1
D
a
p
u
r
2
I
n
f
o
D
a
p
u
r
3
I
n
f
o
D
a
p
u
r
4
I
n
f
o
D
a
p
u
r
5
I
n
f
o
A
n
a
l
i
s
i
s
I
n
f
o
Ribut - Ribut Aborsi
Aborsi Illegal vs Legalisasi Aborsi
D
Masalahnya, secara hukum masalah aborsi ini masih menemui kendala. Dalam Pasal 15 UU Kesehatan dinyatakan, aborsi bisa dilakukan dengan alasan medis. Bahkan dalan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 345 dinyatakan bahwa seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. Meski UU No 23 bersifat khusus sehingga dapat mengesampingkan ketentuan umum yang berlaku dalam KUHP, namun UU itu pun belum mengatur tentang diperbolehkannya tindakan aborsi di luar alasan medis. Sementara Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (Meneg PP) Meutia Farida Hatta pun rupanya justru menentang rencana pengaturan tentang aborsi bagi korban perkosaan. Meneg PP berpendapat, kehamilan bagi korban perkosaan harus tetap dipertahankan sejauh tidak membahayakan nyawa si ibu. “Bayi yang dilahirkan akibat perkosaan tetap berhak hidup, tumbuh dan berkembang secara optimal,” begitu pernyataan Meutia seperti dikutip Kartini. Berbeda dengan majalah Kartini, sebuah situs yakni http://www.al-islam.or.od dengan lantang menyuarakan penolakan legalisasi aborsi. Tulisan berjudul: Tolak Legalisasi Aborsi, yang juga sempat beredar luas dalam buletin dakwah Al Islam yang disebarluarkan dalam berbagai majelis jamaah Shalat Jum’at ini menuding paham sekularisme mewarnai upaya legalisasi aborsi. Tulisan ini mempertanyakan fakta yang banyak dilontarkan berbagai kalangan, termasuk di media massa tentang realitas aborsi yang tidak aman yang menyumbang 11,1% AKI (Angka Kematian Ibu). Alasan aborsi menurut Al Islam adalah Kehamilan Tak Diinginkan (KTD) seperti hamil di luar nikah, incest dan perkosaan. “Kalau ini merupakan penyebab aborsi, maka yang harus dilakukan adalah menghilangkan penyebab tersebut. Apa
alam tiga bulan terakhir ini isu aborsi kembali menyeruak menyusul pembahasan amandemen Undang Undang RI No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan oleh DPR RI. Pro kontra bermunculan. Beberapa aksi digelar. Bahkan sempat pula beredar imbauan melalui telepon selular agar mengirim Short Message Service (SMS) untuk menolak aborsi. Dari mana asal imbauan itu, tak jelas. Yang jelas hanyalah masalah aborsi kembali menjadi polemik. Bagaimana media menyikapinya? Pada Juni lalu, Majalah Kartini sempat mengupas kontroversi aborsi ini dalam artikel eksklusifnya berjudul: “Fatwa Baru MUI Asal Belum Hamil 40 Hari, Boleh A b o r s i B a g i K o r b a n P e r k o s a a n ” . Tulisan ini mengetengahkan hasil pembahasan Komisi Fatwa MUI tentang aborsi. “Akhirnya Komisi Fatwa MUI mengeluarkan sebuah fatwa yang cukup kontroversial, memperbolehkan aborsi bagi perempuan korban perkosaan. Namun fatwa ini sendiri tidak berlaku bagi pelaku perzinahan, incest dan ibu yang sakit jiwa”, begitu ditulis Majalah Kartini. Tulisan di MajalahKartini ini cukup menarik, lantaran selain mengutip pernyataan dari Komisi Fatwa MUI, juga menyertakan pendapat dari berbagai kalangan, seperti kepolisian, ahli hukum, psikolog, ahli kandungan, hingga Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. Pernyataan MUI ini kiranya cukup mendapat ‘dukungan’ dari praktisi medis yang menyatakan bahwa pengguguran janin yang berusia 40 hari tergolong aman dan tidak membahayakan. Bahkan pihak kepolisian pun menurut tulisan di majalah ini juga mendukung fatwa tersebut. Hanya saja pihak kepolisian mengingatkan, kendati pihak kepolisian siap membantu korban perkosaan yang akan melakukan aborsi, namun perempuan yang mengatakan dirinya telah diperkosa harus memiliki visum et repertumyang menyatakan dirinya telah menjadi korban perkosaan. 6
A
n
a
l
i
s
i
penyebab KTD?....... Semuanya adalah akibat sekularisme, paham yang memisahkan agama dari kehidupan, yang kemudian melahirkan libelarisme (kebebasan)” begitu tulisAl Islam. Tulisan ini jelas sangat provokatif, dengan tujuan satu: menolak amandemen UU No 23 Tahun 1992. Sebagai sebuah media yang dikonsumsi oleh publik, tulisan tersebut perlu dipertanyakan karena kedangkalannya. Pembaca digiring untuk meyakini bahwa alasan aborsi adalah KTD. Sehingga yang harus dihilangkan adalah penyebab KTD. Tapi apakah mudah mengatasi masalah perkosaan, hamil di luar nikah dan beberapa penyebab terjadinya KTD lainnya? Apakah cukup sebuah media langsung mengacungkan tudingan bahwa masalah KTD bermuara pada sekularisme? Lain lagi dengan suratkabar.Media Indonesia misalnya, pada 28 Agustus lalu secara detail mengupas tentang aborsi. M ulaidaritulisanberjudulosisi P Tawar Perempuan Masih Lemah; Aborsi Aman dan Tidak Aman; Keselamatan Perempuan atau Kehidupan Baru; Kontroversi Aborsi, hingga Perjalanan Aborsi di Berbagai Negara. Pada tulisan berjudul Aborsi Aman dan Tidak Aman, media ini memberi gambaran cukup jelas pada pembaca tentang perbedaan keduanya. Aborsi tidak aman (unsafe abortion) ialah penghentian kehamilan yang dilakukan oleh orang yang tidak terlatih atau kompeten dan menggunakan sarana yang tidak memadai. Akibatnya bisa menimbulkan banyak komplikasi bahkan kematian. Sedang aborsi aman dalam tulian ini disebutkan, bila dilakukan oleh pekerja kesehatan (perawat, bidan, dokter) yang benar-benar terlatih dan berpengalaman melakukan aborsi, pelaksanaannya menggunakan alat-alat kedokteran yang layak, dilakukan dalam kondisi bersih, apa pun yang masuk dalam vagina atau rahim harus bersih atau tidak tercemar kuman dan bakteri, serta dilakukan kurang dari 3 bulan (12 minggu) sesudah pasien terakhir kali mendapat haid. Pada tulisan lain, Media Indonesia cukup bijaksana mengakui bahwa membicarakan masalah aborsi memang tidak gampang. Persoalannya menjadi sangat kompleks. Ketika muncul keputusan aborsi, selayaknya sudah melalui berbagai proses, termasuk konseling. Jika aborsi memang tidak dikehendaki, sebaiknya disediakan panti asuhan yang layak untuk menampung bayi-bayi yang tidak diinginkan itu. Tak hanya Media Indonesia, Kompas pun terhitung cukup sering menurunkan tulisan tentang aborsi dan amandemen UU Kesehatan. Antara lain tulisan dengan judul: Lindungi Korban Perkosaan Yang Aborsi (Kompas,
s
I
n
f
o
26/5), A b o r s i T i d a k Aman Sumbang AKI (Kompas , 21/6), serta Perempuan, Aborsi dan Patriarkhi (Kompas, 30/7). Selain itu baru-baru ini juga muncul tulisan Mantan Ketua Umum PB IDI Kartono Mohamad dalam rubrik Opini (Kompas, 27/ 8) yang berjudulIsu Abortus dalam RUU Kesehatan. Dalam tulisannya Kartono Mohamad menyebutkan, Rancangan Revisi Undang Undang No 23 tahun 1992 antara lain meliputi penyesuaian dengan UU Otonomi Daerah, tentang kesehatan remaja, kesehatan reproduksi, perluasan peran masyarakat, antisipasi kemajuan teknologi kedokteran, dan kewajiban negara menanggung biaya pelayanan medis bagi orang miskin. Jadi bukan “sekadar” legalisasi aborsi. Hanya saja yang terjadi memang isu aborsi paling mencuat ke permukaan dalam sorotan tentang Revisi Undang Undang No 23 tahun 1992. Mengapa begitu? Barangkali media massa pun juga harus menengok ulang pemberitaannya. Apakah substansi selain aborsi juga mendapat tempat dalam pemberitaannya selama ini. Ataukah karena semata-mata isu aborsi memang lebih menarik untuk ditulis, lebih seksi, lebih kontroversial atau apa pun istilahnya sehingga lebih sering muncul. Harus diakui, isu aborsi lebih mengundang minat pembaca ketimbang masalah perluasan peran masyarakat maupun antisipasi kemajuan teknologi kedokteran. Namun jika hanya aborsi saja yang dikupas -seperti yang dilakukan kebanyakan media, maka masyarakat akan sangat mungkin mengidentikkan Revisi UU No 23 tahun 1992 dengan upaya legalisasi aborsi seperti yang tersirat dari berbagai tulisan. Di sisi lain kita memang harus memaklumi, media pun tidak bisa menutup mata dan mengesampingkan fakta bahwa Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia yang masih sangat tinggi, turut disumbang oleh aborsi yang tidak aman. Wajar jika harian Kompas edisi 21/6 menyebutkan, amandemen UU No 23 tahun 1992 Tentang Kesehatan dibutuhkan untuk menjawab isu aborsi. Jadi? Kembali pada kebijakan masing-masing media. Sepanjang tulisan yang diturunkan memuat data yang lengkap, serta dapat dipertanggungjawabkan, cukuplah untuk dapat disampaikan pada masyarakat. Tapi tulisan yang hanya mengedepankan provokasi tentu sangat disayangkan kemunculannya di tengah tarik ulur pembahasan revisi sebuah UU, yakni UU No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Dan masyarakat lah yang akan menilai, media mana yang benarbenar memperhatikan aspek kepentingan orang banyak (masyarakat) dan mana yang hanya menyuarakan kepentingan (runi) kelompoktertentu.
7
S
u
m
b
e
r
I
n
f
o
Kongres Nasional Orang dengan HIV/AIDS I
Pernyataan Kongres Nasional ODHA hidup dengan HIV/AIDS) yang meninggal dunia tanpa mendapat terapi tersebut. Peserta berjanji untuk memperkuat upayanya agar angka kematian ini dapat terus ditekan.
Redaksi: Kongres Nasional Odha pertama yang berlangsung pada 26-30 September lalu baru saja ditutup. Pertemuan lima hari itu berlangsung di Lembang, Jawa Barat. Kongres ini dihadiri 124 orang dari 25 provinsi, kebanyakan terinfeksi HIV, dan sisanya langsung terpengaruh (keluarga, pasangan, dll.). Para peserta secara bulat menyetujui pernyataan berikut, yang akan disampaikan pada Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua KPA Nasional pada minggu ini:
Apakah kita memenuhi janji itu? Sebetulnya perkembangan dalam 18 bulan terakhir ini dapat dianggap di luar bayangan dan harapan kami pada waktu itu. Pada September 2004, pemerintah Indonesia mulai menyediakan ART dengan subsidi penuh, dan dengan jumlah yang cukup untuk memenuhi semua kebutuhan saat itu. Hal ini dilakukan berkaitan dengan Komitmen Sentani, yang menyatakan bahwa pemerintah berjanji agar 10.000 Odha mendapatkan ART pada tahun 2005. Untuk mendukung komitmen tersebut, Departemen Kesehatan (Depkes) menyatakan 25 rumah sakit (RS) di 17 provinsi sebagai rumah sakit rujukan AIDS, dan mulai melatih dokter serta petugas layanan kesehatan lain dalam penatalaksanakan ART.
Pernyataan “Lembang” Dinyatakan oleh Peserta Kongres Nasional Orang dengan HIV/AIDS I - 2005 Dalam Pernyataan “Tretes”, yang berupa suatu hasil dari Pertemuan Nasional Odha (PNO) IV pada Februari 2004, peserta pertemuan tersebut mencatat bahwa, walaupun terapi antiretroviral (ART) semakin terjangkau, namun masih banyak teman Odha (orang yang
Lembang Jawa Barat 26-30 September 2005 8
S
u
m
b
e
r
I
n
f
o
Kongres Nasional Orang dengan HIV/AIDS I
untuk tetap patuh terhadap terapinya.
Atas nama semua Odha dan Ohidha (orang yang terpengaruh oleh HIV/AIDS, misalnya keluarga dan pasangan) di Indonesia, peserta Kongres Nasional Odha pertama ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya pada pemerintah Indonesia dan beberapa lembaga donor yang mendukung program penyediaan ART. Memang semakin nyata bahwa teman-teman kita dapat bertahan hidup dan meningkatkan mutu hidupnya sebagai hasil dari upaya tersebut.
* Sebagian besar Odha yang terlibat di jaringan Odha Indonesia sepakat untuk mendukung prakarsa “HIV Stop di Sini”, yang bertujuan untuk memutus rantai penularan dengan mendesak semua Odha agar tidak menularkan kepada orang lain. * Asas Keterlibatan Lebih Luas oleh orang yang terinfeksi atau terpengaruh oleh HIV (yang dikenal dengan singkatan ‘GIPA’ dari bahasa Inggris) dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS semakin dihargai oleh pihak pemerintah, terutama oleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) di beberapa provinsi, dan di beberapa lembaga lain di tingkat nasional.
Perkembangan yang cukup nyata juga diupayakan oleh jaringan Odha di seluruh Indonesia. Dalam hal ini kami mencatat beberapa kegiatan dan prakarsa, antara lain: * Semakin banyak terbentuknya kelompok dukungan sebaya (KDS) untuk Odha/ Ohidha, termasuk lima kelompok orang tua dari anak yang terinfeksi HIV, dan beberapa kelompok khusus perempuan dengan HIV. Harus ada upaya yang lebih tegas agar ada kelompok dukungan sebaya di setiap kota di seluruh Nusantara, serta untuk memperkuat dan memberdayakan kelompok yang sudah ada.
* Semakin banyak Odha/Ohidha berbicara secara terbuka, termasuk di TV dan radio, yang terbukti sangat efektif dalam meningkatkan kepedulian masyarakat umum terhadap bahayanya HIV/AIDS, agar masyarakat mempertimbangkan melakukan tes HIV secara sukarela.
* Semakin banyak Odha diberi kesempatan untuk mengikuti pelatihan keterampilan, termasuk mengenai pengelolaan KDS, dan berbicara di depan umum. Lebih dari 100 Odha dan anggota komunitas juga sudah terlatih sebagai pendidik pengobatan, agar dapat mendukung Odha yang mulai ART
Namun masih banyak yang harus dilakukan: * Walaupun jumlah RS Rujukan AIDS sedang ditingkatkan menjadi lebih dari 75 RS, ART tetap sulit terjangkau untuk kebanyakan Odha di Indonesia yang tinggal di luar kota besar. Sementara ada
Lembang Jawa Barat 26-30 September 2005
9
S
u
m
b
e
r
I
n
f
o
Kongres Nasional Orang dengan HIV/AIDS I
mekanisme agar puskesmas dapat dijadikan satelit dari RS tersebut, prosedur pelaksanaan hal ini belum jelas dan pada saat ini masih kurang dari lima puskesmas yang dapat melayani ART.
karena ada beberapa jenis obat yang habis. Upaya untuk meyakinkan kepatuhan terhadap terapi menjadi sia-sia bila obat tiba-tiba tidak tersedia. * Semakin banyak Odha diketahui terinfeksi virus hepatitis. Infeksi hepatitis dan HIV secara bersamaan sangat merumitkan pelaksanaan ART, dan biaya pengobatan untuk hepatitis belum terjangkau. Para ahli penyakit dalam, terutama spesialis hati, harus didorong agar lebih terlibat dalam layanan kesehatan untuk Odha, dan harus ada upaya untuk memudahkan akses pada pengobatan untuk hepatitis.
* Pada saat ini kurang dari 10 persen orang yang diperkirakan terinfeksi HIV di Indonesia telah mengetahui statusnya. Hanya mereka yang mengetahui dirinya terinfeksi HIV dapat memperoleh manfaat dari ART. Layanan konseling dan tes sukarela (VCT) harus diperluas dan disosialiasikan agar yang pernah berperilaku berisiko dapat didorong dan dipermudah dalam melakukan tes.
* Alasan kematian kebanyakan Odha di dunia adalah tuberkulosis (TB), dan jelas keadaan serupa terjadi di Indonesia. Petugas yang menangani TB, terutama di puskesmas, harus mengambil sikap untuk mencurigai terhadap kemungkinan pasien TB juga terinfeksi HIV.
* Depkes mengakui bahwa “Stigma petugas kesehatan...terhadap Odha masih belum bisa ditangani bahkan di beberapa [RS Rujukan AIDS] stigma ini demikian tebal.” Dibutuhkan upaya yang lebih tegas dan jelas dalam menghadapi stigma dan diskriminasi, termasuk kebocoran pada kerahasiaan. Semua hal tersebut terbukti menjadi hambatan untuk orang yang ingin melakukan VCT serta untuk Odha yang mencari layanan kesehatan termasuk ART.
* Semakin banyak pengguna narkoba suntikan (IDU) yang aktif terinfeksi HIV. Kepatuhan terhadap ART di antara mereka selalu menimbulkan tantangan. Salah satu solusi terhadap tantangan ini adalah dengan pemberian metadon pada orang tersebut sebagai pengganti narkoba. Namun saat ini, hanya ada 2 3 klinik metadon di Indonesia; dibutuhkan puluhan klinik tersebut di hampir semua kota besar di Indonesia.
* Ketersediaaan obat antiretroviral (termasuk untuk bayi dan anak, serta lini kedua) dan obat untuk infeksi oportunistik harus terjamin. Sejak dimulai layanan ART oleh Depkes, sudah beberapa kali muncul kepanikan di antara Odha pengguna ART
Lembang Jawa Barat 26-30 September 2005 10
S
u
m
b
e
r
I
n
f
o
Kongres Nasional Orang dengan HIV/AIDS I
ditekan agar menjadi terjangkau untuk semua.
Kami mendesak: * Layanan pengurangan dampak buruk narkoba suntikan (harm reduction), termasuk tempat pemulihan ketergantungan, pertukaran jarum suntik dan penyediaan metadon sebagai pengganti narkoba, harus diterapkan serta lebih terjangkau di seluruh wilayah Indonesia yang menghadapi epidemi HIV terkait penggunaan narkoba suntikan.
* Anggaran pemerintah untuk subsidi ART harus dilanjutkan, agar ketersediaannya terjamin untuk 2006 dan seterusnya. * KPA tingkat kabupaten dan kota harus diperkuat agar dapat berperan secara optimal dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS di daerah masing-masing, termasuk dalam perawatan, dukungan dan pengobatan untuk Odha. KPA di setiap tingkatan harus menetapkan KDS yang sudah ada di daerahnya sebagai anggota, dengan Odha diperkerjakan dalam sekretariat KPA di setiap tingkatan.
* Masalah infeksi HIV di dalam lembaga pemasyarakatan (LP) harus dihadapi secara lebih tegas. Harus ada program untuk mengurangi risiko infeksi pada warga binaan/tahanan, dan harus ditingkatkan layanan kesehatan untuk mereka yang jatuh sakit, dengan pertimbangan dibangun kerja sama antara LP dan RS Polri.
* Pedoman dan peraturan yang berhubungan dengan layanan kesehatan harus diterapkan, ditegakkan dan dievaluasi. * Sistem keringanan pembiayaan kesehatan untuk keluarga miskin harus disempurnakan. Pemerintah harus memberi perhatian jauh lebih besar kepada kesulitan yang dialami oleh masyarakat miskin dalam memperoleh keringanan tersebut.
* Pencegahan penularan HIV dari ibu-kebayi (PMTCT) harus mendapat perhatian yang lebih serius, termasuk pelatihan khusus untuk dokter puskesmas dan bidan, untuk menekan jumlah bayi yang lahir dengan infeksi HIV. Biaya untuk layanan PMTCT harus
(Sumber: Warta AIDS)
Lembang Jawa Barat 26-30 September 2005 11
S
p
e
s
i
a
l
I
n
f
o
RRI, Transformasi Setengah Hati oleh : Masduki, M.Si*
S
Soal pendanaan? Pasal 34 menyebutkan untuk mendanai kegiatan dalam rangka mencapai tujuan, RRI memiliki sumber pendanaan yang berasal dari iuran penyiaran, anggaran pendapatan dan belanja negara/daerah, sumbangan masyarakat, siaran iklan, usaha lain yang terkait dengan penyelenggaraan penyiaran. Sesuai urutannya, iuran dan APBN/D menjadi sumber utama RRI. Ini yang membedakan status RRI sebagai radio publik dengan status sebelumnya sebagai perusahaan jawatan (PP No. 37/2000), status yang mendorong RRI sebagai media komersial. Sosialisasi dan implementasi PP tersebut kini menjadi agenda krusial bagi insan RRI, meski berbagai pihak masih mencoba mempersoalkan sejumlah pasal dalam PP No. 12/ 2005 karena masih bertentangan dengan UU No. 32/2002. Sebagai sebuah terobosan yuridis, PP tersebut telah disahkan, lebih awal dari PP lain untuk penyiaran komersial dan komunitas. Beberapa pasal di dalamnya seperti yang tersebut di atas telah lebih maju dan lebih baik bagi RRI sebagai media penyiaran yang paling tua dan paling mengakar di benak masyarakat hingga ke pelosok. Jika tidak ada perubahan, terhitung sejak Desember 2005 nanti, PP tersebut harus sudah final dilaksanakan. Dewan pengawas sudah terbentuk, direktur baru RRI sudah terpilih, yaitu wartawan senior Parni Hadi. Siapkah RRI bertransformasi? Dalam tulisannyaberjudu“the l: mythology of commercial broadcasting and the contemporary crisis of public broadcasting”(1997), Roberrt McChesney, dosen universitas Wisconsin USA menyebut terjadinya krisis atas lembaga penyiaran publik seperti RRI di Indonesia, akibat invasi kekuatan neoliberal, yang menuntut pengalihan status korporasi milik pemerintah menjadi swasta. Ia menulis:the decline of public service broadcasting is the logical consequence of the worldwide neoliberal adoption of the market and commercial values as the superior regulator of the media. Pemerintah di sejumlah negara, termasuk Indonesia
ebuah pertanyaan serius muncul di masyarakat, pertanyaan bernada gugatan. Mengapa kalau mau membuat acara talkshow atau memasang iklan layanan sosial di RRI harus membayar sekian rupiah? Bahkan lebih mahal dari tarif iklan di radio swasta? Mengapa di RRI ada institusi atau bidang pemasaran yang tugasnya mencari dana operasional sebanyak-banyaknya? Bukankah sudah ada subsidi bahkan dana alokasi khusus yang secara rutin bersumber dari pemerintah? Banyak aktivis LSM termasuk LSM perempuan dan LSM kesehatan reproduksi yang kebingungan hingga akhirnya memilih radio swasta sebagai mitra kerja. Pertanyaan itu muncul dari ketidaktahuan, tetapi bisa pula sikap protes atas pergeseran RRI, transformasi yang tidak bermuara pada kehendak sesungguhnya dari masyarakat selaku pemilik radio perjuangan ini. Kondisi itu kiranya harus menjadi renungan insan RRI dan pemerhati media publik, pada momentum ulang tahun radio atau hari radio, yang diperingati setiap tanggal 9 September. Momentum peringatan tahun ini harus menginspirasi upaya menjelaskan, melibatkan publik dalam proses transformasi RRI agar tidak tergelincir menjadi radio komersial. Peraturan Pemerintah No. 12/2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik RRI menegaskan, RRI sesuai pasal 14, 15, 60 dan 62 UU No. 32/2002 tentang penyiaran harus berubah menjadi lembaga penyiaran publik. Lembaga itu berbentuk badan hukum yang didirikan oleh negara, bersifat independen, netral, tidak komersial dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat. Pasal 3 ayat 1 PP tersebut menegaskan RRI adalah lembaga penyiaran publik yang independen, netral dan tidak komersial. Untuk mengawasi kinerjanya, RRI harus membentuk dewan pengawas yang terdiri dari unsur internal dan eksternal. 12
S
p
e
s
i
a
melalui kebijakan privatisasinya, cenderung mempertimbangkan keuntungan komersial dari penjualan aset negara demi membayar hutang luar negeri dan membiayai sektor lain, dengan cara menjual lembaga penyiaran di pusat dan daerah. Fenomena pengalihan pemilikan sejumlah radio siaran pemerintah daerah dan perubahan status RRI sebelum penyiaran publik sebagai perusahaan jawatan, identik dengan pemikiran tersebut. Dengan alasan efisiensi, dan lemahnya kemampuan pembiayaan negara, RRI diubah bentuk sebagai “media komersial” ala pemerintah, melalui institusi bagian pemasaran. Dan akibatnya berlakulah ketentuan tarif bagi program eksternal dan iklan layanan, termasuk dari kalangan LSM yang seharusnya mendapat porsi gratis karena pembelaannya kepada kaum marginal. Konsolidasi kekuatan neoliberal yang berlangsung paska reformasi 1998, membuat sejumlah kebijakan pemerintah rancu, termasuk atas status RRI. Perubahan status dari perusahaan jawatan ke penyiaran publik melalui PP No. 12/2005, bukan berarti otomatis merubah paradigma yang berkembang di kalangan insan RRI dan pemerintah. Secara yuridis harus diakui ada perubahan status, tetapi secara de-facto dan kultural, tidak banyak yang berubah dari performa RRI. Ibarat pandangan mata sudah jauh ke depan, tetapi badan tetap berdiri tegak di satu titik, tanpa mau berjalan atau berlari mengejar pandangan mata yang sudah jauh. PP yang dibuat dengan kesan ketergesaan lebih tampak sebagai pemenuhan atas amanat UU No. 32/2002 yang mengharuskan adanya PP. Pemenuhan amanat ini dipandang sebagai pengejawantahan teks UU ke teks PP semata, tanpa spirit dan upaya simultan untuk menemukan etos implementasinya. Tampilnya wartawan senior, mantan kepala kantor berita nasional Antara, Parni Hadi sebagai direktur RRI memberi harapan perubahan
l
I
n
f
o
kinerja RRI, dari institusi tempat berkumpulnya pegawai negeri sipil (PNS) yang birokratis, menjadi institusi profesional broadcaster publik, meski harus tetap mempertahankan PNS sebagai motor penggerak utama. Perubahan harus dilakukan dengan membentuk desk yang menangani pengobatan penyakit birokratis RRI. Penyakit yang sarat kemalasan, feodalisme, uang dan nepotisme kekuasaan. Agenda kaum neoliberal yang tetap menginginkan RRI sebagai media komersial, dengan menghembuskan pemikiran pesimistik atas statusnya sebagai lembaga penyiaran publik, harus dilawan dengan bukti nyata membenahi pola penyiaran acara di RRI. Pola lama yang akrab dengan propaganda, memulai sebuah perbincangan, mengemas acara berdasarkan pesanan dari pejabat atasan di pusat dan daerah, harus dibalik. RRI dalam jurnalismenya perlu menerapkan jurnalisme publik, sebuah gaya peliputan dan penulisan yang memulai agenda setting-nya dari apa dan bagaimana publik memikirkan nasib mereka atas kebijakan yang diberlakukan pemerintah. Dengan cara ini, publik makin merasa memiliki RRI. Korupsi dan minimnya transparansi adalah masalah besar yang dihadapi RRI untuk mengembalikan kepercayaan dalam mengelola dana publik, seperti iuran dan APBN/D. Sikap tegas memberhentikan pejabat yang korup harus dilakukan sebelum RRI kembali mencoba berdialog dengan stakeholders termasuk kalangan LSM membicarakan pendanaan publik. Penulis yakin, kendala utama menjadi radio publik bukan pada minimya sumber dana, tetapi krisis kepercayaan publik atas RRI akibat tidak becusnya mengelola dana publik. Saat ini, proses transformasi RRI menjadi radio publik masih setengah hati. Padahal publik sudah menunggu lama, karena mereka mulai jenuh dengan pelayanan media penyiaran komersial yang bertabur gosip, iklan konsumtif dan tayangan hiburan semata, media ini tidak mendidik dan mencerahkan kehidupan yang makin sulit di Indonesia.(*Penulis adalah Dosen Ilmu Komunikasi FISB UII Yogyakarta)
sebagai kepala sejak tahun 1987. Sudah banyak dan sering, Newsletter ini memuat info buku seputar jurnalistik dan media massa. Karena itu mungkin saja pembaca -terutama yang berminat dengan jurnalistiktelah memiliki buku-buku tentang jurnalistik itu. Namun demikian, tak ada salahnya buku ini Anda miliki juga, selain sebagai bahan pengayaan, barangkali pembaca juga ingin tahu, materi jurnalistik macam apa yang telah diajarkan kepada calon dan wartawan Kompas , sebuah harian terbesar di negeri ini dengan mutu berita yang terjaga dari waktu ke waktu, akurat dan jauh dari sensasi. (Anung)
..........Sambungan hal 14
ringan dibaca. Tidak terlalu teoritis, namun banyak contoh tentang praktik jurnalistik yang telah dilakukan jurnalis kawakan dunia. Buku yangto the point membahas jurnalisme ini cukup padat isi dan mudah dipahami awam. Itu lantaran, di samping latarbelakang sang penulis adalah wartawan senior. juga jabatan terakhir yang disandangnya sebagai Kepada Lembaga Pelatihan Jurnalistik InternKompas. Juga buku ini disajikan dari hasil rangkuman dan catatan-catatan pendidikan jurnalistik intern Kompas, yang telah dijalani oleh penulis 13
I
n
f
o
B
u
k
u
“Skeptis itulah Ciri Khas Jurnalisme” Sudah cukup banyak buku-buku Filsuf Inggris Bertrand tentang jurnalisme yang telah beredar Russell, memberi nasihat kepada di masyarakat, baik buku tentang mahasiswanya : jurnalisme yang sarat dengan teori“Lakukanlah pengamatan teori maupun yang aplikatif. Kita sendiri. Seharusnya Aristoteles dapat tinggal pilih sesuai selera dan menghindari kekeliruan tentang keyakinan kita, buku mana yang perkiraannya bahwa wanita membawa manfaat bagi kita. Tentu saja mempunyai jumlah gigi yang lebih tidak ada salahnya, jika kita ingin sedikit dari pria andaikan saja ia mau mengenal tentang jurnalisme secara meminta istrinya untuk membuka mendalam, seluruh buku tentang mulutnya dan menghitungnya. jurnalisme kalau perlu harus kita miliki, Menganggap bahwa kita tahu, iya kan? padahal tidak, adalah kesalahan fatal Penulis-penulis buku tentang yang cenderung kita lakukan”. jurnalisme pun bervariasi, ada yang Bertindak,action, adalah corak berasal dari akademisi dan praktisi, kerja wartawan. Karena itu, sehingga dalam satu tema wartawan yang baik adalah bisa disajikan dalam nuansa wartawan yang terjun yang berbeda oleh masinglangsung ke tempat kejadian Judul buku : Catatan-catatan Jurlanisme Dasar masing penulis, sehingga sebagai pengamat pertama. Penulis : Luwi Iswara pembaca dapat menerima Peristiwa tidak terjadi di Penerbit : Kompas masukan dari berbagai ruang redaksi. Halaman : x+160 halaman sudut pandang. Nah, jika Ada cerita lagi. Suatu Tahun : 2005 ingin mendalami jurnalisme ketika, Ernest Hemingway, dengan nuansa yang lain, yang memulai kariernya buku ini kiranya dapat jadi sebagai penulis lebih dahulu menjadi wartawan The Toronto Star, diundang menghadiri alternatif. Sepintas jika kita membaca bagian daftar isi, maka konferensi pers oleh diktator Italia Benito Mussolini. Bersama layaknya buku-buku lainnya yang mengupas jurnalistik, dengan wartawan-wartawan lain, Hewingway dihantar ke banyak terdapat persamaan topik bahasan dalam buku ini ruang Mussolini. Mereka mendapatkan diktator itu sedang seperti : Wartawan, Berita dan Nilai Berita, Sumber Berita, asyik memperhatikan sebuah buku. Sementara wartawan Menulis Berita, Struktur Berita, Gaya Penulisan dan lainlainnya menunggu, Hemingway berjinjit mendekati Mussolini lain. Namun jika kita baca isinya maka akan terasa ada untuk melihat buku apa yang sedang dibaca oleh sang diktator perbedaan dengan buku lainnya. Isinya lebih menukik ke itu. “Kamus Perancis-Inggris, yang dipegang terbalik,” persoalan-persolaan riil jurnalistik, dengan disertai kutipandemikian tulis Hemingway dalam berita korannya. kutipan empu jurnalis kawakan Amerika -negara yang jadi Bagi seorang wartawan, keingintahuan adalah senjata kiblat jurnalistik dunia— di antaranya Joseph Pulitzer, dengan yang harus selalu diasah. Keingintahuan menghasilkan tiga tuntutan kepada wartawannya yakni, Accuracy, accuracy, kreativitas, ketekunan, semangat, dan penilaian yang baik. accuracy! . Tanpa rasa ingin tahu, karier seorang wartawan akan punah. Buku setebal 160 halaman ini, memang enak dan Begitulah sebagian kutipan yang disajikan dalam buku ini, buku tentang Jurnalisme yang “gress” keluaran Juli 2005. bersambung ke hal 13 .....
14
I
n
f
o
B
u
k
u
Perempuan & Politik dalam Pandangan Islam sholat. Dan ketika larangan itu dianalogikan Sedikitnya jumlah perempuan dalam masalah kepemimpinan negara, yang menduduki dunia politik seringkali sungguh ini tidak proporsional, karena menimbulkan pertanyaan. Mengapa dalam sholat ini merupakan ibadah murni, perempuan enggan berada di dunia yang sedangkan memimpin negara merupakan kata banyak orang, politik penuh dengan urusan duniawi. Dan dalam urusan yang kekuasaan, intrik dan saling menginjak. kedua ini manusia, laki-laki dan perempuan Ada beberapa faktor diduga sebagai mempunyai hak dan kewajiban yang sama penyebab perempuan terkucil dari untuk menjadi khafilah di bumi sesuai lembaga politik. Mulai dari kendala dengan kapasitas kemanusiaannya. (hal. 86) budaya, tafsir agama, ekonomi, dukungan Oleh karenanya, buku yang ukurannya keluarga hingga sistem politik itu sendiri seperti buku saku ini sangat bermanfaat yang memang tidak ramah terhadap untuk dibaca karena berisi tentang perempuan. pandangan hukum agama Islam. Selain itu Hal lain yang mendasar yakni juga buku ini juga memuat beberapa konstruksi masyarakat terhadap penawaran solusi dari persoalan yang keberadaan perempuan dan laki-laki, dihadapi masyarakat Indonesia. sehingga nilai-nilai yang diberikan Persoalan itu salah terhadap mereka itu satunya bisa dilihat dari akhirnya menghasilkan sifat Judul buku : Perempuan dan Politik kondisi dan ketimpangan maskulin dan feminin. Dan Penulis : Siti Musdah Mulia & Anik Farida posisi perempuan yang adanya jeratan budaya yang Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama tercermin dalam kualitas memperlakukan laki-laki kehidupan. Ketimpangan itu lebih bernilai dari pada Halaman : 176 halaman terjadi pada aspek kesehatan, perempuan itu akhirnya Tahun : 2005 pendidikan, ketenagakerjaan, mengakibatkan posisi ekonomi, hukum, hak asasi perempuan tidak setara manusia dan aspek politik. Namun ketimpangan lain dalam dengan laki-laki. Dengan banyaknya kendala tersebut, sangat sulit bagi agama merupakan kajian yang ditekankan dalam buku ini. Masalah utama yang dihadapi dalam hal agama ini perempuan berada di dunia politik, apalagi hingga perempuan mencapai karir tertinggi di dunia politik formal. Dari sekian adalah: pertama, rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat mengenai nilai-nilai agama yang menjelaskan banyak jumlah anggota DPR pada periode 1999-2004 misalnya, peranan dan fungsi perempuan. Kedua, masih banyaknya paling hanya 9% atau sekitar 45 orang saja. (hal. 26) Beberapa kasus yang diceritakan sebagai pengalaman penafsiran agama yang merugikan kedudukan dan peranan perempuan di dunia politik dalam buku ini menunjukkan perempuan. (hal. 103). Penafsiran agama yang merugikan bahwa perempuan harus berjuang dua kali lebih keras di perempuan itu tentu dipengaruhi oleh faktor budaya, sosial, banding laki-laki. Bagaimana perempuan masih dituntut kecenderungan politik, dan faktor psikologis sang penafsir. Upaya-upaya yang yang harus dilakukan perempuan menjadi ibu yang baik ketika harus berhadapan dengan dalam rangka mengubah kebijakan publik dapat melalui pekerjaannya, yang itu tidak dialami laki-laki. Kendala struktural maupun kultural tersebut secara sistematis telah advokasi. Karena advokasi bagi penulis dapat ditempuh melalui 4 cara, yakni penyadaran masyarakat, lobi, menyebabkan perempuan menjauh dari dunia politik (hal.42). Belum lagi jika persoalan ini ditilik dari kacamata agama. kampanye, dan litigasi. Pada akhirnya, buku ini juga menawarkan langkah-langkah yang berkaitan dengan masalah Banyak tafsir teks Al-Qur’an yang dilakukan ulama melarang adanya kepemimpinan perempuan. Namun, tidak salah jika kebijakan. Mulai dari sifat masalah, penyebabnya, pemetaan Jamal Badawi (1995) menyimpulkan bahwa tidak satu ayat masalah, dan masalah teknis lainnya yang butuh kerja keras pun dalam Al-Qur’an yang menyebut larangan perempuan perempuan dalam perumusan kebijakan pada level negara. (may) menjadi pemimpin, meski ia membuat reservasi untuk imam 15
16