2 Agustus 2_6

  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 2 Agustus 2_6 as PDF for free.

More details

  • Words: 24,152
  • Pages: 73
Hasil Audit GACA Garuda Bebas Terbangi Arab Saudi Nograhany Widhi K - detikcom Jakarta - Hasil audit tim ahli dari General Authority of Civil Aviation (GACA) Arab Saudi menyimpulkan tidak ada hambatan penerbangan Garuda untuk terbang ke Arab Saudi, terutama untuk urusan haji. Hal ini disampaikan Menteri Perhubungan Jusman Syafei Djamal di Departemen Perhubungan, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis (2/8/2007). "Tidak akan ada restriksi penerbangan Garuda untuk terbang ke Arab Saudi, terutama untuk haji," kata Jusman. Menurut dia, Garuda tetap bisa melakukan penerbangan seperti biasa untuk urusan haji. "Memang ada beberapa protokol yang perlu ditindaklanjuti tetapi tidak menghalangi penerbangan Garuda ke Arab Saudi. Jadi tidak ada halangan terbang di wilayah Arab Saudi," ujarnya. Vice President for Safety and Economic Regulation GACA Mohammed R Berenji menilai sudah ada peningkatan dan pengembangan status dan regulasi Garuda. "Saya optimistis Garuda menjadi lebih baik," kata Berenji. Pemerintah Arab Saudi sebelumnya diberitakan hendak mengikuti kebijakan Uni Eropa yang melarang maskapai Indonesia menerbangi wilayahnya. Indonesia lantas mengundang GACA untuk mengaudit maskapai dalam negeri untuk mengetahui kemajuan tingkat keselamatan penerbangan nasional. Tim GACA tiba di Jakarta akhir Juli lalu. (aan/nrl) Jakarta - Mengejutkan! Lebih dari 30 ribu balita di Indonesia pertahun tewas akibat penyakit campak. Depkes pun akan menggalakkan vaksinasi mulai 10 Agustus 2007 nanti. Imunisasi campak ini ditargetkan di 12 provinsi. "Mulai 10 Agustus nanti hingga satu bulan, Depkes akan melakukan kampanye imunisasi campak dengan target 12 provinsi," kata Menkes Siti Fadilah Supari dalam jumpa pers di Depkes, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta, Kamis (2/8/2007). Menurut Siti, imunisasi campak ini dilakukan minimal dua kali, yakni pada anak-anak usia 6-56 bulan dan usia 6-12 tahun. Siti menyesalkan banyaknya ibu-ibu yang takut mengimunisasikan anak-anaknya lantaran takut ada kandungan minyak babi dalam cairan yang disuntikkan.

"Jangan percara tentang imunisasi yang menganduk minyak babi. Karena itu hanya dipakai sebagai katalisator. Tidak disuntikkan ke anak," tegas Menkes. Akibat isu tidak benar tersebut, lanjut Siti, sejak tahun 2005 ada sekitar 700 ribu anak tidak diimunisasi. "Padahal kita sudah dapat lisensi dari MUI," pungkasnya. (anw/sss) Baca juga: Air Bercampur Tinja dan Asam Bongkrek Picu Penyakit Misterius Amelia Altiara Abera - detikcom Jakarta - Penyebab penyakit misterius yang menyerang warga Dusun Beran, Desa Kanigoro, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, diduga dipicu dua hal. "Ada dua kemungkinan, yakni adanya logam berat yang berasal dari air yang tercampur oleh tinja akibat sanitasi lingkungan tidak bagus, dan asam bongkrek yang terdapat dalam tempe gembus," ujar Menkes Siti Fadilah Supari. Hal tersebut ia sampaikan dalam jumpa pers di kantor Depkes, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta, Kamis (2/8/2007). Dari kedua kemungkinan tersebut, Siti lebih menuduh asam bongkrek sebagai penyebab penyakit misterius ini. "Dugaan kami mengerucut pada tempe gembus," kata Siti. Siti menambahkan, saat ini bagian Litbang Depkes sedang meneliti asam bongkrek tersebut. "Hasilnya baru diketahui satu minggu lagi," kata dia. Saat ditanya apakah penyakit misterius ini juga disebabkan oleh cacing mikroba, Menkes tidak menampiknya. "Cacing mikroba terdapat dalam air yang sanitasinya tidak bagus, ini juga kita teliti, hasilnya minggu depan," pungkasnya. (anw/sss) Baca juga: 01/08/2007 13:23 WIB Korban Penyakit Misterius Tidak Makan Tempe Gembus Bagus Kurniawan - detikcom Magelang - Tempe gembus sebagai penyebab penyakit misterius di Desa Kanigoro, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang, diragukan warga. Sebab, para korban tidak mengonsumsi tempe gembus sebelum jatuh sakit. Mereka hanya mengonsumi nasi dan sayuran biasa.

"Kami tidak makan tempe gembus sebelum kejadian, tapi kalau sayur kacang panjang dan daun kol serta tempe atau tahu memang iya dan itu menu sehari-hari," kata Asmuni di rumahnya, di Dusun Beran Desa Kanigoro, Kecamatan Ngablak Kabupaten, Magelang, Rabu (1/8/2007). Menurut dia, warga tidak terbiasa mengonsumsi makanan seperti tempe gembus yang berasal dari ampas tahu itu. Sebab untuk membelinya, warga harus pergi ke pasar Grabag atau Pasar Ngablak yang berjarak sekitar 6-8 km. Kalaupun harus ke pasar, mereka pergi ke pasar terdekat di dusun sebelah, namun tidak dilakukan setiap hari. "Paling-paling seminggu atau tiga hari sekali ke pasar kalau memang ada kebutuhan yang harus dibeli di sana. Kami tiap hari makan dengan lauk dan sayuran seadanya," kata Asmuni yang juga ditinggal istrinya, Aslamiyah (37), akibat penyakit misterius itu. Sementara itu Kepala Desa Gadang Rintoko di Posko Kesehatan Dusun Beran mengatakan warga yang meninggal maupun yang dirawat d rumah sakit tidak makan tempe gembus. Namun bila ada yang makan tempe gembus, maka jumlah korban yang sakit maupun meninggal saat kejadian pertama pada hari Minggu 22 Juli lalu akan bertambah banyak. "Kalau pun ada warga yang makan gembus, mengapa mereka tidak sakit atau meninggal. Ini sangat berbeda dengan kondisi di lapangan. Kami juga belum tahu data atau hasil sepenuhnya dari Depkes," kata dia. (bgs/asy Menkes: Tempe Gembus Penyebab Kuat Penyakit Misterius Gagah Wijoseno - detikcom Jakarta - Keracunan tempe gembus. Itulah dugaan sementara yang menewaskan 10 orang warga Magelang, Jawa Tengah. Keracunan itu akibat bakteri pseudomonas cocovenenans yang berkembang biak di tempe gembus. "Menurut informasi, mereka makan tempe gembus makanya yang banyak kena itu ibuibu. Bapaknya sedang kerja. Kemungkinan besar keracunan itu disebabkan tempe gembus," kata Menkes Siti Fadilah Supari. Hal ini disampaikan Menkes di Departemen Kesehatan, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (31/7/2007). Selain tempe gembus, kata Menkes, ada beberapa dugaan yang menyebabkan kematian warga Magelang yakni keracunan logam seperti arsen, cadmium, cromium serta keracunan bahan biologis. "Dugaan keracunan logam masih perlu pemeriksaan lebih lanjut," ujarnya. Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) I Nyoman Kandun menambahkan keracunan disebabkan bakteri pseudomonas cocovenenans.

"Bakteri itu tidak hanya hidup di tempe bongkrek, tetapi juga di tempat lain seperti di tempe gembus. Kasus ini baru kali ini. Tetapi ini belum difinitif, masih pemeriksaan lebih lanjut tentang logam berat dan insektisida," terang Kandun. (aa LSI: 73% Penduduk Indonesia Dukung Amandemen UUD 1945 Iqbal Fadil - detikcom Jakarta - 73 Persen penduduk Indonesia mendukung amandemen UUD yang berkaitan dengan peningkatan wewenang Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Hal itu agar DPD lebih mampu memperjuangkan kepentingan daerah yang diwakilinya. Demikian hasil survei nasional yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) sepanjang bulan Juli 2007. Survei melibatkan 1.300 responden yang diambil dengan metode multistate random sampling. Tingkat kepercayaan mencapai 95 sedangkan margin of error lebih kurang 2,8 %. "Umumnya warga mendukung amandemen UUD 1945 untuk memperkuat wewenang DPD," kata Direktur LSI Saiful Mujani dalam diskusi publik dan pemaparan hasil survei LSI tersebut di Hotel Sari Pan Pacific, Jl MH Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (2/8/2007). Saiful menjelaskan, dukungan publik terhadap amandemen tersebut berdasarkan wewenang DPD yang selama ini dianggap lemah. Amandemen untuk memperkuat DPD tidak bisa dihindari agar representasi kepentingan daerah dapat terwakili. "Hampir semua warga mengharapkan agar DPD punya peran legislasi yang lebih jelas dan lebih kuat. Yakni, ikut memutuskan undang-undang yang berkaitan dengan daerah bersama-sama anggota DPR," ujarnya. Menurut Saiful, hasil survei ini membuktikan bahwa asumsi atau pendapat sebagian orang yang menyatakan usulan amandemen hanya berasal dari elit politik adalah salah. Meski warga tidak mengetahui bahwa DPD tidak punya fungsi legislasi, mereka mengharapkan fungsi legislasi DPD diperkuat dan tidak dibubarkan. (irw/nrl) Baca juga: 02/08/2007 12:41 WIB PAN Tarik Dukungan, Amandemen UUD Terancam Gagal Muhammad Nur Hayid - detikcom Jakarta - Akibat penarikan dukungan oleh PAN, amandemen UUD 1945 terutama pasal 22D tentang kewenangan DPD terancam gagal. Namun PAN berjanji untuk mengusulkan tambahan kewenangan DPD dalam revisi UU Susduk. "Kalau kurang, tentu pimpinan MPR tidak melanjutkan ke sidang majelis, karena tidak memenuhi syarat," ujar Wakil Ketua MPR asal PAN AM Fatwa di Gedung MPR, Senayan, Jakarta, Kamis (2/8/2007).

Menurut Fatwa, meski usulan DPD kali ini banyak tantangan, namun ia apresiatif dengan upaya DPD untuk mengenalkan lembaga tersebut secara kontinu kepada masyarakat. "DPD sudah sangat berjasa untuk mengenalkan lembaga ini ke masyarakat luas. Karena semua itu butuh proses," kata Wakil Ketua Majelis Penasihat Partai (MPP) PAN ini. Saat ditanya alasan PAN menarik dukungan tesebut, menurut Fatwa, keputusan itu adalah hasil rapat DPP. Namun kompensasinya, PAN akan mendorong dalam revisi UU Susduk untuk memberi kewenangan DPD yang lebih luas, bukan melalui amandemen. "Saya sudah diberi tahu itu hasil rapat DPP PAN. Komitmen PAN akan mengajak fraksifraksi lain untuk meningkatkan kewenangan DPD melalui revisi UU Susduk," tandasnya. Syarat minimal untuk melajutkan usulan DPD untuk mengamandemen pasal 22D UUD 1945 bisa ditindaklanjuti jika didukung oleh minimal 1/3 anggota MPR, yaitu 226 orang. (anw/sss) 02/08/2007 12:28 WIB Kasus Narkoba Turun di Kwartal I/2007 Andi Saputra - detikcom Jakarta - Kasus penyalahgunaan narkoba pada kwartal pertama 2007 mengalami penurunan dibanding tahun lalu, yakni dari 8.286 menjadi 7.027 kasus. "Untuk jumlah tersangka pun ikut menurun. Dari 16.040 menjadi 12.475," kata Kabareskrim Polri Komjen Pol Bambang Hendarso yang diwakili oleh Wakil Direktur IV/TP Narkoba dan KT Kombes Pol Badaruzzaman. Badaruzzaman menyampaikan hal itu di kantor Badan Narkotika Nasional (BNN), Jl MT Haryono, Jakarta Timur, Kamis (2/8/2007). Untuk bulan terakhir kwartal pertama 2007 ini (15 Mei-15 Juni), BNN pusat telah bekerja sama dengan 13 Polda dalam menangani penyalahgunaan narkoba. Hasilnya, total seluruh kasus adalah 1.127 dengan jumlah tersangka 1.581 orang. Adapun untuk nilai barang yang disita mencapai Rp 88 miliar. "Dari total semua yang tertangkap dapat diselamatkan dari pecandu sejumlah 232.620.143 orang," ujar Badaruzzaman. Badaruzzaman melanjutkan, pada kwartal pertama ini ada 18 kasus baru yang berhasil diungkap. Yakni, dari penemuan ladang ganja di Aceh sampai pabrik psikotropika. "Tadi malam sebetulnya kita juga telah menangkap jaringan. Tapi, karena masih dalam pengembangan belum bisa diberitahukan ke publik," pungkasnya. PAN Tak Persoalkan Amien Rais Dituduh Inkonsisten

Irwan Nugroho - detikcom Jakarta - Wakil Ketua DPD Laode Ida menuduh mantan ketua PAN Amien Rais tidak konsisten dengan dukungannya terhadap amandemen UUD 1945. PAN menanggapinya ringan. "Biasalah, Pak Laode," kata anggota FPAN DPR Putra Jaya Husin kepada detikcom, Kamis (2/8/2007). Menurut Husin, wajar jika sebelum mengambil keputusan DPP PAN meminta pertimbangan Amien Rais selaku Ketua Majelis Pertimbangan Pusat (MPP) partai berlambang matahari terbit itu. Namun, keputusan sepenuhnya berada di tangan DPP. Husin mengatakan, sejak awal, sebenarnya PAN tidak mendukung amandemen UUD 1945. Dari 53 anggota FPAN, hanya 5 yang menandatangani dukungan. "Ini kan UUD, tidak harus 5 tahun dikoreksi. Harusnya 15 tahun baru bisa. Kan dipraktekkan dulu, ada enggak dampaknya bagi masyarakat," ujar Husin. Apalagi, lanjut Husin, usul amandemen UUD 1945 kali ini hanya menyangkut kedudukan suatu lembaga negara, yakni DPD. Amandemen seperti itu sama sekali tidak menyentuh kepentingan masyarakat. "Jadi buat saya, DPD segera saja menguatkan diri. Menjadi komunikator antara bupati dan gubernur dengan DPR," pungkas Husin. Seperti diberitakan, PAN menarik dukungannya terhadap usul amandemen UUD 1945. Amis Rais disebut-sebut memiliki peran penting dalam pengambilan keputusan itu. (irw/nrl) PAN Cabut Dukungan Amandemen UUD Karena Tak Efektif Arifin Asydhad - detikcom Jakarta - Partai Amanat Nasional (PAN) resmi mencabut dukungan terhadap amandemen UUD 45. Para anggota Fraksi PAN yang telah meneken dukungan diminta mencabut kembali. Sekjen DPP PAN Zulkifli Hasan membenarkan hal ini. Menurut dia, PAN menarik dukungan karena sudah tidak efektif lagi. Namun, pengakuan Zulkifli Hasan agak berbeda dengan dua dokumen surat yang didapatkan detikcom. Di dua surat itu, PAN sudah memutuskan mencabutkan dukungan berdasarkan rapat harian DPP PAN 25 Juli 2007. Namun, menurut Zulkifli, kepastian PAN mencabut dukungan akan diputuskan dua hari lagi. "Dalam dua hari ini akan diputuskan. Kemungkinan besar, kita akan cabut," kata Zulkifli saat dihubungi detikcom, Kamis (2/8/2007).

Saat ditanya apa alasan PAN mencabut dukungan, menurut Zulkifli, karena pendukung usulan itu sudah tidak signifikan. "Sudah tidak efektif lagi. Rapat-rapat pun sudah tidak ada. Golkar, PDIP, Demokrat sudah tidak mendukung. Kan ini sudah tidak efektif," ujar dia. Menurut Zulkifli, dengan tidak ada dukungan dari partai-partai dan fraksi-fraksi besar itu, maka pendukung usulan amandemen UUD 45 akan tidak mencapai kuorum. "Kuorumnya ditetapkan 2/3 dari jumlah anggota MPR. Kalau fraksi-fraksi besar sudah tidak mendukung, ya mungkin tidak kuorum. Tidak artinya, kalau PAN mendukung," ujar dia. Hingga saat ini, kata Zulkifli, ada sekitar 10 orang anggota FPAN yang menorehkan tanda tangannya mendukung amandemen UUD 45 itu. Bila PAN telah memutuskan mencabut dukungan, maka semua anggota FPAN yang terlanjur menandatangani dukungan, harus mencabutnya kembali. Pimpinan MPR sebelumnya sudah menentukan batas 7 Agustus 2007 bagi masingmasing fraksi untuk menentukan sikap. Bila sampai 7 Agustus 2007, dukungan usulan amandemen UUD 45 ini tidak memenuhi syarat, maka usulan yang dimotori Dewan Perwakikan Daerah (DPD) ini tidak bisa dilaksanakan. (asy/nrl) 02/08/2007 07:47 WIB Amien Rais di Belakang PAN Cabut Dukungan Amandemen UUD Arifin Asydhad - detikcom Jakarta - Mantan Ketua MPR yang juga mantan Ketua Umum DPP PAN Amien Rais memiliki peran penting dalam keputusan DPP PAN mencabut dukungan terhadap usulan amandemen UUD 45. Ada memo Amien sebelum DPP PAN memutuskan mencabut dukungan. Memo Amien Rais ini ditulis pada 22 Juli 2007 dengan tulisan tangan dan ditujukan kepada Ketua Umum DPP PAN Soetrisno Bachir. Memo ini sebenarnya bukan sesuatu yang sangat istimewa, karena Amien juga masih menjadi bagian PAN, sebagai Ketua Majelis Pertimbangan Partai (MPP) DPP PAN. Berikut dokumen memo yang ditulis Amien Rais yang didapatkan detikcom, Kamis (2/8/2007): "Dear Mas SB: Setelah pertimbangan matang, sebaiknya PAN tidak ikut amandemen UUD 45. Bisa membuat kegaduhan politik. Wassalam. Tanda tangan Amien Rais mengakhiri memo tersebut. Memo inilah yang kemudian menjadi bahasan rapat harian DPP PAN 25 Juli 2007 lalu. Hasil rapat, DPP PAN memutuskan untuk mencabut dukungan terhadap usulan amandemen itu dan meminta semua anggota FPAN mencabut kembali dukungannya. Pencabutan PAN ini semakin memperpanjang daftar parpol yang menolak usulan amandemen UUD 45 yang digagas Dewan Perwakilan Daerah (DPD) itu. PDIP, Golkar,

PPP, dan PD telah menolak usulan mengamandemen pasal 22 D tentang kewenangan DPD itu lebih dulu. Parpol-parpol ini memiliki alasan yang beragam. Ada yang menilai usulan mengamandemen pasal kewenangan DPD ini bukanlah datang dari massa akar rumput, tapi datang dari elit. Ada juga partai yang menilai pembahasan mengenai hal ini belum bersifat mendesak, karena masih banyak hal yang terkait masyarakat banyak yang lebih penting untuk dibahas. Pimpinan MPR sebelumnya sudah menentukan batas 7 Agustus 2007 bagi masingmasing fraksi untuk menentukan sikap. Bila sampai 7 Agustus 2007, dukungan usulan amandemen UUD 45 ini tidak memenuhi syarat, maka usulan ini tidak bisa dilaksanakan. (asy/asy) Baca juga: 04/06/2007 15:36 WIB Gubernur se-Indonesia Teken Dukungan Amandemen UUD 1945 Muhammad Nur Hayid - detikcom Jakarta - 22 UU Sektoral bertabrakan dengan UU 32/2004 tentang Otonomi Daerah. Satu per satu gubernur dari Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) pun membubuhkan tanda tangan mendukung amandemen UUD 1945. Tanda tangan itu dibubuhkan oleh 29 gubernur yang tergabung dalam APPSI saat bertemu dengan DPD di Gedung Senayan, Jakarta, Senin (5/6/2007). "Dukungan itu dalam rangka memperkuat peran DPD agar dapat mengawal pelaksanaan otonomi daerah dengan sebaik-baiknya," kata Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad. Dalam poin 4, menurut dia, APPSI mendukung perubahan pasal 22 d UUD 1945 untuk memperkuat fungsi legislasi DPD RI secara penuh menyangkut bidang otonomi daerah. Ketua DPD Ginandjar Kartasasminta menyambut baik dukungan APPSI. "Ini bukti tidak ada alasan lagi amandemen hanya wacana elit di Senayan karena gubernur se-Indonesia sudah mendukung. Padahal rakyat diwakili oleh pemimpinnya di daerah," kata Ginandjar. (aan/nrl) Usul Amandemen UUD 45 Diputus 7 Agustus Muhammad Nur Hayid - detikcom Jakarta - Setelah rapat cukup alot selama 3 jam akhirnya pimpinan MPR dan pimpinan fraksi-fraksi MPR sepakat memberikan waktu selama 90 hari untuk memutuskan usul amandemen UUD 45. "Kita sepakat untuk memberikan waktu selama 3 bulan sejak 9 Mei hingga 7 Agustus untuk mengkaji usul amandemen pasal 22 D tentang kewenangan DPD," ujar Ketua MPR

Hidayat Nurwahid dalam jumpa pers di Gedung GBHN Nusantara V DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (22/5/2007). Hidayat mengharapkan, waktu yang diberikan selama 3 bulan itu dapat digunakan oleh fraksi-fraksi MPR untuk mengkaji dukungan yang sudah dibubuhkan dalam bentuk tanda tangan. "Setelah 3 bulan, tidak boleh ada lagi yang menarik dukungan. Karena itu batas maksimal yang diatur dalam UU," imbuh mantan Presiden PKS ini. Hidayat menambahkan, syarat minimal dukungan untuk amandemen yaitu sepertiga jumlah anggota MPR masih konsisten mendukung usulan amandemen. "Sampai saat ini dukungan minimal masih terpenuhi, yaitu ada 226 anggota yang telah menandatangani. Kita akan tunggu sampai tanggal 7 Agustus mendatang. Kalau tidak ada yang menarik dukungan, pasti kita akan gelar sidang majelis," terang Hidayat. Fraksi-fraksi di MPR yang setuju mengamandemen UUD 45 adalah FKB dan FPBR. Sementara FPAN, FPPP, FPDS masih mengkaji. Sedangkan FPDIP sejak awal menolak amandemen. FPG dan FPD mencabut dukungan setelah sebelumnya mendukung. (nik/sss) 16/05/2007 12:06 WIB Giliran FPPP Tarik Dukungan Amandemen UUD 45 Muhammad Nur Hayid - detikcom Jakarta - Bagai ditusuk belati, DPD terus ditelikung partai-partai politik. Setelah Fraksi Partai Demokrat (FPD) dan Fraksi Partai Golkar (FPG) menarik dukungannnya. Kali ini giliran FPPP. Pimpinan FPP secara resmi menginstruksikan kepada seluruh anggotanya mencabut tanda tangan yang sudah dibubuhkan untuk mendukung amandemen UUD 45 pasal 22D terkait penambahan kewenangan DPD. Pencabutan dukungan FPPP ini disampaikan oleh Sekretaris DPP PPP Irgan Chairul Mahfiz dalam siaran persnya di Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta, Rabu (16/5/2007). Keputusan itu diambil dalam rapat harian DPP PPP pada Selasa 14 Mei malam yang dipimpin langsung Ketua Umum PPP Suryadharma Ali. Alasannya, PPP melihat persoalan amandemen belum saatnya dilakukan karena hasil amandemen yang pertama hingga keempat belum dilaksanakan sepenuhnya. Selain itu, PPP menilai ada agenda politik nasional yang lebih prioritas dalam pembahasan revisi UU paket politik untuk menghadapi pemilu 2009.

Menanggapi perintah DPP PPP tersebut, Ketua FPPP DPR Lukman Hakim Saefuddin membenarkan adanya perintah tersebut. "Benar ada perintah dari DPP demikian untuk mengkaji lagi soal amandemen," tuturnya. Perlu diketahui dari 57 anggota FPPP MPR sebanyak 7 orang telah menandatangani dukungan amandemen. Dengan instruksi penarikan ini berarti dukungan minimal usulan amandemen oleh DPD sebanyak 226 tidak terpenuhi. (mar/umi) 5/05/2007 16:34 WIB FPG MPR Tarik Dukungan Amandemen UUD 45 Muhammad Nur Hayid - detikcom Jakarta - Satu persatu dukungan terhadap amandemen UUD 1945 pasal 22 D berguguran. Setelah Fraksi Partai Demokrat (FPD) MPR mencabut dukungannya, kini giliran Fraksi Partai Golkar (FPG). Akibatnya, jumlah suara tidak memenuhi syarat minimal. Penarikan dukungan dari FPG dilakukan melalui surat DPP Partai Golkar No: B387/Golkar/V/2007 tertanggal 14 Mei 2007. Isi surat itu menyerukan kepada anggota FPG untuk mengkaji ulang dukungan amandemen UUD 1945 terkait pasal kewenangan DPD itu. Selain itu, surat itu juga meminta semua kader Golkar untuk mamatuhi dan menyesuaikan dengan sikap politik partai. Surat itu ditandatangi Ketua DPP Golkar Ali Wongso dan Sekretaris Jenderal Sumarsono. "Kami akan meminta pimpinan MPR mengkaji ulang persyaratan usul amandemen karena sikap Golkar secara resmi akan mengkaji lagi dukungan untuk amandemen," kata Sekretaris FPG MPR Hajriyanto Tohari. Hal itu disampaikan dia di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (15/5/2007). Prihatin Menanggapi pencabutan dukungan itu, Wakil Ketua DPD Laode Ida mengaku prihatin dan menyayangkan. Sikap politik itu dinilai tidak konsisten. "Kita turut prihatin dengan sikap penyelenggara negara yang tidak konsisten," ujarnya. "Kita akan berusaha memenuhi lagi persyaratan minimal," lanjut Laode. Akibat penarikan dukungan FPG yang berjumlah 12 orang, jumlah dukungan amandemen menjadi hanya 223. Padahal syarat minimal 226 suara.

Menurut informasi yang dikumpulkan detikcom, penarikan dukungan akan terus terjadi yaitu dari PKB dan PBR. Namun hingga kini belum ada konfirmasi resmi dari kedua partai tersebut. (ken/nrl) Baca juga: 11/05/2007 13:40 WIB Yusril: Sering Diamandemen, UUD Malah Jadi Kacau-balau Muhammad Nur Hayid - detikcom Jakarta - Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra berpendapat, terlalu sering mengamandemen UUD 45 akan menimbulkan kekacauan baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Karena itu sebaiknya amandemen dilakukan secara sistematis sesuai kebutuhan. "Empat kali mengamandemen malah membuat kacau balau. Banyak yang tidak dapat dipahami di hukum tata negara," ujar Yusril usai diskusi di Gedung DPD, Senayan, Jakarta, Jumat (11/5/2007). Mensesneg yang baru dicopot Presiden SBY ini menilai, usulan amandemen UUD 45 oleh DPD merupakan hal yang wajar untuk memperkuat peran DPD dalam sistem presidensial. Namun terkait waktunya, Yusril meminta DPD tidak terburu-buru. "Memang banyak yang perlu diamandemen, tapi tidak buru-buru harus sekarang. Harus ada pengkajian secara mendalam," ujar suami Rika Tolentino Kato ini. Sementara itu pengamat politik Mohammad Qodari menilai amandemen harus dilakukan untuk membenahi DPD. Hal ini bertujuan agar sesuai dibentuknya DPD sebagai lembaga yang mewakili aspirasi daerah. "Amandemen itu harus. Agar keberadaan DPD dapat difungsikan semestinya," ujar Qodari. Mengenai pelaksanaan yang tepat untuk amandemen, baik Yusril dan Qodari sependapat dilakukan secara bergantian selain membahas revisi UU Parpol. (nik/sss) KY Genap 2 Tahun RUU KY Terganjal RUU Politik Arry Anggadha - detikcom Jakarta - Komisi Yudisial (KY) mendapatkan kado yang tidak sesuai harapan di hari jadinya yang kedua. Revisi UU KY tidak dapat diselesaikan DPR pada tahun 2007 sebagaimana diharapkan selama ini. "Tidak bisa serta merta selesai, kami akan menyelesaikan UU Politik, baru UU KY pada 2008 nanti," ujar anggota Komisi III DPR, Agun Gunandjar, saat menghadiri perayaan ultah kedua KY di Kantor KY, Jalan Abdul Muis, Jakarta (2/8/2007).

Menurut Agun, revisi UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang KY tersebut sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2007. Namun pihaknya masih harus menyelesaikan UU Paket Politik yang sama pentingnya. Agun menjelaskan, revisi UU KY yang diajukan harus sejalan dengan revisi UU lainnya, yakni UU MA, UU MK, dan UU Kekuasaan Kehakiman. "Ini agar fungsi pengawasan KY tidak bertentangan lagi dengan kewenangan MA dan MK," jelas politisi Golkar ini. Mendengar pernyataan tersebut, Ketua KY Busyro Muqoddas menjelaskan, pihaknya menyerahkan sepenuhnya revisi UU KY ini kepada DPR. Menurutnya, DPR pun tidak bermasalah dengan RUU yang telah masuk dalam Prolegnas itu. "Kami mengundang Komisi III ke sini karena ada kepentingan, dan ternyata dia datang. Itu berarti sinyal revisi UU KY tidak bermasalah," kilah Busyro. Revisi UU KY diajukan karena kewenangan KY pada UU Nomor 2 Tahun 2004 telah dipangkas oleh MK. KY pun berkeinginan agar kewenangan untuk memeriksa hakim dapat diperoleh kembali melalui RUU yang diajukan. (anw/nrl) SP "Lembaga pemasyarakatan (LP) sebagai tempat pembinaan harus mendapat perhatian serius". Iqrak Sulhin, Kriminolog dari UI, tentang Mengatasi Permasalahan di LP., Pembaruan 1/8/2007. RUU BHP Abaikan Pancasila [JAKARTA] Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) dinilai sebagai produk hukum yang mengabaikan konstitusi bangsa. Bahkan RUU tersebut terkesan mengabaikan nilai luhur Pancasila sebagai dasar negara. Kenyataannya, muatan RUU BHP mengarah kepada privatisasi dan liberalisasi pendidikan. Anak-anak bangsa dari strata sosial paling rendah kian sulit untuk memperoleh akses pendidikan yang bermutu, karena itu, RUU BHP harus ditolak. Demikian benang merah dalam pemaparan hasil kajian mengenai RUU BHP yang diselenggarakan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), di Jakarta, Rabu (1/8). Hadir dalam acara itu antara lain, pakar pendidikan HAR Tilaar, Pengurus Majelis Luhur Perguruan Taman Siswa Darmaningtyas, Koordinator Koalisi Pendidikan Lody Paat, dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) peduli pendidikan. Menurut Tilaar, dalam BHP banyak sekali agenda terselubung yang tidak diketahui masyarakat. Misalnya, tujuan BHP adalah persaingan yang diserahkan kepada

mekanisme pasar. "Persaingan dalam esensi pendidikan nasional sama sekali bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945," katanya. Dia menerangkan, jika akhirnya BHP tetap disahkan, BHP tersebut sangat prematur. Otonomi yang termaktub dalam jiwa BHP sebenarnya merupakan pembohongan publik. "Kita ini negara miskin. Human Development Index pada tahun lalu, posisi kita berada pada urutan 108 dari 177. Ini berarti, kita memang belum mampu. Kalau memang ingin BHP, lebih baik 20 atau 30 tahun lagi. Itu pun melalui kajian yang mendalam dan dilandasi dengan roh pendidikan bangsa ini," katanya. Di Amerika, kata Tilaar, UU Wajib Belajar sudah diterapkan pada pertengahan abad 19. Pada tahun 2001, Amerika kembali menelurkan kebijakan dengan slogan "No Child Left Behind." "Artinya, setelah kurun waktu yang begitu panjang, Amerika ternyata sangat concern dengan pendidikan. Kita masih terlalu dini," ucapnya. Tilaar menerangkan, pasal-pasal yang termaktub dalam RUU BHP tidak ada yang sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila. "Kenyataannya, persaingan menjadi tujuan BHP. Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana nasib jutaan anak bangsa di strata terendah ingin mengenyam pendidikan di Tanah Air mereka," katanya. Karena itu, RUU BHP sebaiknya dibatalkan. "Penyusunan RUU BHP menggunakan pendekatan pasar bebas sebagai pisau analisisnya yang menganalogikan lembaga pendidikan sebagai komoditas ekonomi," katanya. Makin Memiskinkan Pandangan serupa disampaikan Darmaningtyas. Dia mengatakan, BHP akan memiskinkan masyarakat miskin. Karena, akses pendidikan bagi masyarakat miskin sangat sulit. "Lebih baik, orang miskin tidak usah sekolah. Ini berarti ada pembiaran negara terhadap dunia pendidikan nasional," katanya. Dijelaskan, acuan BHP sebenarnya dari UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 53. Secara bebas terjemahannya menyebutkan pendidikan akan mengarah kepada BHP. Ini berarti, ada upaya sistematis liberalisasi pendidikan. "Kalau pendidikan saja sudah diliberalisasikan dan dikomersialisasikan berarti pendidikan nasional sudah tidak lagi sejiwa dengan Pancasila," katanya. Sementara itu, Manajer Divisi Monitoring Pelayanan Publik ICW Ade Irawan mengatakan, pemberlakuan BHP akan mempertajam segregasi antarkelas sosial ekonomi. Penyerahan tanggung jawab pembiayaan kepada publik akan memunculkan konsekuensi terbentuknya jurang yang makin dalam antarkelompok masyarakat. "Berkualitas atau tidaknya pelayanan pendidikan akan ditentukan sepenuhnya oleh jumlah dana yang bisa disediakan oleh peserta didik," katanya.

Dikatakan, gejala tersebut sudah mulai terlihat saat ini. Sekolah mulai tingkat SD hingga SMA diberi bermacam label. Misalnya, sekolah unggulan, standar nasional, percontohan dan sekolah plus berstandar internasional. "Semakin tinggi kasta sekolah akan semakin besar dana yang mesti disediakan oleh orangtua siswa. Pada akhirnya, peserta didik yang berasal dari keluarga miskin akan makin sulit memperoleh akses pendidikan bermutu," ujarnya mengingatkan. [W-12] Banjir di Morowali, 900 Orang Suku Wana Hilang [ Cegah Produk Impor Berformalin BPOM Minta Bantuan Asosiasi Peritel [JAKARTA] Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Husniah Rubiana Thamrin Akib (BPOM) mengemukakan, sampai Rabu (1/8), pihaknya sudah menemukan 39 produk manisan dan permen yang positif mengandung formalin, dari 222 contoh yang diuji dan beredar di pasaran. BPOM akan mempublikasikan temuan itu beberapa hari mendatang. "BPOM juga tengah menguji 20 produk kosmetik yang dicurigai mengandung bahan berbahaya seperti hidroquinon, mercury, dan rodhamin. Diperkirakan hasilnya akan keluar dalam satu bulan ini. Produk kosmetik yang diuji itu sebagian besar dari Tiongkok," ujar Husniah. Husniah, seperti dilansir kantor berita Antara, juga mengemukakan, pihaknya telah meminta bantuan Asosiasi Peritel Indonesia (Aprindo) dan Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) untuk mengingatkan anggotanya agar tidak menjual produk yang mengandung bahan berbahaya. Sebelumnya, BPOM mengumumkan tujuh produk yang mengandung formalin dari 39 contoh yang diambil dari pasar. Husniah mengatakan, produk yang mengandung formalin itu masuk ke Indonesia secara ilegal, antara lain tidak ada kode ML (Makanan Luar) pada labelnya. "Permen merek White Rabbit yang mengandung formalin ternyata bukan produk yang kami beri izin edar. Sanksi yang diberikan bisa berupa tuntutan hukum," ucapnya. Sementara itu, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan, importir turut bertanggung jawab terhadap barang yang diimpornya. Namun, karena produk berformalin itu masuk secara ilegal maka sulit untuk menelusuri importirnya, dan Departemen Perdagangan (Depdag) tidak akan memperketat impor makanan. Mari menegaskan, BPOM akan menempatkan petugasnya di pelabuhan untuk membantu petugas Bea Cukai dalam mengawasi masuknya produk makanan ke Indonesia. Selain

itu, Deperindag akan mengintensifkan koordinasi instansi terkait dengan perlindungan konsumen dari produk makanan yang berbahaya. Mendag mengajak konsumen agar teliti dalam membeli produk makanan impor dengan memeriksa ada tidaknya izin beredar pada kemasan, seperti kode ML untuk makanan luar negeri, MD (Merek Dagang) untuk makanan dalam negeri, dan SP untuk produk industri rumah tangga. Sedangkan untuk produk kosmetik harus dipastikan ada tanda CL dan CD pada kemasannya. Singapura dan Malaysia Dari Medan dilaporkan, Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Polda Sumut) menyita makanan, minuman, permen, cokelat, buah kaleng, penyedap masakan, dan susu kaleng asal Singapura, Malaysia, dan Tiongkok, dari sejumlah pusat perbelanjaan di kota ini. Barang bukti itu akan dikirimkan ke Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (POM) Medan untuk diteliti di laboratoium "Makanan dan minuman produk luar itu diamankan polisi karena kualitasnya disangsikan, apalagi tidak memiliki izin dari Departemen Kesehatan," ujar Direktur Reserse Kriminal Polda Sumut Kombes Pol Ronny F Sompie, kepada SP, di Medan, Rabu (1/8). [AHS/BO/S-26] TAJUK RENCANA I LP Bukan Sekolah Kejahatan embali lembaga pemasyarakatan (LP) mengambil nyawa secara sia-sia. Beberapa bulan lalu, harian ini sempat memberitakan tingginya angka kematian narapidana (napi) di berbagai LP dan rumah tahanan (rutan) akibat banyaknya napi yang ketagihan mengonsumsi narkotika dan obat berbahaya (narkoba) dan tertular HIV/ AIDS. Kini kembali kita disuguhkan kenyataan napi tewas akibat kerusuhan di LP Cipinang. Komentar terhadap terjadinya kerusuhan di LP Cipinang itu masih saja seputar ketidakseriusan pemerintah dalam mengelola LP. Soal kelebihan kapasitas, rendahnya dana pembinaan yang dialokasikan bagi LP dan rutan yang pada gilirannya membentuk komunitas di LP yang tidak terkontrol lagi. LP yang semestinya menjadi "sekolah kebaikan" justru berubah menjadi "sekolah kejahatan". Perbaikan infrastruktur di LP yang sering dilupakan juga disebut-sebut sebagai biang keladi kerusuhan di hotel prodeo itu. Membeludaknya penghuni LP, buruknya infrastruktur, minimnya dana berakibat fatal. LP berubah menjadi "rimba belantara". Siapa kuat dia yang menang. Dan hukum pun tak lagi digubris di LP. Bukankah kondisi itu mencerminkan rendahnya perhatian kita terhadap penghuni dan LP itu sendiri? Patut kita renungkan untuk apa sesungguhnya LP dibentuk. Bukankah LP dimaksudkan untuk mengembalikan para napi - yang dinilai telah melanggar norma-norma - ke tengah

masyarakat kelak? Boleh jadi, kita semua, khususnya pemerintah termasuk pengelola LP sudah melupakan fungsi LP. Sejatinya LP bukanlah tempat buangan bagi masyarakat yang dinilai telah melanggar hukum. LP seharusnya menjadi tempat "berkontemplasi" bagi para penghuninya agar sadar akan perilaku menyimpang yang dibuatnya dan bisa kembali bermasyarakat kelak. Tapi, kenyataannya, LP yang seharusnya menjadi tempat penyadaran itu, justru berubah menjadi tempat para penjahat mempelajari kejahatan. Bukankah itu berarti kita tidak memahami fungsi LP yang seharusnya menjadi tempat mengayomi para napi melalui unsur-unsur pembinaan. Jika LP dibiarkan terus seperti ini, bukankah itu berarti setiap detik kita sudah melakukan pengabaian hak asasi manusia (HAM)? Dan yang lebih fatal lagi, negeri ini setiap detik akan mencetak "penjahat-penjahat" baru. Itu berarti, kita harus mengeluarkan ongkos sosial yang lebih tinggi lagi, lantaran kejahatan semakin marak di tengah masyarakat. Bukankah lebih baik kita kelola dengan baik LP kita agar kejahatan semakin berkurang. Jika penghuni LP membeludak karena kelebihan kapasitas, bukankah itu berarti setiap saat lahir penjahat baru dan yang lama semakin jahat? Oleh sebab itu, segera perbaiki sarana dan prasarana LP. Jangan kita puas dengan memenjarakan orang semata. Sesungguhnya suasana LP harus betul-betul kondusif. Jangan sebaliknya, LP justru menjadi pusat tumbuh suburnya perilaku menyimpang seperti pungli, premanisme, dan menjadi pusat peredaran narkoba. Kita tidak boleh membiarkan LP menjadi "hutan belantara". LP harus kembali ke fungsinya yang hakiki, yakni menjadi pusat pembinaan dan sekaligus mengayomi. LP bukan sekolah kejahatan. Cap penjara yang tidak manusiawi itu harus pupus dari LP. Selain perbaikan fasilitas dan dana pembinaan bagi napi di LP, kita harus mendorong pemerintah untuk meningkatkan kualitas para petugas LP. Baik dari segi kemampuan intelektual melalui pendidikan juga soal kesejahteraannya. Semuanya tidak lain untuk memperkecil kemungkinan adanya petugas LP yang ikut "bermain" dengan para napi melakukan pelanggaran.

Komitmen Presiden untuk Korban Lumpur Masalah lumpur panas di Sidoarjo ternyata terus mengiang dalam memori Presiden Yudhoyono. Hal ini terlihat dari komitmennya yang tak pernah pupus untuk menyelesaikan ganti rugi korban lumpur panas di Sidoarjo. Bahkan dalam kunjungannya ke Korea Selatan yang sebenarnya tak ada kaitannya dengan persoalan lumpur di Sidoarjo, Presiden Yudhoyono tetap mengingatkan kembali tentang pentingnya penuntasan pembayaran uang muka bagi korban lumpur panas. Sebelum bertolak ke Bali dari kunjungan tiga harinya di Korea Selatan Presiden meminta pembayaran uang muka 20 persen harus selesai sebelum Ramadan. Permintaan ini tentu didasarkan banyak pertimbangan. Di samping waktunya yang sudah cukup lama bagi

warga yang menunggu pembayaran uang muka, juga pada bulan Ramadan tidak boleh ada kekecewaan warga yang bisa merusak kesucian bulan. Memasuki bulan suci, semua persoalan warga bisa diselesaikan dengan baik sehingga bisa menjalani ibadah dengan khusyuk dan tenang. Namun lebih dari itu, instruksi Presiden terkait jadwal penyelesaian pembayaran uang di atas membuktikan keseriusan presiden bagi penyelesaian kasus tersebut. Bahkan menurut Presiden, dia memantau perkembangan penyelesaian masalah para korban luapan lumpur Lapindo ini setiap tiga hari sekali. Mudah-mudahan langkah Presiden ini menggugah para aparat terkait lainnya untuk betul-betul memperhatikan dan mempercepat proses penyelesaian korban lumpur. Alia Kamila Jamila Jl RS Fatmawati, Jakarta Selat Tim Olimpiade Matematika Indonesia Raih Perak [TANGERANG] Pemerintah akan mengintensifkan pencarian siswa-siswa berbakat menyusul keberhasilan tim olimpiade matematika Indonesia (TOMI) di ajang olimpiade internasional matematika (international mathematics olympiad/IMO) di Hanoi, Vietnam, 19 Juli-31 Juli. TOMI meraih 1 medali perak dan Honorable Mention. "Sudah saatnya kita lebih menggiatkan pencarian siswa-siswa unggul guna mengikuti ajang bergengsi dunia. Ini menunjukkan kita mampu dan siap berlaga di dunia," kata Ketua TOMI Ahmad Muchlis, di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Senin (31/7) malam. Disebutkan, medali perak diraih oleh Raymond Christopher Sitorus dari SMAK 1 PENABUR, Jakarta. Sedangkan empat siswa lainnya memperoleh Honorable Mention, masing-masing Koe Han Beng (SMAK Karunia, Jakarta), Rudi Adha Prihandoko (SMA 4 Denpasar, Bali), Yosafat Aka Prasetya P (SMA 4 Denpasar, Bali), dan Andika Sutanto (SMA 3 Surakarta). Sementara, Nugroho Seto Saputra (SMA 3 Yogyakarta) tidak memperoleh medali. Dikatakan, medali perak yang diraih TOMI merupakan kali kedua dalam ajang yang sama pada 2002. Olimpiade matematika kali ini, kata Ahmad, diikuti oleh 93 negara dengan jumlah peserta sebanyak 520 siswa dan memperebutkan 29 medali emas. "Meski belum memperoleh emas, kita bisa bangga karena negara kita diperhitungkan dunia," katanya. Sementara itu, Raymond mengatakan, soal yang diujikan dalam olimpiade ini memang cukup sulit. "Kita sebenarnya bersyukur bisa meraih medali perak, padahal, kita tidak memasang target medali," katanya. [W-12]

LEMbagaPERKELAHIAN CIPIANG Krisis Solidaritas Landa Generasi Muda Indonesia [JAKARTA] Saat ini generasi muda Indonesia dilanda krisis solidaritas, sehingga terkesan pemuda terkotak-kotakkan atau terpecah-pecah oleh semangat kedaerahan dan kepentingan lainnya. Keberagaman yang dimiliki bangsa Indonesia rentan menimbulkan perpecahan, sehingga pemuda harus bisa menjadi lokomotif pemersatu bangsa. Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault, saat Pembukaan Jambore Pemuda Indonesia (JPI), di Cibubur, Jakarta, Selasa (31/7), mengatakan, untuk menjadi pemersatu bangsa, pemuda mesti memiliki rasa nasionalisme yang tinggi. Kegiatan JPI diikuti 1.400 peserta dari 33 provinsi yang berlangsung 30 Juli - 3 Agustus 2007 di Taman Wiladatika, Cibubur, Jakarta Timur. "Jangan mau terpecah hanya karena perbedaan," seru Adhyaksa. Meski demikian, mantan Ketua Umum Komite Nasional Pemuda Indonesia itu menyadari kalau saat ini generasi muda menghadapi krisis solidaritas. Untuk itu perlu dibangun komunikasi dan pertemuan-pertemuan di kalangan generasi muda untuk mengatasinya. Dikatakan, untuk menjaga solidaritas pemuda, dia meminta agar para pengurus organisasi kepemudaan atau tokoh pemuda jangan berpikiran sebagai kader daerah. "Anda harus berpikir sebagai kader pusat yang ditempatkan di daerah," ujarnya. Dia meminta agar pemuda mencontoh semangat nasionalisme yang muncul melalui kegiatan olahraga khususnya Piala Asia. Kejuaraan sepakbola antarnegara di benua Asia itu berhasil mempersatukan semua supporter yang selama ini tawuran untuk mendukung tim nasional. [E-7] Jangan Ajari Rakyat Memfitnah Entah kapan negeri ini akan menjadi negeri beradab apabila budaya yang dikembangkan adalah budaya fitnah. Untuk kesekian kalinya di negeri ini berkembang tradisi memfitnah. Yaitu melemparkan isu yang belum tentu kebenarannya. Lebih parah lagi, fitnah tersebut terkait dengan pribadi seseorang yang dipercaya menjadi orang nomor satu di Republik ini, yaitu Presiden Yudhoyono. Inti persoalannya bukan pada sosok Susilo Bambang Yudhoyono yang notabene seorang presiden, namun lebih pada tradisi yang menyerang pribadi melalui cara-cara yang tidak terpuji. Inilah yang disebut sebagai character assassination (pembunuhan karakter).

Lebih ironis lagi fitnah ini dilontarkan oleh orang yang terlanjur dipercaya rakyat, yaitu (mantan) anggota dewan yang sering ditempatkan sebagai orang terhormat. Budaya fitnah ini merupakan trandisi zaman batu di mana aturan main belum ada, masing-masing mementingkan kepentingannya sendiri, dan logika belum berjalan secara maksimal. Kini di zaman demokrasi di mana aturan main dibuat oleh anggota dewan secara rasional, namun tradisi yang dikembangkan justru emosional. Entah kapan di negeri ini tegak aturan main yang membuat semua rakyat hidup mematuhinya, apabila para elite politiknya masih berwatak zaman batu. Tradisi fitnah dilarang bukan hanya karena menjelekkan orang lain tanpa fakta, tapi karena menyakiti hati dan menumbuhkan dendam. Sebagai orang awam, saya hanya berharap pada para politisi agar tidak mengajari perilaku politik emosional yang tidak bermoral, karena itu semua akan menghinakan diri kita semua sebagai bangsa. Mengapa kita sangat sensitif terhadap kerjasama yang dibangun pemerintah dengan negara lain dengan tuduhan menjual harga (kedaulatan) diri, apabila kita sendiri menghinakan diri dengan mengembangkan budaya fitnah. Kalau kita sepakat membangun negeri ini di atas landasan demokrasi, mari kita semua mengapresiasinya melalui kepatuhan pada aturan main yang ada. Kita harus menggunakan rule of law sebagai ajang pertaruhan kita untuk mendapatkan hak-hak dan menjalankan kewajiban kita, bukan melalui fitnah yang keji. Habibah Thaibah Jl Cakung Ray Sukapura, Cilincing, Jakarta Utara Kekayaan 3 Raja Rokok Rp 90 Triliun [JAKARTA] Pertumbuhan pesat industri rokok Tanah Air telah membuat kantong para pengusahanya semakin tebal. Tren ini akan terus menguat di masa mendatang. Fakta ini terlihat jelas pada jumlah kekayaan para pengusaha rokok yang mendominasi daftar 150 Orang Terkaya Indonesia, yang dikeluarkan majalah Globe Asia edisi Agustus 2007. Pemeringkatan yang dilakukan Globe Asia, didasarkan pada kepemilikan saham oleh masing-masing individu, baik di perusahaan publik (yang tercatat di bursa saham) maupun yang tidak (nonpublik). Dari daftar tersebut, kekayaan tiga orang dari industri rokok mencapai US$ 9,9 miliar (Rp 90,09 triliun) atau sekitar 21,24 persen dari total kekayaan 150 pengusaha yang masuk daftar tersebut mencapai US$ 46,6 miliar. Sementara itu, total kekayaan 147 orang terkaya lainnya yang bergerak dalam bisnis manufaktur, infrastruktur, agroindustri, dan jasa, sebesar US$ 36,7 miliar (Rp 333,9 triliun) atau 78,76 persen.

Selain rokok, industri yang mengandalkan sumber alam seperti energi dan minyak sawit juga menghasilkan pengusaha-pengusaha yang masuk dalam 150 Orang Terkaya Indonesia versi Globe Asia. Bos Djarum Kudus, Budi Hartono (66) berada di urutan pertama. Kekaya- an Budi dan perusahaan- perusahaan yang ada dalam kekuasaannya sebesar US$ 4,2 miliar atau sekitar Rp 38 triliun. Di urutan kedua Rachman Halim dari Gudang Garam. Kekayaan Rachman Halim dan perusahaan-perusahaannya diperkirakan sebesar US$ 3,5 miliar atau sekitar Rp 31,85 triliun. Mantan pemilik HM Sampoerna, Putera Sampoerna berada di urutan kelima. Kekayaan Putera Sampoerna dan perusahaan-perusahaan yang dimilikinya sebesar US$ 2,2 miliar atau sekitar Rp 20,02 triliun. Meski kini tidak memiliki saham di HM Sampoerna, kekayaan Putera Sampoerna diyakini berasal dari penjualan sahamnya di HM Sampoerna kepada PT Phillip Morris Indonesia, Maret 2005 lalu. Perusahaan barunya saat ini, Sampoerna Strategic bisa berkembang tak lain karena uang hasil penjualan saham keluarganya di HM Sampoerna kepada Philip Morris senilai Rp 18,5 triliun. Lewat bendera barunya tersebut, Putera kini merambah bisnis properti di Rusia. Ia juga membeli dua rumah kasino di London, Ambassadors Casino dan Tha Mansion Casino. The Mansion Casino merupakan sponsor resmi klub sepakbola Divisi Utama Inggris, Tottenham Hotspurs. Berkat bisnis rokoknya saat itu, kini Putera memiliki jet pribadi yang terdaftar di Bermuda senilai US$ 50 juta (Rp 455 miliar). Ia juga memiliki Cessna XLS dan helikopter Bell 427 yang diparkir di Halim Perdanakusuma. Putera kini bermukim di Singapura. Setiap ke Jakarta, ia tinggal di Penthouse Hotel Grand Hyatt, yang bertarif minimal US$ 3.300 (Rp 30 juta) per malam. Ke mana-mana ia naik Rolls Royce Phantom yang sehari-hari diparkir di lobi hotel tersebut. Ironis Fakta bahwa peringkat orang terkaya di Indonesia kekayaannya didominasi dari industri rokok, merupakan sebuah ironi di tengah kondisi bangsa yang masih serba amburadul ini, terutama jika mengacu pada dampak yang ditimbulkan rokok bagi kesehatan. Apalagi menurut data dari Litbang Depkes 2005, dampak dari merokok te-lah menghabiskan biaya Rp 1,967 triliun untuk biaya perawatan bagi pasien akibat merokok. Sementara beban pengeluaran negara pun akibat penyakit yang disebabkan merokok menurut Litbang Depkes, juga sangat besar, yakni mencapai Rp 43,8 triliun.

Ironisnya, lagi, sebagaimana dikemukakan pegiat penanggulangan merokok, Renie Singgih dari Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok (LM3), banyak perokok di Indonesia yang berasal dari kalangan usia muda. Rata-rata mereka mulai merokok di usia 15 tahun, namun tak jarang yang sudah akrab dengan rokok di usia lima tahun. Sehubungan dengan itu, Direktur Represif Badan Narkotika Nasional, Brigjen Pol Indradi Tanos mengatakan, pihaknya akan mengeluarkan peraturan bahwa anak di bawah usia 18 dilarang merokok. "Baru wacana, tapi ini akan kami usulkan," katanya kepada SP di Jakarta, Senin (30/7) pagi. [S-24/A-17/M-15]

TAJUK RENCANA II Pangkas Jumlah Partai ada 11 Oktober 1998, ketika krisis ekonomi global mencapai puncaknya, Merry Lynch memasang iklan satu halaman penuh di semua surat kabar di Amerika Serikat. Iklan itu berbunyi, "Dunia Berusia 10 Tahun." Ia menghitung bahwa sejak tembok Berlin runtuh pada 1989, era globalisasi yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi mulai berkembang pesat. Usia bangsa ini pun kalau dihitung sejak era reformasi 1998, baru 9 tahun. Tapi hasilnya berbanding terbalik ketika berbicara soal pertumbuhan ekonomi. Kita menderita secara ekonomi. Tentu kita tidak ingin situasi ini berlangsung terus. Indonesia harus bangkit. Baru-baru ini, Menteri Senior Singapura, Lee Kuan Yew mengatakan, satu faktor yang menghambat perekonomian Indonesia adalah sistem partai yang rumit dan kompleks. "Sistem multipartai membuat kebijakan ekonomi tidak mudah dijalankan," kata Lee. Kalau objektif, banyaknya partai bukan satu-satunya penyebab hancurnya perekonomian Indonesia. Ada banyak faktor. Tetapi kita sepakat dengan Lee untuk konteks ini, mengingat DPR sedang membahas paket RUU Politik. Wacana yang berkembang di Senayan adalah mempertahankan multipartai untuk meningkatkan derajat representasi atau menciptakan pemerintahan yang efisien dan efektif. Ada dua pilihan dan kita sepakat kalau jumlah parpol dikurangi, karena dalam berbagai studi, sistem presidensial selalu tidak kompatibel dengan sistem multipartai. Jumlah partai yang banyak mengurangi derajat govern ability presiden. Parpol banyak juga akan menyandera presiden dan berpotensi membentuk kartel partai. Itulah yang terjadi saat ini, dimana parpol yang mengontrol kekuasaan presiden, bukan DPR sebagai institusi. Akibatnya, presiden dipaksa memberi konsesi yang banyak kepada partai.

Menyederhanakan jumlah parpol bisa dilakukan melalui electoral engineering atau mengubah aturan main dalam pemilu. Menaikkan electoral threshold adalah salah satu cara, yang mensyaratkan bahwa partai politik harus memperoleh persentase suara dalam jumlah tertentu agar diperbolehkan ikut pemilu. Ada juga cara lain, misalnya mengubah angka district magnitude, mengubah rumus penghitungan suara yang akan ditranslasi menjadi kursi di parlemen. Alternatif lain, mengubah sistem representasi proporsional menjadi sistem pluralitas, atau biasa disebut sistem distrik. Dalam sistem ini, jatah kursi yang diperebutkan di satu daerah pemilihan hanya satu, karena itu hanya ada satu calon yang menang di daerah tersebut. Menurut studi empiris, sistem ini cenderung menghasilkan dua hingga tiga partai yang punya kursi efektif di DPR. Sama seperti usul menaikkan electoral threshold 5 - 10 persen, perubahan sistem ini akan mendapat perlawanan dari partai-partai kecil atau yang baru muncul. Mereka mempersoalkan bahwa perubahan itu mematikan demokrasi. Tudingan seperti itu tidak selamanya benar, kalau kita jeli melihat bagaimana keputusan sistem pemilu itu dibuat. Apabila diputuskan melalui voting di DPR, maka tidak ada asas demokrasi yang dilanggar. Yang mungkin diabaikan adalah asas kebersamaan. Tetapi apa pun risikonya, kita harus memilih. Tidak ada sistem pemilu yang ideal, yang menghasilkan pemerintahan yang representatif secara maksimal dan efektif serta efisien secara maksimal pula. Sistem mana yang dipilih tergantung pada prioritas, termasuk memilih menuju multipartai sederhana. Namun mengacu pada realitas politik selama ini kita melihat bahwa multipartai partai sederhana adalah pilihan terbaik bagi bangsa ini. Jumlah partai yang terlalu banyak harus dipangkas karena fakta telah menunjukkan kepada kita bahwa banyak partai yang didirikan hanya sekadar untuk mencari keuntungan pribadi. Sesudah Keputusan MK, Pilkada Jalan Terus Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membuka peluang calon independen ikut pilkada melebihi wewenangnya. MK hanya bertugas menguji kesesuaian terhadap UUD bukan menetapkan norma UU baru. Keputusan ini menunjukkan bahwa MK sudah bertindak lebih dari kewenangannya. Menteri Hukum dan HAM, Andi Mattalatta mengatakan hakim jangan mengambil fungsi legislatif yang tugasnya membuat UU. Akibat keputusan MK ini, terjadi kekosongan UU yang menjadi dasar hukum dalam proses pilkada, karena UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah tidak dapat lagi digunakan sebagai acuan dalam pilkada. Padahal, tahun ini saja akan dilangsungkan 14 pilkada di beberapa daerah. Seorang calon pemimpin daerah selain memiliki kemampuan yang dibutuhkan dan mendapatkan dukungan rakyat, juga harus mendapat dukungan DPRD. Kita tidak tahu,

apakah proses pembangunan bisa berjalan lancar di daerah apabila calon independen menang pilkada tapi dia tidak mendapat dukungan mayoritas DPRD. Berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk merevisi UU, ujung-ujungnya uang rakyat kembali dihambur-hamburkan hanya untuk kepentingan/permintaan kelompok tertentu. Tidak hanya biaya saja, tetapi juga tenaga dan pikiran akan terkuras untuk membahas. Seharusnya MK memikirkan hal ini sebelum memutuskan, jangan karena "desakan" kelompok tertentu, sistem yang selama ini sudah berjalan dengan baik menjadi rusak dan hancur. Sebagai warga negara yang baik kita harus menghormati keputusan tersebut. Ikutnya calon independen hendaknya juga diikuti dengan persyaratan-persyaratan, karena jika tidak keputusan itu hanya akan menimbulkan diskriminasi sekaligus melecehkan parpol. Oleh karena itu, pemerintah harus segera mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) atau revisi UU landasan hukum pelaksanaan pilkada. Yulianto - Jl H Samali Pasar Minggu Jakarta Selatan TAJUK RENCANA II Menuju Keluarga Harapan ualitas sumber daya manusia menjadi penentu masa depan bangsa. Apabila sebuah bangsa tidak mempunyai sumber daya manusia yang bisa diandalkan, maka celakalah bangsa itu. Dalam persaingan global yang semakin ketat, bangsa yang tidak memiliki manusia yang berkualitas dan berintegritas tinggi untuk membangun bangsanya, akan semakin tertinggal. Oleh karena itulah, untuk menciptakan bangsa yang mampu bersaing juga harus memperhatikan kualitas warga negaranya. Hal itulah yang disadari sepenuhnya oleh pemerintah saat ini. Kualitas sumber daya manusia bisa ditingkatkan bila kesejahteraan keluarga diperhatikan. Kesehatan dan pendidikan menjadi kunci menuju kesejahteraan sebuah keluarga, dan bila sebagian besar keluarga di Indonesia sudah mencapai taraf hidup yang memadai, maka pemerintah telah menjalankan amanat UUD 1945 untuk menyejahterakan warga negaranya. Berbagai cara telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi persoalan yang dihadapi oleh keluarga yang masih tergolong miskin. Di antaranya adalah memberikan subsidi langsung tunai (SLT) yang ternyata sebagian tidak sampai ke sasaran. Ada keluarga tergolong sangat miskin tidak menerima SLT, sedangkan keluarga yang sebenarnya tidak perlu dibantu malah mendapat SLT. Tidak sedikit dana itu yang disunat oleh aparat pemerintah daerah. Sekarang, pemerintah meluncurkan Program Keluarga Harapan (PKH) sebagai kelanjutan dari SLT. Namun, PKH lebih menitikberatkan bantuan pada kesehatan ibu hamil, anak balita dan pendidikan untuk anak-anak. Bantuan ini memang hanya diberikan kepada rumah tangga sangat miskin (RTSM) dengan ketentuan: Ibu yang sedang hamil, memiliki

anak usia 0-6 tahun, atau memiliki anak usia sekolah yaitu umur 7-15 tahun. Bagi ibu hamil wajib mengikuti pelayanan pemeriksaan kesehatan di puskesmas, sedangkan anak usia di bawah 6 tahun harus datang ke puskesmas dan mengikuti pelayanan kesehatan anak, serta untuk anak usia sekolah wajib mengikuti pendidikan dengan jumlah kehadiran minimal 85 persen. Program Keluarga Harapan untuk tahun ini ditargetkan bisa dinikmati oleh 500.000 RTSM, sedangkan untuk tahun 2008 ditargetkan 700.000 RTSM atau berkurang dari target semula 1,5 juta RTSM karena anggaran yang disetujui oleh Panitia Anggaran DPR hanya Rp 1,1 triliun dari Rp 2,62 triliun yang diajukan. Menurut data Bappenas, direncanakan bantuan bagi RTSM yang memiliki ibu hamil, anak usia di bawah 6 tahun, dan anak usia SMP/MTs masing-masing Rp 800.000. Sedangkan untuk anak usia SD/MI sebesar Rp 400.000. Kita berharap, program yang ditujukan untuk membantu keluarga sangat miskin dalam jangka pendek dan sebagai upaya untuk investasi sumber daya manusia agar generasi selanjutnya bisa keluar dari perangkap kemiskinan, dapat berjalan tepat sasaran. Kita sangat prihatin bila anggaran yang tidak sedikit jumlahnya tersebut mengikuti jejak program-program serupa sebelumnya, yaitu menyimpang dari sasaran yang dituju. Keinginan pemerintah untuk mengubah rumah tangga sangat miskin menjadi keluarga harapan perlu mendapat dukungan. Namun, kita ingin menggarisbawahi pernyataan pengamat ekonomi, Faisal Basri, bahwa program tersebut tidak menyentuh rasa keadilan rakyat jika itu hanya uji coba di tujuh provinsi, tanpa ada kelanjutan program yang jelas. Menurut data BPS, jumlah penduduk miskin tahun 2007 mencapai 37,7 juta jiwa, dan mereka juga harus mendapat perhatian. Pemerintah harus bertanggung jawab agar program tersebut benar-benar memenuhi rasa keadilan bagi rakyat. Calon Independen Vs Keserakahan Parpol Novel Ali alah satu dampak positif reformasi adalah pembangunan cara pandang baru, sekaligus penegakan semangat politik masyarakat Indonesia, untuk melakukan pembaruan konstitusi negara, melalui perubahan UUD 1945. Dari sekian banyak perubahan substansial UUD 1945, adalah presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Di samping tentunya desentralisasi serta penguatan otonomi daerah. Secara keseluruhan, perubahan UUD 1945 yang dilaksanakan empat kali, mengakibatkan terjadinya perubahan dasar-dasar konsensus dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara dan berbangsa. Baik pada tataran kelembagaan (kekuasaan) negara, maupun pada tataran kelembagaan politik di tengah masyarakat sipil. Perubahan UUD 1945, memberikan ruang politik dan hukum, guna diterbitkannya berbagai peraturan dan perundang-undangan di bidang politik, menuju format politik

baru, sebagai prasyarat mutlak konsolidasi demokrasi, yang tumbuh dan berkembang pesat pascagerakan reformasi (1998). Perubahan UUD 1945, pun mengakibatkan terjadinya penataan sistem, struktur dan kewenangan lembaga negara, yang telah memberikan peluang terwujudnya pengawasan dan penyeimbangan (checks and balances) atas kekuasaan politik. Dampak negatif dari realitas pembaharuan sistem dan pranata kekuasaan (power) dan politik praktis dimaksud adalah maraknya konflik kepentingan di antara pemegang kekuasaan, serta pelaku politik, yang telah jauh hari (sebelumnya) terlibat di dalamnya. Era reformasi menjanjikan terbukanya ruang untuk mewujudkan sistem hukum nasional. Hal itu meliputi pembangunan substansi hukum tertulis atau tidak tertulis, melalui mekanisme pembentukan hukum nasional yang lebih baik, sesuai dengan aspirasi masyarakat dan pembangunan hukum, baik berdasar Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan maupun sesuai konstitusi negara kita. Pada sisi lain, perkembangan demokrasi era reformasi terutama lewat penyelenggaraan pemilu secara langsung untuk anggota DPR dan DPRD (mekanisme parpol), dan anggota DPD (perseorangan), pada gilirannya mendesak penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada), secara langsung dan demokratis. Realitas itu mendorong tuntutan dilakukannya perbaikan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, antara lain karena beberapa pasal dalam UU Pemerintahan Daerah dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Khususnya, pasal-pasal yang dipandang melanggar hak konstitusional warga negara. Lebih khusus lagi yang membatasi pencalonan kepala daerah secara independen, atau tidak melalui partai politik. Di samping karena dinilai merampas hak konstitusional, serta menutup akses politik untuk memilih calon kepala daerah independen. Bukan Membonsai Parpol Sejumlah warga Indonesia, menggugat uji materi atas beberapa pasal UU Pemerintahan Daerah, karena mereka nilai bermasalah. Akhirnya 23 Juli 2007, Mahkamah Konstitusi memutuskan calon independen bisa mengikuti pemilihan kepala daerah. Keputusan MK yang diambil dalam sidang pleno dipimpin Ketua MK dan dihadiri sembilan hakim konstitusi itu, memutuskan beberapa pasal dalam UU Pemerintahan Daerah, harus diubah sebagian, yakni Pasal 56 ayat 2 dan Pasal 59 ayat 1-3. Fenomena itu dapat "mengganggu" kepentingan parpol. Pengalaman pemilihan presiden di Amerika membuktikan, calon independen dapat tampil sebagai pemenang, jika mekanisme dukungan masyarakat secara langsung, jauh lebih solid dibanding yang dapat diperankan mesin-mesin politik parpol. Apalagi kalau parpol tidak sepenuhnya memperoleh simpati dan dukungan masyarakat. Namun, keputusan MK yang memberi peluang tampilnya calon independen dalam pilkada, tidak ada kaitannya dengan upaya meminimalisasi kekuasaan dan kekuatan parpol. Keputusan MK dimaksud, sepenuhnya berada dalam ranah hukum, sehingga tidak boleh dipolitisasi untuk atau atas nama kepentingan parpol.

Karenanya, sangat tidak wajar jika muncul pemikiran pihak tertentu, yang mengidentifikasi pemberian peluang calon independen ikut dalam pilkada, sebagai bentuk konkret pembonsaian parpol. Keputusan MK itu merupakan realita yang mau tidak mau, suka atau tidak, perlu (dan memang harus) diakses, sebagaimana isyarat langsung atau tidak langsung reformasi hukum di negeri ini. Persoalannya, yang menyebabkan baik "orang parpol" atau masyarakat awam, bisa memahami adalah, beberapa hak dan kewenangan yang sebelumnya melekat parpol, kini tidak dapat dipertahankan lagi. Calon independen yang akan tampil ke arena pilkada, jika sebelumnya harus patuh dan taat atas "perintah parpol", termasuk mesti memenuhi seluruh konsekuensi dan ubo rampe-nya (prasyarat tertulis dan tidak tertulis) yang ditetapkan parpol, kini lebih bebas memilih, mau pakai mekanisme parpol, atau tidak. Keran demokrasi yang dibuka MK disebut terdahulu, dapat dibaca dalam dua konteks kepentingan, kendati tidak ada pamrih kepentingan ke arah ini, di balik pengambilan keputusan MK itu sendiri. Dua konteks dimaksud berada dalam ranah publik (di luar kepentingan MK), yaitu pendewasaan parpol, khususnya untuk beradu kemampuan dalam upaya merebut konstituen (pemilih) secara demokratis dan dewasa dengan pihakpihak di luar parpol (konteks kepentingan pertama). Di samping, meniadakan atau minimal mengurangi keserakahan parpol, yang di masa sebelumnya (sebelum calon independen bisa ikut pilkada), gampang sekali merambah ke berbagai ranah kepentingan calon independen dan inner group-nya (kepentingan kedua). Keserakahan parpol yang sering terungkap dalam sinisme publik, bahwa parpol pasang tarif miliaran rupiah untuk kandidat yang menggunakan parpol tersebut sebagai kendaraan politik, nyaris tidak bisa lagi dipertahankan. Pola perekrutan calon dalam proses pilkada yang sarat politik uang dan political cost (biaya politik) untuk parpol yang bersumber dari kocek kandidat, dengan sendirinya dapat menipis, ketika kebanyakan orang yang bermaksud maju dalam pilkada lebih memilih mekanisme calon independen ketimbang mekanisme parpol yang sarat beban. Kita dapat memaklumi, calon independen dalam pilkada dapat merugikan pihak tertentu. Tetapi, sudah barang tentu, pihak lain bisa diuntungkan olehnya. Terlepas dari dirugikan, atau sebaliknya diuntungkan oleh keputusan MK tersebut, seluruh warga Indonesia memiliki kewajiban yang sama menjaga proses konsolidasi demokrasi, dapat berlangsung sepenuh waktu (secara berkelanjutan). Di samping, yang tidak kalah pentingnya diimbangi oleh berlangsungnya sistem dan proses politik di satu sisi, serta kultur politik di sisi lain, dengan pembangunan hukum yang berpayung konstitusi negara, sekaligus berkeadilan antara lain yang telah dibuka arus dan aksesnya, lewat calon independen dalam pilkada. Penulis adalah dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro, Semarang

AJUK RENCANA I Menimbang Parpol dan Calon Independen emilihan kepala daerah (pilkada) yang menurut undang-undang harus dicalonkan oleh partai politik (parpol) memasuki era baru setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan calon independen atau perseorangan dapat mengajukan diri menjadi calon kepala daerah. Keputusan MK tersebut membuka tabir dominasi partai politik selama ini, sekaligus memunculkan berbagai reaksi dengan sejumlah alasan. Di satu sisi menjadi tantangan bagi parpol yang mulai kehilangan kepercayaan publik, di sisi lain menjadi kabar gembira bagi publik yang menilai pintu demokrasi disumbat oleh parpol. Kredibilitas parpol merosot akibat perilaku parpol itu sendiri. Sebuah peran yang jauh dari tujuan awal tradisi parpol dimulai. Boleh dikatakan proses transisi demokratisasi di Indonesia terperangkap oleh kemandekan internal parpol. Lembaga yang seharusnya menjadi penyalur aspirasi dan pengkaderan pelaku politik justru tidak lebih dari sekadar "calo" yang mengangkangi demokrasi itu sendiri. Fakta bahwa perilaku parpol yang bergeser tersebut dapat disaksikan dalam berbagai fenomena pilkada. Di tengah kemandekan tersebut, alternatif calon independen menjadi jawaban sementara. Paling tidak untuk mendobrak kebuntuan demokrasi sehingga aspirasi publik dalam proses politik tidak dikangkangi oleh parpol, memunculkan calon pemimpin yang kredibel, sekaligus mendorong pembenahan parpol agar kembali pada tugas dan fungsi utamanya. Bayangkan, figur yang pantas dan berkualitas harus dikalahkan hanya karena "pintu" demokrasi harus melalui parpol dengan segala subyektivitas dan mekanisme internal. Siasat untuk menembus subyektivitas dan mekanisme parpol tersebut akhirnya dibahasakan dengan "biaya politik" yang memunculkan "calo" parpol. Calon parpol yang dianggap berkualitas pun akhirnya harus terkalahkan hanya karena mekanisme internal parpol yang rumit dan tidak transparan. Dalam konteks ini, sangat tepat calon independen muncul sebagai jalan keluar. Calon independen bukanlah jaminan untuk memunculkan pimpinan politik yang berkualitas dan mencerminkan aspirasi publik. Sejauh mana dan bagaimana cara yang paling tepat memunculkan calon perseorangan yang benar-benar menjadi alternatif atas kebuntuan parpol. Tidak menutup kemungkinan calon perseorangan yang muncul lebih karena popularitas dan kedekatan emosional yang tidak didasarkan pada pertimbangan rasional. Bisa juga karena dukungan finansial yang meninabobokkan pemilih pada saatsaat pilkada hendak berlangsung. Jangankan calon perseorangan, banyak pemimpin di negeri ini yang populer dan lahir dari parpol dengan kontrol yang ketat justru menjadi tidak aspiratif setelah memegang tampuk kekuasaan. Calon independen ataupun melalui parpol memiliki kelebihan dan kekurangan. Keduanya saling mengisi dan masih dibutuhkan penyempurnaan sistem politik Indonesia menuju demokratisasi bangsa Indonesia.

Parpol, dalam konteks pelembagaan politik sangat dibutuhkan sebagai wadah menyalurkan aspirasi publik, melatih dan mengkader calon pemimpin. Parpol bukanlah "sumber uang" bagi para pengurusnya dan bukan pula "calo" memperjuangkan kepentingan kelompok dalam membagi-bagi kekuasaan. Demikian juga calon independen bukanlah jalan pintas menjadi pemimpin daerah hanya dengan modal popularitas dan finansial. Pada titik tersebut, parpol harus kembali pada perannya dan calon independen pun harus diatur dengan landasan operasional yang jelas. Baik itu berupa revisi atas berbagai undang-undang yang terkait, perlunya Peraturan Pemerintah (PP) hingga Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Calon independen hadir untuk membenahi kehidupan politik yang didominasi oligarki parpol, bukan sebaliknya menjadi sebuah kerancuan dan kontroversi baru. Parpol vs Independen Penantian panjang lahirnya calon pemimpin daerah dan nasional dari kalangan independen datang juga, setelah MK pada Senin (23/7) membacakan putusan uji materil terhadap UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam putusannya, MK membolehkan calon independen mengikuti pemilihan kepala daerah (pilkada). Hal ini menjadi terobosan baru dalam perkembangan demokrasi kita. Seleksi pemimpin daerah yang selama ini monopoli partai politik, harus segera ditinggalkan. Tak akan ada lagi perdebatan calon yang harus menyetor "uang tak berjudul" kepada partai politik agar menjadi calon kepala daerah. Keputusan MK ini mendapatkan apresiasi luar biasa, yang terekam dari hasil survei LSI yang dipublikasikan Selasa (24/7), yang menunjukkan masyarakat mendukung calon independen untuk pilkada, angkanya 82,2 persen untuk dukungan calon independen gubernur dan 80,4 persen untuk bupati. Sedangkan yang mendukung calon independen pilpres angkanya mencapai 75 persen. Memang ada sedikit ganjalan administratif terkait dengan putusan MK ini, karena tak bisa dengan sendirinya langsung dapat diberlakukan. Ini tak lain karena UU tentang Pemerintahan Daerah harus di amandemen terlebih dahulu atau nantinya harus dibuat peraturan pemerintah secara tersendiri. Padahal, hingga Februari 2008, bakal ada 14 Pilkada Gubernur. Miftahul Khoir, Komp Inkopad E 12/18 Sasak Panjang, Tanjung Halang, Bogor Lagi, "Gertak Sambal" DPR Setelah gagal menghadirkan Presiden terkait interpelasi dukungan Indonesia terhadap Resolusi 1747 Dewan Keamanan PBB, para politisi Senayan yang mengusung interpelasi Lapindo juga diambang keterpurukan. Dalam Rapat Bamus DPR Kamis (19/7) gagal

mengambil keputusan. Hanya dua fraksi yang tetap bersikukuh agar interpelasi terus berlanjut, yakni F-PDI-P dan F-PKB. Sedangkan delapan fraksi DPR lainnya, yaitu F-PG, F-PD, F-PPP, F-PAN, F-PKS, F-PBPD, F-PBR, dan F-PDS sudah mulai mengendor. Kedelapan fraksi ini menghendaki pengambilan keputusan ditunda setelah masa reses, yaitu pada 21 Agustus 2007. Apa makna politik dibalik penundaan interpelasi Lapindo ini? Hemat saya, ada empat tafsir politik yang bisa dimunculkan. Pertama, penundaan ini menunjukkan betapa jeleknya lobi DPR dibandingkan dengan kemampuan lobi pemerintah. DPR selalu menjadi inferior kala berhadapan dengan eksekutif. Kasus yang paling nyata adalah gagalnya petinggi DPR "membujuk" SBY datang ke Senayan ketika sidang interpelasi Iran berlangsung. Kedua, penundaan ini menunjukkan bahwa DPR sebenarnya tidak punya komitmen sungguh-sungguh untuk melakukan pengawasan terhadap pemerintah. Mereka menggunakan hak interpelasi hanya sebagai instrumen bargaining politik. Ketika eksekutif sudah "menyambangi" mereka, dengan sendirinya sikap kritisnya pun mengempes. Ketiga, DPR tetap menyiapkan amunisi interpelasi Lapindo ini sebagai cadangan untuk "menghajar" pemerintah. Dengan ditundanya keputusan hingga setelah masa reses pada akhir Agustus mendatang, itu artinya DPR masih punya cadangan senjata ketika harus berkonflik dengan eksekutif. Keempat, penundaan ini tentunya "menyakiti" hati masyarakat. DPR ternyata hanya melakukan "gertak sambal" terhadap pemerintah. Padahal, ada antusiasme warga korban lumpur Lapindo agar DPR benar-benar membela mereka. Tentu hal ini menambah daftar panjang record buruknya perilaku politik para wakil partai itu! M Suud, Margonda Raya, Depok TAJUK RENCANA I Tak Cukup Belajar dari Pengalaman elum selesai kasus kematian praja Cliff Muntu asal Manado akibat penganiayaan yang dilakukan oleh para seniornya, kini muncul kasus baru yang melibatkan sejumlah praja Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat. Sejumlah praja dikabarkan mengeroyok seorang pemuda warga Jatinangor bernama Wendi Budiman. Akibat pengeroyokan tersebut korban akhirnya meninggal (22/7). Pengeroyokan itu, menurut hasil pemeriksaan polisi berawal dari perkelahian dalam lift di Jatinangor Town Square.

Sebab-musabab pengeroyokan masih simpang-siuar. Saksi korban mengungkapkan peristiwa tersebut murni pengeroyokan, sementara pihak IPDN mengakui ada pelecehan seksual terhadap dua praja putri IPDN. Tindakan pelecehan itu akhirnya memicu perkelahian mengakibatkan tewasnya Wendi Budiman. Polisi tengah menangani kasus ini dan menetapkan lima praja sebagai tersangka. Polisi juga masih memeriksa empat praja yang diduga terlibat dan sejumlah saksi lain. Sementara itu masyarakat Jatinangor melakukan unjuk rasa di kampus IPDN. Perwakilan warga menuntut agar memberikan santunan kepada korban, pihak IPDN meminta maaf, dan menuntut jaminan agar kasus itu diselesaikan sampai tuntas secara hukum. Kemudian ratusan tukang ojek dan warga mendatangi kampus untuk menuntut IPDN dibubarkan karena tidak bisa hidup berdampingan dengan masyarakat. Warga yang melakukan unjuk rasa mengancam menyisir mahasiswa IPDN yang berkeliaran di luar kampus. Rektor IPDN Johanis Kaloh telah melarang mahasiswa IPDN keluar kampus dalam waktu yang tidak ditentukan untuk mencegah terjadinya hal yang tidak diinginkan. Sudah banyak terjadi tindak kekerasan di IPDN selama ini dan yang masih segar dalam ingatan kita adalah kasus tewasnya Cliff Muntu di awal tahun ini. Kasus kematian Muntu telah membuat citra IPDN jatuh. Dan, kematian Cliff Muntu bukan yang pertama terjadi di kampus itu. Belum lagi sejumlah kejadian yang mencoreng citra tempat para calon pemimpin di lingkungan Departemen Dalam Negeri itu dididik. Malah salah seorang dosen di kampus itu tidak gentar membuka praktik kekerasan di kampus IPDN. Garagara itu, banyak kalangan, termasuk Ketua DPR Agung Laksano meminta pemerintah untuk menutup IPDN. Akan tetapi, tampaknya semua kejadian yang tak sedap di masa silam itu belum cukup untuk menjadi pelajaran. Jika selama ini IPDN banyak bergelut dengan masalah internal, kini berbenturan dengan masyarakat. Sebagai perguruan tinggi, IPDN adalah tempat untuk mengasah kemampuan intelektual dengan disiplin yang sangat ketat. Adalah tantangan baginya untuk mengembalikan citra tersebut. Citra itu sudah tercoreng oleh berbagai tindak kekerasan yang terjadi di kampus tersebut. Apalagi IPDN menjadi tempat untuk menyiapkan para pamong praja, yakni pegawai negeri yang akan mengurus pemerintahan negara ini. Bagaimana jadinya negeri ini kalau calon pamong praja kita demikian keadaannya. Karena itu, IPDN perlu tegas terhadap para mahasiswa yang terlibat dalam tindak kekerasan, apalagi kalau kemudian terbukti di pengadilan. Para praja yang kini belajar di IPDN adalah calon pemimpin, calon birokrat yang akan duduk dalam pemerintahan. Mereka adalah calon pamong praja, pegawai negeri yang akan mengurus pemerintahan negara. Kita menggaris bawahi sebutan pamong. Pamong itu adalah orang yang mengasuh. Krena itu, mereka perlu belajar dari berbagai peristiwa kekerasan yang terjadi di kampus itu selama ini, bila benar-benar ingin menjadi pamong bagi masyarakat. Membaca Saja Kok, Sulit? PR Oleh DEVINA NATALIA Mahasiswa Fikom Unpad

"BUKU adalah jendela dunia". Ungkapan itu pasti sudah pernah kita dengar. Klise, memang. Tetapi, arti ungkapan itu belum sepenuhnya disadari. Bagi sebagian besar warga Indonesia, buku belum menjadi kebutuhan yang patut diprioritaskan. Minat dan daya baca rakyat Indonesia begitu rendah. Menurut penelitian sebuah lembaga dunia terhadap daya baca di 41 negara, Indonesia berada di peringkat ke-39. Sedangkan, menurut laporan Bank Dunia NM 16369-IND dan Studi IEA di Asia Timur, tingkat membaca anak-anak dipegang oleh negara Indonesia dengan skor 51,7; di bawah Filipina (52,6), Thailand (65,1), dan Singapura (74,0) 2).Masalah Buku Teks Pelajaran Oleh Sudaryanto* Salah satu alat pendukung terlaksananya kurikulum pendidikan dengan baik adalah buku ajar. Dengan adanya buku ajar yang baik maka kurikulum tersebut dapat dilaksanakan dengan baik. Mulai tanggal 26 Desember 2005, Depdiknas menetapkan Permendiknas RI No.26 Tahun 2005 tentang penetapan buku teks pelajaran (Buku Ajar) yang memenuhi syarat kelayakan untuk digunakan dalam proses belajar mengajar di kelas mencakup tiga mata pelajaran yang diujikan dalam Ujian Nasional yakni Matematika, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris untuk jenjang SMP/MTs dan SMA/MA. Dalam keputusan itu ditetapkan sebanyak 294 buku teks pelajaran dari 98 penerbit untuk tingkat SMP/MTs dan sebanyak 250 buku teks pelajaran dari 50 penerbit untuk tingkat SMA/MA. Keputusan ini sekaligus menjawab pertanyaan, apakah buku-buku ajar yang beredar di pasaran selama ini sudah baik dan layak dipakai ditinjau dari kesesuaian materi, tujuan kurikulum, dan metodenya sehingga layak digunakan sebagai pegangan dalam pembelajaran. Karena buku ajar yang ada sebelumnya berbeda dengan KBK, baik urutan materi maupun sajian materinya maka buku-buku ajar yang beredar sekarang ini lebih menekankan kepada keaktifan siswa dan tampilan bukunya lebih menarik. Buku ajar merupakan alat pengajaran yang paling banyak digunakan diantara semua alat pembelajaran lainnya. Keuntungan dengan digunakannya buku ajar dalam

proses belajar mengajar antara lain: dapat membantu guru melaksanakan kurikulum yang berlaku, menjadi pegangan dalam menentukan metode pengajaran; memberi kesempatan pada siswa untuk mengulangi pelajaran dan dapat digunakan pada tahun berikutnya. Terlebih sudah ada PP No 11/2005 yang mengatur tentang masa pakai buku ajar minimal selama 5 tahun. Selain itu, buku ajar yang uniform memberi kesamaan mengenai beban dan standar pengajaran serta memberikan pengetahuan dan metode mengajar lebih mantap bila guru menggunakan dari tahun ke tahun. Sebagai salah satu media dan sumber belajar dalam proses pembelajaran, buku ajar dapat memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistik; mengatasi keterbatasan ruang dan waktu; dapat mengatasi sifat pasif anak didik. Buku ajar harus mempunyai kualitas yang baik dari segi struktur isinya. Selain itu, buku ajar yang baik harus memenuhi kriteria CBSA serta sepuluh butir kriteria kelayakan yaitu: menarik minat; memberi motifasi; memuat ilustrasi yang menarik hati; mempertimbangkan aspek kognitif; isinya berkaitan dengan mata pelajaran lain (pengetahuan dan kompetensi lintas kurikulum); dapat menstimulasi/merangsang aktifitas siswa; menghindari konsep-konsep yang samar dan tidak pasti; mempunyai sudut pandang yang jelas dan tegas; mampu memberi pemantapan, penekanan pada nilai siswa; dan melibatkan siswa dalam pembelajaran. Materi pokok dalam buku ajar dipaparkan untuk mencapai standar kompetensi dan kompetensi dasar yang ada. Selain digunakan sebagai buku pegangan, diharapkan dapat membangkitkan keinginan untuk belajar, membentuk karakter yang baik dan berpikiran cerdas dari seorang siswa, memiliki keahlian, menerapkan teknologi tepat guna dan menguasai suatu ilmu dalam buku tersebut.

Kita menyambut baik keputusan tentang buku yang layak dipakai dalam pembelajaran di sekolah. Hanya saja, diharapkan tidak ada paksaan dalam penggunaan buku tersebut mengingat kemampuan keuangan siswa dan memang tak boleh memaksa siswa membeli buku. Namun akan lebih baik jika pemerintah daerah mengalokasikan anggarannya untuk membeli buku pelajaran layak pakai itu dan men-drop ke sekolah sehingga memperingan beban siswa. Tentunya dengan cara ini, peningkatan kualitas pendidikan melalui pemakaian buku teks pelajaran akan dapat terealisasi dan pembelajaran akan semakin lancar. Semoga. •

Penulis, Guru BK di SMA N I Bayat, Klaten Menyoal Buku Pegangan Mata Pelajaran Oleh Sudaryanto, S.Pd SALAH satu alat pendukung terlaksananya kurikulum pendidikan dengan baik

adalah buku ajar/pegangan. Dengan adanya buku ajar yang baik maka kurikulum tersebut, sedikit banyak, dapat dilaksanakan dengan baik. Saat ini, memasuki tahun ajaran baru ini, kebutuhan akan buku pegangan mata pelajaran telah menjadi sebuah keharusan. Terlebih bagi para siswa di daerah bencana yang saat ini gedung sekolah dan fasilitas pembelajaran laiinya (termasuk buku pegangan) hancur diluluhlantakkan bencana. Sebenarnya, sejak tahun 2005 yang lalu, Depdiknas telah menetapkan Permendiknas RI No.26 Tahun 2005 tentang penetapan buku teks pelajaran (Buku Ajar) yang memenuhi syarat kelayakan untuk digunakan dalam proses belajar mengajar di kelas, mencakup tiga mata maupun pelajaran yang diujikan dalam Ujian Nasional, yakni Matematika, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris untuk jenjang SMP/MTs dan SMA/MA.

Karena buku ajar yang ada sebelumnya berbeda dengan KBK, baik urutan materi maupun sajian materinya maka buku-buku ajar yang beredar sekarang ini lebih menekankan kepada keaktifan siswa dan tampilan bukunya lebih menarik. Sebenarnya, buku ajar merupakan alat pengajaran yang paling banyak digunakan diantara semua alat pembelajaran lainnya. Keuntungan dengan digunakannya buku ajar/buku pegangan dalam proses belajar mengajar antara lain: dapat membantu guru melaksanakan kurikulum yang berlaku, menjadi pegangan dalam menentukan metode pengajaran; memberi kesempatan kepada siswa untuk mengulangi pelajaran ketika di rumah,dan dapat digunakan lagi oleh adik kelasnya pada tahun berikutnya. Jadi buku pegangan mata pelajaran memang tidak harus ganti setiap tahun. Terlebih sudah ada PP No.11/2005 yang mengatur tentang masa pakai buku ajar minimal selama 5 tahun. Selain itu, buku ajar yang uniform memberi kesamaan mengenai beban dan standar pengajaran serta memberikan pengetahuan dan metode mengajar lebih mantap bila guru menggunakan dari tahun ke tahun. Sebagai salah satu media dan sumber belajar dalam proses pembelajaran, buku pegangan dapat memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistik; mengatasi keterbatasan ruang dan waktu; dapat mengatasi sifat pasif anak didik. Buku pegangan harus mempunyai kualitas yang baik dari segi struktur isinya. Selain itu, buku ajar yang baik harus memenuhi kriteria CBSA serta sepuluh butir kriteria kelayakan yaitu: menarik minat; memberi motifasi; memuat ilustrasi yang menarik hati; mempertimbangkan aspek kognitif; isinya berkaitan dengan mata pelajaran lain (pengetahuan dan kompetensi lintas kurikulum); dapat menstimulasi/merangsang aktifitas siswa; menghindari konsep-konsep yang samar dan tidak pasti; mempunyai

sudut pandang yang jelas dan tegas; mampu memberi pemantapan, penekanan pada nilai siswa; dan melibatkan siswa dalam pembelajaran. Materi pokok dalam buku ajar harus dipaparkan untuk mencapai standar kompetensi dan kompetensi dasar yang ada. Selain digunakan sebagai buku pegangan, diharapkan dapat membangkitkan keinginan untuk belajar, membentuk karakter yang baik dan berpikiran cerdas dari seorang siswa, memiliki keahlian, menerapkan teknologi tepat guna dan menguasai suatu ilmu dalam buku tersebut. Kita tentunya bisa memahami keputusan tentang buku yang layak dipakai dalam pembelajaran di sekolah. Hanya saja, diharapkan tidak ada paksaan dalam penggunaan buku tersebut, mengingat kemampuan keuangan siswa dan memang tak boleh memaksa siswa membeli buku. Lebih dari itu, akan semakin baik jika pemerintah daerah mengalokasikan anggarannya untuk membeli buku pegangan mata pelajaran layak pakai itu dan men-drop ke sekolah sehingga memperingan beban siswa. Tentunya dengan cara ini, peningkatan kualitas pendidikan melalui pemakaian buku teks pelajaran akan dapat terealisasi dan proses pembelajaran akan semakin lancar. Semoga begitu. Sudaryanto, S.Pd *Penulis, Guru BK (GTT) di SMA N I Bayat, Klaten SM TAJUK RENCANA Calon Independen Perlu Segera Direalisasi Seperti diduga sebelumnya, partai politik pada umumnya keberatan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberikan peluang kemunculan calon perseorangan alias calon independen yang berasal dari nonparpol dalam pilkada. Dari suara yang berkembang di kalangan petinggi parpol terlihat belum ada keikhlasan untuk menerima keputusan MK tersebut. Hal itu tercermin dari tuntutan syarat dukungan minimal bagi seorang calon independen sama dengan partai politik sebesar 15 persen. Kalau

diperhitungkan untuk Jawa Tengah misalnya berarti berkisar 3,7 juta orang. Sesuatu yang jelas menyulitkan dan hampir tidak mungkin. Alasan mereka demi keadilan karena kalau lewat parpol aturannya juga harus memperoleh dukungan minimal 15 persen kursi di legislatif. Dari sisi normatif tampaknya hal itu bisa diterima. Tetapi kalau dilihat dari segi pragmatis, maka usulan seperti itu tidak ada bedanya dengan menolak calon independen. Kalau tak mau dikatakan menolak setidaknya itu menghalang-halangi atau menghambat. Menurut pengamat politik, yang masuk akal adalah persyaratan calon independen pada pilkada di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yakni sebesar 3 persen. Itupun sebenarnya bukan sesuatu yang mudah sehingga calon tersebut perlu bekerja keras. Pilkada di Aceh bisa dijadikan rujukan karena pertama kali terjadi di negeri ini dan kebetulan calon independenlah yang menang. Melihat fenomena baru di Serambi Mekah tersebut banyak kalangan berharap agar keputusan MK segera direalisasikan. Sebaliknya kalangan partai politik merasa waswas jagonya akan mengalami nasib yang sama seperti yang terjadi di Aceh. Maklumlah diakui atau tidak pada umumnya partai politik sedang mengalami krisis kepercayaan. Hal itu disebabkan oleh ulah anggota legislatif yang dianggap kurang mampu memperjuangkan aspirasi rakyat. Yang difikirkan justru kepentingan mereka sendiri. Untuk melaksanakan keputusan MK tersebut maka Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 perlu diganti dan itu haruslah melewati proses legislasi di DPR. Itulah sebabnya sekarang bola ada di tangan DPR. Tetapi sebelum itu presiden bisa mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti Undang Undang (Perpu) agar tidak terjadi kekosongan hukum serta dapat mempercepat pelaksanaannya. Melihat gelagatnya ada sambutan positif di masyarakat bahkan gairah baru muncul. Jadi kalau sampai pemerintah dan elite politik di negeri ini kurang tanggap akan menimbulkan kekecewaan. Banyak daerah yang sudah menunggu petunjuk teknisnya. Peluang bagi calon independen sudah menjadi kelaziman dalam demokrasi. Bahkan jika perlu kelak juga diatur adanya peluang yang sama dalam pemilihan presiden atau calon legislatif. Bukan berarti kita tidak mengakui keberadaan partai politik. Yang lebih tepat hal ini dilihat sebagai upaya memberikan alternatif atau pilihan yang lebih banyak. Pintu masuk lewat parpol terbukti menciptakan iklim kompetisi kurang sehat yakni dengan maraknya politik uang. Karena akhirnya parpol terutama pimpinannya justru lebih banyak menjadi semacam tukang ojek atau menyewakan kendaraannya untuk calon yang mampu membayar sejumlah besar uang. Inilah saatnya bagi parpol untuk berbenah dan lebih serius memikirkan kaderisasi serta rekrutmen kepemimpinan. Agar mereka bisa mencalonkan kadernya sendiri atau membuka kesempatan seluas-luasnya kepada tokoh masyarakat yang kapabel dan kredibel untuk melamar tanpa dibebani biaya terlampau besar. Kalau perlu mereka ikut dalam penggalangan dana. Bukankah kemenangan dalam pilkada juga akan memengaruhi citra dan kehormatan partai. Sebaliknya kekalahan akan menurunkan kredibilitasnya. Jadi

kalau itu bisa dillakukan, parpol tak perlu menghambat melainkan justru mempercepat keluarnya UU yang baru. Kondisi Bahaya Stabilitas Pendidikan •

Oleh S Hartono

BUKAN tanpa sebab, kalau perjuangan guru (dan dosen) untuk mendapatkan tanda jasa tidak pernah menampakkan bentuk. Bisa jadi, itu karena pemerintah tidak pernah serius memperhatikan nasib guru dan dosen, atau sangat mungkin karena guru sendiri tidak pernah serius memperjuangkan tuntutannya. Bahkan, ada tudingan bahwa guru sendiri tidak pernah tahu apa bentuk tuntutan dan siapa yang mesti dituntut. Seperti biasa, menjelang November (Bulan Guru) tensi emosi guru lebih tinggi dari biasanya. Senin, 9 Juli 2007 yang lalu, serombongan anggota PGRI Jateng "menyatroni" Jakarta, menyusul PGRI Jawa Timur yang telah mendahului. Sebagaimana yang disampaikan oleh Sulistyo, Sekretaris PGRI Jateng, guru merasa dibohongi oleh pemerintah berkait dengan belum direalisasinya anggaran pendidikan 20 persen dan tunjangan bagi guru.Akankah perjuangan kali ini membuahkan hasil? UUGD Deformatif Lahirnya UUGD (UndangUndang Guru dan Dosen) tidak serta merta membalik kondisi keterbatasan guru dan dosen; bahkan rawan atas tudingan sebagai teknik meledek guru dan dosen gaya baru. UUGD rawan dipelesetkan dengan umpatan "ujung ñ ujungnya gurauan doang". Sejumlah kondisi menjadi kausalitas persepsi miring tersebut. Pertama, sejak diundangkan UUGD belum memiliki peraturan pemerintah (PP) sebagai pedoman teknis implementasi. Kondisi demikian mengesankan bahwa pemerintah tidak serius dan justru memanfaatkan UUGD sebatas bahasa politis demi meraih simpati publik. UU 20/2003 tentang Sisdiknas telah menjadi contoh yang nyata. Kedua, draf rencana peraturan pemerintah (RPP) yang pernah ada tidak bisa menjabarkan dan bahkan deformatif terhadap semangat yang diusung UUGD. Sejumlah limitasi dalam draf potensial mengembangkan makna negatif tersebut. Beberapa di antaranya adalah batasan atas sertifikasi, yaitu usia pengabdian minimal, usia pengabdian maksimal, golongan kepangkatan, dan batasan pendidikan minimal. Wulan kita gunakan sebagai model untuk memahami anomali RPP itu. Ia lulus sarjana pendidikan strata satu (S1) pada usia dua puluh dua tahun. Kemudian ia melamar dan diterima sebagai guru dengan golongan kepangkatan IIIa. Dengan asumsi tidak memiliki persoalan sama sekali atas profesinya, pada usia 42 tahun ia baru bisa mengikuti ujian sertifikasi. Ia lulus dan mendapatkan hak guru bersertifikat pada usia 43 tahun. Ketika berumur 54 tahun, Wulan mengikuti sertifikasi kali terakhir. Dengan asumsi lulus setiap

mengikuti ujian ulang sertifikasi periodik dua tahunan, maka ia harus puas dengan romantisme UUGD selama 14 tahun. Dari ilustrasi itu, sangat sulit memahami status Wulan dari nol tahun (usia 23 tahun) hingga 20 tahun usia pengabdian. Juga sulit untuk menyebut apa profesinya pada saat usia pengabdian di atas 34 tahun (usia 56 tahun) hingga masa pensiunnya. Sulit memahami, karena semasa usia pengabdian nol tahun hingga pensiun produk Wulan tetap, pengabdian pada pendidikan sepenuh hati. Faktor eksternal Wulan potensial mengurangi masa romantisme sertifikasi. Pasti Wulan tidak bisa diterima langsung menjadi guru (apalagi PNS), pasti ia menghadapi persoalan administratif dan teknis seperti harus antre dari sederetan guru dengan maksud yang sama; dan sangat mungkin ia mengalami kegagalan dalam mengikuti proses ujian. Jenjang pendidikan harus S1 atau diploma empat (D4), juga menggugat keseriusan pemerintah dalam memperhatikan nasib Wulan. Keraguan itu beralasan, mengingat RPP yang mewajibkan pendidikan minimal tersebut tidak disertai dengan elaborasi solutif andai ia memiliki pendidikan di bawah persyaratan.Jumlah jam minimal per minggu semakin mempersempit ruang guru untuk mendapatkan sertifikat. Sangat menggelikan, ketika sebelum UUGD lahir jam minimal mengajar ditetapkan 18, sementara itu setelah UUGD lahir jam tersebut melambung fantastis menjadi 24. Kesan mengamputasi kesempatan Wulan untuk mendapatkan sertifikat jelas, karena pada saat persyaratan minimal 24 jam itu dilambungkan, pemotongan jam dalam KTSP siap untuk mengebiri kesempatan itu. Revisi RPP RPP yang sekarang beredar secepatnya harus ditarik ulang dan direinterpretasi total. Draf PP tersebut dipenuhi kondisional yang membahayakan stabilitas pendidikan. RPP potensial menciptakan disharmoni antarguru, karena usia pengabdian maupun kompleksitas bidang stud. Sengaja atau tidak, pasti akan terjadi pengotakan antara guru senior dan guru yunior, guru PNS dan non-PNS, dan antara guru dengan dosen. Kompleksitas muncul karena senioritas yang linear terhadap penghasilan tidak selalu berbanding lurus dengan profesionalitas, bahkan sangat mungkin berbalik. Dengan kondisi yang ada, kepala sekolah yang tidak pernah mengajar atau guru yang biasa-biasa (bahkan malas) sangat mungkin lebih dahulu lulus dan mendapatkan gaji lima kali gaji Wulan yang rajin, dedikatif, dan disukai anak didik. RPP juga rawan akan ketidakjujuran proses, antara lain berasal dari testee yang ingin secepatnya mendapatkan sertifikat, tester yang merasa berhak untuk menentukan kelulusan testee, dan birokrasi yang merasa berwenang untuk menentukan nasib guru. Bisa dipastikan bahwa otoritas regulator akan mimikri menjadi senjata antidemokrasi yang sangat berbahaya.(68)

-- S Hartono, direktur Advokasi Pendidikan Indonesia (Andina).

Penyakit Misterius di Magelang Bakteri Bongkrek dan Gembus Sama PURWOKERTO-Pakar dari Fakultas Biologi Unsoed, Prof Rubiyanto Misman, terkejut mendengar penyebab kematian 10 warga Desa Kanigoro, Magelang akibat keracunan tempe gembus. ''Tempe gembus dan bongkrek memiliki kesamaan, yaitu terbuat dari limbah atau ampas proses pembuatan minyak kelapa,'' ujarnya, kemarin. Kedua makanan itu sering ditumbuhi bakteri Pseudomonas Cocovenenans yang menyukai ampas kelapa. Rubi yang menyelenggarakan seminar nasional soal tempe bongkrek pada tahun 1975 menyebutkan penyebab kematian bukan bakterinya, melainkan asam bongkrek yang dihasilkan bakteri. ''Selain asam bongkrek yang bersifat racun dan tidak berwarna, ada toxoplasma yang berwarna kuning,'' tambahnya. Toxoplasma mudah dikenali karena warna kuningnya biasa kelihatan di permukaan tempe gembus atau di Banyumas dikenal sebagai dage. Asam bongkrek sulit dikenali karena tidak berwarna. ''Setahu saya asam bongkrek sudah lama tidak muncul karena pola makanan masyarakat sudah berubah,'' jelasnya. Baik tempe gembus maupun tempe bongkrek merupakan makanan klangenan atau kegemaran. Rasanya enak bagi yang menyukai. Proses fermentasi tempe gembus dan bongkrek sama. Perbedaan terletak pada kandungan lemaknya. Tempe gembus yang terbuat dari bungkil minyak kelapa kandungan lemaknya rendah, yakni 3%-4%, karena proses pembuatannya menggunakan mesin pres. Menurut mantan rektor Unsoed itu, bakteri Pseudomonas Cocovenenans tidak tumbuh di media yang kadar lemaknya rendah. Tetapi tumbuh di tempe bongkrek yang kadar lemaknya 10%-12%. Kadar lemak yang tinggi disebabkan proses pembuatan minyak kelapa tradisional menggunakan tangan. Asam bongkrek yang masuk tubuh manusia merusak susunan gula darah sehingga tidak bisa mengikat oksigen. Akibatnya, penderita keracunannya seperti sesak napas. ''Disusul tekanan darah yang tiba-tiba tinggi dan akhirnya drop sampai korban meninggal,'' ungkapnya. Ia terkejut kemunculan kembali bakteri Pseudomonas Cocovenenans yang sudah lama menghilang. Diragukan Warga

Sementara itu warga Dusun Beran, Desa Kanigoro, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang meragukan hasil penyelidikan dari Departemen Kesehatan bahwa penyebab 10 warga yang meninggal dunia karena keracunan tempe gembus atau tempe bongkrek. Sebagian besar warga mengaku mengonsumsi tempe gembus, tapi sebelum musibah itu hampir semua korban tak mengonsumsinya. Penyakit misterius yang terjadi Minggu (22/7) itu menjangkiti 31 orang, 21 korban dirawat di rumah sakit dengan gejala mual, muntah, dan pusing hampir sama dengan korban tewas. Kemarin masih ada empat korban yang dirawat di RSU Tidar Kota Magelang. Kepala Desa, Gadang Rintoko, mengatakan masih meragukan hasil penyelidikan Depkes bahwa musibah yang menimpa warganya akibat keracunan tempe gembus. Dia mengaku sebagian warganya memang hidup dalam kemiskinan dan seringkali mengonsumsi tempe gembus, tetapi sebelum kejadian hampir dipastikan tak ada korban yang mengonsumsi makanan itu. "Saya sendiri juga sering makan tempe gembus. Jika itu penyebabnya mengapa yang mengonsumsi makanan itu tak semua terjangkiti penyakit,"katanya, kemarin. Dia juga mempertanyakan hasil uji laboratorium di Semarang yang menyatakan, penyebabnya keracunan dari bahan kimia juga negatif, tapi setelah diteliti di Jakarta terdeteksi ada kandungan bakteri pseudomonas cocovenenans. "Kami masih kurang puas dan meragukan hasil penelitian itu. Saya berharap ada penelitian lagi yang hasilnya lebih meyakinkan agar warga tak resah dihantui penyakit misterius itu,"katanya. Hal yang sama juga diungkapkan Asmuni (40), yang kehilangan istrinya Aslamiyah (35) dalam musibah itu. Dia menceritakan, sebelum peristiwa itu tak mengonsumsi tempe gembus. Seingat dia, mengonsumsi tempe dan tahu. Jika penyebabnya dari media makanan, mengapa hanya istrinya yang terjangkiti, sedangkan dia dan anak-anaknya tidak. "Logikanya kalau penyebab kematiannya dari media makanan seharusnya satu keluarga terkena semua,"katanya. Keinginan Warga Hasil uji laboratorium yang dikeluarkan Depkes itu juga mengundang protes warga. Bahkan mereka meminta Menkes datang ke lokasi untuk menjelaskan penyebab penyakit misterius itu. Kepala Dusun Beran, Yanto (28), mengatakan perlu dilakukan uji ulang laboratorium. Menurutnya, warga tak puas dengan hasil itu karena sebelum kejadian hampir semua korban tak memakan tempe gembus. "Saya juga minta kepada Menkes untuk menjelaskan kepada warga secara langsung. Kami butuh kepastian terhadap penyakit yang telah merasahkan warga selama sepekan terakhir ini,"katanya. Dia berharap ada penjelasan yang lain yang dapat mengungkap penyakit itu, tak hanya dari hasil uji laborarorium satu sampel makanan. "Kalau ini dijelaskan secara gamblang minimal dapat menjawab keresahan warga dan melakukan antisipasi agar tak terjangkiti

penyakit seperti itu lagi. Saya kurang puas dengan upaya Depkes itu,"katanya.(P16,H33-, 27,41) Pernah Renggut 34 Jiwa TAHUN 1988 pernah terjadi peristiwa keracunan tempe bongkrek terbesar dengan korban tewas 34 orang di Kecamatan Lumbir, Banyumas. Sejak saat itu Banyumas memberlakukan perda larangan memproduksi, mengonsumsi, dan menjual tempe bongkrek. Larangan itu ditindaklanjuti dengan pemasangan papan peringatan di pasar-pasar seluruh pelosok Banyumas. Para perajin tempe bongkrek yang bikin petaka beralih usaha menjadi petani jamur yang didirikan di Ajibarang. Gubernur Jateng saat itu, HM Ismail, menjadikan Banyumas sebagai daerah bebas tempe bongkrek. Tempe bongkrek dihapus dari menu warga Banyumas. Sebelumnya, tempe bongkrek memang menjadi makanan kesukaan warga lembah Sungai Serayu. Keracunan demi keracunan terjadi sepanjang hampir dua abad dengan korban ribuan orang. Bagian Teknologi Gizi dan Pangan Institut Pertanian Bogor (IPB) mencatat peristiwa keracunan tempe bongkrek di Kabupaten Banyumas dan sekitarnya. Berdasarkan catatan itu peristiwa keracunan tempe bongkrek sudah terjadi sejak 1895 dan 1901. Saat itu tercatat 200 orang tewas dari 340 korban keracunan. Kasus keracunan yang rutin terjadi itu mendorong ahli biologi dari Belanda melakukan penelitian, yakni Viderman, Van Veen dan Mertens. Mereka menemukan rumus senyawa asam bongkrek. Sejauh ini belum ditemukan obat yang bisa menawarkan keganasan asam bongkrek. Dalam seminar disarankan penderita keracunan minum air rebusan daun calincing atau infus zat gula. Ada yang menyebut keracunan tempe bongkrek akrab dengan kemiskinan karena biasanya menimpa orang-orang tidak mampu. Pada beberapa peristiwa keracunan berawal dari tempe mondol (tempe yang gagal), tetapi tetap dikonsumsi karena merasa sayang kalau dibuang. Sejak diberlakukan larangan, hampir tidak pernah terjadi peristiwa keracunan tempe bongkrek. Hanya tahun 2003 terjadi keracunan di Desa Sirau dan Kramat, Kecamatan Karangmoncol Purbalingga. Lima nyawa melayang dalam kasus itu.

Namun beberapa pakar Indonesia masih terus melakukan penelitian terhadap asam bongkrek yang berbahaya itu. Muhamad Zainuddin dalam disertasi doktor tahun 1981 meneliti manfaat asam bongkrek. Tujuan penelitiannya adalah menjajaki kemungkinan pemanfaatan untuk manusia, terutama sebagai antikanker. Etty Sumiati Suleiman dari ITB pada tahun 1976 melakukan penelitian kenapa bakteri Pseudomonas cocovenenans suka tumbuh pada ampas kelapa. (Didi Wahyu-27) Korban Keracunan Tempe Gembus •

Dugaan Penyebab Penyakit Misterius

JAKARTA- Penyebab penyakit misterius yang menjangkiti warga Dusun Beran, Desa Kanigoro, dan Dusun Ngandong, Desa Banaran, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang mulai terdeteksi.Penyakit yang menewaskan 10 warga itu diduga kuat karena keracunan tempe gembus. TAJUK RENCANA Melecehkan Bangsa Sendiri Tergelitik juga untuk berkomentar soal pernyataan mantan Wakil Ketua MPR Zaenal Ma'arif mengenai fakta pernikahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebelum masuk Akabri di Magelang. Bahkan disebutkan telah memiliki anak. Yang mengherankan, presiden menanggapi serius pernyataan tersebut dan melaporkan sendiri ke Polda Metro Jaya. Mengapa negeri ini terus menerus diberi tontonan yang sama sekali tidak mendidik. Mengapa kita tidak ingin mengangkat harkat dan martabat bangsa melainkan justru cenderung melecehkan. Terlepas dari kenyataan apa pun yang akan menjadi kebenaran, semua yang terjadi adalah kesia-siaan. Mengenai tindakan Zaenal Ma'arif, jelas tidak bisa diterima dari sisi moral dan etika. Apa motivasinya dan mengapa ia harus menyatakan semua itu. Publik paham dan pasti menduga bahwa hal itu dipicu oleh kekecewaan setelah SBY menandatangani Keppres yang mengukuhkan pencopotannya sebagai anggota DPR dan salah seorang pimpinan di lembaga negara tersebut. Lalu apa hubungannya dengan presiden kalau semua itu hanya bagian dari dinamika politik yang harus dihadapi dan risiko atas kiprahnya di dunia politik. Dari segi apa pun rasanya patut disesalkan apalagi ia telah mempertaruhkan kehormatan simbol penting negara. Begitukah kekerdilan wakil rakyat dan pemimpin kita? Katakanlah ia mengetahui sejak dulu mengapa baru sekarang dokumen diungkapkan. Atau mungkin baru sekarang diketahui mengapa pula ia harus bermain di wilayah privacy untuk mencapai tujuan

politik. Sungguh menjadi sesuatu yang sangat tidak simpatik. Sebaliknya reaksi Presiden pun banyak disesalkan. Benar bahwa itu merupakan hak pribadi sebagai warga negara. Apalagi pasal penghinaan presiden dalam KUHP sudah dihapuskan oleh Mahkamah Konstitusi sejak 6 Desember 2006 lalu. Dan siapa pun tak akan tahan kalau merasa difitnah dan dirusak nama baiknya. Tetapi bukankah banyak cara tanpa harus datang dengan pengawalan lengkap seperti itu. Betapapun kita tahu maksud baiknya namun bisa menimbulkan kesan sebaliknya. Artinya presiden bisa dianggap berlebihan menanggapi isu. Padahal kita tahu sangatlah padat jadwal kegiatan dan amatlah berat tugas yang diemban terutama menghadapi berbagai persoalan bangsa yang belum selesai. Memang semua menyangkut kehormatan seseorang tetapi jangan lupa presiden juga bukan warga negara biasa yang bisa bebas melakukan sesuatu tanpa dipertimbangkan baik buruknya. Secara protokoler pun ia tak bisa disamakan dengan lainnya. Pemimpin diharapkan peka terhadap persoalan rakyat namun tidak terlalu sensitif untuk urusan pribadi. Mestinya disadari semakin tinggi pohon akan semakin kencang angin bertiup. Wajar bila suatu ketika menjadi sasaran tembak termasuk difitnah atau diisukan macam-macam. Maka yang terpenting kemudian adalah bagaimana bisa menanggapi semua itu, kalaupun perlu ditanggapi, dengan seperlunya. Apa yang dilakukan SBY bersama isteri dengan mendatangi kantor polisi untuk menggugat Zaenal Ma'arif tidak keliru karena itu justru demi menegakkan kebenaran dan menjunjung tinggi hukum. Tetapi pertanyaannya, perlukah semua itu? Sebaiknya bangsa ini, terutama presiden dan kalangan politikus, tak membuang energi untuk hal-hal yang tidak perlu dan kontraproduktif. Lebih baik berkonsentrasi pada pemecahan berbagai masalah karena rakyat akan melihat apa saja yang telah dihasilkan. Kalau memang merasa tidak bersalah dan tidak ada sesuatu yang perlu dipermasalahkan tak perlu emosional menanggapi semua ''serangan'' itu. Sementara itu elite politik perlu memiliki dan menjaga moral maupun etika. Perlu disadari, sekarang bangsa kita sudah semakin berat menjaga kehormatan dan kepercayaannya. Jangan ditambah dengan tindakan buruk yang makin melecehkan. TAJUK RENCANA Persatuan Kunci Keberhasilan Irak Kapten kesebelasan Irak Younis Mahmoud yang Suni, menjadi pahlawan negaranya dalam partai final Piala Asia 2007 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Minggu lalu. Dia berhasil menyundul bola dari tendangan penjuru yang diambil Hawar Mulla Mohammed yang orang Kurdi, untuk menjebol gawang Arab Saudi. Sebelum melaju ke final, mereka menyingkirkan Korea Selatan melalui adu penalti. Pada drama mendebarkan itu, kiper Noor Sabri Abbas yang berasal dari golongan Syiah, menjadi kunci kemenangan. Dalam compang-camping negeri akibat berbagai persoalan politik dan sektarianisme, terbukti persatuan menjadi kunci terciptanya sejarah.

Sepak bola Irak menorehkan sejarah berkat keberhasilan menjuarai Piala Asia untuk pertama kalinya. Justru ketika negeri makin porak-poranda, grafik meningkat tercipta. Tradisi prestasi memang telah mereka jejakkan sejak lama. Negeri Seribu Satu Malam itu menjadi salah satu wakil Asia dalam Piala Dunia 1986. Namun, konsistensi benar-benar dinampakkan pada saat di dalam negeri konflik meluas, menyusul masih bertahannya tentara Amerika Serikat. Setelah masuk semifinal Olimpiade Athena 2004, medali perak Asian Games 2006 didapat. Perjalanan berlanjut dengan digenggamnya Piala Asia, melalui pertandingan yang memang pantas dimenangi. Upaya itu dilakukan setelah mereka melawan semua kemustahilan. Pertentangan antargolongan (Syiah-Suni) maupun konflik kesukuan (Arab-Kurdi) mampu diredam untuk tak merambat jauh ke tubuh tim sepak bolanya. Perbedaan-perbedaan yang awalnya memang memengaruhi tim, akhirnya bisa disingkirkan para pemain, di bawah koordinasi pelatih asal Brasil Jorvan Vieira. Padahal, akutnya persoalan pernah membawa bencana menjelang Asian Games. Salah satu pengurus federasi sepak bola nasional tewas dibunuh, sementara Pelatih Yahya Mahel mendapat ancaman untuk dihabisi. Selain hambatan politik, kultural, dan ideologis, masalah keamanan juga persoalan yang merintangi persiapan tim. Mereka harus menyingkir meninggalkan Bagdad karena kota itu sering jadi sasaran serangan. Latihan harus diadakan di belahan utara negeri, yang dianggap aman. Ternyata tetap saja ketidaktenangan melanda. Jadilah tim itu mengungsi ke Yordania, yang tentu saja menambah biaya, padahal Federasi Sepak Bola Irak juga merasakan kendala ekonomi. Tetapi, demi kejayaan bangsa, mereka berusaha menaklukkan rintangan-rintangan itu. Akhirnya, mereka memang mewujudkan kebanggaan bagi rakyatnya. Sebagai tim yang dibangun dalam penderitaan rakyat, mereka pun mendapat banyak simpati. Tim juga merespons keadaan di dalam negeri dengan pita hitam melilit di lengan sebagai tanda duka pada korban perang. Keprihatinan yang amat menonjol itu mendatangkan simpati, termasuk dari penonton Indonesia. Mereka memberikan dukungan membahana di stadion. Kepedulian juga datang dari Konfederasi Sepak Bola Asia, dengan menambah jumlah subsidi sampai lebih dari dua kali lipat dibanding timtim peserta lainnya. Sepak bola ternyata juga menimbulkan mata rantai yang berujung pada munculnya respek terhadap sesama. Pelajaran itu tentu harus ditarik oleh pihak-pihak yang bersengketa di Irak. Namun, Ivica Osim yang sekarang menangani Jepang, pernah merasakan betapa sepak bola tetaplah hanya perekat sesaat. Ketika pertentangan etnis di Yugoslavia mulai memanas sekitar dua dasawarsa silam, di tim nasional konflik itu terminimalisasi. Karena itu kesebelasannya mampu lolos ke Piala Dunia 1990 di Italia dan Piala Eropa 1992 di Swedia (meski akhirnya dilarang tampil). Ternyata perang etnis makin berkecamuk, yang berujung pada perpecahan negeri. Personel tim sepak bola Irak yang telah merasakan manfaat persatuan, logis berharap hal serupa tak terjadi di negaranya.

Menyikapi Liberalisasi Pendidikan •

Oleh Abdul Muid Badrun

MASIH ingatkah kita dengan apa yang pernah dikatakan oleh seorang perintis sains eksperimental, Sir Francis Bacon, bahwa knowledge is power, pengetahuan adalah kekuatan. Di sini sebenarnya Bacon ingin mengungkapkan bahwa dunia pendidikan secara historis empiris selalu menjadi instrumen para penguasa untuk mengkonsolidasi dan melegitimasi kemapanan mereka, juga untuk melestarikan dan memperkuat status quo kekuasaan mereka. Jika gambaran sistem pendidikan kita dewasa ini masih seperti yang disinyalir oleh Bacon, maka kita patut berbela sungkawa. Memang, kran reformasi telah melahirkan Undang-undang No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang di dalamnya banyak kita temui ragam perubahan. Namun, sejauh ini efek dari diberlakukannya Undang-undang tersebut belumlah signifikan bagi terciptanya kemajuan dunia pendidikan di Indonesia. Di sisi lain, banyaknya sekolah atau perguruan tinggi asing yang melakukan promosi di Indonesia adalah juga akibat dari mundurnya dunia pendidikan nasional dan luasnya potensi pasar di Indonesia. Mereka dengan leluasanya memikat para calon siswa atau mahasiswa Indonesia agar mau sekolah di sekolah atau perguruan tinggi mereka. Akibatnya, secara ekonomis hal ini tentu merugikan bangsa Indonesia. Pertanyaannya, bagaimana hal ini bisa terjadi? Artikel ini berusaha menjawabnya. Obyek Pendidikan Menurut saya, ada dua hal yang menyebabkan mengapa pendidikan di Indonesia selama ini mengalami kemunduran dibanding dengan negara-negara tetangga di kawasan ASEAN. Kita menjadi objek pemasaran produk pendidikan mereka. Pertama, orientasi pendidikan kita masih sebatas kepada bagaimana memenuhi lapangan kerja (job seeker oriented). Ketika hal ini telah menjadi mindset para peserta didik di Indonesia, maka kesadaran akan kualitas lulusan sering terlupakan dan menjadi nomor kesekian. Mutu sudah tidak lagi jadi kebutuhan yang inheren dalam proses pendidikan. Yang ada hanyalah keinginan untuk cepat lulus agar bisa cepat dapat pekerjaan. Inilah potret nyata dari dunia pendidikan kita saat ini. Namun, sayangnya lapangan pekerjaan yang tersedia belum sebanding dengan jumlah lulusan di setiap tahunnya. Akibatnya, angka pengangguran semakin meningkat dari tahun ke tahun. Kalau hal ini dibiarkan berlanjut, maka gelembung pengangguran ini akan semakin besar dan bisa menjadi "bom waktu" setiap saat. Salah satu cara untuk mengatasi hal itu adalah dengan mengubah orientasi pendidikan dari job seeker oriented

(orientasi pencari kerja) menjadi job creator oriented (orientasi menciptakan lepangan kerja). Memang cara ini terkesan klise dan sudah biasa. Namun dalam ranah nyata jarang sekali ada yang menerapkan. Inilah masalahnya. Orientasi mencari kerja cenderung menciptakan lulusan yang bermental buruh atau karyawan, sehingga orang lain sering menyebut kita sebagai "buruh di negeri sendiri". Berbeda dengan orientasi menciptakan lapangan kerja cenderung menciptakan lulusan yang bermental majikan atau pengusaha, sehingga akhirnya nanti kita bisa menjadi "tuan di negeri sendiri". Namun kenyataannya, dari beberapa kali saya berkunjung ke beberapa perguruan tinggi di Jateng, Jatim dan Yogyakarta sebagai pembicara seminar atau workshop, ternyata orientasi job creator itu tidak dikembangkan dengan baik. Bahkan, ada yang khawatir cara ini tidak akan diterima oleh pasar kerja. sangat ironis dan terkesan mengada-ada. Kedua, terkait dengan persoalan klasik yaitu belum adanya keberpihakan yang sungguhsungguh dari pemerintah untuk memajukan pendidikan di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari dikhianatinya anggaran pendidikan amanat UUD 1945 minimal 20 persen menjadi hanya kurang dari 10 persen. Kenyataan ini semakin mengikis harapan kita semua bahwa pendidikan di Indonesia belum menjadi prioritas utama dalam program pembangunan. Oleh karena itu, semua pihak dalam menyikapi persoalan ini harus terus bersuara lantang agar perjuangan memajukan pendidikan di Indonesdia terus berkobar. Waspada Suka atau tidak kran liberalisasi pendidikan telah dibuka. Munculnya sekolah atau perguruan tinggi asing yang promosi ke Indonesia adalah dampak dari dibukanya kran liberalisasi tersebut. Jika selama ini kita sering dijadikan sasaran oleh negara asing termasuk lewat pendidikan, maka suka atau tidak kita semua harus waspada. Karena, boleh jadi hal ini bagian dari skenario besar negara asing untuk menghancurkan pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu, yang bisa kita lakukan hanyalah bersuara lantang kepada para wakil kita yang duduk di DPR agar pemerintah mau merubah orientasi pendidikan yang selama ini ternyata telah menghasilkan lulusan bermental buruh dan menambah anggaran pendidikan benar-benar menjadi 20 persen. Artinya pemerintah (Depdiknas) dituntut untuk mengembangkan Kurikulum Berbasis Wirausaha (KBW) sebagai alternatif upaya menyiapkan anak didik menjadi tuan di negeri sendiri. Cara ini juga ampuh untuk memperkuat competitive advantage pendidikan nasional dengan pendidikan luar neger, sehingga, gerusan arus liberalisasi pendidikan mampu kita hadapi dengan semangat optimisme bukan malah pesimisme.

Karena kita sudah membekali anak didik dengan fondasi dan karakter entrepreneur. Dengan begitu, pernyataan Francis Bacon bahwa pendidikan (pengetahuan) adalah kekuatan suatu bangsa atas bangsa lain benar-benar terwujud di Indonesia. (11) -- Abdul Muid Badrun,motivator dan pembelajar Manajemen dan Bisnis STIE Widya Wiwaha Yogyakarta SM 31 juli Surat Pembaca Bahasa Jawa Saya ingin berbagi pengalaman dengan pembaca, ketika kebetulan suatu saat dipercaya sebagai penguji wawancara para calon mahasiswa PGSD. Salah satu item materi wawancara adalah tes yang mengungkap kemampuan berbahasa Jawa bagi calon guru SD tersebut. Hasilnya ternyata sungguh mengundang keprihatinan. Betapa tidak. Bisa dikatakan hampir mayoritas peserta tes berlepotan ketika diminta mengungkapkan pikiran dan maksudnya dalam bahasa Jawa yang notabene bahasa ibu. Jangankan memakai tataran krama inggil dan madya, tataran ngoko saja susahnya bukan main. Saya lalu teringat puluhan tahun lalu ketika swargi Prof Dr Soenardji menyatakan bahwa tidak usah ditangisi jika suatu saat bahasa Jawa mati. Memang, saat itu mengundang polemik hangat dan panas. Ada yang setuju tapi tidak sedikit pula yang menentang. Namun melihat gejala akhir-akhir ini bahasa Jawa sudah makin ditinggalkan penuturnya khususnya di kalangan generasi muda, bukan tidak mungkin perlahan dan pasti sinyalemen punahnya bahasa Jawa mendekati kenyataan. Lihatlah, bagaimana pedenya anak-anak muda kita menggunakan bahasa gaul ala sinetron dalam pergaulan sehari-hari. Sementara berbicara dalam bahasa ibu sepertinya tidak menawarkan gengsi bahkan terkesan "ndesa". Bahasa Jawa memang telah masuk kurikulum dengan status muatan lokal, namun apa artinya hanya kalau sekadar dipelajari, dihapal dan diuji dengan ujung-ujungnya tercantum sebagai nilai raport tanpa dipraktikkan dalam pergaulan sehari-hari. Sebagai orang Jawa, saya pribadi malu dan prihatin terhadap gejala kebudayaan yang tidak sehat ini. Oleh karena itu, sebelum terlambat ada baiknya pihak yang kompeten segera merespon persoalan ini. Jangan sampai anak cucu nanti terpaksa harus ke Leiden (Belanda) untuk kuliah bahasa Jawa. Heru Mugiarso Jl Bukit Kelapa Sawit IV/30-31, Semarang

TAJUK RENCANA Petani dan Perubahan Musim yang Ekstrem Perbedaan ekstrem terjadi antarwilayah. Menjelang akhir Juli beberapa wilayah di Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi masih diguyur hujan, bahkan banjir. Sebaliknya, Jawa mulai kekeringan. Air waduk menyusut dan sumber-sumber air kering. Ada akibat anomali iklim berupa kenaikan suhu 1-1,5 derajat celcius di Afrika dari rata-rata 27-28 derajat celcius, sehingga massa udara kering dari Australia bergerak ke utara Afrika. Fenomena itu memperparah kekeringan di kawasan ekuator, termasuk Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan sebagian Sumatera. Musim kemarau baru masuk Juni lalu, namun kekeringan sudah sangat terasa. Secara umum tahun ini Indonesia mengalami kemarau basah akibat anomali iklim La Nina sehingga ada wilayah yang masih hujan. Di wilayah endemik kekeringan, antara lain Gunungkidul, Rembang, Demak, dan Pati, terjadi fenomena khusus pada transisi musim. Ditandai musim hujan yang berhenti mendadak, diikuti peningkatan suhu udara cukup tinggi sehingga menguras sumber-sumber air akibat penguapan amat besar. Perubahan mendadak itu menyulitkan petani, khususnya tanaman pangan atau padi. Mereka tidak memiliki kesempatan melakukan antisipasi karena kurang informasi soal perubahan musim yang ekstrem. Apalagi di antara wilayah di Tanah Air cadangan air paling kritis ada di Jawa. Luas hutannya tinggal 15%-20%. Ditambah perkerasan permukaan tanah, air hujan yang turun lebih banyak langsung ke laut. Maka di Jawa saat ini kekeringan sangat terasa, yang berdampak langsung pada produktivitas pertanian, khususnya tanaman pangan. Sudah saatnya digalakkan pemanfaatan air secara efisien di samping menerapkan manajemen sumber daya air yang tepat. Bank Dunia gencar mengampanyekan motto more crop per drop. Tujuannya agar semua sektor, termasuk pertanian sebagai pengguna terbesar meningkatkan efisiensi. Dalam jangka pendek yang perlu dipikirkan adalah nasib petani. Meski sebagian menikmati periode tanam yang lebih panjang akibat kemarau basah, mereka menghadapi ketidakpastian awal tanam, karena musim hujan mendatang bisa datang lebih cepat atau lambat. Jika memaksakan tanam dengan perkiraan hujan datang lebih cepat tetapi ternyata lebih lambat, jelas menghadapi risiko gagal panen. Sebaliknya, kalau menunda tanam tetapi musim hujan datang lebih cepat, mereka akan rugi dan persediaan pangan nasional akan terancam. Belum lagi pada saat-saat demikian berbagai jenis hama siap menyerang. Harus diakui, sudah bertahun-tahun ini musim agak susah "dikendalikan". Peramalanperamalan yang dilakukan sering meleset. Musim bisa berubah secara ekstrem. Tidak seperti dahulu yang cenderung rapi. Misalnya di daerah tropis musim hujan bisa diperkirakan antara Oktober sampai April, lalu kemarau antara April dan Oktober. Keadaan tersebut bisa disebabkan oleh pemanasan global akibat luas hutan dunia kian berkurang, dan lapisan ozon bolong. Perubahan lingkungan yang ekstrem menyebabkan

perubahan iklim, cuaca, dan musim yang tidak kalah ekstrem. Barangkali alam tengah mencari titik keseimbangannya. Kembali ke persoalan petani, ke depan informasi dan peramalan mengenai musim dari lembaga berkompeten, misalnya Badan Meteorologi dan Geofisika, harus diintensifkan sampai kepada mereka. Otoritas pertanian juga perlu proaktif mengatasi berbagai masalah yang muncul. Contohnya ketika kekeringan terjadi tiba-tiba, ada pola tanam alternatif yang tidak terlalu membutuhkan air, antara lain palawija. Introduksi ternak pada daerah-daerah tertentu juga akan membantu para petani. Ternak baik besar maupun kecil bisa menjadi tabungan, dan ketika musim paceklik datang akan terasa benar manfaatnya. Penjara tak lagi menghukum PENJARA menakutkan? Itu mungkin di negara lain. Di Indonesia, penjara adalah lokasi kebebasan yang memungkinkan bagi segala yang mungkin. Satu-satunya bentuk hukuman bagi penghuni penjara adalah tembok yang mengelilingi. Tetapi di dalam tembok, penghuni penjara adalah manusia bebas merdeka, bahkan jauh lebih merdeka daripada di luar penjara. Terlalu banyak bukti yang memperlihatkan betapa penjara di Indonesia berubah menjadi tempat peningkatan kejahatan. Mereka yang jahat ditingkatkan nafsu dan kesempatan untuk meneruskan kejahatan. Mereka yang dijebloskan karena menipu atau mencuri diberi kesempatan untuk meningkatkan kemampuan. Selasa pagi di penjara Cipinang, Jakarta, dua napi tewas dikeroyok sehabis makan pagi oleh kelompok napi yang menghuni blok lain. Mereka terlibat perkelahian dengan menggunakan senjata tajam yang tidak semestinya didapat di penjara. Sepintas, perkelahian napi di penjara diterima sebagai kelaziman. Toh mereka masuk penjara mungkin karena berkelahi atau melakukan kekerasan kepada orang lain. Tetapi sesungguhnya tidaklah lazim ketika orang-orang yang dihukum karena berkelahi lalu mengulangi perkelahian di dalam penjara. Itu ironi terbesar. Orang mengulangi, bahkan diberi kesempatan, melakukan kejahatan di dalam penjara persis seperti di luar penjara. Orang yang dihukum karena membunuh bisa bebas bahkan berkesempatan membunuh di dalam penjara. Selalu saja bila kejahatan di dalam penjara terjadi dan terungkap, tindakan yang dilakukan adalah memberi sanksi administratif terhadap atasan. Itu bukannya tidak penting. Namun, yang jauh lebih penting adalah mengubah visi kita tentang penjara itu sendiri. Di Indonesia penjara telah berubah fungsi dari tempat hukuman menjadi tempat kejahatan baru karena satu persoalan pokok, yaitu korupsi. Ketika penjara kemudian diperhalus menjadi lembaga pemasyarakatan, niat bagus itu ternyata membuka peluang bagi korupsi dan kompromi.

Apa yang terjadi? Ketika seorang pengedar narkoba masuk penjara, mereka menjadikan penjara sebagai markas untuk mengendalikan bisnis. Bahkan ada penjara yang dijadikan tempat pembuatan ekstasi selama bertahun-tahun. Penjara telah kehilangan esensi hukuman dan menjadi tempat kenikmatan tatkala bersekongkol dengan mentalitas petugas yang korup. Seorang Gunawan Santosa, misalnya, bisa melarikan diri berkali-kali. Itu tidak mungkin terjadi bila tidak melibatkan petugas penjara. Mentalitas tidak terpuji pengelola penjara bukannya tidak diketahui atasan atau lembaga yang membidangi. Namun, tindakan yang diambil berulang dari yang itu ke itu lagi. Menteri atau dirjen pasti tahu bahwa di lembaga pemasyarakatan para napi bebas menggunakan telepon seluler. Juga luas diketahui bahwa barang-barang terlarang seperti senjata tajam bisa dimasukkan dengan gampang. Namun, menteri atau dirjen hanya datang ke lembaga pemasyarakatan kalau ada persoalan. Atau hanya melakukan inspeksi mendadak yang umumnya tidak lagi mendadak karena telah diketahui. Jadi di penjara, napi membangun geng, para pengelola pun berkomplot untuk memelihara kejahatan. Ketika berbicara tentang penjara, kita seperti dikelabui persoalan krusial tentang kapasitas yang tidak lagi memadai dan biaya yang sangat besar untuk memperbaiki. Tetapi persoalan sesungguhnya dengan penjara kita bukanlah semata pada kapasitas dan uang. Persoalan terbesar justru pada disiplin dan pengawasan yang tidak pernah bisa dibangun. Itu, kalau mau, tidak membutuhkan biaya terlalu besar. Sandiwara pre rakayat basa PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya melaporkan Wakil Ketua DPR Zaenal Ma'arif ke Polda Metro Jaya karena telah memfitnah dan mencemarkan nama baiknya. Presiden datang sendiri, berlakon persis seperti rakyat biasa. Pangkal perkara adalah pernyataan Zaenal menyangkut kehidupan asmara Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di masa lalu yang sangat jauh. Katanya, SBY telah menikah sebelum masuk Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri). Bahkan, SBY disebut sudah memiliki dua anak. Pernyataan Zaenal itu disampaikan kepada pers, setelah Presiden SBY menandatangani keputusan presiden mengenai pergantian antarwaktu (PAW) Zaenal sebagai anggota DPR. Dengan keputusan itu, Zaenal resmi harus hengkang dari DPR, dan otomatis juga terdepak dari jabatannya sebagai Wakil Ketua DPR.

Oleh karena itu, pernyataan Zaenal mengenai kehidupan asmara SBY di masa lalu yang sangat jauh itu, tak bisa dilepaskan dari perlawanan picik seorang wakil Ketua DPR yang telah direcall. Namun, pertanyaannya, mengapa Presiden SBY sangat bernafsu melayaninya? Sebetulnya ada dua pilihan bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghadapi fitnah Zaenal itu. Pertama, bersikap cuek. Menganggapnya sebagai sikap rendahan, karena itu tidak perlu ditanggapi. Bukankah negara memiliki banyak masalah besar, sehingga sebagai presiden, tidak perlu buang-buang waktu bereaksi terhadap fitnah murahan itu. Kedua, sebagai presiden, SBY memerintahkan polisi untuk menanganinya secara hukum. Fitnah itu bukan menyangkut urusan pribadi SBY, tetapi menyangkut nama baik seorang Presiden Republik Indonesia yang sah, yang sedang berkuasa, yang naik tahta atas pilihan rakyat secara langsung. Satu-satunya yang menjadi masalah pribadi SBY adalah urusannya dengan istrinya, dengan anaknya, di rumahnya, terlebih di kamarnya. Di situ ia warga negara biasa. Selebihnya, segalanya melekat dengan kedudukannya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Jabatannya sebagai presiden lengket dalam setiap gerakannya. Itulah sebabnya kehidupannya diatur dan ditata dengan protokol negara. Dengan jalan pikiran seperti itu, maka tidak dapat dimengerti mengapa Presiden SBY harus datang sendiri untuk melaporkan Zaenal ke Polda Metro Jaya, persis seperti rakyat biasa. Itu tidak membuatnya semakin "merakyat", tetapi cuma menjadi sandiwara, bahkan merupakan kebohongan publik. Kebohongan publik, karena SBY adalah Presiden RI, bukan warga negara biasa, dan polisi pun tidak akan memperlakukannya persis seperti rakyat biasa. Rakyat pun tahu diri untuk menghormatinya sebagai Presiden, dan karena itu tidak memperlakukannya sebagai warga negara biasa. Tindakan Presiden menanggapi tuduhan Zaenal itu adalah sikap over-reaktif terhadap aksi picik seorang politisi yang direcall. Presiden tidak perlu menanggapinya dengan over-reaktif, bahkan sampai datang sendiri ke polisi, yang memperlihatkan seakan-akan tidak ada urusan negara dan bangsa yang lebih penting dari itu, yang lebih patut diprioritaskan. Lagi pula fitnah itu menyangkut masa lalu. Masa lalu yang sangat jauh ke belakang. Salah satu faktor yang menyebabkan bangsa ini terus terlilit masalah adalah karena terus berorientasi ke belakang, misalnya dengan terus menerus membongkar dan mengadili borok di masa silam. Tidak ada perkara korupsi yang dilakukan pada pemerintahan sekarang dan diadili juga dalam pemerintahan sekarang. Semuanya adalah kasus dari masa lalu. Padahal, tidak ada negara yang maju jika terus terpenjara oleh masa silam. Presiden adalah 'pohon' tertinggi di Republik ini. Tidak tertutup kemungkinan, fitnahfitnah lain dari masa lalu akan ditembakkan ke arah Presiden. Apakah Presiden SBY

kembali akan melaporkannya sendiri ke kantor polisi, menghabiskan waktunya untuk itu, seakan negara tidak memerlukannya? Oleh karena itu, tindakan Presiden Itu, dan juga reaksi seorang Wakil Ketua DPR terhadap pergatian antarwaktu, menunjukkan contoh buruk bagi pendidikan politik. Adalah menjadi pertanyaan, siapakah yang telah memberi nasihat kepada Presiden SBY sehingga mengambil semua tindakan yang merendahkan itu. Apakah itu hasil konsultasi dengan Dewan Pertimbangan Presiden? Atau atas inisiatif presiden sendiri? Apa pun jawabannya, Presiden SBY telah mengambil langkah yang cuma merendahkan posisi dan citranya sebagai Presiden. Hal yang menyebabkan ia harus dikasihani. Fatwa agung dan studi banding DPR KOMPARASI sebagai salah satu metode penelitian ilmiah justru mengundang kecaman ketika dilakukan oleh para politisi. Sebab, kegiatan yang dikemas dalam nama studi banding abidin alias atas biaya dinas itu hanyalah modus pelesiran gratis ke luar negeri. Tidak ada korelasi sama sekali antara sejumlah uang negara yang dipakai untuk studi banding dan kebutuhan riil rakyat yang diwakili. Karena itulah, masyarakat mendesak agar studi banding yang menghambur-hamburkan uang negara itu harus dihentikan. Anehnya, kecaman tak pernah menyurutkan langkah anggota dewan untuk bepergian ke luar negeri. Justru sebaliknya yang terjadi, syahwat pelesiran kian menggebu di tengah badai protes masyarakat. Aturan dan tata tertib malah sengaja ditabrak asalkan bisa studi banding. Sebuah cerminan politisi sudah berpisah dengan nuraninya. Menurut aturan yang dibuat sendiri oleh dewan, haram bagi anggotanya menggunakan dana mitra kerja untuk kegiatan studi banding. Aturan yang bertujuan mulia untuk menjaga keluhuran martabat lembaga. Menjaga agar anggota yang selalu disapa dengan sebutan 'anggota dewan terhormat' tidak membudakkan diri kepada penyandang dana. Atas dasar itulah, Badan Kehormatan DPR berniat mengusut anggota Komisi VII yang melakukan studi banding soal pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) ke Korea Selatan dan Jepang pada 21 Juli hingga 2 Agustus. Studi banding itu jelas menyalahi aturan, karena disponsori Kementerian Riset dan Teknologi yang menjadi mitra kerja Komisi VII. Namun niat Badan Kehormatan itu terpaksa dihentikan hanya karena fatwa Ketua DPR Agung Laksono yang mengatakan bahwa studi banding PLTN itu dilakukan dalam kapasitas pribadi, bukan sebagai anggota dewan. Fatwa itu jelas menjungkirbalikkan akal waras. Sangatlah mustahil Kementerian Riset dan Teknologi mengundang mereka dalam kapasitas pribadi tanpa mempertimbangkan status yang melekat sebagai anggota dewan.

Kita berharap, pembelaan Agung Laksono itu semata-mata karena ketidaktahuannya. Bukan karena ia sedang bersandiwara untuk melindungi anggota dewan dari pemeriksaan Badan Kehormatan. Mestinya, Ketua DPR belajar dari kesalahan dalam kasus aliran dana nonbujeter Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Jangan mau mengulangi kesalahan yang sama, toh keledai saja tidak mau terperosok pada lubang yang sama. Dalam kasus DKP, pimpinan dewan memutuskan untuk tidak melimpahkan kasus itu kepada Badan Kehormatan dengan alasan tidak ada bukti aliran dana dari DKP kepada anggota DPR. Namun, Badan Kehormatan tetap mengusut kasus tersebut berdasarkan laporan masyarakat yang pada akhirnya memberikan sanksi kepada anggota dewan penerima dana DKP. Inilah kesempatan pimpinan dewan untuk menebus dosa dalam kasus DKP. Pimpinan harus memerintahkan Badan Kehormatan untuk mengusut kepergian anggota dewan yang dibiayai mitra kerja tanpa harus menunggu pengaduan masyarakat. Apalagi, Menteri Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman sudah mengakui membiayai studi banding itu dari dana sosialisasi PLTN. Dana sosialisasi itu bersumber dari APBN serta dukungan lembaga dari Korea Selatan dan Jepang. Pengusutan kasus studi banding abidin oleh Badan Kehormatan sangat penting. Penting untuk menghilangkan kesan tebang pilih dalam penegakan etika. Anggota DPR yang menerima dana DKP dan dana studi banding hakikat kesalahannya sama, menerima uang dari eksekutif. Terhadap kesalahan yang sama, tentu diperlakukan sama pula. Anggota DPR yang ikut studi banding juga berkepentingan untuk memberikan klarifikasi di Badan Kehormatan bahwa tidak benar mereka secara sukarela menghamba kepada penyandang dana. Badan Kehormatan pun bisa memeriksa Menteri Riset dan Teknologi untuk mengetahui motivasi mensponsori studi banding anggota dewan. Apakah ada motivasi untuk membeli loyalitas anggota dewan sehingga kebijakan kementrian itu mendapat dukungan legislatif? Jika ditemukan motivasi seperti itu, tentu Badan Kehormatan bisa merekomendasikan pemeriksaan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi terkait gratifikasi. Hanya lewat pengusutan oleh Badan Kehormatan itulah DPR bisa mengembalikan kepercayaan masyarakat yang saat ini sudah mencapai titik nadir. Kemenangan irak KEMENANGAN Irak pada Piala Asia telah menjadi sejarah dan fenomena luar biasa. Sejarah karena untuk pertama kalinya skuat 'Negeri Seribu Satu Malam' itu menjadi juara Asia. Fenomena luar biasa karena kemenangan itu dicapai pada saat negara dan bangsa Irak tengah porak-poranda setelah invasi Amerika Serikat yang melahirkan perang saudara.

Prestasi sepak bola Irak itu juga telah menunjukkan betapa kemenangan dalam sepak bola bukan sekadar buah dari disiplin berlatih, lengkapnya fasilitas, dan suasana kondusif sebuah negeri. Kemenangan Irak dalam Piala Asia lebih merupakan cerminan atas kekuatan persatuan dan keunggulan kehendak. Saat tim negeri lain berlatih secara teratur, didukung fasilitas lengkap, diliputi suasana nyaman, aman, dan damai, tim Irak berangkat dari situasi yang berkebalikan, yakni anomali dan kehancuran akibat perang. Latihan dan pemanasan adalah sebuah kemewahan bagi tim besutan pelatih Jorvan Vieira itu. Karena itu, tidak ada yang menduga Irak pada akhirnya meraih prestasi terbaik justru saat kondisi negara dan bangsa itu berada pada titik terburuk. Apalagi sejarah menunjukkan prestasi terbaik negeri itu dalam sepak bola Piala Asia hanyalah semifinalis pada 1976. Pada tiga perhelatan terakhir, yakni 1996, 2000, dan 2004, skuat Irak bahkan selalu terhenti di babak delapan besar. Kemenangan itu, seperti juga dikemukakan Perdana Menteri Irak Nuri Almaliki, hendaknya mampu menjadi inspirasi bagi seluruh rakyat dan bangsa Irak untuk meninggalkan perbedaan dan bangkit meraih persatuan dan kesatuan. Kalau dalam sepak bola tiga etnik yang berseteru--Syiah, Sunni, dan Kurdi--dapat menciptakan harmoni dan meraih kemenangan, mengapa dalam berbangsa dan bernegara tidak? Yang menjadi harapan dunia yakni kemenangan tersebut mampu menjadi awal bagi negeri itu untuk menumbuhkan spirit persatuan, mengatasi perbedaan, dan melawan agresi, terorisme, serta kesewenang-wenangan bangsa lain. Kemenangan Irak dalam Piala Asia hendaknya juga menjadi cermin bagi Indonesia. Kalau Irak, negeri yang porak-poranda oleh perang, mampu menghasilkan tim yang tangguh, mengapa Indonesia tidak? Kalau Irak mampu mengalahkan Arab Saudi, mengapa Indonesia tidak? Dan kalau Irak dapat menjadi Juara Piala Asia, mengapa kesebelasan Indonesia tidak? Fenomena Irak telah menunjukkan betapa gelar juara bukanlah monopoli kesebelasan dari negara-negara maju. Siapa pun, di mana pun, kapan pun, dan negara mana pun termasuk Indonesia bisa menjadi kampiun, bisa mengikuti jejak Irak, menjadi juara Piala Asia. Atau bahkan meraih prestasi lebih tinggi lagi dalam kancah sepak bola internasional. Meskipun gagal lolos dari babak penyisihan Grup D, penampilan tim 'Merah Putih' sudah sangat menjanjikan dalam ajang Piala Asia. Itu menjadi petunjuk bahwa jika kita serius dan konsisten dalam membina dan berbenah, tidak mustahil suatu saat gelar juara akan dapat diraih. Dan kemenangan Irak harus menjadi inspirasi serta cambuk untuk mewujudkan itu semua. Kalau negeri yang porak-poranda oleh perang mampu menjadi juara, mengapa kita harus puas menjadi pecundang?

Sanksi guru pengungkap kecuragan UJIAN nasional (UN) memang telah berlalu. Tetapi, rasa pahitnya masih dirasakan beberapa orang guru. Khususnya para guru yang berupaya mengungkap kecurangan UN. Alih-alih mendapat apresiasi, para guru yang berjumlah 27 itu justru terkena sanksi. Sebanyak 14 orang dipecat, 13 lainnya dikurangi jam mengajar. Itulah yang terjadi di Medan, Sumatra Utara. Di kota ini, mengungkap kejujuran harus dibayar mahal. Itulah preseden buruk bagi dunia pendidikan kita. Bahwa kecurangan yang menjadi musuh kebenaran itu ternyata dianjurkan dalam dunia pendidikan kita. Para guru yang tergabung dalam Komunitas Air Mata Guru (KAMG)-lah yang membongkar kecurangan UN di Medan itu. Menurut mereka, kecurangan itu benar-benar didesain sangat sistematis. Dilakukan para guru, kepala sekolah, dan dinas pendidikan. Intinya tiap sekolah harus menyukseskan kelulusan siswa masing-masing. Caranya antara lain membuat kunci jawaban dan menyebarkannya melalui pesan layanan singkat telepon seluler, menuliskannya melalui potongan kertas, atau dibacakan langsung di depan kelas. Kecurangan itu noda hitam dunia pendidikan kita. Padahal, kejujuran adalah prinsip moral yang menjadi nilai utama dalam dunia pendidikan. Namun, di Medan institusi pendidikan pula yang menghancurkannya. Implikasi kebohongan secara institusional itu sungguh akan membuat pendidikan kian kehilangan kepercayaan. Kehilangan integritas yang akan meruntuhkan spirit belajar siswa karena toh sebuah hasil akhir bisa mereka dapat dengan mudah. Pendidikan yang mestinya bisa menggali potensi setiap siswa justru mematikannya. Karena hanya perlombaan untuk mendapatkan hasil akhir yang menghalalkan segala cara. UN, katanya, diadakan untuk meningkatkan standar pendidikan. Namun, sekolahsekolah yang tidak siap melaksanakannya dengan melegalkan kecurangan. Mereka takut dengan hasil yang jujur. Medan bisa jadi bukan satu-satunya wilayah yang mengejutkan dalam kecurangan UN. Ada banyak cerita di banyak tempat tentang cara-cara 'membantu' siswa dalam UN. Bedanya, Medan punya guru-guru yang masih menyimpan nurani dan jiwa berani untuk mengungkap kebohongan itu. Namun, di mata siswa, di mata publik, untuk apa sebuah keberanian jika kemudian berujung pada sanksi? Bahkan bisa berujung pada pemecatan? Keberanian akhirnya akan menjadi olok-olok. Jika begitu adanya, akan kian langka orang yang punya nyali melawan kecurangan. Oleh karena itu, agar keberanian dan kejujuran ada harganya, dan publik tetap memercayainya, aparat hukum harus menindaklanjuti kesaksian para guru itu. Jika tidak, keberanian untuk kebaikan akan kian terkubur.

Pemerintah harus melindungi para guru yang berani itu. Apa yang mereka lakukan adalah bagian dari tanggung jawab untuk meningkatkan mutu pendidikan seperti amanat UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Bahkan, jika negara memberi tempat pada kejujuran, pada upaya-upaya peningkatan kualitas pendidikan, mestinya para guru yang tergabung dalam KMAG mendapat penghargaan. Adalah sebuah kesalahan amat besar jika kejujuran para guru dimatikan hanya untuk sebuah ambisi yang bernama keberhasilan ujian nasional! Benang kusut pungutan sekolah PUNGUTAN di sekolah masih saja marak setiap tahun ajaran baru tiba. Padahal, jargon sekolah gratis dan larangan memungut biaya tidak henti-hentinya dilontarkan para pejabat negara. Inilah cermin regulasi yang banci serta ketidakberdayaan negara. Pemerintah memang telah menerapkan program wajib belajar sembilan tahun sekaligus menggratiskan biaya bagi anak didik di sekolah negeri mulai dari tingkat dasar hingga sekolah menengah pertama. Anak-anak di setiap jenjang pendidikan itu wajib bersekolah atau disekolahkan tanpa dipungut biaya satu sen pun. Kebijakan penggratisan itu bahkan diperkuat oleh peraturan Menteri Pendidikan Nasional yang melarang sekolah negeri memungut biaya pada saat penerimaan siswa baru. Hampir di setiap kesempatan Menteri Pendidikan Bambang Soedibyo berulang kali menegaskan larangan itu. Namun, fakta membuktikan pungutan di sekolah tetap berjalan. Mulai dari uang pendaftaran, daftar ulang, buku tulis, buku agenda, buku pelajaran, sampul plastik, seragam (baju dan celana), baju olahraga, dan sebagainya. Di luar itu ada juga pungutan bernama sumbangan pengembangan institusi. Total biaya berbagai pungutan itu mencapai ratusan ribu rupiah hingga jutaan rupiah. Ironisnya, yang benar-benar gratis hanyalah biaya sumbangan penyelenggaraan pendidikan. Bancinya regulasi juga bisa dibuktikan dari penyediaan buku-buku pelajaran. Kendati ada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 11 Tahun 2005 tentang Buku Teks Pelajaran, yang mengatur masa pakai lima tahun, tiap tahun buku tetap berganti. Karena itu, jargon sekolah gratis baru sebatas ilusi. Makna kebijakan sekolah gratis secara sadar dan terang-terangan didegresikan dan dipermainkan. Meski ada kebijakan penggratisan dan larangan, sekolah tetap melakukan pungutan. Namun, persoalan pungutan di sekolah memang tidak berdiri sendiri. Ia menjadi bagian dari masih amburadulnya sistem pendidikan di negeri ini. Dari soal paradigma, kurikulum yang kerap berubah, prasarana dan sarana yang belum merata, hingga kesejahteraan guru yang rendah.

Negara, yang memiliki kewajiban utama menyediakan akses pendidikan, belum mampu memenuhi amanat konstitusi. Padahal, secara jelas konstitusi mengamanatkan alokasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN. Namun, hingga tahun ini pemerintah baru mampu dan mau mengalokasikan anggaran pendidikan 11,8% dari APBN. Sepertinya negeri ini enggan dan malas belajar dari lompatan yang dilakukan oleh negara lain. Padahal, Jepang dan Malaysia bisa dijadikan acuan. Kedua negara itu sukses melakukan lompatan sektor pendidikan. Dan, ini terbukti menjadi fondasi yang kukuh untuk kemajuan di sektor-sektor lain. Kedua negara itu memiliki kemampuan dan kemauan untuk mengalokasikan anggaran pendidikan dalam jumlah yang besar. Jepang mengalokasikan dana pendidikan 100 kali lebih besar daripada anggaran kita. Sedangkan Malaysia menyediakan anggaran 40% dari APBN-nya. Dan perlu diingat dan dicatat, alokasi anggaran pendidikan Indonesia paling rendah di antara negara-negara Asia Tenggara. Ini membuktikan negara belum menjadikan pendidikan sebagai prioritas utama. Dengan kata lain, anak-anak usia sekolah belum dipandang sebagai aset bangsa dan negara. Mereka hanya dipandang sebagai ladang bisnis semata. Tidak mengherankan kalau setiap tahun ajaran baru sekolah, apalagi sekolah swasta, berlomba-lomba melakukan pungutan tanpa takut dikenai sanksi. Sekolah tak peduli setiap ajaran baru banyak orang tua murid pusing tujuh keliling dengan beban rupa-rupa pungutan itu. Sertifikasi Guru Tunjangan Profesi Mulai Dibayarkan Oktober Jakarta, Kompas - Sebagian guru yang lulus uji sertifikasi akan menerima tunjangan profesi mulai Oktober 2007. Sebagian lainnya akan menerima tunjangan profesi mulai Januari 2008. Sertifikat pendidik itu berlaku seumur hidup. Hal tersebut dikemukakan Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional Fasli Jalal, Rabu (1/8), di sela-sela acara sosialisasi program uji sertifikasi 200.000 guru dari total jumlah guru, sekitar dua juta, di Indonesia. Mereka telah dipilih oleh pemerintah kabupaten dan kota sesuai dengan kriteria yang diatur pemerintah pusat, seperti lama mengajar, usia, pangkat, dan jabatan. Dari jumlah itu, 20.000 di antaranya merupakan kelompok guru yang sudah terpilih pada tahun 2006, tetapi mengalami penundaan uji sertifikasi. Pemerintah telah menganggarkan Rp 400 miliar untuk uji sertifikasi dan telah disiapkan pula Rp 90 miliar untuk membayar para guru yang telah lulus uji sertifikasi dan termasuk dalam kelompok 20.000 guru yang mengalami penundaan sertifikasi tahun 2006. Anggaran untuk tahun 2008 sangat tergantung

dari keputusan jumlah guru yang akan disertifikasi dan perkiraan jumlah lulusan sertifikasi untuk dibayar pada tahun 2009. Sertifikasi pada tahap awal ini berlandaskan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan. Dalam ketentuan tersebut, guru yang disertifikasi harus berkualifikasi minimal D4 atau S-1. Namun, dalam rancangan peraturan pemerintah tentang guru yang belum disahkan, menurut Fasli, dibuka peluang bagi guru yang telah mengabdi lebih dari 20 tahun dan belum memenuhi kualifikasi akademik untuk dapat ikut sertifikasi. Rancangan peraturan pemerintah turunan dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen itu sampai kini belum disahkan. Uji sertifikasi bagi guru dalam jabatan sepenuhnya menggunakan penilaian portofolio yang merupakan pengakuan atas pengalaman profesional guru dalam bentuk penilaian terhadap kumpulan dokumen. Uji sertifikasi dilaksanakan oleh perguruan tinggi beserta mitranya yang telah ditunjuk pemerintah. "Guru cukup mengirimkan portofolio untuk uji sertifikasi melalui dinas pendidikan setempat sehingga tidak meninggalkan tugasnya mengajar. Interaksi antara assessor dari perguruan tinggi dan para guru baru ada pada saat pendidikan dan pelatihan profesi singkat. Pelatihan itu juga berlaku hanya bagi guru yang tidak lulus penilaian portofolio," ujarnya. (INE) Evaluasi Hasil Belajar Alot, Keputusan UN SD sebagai Penentu Kelulusan Jakarta, kompas - Pembahasan terkait keputusan apakah ujian nasional atau UN untuk tingkat SD yang akan dimulai tahun 2008 sebagai penentu kelulusan atau hanya untuk pemetaan pendidikan masih alot. Persoalan ini tidak bisa diputuskan dengan segera karena adanya beragam pemikiran dan argumen dari berbagai pihak, terutama jika pelaksanaan UN SD yang diusulkan Badan Standar Nasional Pendidikan kepada pemerintah nantinya berjalan seperti UN di tingkat SMP/SMA atau sederajat. Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) M Yunan Yusuf di Jakarta, Selasa (31/7), mengatakan, pembahasan mengenai UN SD—yang melibatkan BSNP, Pusat Penilaian Pendidikan Departemen Pendidikan Nasional, dan para pakar pendidikan—sudah mulai merumuskan pelaksanaannya. Namun, Yunan masih enggan menjelaskan secara rinci hasil pembahasan yang ada tentang pelaksanaan UN SD yang hendak diajukan BSNP kepada Menteri Pendidikan Nasional. "Masih terjadi tarik ulur apakah UN SD itu sebagai penentu kelulusan atau cukup pemetaan. Para pakar pendidikan pun punya pandangan yang berlainan mengenai masalah ini. Paling lambat pertengahan Agustus ini BSNP sudah siap dengan keputusan final pelaksanaan UN SD," ujar Yunan.

Yanti Sriyulianti, Wakil Koordinator Education Forum, mengingatkan pemerintah agar jangan mempersulit syarat-syarat siswa untuk menyelesaikan pendidikan dasar sembilan tahun, yang justru menjadi program nasional pemerintah itu sendiri. "Jika pelaksanaan UN SD tetap dilaksanakan seperti UN SMP/SMA atau sederajat yang masih menuai kontroversi itu, pemerintah kembali melalaikan perlindungan terhadap hak anak dan akan muncul korban-korban UN selanjutnya," kata Yanti. Menurut Yanti, standar kompetensi lulusan peserta didik hanyalah salah satu dari delapan standar lain yang juga harus mendapat perhatian pemerintah. Sayangnya, justru standar-standar yang mendukung dihasilkannya lulusan yang baik itu malah diabaikan pemerintah. Taruhlah seperti standar yang terkait peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru, atau sarana dan prasarana pendidikan yang layak. "Kami memang tetap mendukung UN hanya sebagai pemetaan, bukan kelulusan. Tetapi, sebagai kegiatan pemetaan pun tetap saja hanya menghambur- hamburkan uang. Justru yang lebih penting itu bagaimana memanfaatkan dana pendidikan yang ada untuk terus mengurangi ketimpangan pendidikan yang cukup tinggi di berbagai daerah," ujar Yanti. Yanti mengatakan, penilaian untuk siswa harus dilakukan secara komprehensif. Siswa SD jangan dibebani dengan standar-standar nilai akhir yang tidak memperhitungkan proses hasil proses belajar selama ini. (ELN) Tolak Liberalisasi Pendidikan Jika Disahkan, RUU BHP Akan Berdampak Luas terhadap Upaya Penyiapan SDM Jakarta, Kompas - Masyarakat harus berani menolak kebijakan pendidikan nasional yang mengarah pada liberalisasi atau privatisasi pendidikan. Kebijakan ini menyebabkan masyarakat menanggung biaya pendidikan yang tidak terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Pernyataan ini muncul dalam kajian mengenai dampak jika disahkannya Rancangan Undang- Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Rabu (1/8) di Jakarta. Acara ini digagas sejumlah lembaga masyarakat peduli pendidikan yang tergabung dalam Koalisi Tolak RUU BHP. "Kebijakan pendidikan nasional yang melegalkan pemerintah lepas tangan dalam pembiayaan pendidikan merupakan pengkhianatan terhadap amanat dalam konstitusi negara Republik Indonesia," demikian antara lain isi pernyataan mereka.

Hadir sebagai pembicara antara lain tokoh pendidikan HAR Tilaar, Darmaningtyas selaku pengurus Majelis Luhur Perguruan Tamansiswa, dan Lody Paat dalam kapasitasnya sebagai Koordinator Koalisi Pendidikan. HAR Tilaar prihatin terhadap pemerintahan saat ini yang memiliki pandangan terbatas tentang pendidikan nasional. Hal ini terlihat dari berbagai kebijakan pendidikan yang tidak lagi mengarah pada pencapaian tujuan pendidikan nasional untuk pencerdasan bangsa yang menjangkau semua warga negara Indonesia, seperti yang diamanatkan pendiri bangsa dalam UUD 1945. "Kebijakan yang ada sekarang ini tidak dipikirkan konsekuensinya ke depan. BHP hanya menjadikan pendidikan sebagai komoditas. Dengan pemikiran pemerintah yang seperti ini, masyarakat miskinlah yang pertama menjadi korban," ujar Tilaar. Menurut guru besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini, BHP meminimalkan campur tangan pemerintah dalam pendidikan. Dalam kondisi bangsa Indonesia yang masih miskin dan indeks pembangunan manusia yang masih memprihatinkan, pemerintah telah berani mempertaruhkan upaya pencerdasan bangsa yang diamanatkan konstitusi dengan menjadikan BHP sebagai pegangan untuk memajukan pendidikan. "Dalam waktu 20-30 tahun ke depan, mungkin BHP baru tepat dilakukan. Di Amerika Serikat dan Eropa sekalipun, pemerintah tidak pernah lepas tangan dalam pendanaan pendidikan. Indonesia yang masih miskin kok, ya, sudah sombong mau melepaskan pendidikan kepada mekanisme pasar lewat BHP," ujar Tilaar. Omong kosong Darmaningtyas mengatakan, dengan kebijakan pendidikan seperti sekarang, pemerintah bisa dikatakan hanya omong kosong terhadap upaya menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang kompetitif. Pasalnya, warga negara yang mampu mengecap bangku kuliah sejak 1998 tidak naik, tetapi cenderung turun di kisaran 12-13 persen dari jumlah penduduk usia 19-24 tahun. "Masyarakat Indonesia masih butuh banyak dukungan untuk bisa menuju pendidikan tinggi. Persoalan pendidikan dasar saja masih butuh perhatian serius. Tetapi, kebijakan pendidikan sekarang justru semakin membuat akses masyarakat menikmati pendidikan kian terbatas karena mahal," kata Darmaningtyas. Lody Paat menyatakan, negara punya tanggung jawab dalam pendidikan. "Penyusunan RUU BHP merupakan upaya untuk melegalkan pemerintah melepaskan tanggung jawab terhadap pendidikan saja," ujarnya. (ELN)

Partai Politik Harus Segera Berbenah agar Tak Ditinggal Pemilih Momentum Tepat untuk DIY Yogyakarta, Kompas - Keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan perseorangan dapat mengajukan diri menjadi calon kepala daerah merupakan keputusan progresif. Hal ini dinilai relevan diterapkan pada pemilihan Kepada Daerah Provinsi DI Yogyakarta. Namun, calon independen akan tergantung pada isi Undang-undang Keistimewaan DIY. "Kalau dilihat, semangat RUU Keistimewaan sudah membuka peluang untuk munculnya calon independen. Pasangan Sultan dan Paku Alam, kan dirancang ada diatas Gubernur, jadi pemilihan gubernur bisa terbuka," ujar Suparman Marzuki, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) DI Yogyakarta, Rabu (1/8). Ia mengatakan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) akan memberi warna dan prospek demokrasi yang lebih baik. Jika DIY berani membuka peluang bagi calon independen seperti Aceh, maka DIY bisa menjadi contoh dan pemicu penerapan aturan yang sama di daerah lain. Hanya saja, ungkap Suparman, semua itu akan tergantung pada sistem tata pemerintahan Provinsi DIY dan juga tata cara pemilihan Gubernur DIY yang akan dituangkan dalam UU Keistimewaan DIY. "Keputusan MK ini memberikan pekerjaan rumah tambahan bagi tim perancang RUU Keistimewaan DIY, baik pemerintah maupun kalangan akademisi. Mereka pasti tidak membayangkan akan keluar putusan MK seperti itu. Namun, keputusan MK itu bisa saja diabaikan, jika DIY dalam UU Keistimewaan nanti menganut sistem yang lain. Selama ini kan DIY sudah menganut sistem pemilihan gubernur yang berbeda dengan daerah lain," tutur Suparman. Sebagai penyelenggara teknis pemilihan umum, Suparman mengungkapkan KPU DIY siap menggelar pilkada apa pun opsi sistem pemilihan yang akan digunakan di DIY. Punya potensi Menurut Suparman, DIY memiliki banyak calon pemimpin potensial dari kalangan perseorangan, baik untuk gubernur maupun bupati/wali kota. Karena itu, dengan diperbolehkannya calon independen maju dalam pilkada, partai politik harus segera membenahi diri agar tidak ditinggalkan para pemilih. "Keputusan MK itu adalah warning dan tantangan serius bagi setiap partai politik agar segera membenahi diri menjadi lebih baik," ucap Suparman. Secara terpisah, mantan Rektor Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Sofian Effendi berpendapat keputusan MK tidak akan berpengaruh terhadap pemilihan Gubernur DIY, jika UU Keistimewaan DIY mengambil opsi gubernur/wakil gubernur adalah otomatis Sultan/Paku Alam. Calon independen tersebut baru akan bisa mewarnai pemilihan Gubernur DIY jika UU Keistimewaan menetapkan Sultan/Paku Alam pada posisi di atas institusi Gubernur. Sementara, posisi Gubernur DIY dipilih berdasarkan pemilihan umum. (RWN)

Opini TribunUN, Mutu Pendidikan dan Pemerintah Oleh: Laode Asrul, Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Ujian Nasional (UN) selalu menjadi sorotan. Fungsi dan pelaksanaannya dipersoalkan karena turut menentukan kelulusan siswa. Ini diakibatkan diduga tidak logis karena banyak siswa yang gagal lulus hanya karena tersandung salah satu dari tiga mata pelajaran yang di UN-kan. Apalagi dalam konteks pendidikan, UN sebagai post test, hanya akan bermakna bila keberadaannya dirancang sebagai satu kesatuan dengan komponen test sebelumnya. Hal ini menjadi salah satu alasan unjuk rasa guru-guru belakangan ini menyangkut peniadaan UN, tetapi pemerintah khususnya Wapres Jusuf Kalla cenderung "pasang badan" tentang pentingnya UN tetap dilaksanakan. Dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan, UN sebetulnya amat penting. UN bisa dipakai untuk memotret mutu pendidikan secara nasional, sehingga dengan mudah diketahui sekolah-sekolah sudah baik dan masih buruk. Dengan demikian mutu akademis secara nasional akan terlihat secara jelas. Hanya, UN tidak bisa dijadikan satu-satunya indikator kelulusan siswa secara nasional. Pengelolaan pendidikan di berbagai daerah di Indonesia masih berbeda-beda, baik dari segi sarana-prasana maupun mutu guru. Dalam Undang-Undang Nomor 23/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan, fungsi pendidikan adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuannya untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dijadikan Ukuran UN jelas tidak bisa dipakai untuk mengukur tujuan pendidikan yang amat mulia tersebut. Soalnya hanya tiga mata pelajaran, yakni matematika, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris yang dicakup ujian nasional. Jangan heran jika pembinaan budi pekerti seolah diabaikan karena evaluasi pendidikan sangat berorientasi pada hasil dengan mengesampingkan proses dan nilai. Negeri ini tidak sekadar membutuhkan orang yang cerdas, tapi yang juga beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, kreatif, mandiri, dan sebagainya. Jika mutu pendidikan hanya ditentukan oleh UN, itu dirasa mengesampingkan proses pembelajaran dan pendidikan. Proses ini tercermin dalam rapor perkembangan siswa dengan berbagai keunikan dan kecerdasan masing-masing. Tujuannya untuk mengetahui perkembagan "kemanusiaan" siswa dalam menuju ke taraf manusia yang seutuhnya yang dibutuhkan oleh bangsa ini sekarang. UN hanya mengukur kecerdasan akal atau intelektual tanpa mendeteksi kecerdasan spitual siswa, kecerdasan emosional, kecerdasan sosial, dan kecerdasan lainnya. Padahal, kebanyakan orang yang berhasil sama sekali bukan semata-mata ditentukan

oleh kecerdasan intelektual. Dalam perkembangan keilmuan mutakhir, kecerdasan emosi juga amat menetukan keberhasilan seseorang. Karena itu hasil UN tidak bisa dipakai untuk menyimpulkan apakah mutu pendidikan kita baik atau buruk. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standarisasi Nasional Pendidikan, kewenangan untuk mengembangkan dan melakukan penilaian atas standar pendidikan nasional berada pada Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP). Lembaga inilah yang menilai mutu pendidikan berdasarkan delapan ukuran, yakni isi (kurikulum), proses pembelajaran, lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, saranaprasana, pengelolaan pendidikan, pembiayaan, dan penilaian. Tugas yang diemban BNSP sungguh mulia. Sudah terlalu lama pendidikan kita dikritik mutunya belum baik, padahal pendidikan sungguh amat menentukan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Itu sebabnya, badan ini perlu berkonsentrasi untuk membuat standar yang jelas mengenai mutu pendidikan dan tidak bergerak pada kewenangan untuk menentukan kelulusan siswa lewat ujian nasional. Ujian nasional yang diselenggarakan BNSP bersama pemerintah mestinya hanya dalam kerangka pemetaan mutu pendidikan. Ini bisa dilaksanakan kapan saja sehingga masyarakat mengetahui sekolah mana saja yang sudah mencapai standar nasional. Dengan adanya peta yang jelas, diharapkan bantuan peningkatan mutu pendidikan juga akan tepat sasaran. Peran Pemerintah Hendaknya pemerintah dalam hal ini mendiknas melakukan pendekatan yang holistik, khususnya dalam model evaluasi dan tingkat mutu pendidikan. Dalam konteks pendidikan holistik, pemerintah tidak perlu mengambil alih peran pendidik dengan menetapkan standar pendidikan sebab pemerintah tidak berhubungan langsung dengan peserta didik. Tugas pemerintah adalah menciptakan kondisi dan sistem pendidikan yang efektif, integral, dan mengembangkan pendidik maupun peserta didik. Oleh karena itu perlu peran pemerintah kedepan antara lain: Pertama, pemerataan infrastruktur pendidikan. Di banyak daerah sarana dan prasarana pendidikan amat memprihatinkan. Kurangnya tenaga pengajar di pedalaman, banyak gedung sekolah tak layak pakai, dan penggemblengan mental pengabdian pendidik, merupakan pekerjaan besar yang harus diprioritaskan dan dituntaskan pemerintah. Amat tidak masuk akal bila pemerintah tiba-tiba menetapkan standar kelulusan secara nasional, sementara pembangunan dan pemajuan pendidikan masih amat parsial. Hal ini, berakibat terjadinya kecurangan dalam pelaksanaan UN di Medan. Kecurangan UN itu sepertinya sudah dirancang justru oleh kalangan pendidik sendiri (Kompas, 28/04), pendidik tersebut takut dianggap "gagal". Kedua, perubahan sistem pendidikan dari sentralisasi ke desentralisasi. Perubahan ini memungkinkan pihak sekolah untuk bereksplorasi, baik dalam program maupun kurikulum yang benar-benar kontekstual, yaitu berdasarkan pada kebutuhan anak didik dan menyatu dengan budaya dan karakter setempat. Jadi standar penilaian terletak pada tingkat penambahan pengetahuan serta pengembangan kepribadian, seperti menghargai orang lain, menghormati perbedaan,

kedisiplinan, serta bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang lain. Ketiga, proses pendidikan yang holistik juga menuntut adanya budaya belajar di kalangan masyarakat. Dengan demikian, proses pendidikan tidak dapat dikotakkan dalam pendidikan formal belaka, tetapi perlu dibuat sistem pendidikan berkesinambungan antara sekolah, keluarga, dan masyarakat. Proses pendidikan tidak dapat dipisahkan dari ritme kehidupan masyarakat sebab masyarakat menentukan proses pendidikan melalui nilai-nilai dan strukturnya. Sebaliknya pendidikan menyumbangkan nilai-nilai untuk perubahan masyarakat. Membangun budaya membaca masyarakat bisa dijadikan titik berangkat untuk membangun budaya belajar ini. Keempat, model evaluasi yang holistik tampaknya patut dipertimbangkan. Model ini pada akhirnya siswa tidak hanya diukur dengan pendekatan evaluasi yang akademis semata, tetapi juga dengan pendekatan non akademis. Kelima, pemerintah juga perlu mempertimbangkan pelaksanaan UN dilakukan tiga tahun sekali, jika UN dijadikan diagnostik kemampuan siswa, sehingga dana sebesar Rp 250 milliar yang bersumber dari APBN dapat diirit dan digunakan untuk pembangunan sarana dan prasarana sekolah. Semoga pemerintah, khususnya elite pendidikan baik eksekutif maupun legislatif, menunjukkan kerja keras lebih dulu agar tidak menjadi sorotan sebelum menuntut masyarakat untuk bekerja keras. Sekaligus menjawab pernyataan Wapres Jusuf Kalla saat memberikan sambutan pada peringatan Hardiknas 2006, antara lain menyatakan, ujian nasional diadakan untuk mendorong siswa bekerja keras karena bangsa ini tidak akan maju jika tidak disertai kerja keras. (***) Muatan Lokal Sekolah Belum Sepenuhnya Diberdayakan Jakarta, Kompas - Kurikulum tingkat satuan pendidikan atau KTSP belum sepenuhnya disusun oleh sekolah sebagai satuan pendidikan. Pemerintah daerah dalam beberapa hal masih ikut menentukan kurikulum, terutama terkait dengan muatan lokal. Muatan lokal yang bersifat wajib umumnya masih dibuat secara seragam. Muatan lokal sendiri merupakan kegiatan kurikuler guna mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah. Substansi mata pelajaran muatan lokal sebetulnya dapat ditentukan oleh satuan pendidikan. Mata pelajaran juga tidak terbatas pada mata pelajaran keterampilan. Seperti dikatakan Floria Rosiana, Wakil Kepala SMP Negeri 101 Jakarta Barat, Selasa (31/7), di sekolah itu terdapat muatan lokal yang bersifat wajib dan pilihan. "Muatan lokal yang bersifat wajib itu Pendidikan Lingkungan Kehidupan Jakarta. Kami ikut aturan kurikulum dari dinas pendidikan, sedangkan muatan lokal pilihan di sekolah ini mata pelajaran Tata Boga," ujarnya.

Hal senada diungkapkan Kusnadi, guru SD Negeri Nanggung 1, Kabupaten Serang, Banten. Muatan lokal wajib telah ditentukan oleh dinas pendidikan setempat, yakni Bahasa Inggris dan Bahasa Sunda. "Untuk KTSP, terutama muatan lokal, acuannya masih dari Dinas Pendidikan Kabupaten Serang," ujarnya. Idealnya, KTSP yang terdiri atas tujuan pendidikan, struktur, muatan kurikulum, dan kalender pendidikan dan silabus disusun serta dilaksanakan oleh masingmasing satuan pendidikan. Jika muatan lokal yang ada sudah dianggap tidak layak lagi diterapkan, sekolah dapat saja mengembangkan muatan lokal yang lebih sesuai. (INE) Beri warga miskin Kebijakan Pendidikan Dinilai Tidak Memihak Kaum Marjinal Jakarta, Kompas - Masyarakat terus menyuarakan keprihatinan terhadap dunia pendidikan, yang dinilai tidak memihak kepada rakyat miskin. Anak-anak miskin tetap sulit untuk masuk sekolah yang berkualitas karena mahalnya biaya masuk sekolah, termasuk juga di sekolah milik pemerintah. Rasa prihatin yang mendalam terhadap dunia pendidikan yang mengabaikan hak masyarakat miskin untuk mengakses pendidikan yang bermutu itu disuarakan Lembaga Swadaya Masyarakat Peduli Pendidikan Bangsa (LSM-P2B) di depan Istana Negara, Jakarta, Selasa (31/7). Selain menggelar unjuk rasa, LSM-P2B juga menggelar aksi mogok makan untuk menarik simpati dan perhatian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Aksi ini dilaksanakan pengurus LSM-P2B bersama-sama orangtua atau wali siswa yang berprofesi sebagai pedagang kaki lima, sopir, pengemudi ojek motor, dan masyarakat miskin lainnya. Mereka yang mewakili kalangan masyarakat miskin ini berharap bisa menyekolahkan anak-anaknya di lembaga pendidikan yang berkualitas sehingga mudah mencari kerja di kemudian hari. Sebanyak 10 anggota LSM-P2B menutup mulut mereka masing-masing dengan plakban sambil menjalani aksi mogok makan. Unjuk rasa dan mogok makan diakhiri setelah perwakilan dari LSM-P2B diterima Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng, yang berjanji akan menyampaikan tuntutan masyarakat miskin itu kepada Presiden. Saidin Yusuf YP, Ketua LSM- P2B, mengatakan bahwa dunia pendidikan Indonesia sangat tidak memihak rakyat miskin. Itu terlihat dari mahalnya biaya masuk sekolah sekarang ini walaupun di sekolah negeri yang masih mendapat subsidi dari pemerintah. "Dari tahun ke tahun fenomena pemerasan terhadap rakyat yang hendak bersekolah ini terus terjadi. Akan tetapi, pemerintah tidak ada tanggapan," kata Saidin.

Anak-anak miskin yang masuk kategori pintar pun, yang seharusnya bisa menikmati pendidikan yang berkualitas di kelas-kelas unggulan atau kelas internasional di SMP/SMA/sederajat milik pemerintah, dihadapkan kenyataan tidak mampu menjangkau biaya yang harus dibayar. Sebagai contoh, kelas internasional di beberapa SMA negeri di Jakarta saja mematok biaya Rp 16 juta hingga Rp 25 juta per tahun. "Apakah anak orang miskin tidak boleh pintar? Apabila dia pintar, untuk masuk sekolah berkualitas sudah pasti mahal. Dengan alasan fasilitas sekolah itu lengkap, sekolah seenaknya saja menentukan pungutan. Dalam hal pungutan yang dilakukan sekolah-sekolah negeri saja, Menteri Pendidikan Nasional mengaku tidak berdaya karena adanya otonomi daerah," kata Saidin. F Suddjarwanto, Sekretaris LSM-P2B, menambahkan, masyarakat mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk segera memenuhi anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN. Pemerintah juga harus mengeluarkan peraturan pemerintah ataupun keputusan presiden sebagai dasar hukum agar sekolah tidak memungut biaya atau sumbangan dari murid, terutama di sekolahsekolah negeri. Selain itu, pemerintah juga diminta untuk menggratiskan pendidikan bagi siswasiswa yang berprestasi luar biasa. Mereka juga menuntut agar pajak-pajak di dunia pendidikan yang pada gilirannya berdampak pada beban masyarakat dihapuskan. (ELN) Indikator "Kompas" Kasus Narkoba di DIY Makin Banyak Terungkap Peredaran narkoba di DI Yogyakarta harus senantiasa diwaspadai pemerintah dan masyarakat. Pasalnya, dalam empat tahun terakhir kasus narkoba di DIY semakin banyak ditemukan dan makin rentan mengancam generasi muda, terutama kalangan pelajar dan mahasiswa. Data Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia DIY terbaru menunjukkan, sedikitnya 28 persen (273 orang) dari total 949 narapidana dan tahanan yang menghuni lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan adalah mereka yang terlibat kasus narkoba. Kondisi tersebut merupakan imbas dari semakin banyaknya kasus narkoba yang diungkap pihak kepolisian. Berdasarkan data Kepolisian Daerah DIY, antara 2005-2006 jumlah kasus narkoba di provinsi ini meningkat rata-rata 21 persen setiap tahun (lihat Grafis 1). Bahkan, sepanjang Januari-Mei 2007 temuan kasus narkotika dan obat-obatan berbahaya telah mencapai 163 kasus, atau separuh dari total kasus serupa pada tahun sebelumnya.

Sebagian tersangka narkoba tercatat masih berstatus pelajar. Modus peredaran narkoba di kalangan anak-anak dan pelajar umumnya diawali dengan perkenalan pada minuman keras serta rokok dalam kelompok mainnya. Mengacu pada publikasi Badan Narkotika Nasional, terungkap bahwa usia awal perkenalan dengan narkoba di Indonesia semakin muda. Kecenderungan itu ditandai dari temuan perilaku sejumlah siswa yang mulai mengisap rokok (usia 6 tahun), kemudian menggunakan zat halusinogen (10 tahun), obat psikotropika (10 tahun), dan opium (13 tahun). Di DIY pun kecenderungan serupa terjadi. Buktinya, antara Januari-Mei 2007 Polda DIY mencatat 4,3 persen tersangka pengguna narkoba di provinsi ini berusia antara delapan hingga 18 tahun (lihat Grafis 2). Setiap tahun di DIY paling tidak ditemukan tujuh pengguna narkoba pada kelompok usia tersebut. (BIMA BASKARA/LITBANG KOMPAS) ndikator Kompas Waspadai Bahan Pengawet dalam Makanan Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang harus terpenuhi setiap hari. Tak heran, alokasi anggaran untuk keperluan ini cukup besar. Mengacu pada publikasi Badan Pusat Statistik, dari rata-rata pengeluaran per kapita penduduk DI Yogyakarta sebesar Rp 337.717 per bulan (2005), sekitar 43 persen di antaranya dibelanjakan untuk membeli makanan. Namun, tidak semua makanan yang beredar di pasaran aman untuk dikonsumsi. Sebagian makanan yang mudah dijumpai di pasar tradisional hingga hipermarket di DIY ternyata tidak memenuhi standar mutu Departemen Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan. Dari sejumlah sampel makanan yang diuji, ditemukan kandungan bahan tambahan makanan yang berbahaya bagi kesehatan. Berdasarkan hasil uji kimia Balai Besar POM Yogyakarta terhadap 2.105 sampel makanan (2006), lebih dari sembilan persen di antaranya tidak memenuhi standar mutu makanan. Sekitar 66 persen kandungan bahan tambahan dalam makanan tersebut mengandung bahan pengawet berbahaya, antara lain formalin, boraks, dan pengawet lainnya (lihat Grafis). Jenis pangan yang diuji BB POM Yogyakarta adalah makanan yang biasa dikonsumsi masyarakat DIY sehari-hari, yaitu makanan produksi dalam negeri (23,42 persen), luar negeri (3,61 persen), industri rumah tangga (22,76 persen), jajanan anak sekolah (7,70 persen), serta makanan yang tidak terdaftar seperti jajanan tradisional di pasar. Pada tahun 2006 BB POM Yogyakarta telah menyelidiki sekitar 200 kasus tindak pidana di bidang pangan. Selain melakukan pengujian, BB POM juga mengawasi sarana produksi makanan. Saat ini baru sekitar 500 industri pangan di DIY dan sebagian Jawa Tengah yang mampu ditangani. Padahal, jumlah yang ada mencapai 1.300 unit. Keterbatasan jumlah tenaga penguji masih menjadi

kendala instansi tersebut dalam menunaikan tugasnya. (SUGITO/LITBANG KOMPAS) *** Perjelas Calon Perseorangan Seminggu sudah keputusan Mahkamah Konstitusi terkait calon perseorangan untuk bisa ikut pilkada, tetapi bagaimana pelaksanaannya belum juga jelas. Tepatlah apabila pemerintah perlu segera bertemu dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan juga Komisi Pemilihan Umum untuk bisa menentukan langkah yang akan kita lakukan untuk menindaklanjuti keputusan MK tersebut. Kita tidak bisa membiarkan persoalan ini lebih lama mengambang tanpa kejelasan. Rasanya sudah cukup berbagai pemikiran bermunculan. Sekarang ini tugas kita bagaimana merumuskan pemikiran-pemikiran itu untuk menjadi arah kebijakan yang strategis dan sesuai dengan cita-cita kita untuk membangun demokrasi yang lebih baik ke depan. Untuk itu memang semua pihak perlu bersabar. Jangan kita mengambil keputusan yang tidak berlandaskan pada aturan yang benar agar tidak menimbulkan persoalan yang lebih pelik di masa mendatang. Kita tidak menutup mata, sekarang ini tekanan berat dihadapi KPUD. Sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah, mereka didesak untuk membuat kebijakan oleh mereka yang sedang mengincar kursi kekuasaan. Karena itu tepat apabila Departemen Dalam Negeri meminta KPUD untuk tidak membuat ketentuan sendiri-sendiri. Depdagri perlu mengambil tanggung jawab. Pertanyaannya, berapa lama Depdagri bersama DPR dan KPU bisa merumuskan sebuah peraturan pelaksanaan yang bisa menjadi pegangan kita bersama dalam mengartikan keputusan MK? Kita tahu bahwa itu memang tidak mudah. Namun, batasan waktu itu diperlukan agar semua mempunyai pegangan, apalagi kita tahu begitu banyak jadwal pilkada yang harus dilaksanakan. Di sini kita ingin mengingatkan juga, betapa strategisnya posisi Depdagri. Bukan hanya dalam urusan calon perseorangan, tetapi banyak hal yang berkaitan dengan pembangunan politik di dalam negeri juga memerlukan perhatian dan penanganan yang khusus. Kita merasa prihatin terhadap nasib yang dialami Menteri Dalam Negeri Moh Ma’ruf. Berbulan-bulan ia sakit dan sampai sekarang masih berada dalam pemulihan, sementara itu pekerjaan besar menunggu.

Untuk sementara, Presiden sudah menugaskan Menko Politik, Hukum, dan Keamanan Widodo AS sebagai Mendagri ad interim. Tetapi, sekali lagi, pekerjaan yang ada di Depdagri tidak bisa ditangani seperti itu. Kita dihadapkan pada tantangan yang tidak ringan. Reformasi yang kita canangkan hampir 10 tahun ini menuntut adanya cara penanganan yang luar biasa. Kita dihadapkan pada pekerjaan besar dan bersejarah. Bukan dari sisi kelembagaan saja terjadi perubahan yang sangat drastis, tetapi juga dalam praktik pelaksanaannya. Untuk bisa memberikan hasil terbaik bagi kehidupan kita berbangsa dan bernegara, diperlukan adanya perubahan sikap dan perilaku. Di sinilah dituntut adanya pengorbanan dari semua pihak. Kita semua harus berupaya untuk membuat demokrasi yang kita tetapkan bisa berjalan sesuai dengan prinsip yang berlaku. Itulah warisan terbesar apabila kita bisa membuat demokrasi berjalan baik di Indonesia. ndikator "Kompas" Pasar Kerja DIY Butuh Tenaga Siap Pakai Angka pengangguran di DI Yogyakarta dalam beberapa tahun terakhir terus meningkat. Pada tahun 2003 angka pengangguran masih pada kisaran 90.000 orang, tetapi tiga tahun kemudian meningkat 66 persen menjadi 151.570 orang. Jumlah penganggur laki-laki lebih besar ketimbang perempuan. Yang cukup memprihatinkan, sebagian besar pengangguran tersebut justru berlatar pendidikan menengah ke atas hingga perguruan tinggi (lihat Grafis). Fenomena pengangguran terdidik erat kaitannya dengan permintaan serta penawaran pasar kerja yang ada. Perusahaan atau penyedia lapangan kerja di DIY umumnya membutuhkan tenaga siap pakai. Sebagai ilustrasi, dari 21.243 lowongan yang tersedia pada tahun 2006, sebanyak 45 persen di antaranya ternyata membutuhkan tenaga kerja lulusan sekolah kejuruan, seperti sekolah teknik mesin, sekolah menengah farmasi, kesehatan, dan pertanian. Padahal, dari 107.129 pencari kerja yang ada, sekitar 54 persen di antaranya adalah lulusan perguruan tinggi (diploma hingga sarjana). Artinya, terjadi ketidaksesuaian antara kebutuhan pasar (lowongan pekerjaan) dengan pendidikan tenaga kerja yang tersedia. Selain itu, pencari kerja dengan pendidikan S1 dan S2 mulai selektif dan berkalkulasi terhadap tempat kerja dan gaji yang akan diterimanya. Tahun 2006, jumlah pencari kerja lulusan S1 di DIY mencapai 40.958 orang, sedangkan S2 sebanyak 598 orang. Salah satu upaya meminimalkan pengangguran terdidik adalah dengan mengubah pola pikir agar tidak lagi berorientasi untuk menjadi pegawai semata atau bermental buruh. Para peserta didik sedari mula harus dibekali semangat untuk menciptakan lapangan kerja atau kewirausahaan, sehingga tak harus

bergantung pada lowongan pekerjaan ketika lulus. (SUGITO/LITBANG KOMPAS) Banyak Lulusan S2 Menganggur Sulit kalau Hanya Mengandalkan Satu Disiplin Ilmu Saja Yogyakarta, Kompas - Kondisi ketenagakerjaan belum menggembirakan. Tercatat sampai Desember 2006, sebanyak 22.220 sarjana di DI Yogyakarta menganggur atau berstatus pengangguran. Kecenderungan pengangguran ini mengarah pada mereka yang sudah sarjana, termasuk lulusan S2. "Ada kecenderungan sekarang penganggur sarjana, bahkan lulusan S2 perguruan tinggi pencari kerja cukup banyak. Trennya sekarang memang ke sana," tutur Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) DIY Hendarto Budiyono, Jumat (27/7). Budiyono mengatakan berdasarkan kajian terakhir, hingga Desember 2006 tercatat total penganggur di DIY berjumlah 151.570 orang. Dilihat dari tingkat pendidikan, penganggur didominasi lulusan SLTA, yakni 62,11 persen atau 94.140 orang. Selanjutnya, diikuti lulusan SLTP 15,24 persen atau 23.099 orang, lulusan SD 2,63 persen atau 3.986 orang. Yang paling memprihatinkan, 14,66 persen atau 22.220 penganggur merupakan lulusan perguruan tinggi. Berdasarkan data tersebut, jumlah pencari kerja di DIY sebanyak 107.129 orang. Dari jumlah itu, 598 di antaranya adalah lulusan S2. "Banyak dari keluarga mampu berpikir daripada anaknya menganggur, maka setelah lulus S1 mereka menyekolahkan lagi anaknya ke S2, dengan harapan bisa cepat masuk kerja. Namun, setelah lulus persaingan kerja begitu ketatnya," ungkap Hendarto. Hendarto menyebutkan, tingginya jumlah pengangguran di DIY tidak bisa dilepaskan dari kondisi makro perekonomian nasional yang belum cukup bagus. Masih banyak perusahaan yang setelah krisis ekonomi masih melakukan efisiensi. Di samping itu, juga dihadapkan pada kondisi rendahnya kualitas dan produktivitas tenaga kerja sehingga sulit bersaing di pasar tenaga kerja. "Tantangan tenaga kerja ke depan itu semakin tinggi. Tenaga kerja harus memiliki kompetensi. Mau tidak mau tenaga kerja harus multiskill, kalau hanya mengandalkan satu disiplin ilmu itu sulit berkompetisi. Untuk itu, harus memiliki keahlian ganda. Itu mau tidak mau harus dimiliki. Mereka juga harus punya inovasi mengakses informasi dan mengenal hitech, terakhir harus memiliki kondisi prima. Perusahaan mengandalkan kriteria seperti itu," tutur Hendarto. Identifikasi potensi

Hendarto menambahkan, sebenarnya pemerintah pusat dan daerah sudah memiliki banyak program untuk menyelesaikan masalah pengangguran. Namun diakui, sampai kini belum bisa menyelesaikan persoalan itu. "Harus diakui ini menjadi problem besar kita. Yang bisa menciptakan kesempatan kerja adalah pertumbuhan ekonomi," katanya. Program-program yang sudah dilaksanakan di antaranya Terapan Teknologi Tepat Guna. "Melalui program ini, kita identifikasi potensi di DIY ini apa saja. Misalnya Kulon Progo punya banyak kelapa, supaya dapat meningkatkan nilai tambah kelapa kita terapkan teknologi tepat guna," katanya. Bagi tenaga terdidik digelar program Pendayagunaan Tenaga Kerja Pemuda Mandiri Profesional. "Ini untuk orang-orang yang mempunyai keinginan membuat usaha atau alih profesi usaha baru. Mereka kita fasilitasi. Tahun ini misalnya, mereka yang ingin usaha mebel, kita fasilitasi melalui pelatihan. Ada bantuan dari pusat," katanya. (RWN) Keberagaman Perguruan Tinggi Harus Jadi Contoh Masyarakat Yogyakarta, Kompas - Perguruan tinggi jangan hanya menjadi tempat untuk transfer ilmu pengetahuan dan teknologi bagi mahasiswa, tetapi harus menjadi tempat bersemainya semangat pluralisme, sekaligus nasionalisme bagi masyarakat kampus. Perguruan tinggi harus bisa menjadi contoh wujud masyarakat madani. "Setiap universitas harus punya semangat menanamkan pluralisme, toleransi, dan nasionalisme, tetapi sayangnya tidak semua pemimpin perguruan tinggi memiliki pemahaman seperti itu. Banyak yang masih menganggap tugas universitas adalah hanya mentransfer iptek," ujar mantan Rektor Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Sofian Effendi, Jumat (27/7), di Yogyakarta. Sofian sependapat dengan Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X yang melontarkan sinyalemen mulai lunturnya semangat toleransi masyarakat di Yogyakarta, yang disampaikan Sultan saat bertemu anggota DPR beberapa hari lalu. Sofian mengungkapkan, adalah menjadi tugas yang integral bagi PT, selain pengembangan dan transfer iptek, PT juga bertugas menumbuhkan semangat pluralisme dan nasionalisme pada seluruh anggota sivitas akademika. Malah terkena imbas Sofian menuturkan, seperti UGM, mahasiswa di sebuah universitas datang dari berbagai daerah, agama, etnik, dan kepercayaan yang berbeda. Karena itu, PT sudah selayaknya menjadi tempat persemaian semangat pluralisme tersebut. "Semua universitas di Yogyakarta dapat memainkan peran yang sangat penting dalam menumbuhkan semangat pluralisme," ucapnya.

Namun, yang terjadi kini malah sebaliknya. Menurut Sofian, masyarakat kampus telah ikut terseret arus. "Masyarakat kampus sendiri justru terkena imbas dari kondisi masyarakat yang masih dalam proses transisi demokrasi ini. Kita belum punya daya toleransi tinggi, kita cenderung tidak pluralis, cenderung mengotak-ngotakkan diri, itu merembet ke kampus. Di kampus mulai terjadi pengotak-ngotakan mahasiswa, terjadi proses yang bertentangan dengan semangat pluralisme," tutur Sofian. Menjamurnya asrama mahasiswa berdasarkan asal daerah, menurut dia, telah turut menguatkan semangat kedaerahan para mahasiswa yang menjadi penghuninya. Ini karena tidak ada proses pembauran dengan masyarakat yang berbeda. Sofian menuturkan, meski tidak mudah, upaya pembenahan untuk kembali menguatkan toleransi beragama dan semangat pluralisme harus dilakukan. Upaya yang bisa dilakukan PT, antara lain, melalui pembangunan karakter mahasiswa. Di samping itu, melalui media asrama mahasiswa yang tidak eksklusif, yang bisa dikelola oleh PT. (RWN) Ketenagakerjaan Lulusan Perguruan Tinggi Masih Kurang Pembekalan Yogyakarta, Kompas - Banyak lulusan perguruan tinggi belum memperoleh pekerjaan karena kurang memperoleh pembekalan. Agar mampu mandiri, mereka perlu mendapat pelatihan tambahan mengenai kewirausahaan. "Di masa sekarang ini makin sulit dirasakan bagi para lulusan muda untuk mendapatkan langsung pekerjaan selepas sekolah, ditambah lagi dengan makin ketatnya persaingan kerja dan makin sempitnya lahan pekerjaan," kata Fathia Syarif, Media Relations and External Communications Manager Shell Indonesia, ketika membuka Shell Bright Ideas Workshop di Yogyakarta, Jumat (27/7). Acara itu diikuti sekitar 120 peserta. Fathia berharap materi-materi yang disampaikan para pembicara yang sudah berpengalaman dalam membangun kewirausahaan di Indonesia ini dapat bermanfaat sebagai sebuah bahan acuan sekaligus referensi awal bagi para peserta untuk membangun bisnis kewirausahaan mereka. "Karena Shell juga mengawali usahanya dari semangat kewirausahaan yang tinggi, kami berupaya untuk terus menyemangati anak-anak muda, termasuk juga anak-anak muda di Yogyakarta khususnya, untuk memiliki semangat tersebut, melalui program Shell LiveWIRE, yang salah satunya adalah Shell Bright Ideas Workshop ini," ungkapnya. Wirausahawan

Shell Bright Ideas Workshop merupakan bagian dari program Shell LiveWIRE, yang juga dilaksanakan di lebih dari 20 negara tempat Shell beroperasi. Program tersebut diselenggarakan dengan Indonesian Business Link (IBL) sebagai mitra pelaksana. Selain menggelar lokakarya yang rencananya akan berlangsung di 24 kota di Indonesia sepanjang tahun 2007 hingga 2008, program ini juga akan menggelar kegiatan Shell Bright Ideas Start-Up Awards dan Expo, Shell Bright Ideas Workshop untuk beberapa perguruan tinggi, serta kegiatan mentoring dan konseling bagi para wirausahawan muda yang berhasil lolos dalam seleksi. Untuk jasa mentoring dan konseling sendiri akan diberikan secara gratis pada para wirausahawan muda, berupa usaha pendampingan serta pengarahan yang diberikan, khususnya bagi mereka yang baru saja memulai bisnis mereka. Sebelum digelar di Yogyakarta, Shell Bright Ideas Workshop juga telah digelar di Jakarta dan Bandung, pada 12 Juni dan 19 Juli lalu, dengan dihadiri oleh lebih dari 100 peserta di masing-masing kotanya, serta menghadirkan pembicara para wirausahawan yang telah berhasil mengelola bisnisnya untuk berbagi pengalaman dengan peserta. (SIG)

Related Documents

2 Agustus
November 2019 57
Agustus
October 2019 89
2 Agustus 2_6
November 2019 23
Edisi Agustus
December 2019 48
Kharisma Agustus
November 2019 47
Doa Agustus]
June 2020 20