast meningkat jumlahnya pada kulit yang bersangkutan. Infiltrasi limfosit sering ditemukan di lesi urtikaria tipe akut dan kronik. Beberapa lesi urtikaria mempunyai campuran infiltrat seluler, yaitu campuran limfosit, polymorphonuclea leukocyte (PMN) dan sel-sel inflamasi lainnya. Infiltrasi seluler campuran tersebut mirip dengan histopatologi dari respon alergi fase akhir. Beberapa pasien dengan urtikaris yang sangat parah atau urtikaria atipikal memiliki vaskulitis pada biopsi kulit. Spektrum histopatologi berhubungan derajat keparahan penyakit, mulai dari limfositik (ringan) sampai ke vaskulitik (parah).10
h. Penatalaksanaan Penatalaksanaan urtikaria dapat diuraikan menjadi first-line therapy, second-line therapy, dan third-line therapy.9 First-line therapy: 9,10 a) Edukasi kepada pasien: Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit urtikaria dengan menggunakan bahasa verbal atau tertulis. Pasien harus dijelaskan mengenai perjalanan penyakit urtikaria yang tidak mengancam nyawa, namun belum ditemukan terapi
Page 33
yang adekuat, dan fakta jika penyebab urtikaria terkadang tidak dapat ditemukan. b) Langkah non medis secara umum, meliputi:
Menghindari faktor-faktor yang memperberat seperti terlalu panas, stres, alcohol, dan agen fisik.
Menghindari penggunaan acetylsalicylic acid, NSAID, dan ACE inhibitor.
Menghindari
agen
lain
yang
diperkirakan
dapat
menyebabkan urtikaria.
Menggunakan cooling antipruritic lotion, seperti krim menthol 1% atau 2%.
c) Antagonis reseptor histamin Antagonis reseptor histamin H1 dapat diberikan jika gejalanya menetap. Pengobatan dengan antihistamin pada urtikaria sangat bermanfaat. Cara kerja antihistamin telah diketahui dengan jelas yaitu menghambat histamin pada reseptor-reseptornya. Secara klinis dasar pengobatan pada urtikaria dan angioedema dipercayakan pada efek antagonis terhadap histamin pada reseptor H1 namun efektifitas tersebut acapkali berkaitan dengan efek samping farmakologik yaitu sedasi. Dalam perkembangannya terdapat antihistamin yang baru yang berkhasiat yang berkhasiat terhadap reseptor H1 tetapi nonsedasi golongan ini disebut sebagai antihistamin nonklasik.8 Antihistamin golongan AH1 yang nonklasik contohnya adalah terfenadin, aztemizol, cetirizine, loratadin, dan mequitazin. Golongan ini diabsorbsi lebih cepat dan mencapai kadar puncak dalam waktu 1-4 jam. Masa awitan lebih lambat dan mencapai efek maksimal dalam waktu 4 jam (misalnya terfenadin) sedangkan aztemizol dalam waktu 96 jam setelah pemberian
oral.
Efektifitasnya
berlangsung
lebih
lama
dibandingkan dengan AH1 yang klasik bahkan aztemizol masih Page 34
efektif 21 hari setelah pemberian dosis tunggal secara oral. Golongan ini juga dikenal sehari-hari sebagai antihistamin yang long acting. Keunggulan lain AH1 non klasik adalah tidak mempunyai efek sedasi karena tidak dapat menembus sawar darah otak.8 Antagonis reseptor H2 dapat berperan jika dikombinasikan dengan pada beberapa kasus urtikaria karena 15% reseptor histamin pada kulit adalah tipe H2. Antagonis reseptor H2 sebaiknya tidak digunakan sendiri karena efeknya yang minimal pada pruritus. Contoh obat antagonis reseptor H2 adalah cimetidine, ranitidine, nizatidine, dan famotidine.9
Second-line therapy Jika gejala urtikaria tidak dapat dikontrol oleh antihistamin saja, second-line therapy harus dipertimbangkan, termasuk tindakan farmakologi dan non-farmakologi. a) Photochemotherapy Hasil fototerapi dengan sinar UV atau photochemotherapy (psoralen plus UVA [PUVA]) telah disimpulkan, meskipun beberapa penelitian menunjukkan peningkatan efektivitas PUVA hanya dalam mengelola urtikaria fisik tapi tidak untuk urtikaria kronis. b) Antidepresan Antidepresan trisiklik doxepin telah terbukti dapat sebagai antagonis reseptor H1 dan H2 dan menjadi lebih efektif dan lebih sedikit mempunyai efek sedasi daripada diphenhydramine dalam pengobatan urtikaria kronik. Doxepin dapat sangat berguna pada pasien dengan urtikaria kronik yang bersamaan dengan depresi. Dosis doxepin untuk pengobatan depresi dapat
Page 35
bervariasi antara 25-150 mg/hari, tetapi hanya 10-30 mg/hari yang dianjurkan untuk urtikaria kronis. Mirtazapine adalah antidepresan yang menunjukkan efek signifikan pada reseptor H1 dan memiliki aktivitas antipruritus. Telah dilaporkan untuk membantu dalam beberapa kasus urtikaria fisik dan delayedpressure urticaria pada dosis 30 mg/hari.9 c) Kortikosteroid Dalam beberapa kasus urtikaria akut atau kronik, antihistamin mungkin gagal, bahkan pada dosis tinggi, atau mungkin efek samping bermasalah. Dalam situasi seperti itu, terapi urtikaria seharusnya respon dengan menggunakan kortikosteroid. Jika tidak berespon, maka pertimbangkan kemungkinan proses penyakit lain (misalnya, keganasan, mastocytosis, vaskulitis). Kortikosteroid
juga
dapat
digunakan
dalam
urticarial
vasculitis, yang biasanya tidak respon dengan antihistamin. Sebuah kursus singkat dari kortikosteroid oral (diberikan setiap hari selama 5-7 hari, dengan atau tanpa tappering) atau dosis tunggal injeksi steroid dapat membantu ketika digunakan untuk episode urtikaria akut yang tidak respon terhadap antihistamin. Kortikosteroid harus dihindari pada penggunaan jangka panjang pengobatan urtikaria kronis karena efek samping kortikosteroid
seperti
hiperglikemia,
osteoporosis,
ulkus
peptikum, dan hipertensi.9,10
Contoh obat kortikosteroid adalah prednison, prednisolone, methylprednisolone, dan triamcinolone. Prednisone harus diubah menjadi prednisolone untuk menghasilkan efek, dapat diberikan dengan dosis dewasa 40-60 mg/hari PO dibagi dalam 1-2 dosis/hari dan dosis anak-anak 0.5-2 mg/kgBB/hari PO dibagi menjadi 1-4 dosis/hari. Prednisolone dapat mengurangi permeabilitas kapiler, diberikan dengan dosis dewasa 40-60
Page 36
mg/hari PO (4 kali sehari atau dibagi menjadi 2 kali sehari) dan dosis anak-anak 0.5-2 mg/kgBB/hari PO (dibagi dalam 4 dosis atau
2
dosis).
Methylprednisolone
dapat
membalikkan
peningkatan permeabilitas kapiler, diberikan dengan dosis dewasa 4-48 mg/hari PO dan dosis anak-anak 0.16-0.8 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis dan 4 dosis. d) Leukotriene Receptor Antagonist Leukotriene (C4, D4, E4) adalah mediator inflamasi yang poten dan mempunyai respon terhadap wheal dan flare pada pasien dengan urtikaria kronis atau pada individu yang sehat. Leukotriene
receptor
antagonist
seperti
montelukast,
zafirlukast, dan zileuton menunjukkan keunggulan yang lebih dibandingkan dengan plasebo dalam perawatan pasien dengan urtikaria kronik.9 e) Antagonis saluran kalsium Nifedipin telah dilaporkan efektif dalam mengurangi pruritus dan whealing pada pasien dengan urtikaria kronik bila digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan antihistamin. Mekanisme nifedipin berhubungan dengan modifikasi influks kalsium ke dalam sel mast kutaneus.9
Third-line therapy
Third-line therapy diberikan kepada pasien dengan urtikaria yang tidak berespon terhadap first-line dan second-line therapy. Thirdline therapy menggunakan agen immunomodulatori, yang meliputi cyclosporine,
tacrolimus,
methotrexate,
cyclophosphamide,
mycophenolate mofetil, dan intravenous immunoglobulin (IVIG). Pasien yang memerlukan third-line therapy seringkali mempunyai bentuk autoimun dari urtikaria kronik. Third-line therapy lainnya
Page 37
meliputi
plasmapheresis,
(salbutamol),
asam
colchicine,
tranexamat,
dapsone,
terbutaline,
albuterol
sulfasalazine,
hydroxychloroquine, dan warfarin.9 a) Immunomudulatory Agents Beberapa penelitian menunjukkan bahwa cyclosporine efektif dalam mengobati pasien dengan urtikaria kronik yang refrakter. Cyclosporine dengan dosis 3-5 mg/kgBB/hari menunjukkan manfaat pada dua pertiga pasien dengan urtikaria kronik yang tidak berespon terhadap antihistamin. Tacrolimus dengan dosis 20-µg/mL setiap hari dapat mengobati pasien dengan corticosteroid-dependent urticaria.9 Intravenous immunoglobulin (IVIG) tampak efektif dalam manajemen pasien dengan urtikaria autoimun kronik yang parah. Meskipun mekanisme yang terlibat tidak jelas, namun telah diusulkan bahwa IVIG mungkin berisi anti-idiotypic antibody yang bersaing dengan IgG endogen untuk reseptor H1 dan memblok pelepasan histamin atau memperbanyak klirens IgG endogen.9 b) Plasmapheresis Plasmapheresis telah dilaporkan dapat bermanfaat dalam pengelolaan
urtikaria
autoimun
kronik
yang
parah.
Plasmapheresis saja tidak cukup untuk mencegah akumulasi kembali autoantibodi yang melepaskan histamine dan harus diselidiki
dalam
hubungannya
dengan
penggunaan
immunosuppressant pharmacotherapy.9 c) Obat lainnya Dapsone dan/atau colchicine mungkin dapat bermanfaat dalam mengelola urtikaria ketika infiltrat neutrophil terlihat secara histologis, tetapi mungkin paling berguna untuk urticarial vasculitis. Hydroxychloroquine juga telah menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam pengobatan urtikaria kronik idiopatik;
Page 38
dan
telah
dikaitkan
dengan
respon
yang
baik
pada
hypocomplementemic urticarial vasculitis. Meskipun ß2adrenoceptor agonist terbutaline telah dievaluasi untuk manajemen urtikaria kronik, penggunaannya umumnya tidak dianjurkan karena efek samping seperti takikardia dan insomnia yang tidak dapat ditoleransi dengan baik oleh banyak pasien.9
Pada urtikaria akut, identifikasi dan menghilangkan penyebab adalah ideal, namun sayang sekali bahwa hal ini tidak dilakukan pada beberapa kasus. Meskipun demikian, faktor pendorong yang pasti dapat dikurangi atau dihilangkan. Kami menganjurkan bahwa pasien dengan urtikaria akut ringan seharusnya memulai pengobatan dengan antihistamin H1 non sedatif. Pada pasien dengan urtikaria akut sedang-berat, antihistamin H1 non sedatif seharusnya juga menjadi terapi pilihan utama. Jika keadaan akut tidak dapat dikendalikan secara adekuat, pemberian kortikosteroid oral jangka pendek seharusnya ditambahkan. Pada pasien yang menunjukkan urtikaria akut yang berat dengan gejala distress pernapasan, asma, atau edema laring, pengobatan yang mungkin diberikan berupa epinefrin subkutan, kortikosteroid sistemik (oral atau intravena), dan antihistamin H1 intramuskuler.8
Urtikaria kronik memberikan tantangan yang agak banyak dan seharusnya selalu dirujuk ke spesialis untuk evaluasi diagnostik dan
program
penanganan.
Strategi
penanganan
awal
seharusnya kembali menggunakan antihistamin H1 non sedatif. Terapi tambahan lain mungkin berguna, yaitu antihistamin H1 sedatif menjelang tidur, antidepresan trisiklik, atau antihistamin H2. Sebagai tambahan antihistamin H1 mungkin dapat
Page 39
disarankan untuk diawali dengan kortikosteroid jangka pendek dengan harapan dapat memotong siklus penyakit.11 i. Komplikasi8 purpura dan excoriasi, infeksi sekunder, bibir kering. j. Prognosis8 Urtikaria akut prognosisnya lebih baik karena penyebabnya cepat dapat diatasi, sedangkan urtikaria kronik lebih sulit diatasi karena penyebabnya sulit dicari.
2. Angiodema a. Defenisi 8 Angioedema adalah reaksi yang menyerupai urtikaria, namun terjadi pada lapisan kulit yang lebih dalam, dan secara klinis ditandai dengan pembengkakan jaringan. Rasa gatal tidak lazim terdapat pada angioedema, lebih sering disertai rasa terbakar. Angioedema dapat terjadi di bagian tubuh manapun, namun lebih sering ditemukan di daerah perioral, periorbital, lidah, genitalia dan ekstremitas. b. Epidemiologi8 Angioedema merupakan gangguan yang sering dijumpai. Factor usia, ras, jenis kelamin, pekerjaan, lokasi geografis dan musim memengaruhi jenis pajanan yang akan dialami oleh seseorang. Angioedema digolongkan sebagai akut bila berlangsung kurang dari 6 minggu, dan dianggap kronis bila lebih dari 6 minggu. Insidennya meningkat setelah dewasa dan mencapai puncaknya pada usia dekade ketiga. Suatu survei pada pelajar sekolah, memperkirakan
sekitar
15-20%
pelajar
pernah
mengalami
angioedema. Mungkin frekuensinya lebih dari angka-angka tersebut, mengingat kelainan ini bersifat dapat hilang sendiri dan
Page 40
jarang memerlukan pertolongan secara medis, apalagi kalau hanya terbatas pada kulit. Belum ada data insiden angiedema yang terjadi di indonesia. c. Etiologi8 Pada
waktu-waktu
tertentu
terjadi
peningkatan
insiden
angioedema. Terutama pada pasien-pasien dengan alergi saluran napas musiman sebagai akibat inhalasi tepung sari, serpihan kulit hewan dan spora jamur. Selain dicetuskan bahan-bahan inhalan, dapat juga dicetuskan makanan tertentu seperti buah-buahan, udang, ikan, produk susu, coklat, kacang-kacangan dan obatobatan. Pada angioedema, perlu dilihat ada atau tidaknya bentolbentol (wheals) yang menyertai. Bila disertai adanya urtikaria, dapat dikatakan angioedema tersebut merupakan bagian dari urtikaria yang kebetulan terjadi bersamaan. Tetapi bila angiedema yang terjadi tampa disertai adanya urtikaria, perlu dipikirkan kemungkinan
keterkaitannya
dengan
kadar
C1
inhibitor.
Angioedema dengan kadar C1 inhibitor yang normal, umumnya penyebabnya tidak diketahui (idiopatik). Walaupun demikian perlu dipertimbangkan
kemungkinannya
akibat
penggunaan
obat
(aspirin, ACE inhibitor, OAINS) atau episodic angioedema with eosinophilia (EAAE). d. Patogenesis8 Penyebab terjadinya angioedema antara lain adalah adanya defisiensi
C1
esterase
inhibitor
(C1INH)
yang
berfungsi
menghambat pembentukan kinin, aktivasi komplemen yang menghasilkan vasoactive kinin-like peptides dan pembentukan bradikinin. Kinin adalah peptida dengan berat molekul rendah yang ikut berperan dalam proses inflamasi dengan mengaktivasi sel endotelial
dan
menyebabkan
terjadinya
vasodilatasi
dan
peningkatan permeabilitas vaskular. Angioedema yang rekuren dengan C1INH normal biasanya bersifat idiopatik, namun bisa juga
Page 41
disebabkan
oleh
induksi
obat-obatan
seperti
penghambat
angiotensin-converting enzyme (ACE), aspirin dan anti-inflamasi nonsteroid (AINS). e. Gejala klinis8 Lesi melibatkan jaringan yang lebih dalam sampai dermis dan subkutis atau submukosa, akan terlihat edema dengan batas difus. Rasa gatal umumnya tidak dijumpai pada angiedema, namun terdapat rasa terbakar. Angioedema sering dijumpai di kelopak mata dan bibir. Bila angioedema terjadi di mukosa saluran napas dapat terjadi sesak napas, suara serak dan rinitis. Angioedema di saluran cerna bermanifestasi sebagai rasa mual, muntah, kolik abdomen dan diare.
https://www.google.com/search?q=angioedema&safe=strict&source=androidbrowser&prmd=ivn&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=2ahUKEwidzcfsrZPhAhVW6nMBHeqmBeYQ_AUoAXoECAwQAQ&biw=36 0&bih=524#imgrc=p6_mO2YYh7-hMM&imgdii=WZqrS-fh5hLyIM
https://www.google.com/search?q=angioedema&safe=strict&source=android-
Page 42
browser&prmd=ivn&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=2ahUKEwidzcfsrZPhAhVW6nMBHeqmBeYQ_AUoAXoECAwQAQ&biw=36 0&bih=524#imgrc=moh5NIvgKJpBxM
https://www.google.com/search?ie=UTF-8&source=android-browser&q=angioedema#imgrc=LHUmpMbQd4S6hM:
f.
Penegakan Diagnosis12 Untuk
mendiagnosis
angioedema
dengan
melihat
area
pembengkakan pada tubuh pasien, dan menanyakan gejala apa saja yang dialami pasien. Bila diduga angioedema pasien ditanyakan riwayat alergi dan menjalankan tes alergi. Tes alergi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
Tes tusuk kulit. Kulit pasien akan ditusuk dengan alat yang telah diberi sedikit alergen (zat penyebab alergi), untuk melihat reaksi pasien.Pemeriksaan darah. Sampel darah pasien akan diperiksa untuk melihat reaksi sistem kekebalan tubuh pasien pada alergen.
Pemeriksaan sampel darah juga dilakukan pada pasien yang diduga
menderita hereditary
angioedema.
Melalui
pemeriksaan sampel darah dapat diketahui apakah pasien kekurangan protein penghambat C1 estrase.
Page 43
g. Penatalaksanaan12
Non Farmakologi ( Edukasi ) : Mengompres dingin area yang bengkak. Mengenakan pakaian longgar untuk mencegah iritasi kulit. Tidak menggaruk area yang bengkak. Penanganan allergic angiodema dan idiopathic menggunakan metode yang sama. Salah satunya adalah dengan menghindari makanan pemicu alergi.
Farmakologi Pemberian tablet antihistamin dan kortikosteroid untuk meredakan bengkak. Bila bengkak berlangsung hingga beberapa hari, berikan kortikosteroid. Sedangkan untuk pasien yang mengalami gejala anafilaksis (reaksi alergi berat yang mengancam nyawa), berikan suntikan adrenalin atau epinephrine. Antihistamin H1 non-sedasi (AH1-ns) bila gejala menetap setelah 2 minggu AH1-ns dengan dosis ditingkatkan sampai 4x bila gejala menetap setelah 4 minggu AH1 sedasi atau AH1-ns golongan lain + antagonis leukotrien,
bila
terjadi
aksaserbasi
gejala,
tambahkan kortikosteroid sistemik 3-7 hari bila gejala menetap setelah 1-4 minggu tambahkan siklosporin A, AH2, dapson, omalizumab. h. Komplikasi12 Meskipun mungkin merupakan penyakit ringan, adalah mungkin untuk angioedema persisten atau berat untuk menyebabkan komplikasi parah dan mengancam jiwa. Selain itu, angioedema herediter biasanya menghasilkan episode yang lebih parah daripada
Page 44
angioedema alergi, yang juga dapat menyebabkan komplikasi yaitu Anafilaksis (reaksi alergi yang mengancam jiwa) Sulit bernapas.
i.
Prognosis12 Walaupun umumnya tidak mengancam jiwa namun dampaknya terhadap kualitas hidup pasien sangat besar.
Merupakan
kedaruratan dalam ilmu kesehatan kulit dan kelamin sehingga membutuhkan
penanganan
yang
tepat
untuk
menurunkan
mortalitas.
3. Dermatitis Atopik a. Defenisi14 Dermatitis Atopik adalah peradangan kulit berupa dermatitis yang kronis residif, disertai rasa gatal, dan mengenai bagian tubuh tertentu terutama di wajah pada bayi (fase infantil) dan bagian fleksural ekstremitas (pada fase anak). Sinonim : S. Prurigo Besnier, Eczema.
b. Epidemiologi Dermatitis Atopik merupakan masalah kesehatan utama di seluruh dunia, dengan prevalensi 10-20% pada anak, sedangkan pada orang dewasa 1-3%.14,21,22 Beberapa penelitian menyatakan bahwa kasus perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki dengan rasio 1,3 : 1,0.21,24,25 Sekitar 45% dari keseluruhan kasus dimulai pada 6 bulan awal kehidupan, 60% pada usia 1 tahun, dan 85% sebelum usia 5 tahun.15 Penelitian tentang perjalanan penyakit Dermatitis Atopik, dari berbagai negara industri memperlihatkan data yang bervariasi. Di negara berkembang 10-20% anak menderita Dermatitis Atopik dan 60% di antaranya menetap sampai dewasa.14
Page 45
c.
Etiologi Sampai saat ini penyebab pasti Dermatitis Atopik masih sulit dipahami.16 Berbagai faktor diduga turut berperan dalam mencetuskan Dermatitis Atopi. Umumnya anak-anak dengan Dermatitis Atopik mempunyai riwayat keluarga dengan keluhan yang sama, hal ini menunjukkan adanya peran faktor genetik.17 Selain itu, Dermatitis Atopik berhubungan erat dengan penyakit atopi lainnya seperti rinitis alergi dan asma bronkial.15,21 Faktor lain yang berperan dalam patogenesis Dermatitis Atopik ialah penurunan fungsi sawar kulit, faktor imunologik, dan faktor pencetus lain seperti makanan, aeroalergen, infeksi Staphylococcus
d. Patogenesis14 Penurunan Fungsi Sawar Kulit Pada Dermatitis Atopik, terjadi gangguan fungsi sawar kulit, yakni adanya penurunan fungsi gen yang meregulasi amplop keratin (filagrin dan lorikrin), berkurangnya fungsi seramid serta meningkatnya enzim proteolitik dan trans-epidermal-water loss (TEWL). TEWL pada pasien DA meningkat 2-5 kali orang normal. Sawar kulit dapat juga menurun akibat terpajan protease eksogen yang berasal
dari tungau debu rumah dan superantigen
Staphylococcus aureus serta kelembaban udara. Perubahan sawar kulit mengakibatkan peningkatan absorpsi dan hipersensitivitas terhadap alergen (misalnya alergen hirup tungau debu rumah). Peningkatan TEWL dan penurunan kapasitas kemampuan menyimpan air serta perubahan komposisi lipid esensial kulit menyebabkan kulit DA kering dan sensitivitas gatal terhadap berbagai rangsangan bertambah. Garukan akibat gatal menimbulkan
erosi
atau
ekskoriasi
yang
mungkin
dapat
meningkatkan penetrasi mikroba dan kolonisasi mikroba di kulit. Peningkatan hipersensitivitas tersebut berdampak pula pada
Page 46
meningkatnya sensitivitas respirasi pasien DA terhadap alergen di kemudian hari.
Perubahan Sistem Imun Pada kulit pasien Dermatitis Atopik, terjadi perubahan sistem imun. Kerusakan sawar kulit yang terjadi menyebabkann produksi sitokin keratinosit (IL-1, IL-6, IL-8, TNF-α) meningkat dan selanjutnya merangsang molekul adhesi sel endotel kapiler dermis sehingga terjadi regulasi limfosit dan leukosit.
Ishizaka dkk tahun 1966 menyatakan bahwa pada DA terdapat peningkatan kadar IgE yang menyebabkan reaksi eritema di kulit. Terjadi stimulasi IL-4 terhadap sel T (CD4+) dan IL-13 terhadap sel B untuk memproduksi IgE, sebaliknya IFNγ dapat mensupresi sel B. IL-5 berfungsi menginduksi proliferasi sel eosinofil yang merupakan salah satu parameter DA.
Lesi akut DA ditandai dengan edema intraseluler (spongiosis) dan sebukan infiltrat di epidermis yang terutama terdiri atas limfosit T. Sel Langerhans dan makrofag mengekpresikan IgE. Di dermis sebukan sel radang terdiri dari limfosit T dengan epitop CD3, CD4, dan CD45R, monosit-makrofag, sedangkan sel eosinofil jarang terlihat, jumlah sel mast normal tetapi aktif berdegranulasi.
Lesi kronik DA di tandai hiperplasia epidermis, pemanjangan rete ridges,
sedikit
spongiosis,
dan
hiperkeratosis.
Terdapat
peningkatan sel langerhans dan jumlah IgE di epidermis, infiltrat di dermis lebih banyak mengandung sel mononuklear/makrofag dan sel mast yang bergranulasipebuh, banyak sel eosinofil, serta tidak ada neutrofil walaupun terdapat peningkatan kolonisasi dan iritasi Staphylococcus aureus. Pada fase akut sel TH-2 melepaskan
Page 47
sitokin (IL-4 dan IL-13) yang menginduksi pembentukan IgE dna ekspresi molekul adhesi sel endotel. Sedangkan IL-5, menginduksi dna memelihara sel eosinofil pada lesi kronik DA.
Pada fase kronik, sitokin yang berperan adalah IL-12 dan IL-18 yang dihasilkan oleh sel TH-1, IL-11, dan transforming growth factor β-1. Sel efektor pada reaksi imunologik DA : Keratinosit memiliki berbagai kemampuan antara lain sebagai pencetus signal, sebagai sel asesorius, dan sebagai sel penyaji antigen. Oleh karena itu, keratinosit sekarang lebih dianggap sebagai pelaku aktif sistem imun di epidermis. Pada mekanisme inflamasi di epidermis selain keratinosit, sel langerhans merupakan sel penyaji antigen poten (mengekspresikan MHC II dan memiliki reseptor IgE) dan juga mengekspresikan molekul B7, ICAM-1, dan LFA-1 dalam jumlah besar.
Sel T dapat mengenai antigen berkat adanya T cell receptor (TCR) dengan rantai α dan β yang membentuk kompleks resptor dengan CD30. Sel T di dermis dalam keadaan teraktivasi dapat mengenali antigen dalam ikatan MHC II dan menampilkan reseptor IL-2. Pada DA sel T helper (TCD4+) lebih banyak daripada sel supresor (T-CD8+), dan subset sel T helper-2 lebih berperan. TH-2 memproduksi IL-4 dan IL-5. IL-4 berperan dalam menginduksi sel B menjadi sel plasma yang memproduksi IgE, sedangkan IL-5 mampu menarik dan memelihara eosinofil di jaringan. Selain mampu bermigrasi ke jaringan, eosinofil mampu memproduksi
major
basic
protein
(MBP)
yang
menyebabkan kerusakan jaringan (toksik).
Page 48
Sel endotel berfungsi mengatur lalu lintas leukosit pada inflamasi dan pada saat di induksi reaksi hipersensitivitas mengekspresikan berbagai molekul adhesi, yaitu ICAM-1, ICAM-2, VCAM-1, ELAM-1.
Dapat disimpulkan bahwa pada reaksi inflamasi/alergik DA selain faktor alergen dan IgE, juga berperan berbagai sel inflamasi, mediator (sitokin), sel endotel, serta molekul adhesi. Alergen yang mausk ke kulit akan ditangkap oleh SPA, diproses dan disajikan kepada sel T (TH-2), berikatan dengan kompleks TCR, sehingga mampu mengeluarkan IL-4 dan membantu sel B memproduksi IgE. IgE akan menempati reseptor di permukaan sel mast. IgE berikatan dengan alergen memacu sel mast berdegranulasi dan melepaskan berbagai mediator serta IL-4 dan IL-5. IL-3, IL-4, dan IL-5 mampu menarik eosinofil dan memeliharanya di jaringan. Faktor
lain
yang
menyebabkan
migrasi
eosinofil
adalah
eosinophilic factor of anaphylaxis (ECF-A), leukotrien B4, dan histamin. Sitokin dan kemokin berperan penting pada reaksi inflamasi DA. Beberapa sitokin, misalnya TNF-α dan IL-1 yang dihasilkan sel keratinosit, sel mast, dan LC, berikatan dengan reseptor sel endotel kapiler, mengaktifkan sinyal jalur sel, dan mengaktifkan molekul adhesi sel endotel. Peristiwa tersebut menyebabkan ekstravasasi sel inflamasi ke kulit dan segera menuju tempat peradangan atau infeksi. Pada pasien DA diketahui IgE berjumlah lebih banyak dan menunjukkan daya afinitas yang tinggi pada reseptor di keratinosit dan sel langerhans, sehingga patogenesis DA lebih
Page 49
diperankan oleh reaksi tipe I. Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, rangsangan zat/bahan langsung pada sel mast dapat menyebabkan sel mast berdegranulasi dan melepaskan berbagai mediator, antara lain histamin, kinin, bradikinin, tripsin, papain, leukotriene B4, prostaglandin E2, dan 12 HETE. Mediator tersebut menimbulkan vasodilatasi, reaksi inflamasi, rasa gatal, dan manifestasi inflamasi di kulit. Pasien DA secara genetik menunjukkan hipersensitivitas terhadap berbagai alergen, misalnya debu rumah, ttungau debu rumah, serbuk sari bunga/polen, makanan, dan Staphylococcus aureus (superantigen). Alergen Faktor eksogen, terutama alergen hirup (debu rumah, tungau debu rumah) berperan penting pada terjadinya DA. Alergen hirup lainnya yang sering memengaruhi adalah human dander, animal dander, molds, grasses, trees, regweed, dan pollen. Beberapa penelitian membuktikan peningkatan kadar IgE spesifik (IgE REST) terhadap tungau debu rumah (D. pteronyssinus) lebih tinggi pada pasien DA dibandingkan dnegan kondisi lain. Kadar IgE spesifik meningkat terhadap debu rumah, bulu anjing, bulu kucing, bulu kuda, dan jamur. Hasil uji tempel terhadap alergen tungau debu rumah menginduksi perubahan histopatologik berupa pembentukan infiltrat seluler yang diperantarai sel TH-2 serta ditemukan eosinofil dan basofil. Bukti lain adalah berkurangnya reaksi alergi bila menghindari alergen. Penelitian Ridhawati Muchtar tahun 2000 di Divisi Kulit Anak, Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSCM, pada 20 DA anak kelompok usia 4-7 tahun didapatkan hasil uji tusuk terhadap TDR Positif pada 14 (70%) DA anak, dan uji atopic patch test (APT) positif pada 10 (50%) DA anak, IgE spesifik terhadap TDR positif pada 12 (60%) DA anak.
Page 50
Hasil penelitian alergi terhadap makanan bervariasi dalam jenis dan frekuensi. Selain dilakukan anamnesi riwayat alergi makanan pada kekambuhan DA, atau dengan IgE RAST, dapat juga dibuktikan dengan uji kulit antara lain uji tusuk (prick test), soft allergen food patch test (SAFPT) atau atopic patch test, dan double blind placebo controlled foof challenge test (DBPCFCT). Data hasil satu penilitian memperlihatkan urutan alergen yang sering ditemukan dan uji kulit bereaksi positif pada DA adalah telur (69%), susu sapi (52%), kacang-kacangan (42%), soya (34%), dan gandum (33%), serta lainnya terhadap ikan dan ayam. Superantigen Berbagai hasil penelitian pada lesi DA menunjukkan peningkatan kolonisasi Staphylococcus aureus.
Walaupun demikian sangat
jarang terjadi komplikasi sepsis. Hasil intervensi antibiotik menurunkan jumlah kolonisasi tersebuut. Yang menarik adalah jumlah kolonisasi SA tersebut juga menurun setelah pemberian kortikosteroid
topikal
poten
atau
trakolimus
topikal.
Dtaphylococcus aureus mampu melekat di kulit karena interaksi antara protein A2 dan asam teikoik pada dinding sel dengan fibronektin, laminin, dan fibrinogen. Pada DA perubahan komposisi lipid serta berkurangnya sfongosin dan natural agent memungkinkan SA tumbuh dan berkolonisasi. Sebagian galur RA memproduksi toksin yang bertindak sebagai superantigen, antara lain enterotoksin A, enterotoksin B, dan toksin SSS penyebab Staphylococcal scalded skin syndrome (4S). Superantigen mempunyai efek imunomodulator, menyebabkan apoptosis sel T, sel eosinofil, meningkatkan penglepasan histamin dan
leukotriene,
sintesis
IgE,
serta
menurunkan
potensi
glukokortikoid. Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa
Page 51
superantigen menyebabkan inflamasi pada kulit DA (50-60%). Penelitian lain memperlihatkan temuan IgE anti-stafilokokkus pada sekitar 25% pasien DA, sedangkan IgE antibodi terhadap superantigen didapatkan pada 57% pasien DA dewasa dan pada 34% DA anak. Demikian pula terdapat peningkatan IgE spesifik terhadap SEB. Superantigen memacu kekambuhan lesi DA menjadi rekalsitran dan kronik serta menginduksi influks cutaneous lymphocyte antigen (CLA) pada reseptor sel T. Pada tahap pengobatan DA terhadapt superantigen dapat diberikan obat golongan makrolid, yaitu takrolimus atau pimekrolimus yang berpotensi menghambat kalsineurin yang diproduksi sel T dan menghambat IL-2, IL-3, IL-4, TNF α, dan GSM-CSF. Tahun 1977 Aly dkk
melaporkan
bahwa
63%
SA
resisten
terhadap
penisilin,14% terhadap tetrasiklin, dan 20% terhadap eritromisin. Di Australia ditemukan pada isolasi
methicillin
resistant
Staphylococcus aureus (MRSA) pada 30% pasien kulit. Predisposisi Genetik Penelitian genetik berdasarkan silsilah keluarga menyatakan, bahwa risiko DA pada kembar monozigot sebesar 77% dna apda kembar dizigot 25%. DA sering ditemukan pada sebuah keluarga, namun penurunannya tidak mengikuti hukumMendel. Ada kecenderungan lebih banyak terjadi pada perempuan dan ditemukan banyak gen yang terlibat pada DA, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada warisan DA bersifat multifaktorial. Sejak lama telah diketahui keterkaitan antara DA, Asma Bronkial, Rhinitis Alergi, dan peningkatan kadar IgE dalam serum dengan HLA pada kromosom 6 dan lokus yang berbeda. Hasil penelitian sebagai berikut.
Kromosom 5 (interleukin cluster) : banyak penelitian terhadap kromosom 5 memperlihatkan antara asma, atopi
Page 52
dan DA dengan 5q23-31 yang merupakan kluster sitokin. Sitokin tersebut adalah IL-4, IL-13, CD14 antigen dan IL12B.
Kromosom 6 MHC : haisl penelitian menunjukkan ketertarikan antara asma dan atopi dengan gen MHC-II, yaitu pada alel HLA-DR4 dan DR7.
Kromosom 16 : telah terdeteksi ketertarikan polimorfisme gen IL-4RA dengan IL-4, IL-13, sitokin TH-2, dan IgE dengan fenotip DA serta asma bronkhial.
Tidak semua fenotip DA diekspresikan oleh genotip. Gen predisposisi atopi pada ras atau negara tertentu hasilnya bervariasi. Keadaan ini lazim ditemukan pada pola penurunan yang bersifat multifaktor.
Faktor Psikologis Pada psikoanalisis didapatkan tingkat gangguan psikis pada DA tergolong tinggi, antara lain berupa arsa cemas, stress dan depresi. Rasa gatal yang hebar memicu garukan yang terus menerus sehingga menyebabkan kerusakan kulit, sebaiknya dengan melihat kerusakan kulit rasa cemas makin meningkat. Rasa cemas meningkat manakala pasien bertemu dengan saudara, teman di sekolah, dan kesukaran menghentikan garukan. Pasien DA mempunyai kecenderungan bersifat temperamental, mudah marah agresif, frustasi, dan sulit tidur. e.
Gejala klinis14 Manifestasi dan tempat predileksi DA pada masing-masing fase dapat berbeda. Dibandingkan dengan dermatitis lainnya, DA secara subyektif lebih gatal. Rasa gatal dan garukan yang terus menerus memicu kerusakan barier kulit, sehingga mempermudah masuknya
Page 53
alergen dan iritan. Keadaan tersebut menyebabkan DA sering berulang (kronik-residif). Perjalanan penyakit yang demikian berdampak gangguan fisik dan emosi pasien, sehingga kualitas hidup menurun.
Dermatitis atopik fase infantil
(sumber: bahan ajar) DA lebih sering muncul pada usia bayi (2 bulan-2 tahun), umumnya awitan DA terjadi pada usia 2 bulan. Tempat predileksi utama di wajah diikuti kedua pipi dan tersebar simetris. lesi dapat meluas ke dahi, kulit kepala, telinga, leher, pergelangan tangan dan tungkai
terutama
di
bagian
volar
atau
fleksor.
Dengan
bertambahnya usia, fungsi motorik bertambah sempurna, anak mulai belajar merangkak dan belajar berjalan, sehingga lesi kulit dapat ditemukan di bagian ekstensor, misalnya lutut, siku, atau di tempat yang mudah mengalami trauma. Gambaran klinis pada fase ini lebih mirip dengan dermatitis akut, eksudatif, erosi dan ekskoriasi. Karena gatal dan garukan lesi mudah mengalami infeksi sekunder. Fase infantil dapat mereda dan menyembuh. Pada sebagian pasien dapat berkembang menjadi fase anak atau fase remaja. Pada bayi usia kurang dari 1 tahun, beberapa alergen makanan (susu sapi, telur, kacang-kacangan) kadang-madang masih berpengaruh, tetapi pada usia yang lebih tua alergen hirup
Page 54
dianggap lebih berpengaruh. Namun demikian, hal tersebut masih diperdebatkan.
Dermatitis atopik fase anak
(Sumber: bahan ajar)
(sumber : bahan ajar) Pada DA fase anak (usia 2-10 tahun) dapat merupakan kelanjutan fase infantil atau muncul tanpa didahului fase infantil. Tempat predileksi yang lebih sering di fossa kubiti dan poplitea, fleksor pergelangan tangan, kelopak mata dan leher, dan tersebar simetris. Kulit pasien DA dan kulit pada lesi cenderung lebih kering. Lesi dermatitis cenderung menjadi kronis, disertai hiperkeratosis, hiperpegmenasi, erosi, ekskoriasi, krusta dan skuama. Pada fase ini pasien DA lebih sensitif terhadap alergen hidup, wol dan bulu binatang.
Dermatitis atopik fase remaja dan dewasa
Page 55
(sumber : bahan ajar) DA fase remaja dan dewasa (usia >13 tahun) dapat merupakan kelanjutan fase infantil atau fase anak. Tempat predileksi mirip dengan fase anak, dapat meluas mengenai kedua telapak tangan, jari-jari, pergelangan tangan, bibir, leher bagian anterior, skalp, dan puting
susu.
Manifestasi
hiperpegmentasi,
klinik
hiperkeratosis,
bersifat
likenifikasi,
kronis,
berupa
ekskoriasi
dan
skuamasi. Rasa gatal lebih hebat saat beristirahat, udara panas dan berkeringat. Fase ini berlangsung kronik-residif sampai usia 30 tahun, bahkan lebih. f.
Penegakan Diagnosis Kriteria diagnosis Dalam praktik sehari-hari dapat digunakan kriteria William guna menetapkan diagnosis DA, yaitu:
Harus ada: kulit yang gatal (atau tanda garukan pada anak kecil)
Ditambah 3 atau lebih tanda berikut: Riwayat perubahan kulit atau kering di fossa cubiti, fossa poplitea, bagian anterior dorsum
Page 56
pedis, atau seputar leher (termasuk kedua pipi pada anak < 10 tahun) Riwayat asma atau hay fever pada anak (riwayat atopi pada anak < 4 tahun pada generasi-1 dsalam keluarga) Riwayat kulit kering sepanjang akhir tahun Dermattitis fleksural (pipi, dahi dan paha bagian lateral pada anak < 4 tahun) Awitan dibawah usia 2 tahun (tidak dinyatakan pada anak < 4 tahun) Kriteria William lebih sederhana, praktis, dan cepat, karena tidak memasukkan beberapa kriteria minor Hanifin Rajka yang hanya didapatkan pada kurang dari 50% pasien DA. Kriteria William lebih spesifik, sedangkan kriteria Hanifin Rajka lebih sensitif. Diagnosis DA didasarkan kriteria Hanifin & Rajka: Kriteria Mayor (Minimal harus ada 3 dari 4 tanda):
Pruritus (eksoriasi kadang terlihat)
Dermatitis di muka atau ekstensor pada bayi dan anak
Dermatitis fleksura pada dewasa
Dermatitis kronis atau residif
Riwayat atopi pada penderita pada keluarganya
Kriteria Minor (Ditambah 3 atau lebih kriteria minor):
Xerosis (kulit kering)
Infeksi kulit ( khususnya oleh S.aureus dan virus herpes simpleks)
Dermatitis nonspesifik pada tangan atau kaki
Iktiosis (khususnya hiperlinear palmaris atau pilaris keratosis)
Ptiriasis alba Page 57
Dermatitis di papilla mamae
White dermographism and delayed blanch response
Keilitis
Lipatan infra orbital DennieMorgan
Konjungtivitis berulang
Keratokonus
Katarak subscapular anterior
Orbita menjadi gelap
Alergi makanan
Muka pucat atau eritem
Gatal bila berkeringat
Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak
Aksentuasi perifolikuler
Hipersensitif terhadap makanan
Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau emosi
Tes kulit alergi tipe dadakan positif
Kadar IgE di dalam serum meningkat
Awitan pada usia dini
Diagnosis DA untuk bayi didasarkan kriteria Hanifin & Rajka: 3 kriteria mayor :
riwayat atopi pada keluarga
dermatitis di muka atau ekstensor
pruritus.
ditambah 3 kriteria minor :
xerosis/iktiosis/hiperliniaris palmaris
aksentuasi perifolikular
fisura belakang telinga
Page 58
skuama di skalp kronis.
Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang hanya dilakukan apabila ada keraguan klinis. Peningkatan kadar IgE dalam serum juga dapat terjadi pada sekitar 15% orang sehat, demikian pula kadar eosinofil, sehingga tidak patognomonik. Uji kilit dilakukan bila ada dugaan pasien alergik terhadap debu atau makanan tertentu, bukan untuk diagnostik. g.
Penatalaksanaan Penatalaksanaan dermatitis atopik harus mengacu pada kelainan dasar, selain mengobati gejala utama gatal untuk meringankan penderitaan penderita. Penatalaksanaan ditekankan pada kontrol jangka waktu lama (long term control), bukan hanya untuk mengatasi kekambuhan19,20 Pengobatan dermatitis atopik kronik pada prinsipnya adalah sebagai berikut:
Menghindari bahan iritan Penderita dermatitis atopik rentan terhadap bahan iritan yang memicu dan memperberat kondisi seperti sabun, deterjen, bahan kimiawi, rokok, pakaian kasar, suhu yang ekstrem dan lembab. Pemakaian sabun hendaknya yang berdaya larut minimal terhadap lemak dan dengan PH netral.
Hindari
sabun
atau
pembersih
kulit
yang
mengandung antiseptik atau antibakteri yang digunakan rutin karena mempermudah resistensi, kecuali bila ada infeksisekunder. Pakaian baru hendaknya dicuci terlebih dahulu sebelum dipakai dengan deterjen untuk menghindari formaldehid atau bahan kimia. Usahakan tidak memakai pakaian yang bersifat iritan seperti wol atau sintetikyang Page 59
menyebabkan gatal, lebih baik menggunakan katun. Pemakaian tabir surya juga perlu untuk mencegah paparan sinar matahari yang berlebihan.19,20
Mengeliminasi alergen yang telah terbukti Alergen yang telah terbukti sebagai pemicu kekambuhan harus dihindari, seperti makanan (susu, kacang, telur, ikan laut, kerang laut dan gandum), debu rumah, bulu binatang, serbuk sari, tanaman dan sebagainya.20
Pengobatan Topikal Menghilangkan pengeringan kulit (hidrasi) Kulit penderita dermatitis atopik menunjukkan adanya transepidermal water loss yang meningkat. Oleh karena itu hidrasi penting dalam keberhasilan terapi, biasanya menggunakan
pelembab.
memperbaiki
fungsi
Pemaikan
barier
stratum
pelembab
dapat
korneum
dan
mengurangi kebutuhan steroid topikal. Sebuah studi menunjukkan bahwa pelembab mungkin mengurangi 50% kebutuhan pemakaian kortikosteroid topikal.14,20
Pelembab dapat dibedakan menjadi tiga yaitu pelembab humektan, oklusif , dan emolien. Pelembab humektan merupakan bahan aktif dalam komestik yang ditujukan untuk meningkatkan kandungan air pada epidermis. Bahanbahan yang termasuk ke dalam humektan terutama bahanbahan yang bersifat higroskopis yang dapat digunakan secara khusus untuk tujuan melembabkan kulit, contoh humektan adalah gliserin. Pelembab oklusif adalah bahan aktif kosmetik yang menghambat terjadinya penguapan air dari permukaan kulit. Dengan menghambat terjadinya penguapan air pada permukaan kulit, bahan-bahan oklusif dapat meningkatkan kandungan air dalam kulit. Contoh
Page 60
oklusif adalah petrolatum.Pelembab yang digunakan bisa berbentuk cairan, krim atau salep. Misalnya krim hidrofilik urea 10%, dapat pula ditambahkan hidrokortison 1% didalamnya. Bila memakai pelembab yang mengandung asam laktat, konsentrasinya jangan lebih dari 5% karena dapat mengiritasi bila dermatitisnya masih aktif.14,20 Kortikosteroid topikal Kortikosteroid
topikal
adalah
yang
paling
banyak
digunakan sebagai anti inflamasi. Selain itu dapat berguna pada saat ekserbasi akut, anti pruritus dan sebagai anti mitotik. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hoare C, dkk menggunakan kortikosteroid topikal pada 83 pasien dermatitis atopik dengan menggunakan simple randomized control trialshasil dari penggunaan kortikosteroid topikal kurang dari satu bulan 80% menunjukkan pemulihan sangat baik.14 Pada prinsipnya penggunaan steroid topikal dipilih potensi yang paling lemah yang masih efektif, karena semakin kuat potensi semakin banyak efek sampingnya. Potensi dari kortikosteroid topikal diklasifikasikan berdasarkan potensi vasokontriksi pembuluh darah. Pada bayi digunakan kortikosteroid
topikal
potensi
rendah,
misalnya
hidrokortison 1-2,5%.Pada anak dan dewasa dipakai steroid potensi menengah, misalnya triamsinolon, kecuali pada muka diberikan steroid yang berpotensi lebih rendah. Pada daerah
genitalia
dan
intertriginosa
juga
digunakan
kortikosteroid topikal yang berpotensi rendah jangan digunakan yang berpotensi tinggi seperti Fluorinated glukokortikoid.Bila
aktivasi
penyakit
telah
dikontrol
Page 61
dipakai secara intermiten, umumnya 2 kali seminggu, untuk menjaga agar tidak cepat kambuh sebaiknya dengan kortikosteroid yang potensinya paling rendah.14,21 Preparat tar Walaupun tidak sekuat kortikosteroid topikal, Preparat tar batubara mempunyai efek anti-gatal dan anti-inflamasi. Preparat tar sebaiknya dipakai pada lesi kronik tidak digunakan pada lesi akutkarena dapat menyebabkan iritasi. Efek sampingnya antaralain folikulitis, fotosensitivitas, dan potensi karsinogenik.14,21 Inhibitor kalsineurin topikal Inhibitor kalsineurin topikal merupakan non-steroidal agen yang bekerja melalui jalur immunologik baik menghambat atau meningkatkan reaksi imun dan inflamasi. Inhibitor kalsineurin
topikal
terdiri
atas
takrolimus
dan
pimekrolimus. Takrolimus (FK-506) adalah suatu penghambat kalsineurin yang bekerja untuk menghambat aktivasi sel yang terlibat seperti sel langerhans, sel T, sel mas dan keratinosit. Takrolimus dapat diberikan dalam bentuk salep 0.03% untuk anak-anak 2-15 tahun dan untuk dewasa 0.03% dan 0.1%. Sedangkan pimekrolimus (ASM 81) merupakan suatu senyawa askomisin yaitu imunomodulator golongan makrolaktam, fermentasi
yang
pertama
Streptomyces
ditemukan
dari
hygroscopicusvar.
hasil Krim
pimekrolimus dapat diberikan 1% untuk anak-anak > 2 tahun dengan dermatitis atopik ringan sedang.
Page 62
Takrolimus dan pimekrolimus topikal telah terbukti efektif. Sebuah penelitian dengan takrolimus 0,1%, dikatakan mempunyai potensi yang sama dengan kortikosteroid topikal. Penelitian lain menunjukkan terapi takrolimus topikal memberi hasil lebih dari 70% pasien mengalami perbaikan sedang sampai baik dalam 3 minggu pemberian dan 30-40% pasien mengalami tingkat perbaikan lebih dari 90%.26 Kelebihan inhibitor kalsineurin topikal dibandingkan dengan kortikosteroid adalah tidak menyebabkan penipisan kulit, namun pada penggunaan awal akan menimbulkan sensasi terbakar di kuli. Takrolimus dan pimekrolimus tidak dianjurkan pada anak usia kurang dari 2 tahun.26
Pengobatan sistemik Pemberian antihistamin Antihistamin digunakan sebagai antipruritus yang cukup memuaskan, membantu untuk mengurangi rasa gatal yang hebat terutama pada malam hari. Karena dapat mengganggu tidur, antihistamin yang dipakai ialah yang mempunyai efek sedatif, misalnya hidroksisin, difenhidramin dan sinequan. cetrizine dan fexofenadine telah diuji keberhasilannya untuk mengatasi rasa gatal pada penderita dermatitis atopik anak-anak dan dewasa. Pada kasus yang lebih sulit dapat diberikan
doksepin
hidroklorid
yang
mempunyai
antidepresan dan memblokade reseptor histamine H1 dan H2, dengan dosis 10-75mg secara oral malam hari pada dewasa.14,19 Pada suatu penelitian menyatakan bahwa penggunaan antihistamin mempunyai bukti yang tidak adekuat untuk
Page 63
terapi dermatitis atopik, meskipun anti histamin dianjurkan karena memiliki efek sedatif. Pemberian antibiotik14,23 Pada penderita dermatitis atopik lebih dari 90% ditemukan peningkatan koloni Staphylococcus aureus.Untuk yang belum resisten dapat diberikan eritromisin, asitromisin atau klaritomisin, sedang untuk yang sudah resisten diberikan dikloksasilin, oksasilin, atau generasi pertama sefalosporin. Apabila dicurigai terinfeksi oleh virus herpes simpleks, kortikosteroid dihentikan sementara dan diberikan oral asiklovir. Meskipun kombinasi kortikosteroid topikal dan antibiotik digunakan dalam terapi dermatitis atopik, tetapi tidak ada bukti yang baik bahwa kombinasi keduanya memiliki manfaat yang lebih dibandingkan pemakaian kortikosteroid topikal saja. Kortikosteroid Sistemik14,23 Pada umumnya kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk mengontrol eksaserbasi akut. Penggunaannya hanya dalam jangka pendek, dosis rendah, berselang-seling, diturunkan bertahap dan kemudian diganti kortikosteroid topikal. Siklosporin14 Dermatitis atopik yang sulit digunakan dengan pengobatan konvesional dapat diberikan siklosporin jangka pendek. Siklosporin oral sebagai terapi sistemik dermatitis atopik tersedia dalam bentuk kapsul gelatin 25 atau 100 mg, durasi terapi singkat, namun penggunaan lebih dari setahun tidak Page 64
dianjurkan. Relaps dan rekurensi sering terjadi setelah penghentian terapi siklosporin. Mengurangi stress Stress emosi pada penderita dermatitis atopik merupakan pemicu kekambuhan, bukan sebagai penyebab. Usahausaha mengurangi stress adalah dengan melakukan konseling pada penderita dermatitis atopik, terutama yang mempunyai kebiasan menggaruk. Pada suatu penelitian small randomized trials, pendekatan psiko-terapi perlu dilaksanakan untuk mengurangi stress kejiwaan penderita. Relaksasi,modifikasi
mood
dan
biofeedbackmungkin
berguna pada penderita dengan kebiasaan menggaruk.19,23
Edukasi pada penderita maupun keluarganya Edukasi merupakan dasar dari suksesnya penatalaksanaan dermatitis atopik, yaitu perawatan kulit yang benar dan menghindari penyebab. Memberikan edukasi tentang penyakitnya, faktor-faktor pemicu kekambuhan, kebiasaan hidup dan sebagainya perlu diberikan pada penderita untuk memperoleh hasil yang optimal. Pada suatu penelitian dikatakan bahwa program edukasi orangtua tentang tatacara pengobatan topikal oleh penyedia pelayanan kesehatan akan sangat berguna untuk penderita dermatitis atopik.
Terapi sinar19,27 Pengobatan dengan sinar ultraviolet seperti UVA, UVB, narrowband UVB, UVA-1, kombinasi UVAdan UVB, atau bersama
psoralen
(fotokemoterapi)
dapat
digunakan
sebagai terapi tambahan karena dapat menyebabkan remisi
Page 65
panjang, namun berisiko menimbulkan penuaankulit dini dan keganasan kulit pada pengobatan jangka lama.Sinar UVB
narrowband
lebih
aman
dibanding
PUVA,
yangdihubungkan dengan karsinoma sel skuamosa dan melanomamaligna.
Fototerapi
dipertimbangkan
pada
dermatitis atopik yang berat danluas yang tidak responsif terhadap
pengobatan
topikal.
Fotokemoterapi
tidak
dianjurkan untuk anak usia kurang dari12 tahun karena dapat mengganggu perkembangan mata. Pada randomized clinical trials menunjukkan bahwa sinar UV (UVB, narrowband UVB, dan high intensity UVA) lebih menguntungkan untuk dermatitis atopik
pada
penggunaan jangka pendek. Rasa terbakar , gatal, dan efek karsinogen sering terjadi pada penggunaan jangka panjang. Fototerapi biasanya digunakan sebagai terapi lini kedua atau ketiga.
Balut basah (wet wrap dressing) Balut basah (wet wrap dressing) dapat diberikansebagai terapi tambahan untuk mengurangi gatal, terutamauntuk lesi yang berat dan kronik atau yang refrakter terhadap pengobatan biasa. Bahan pembalut (kasa balut) dapat diberilarutan
kortikosteroid
atau
mengoleskan
krim
kortikosteroidpada lesi kemudian dibalut basah dengan air hangat danditutup dengan lapisan atau baju kering di atasnya. Cara ini sebaiknya dilakukan secara intermiten dan dalam waktu tidak lebih dari 2-3 minggu. Balut basah dapat pula dilakukandengan mengoleskan emolien saja di bawahnya sehingga memberi rasa mendinginkan dan mengurangi gatal sertaberfungsi sebagai pelindung efektif terhadap garukansehingga mempercepat penyembuhan.
Page 66
Penggunaan menyebabkan
balut
basah
maserasi
yang
sehingga
berlebihan
dapat
memudahkaninfeksi
sekunder. Balut basah juga memiliki potensial dapat menambah kekeringan kulit danmenyebabkan fisura bila tidak disertaipelembab emolien. Balut basah banyak dijadikan terapi lini kedua atau ketiga untuk anak-anak yang resisten terhadap dermatitis atopik walaupun belum ada data yang mendukung. h. Komplikasi DA yang menalami perluasan dapat menjadi eritroderma. Artrofi kulit
(striae
atroficans)
dapat
terjadi
akibat
pemberian
kortikosteroid jangka panjang.
i. Prognosis Prognosis lebih buruk bila kedua orang tuanya menderita dermatitis atopik. Ada kecenderungan perbaikan masa spontan pada masa anak dan sering ada yang kambuh pada masa dewasa. Sebagian kasus menetap pada usia diatas 30 tahun. Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang baik pada dermatitis atopik adalah: 1) Dermatitis atopik luas pada anak 2) Menderita rhinitis alergik dan asma bronkial 3) Riwayat dermatitis atopik pada orang tua atau saudara kandung 4) Awitan dermatitis atopik pada usia muda 5) Anak tunggal 6) Kadar IgE serum sangat tinggi
Page 67
G. Pencegahan22 1. Health Promotion (Promosi Kesehatan) Promosi kesehatan merupakan ujung tombak dari 5 tingkat pencegahan penyakit. Promosi kesehatan adalah tahapan yang pertama dan utama dalam
hal
mencegah
persepsi bahwa
yang
penyakit. Singkatnya namanya
promosi
perlu
ada
persamaan
kesehatan adalah
proses
memberikan informasi kesehatan kepada masyarakat agar masyarakat mau dan mampu memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Contohnya memberikan sosialisai kepada masyarakat agar bagaimana menjaga kesehatan kulitnya, misalnya tidak bertukaran handuk satu sama lain, tidak bersentuhan langsung dengan cairan penderita penyakit kulit.
2. Specific Protection (Perlindungan Khusus) Perlindungan
khusus
perlindungan
yang
yang
dimaksud
diberikan kepada
dalam tahapan orang-orang
atau
ini
adalah
kelompok
yang beresiko terkena suatu penyakit tertentu. Perlindungan tersebut dimaksudkan agar kelompok yang beresiko tersebut dapat bertahan dari serangan penyakit yang mengincarnya. Oleh karena demikian, perlindngan khusus ini juga dapat disebut kekebalan buatan. Contohnya adalah imunisasi HPV yang diberikan kebada masyarakat agar dapat mencegah terjadinya penyakit yang disebabkan oleh virus .
3. Early Diagnosis and Prompt Treatment (Diagnosis Dini dan Pengobatan yang Cepat dan Tepat) Diagnosis dini dan pengobatan yang tepat dan cepat merupakan langkah pertama ketika seseorang telah jatuh sakit. Tentu saja sasarannya adalah orang-orang yang telah jatuh sakit, agar sakit yang dideritanya dapat segera diidentifikasi dan secepatnya pula diberikan pengobatan yang tepat. Tindakan ini dapat mencegah orang yang sudah sakit, agar penyakinya tidak tambah parah. Perlu kita ketahui bahwa faktor yang membuat seseorang dapat sembuh dari penyakit yang dideritanya bukan
Page 68
hanya dipengaruhi oleh jenis obat yang diminum dan kemampuan si tenaga medisnya. Tetapi juga dipengaruhi oleh kapan pengobatan itu diberikan. Semakin cepat pengobatan diberikan kepada penderita, maka semakin besar pula kemungkinan untuk sembuh.
4.
Disability Limitation (Pembatasan Kecacatan) Kecacatan penderita
yang ditakutkan terjadi disebabkan pengobatan kepada tidak
sempurna. Adapun
pembatasan
kecacatan
terkesan membiarkan penyakit menyerang dan membuat cacat si penderita, baru
kemudian diambil
tindakan. Banyak
penyakit
yang
dapat
menimbulkan kecacatan dapat dicegah dengan pengobatan yang lebih sempurna. Salah satunya adalah dengan meminum obat yang diberikan oleh dokter sampai habis.
5. Rehabilitation (Rehabilitasi) Selanjutnya yang terakhir adalah tahapan rehabilitasi. Rehabilitasi merupakan tahapan yang sifatnya pemulihan. Ditujukan pada kelompok masyarakat yang dalam masa penyembuhan sehingga diharapkan agar benar- benar pulih dari sakit sehingga dapat beraktifitas dengan normal kembali. Apalagi kalau suatu penyakit sampai menimbulkan cacat kepada penderitanya, maka tahapan rehabilitasi ini bisa dibilang tahapan yang menentukan hidupnya kedepan akan seperti apa nantinya. Perlu diketahui bahwa
dalam
tahapan rehabilitasi
minimal
ada
4
poin
yang
harus diperhatikan, yakni pemulihan fisiknya, pemulihan mentalnya, pemulihan status sosialnya dalam masyarakat, serta pemulihan estetis.
Page 69
H. Integrasi Keislaman ْ َُّّوي ُِحب َََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََََّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّّطﻬِّ ِريْن ََّ ََّﺍل ُمت َ َﺍِنَّﷲَي ُِحبُّ َّﺍلتوﺍبِيْن... “...Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan orang orang yang menyucikan / membersihkan diri”. (QS. Al-Baqarah: 222)
۟ ُاسَّ ُكل ْ َِّمماَّف َ َّضَّ َح َٰلَ اًل طيِّباا ِ وﺍ ِ ىَّٱْل َ ْر ُ َٰ َٰٓيَأَيُّ َﻬاَّٱلن “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi,” (QS. Al-Baqarah: 168) َّللاَ الَّذِي أَ ْنت ُ ْم بِ ِه ُمؤ َّ َّللاُ َح ََل اًل َطيِباا ۚ َواتَّقُوا َّ ِمنُونَ ْْ َو ُكلُوا ِم َّما َر َزقَ ُك ُم “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” (Q.S Al-Maidah: 88) Pada tiga penggalan ayat Al-Qur’an tersebut, Allah SWT. telah memerintahkan manusia untuk menjaga kebersihan dan menjaga pola makan, hal ini berhubungan dengan penyebab penyakit kulit. Yang pertama yaitu kurangnya menjaga kebersihan sehingga terdapat banyak mikroorganisme di lingkungan yang menyebabkan mudah terinfeksi. Selanjutnya, Allah memerintahkan kita untuk makan makanan yang bukan hanya halal tetapi juga baik ( halalan thoyyiban) agar tidak membahayakan tubuh kita. Bahkan perintah ini disejajarkan dengan bertaqwa kepada Allah, sebagai suatu perintah yang sangat tegas dan jelas.
Page 70
BAB III PENUTUP Berdasarkan skenario yang kelompok kami dapat, yaitu seorang wanita 27 tahun datang ke dokter umum dengan keluhan kemerahan pada kulit di seluruh badan yang disertai gatal setelah makan udang. Riwayat keluhan sering berulang setiap kali mengomsumsi makanan yang mengandung udang. Dari anamnesis diperoleh informasi bahwa ayahnya juga memiliki riwayat alergi. Hasil pemeriksaan fisis ditemukan adanya eritema dan edema di seluruh tubuh dan perioral. Maka kelompok kami telah melakukan studi literatur dan pembahasan lebih mendalam terkait kasus tersebut, sehingga kami dapat menentukan beberapa penyakit yang mungkin diderita pasien, yakni Urtikaria, Angiodema atau Dermatitis Atopik. Adapun tabel diagnosis banding sesuai skenario sebagai berikut: Urtikaria
Angiodema
Dermatitis Atopik
Wanita
+
+
+
27 tahun
+
+
+/-
seluruh
+
+
+
Gatal setelah makan udang
+
+/-
+
Riwayat atopik
+
+
+
Eritema seluruh tubuh dan
+
+/-
+
+
+
-
Ruam
merah
badan
perioral Edema seluruh tubuh dan perioral
Setelah melihat tabel diagnosis banding diatas, maka kelompok kami menentukan diagnosis utama untuk skenario ini yaitu Urtikaria.
Page 71
DAFTAR PUSTAKA 1. Kalangi, Sonny J. R. Anatomi, Histologi dan Fisiolofi Kulit. Manado: Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi. 2013. 2. Sari Pediatri, Vol. 2, No. 4, Patofisiolgi infeksi pada kulit, Maret 2001: 2005 – 2009 3. Hikmah N, Dewanti D. Seputar Reaksi Hipersensitivitas (Alergi). Stomatognatic (J.K.G Unej) Vol. 7 No. 2. 2010, p.108-112 4. Abbas, A.K., Aster, J.C., dan Kumar, V. Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi 9. Singapura: Elsevier Saunders. 2010, p 111-113 5. Suryantoko, Pawarti D R. Peran Diet Eliminasi Alergi Makanan Pada Diagnosis Dan Terapi Rinitis Alergi. JURNAL THT-KL, Vol. 5, No. 3, September - Desember 2012, p. 170 – 187 6. Djuanda, Adhi. Pioderma. Dalam : Sri Linuwih SW Menaldi, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2015,p.72-73 7. Marwali harahap. Ilmu penyakit kulit. Jakarta: hipokrates. 2000 8. Djuanda, A Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2008 9. Poonawalla, T., Kelly, B.Urticaria – a review. Am J Clin Dermatol; 10(1). 2009,p.9-21 10. Sheikh,
J.,
Najib,U.Urticaria.
Emedicine,
Artikel.Diakses
http://emedicine.medscape.com/article/137362-print.
Dikutip
dari 16
desember 2009. 2009 11. Gaig, P., Olona1, M., Lejarazu, D.M., et al. Epidemiology of urticaria in Spain. J Invest Allergol Clin Immunol; 14(3). 2004. 214-220 12. Rikyanto. Urtikaria dalam: Handout Bahan Ajar Kuliah. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran UMY. 2006 13. Siti setiawati,dkk. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid I. Edisi VI. Internal publishing: jakarta 2014
Page 72
14. Djuanda, Adhi. Pioderma. Dalam : Sri Linuwih SW Menaldi, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2015. p.167-183. 15. Bieber T. Atopic dermatitis. N Engl J Med. 2008;358:1483-94. 16. Watson W, Kapur S. Atopic dermatitis. Allergy, Asthma & Clinical Immunology. 2011:7;S4. 17. Eaton A, Melonson A, Seals SE. Atopic dermatitis in the pediatric population: pathogenesis, treatment and quality of life issues. Us Pharm. 2012:37(4):31-4. 18. Dahbi SM, Renz H. Role of inhalant allergens in atopic dermatitis. In: Reitamo S, Luger TA, Steinhoff M, editors. Text book of Atopic Dermatitis. London: Informa UK Ltd, 2008; p.101-15. 19. Kariosentono H. Dermatitis Atopik (eksema). Surakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) UNS dan UPT Penerbitan dan Percetakan UNS. 2006 . h. 1-28. 20. Sugito TL. Penatalaksanaan Terbaru Dermatitis Atopik. Dalam : Boediardja SA, Sugito TL, Indriatmi W, Devita M, Prihianti S,editor. Dermatitis atopik. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009. p. 39-55. 21. Leung DYM, Bieber T. Atopic dermatitis. The Lancet.361:151-60. 2003 22. Hennino A, Cornu C, Rozieres A, Augey F, Villard TF, Payot F, et al. Influence of measles vaccination on the progression of atopic dermatitis in infants. Pediatr Allergy Immunol. 2007. 18:385-90. 23. Leung DYM, Eichenfield LF, Boguniewicz M. Atopic Dermatitis. In: Goldsmith LA, Katz LI, Gilchrest BA, Paleer AS, Leffell DJ, Wolff K, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine (Eight Edition). New York: McGraw Hill Companies. 2008. p. 146- 58. 24. Sularsito SA, Djuanda A. Dermatitis. In: Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin (Edisi ke5). Jakarta: FKUI. 2007. p.129-58. 25. Formosa MC. Atopic dermatitis. Malta Medical Journal. 2007:9:46-51.
Page 73
26. Jacoeb TNA. Manifestasi klinis dermatitis atopik pada anak. Dalam: Boediardja SA, Sugito TL, Rihatmadja R, editor. Dermatitis pada bayi dan anak. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2004. hlm. 58-78. 27. Maibach HI. Evidence Based Dermatology edisi ke-2. California: People’s Medical Publishing House; 2011. h. 297-325.
Page 74