BUKU PRAKTIKUM FARMAKOLOGI II STRATA 1 – S1 ANGKATAN - 2017
Tim penyusun: Tim KBI Biomedik dan Farmakologi
0
DATA PRIBADI
FOTO
NAMA
:
………………………………………………………….
NIM
:
………………………………………………………….
PRODI
:
………………………………………………………….
JURUSAN
:
………………………………………………………….
SEMESTER :
………………………………………………………….
KELAS
………………………………………………………….
:
1
KATA PENGANTAR Puji dan Syukur kami haturkan kepada Allah SWT dengan segala limpahan Rahmat yang diberikan sehingga penuntun ini dapat terselesaikan. Penuntun ini merupakan pedoman kerja praktikum Farmakologi II untuk Program Studi Sarjana (S1) Fakultas Farmasi Universitas Mulawarman Angkatan 2017. Selain berisi tuntunan dalam melakukan praktikum, penuntun ini juga memuat bagian dari laporan hasil sehingga segala yang terjadi saat praktikum dicatatkan langsung pada buku ini. Besar harapan kami, agar penuntun ini dapat digunakan dengan baik dan dapat mengefisienkan pekerjaan mahasiswa dalam hal melaporkan hasil praktikum di Laboratorium. Kedepannya, perbaikan akan terus dilakukan sesuai dengan perkembangan keilmuan dan semoga penuntun ini bermanfaat untuk semua. Aamiin.
Samarinda, Februari 2019 Tim Penyusun Buku Praktikum KBI Biomedik & Farmakologi
2
DAFTAR ISI
Biodata Diri
i
Kata pengantar
ii
Daftar isi
iii
Peraturan Praktikum
iv
Petunjuk Umum Praktikum
vii
Percobaan 1 Obat-Obat Anti Cacing
1
Percobaan 2 Obat-Obat Anti Kanker in vivo/in vitro
14
Percobaan 3 Obat-Obat Anti Hipoglikemik Oral
17
Percobaan 4 Obat-Obat Diuretika
32
Percobaan 5 Obat-Obat Antihiperlipidemia
46
Percobaan 6 Uji Toksisitas pada Tikus
70
3
PERATURAN PRAKTIKUM
A. PRAKTIKAN 1. Praktikan adalah Mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Mulawarman yang sedang memprogramkan Mata Kuliah / Praktikum Farmakologi II 2. Praktikan wajib menggunakan pakaian seperti yang dicantumkan dalam tata tertib berpakaian Fakultas Farmasi 3. Praktikan wajib menggunakan jas Laboratorium, masker dan sarung tangan (dalam kondisi tertentu) serta sandal jepit khusus di dalam Laboratorium 4. Praktikan wajib menjaga sikap dan sopan santun kepada seluruh peserta praktikum (Mahasiswa, Dosen, Asisten dan Laboran)
B. DOSEN PEMBINA PRAKTIKUM 1. Dosen Pembina praktikum adalah dosen Fakultas Farmasi yang ditunjuk untuk bertanggung jawab terhadap materi dan keberlangsungan proses praktikum 2. Dosen pembina praktikum memberi arahan pelaksanaan praktikum, memberi soal responsi, memberikan kesimpulan akhir praktikum, memeriksa revisi laporan kelas dan memberi nilai laporan akhir, membuat soal penilaian ujian praktikum, dan menilai hasil ujian praktikum.
C. ASISTEN PRAKTIKUM 1. Asisten praktikum adalah Mahasiswa Fakultas Farmasi yang telah melewati Mata Kuliah dan Praktikum Anatomi Fisiologi Manusia dan Farmakologi I yang memiliki keterampilan Laboratorium dan membantu proses praktikum secara teknis serta aktivitas lainnya. 2. Asisten praktikum membantu mahasiswa selama praktikum, membantu diskusi dan memberi nilai kehadiran, responsi, aktivitas dan laporan harian di
4
lembar penilaian. Nilai tersebut dimasukkan ke dalam fitur pada komputer Laboratorium sesuai dengan format penilaian. 3. Asisten praktikum memberikan respon terhadap laporan yang dikirimkan oleh praktikan secara daring 4. Asisten praktikum melaporkan seluruh kegiatan praktikum kepada Dosen Penanggungjawab Praktikum D. KEGIATAN PRAKTIKUM 1. Praktikan diwajibkan melaksanakan seluruh kegiatan praktikum 2. Praktikan diwajibkan datang 15 menit sebelum praktikum dimulai untuk mengikuti responsi dan mempersiapkan alat serta bahan yang akan di praktikumkan dan yang terlambat lebih dari 10 menit tanpa alasan yang jelas dianggap tidak masuk dan tidak diperbolehkan mengikuti responsi pada hari itu 3. Praktikan diwajibkan mengisi presensi setiap praktikum 4. Praktikan yang tidak mengikuti praktikum karena alasan misalnya sakit dan harus mendapat perawatan, maka praktikan harus membawa surat keterangan dari dokter atau anggota keluarga yang mengetahui kondisi praktikan
dan
mencari
waktu
pengganti
dengan
ketentuan
telah
berkoordinasi dengan Dosen Pembina Praktikum serta telah mendapatkan persetujuan. 5. Praktikan hanya diperbolehkan menggunakan alat dan bahan yang diambil melalui bon alat & bahan dari laboran 6. Ketika praktikum dimulai praktikan diwajibkan sudah mengetahui alur kegiatan yang akan dilakukan dengan indikator telah memiliki bagan kerja percobaan yang akan dicobakan pada hari itu. 7. Laporan praktikum: a. Laporan mingguan yakni laporan yang dibuat 24 jam setelah praktikum dan dibuat secara individu b. Laporan
mingguan
dikirimkan
melalui
email
dengan
alamat
[email protected]
5
c. Ketentuan pengiriman laporan yakni : i. Nama file laporan yakni : (Nama lengkap)<spasi>(Judul Percobaan) ii. Subjek
pengiriman
yakni
:
(LAPORAN)<spasi>(Nama
lengkap)<spasi>(Judul Percobaan)<spasi>(Nama Asisten) iii. Praktikan melakukan konfirmasi kepada asisten melalui pesan singkat ataupun telpon d. Laporan kelas yakni laporan yang dibuat dan dikumpulkan kepada Dosen Pembina Praktikum (maksimal 1 minggu) setelah pelaksanaan ujian praktikum. Laporan ini dibuat oleh kelas praktikum yang pembuatannya dikoordinasikan di internal kelas. Laporan ini akan menjadi syarat ditampilkannya nilai di portal akademik 8. Untuk penilaian proses praktikum adalah sebagai berikut : a. Kehadiran terhitung 10% b. Responsi / Tugas pendahuluan, merupakan syarat masuk praktikum 10%. Nilai lolos responsi ≥ 50. c. Nilai Aktivitas, merupakan 40% dari nilai total keseluruhan. d. Nilai Laporan, merupakan 20% dari nilai total keseluruhan. e. Nilai Ujian Praktikum, merupakan 20% dari nilai total keseluruhan 9. Ketentuan lain mengenai penilaian : a. Apabila praktikan hadir namun terlambat sesuai ketentuan kehadiran, maka akan diizinkan mengikuti praktikum dengan peroleh nilai (1) b. Apabila praktikan tidak peroleh nilai responsi ≥ 50, maka akan terhitung (1) c. Apabila praktikan terlambat sesuai dengan ketentuan kehadiran, maka akan peroleh nilai 50% dari total nilai aktivitas d. Apabila praktikan terlambat mengirimkan laporan sesuai dengan ketentuan pengiriman laporan, maka akan peroleh 50% dari total nilai laporan e. Apabila praktikan tidak hadir saat ujian praktikum berlangsung, maka akan peroleh nilai (0) dan menjadi faktor pengali
6
PETUNJUK UMUM A. TUJUAN MELAKUKAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI 1.
Mahasiswa mengetahui penanganan dan pemusnahan hewan coba
2.
Mahasiswa melihat sendiri pengaruh atau khasiat suatu obat atau bahan pada jaringan hidup, organ atau binatang coba
3.
Setelah mengadakan observasi yang teliti dan mengumpulkan data, kemudian mahasiswa menganalisis data sehingga mendapat simpulan.
4.
Mahasiswa dapat membandingkan hasil percobaan dengan pendapat atau teori yang ada dan kemudian mengambil kesimpulan
5.
Praktikum dapat membantu mahasiswa dalam mempelajari farmakologi
B. PETUNJUK KERJA LABORATORIUM FARMAKOLOGI 1. Diperlukan kerja yang serius dan mengetahui tentang farmakologi dasar. Sebelum memulai bekerja perlu mempelajari serta memahami petunjuk dan prosedur setiap percobaan. 2. Tiga hal yang perlu diperhatikan selama bekerja di Laboratorium Biomedik dan Farmakologi a. Kebersihan Selama bekerja, laboratorium selalu dijaga kebersihannya dan kenakanlah jas laboratorium praktikum yang bersih. Demikian pula alat-alat yang dipakai untuk praktikum.Setelah selesai melakukan
7
percobaan, bersihkan dan keringkan alat-alat, cuci wadah binatang dan kembalikan ketempat semula, kertas-kertas atau benda-benda lain yang tidak berguna dimasukkan kedalam keranjang sampah dan tinggalkan laboratorium dalam keadaan bersih, rapi seperti pada waktu anda memasukinya. Dalam beberapa hal mungkin perlu pembersihan dengan desinfektansia. Sampah biologis seperti sisa jaringan, sampel darah, atau hewan mati, perlu dibungkus plastik untuk selanjutnya di insinerasi (diabukan) atau dipendam. b. Ketepatan Ketepatan yang harus diperhatikan : ● Ketepatan dalam menimbang ● Ketepatan dalam mengukur volume larutan, suspensi atau sediaan obat lain yang akan diberikan. ● Ketepatan dalam menentukan dosis obat yang akan diberikan. ● Ketepatan cara pemberian obat. c. Pengamatan Percobaan akan memberikan hasil yang baik jika pengamatan dilakukan secara layak dan setiap perubahan yang terjadi harus segera dicatat.
3. Setiap kali praktikum, akan diadakan penjelasan singkat percobaan oleh pembimbing praktikum (dosen) atau asisten praktikum untuk masingmasing pertemuan. 4. Praktikan harus menyiapkan cara kerja rinci sebelum memasuki laboratorium. Dengan demikian waktu yang tersedia dapat dimanfaatkan untuk melaksanakan eksperimen 5. Praktikan yang tidak dapat mengikuti praktikum sesuai dengan jam kelasnya, diperkenankan mengikuti praktikum di kelas lain dengan terlebih dahulu mendapat ijin dari dosen Pembina praktikum, selama topik yang di ujikan sama. Tidak dilakukan pengulangan praktikum. 6. Situasi kerja di laboratorium harus tenang tanpa keributan atau menimbulkan suara gaduh atau nyaring yang dapat menyebabkan depresi
8
pada hewan coba serta mengganggu konsentrasi praktikan lain. 7. Hewan harus diperlakukan manusiawi, nyaman dan tidak depresi, untuk itu maka jari tangan praktikan dilarang memiliki kuku panjang, yang menyulitkan cara memegang hewan serta menghindari kontaminan kutu dan virus hewan bagi praktikan. 8. Peserta praktikum tidak boleh meninggalkan laboratorium selama praktikum berlangsung, kecuali dengan ijin khusus dari pembimbing praktikum. Hanya seorang praktikan dari suatu kelompok yang diperbolehkan meninggalkan laboratorium. 9. Rombongan praktikum akan dibagi menjadi kelompok-kelompok, setiap kelompok bertanggung jawab atas peralatan yang dipakai, dan percobaan yang dilakukan. Dalam semua percobaan, perlu adanya pembagian tugas dalam suatu kelompok, misalnya: sebagian, menyiapkan alat-alat dan obatobatan, mencatat dosis yang digunakan dan menetapkan kadar obat dalam sampel biologis. Sebagian lain, menyiapkan binatang percobaan dan memberikan obat pada binatang tersebut, sisanya melakukan pengamatan dan mencatat hasil pengamat. 10. Praktikan diharuskan mencatat hasil percobaan dan di tandatangani oleh masing-masing asisten pada setiap akhir percobaan. 11. Beberapa percobaan hanya diperlukan hasil tiap kelompok, lainnya memerlukan hasil-hasil dari kelompok lain untuk dihitung secara statistik. 12. Setiap kerusakan atau gangguan harus dilaporkan secepatnya. 13. Sebelum mulai percobaan, alat-alat yang diperlukan dicek. 14. Binatang percobaan diperlakukan dengan kasih sayang. Hal ini akan membantu praktikum dalam melakukan percobaan, dan mengurangi pengaruh yang tidak dikehendaki yang disebabkan karena takut dan sebagainya. Binatang jangan disakiti. 15. Pada awal atau akhir praktikum akan diadakan responsi dan adanya responsi ulang atas dasar kebijakan dari pembimbing praktikum atau asisten praktikum.
9
10
FARMAKOLOGI OBAT-OBAT ANTICACING
A. TUJUAN Mahasiswa mampu memeriksa adanya telur atau larva cacing parasit pada hewan uji dan membandingkan dengan pengujian obat terhadap model mencit yang terinfeksi cacing.
B. PRINSIP PERCOBAAN Mencit diinduksi dengan telur cacing kemudian didiamkan selama 7 hari kemudian diberi bahan uji yang berpotensi sebagai anti cacing. Selanjutnya, diambil feses atau usus mencit dan dilihat dibawah mikroskop dan dibandingkan hewan uji yang tidak diberi bahan uji.
C. DASAR TEORI Dalam mempelajari parasit, ada berbagai istilah dan definisi. Ditinjau dari asal kata, parasitologi berasal dari kata parasitos yang berarti jasad yang mengambil makanan dan logos yang berarti ilmu. Dengan demikian parasitologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari jasad-jasad yang hidup untuk sementara atau tetap di dalam atau pada permukaan jasad lain dengan maksud untuk mengambil makanan sebagian atau seluruhnya dari jasad itu. Parasit dibagi atas : 1. Zooparasit yaitu parasit yang berupa hewan dan dibagi menjadi : a.
Protozoa yaitu hewan bersel satu seperti amoeba b. Metazoa yaitu hewan bersel banyak yang dibagi menjadi helminthes (cacing) dan arthropoda (serangga). 2. Fitoparasit yaitu berupa tumbuh-tumbuhan yang terdiri dari : a. Bakteri b. Fungus 3. Sphirochaeta dan Virus
11
Pada umumnya parasit adalah jasad hidup yang lemah yang membutuhkan jasad lain untuk kelangsungan hidupnya. Jasad tempat hidup parasit disebut hospes (inang) yang kemungkinan dapat menderita berbagai kelainan fungsi dan organ akibat parasit tersebut.
Parasit dapat digolongkan pula berdasarkan sifat-sifatnya : 1. Menurut tempat hidupnya, parasit dibagi atas ektoparasit dan endoparasit. Ektoparasit adalah parasit yang hidup pada permukaan hospes seperti tuma, sedangkan endoparasit adalah parasit yang hidup dalam organ tubuh hospes, seperti cacing gelang yang hidup di dalam rongga usus manusia. 2. Menurut keperluan akan hospes, parasit dibagi atas parasit obligat dan parasit fakultatif. Parasit obligat adalah parasit yang mutlak membutuhkan hospes untuk kelangsungan hidupnya, misal cacing yang hidup di dalam perut yang jika dikeluarkan dari hospes akan mati. Parasit fakultatif, meskipun memerlukan hospes untuk kelangsungan hidupnya, tetapi dapat hidup tanpa hospes, misalnya nyamuk yang sebenarnya dapat hidup dengan adanya cairan tumbuh-tumbuhan dan air gula. 3. Menurut jumlah spesies hospes yang dapat dihinggapi, parasit dibagi menjadi parasit monoksen dan parasit poliksen. Parasit monoksen hanya menghinggapi satu spesies hospes, misalnya Ascaris lumbricoides yang hanya dapat hidup pada manusia. Parasit poliksen adalah parasit yang dapat menghinggapi berbagai spesies hospes, misalnya Trichinella spiralis yang menghinggapi babi, tikus, manusia, dll.
Dalam perkembangbiakannya, parasit mempunyai lebih dari satu stadium. Pada helminthes dikenal stadium dewasa, larva, dan telur, sedangkan pada protozoa dikenal stadium trofozit (vegetatif) dan stadium kista. Berbagai stadium ini pada spesies-spesies tertentu dapat mempunyai istilah tersendiri.
Penularan infeksi parasit tergantung dari tiga faktor utama, yaitu sumber infeksi, cara penularan dan adanya hospes yang ditulari. Penyakit infeksi
12
parasit seringkali bersifat menahun dan adakalanya disertai dengan sedikit atau tanpa gejala. Oleh karena itu, seorang penderita mungkin saja menjadi sumber parasit (carrier) tanpa memperlihatkan gejala klinis dan dengan demikian dapat menjadi sumber infeksi untuk orang lain. Penularan infeksi parasit dapat terjadi melalui kontak secara langsung atau tidak langsung, misalnya melalui makanan, air, tanah, hewan vertebrata, vektor arthropoda. Transmisi infeksi parasit dapat juga terjadi secara transplasenta atau dari ibu ke fetusnya, misalnya Taxoplasma gondii; transmisi melalui hubungan kelamin, misalnya Trichomonas vaginalis; melalui toilet seat, alat sanitasi, dll.
Penyakit parasit merupakan penyakit yang terdapat di seluruh dunia dan diderita oleh hampir semua usia. Beberapa parasit seperti plasmodium menjadi endemik terutama di daerah tropik dan subtropik. Keparahan infeksi parasit tergantung pada beberapa faktor di antaranya: jenis parasit, jumlah parasit, kegiatan parasit, kondisi imun hospes, dan organ yang diserang. Pada umumnya hampir semua stadium parasit dan toksin yang dikeluarkan dapat bersifat infektif. Kerusakan pada jaringan hospes dapat terjadi selama parasit tersebut transit menuju jaringan atau organ targetnya untuk melakukan siklus hidupnya. Tempat hidup utama parasit dalam tubuh manusia adalah : 1. Pada permukaan epitel saluran cerna, saluran respirasi, saluran urogenital, dan kulit. 2. Cairan ekstraseluler: darah, limfe, dan cairan jaringan. 3. Intraselular: di dalam sel-sel darah dan sel-sel jaringan. 4. Organ khusus : limpa, otak, saraf, otot, jaringan subkutan, dll. Parasit baik yang berada di dalam sel (intraselular) atau di luar sel (ekstraselular), dapat merusak dan menghancurkan banyak sel-sel inang secara langsung. Misalnya parasit malaria (Plasmodium sp.) yang menyebabkan lisis eritrosit; kerusakan sel mukosa intestinal oleh pelekatan nematoda-nematoda tertentu dan oleh invasi amoeba. Efek langsung terhadap tubuh hospes dapat berupa hiperplasia atau neoplasia misalnya akibat infeksi
13
Schistosoma sp. Suatu Tremotoda darah. Kerusakan sel inang dapat terjadi secara tidak langsung akibat reaksi inflamatori atau reaksi imun. Meningkatnya kerusakan sel-sel akibat reaksi inflamatori dan bila inflamatori tersebut menjadi kronis, dapat menyebabkan terbentuknya granuloma jaringan.
Cacing merupakan salah satu parasit yang menghinggapi manusia. Penyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing masih tetap ada dan masih tinggi prevalensinya, terutama di daerah yang beriklim tropis seperti Indonesia. Hal ini merupakan masalah kesehatan masyarakat yang masih perlu ditangani. Penyakit infeksi yang disebabkan cacing itu dapat di karenakan di daerah tropis khususnya Indonesia berada dalam posisi geografis dengan temperatur serta kelembaban yang cocok untuk berkembangnya cacing dengan baik.
Dalam identifikasi infeksinya perlu adanya pemeriksaan, baik dalam keadaan cacing yang masih hidup ataupun yang telah dipulas. Cacing yang akan diperiksa tergantung dari jenis parasitnya. Untuk cacing atau protozoa usus akan dilakukan pemeriksaan melalui feses atau tinja.
Pemeriksaan feses dimaksudkan untuk mengetahui ada tidaknya telur cacing ataupun larva yang infektif. Pemeriksaan feses ini juga di maksudkan untuk mendiagnosa tingkat infeksi cacing parasit usus pada orang yang di periksa fesesnya. Prinsip dasar untuk diagnosis infeksi parasit adalah riwayat yang cermat dari pasien. Teknik diagnostik merupakan salah satu aspek yang penting untuk mengetahui adanya infeksi penyakit cacing, yang dapat ditegakkan dengan cara melacak dan mengenal stadium parasit yang ditemukan. Sebagian besar infeksi dengan parasit berlangsung tanpa gejala atau menimbulkan gejala ringan. Oleh sebab itu pemeriksaan laboratorium sangat dibutuhkan karena diagnosis yang hanya berdasarkan pada gejala klinik kurang dapat dipastikan.
14
Pemeriksaan telur cacing dari tinja apat dilakukan untuk mendapatkan hasil kualitatif dan kuantitatif (disebut sebagai cara kualitatif dan cara kuantitatif). Kualitatif
dapat
dilakukan
dengan
beberapa
cara
tergantung pada
keperluannya, yaitu pemeriksaan secara natif (direct slide), pemeriksaan dengan metode apung (flotation method), modifikasi metode merthiolat iodine formaldehyde (MIF), metode selotip (cellotape method), metode konsentrasi, teknik sediaan tebal (cellophane covered thick smear technic), teknik kato, dan metode sedimentasi formol ether (Ritchie).
Kuantitatif dikenal 2 metode pemeriksaan, yaitu metode stoll dan metode kato katz. Pemeriksaan larva dilakukan dengan dua cara yaitu metode pembiakan larva menurut Baermann dan modifikasi Harada Mori. Preparat permanen tergantung yang diperiksa apakah trematoda dan cestoidea, nematoda atau telur, memiliki cara yang berbeda.
Anthelmintik adalah obat/zat kimia yang digunakan untuk mengobati dan mengendalikan penyakit yang disebabkan oleh cacing. Pada umumnya obat ini berbentuk cairan atau tablet atau kapsul. Golongan zat kimia yang digunakan penting untuk diketahui jika kita ingin mengganti anthelmintik yang sudah resisten terhadap parasit. Agar suatu anthelmintik berhasil, kita harus memilih obat yang tepat dan dosis yang benar. Ada berbagai macam anthelmintik yang digunakan untuk mengendalikan infeksi cacing: membunuh cacing, memusnahkan cacing berikut telurnya, dan membunuh telur.
Anthelmintik diklasifikasikan berspektrum luas (broad spectrum) dan berspektrum sempit (narrow spectrum).
Yang termasuk anthelmintik berspektrum luas (Broad spectrum anthelmintic or mayor classes): 1.
Benzimidazoles:Albendazole, Fenbendazole, Mebendazole, Oxfendazole
15
2.
Levamizole / morantel: Levamizole hydrochloride, Levamizole phosphate, Morantel
3.
Macrolytic lactones (Mls) atau “mectins”: Abamectin, Ivennec tin, Moxidectin
Yang termasuk anthelmintik berspektrum sempit (Narrow spectrum or minor classes): 1.
Organophosphare compounds: Naphalophos
2.
(Sallcynillides) substitusi phenol: Closantel, Nitroxynil, Oxyclozanide
3.
Triclabendazole
D. HEWAN UJI Mencit usia 4-6 minggu
E. BAHAN 1.
NaCl fisiologis 0,9% (Infus)
2.
Larutan eosin 2%
3.
Kertas saring
4.
Aquades
5.
Kantung plastik
6.
Piperazin sitrat
7.
Pirantel pamoat
8.
Ekstrak (jika ada)
F. ALAT 1.
Cover glass
2.
Object glass
3.
Tabung reaksi
4.
Rak tabung
5.
Ose bulat dan lurus
6.
Beaker glass
16
7.
Mikroskop
8.
Tabung sentrifugasi
9.
Sentrifugator
10. Gunting
11. Penyaring teh 12. Pipet
G. CARA KERJA 1.
INDUKSI CACING PADA MENCIT a. Telur cacing dikumpulkan dari cacing tanah sebanyak 1 mg kemudian dicampur dengan NaCl fisiologis 0,9%. b. Sebagai alternatif, digunakan bahan yang banyak mengandung cacing, misalnya kotoran ayam yang dibuat dalam bentuk cairan homogen untuk dioralkan ke mencit. c. Diinduksikan pada mencit secara oral. d. Didiamkan selama 7 hari.
2.
METODE APUNG TANPA DISENTRIFUGASI a. 10 gr feses atau usus mencit dicampur dengan 200 mL NaCl 0,9 % kemudian aduk hingga larut. b. Disaring larutan dengan penyaring teh. c. Tuangkan larutan ke dalam tabung reaksi sampai penuh, tetapi jangan sampai tumpah. d. Diamkan 5-10 menit, lalu tempelkan cover glass pada sisi cembung larutan. e. Ditempelkan cover glass ke object glass. f. Kemudian diamati di mikroskop.
3.
METODE APUNG DENGAN DISENTRIFUGASI
17
a. Campuran feses atau usus dan NaCl disaring dengan penyaring teh dan dituangkan ke dalam tabung disentrifugasi. b. Tabung tersebut diputar pada alat sentrifugasi selama 5 menit dengan putaran 10x/per menit. c. Diambil larutan bagian permukaan dengan jarum ose dan taruh pada object glass, lalu tutup dengan cover glass. d. Diamati di bawah mikroskop. 4.
METODE HARADDA-MORI a. Sejumlah tinja atau usus dioleskan pada bagian tengah kertas saring. b. Ditambahkan air ± 2 cc kedalam kantong plastik. c. Kertas saring dilipat kemudian dimasukan kedalam kantong plastik dengan bagian yang runcing terlebih dahulu sampai menyentuh air. d. Bagian atas kertas dilipat sehingga kertas menggantung didalam kantong plastik e. Kantung plastik tersebut dijepit di jemuran. f. Feses tersebut diinkubasi selama 7 hari dengan suhu ruangan g. Setelah 7 hari ujung plastik di gunting, kemudian air di alirkan ke tabung reaksi h. Tabung didiamkan selama 5-10 menit supaya telur mengapung. i. Air itu di ambil beberapa tetes dengan pipet tetes ke atas object glass j. Diamati di bawah mikroskop.
18
H. HASIL PENGAMATAN Kelompok Perlakuan Kontrol Kelompok Uji Obat Pirantel Pamoat Kelompok Uji Piperazin Sitrat
Jumlah Cacing
19
I.
PEMBAHASAN
20
J.
KESIMPULAN
21
DAFTAR PUSTAKA 1.
Gandahusada, S. W. Pribadi dan D. I. Herry. 2000. Parasitologi Kedokteran. Fakultas Kedokteran UI : Jakarta.
2.
Hairani, Budi dan Annida. 2012. “Intestinal parasite incidence on elementary school students in town and village at Tanahs Bumbu District”. Jurnal Buski Jurnal Epidemiologi dan Penyakit Bersumber Binatang. Volume 4 (2) : 102108.
3.
Handayani, Dwi, Muhaimin Ramdja dan Indah Fitri Nurdianthi. 2015. “The Association of Nail and Vended Food Hygiene with Soil Transmitted Helminths Infection in Students of SDN 169 Kelurahan Gandus Kecamatan Gandus Palembang”. Bandung International Scientific Meeting on Parasitology & Tropical Diseases. Volume 9 : 77-83.
4.
Kadarsan, S. 2005. Binatang Parasit. Bogor: Lembaga Biologi NasionalLIPI.
5.
Sehgal, Rakesh. 2003. Practicals and Viva in Medical Parasitology. New Delhi : Elsevier
6.
Natadisastra, Djaenudin dan Ridad Agoes. 2009. Parasitologi Kedokteran Ditinjau dari Organ Tubuh yang Diserang. Jakarta : EGC.
7.
Paniker, CK Jayaram, Sougata Ghosh. 2013. Paniker’s Textbookof Medical Parasitology. Nepal : Jaypee Brother Medical Publishers
6.
22
Pertanyaan 1.
Apakah yang dimaksud dengan Anthelmintik?
2.
Apa saja jenis cacing yang dapat menginfeksi manusia?
3.
Sebutkan jenis cacing yang biasa berada di usus?
4.
Bagaimana siklus hidup cacing? dan berapa lama siklus hidup cacing?
5.
Bagaimana cacing bisa menginfeksi ke manusia?
6.
Bagaimana cara mengidentifikasi infeksi cacing?
7.
Metode apa yang digunakan untuk mengidentifkasi infeksi cacing?
8.
Bagaimana pengaruh pemberian pirantel pamoat, piperazin sitrat terhadap jumlah cacing? Mengapa demikian?
23
FARMAKOLOGI OBAT-OBAT ANTIKANKER
A. TUJUAN Mahasiswa mampu mengerjakan induksi dan meng-assess hasil induksi, serta membaca hasil pengujian obat terhadap model mencit dalam bentuk simulasi. Alternatif percobaan: Simulasi uji antikanker secara in vitro menggunakan cell line (sel kanker yang telah diisolasi).
B. PRINSIP PERCOBAAN In vivo
: Mencit diinduksi DMBA pada punggung secara intradermal,
ditunggu pertumbuhan fibrosarkomanya, kemudian diberi bahan uji yang diduga antikanker. Selanjutnya diamati parameter darah (leukosit total atau parameter darah yang lain) dan pengamatan angiogenesis pada preparat histologi fibrosarkoma. In vitro
: Sel kanker yang telah diisolasi (cell line) di-challenge dengan
bahan uji dalam satu rangkaian konsentrasi. Sel kanker dibuat dalam konsentrasi tertentu dalam media RPMI. Hambatan pertumbuhan sel kanker dilihat dari tingkat kekeruhan media.
C. DASAR TEORI Kanker ditandai dengan adanya pembelahan sel yang tidak terkendali sedangkan mekanisme apoptosis menjadi sangat terbatas. Pengujian antikanker biasanya menggunakan cell line secara in vitro dan induksi kanker menggunakan dimetilbenzantrasen (DMBA) secara in vivo. Kedua pengujian ini memerlukan fasilitas yang lengkap dan teknik safety yang memenuhi standar. Induksi kanker pada mencit yang paling mudah adalah menggunakan model fibrosarkoma.
D. HEWAN UJI Mencit (Mus musculus) jantan usia 4-6 minggu (untuk pengujian in vivo)
24
E. BAHAN 1.
DMBA
2.
NaCl fisiologis (infus)
3.
Spuit 1 cc
4.
Obat sitotoksik oral (siklofosfamid/doxorubicin/yang lain)
5.
Bahan uji (ekstrak atau rebusan bahan alam yang diduga antikanker)
6.
Bahan untuk pewarnaan HE
7.
Pakan dan sekam hewan coba (sekitar 4-6 minggu induksi)
8.
Larutan Turk
9.
Larutan EDTA
In vitro 10. Medium RPMI, MEM, atau yang setara 11. PBS 12. Simulasi lar obat/bahan uji 13. Etanol 70%
F. ALAT 1.
Tabung untuk spesimen darah (bertutup)
2.
Mikropipet tips kuning
3.
Dapar formalin 10%
4.
Pot salep untuk wadah organ
5.
Mikrotom
6.
Obyekglass dan coverglass
7.
Pipet leukosit
8.
Alat bedah ( 1 set per kelompok)
9.
Timbangan digital untuk menimbang bahan dan jaringan kanker
10. Timbangan mencit 11. Kamar hitung Neubauer-impruved 12. Mikropipet 50-500 mikroliter In vitro 10. Well plate 96 well
25
11. Pipet mikro 50-500 mikroliter 12. Beakerglass 100 ml 13. ELISA reader 14. Mikroskop 15. Erlenmeyer untuk wadah media 16. Tabung bertutup untuk wadah sel kanker (simulasi) 17. Inkubator CO2 18. Freezer -80oC
G. CARA KERJA 1. Perlakuan a.
Mencit diinduksi menggunakan DMBA secara intradermal pada punggung, kemudian ditunggu sampai ada penebalan di punggung mencit. Mencit dibagi menjadi kelompok: 1). Normal = tidak diinduksi dan tidak diberi perlakuan 2). Sakit = diinduksi dan hanya ditreatment menggunakan placebo 3). Pembanding = diinduksi dan diberi obat antikanker yang sudah banyak digunakan 4). Perlakuan 1 = diinduksi kemudian diberi bahan uji dengan dosis rendah 5). Perlakuan 2 = diinduksi kemudian diberi bahan uji dengan dosis sedang 6). Perlakuan 3= diinduksi kemudian diberi bahan uji dengan dosis tinggi
b.
Satu kelompok praktikum mhs mendapat 1 mencit sesuai pembagian di atas. Replikasinya akan dilakukan oleh 8 kelas praktikum, sehingga diperlukan 48 mencit uji.
c.
Mencit diberi perlakuan sesuai kelompoknya selama 7 hari. Selama perlakuan, dilakukan penimbangan berat badan setiap 2 hari.
26
d.
Pada hari ke-8, mencit diambil darahnya kemudian dihitung total leukositnya
e.
Selanjutnya mencit dikorbankan menggunakan cervical dislocation. Jaringan kankernya segera diambil, ditimbang, kemudian dimasukkan ke dalam dapar formalin 10%. Kemudian dilakukan preparasi untuk pewarnaan dan pengamatan histologi.
2. Perhitungan total leukosit a.
Dilakukan pengambilan darah melalui vena ekor sebanyak 200 mikroliter, dimasukkan dalam larutan EDTA.
b.
Sebanyak 5 mikroliter darah diambil menggunakan pipet leukosit, kemudian ditambah dengan larutan Turk sampai tanda batas.
c.
Campuran di dalam pipet dicampur dengan cara membolak-balikkan pipet sekitar 1 menit.
d.
Dua tetes dari ujung pipet dibuang, selanjutnya dimasukkan ke dalam kamar hitung Neubauer-improved.
e.
Dilakukan perhitungan pada kamar hitung A,B,C dan D menggunakan mikroskop. Hasil yang didapat dimasukkan ke rumus n x 50.
SIMULASI UJI ANTIKANKER IN VITRO Jika pengujian menggunakan sel manusia, misalnya sel kanker, sel untuk pengujian bisa didapatkan dengan mengisolasi sel dari jaringan kanker pasien yang sudah diangkat. Tingkat keberhasilan prosedur isolasi ini umumnya rendah. Kalaupun berhasil, masa hidup sel kanker hasil isolasi umumnya tidak lama. Maka, sel kanker yang biasa digunakan untuk uji aktivitas antikanker secara in vitro dipilih dari sel kanker biakan murni yang dibeli dari penyedia bahan-bahan biologi. Sel kanker tersebut lazim disebut cell line. Cell line didapatkan dari penderita kanker kemudian dilakukan perlakuan khusus sehingga produk sel yang dihasilkan memiliki masa hidup yang lama dan dapat disubkulturkan. Penyimpanan cell line sendiri memerlukan suhu yang sangat rendah, sekitar -80oC
27
untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Cell line ini cukup mahal, namun bisa disiasati dengan melakukan subkultur terus menerus sehingga tidak perlu beli lagi untuk pengujian selanjutnya. Alat-alat yang diperlukan di laboratorium untuk tujuan in vitro ada pada gambar di bawah ini. Meskipun alat-alatnya sama, laboratorium pengujian in vitro menggunakan mikroba harus terpisah dengan laboratorium in vitro untuk pengujian menggunakan sel. Hal ini disebabkan oleh tingkat kontaminasi mikroba yang sangat tinggi dan mudah berdampak pada biakan sel hewan atau sel manusia.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 2 Alat-alat yang diperlukan di laboratorium uji in vitro yaitu LAF dan kelengkapannnya (a); mikroskop (b); inkubator dan freezer (c); dan microplate reader (d) (koleksi pribadi)
Data pengujian in vitro yang didapatkan bisa berupa data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif yang bisa diamati adalah jumlah sel, bentuk, ukuran,
28
tingkat kekeruhan, dan warna sel setelah dipapar bahan uji. Sedangkan data kuantitatif yang dapat diperoleh adalah data absorbansi dari alat microplate reader atau spektrofotometer yang dapat dikorelasikan dengan jumlah sel sebelum dan setelah pemaparan obat atau bahan uji.
(a)
(b)
Gambar Data kualitatif bentuk, ukuran dan sebaran sel (a), serta kekeruhan media (b) setelah pengujian secara in vitro (koleksi pribadi)
PROSEDUR: A. Persiapan tempat, alat, bahan di dalam Biological Safety Cabinet (BSC) BSC disterilkan, alat-alat dan bahan diletakkan di dalam BSC. Perlengkapan peneliti (sarung tangan dan masker diletakkan di dekat pintu masuk ruang steril. B. Persiapan sel kanker dalam medium cair 1. Medium MEM steril 4,7 g MEM dalam 500 ml air suling, kemudian diautoklaf 120oC selama 20 menit.
29
2. 10% FBS-MEM C6/36 MEM steril 500 mL Heat inactivated FBS 50 mL 100x L-glutamine 5 mL NEAA ( non-essentialamino acid) 5 mL 7,5 sterilized NaHCO3 5-7 mL 3. Cara kerja - Hangatkan 10% FBS/MEM C6/36 pada suhu 37oC - Buang supernatant (gunakan sel dengan persentase sel hidup >90%) - Tambahkan 4 mL 10% FBS-MEM C6/36 ke dalam flask/botol -Botol dibolak balik kemudian diresuspensi dengan menggunakan pipet. - Amati di bawah mikroskop, pastikan sel telah terpisah dan tidak bergerombol - Pindahkan 1 mL suspensi sel dari botol ke wadah steril - Tambahkan 9 mL medium baru -campurkan suspensi sel -tambahkan 100mikroliter suspensi sel ke dalam setiap well dalam plat kultur yang baru.
C. Passage sel vero ke M-96 well cell culture plate Sebelum melakukan passage, buatlah medium 10%FBS-MEM Vero MEM steril
500 mL
Heat inactivated FBS 50 mL 30
100xL-glutamin
5 mL
7,5% sterilized NaHCO3 5-7 mL (adjust sampai pH 7,5)
Cara kerja: 1. Hangatkan 10% FBS-MEM VERO sampai suhu 37oC 2. Buang supernatant (gunakan sel ydengan tingkat pertumbuhan 90%,bukan yang overgrowth) 3. Cuci dengan 2 mL 0,025% trypsin EDTA kemudian buang 4. Tambahkan 2 mL 0,025% trypsin EDTA 5. Diinkubasi pada suhu 37oC selama 5-10 menit 6. Bolak balik botol dengan kuat menggunakan tangan 7. Lihat di bawah mikroskop untuk meyakinkan sel kanker tidak bergerombol 8. Tambahkan 2 mL 10% FBS-MEM VERO dalamT-75 flask atau 5 mL untuk T-25 flask 9. Tapping dengan kuat, dilakukan pippeting untuk mencegah sel menempel 10. Lihat di bawah mikroskop 11. Transfer 1 mL suspensi sel dari T-75 flask ke dalam wadah steril 12.Ditambahkan 9 mL 10% FBS-MEM VERO baru 13. Campur suspensi 14. Masukkan 100 mikroliter suspensi selke dalamsetiap wellpada wellplate 15. Inkubasikan pada 37oC dengan aliran CO2 5%
31
D. INOKULASI SEL 1. Passage sel kanker dari T-75 flask ke 96 wellplate dilakukan 1-2 hari sebelum inokulasi 2. Inkubasi di suhu 28oC, 5% CO2 sampai hampir 80% monolayer 3. Buat 60 mikroliter 11x pengenceran dalam 10% FBS-MEM C6/36. Spesimen ditempatkan di icebox selama proses pengenceran 4. Buang medium lama dari plat kultur 5. Transfer 50 mikroliter specimen encer ke dalam sel 6. Shake plat kultur menggunakan tangan untuk meratakan campuran pada well 7. Inokulasikan pada 28oC, 5% CO2 selama 1 jam. Shake plat kultur setiap 15 menit 8. Tambahkan medium ke dalam sel dengan perlahan dan hati-hati (jangan sampai mengenai lapisan sel) 9. Tambahkan bahan uji (konsentrasi tertinggi di well paling atas, kemudian bergradasi sampai paling bawah), lakukan 3x replikasi. Satu plat akan berisi 2 kolom medium saja (tanpa sel dan tanpa bahan uji) sebagai kontrol sterilitas, 3 kolom pertama untuk obat pembanding, 3kolom ke-2 untuk bahan uji 1, dan seterusnya. 10. Inkubasi pada suhu 28oC, 5% CO2 overnight. Jika lebih dari 3-4 hari, perlu dilakukan passage yang baru. 11. Persiapan melakukan staining untuk mengukur jumlah sel kanker setelah paparan bahan uji
E. IMMUNOSTAINING
32
Persiapan: 1. Buanglah cairan kultur lamadari inoculum 2. Cuci sel dengan PBS 1X 3. Keringkan plat sekitar 2 jam 4. Fiksasi sel dengan 50 mikroliter campuran aseton:methanol 1:1 sebanyak 50mikroliter 5. Inkubasi plate pada -30oC selama 30 menit 6. Buanglah larutan aseton-metanol 7. Keringkan plat selama 15 menit
Pewarnaan: 1. Blok dengan 1% NHS selama 1 menit 2. Tambahkan 1st antibody (4G2 dari mouse asetic fluid) sebanyak 50 mikroliter. Jika belum rata, di-tap 3. Inkubasikan selama 30 menit pada suhu ruangan 4. Tuang ke wadah lebar, ketuk di atas towel 5. Cuci dengan PBS 1x, 3 kali 6. Tambahkan 2nd antibody(biotinylated anti-mouse IgG) 7. Diinkubasikan selama 30 meit pada suhu ruangan 8. Siapkan Avidin&Biotin complex (ABC) 9. Cuci dengan PBS 1X, 3 kali 10. Tambahkan ABC mixture 11. Inkubasikan selama 30 menit pada suhu ruangan
33
12.Cuci dengan PBS 1X, 3kali 13. Tambahkan VIP substrat 14. Cuci dengan PBS 1X, 3kali 15. Tunggu sekitar 10 menit 16 Buang VIP substrat 17. Tambahkan PBS 1X ke dalam setiap well 18. Lihat gradasi warna setiap baris well untuk mengetahui gambaran hambatan pertumbuhan sel kanker 19. Kuantisasikan menggunakan ELISA reader 20. Lihat sel yang telah terwarnai di bawah mikroskop
34
PENGAMATAN
35
PEMBAHASAN
PUSTAKA
36
OBAT-OBAT ANTIHIPOGLIKEMIK ORAL
A. TUJUAN 1. Mengamati pengaruh beberapa golongan obat antidiabetik oral terhadap kadar glukosa darah mencit. 2. Membandingkan kadar glukosa darah hewan coba yang telah diberi obat antidiabetik oral terhadap kelompok kontrol yang tidak diberi obat. 3. Mampu menjelaskan mekanisme kerja obat-obat antidiabetik oral. 4. Mengetahui berbagai cara penginduksian terhadap hewan coba untuk memperoleh kadar glukosa tinggi. 5. Mengetahui berbagai metode pengukuran kadar glukosa darah.
B. PRINSIP PERCOBAAN Hewan uji diinduksikan bahan yang dapat meningkatkan kadar glukosa darah, lalu kemudian diberi perlakuan menggunakan bahan obat yang dapat menurunkan kadar glukosa darah. Selanjutnya hasil dibandingkan dengan kelompok yang tidak diberi obat antidiabetik oral.
C. DASAR TEORI Diabetes diturunkan dari bahasa Yunani yaitu diabêtês yang berarti pipa air melengkung (syphon). Diabetes dinyatakan sebagai keadaan di mana terjadi produksi urin yang melimpah. Diabetes mellitus atau kencing manis adalah suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah (hiperglikemia) disertai dengan
37
gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Kondisi hiperglikemia kronis pada penderita diabetes berasosiasi dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi dan kegagalan beberapa organ, seperti mata, ginjal, jantung, saraf dan pembuluh darah.
Insufiensi fungsi insulin terjadi disebabkan oleh beberapa kondisi patogenik. Kondisi ini berkisar dari kerusakan autoimun sel β-langerhans pankreas dengan konsekuensi terjadi defisiensi hingga abnormalitas insulin yang nantinya akan mengakibatkan resistensi aksi insulin. Adapun dasar terjadinya gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein disebabkan karena penurunan aksi insulin pada jaringan target. Penurunan aksi insulin merupakan akibat dari sekresi insulin yang tidak memamadai dan/atau penurunan respon jaringan terhadap insulin. Penurunan sekresi insulin dan cacat pada aksi insulin sering terjadi berdampingan pada pasien yang sama.
Gejala-gejala umum yang menandai seseorang mengalami hiperglikemia yaitu poliuria, polidipsia, polifagia, penurunan berat badan dan penglihatan kabur. Penderita hiperglikemia kronis lebih rentan terkena infeksi mikroba tertentu. Pada kondisi hiperglikemia akut dapat terjadi sindrom hyperosmolar nonketotik atau ketoasidosis yang mengancam jiwa.
Sebagian besar kasus diabetes mellitus terbagi dalam dua kategori besar etipatogenetik. Kategori yang pertama yaitu diabetes tipe 1, penyebabnya adalah defisiensi mutlak sekresi insulin. Individu yang berisiko terkena diabetes tipe ini teridentifikasi dengan bukti serologis dari proses patologis autoimun di pulau pankreas. Disisi lain, kategori yang lebih umum yaitu diabetes tipe 2 yang disebabkan oleh kombinasi dari resistensi aksi insulin dan respon kompensasi pengeluaran insulin yang tidak memadai. Pada kategori ini, tingkat hiperglikemia cukup untuk menyebabkan perubahan patologis dan fungsional dalam berbagai jaringan target, tetapi tanpa gejala
38
klinis dan dapat hadir untuk jangka waktu yang panjang sebelum diabetes terdeteksi.
American diabetes association (ADA) mengklasifikasikan diabetes mellitus ke dalam 2 kelompok besar. Akan tetapi seiring bertambahnya pasien diabetes yang tidak masuk kedalam dua kategori tersebut, maka dilakukan penambahan kategori yang secara umum dikelompokkan menjadi diabetes mellitus tipe 1 (diabetes mellitus tergantung insulin/IDDM), diabetes mellitus tipe 2 (diabetes mellitus tidak tergantung insulin/NIDDM), diabetes mellitus kehamilan dan diabetes mellitus tipe lain (defek genetik, diinduksi penyakit, obat, dll) Kadar glukosa plasma normal adalah ≤100 mg/dL (≤5.6 mmol/L) dan kadar glukosa plasma 2 jam setelah makan ≤140 mg/dL (≤7.8 mmol/L). Adapun seseorang dikatakan menderita diabetes jika ia memiliki kadar glukosa plasma ≥126 mg/dL (≥7.0 mmol/L) dan kadar glukosa plasma 2 jam setelah makan sebesar ≥200 mg/dL (≥11.1 mmol/L). Pada tahun 1997 dan 2003, Komite Ahli Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus mendefinisikan kondisi pradiabetes yaitu dimana seorang individu kadar glukosa darahnya tidak memenuhi kriteria untuk diabetes tapi terlalu tinggi untuk dianggap normal. Individu yang masuk dalam kategori pradiabetes jika memiliki nilai IFG (Impaired Fasting Glucose) 100 mg/dL–125 mg/dL (5.6–6.9 mmol/L) atau nilai IGT (Impaired Glucose Tolerance) 140 mg/dL–199 mg/dL (7.8– 11.0 mmol/L). Kondisi ini menunjukkan bahwa individu tersebut memiliki resiko lebih besar mengidap penyakit diabetes mellitus di masa datang.
Parameter yang dapat digunakan untuk penegakan diagnosis diabetes mellitus meliputi: ●
Pemeriksaan gula darah atau glukosa darah dapat berupa pemeriksaan gula darah puasa, gula darah sewaktu, serta gula darah 2 jam postprandial. Pemeriksaan gula darah kadangkala kurang memuaskan
39
karena bisa sedikit dimanipulasi dan kondisi psikologis pasien juga dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan ini ●
Pemeriksaan HbA1c cukup membantu dalam mengkonfirmasi diabetes mellitus. Peningkatan kadar gula darah dapat meningkatkan persentase HbA1c. Sel darah merah secara rutin dirombak dalam kurun waktu 120 hari, pemeriksaan HbA1c dapat menggambarkan gula darah dalam empat bulan sebelumnya. Nilai normal dari HbA1c adalah 4-6%.
●
Pemeriksaan peptida C. Proses pemotongan proinsulin dalam badan Golgi akan menghasilkan insulin serta peptida C. Ketika insulin disekresikan, peptida C juga akan turut serta disekresikan. Pemeriksaan peptida C dapat digunakan untuk mengidentifikasi tipe diabetes melitus yang diderita. Pada diabetes melitus tipe 1, peptida C sangat rendah bahkan tidak ada. Pada diabetes melitus tipe 2, peptida C normal atau meningkat.
Terapi farmakologi diabetes mellitus terbagi atas dua bagian yaitu dengan pemberian terapi hormonal menggunakan hormon insulin yang diperoleh dari hewan dan obat-obat kelompok hipoglikemik oral. Insulin merupakan hormon yang disekresi oleh sel β-langerhans pankreas sebagai respon adanya peningkatan gula darah. Insulin meningkatkan penggunaan glukosa dan menyimpannya dalam bentuk glikogen sehingga menyebabkan kadar gula turun. Insulin diperlukan untuk menghantarkan glukosa masuk ke dalam sel otot, tulang, jantung dan jaringan lemak. Adapun kerja insulin di otot yaitu meningkatkan transpor glukosa masuk ke dalam sel, meningkatkan sintesis glikogen dan protein. Pada jaringan lemak yaitu meningkatkan transpor glukosa ke dalam sel dan meningkatkan sintesis lemak (lipogenesisi). Insulin di hati berfungsi untuk menghambat produksi glukosa dan penguraian glikogen.
40
Pada penderita diabetes mellitus tipe 1, pankreas sudah tidak dapat mensekresi insulin dalam jumlah yang memadai sehingga memerlukan suplai insulin eksternal. Secara kinetika, insulin yang digunakan untuk terapi diabetes ada berbagai jenis, ada yang onset yang durasinya pendek, sedang dan panjang.
Obat hipoglikemik oral umumnya digunakan untuk terapi diabetes mellitus tipe 2. Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat golongan ini di golongkan menjadi 3 kelompok, yaitu: ● Obat-obat yang meningkatkan sekresi insulin, meliputi obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea dan glinida (meglitinida dan turunan fenilalanin). ● Sensitiser insulin (obat-obat yang dapat meningkatkan sensitifitas sel terhadap insulin), yaitu golongan biguanida dan tiazolidindion, yang dapat membantu tubuh untuk memanfaatkan insulin secara lebih efektif. ● Inhibitor katabolisme karbohidrat, antara lain inhibitor α-glukosidase yang bekerja menghambat absorpsi glukosa dan umum digunakan untuk mengendalikan hiperglikemia post-prandial (post-meal hyperglycemia). Disebut juga “starch-blocker”.
D. HEWAN COBA
:
Mencit (Mus musculus) galur Swiss webster usia 8-12 minggu
E. BAHAN 1. Aquades 2. Kapas dan tisu 3. Kit glukosa 4. Larutan CMC Na 1 % 5. Larutan glukosa 10 % 6. Larutan iodine 7. Larutan NaCl 8. Larutan Standar Glukosa
41
9. Suspensi glibenklamid 10. Suspensi metformin 11. Suspensi obat herbal (jamu atau herbal terstandar)
F. ALAT 1. Batang Pengaduk 2. Glukosa meter Nesco® 3. Gunting bedah 4. Labu ukur 5. Lumpang dan alu 6. Restrain mencit 7. Spuit 1 mL dan sonde oral 8. Tabung reaksi 9. Timbangan analitik 10. Vortex
G. CARA KERJA Metode induksi hiperglikemia dengan loading glukosa 1. Hewan uji dikelompokkan menjadi 4 kelompok (kelompok kontrol, 2 kelompok obat hipoglikemik oral serta 1 kelompok obat herbal) masingmasing kelompok terdiri atas 5 ekor mencit; 2. Hewan uji dipuasakan selama 8 jam; 3. Dilakukan pengambilan darah glukosa puasa hewan uji untuk menentukan kadar glukosa awal hewan uji (t0) pada semua kelompok; 4. Sampel darah diteteskan pada kit kemudian dipasang pada alat glukosameter dan ditunggu selama 12 detik, hingga terbaca kadar glukosa darah pada alat; 5. Diberikan sediaan uji secara oral sesuai dengan perhitungan dosis pada semua kelompok; 6. Setelah 30 menit, dilakukan pemberian larutan glukosa 10% kepada seluruh kelompok hewan uji secara oral,
42
7. Mencit kelompok obat hipoglikemik oral masing-masing diberi glibenklamid, dan metformin. Kelompok obat herbal diberi dengan dosis berbeda. Sedangkan kelompok kontrol hanya diberi larutan pembawa; 8. Pengambilan darah glukosa pasca induksi hewan uji menit ke-15, 30, 60 dan 90, terhitung dari awal pemberian sediaan uji; 9. Pengukuran kadar glukosa darah menggunakan alat glukosameter. 10. Pengukuran kadar glukosa darah menggunakan spektrofotometer UV-Vis: a. Darah yang telah diambil disentrifugasi untuk memisahkan serum dan plasma darah b. Disiapkan 3 buah tabung reaksi yang telah diberi label yaitu blanko, standar dan sampel. c. Ke dalam 3 tabung tersebut diisi reagen sebanyak 1000 µL, kemudian ke dalam tabung standar ditambahkan 10 µL reagen standar, dan ke dalam tabung sampel ditambahkan juga 10 µL sampel. d. Sampel dihomogenkan dan diinkubasi selama 10 menit pada suhu 20-25oC dan dibaca pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 546 nm. 11. Akhir pengujian, hewan uji dikorbankan dan diambil organ pankreas. Hitung indeks organ.
Metode induksi hiperglikemia/diabetes menggunakan aloksan (tentatif) 1. Mencit diinduksikan dengan aloksan monohidrat 60 mg/kg bb secara intravena. Aloksan monohidrat dibuat dalam pelarut NaCl 0,9% dan diinduksi secara intravena dengan volume pemberian 0,1 mL/20g bb mencit. 2. Setelah diinduksi mencit dipelihara selama 7 hari untuk melihat kemungkinan kembalinya ke keadaan glukosa darah normal. Mencit tetap diberikan makan dan minum. 3. Pengukuran kadar glukosa darah pada mencit induksi aloksan dilakukan pada hari ke-7 setelah mencit dipuasakan selama 12-18 jam sehingga diperoleh kadar glukosa darah puasa. Mencit yang dinyatakan DM dengan kadar glukosa darah diatas 200 mg/dL.
43
4. Mencit dikelompokkan menjadi 4 kelompok (kelompok kontrol, 2 kelompok obat hipoglikemik oral serta 1 kelompok obat herbal). Setiap kelompok terdiri dari 5 ekor mencit. Pengukuran kadar glukosa mencit dilakukan pada hari ke-3 dan ke-6. 5. Pengukuran kadar glukosa darah diambil melalui pembuluh vena ekor dengan cara memotong secara aseptik sekitar 1-2 mm dari ujung ekor. Ekor mencit di pijat-pijat dari pangkal ekor menuju ujung ekor. Tetesan darah yang pertama dibuang, kemudian tetesan darah berikutnya diteteskan pada strip glukosa pada alat glukosameter. 6. Pengukuran kadar glukosa darah menggunakan spektrofotometer UV-Vis: a. Darah yang telah diambil disentrifugasi untuk memisahkan serum dan plasma darah b. Disiapkan 3 buah tabung reaksi yang telah diberi label yaitu blanko, standar dan sampel. c. Ke dalam 3 tabung tersebut diisi reagen sebanyak 1000 µL, kemudian ke dalam tabung standar ditambahkan 10 µL reagen standar, dan ke dalam tabung sampel ditambahkan juga 10 µL sampel. d. Sampel dihomogenkan dan diinkubasi selama 10 menit pada suhu 20-25oC dan dibaca pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 546 nm.
44
H. PERHITUNGAN DOSIS
45
I. HASIL PENGAMATAN 1. Kadar Glukosa Darah Hewan Uji Kelompok Perlakuan
BB
VP
Kadar glukosa (mg/dL) T0
T1
T2
T3
T4
T5
Kontrol Kelompok Uji Glibenklamid
Kelompok Uji Metformin
Kelompok Uji Obat Herbal ** BB : Berat badan ** VP : Volume pemberian
2. Bobot Organ Pankreas Kelompok
Bobot Organ
Kontrol
46
Glibenklamid Metformin Obat herbal
Catatan
J. PERTANYAAN 1. Apakah yang dimaksud dengan glukosa ? 2. Berapakah kadar normal glukosa darah puasa, tidak puasa, dan sewaktu ? 3. Apakah dengan pemberian glukosa konsentrasi tinggi dapat meningkatkan kadar glukosa darah pada hewan uji dan bagaimana bisa terjadi demikian ? 4. Apakah terlihat pengaruh terhadap kadar glukosa darah hewan uji yang diberi obat antidiabetik oral dan bagaimana mekanisme kerjanya ? 5. Apakah terlihat pengaruh terhadap kadar glukosa darah hewan uji yang diberi obat antidiabetik oral herbal dan bagaimana hipotesa mekanisme kerjanya ? 6. Apakah terlihat perbedaan dari masing-masing bahan uji terhadap kadar glukosa darah hewan uji, dan bagaimana bisa demikian ? 7. Apakah ada metode penginduksian selain menggunakan beban (loading) glukosa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kadar glukosa darah hewan uji, jelaskan ! 8. Apakah ada cara pengukuran kadar glukosa darah selain menggunakan metode kit glukosameter, jelaskan !
47
K. JAWABAN PERTANYAAN
48
L. KESIMPULAN
49
DAFTAR PUSTAKA 1. American diaebetes association (ADA), 2014, Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus, Diabetes Care2014;37(Suppl. 1): S81–S90. 2. Price, S.A. dan Wilson, L.M., 2014, Patofiologi, EGC: Jakarta. 3. Lawrence, J.C., 1994, Insulin and Oral Hypoglycemic Agents, In Brody, T.M., Larner, J., Minneman, K.P., and Neu, H.C. (Ed.), Human Pharmacology, 2nd Ed., 523-539, Mosby, London. 4. ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… 5. ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… 6. ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………
50
LEMBAR PENILAIAN TANGGAL PRAKTIKUM
:
TANGGAL PENYERAHAN LAPORAN : NILAI RESPONSI NILAI TOTAL =
NILAI KEHADIRAN
NILAI AKTIVITAS
NILAI HJSP
CATATAN :
TANDA TANGAN MAHASISWA
ASISTEN
DOSEN
51
OBAT-OBAT DIURETIKA
A. TUJUAN 1. Mempelajari mekanisme terjadinya peningkatan produksi urin 2. Mempelajari mekanisme kerja obat-obat diuretika 3. Mengukur volume urin yang terbentuk dari tiap kelompok uji 4. Membandingkan volume urin yang terbentuk dari tiap kelompok uji
B. PRINSIP PERCOBAAN Hewan uji diinduksikan bahan yang dapat meningkatkan produksi urin, lalu dilakukan pemberian obat-obat diuretik dan selanjutnya dibandingkan volume urin yang terbentuk.
C. DASAR TEORI Urin atau air seni atau air kencing adalah cairan sisa yang diekskresikan oleh ginjal yang kemudian akan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses urinasi. Eksreksi urin diperlukan untuk membuang molekul-molekul sisa dalam darah yang disaring oleh ginjal dan untuk menjaga homeostasis cairan tubuh. Cairan urin yang tertahan lama di dalam tubuh akan menimbulkan beberapa permasalahan, seperti terjadinya edema.
Upaya mengurangi retensi cairan di dalam tubuh dapat dilakukan dengan pemberian obat-obat golongan diuretika. Obat golongan ini dapat menambah kecepatan pembentukan urin. Istilah diuresis mempunyai dua pengertian, pertama menunjukkan adanya penambahan volume urin yang diproduksi dan yang kedua menunjukkan jumlah pengeluaran zat-zat terlarut dalam air. Fungsi utama diuretik adalah untuk memobilisasi cairan udem, yang berarti mengubah keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan ekstra sel kembali menjadi normal.
52
Diuretika mampu meningkatkan pengeluaran garam dan air oleh ginjal hingga volume darah dan tekanan darah menurun. Disamping itu, diperkirakan berpengaruh langsung terhadap dinding pembuluh, yakni penurunan kadar natrium membuat dinding lebih kebal terhadap noradrenalin, hingga daya tahannya berkurang. Sehingga efek hipotensifnya relatif ringan dan tidak meningkat dengan memperbesar dosis.
Obat diuretika terbagi menjadi 5 kelompok, yakni : 7. Diuretik Osmotik Secara umum kelompok obat diuretik osmotik bekerja dengan cara meningkatkan daya osmotik di daerah tubuli sehingga cairan terserap kembali ke tubulus dan terjadi penghambatan proses reabsorpsi, sehingga cairan dapat diteruskan ke pelvis untuk kemudian diekskresikan menjadi urin. Istilah diuretik osmotik biasanya dipakai untuk zat bukan elektrolit yang mudah dan cepat diekskresi oleh ginjal. Contoh dari diuretik osmotik adalah manitol, urea, gliserin dan isisorbid. Berdasarkan tempat kerjanya, dapat dikelompok menjadi : a. Tubuli Proksimal Diuretik osmotik ini bekerja pada tubuli proksimal dengan cara menghambat reabsorpsi natrium dan air melalui daya osmotik. b. Lengkung Henle Diuretik osmotik ini bekerja pada lengkung henle dengan cara menghambat reabsorpsi air pada daerah thin descending limb dan menghambat reabsorpsi natrium pada daerah thick ascending limb hipertonisitas daerah medula menurun. c. Duktus Kolektivus Diuretik osmotik ini bekerja pada daerah duktus kolektivus (collecting duct) dengan cara menghambat reabsorpsi natrium dan air akibat adanya papillary wash out, kecepatan aliran filtrat yang tinggi, atau adanya faktorfaktor lain yang mempengaruhi.
53
8. Diuretik Penghambat Enzim Karbonik Anhidrase Karbonik anhidrase adalah suatu enzim yang terdapat di dalam sel korteks renalis, pankreas, mukosa lambung, mata, eritrosit dan SSP, tetapi tidak terdapat dalam plasma. Karbonik anhidrase memiliki peran penting yang beroperasi dalam sel hewan, sel tumbuhan, dan lingkungan untuk menstabilkan konsentrasi karbon dioksida. Namun, pada kondisi tertentu enzim dapat menyebabkan terjadinya penyakit glaukoma dan kanker.
Golongan obat penghambat enzim karbonik anhidrase bekerja pada tubuli proksimal dengan cara menghambat reabsorpsi bikarbonat. Obat diuretika yang masuk golongan ini adalah asetazolamid, diklorofenamid dan meatzolamid.
Pilihan obat yang banyak digunakan dari golongan ini adalah asetazolamid yang bekerja dengan cara penghambatan karbonik anhidrase secara non-kompetitif. Akibatnya terjadi perubahan sistemik dan pearubahan terbatas pada organ tempat enzim tersebut berada. Asetazolamid memperbesar ekskresi kalium (K+), tetapi efek ini hanya nyata pada permulaan terapi saja, sehingga pengaruhnya terhadap keseimbangan kalium tidak sebesar pengaruh tiazid.
Asetazolamid diberikan secara oral. Obat ini mudah diserap melalui saluran cerna, dengan kadar maksimal dalam darah dicapai dalam 2 jam dan ekskresi melalui ginjal sudah sempurna dalam 24 jam. Obat ini mengalami proses sekresi aktif oleh tubuli dan sebagian direabsorpsi secara pasif. Asetazolamid terikat kuat pada enzim karbonik anhidrase, sehingga terakumulasi dalam sel yang banyak mengandung enzim ini, terutama sel eritrosit dan korteks ginjal. Distribusi penghambat enzim karbonik anhidrase dalam tubuh ditentukan oleh ada tidaknya enzim karbonik anhidrase dalam sel yang bersangkutan dan dapat tidaknya obat itu masuk ke dalam sel. Asetazolamid tidak dimetabolisme dan diekskresi dalam bentuk utuh melalui urin.
54
Pada dosis tinggi, pemberian asetazolamid dapat menimbulkan parestesia dan kantuk yang terus-menerus. Asetazolamid mempermudah pembentukan batu ginjal karena berkurangnya sekskresi sitrat, kadar kalsium dalam urin tidak berubah atau meningkat. Asetazolamid dikontraindikasikan pada sirosis hepatis karena menyebabkan disorientasi mental pada penderita sirosis hepatis. Reaksi alergi yang jarang terjadi berupa demam, reaksi kulit, depresi sumsum tulang dan lesi renal mirip reaksi sulfonamid.
9. Diuretik Tiazid Senyawa tiazid menunjukkan kurva dosis yang sejajar dan daya klouretik maksimal yang sebanding serta merupakan obat diuretik yang paling banyak digunakan. Diuretik tiazid, seperti bendroflumetiazid, bekerja pada bagian awal tubulus distal pada nefron. Obat ini menurunkan reabsorpsi natrium dan klorida, yang meningkatkan ekskresi air, natrium, dan klorida. Selain itu, kalium hilang dan kalsium ditahan. Obat ini digunakan dalam pengobatan hipertensi, gagal jantung ringan, edema, dan pada diabetes insipidus nefrogenik.
Secara umum golongan diuretik tiazid ini bekerja pada daerah tubuli distal dengan cara menghambat reabsorpsi natrium klorida. Obat-obat diuretik yang termasuk golongan ini adalah klorotiazid, hidroklorotiazid, hidroflumetiazid, bendroflumetiazid,
politiazid,
benztiazid,
siklotiazid,
metiklotiazid,
klortalidon, kuinetazon, dan indapamid.
Efek farmakodinamika tiazid yang utama ialah meningkatkan ekskresi natrium, klorida dan sejumlah air. Efek natriuresis dan kloruresis ini disebabkan oleh penghambatan reabsorbsi elektrolit pada hulu tubuli distal. Pada penderita hipertensi, pemberian tiazid dapat menurunkan tekanan darah bukan saja karena efek diuretiknya, tetapi juga karena efek langsung terhadap arteriol sehingga terjadi vasodilatasi.
55
Absorbsi tiazid melalui saluran cerna baik sekali. Umumnya efek obat tampak setelah 1 jam. Didistribusikan ke seluruh ruang ekstrasel dan dapat melewati sawar uri. Dengan proses aktif, tiazid diekskresi oleh sel tubuli proksimal ke dalam cairan tubuli. Biasanya dalam 3-6 jam sudah diekskresi dari badan.
10. Diuretik Hemat Kalium (Inhibitor Aldosteron) Aldosteron adalah mineralokortikoid endogen yang paling kuat. Peranan utama aldosteron ialah memperbesar reabsorbsi natrium dan klorida di tubuli serta memperbesar ekskresi kalium.
Yang merupakan antagonis aldosteron adalah spironolakton dan bersaing dengan reseptor tubularnya yang terletak di nefron sehingga mengakibatkan retensi kalium dan peningkatan ekskresi air serta natrium. Obat ini juga meningkatkan kerja tiazid dan diuretik loop. Diuretik yang mempertahankan kalium lainnya termasuk amilorida, yang bekerja pada duktus pengumpul untuk menurunkan reabsorpsi natrium dan ekskresi kalium dengan memblok saluran natrium, tempat aldosteron bekerja. Diuretik ini digunakan bersamaan dengan diuretik yang menyebabkan kehilangan kalium serta untuk pengobatan edema pada sirosis hepatis. Efek diuretiknya tidak sekuat golongan diuretik kuat.
Sebanyak 70% spironolakton oral diserap di saluran cerna, mengalami sirkulasi enterohepatik
dan
metabolisme
lintas
pertama.
Metabolit
utamanya
kankrenon. Kanrenon mengalami interkonversi enzimatik menjadi kankreonat yang tidak aktif.
11. Diuretik Kuat (Loop) Diuretik loop bekerja dengan mencegah reabsorpsi natrium, klorida, dan kalium pada segmen tebal ujung asenden lengkung Henle pada nefron melalui inhibisi pembawa klorida. Obat ini termasuk asam etakrinat, furosemid da bumetanid, dan digunakan untuk pengobatan hipertensi, edema, serta oliguria yang
56
disebabkan oleh gagal ginjal. Pengobatan bersamaan dengan kalium diperlukan selama menggunakan obat ini.
Secara umum dapat dikatakan bahwa diuretik kuat mempunyai mula kerja dan lama kerja yang lebih pendek dari tiazid. Diuretik kuat terutama bekerja pada lengkung Henle bagian asenden pada bagian dengan epitel tebal dengan cara menghambat kotranspor Na+/K+/Cl- dari membran lumen pada ascending lengkung Henle, karena itu reabsorpsi Na+/K+/Cl- menurun.
Obat diuretik kuat mudah diserap melalui saluran cerna, dengan derajat yang agak berbeda-beda. Bioavaibilitas furosemid 65 % sedangkan bumetanid hamper 100%. Diuretik kuat terikat pada protein plasma secara ekstensif, sehingga tidak difiltrasi di glomerulus tetapi cepat sekali disekresi melalui sistem transport asam organik di tubuli proksimal. Kira-kira 2/3 dari asam etakrinat yang diberikan secara IV diekskresi melalui ginjal dalam bentuk utuh dan dalam konjugasi dengan senyawa sulfhidril terutama sistein dan N-asetil sistein. Sebagian lagi diekskresi melalui hati. Sebagian besar furosemid diekskresi dengan cara yang sama, hanya sebagian kecil dalam bentuk glukuronid.
D. HEWAN COBA Tikus putih (Rattus norvegicus) galur Wistar
E. BAHAN 1. Suspensi spironolakton 2. Suspensi furosemid 3. Suspensi obat herbal (jamu atau herbal terstandar) 4. Larutan glukosa 10 % 5. Larutan CMC Na 1 % 6. Larutan garam (NaCl) 10% 7. Aquades
57
F. ALAT 1. Timbangan analitik 2. Lumpang dan alu 3. Labu ukur 4. Spuit dan sonde oral 5. Kandang metabolisme
G. CARA KERJA Metode Induksi Hiperglikemi dengan Konsentrasi Glukosa Tinggi 1. Hewan uji dikelompokkan menjadi 6 kelompok (kelompok kontrol, 2 kelompok obat diuretik oral induksi glukosa, 2 kelompok obat diuretik oral induksi garam, serta 1 kelompok obat herbal); masing-masing kelompok terdiri dari 3 ekor tikus. 2. Hewan uji masing-masing kelompok diberi larutan gula selama 16 jam; 3. Hewan uji diberi perlakuan sesuai dengan kelompoknya; 4. Hewan uji didapatasikan selama 1 jam di dalam kandang metabolisme sebelum perlakuan; 5. Masukkan hewan uji ke dalam kandang metabolisme dan lakukan pengamatan pada beberapa waktu; 6. Pengamatan dilakukan pada waktu 15 menit setelah perlakuan; 7. Lanjutkan pengukuran volume urin setiap 15 menit sekali selama 120 menit;
Metode Induksi Hipernatremia dengan Konsentrasi Garam Tinggi 1. Hewan uji dikelompokkan menjadi 6 kelompok (kelompok kontrol, 2 kelompok obat diuretik oral induksi glukosa, 2 kelompok obat diuretik oral induksi garam, serta 1 kelompok obat herbal); masing-masing kelompok terdiri dari 3 ekor tikus. 2. Hewan uji masing-masing kelompok diberi larutan garam selama 16 jam; 3. Hewan uji diberi perlakuan sesuai dengan kelompoknya;
58
4. Hewan uji didapatasikan selama 1 jam di dalam kandang metabolisme sebelum perlakuan; 5. Masukkan hewan uji ke dalam kandang metabolisme dan lakukan pengamatan pada beberapa waktu; 6. Pengamatan dilakukan pada waktu 15 menit setelah perlakuan; 7. Lanjutkan pengukuran volume urin setiap 15 menit sekali selama 120 menit;
59
H. PERHITUNGAN DOSIS
60
I. HASIL PENGAMATAN Kelompok Perlakuan
BB
VP
Kadar glukosa (mg/dL) T0
T1
T2
T3
T4
T5
Kontrol Kelompok Uji Spironolakton Induksi Glukosa Kelompok Uji Furosemid Induksi Glukosa Kelompok Uji Spironolakton Induksi Garam Kelompok Uji Furosemid Induksi Garam Kelompok Uji Obat Herbal *Tambahkan tabel apa bila kurang
61
J. PERTANYAAN 1. Apakah yang dimaksud dengan diuresis ? 2. Berapakah kadar normal urin manusia ? 3. Mengapa digunakan tikus putih sebagai hewan coba ? 4. Apakah volume urin yang terbentuk pada induksi menggunakan glukosa dibanding induksi menggunakan garam terjadi perbedaan, mengapa demikian ? 5. Apakah volume urin yang terbentuk pada pemberian obat spironolakton, furosemid, dan obat herbal dengan menggunakan induksi glukosa terjadi perbedaan, mengapa demikian ? 6. Apakah volume urin yang terbentuk pada pemberian obat spironolakton, furosemid, dan obat herbal dengan menggunakan induksi garam terjadi perbedaan, mengapa demikian ? 7. Bagaimana mekanisme kerja masing-masing obat yang diberikan ? 8. Bagaimana mekanisme kerja alat kandang metabolisme ?
62
K. JAWABAN PERTANYAAN
63
L. KESIMPULAN
64
DAFTAR PUSTAKA
1. American diaebetes association (ADA), 2014, Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus,Diabetes Care2014;37(Suppl. 1):S81–S90. 2. Price, S.A. dan Wilson, L.M., 2014, Patofiologi, EGC: Jakarta. 3. Lawrence, J.C., 1994, Insulin and Oral Hypoglycemic Agents, In Brody, T.M., Larner, J., Minneman, K.P., and Neu, H.C. (Ed.), Human Pharmacology, 2nd Ed., 523-539, Mosby, London. 4. ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… 5. ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… 6. ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………
65
OBAT-OBAT ANTIHIPERLIPIDEMIA
A.` TUJUAN 1. Mempelajari mekanisme terjadinya hiperlipidemia dengan metode induksi hiperlipidemia 2. Membandingkan kadar lipid darah antara pengaruh obat antihiperlipidemia dengan kontrol 3. Mempelajari pengaruh obat sintetik pada penurunanan kadar lipid plasma 4. Menjelaskan mekanisme kerja obat-obat antihiperlipidemia
B. PRINSIP PERCOBAAN Hewan uji diinduksikan bahan yang dapat meningkatkan kadar lipid darah, lalu kemudian di treatment menggunakan bahan obat dan antioksidan dan selanjutnya dibandingkan dengan kelompok yang tidak diobati dan kelompok yang tidak diinduksi bahan yang meningkatkan kadar lipid darah
C. DASAR TEORI Hiperlipidemia merupakan kondisi dimana terjadi peningkatan satu atau lebih kolesterol,
ester
kolesterol,fosfolipid
atau
trigliserildehid.
Hiperlipoproteinemia merupakan kondisi dimana meningkatnya konsentrasi makromolekul lipoprotein di dalam plasma 1)
Lipid merupakan suatu komponen tubuh yang memiliki fungsi sebagai cadangan energi, komponen penyusun struktur membran sel, berperan dalam biosintesa hormon pertumbuhan dan reproduksi. Lipid plasma terdiri dari : a. Trigliserida b. Fosfolipid c. Kolesterol d. Ester Kolesterol e. Asam lemak bebas
66
Lipid plasma memiliki struktur yang terikat dengan carier protein yang kemudian disebut dengan lipoprotein. Pada prinsipnya, Lipoprotein digambarkan sebagai sebuah bola yang memiliki struktur polar dibagian selubungnya dengan lipid plasma di dalamnya, hal inilah yang menyebabkan lipoprotein mudah larut dalam cairan plasma. 3)
Gambar 1. Lipoprotein3)
Lipoprotein terbagi menjadi : a. Kilomikron yang berfungsi mengatur transport lipid bahan makanan dari usus ke jaringan b. Residu Kilomikron adalah kilomikron yang mengalami kehilangan triasilgliserida yang terbagi menjadi : 1) VLDL (Very Low Density Lipoprotein) yang berfungsi mentransport trigliserida, kolesterol dan fosfolipid dari hati ke jaringan lemak. 2) IDL (Intermediate Density Lipoprotein) 3) LDL (Low Density Lipoprotein) yang berfungsi mentransport trigliserida, kolesterol dan fosfolipid dari hati ke jaringan perifer. 4) HDL (High Density Lipoprotein) yang berfungsi menghantarkan kolesterol yang berlebihan di jaringan ke hati. 3)
67
I.
Biosintesis, Metabolisme dan Transport Kolesterol Kolesterol yang terdapat di dalam tubuh diperoleh dari makanan dan di sintesis sendiri di dalam hati. Biosintesis Kolesterol dijalankan melalui 4 tahapan yaitu tahapan pembentukan mevalonat dengan enzim kunci HMG CoA Reduktase, pembentukan Isophentyl Phyrophosphate, pembentukan Squalen dan terakhir pembentukan kolesterol itu sendiri.
Diawali dengan Acetyl CoA dirubah menjadi HMG CoA dengan bantuan enzim HMG CoA-reduktase. Selanjutnya HMG CoA reduktase diubah menjadi
mevalonat
pirophosphat.
yang
Mevalonat
kemudian
dirubah
pyrophosphate
menjadi
dirubah
Mevalonate
menjadi
Isopentil
pirophosphate yang selanjutnya berubah menjadi Geranil pirophosphat lalu Farnesil pirophosphate. Farnesil pirophosphate inilah yang kemudian berubah menjadi squalen dan akhirnya menjadi kolesterol. 3)
Gambar 2. Biosintesis Kolesterol1)
Metabolisme Kolesterol terjadi di dalam hati dengan hasil metabolisme digunakan untuk pembentukan garam empedu, pembentukan membrane, disimpan dalam bentuk ester kolesterol dan sisanya dilepaskan ke darah
68
dalam bentuk VLDL. Selain itu, hati juga memperoleh kolesterol dari HDL yang kemudian di metabolism. 3)
Gambar 3. Metabolisme Kolesterol3)
Transport kolesterol dibagi menjadi 2 jalur yaitu jalur estrogen (makanan) dan jalur endogen (asam lemak). Lemak dari makanan masuk ke dalam pencernaan yang kemudian diubah menjadi kilomikron. Di dalam otot dan jaringan lemak, kilomikron kehilangan gugus triasilgliserida sehingga menjadi residu kilomikron. Residu kilomikron inilah yang kemudain dari dalam hati dilepaskan dalam bentuk VLDL. VLDL menghantarkan lipid plasma ke dalam jaringan otot. VLDL beralih menjadi IDL dan LDL setelah menghantarkan lipid plasma. Selanjutnya LDL yang terbentuk dari pengalihan menghantarkan lipid plasma ke jaringan lemak. HDL dengan bantuan enzim CAT menghantarkan lipid plasma yang berlebihan dari jaringan kembali ke dalam hati untuk kembali dimetabolisme.
69
Gambar 4. Transpor Kolesterol3)
II. Pembagian Hiperlipidemia Penyakit Hiperlipidemia dibagi menjadi : a.
Primer (Familial Hiperlipidemia) yaitu hiperlipidemia yang disebabkan oleh
kelainan
genetik.
Pada
hiperlipidemia
primer,
Fredickson
membaginya menjadi 6 bagian berdasarkan phenotipnya6) yaitu I, IIa, IIb, III, IV, dan V dimana peningkatan yang terjadi pada lipoprotein dan lipid plasma adalah sebagai berikut : Tabel 1. Gambaran peningkatan Lipoprotein dan Manifesasi Klinik pada Familial Hiperlipidemia6)
70
b. Sekunder yaitu hiperlipidemia sekunder disebabkan oleh pola hidup dan penyakit lain seperti Hypotiroid, Penyakit hati Obstruktif dan peyakit lainya.
III. Etiologi a.
Hiperlipidemia Primer (Familial/Genetik)
Kelainan genetik adalah kelainan gen tunggal yang diwarisi (monogenik) atau kombinasi faktor genetik dan lingkungan sehingga terjadi kelainan (poligenik) pada komponen genetik yang mengatur transport lipoprotein seperti reseptor apolipoprotein, enzim dan transport protein.
b.
Hiperlipidemia Sekunder
Sering terjadi pada orang dewasa. Hal terpenting dalam penyebab sekunder adalah gaya hidup dengan asupan berlebih lemak jenuh, kolesterol dan lemak trans.
Penyebab umum yang lain adalah diabetes melitus, konsumsi alkohol, penyakit ginjal kronik, hipotiroid, sirrhosis hati primer dan penyakit kolestatik lain, dan obat seperti
tiazid,
β-blocker,
retinoid,
estrogen
and
progesteron,
dan
glukokortikoid
IV. Patofisiologi a.
Primer (Familial Hiperlipidemia)5) 1) Ketidakmampuan pengikatan LDL terhadap reseptor LDL (LDLR) Atau kerusakan pencernaan/ metabolisme kompleks LDLR ke dalam sel setelah pengikatan normal. 2) Terjadi pengurangan LDL oleh sel dan tidak teraturnya biosintesis kolesrerol 3) Jumlah kolesterol total dan LDL tidak seimbang dengan kurangnya reseptor LDL (LDLR) 71
b. Sekunder 1) Diabetes Melitus Insulin dapat merangsang sintesis lipoprotein lipase. Pada penderita Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM), adanya defisiensi insulin seluler akan mengurangi proses lipolisis, sehingga terjadi peningkatan kadar VLDL 2) Hypotiroid Hormon tiroid berperan dalam sintesis dan degradasi kolesterol LDL 3) Kehamilan Pada kehamilan terjadi perubahan metabolisme di hati untuk mempertahankan homeostatis tubuh. Terjadinya metabolisme di hati mengakibatkan terjadinya perubahan metabolisme kolesterol. 4) Gangguan fungsi hati (Perlemakan hati-Konsumsi Alkohol) Daur asam sitrat dan ketogenesis diperlambat melalui kadar NADH yang tinggi yang disebabkan oleh etanol dan terjadi peningkatan sintesis lemak netral dan kolesterol dirangsang 5) Gangguan Nutrisi (Obesitas) Kelebihan berat badan dan pola makan memainkan peranan penting dalam
menyebabkan
hiperlipidemia.
Lemak
hewani
(jenuh)
meningkatkan sintesis kolesterol di hati dan berakibat menurunkan densitas reseptor LDl sehingga konsentrasi LDL yang kaya meningkat. 6) Gagal ginjal kronik Penurunan pemecahan dan penggunaan asam lemak oleh ginjal menyebabkan meningkatnya jumlah lipid (hiperlipidemia) 7) Obat-obatan a.
β-blocker Meningkatkan
konsentrasi
trigliserida
serum
dengan
mempengaruhi VLDL, menurunkan HDL kolesterol.
72
b.
Diuretik thiazida Meningkatkan VLDL dan LDL melalui mekanisme yang belum diketahui dengan pasti.
c.
Hormon steroid
d.
Antifungal azole Merintangi sistem enzim dalam pemecahan lipid
V. Manifestasi Klinik Pada umumnya, penyakit hiperlipidemia tidak menunjukkan gejala apapun. Gejala dan tanda pada penyakit ini akan timbul setelah penyakit berlangsung beberapa tahun, gejala dan tanda penyakit yang timbul merupakan gejala dan tanda dari penyakit lain yang disebabkan oleh hiperlipidemia.
Pada pasien yang memiliki kelainan metabolisme juga disertai dengan : perut buncit, dislipidemia aterogenik, peningkatan tekanan darah, resistensi insulin dengan atau tanpa intoleransi glukosa, keadaan protrombotik, atau keadaan proinflamatori 1) Tanda Nyeri dada ringan hingga serius, palpitasi, berkeringat, anxiety, sesak nafas, kehilangan kesadaran atau kesulitan dalam berbicara atau bergerak, sakit pada abdominal, kematian tiba-tiba. 2) Gejala Nyeri pada abdominal ringan hingga serius, pankreatitis, eruptif xantoma, polineuropati periperal, tekanan darah tinggi, body mass index>30 kg/m2 atau ukuran pinggang (>40 inci pada laki-laki , 35 inci pada perempuan) (vital sign). Sedangkan untuk hiperlipidemia primer atau penyakit hiperlipidemia genetik, manifestasi kliniknya terlihat dengan munculnya
endapan lemak yang
muncul di tendon dan kulit yang dikenal dengan xantoma. Sedangkan pada
73
hiperlipidemia sekunder xantoma akan terlihat saat penyakit ini sudah dialami betrtahun-tahun lamanya. 1)
Gambar 6. Xantoma4)
VI. Terapi Farmakologi Pengobatan farmakologi dengan obat-obat hipolipidemik baru diberikan bila diet sudah dinyatakan gagal menurunkan kadar lemak darah. Karena pengobatan hiperlipidemia merupakan pengobatan jangka panjang, maka diagnosis harus ditegakkan seteliti mungkin dengan mempertimbangkan costbenefit ratio pengobatan. Walaupun terdapat banyak obat penurun kadar lemak yang berkhasiat, tidak satupun yang efektif pada semua kelainan lipoprotein, dan semua obat dihubungkan dengan beberapa efek yang merugikan. Obat-obat penurun kadar lemak dapat dibagi secara luas ke dalam zat-zat yang menurunkan sintesis VLDL dan LDL, zat yang memperbesar klirens VLDL, zat yang memperbesar katabolisme LDL, zat yang menurunkan absorpsi kolesterol, zat yang meningkatkan HDL, atau beberapa kombinasi dengan karakteristik tertentu.1) 1. a.
Golongan Inhibitor HMG CoA reduktase (Statin) Mekanisme Kerja Menghambat 3-hidroksi-3-metilglutaril koenzim A (HMG-CoA) reduktase, mengganggu konversi HMG CoA menjadi mevalonat, tahap yang menentukan dalam biosintesis de-novo. Pengurangan sintesis LDL dan peningkatan katabolisme LDL dimediasi melalui reseptor LDL menjadi prinsip kerja untuk efek penurunan lipid
74
b.
Efek pada Lipid/lipoprotein LDL ↓18-55% ,HDL ↑5-15% , TG ↓7-30%
c.
Efek Samping Miopati, Meningkatkan enzim-enzim liver
d.
Kontra indikasi Absolut : Aktif atau kronik, penyakit liver
Relatif : Pnggunaan serentak pada obat-obat tertentu* e.
Contoh Obat
Lovastatin (20-80 mg); Pravastatin(20-40 mg); Simvastatin (20-80 mg); Fluvastatin (20-80 mg); Atorvastatin(10-80 mg); Cerivastatin (0.40.8 mg)
2.
Golongan Asam nikotinat (Niasin) a.
Mekanisme Kerja Mengurangi
sintesis
hepatik
VLDL
yang
mengarah
pada
pengurangan sintesis LDL. Meningkatkan HDL dengan mengurangi katabolismenya. b.
Efek pada Lipid/lipoprotein LDL ↓5-25%; HDL↑15-35% ; TG ↓20-50%
c.
Efek Samping Kemerahan pada kulit dan gatal ,hiperglisemia, hiperurisemia,(gout), gangguan GI, hepatotoksik
d.
Kontra indikasi Absolut : Penyakit liver kronis, Gout Relatif : Diabetes; Hiperurisemia; Tukak lambung
e.
Contoh Obat Immediate release ; (crystalline) nicotinic acid (1.5-3 gm), extended; release nicotinic acid (Niaspan®) (1-2g); sustained release nicotinic acid (1-2 g)
75
3.
Golongan Resin asam empedu a.
Mekanisme Kerja Mengikat asam empedu dalam lumen saluran cerna, dengan gangguan stimulasi terhadap sirkulasi enterohepatik asam empedu yang menurunkan penyimpanan asam empedu dan merangsang sintesis
hepatik
penyimpanan
asam
empedu
kolesterol
hepatik
dari
kolesterol.
menghasilkan
Kurangnya peningkatan
biosintesis kolesterol dan sejumlah reseptor LDL pada membran hepatosit yang menstimulasi peningkatan kecepatan katabolisme dari plasma dan penurunan kadar LDL. b.
Efek pada Lipid/lipoprotein LDL ↓15-30% ;HDL ↑3-5%; TG tidak ada perubahan atau
peningkatan c.
Efek Samping Gangguan gastrointestinal, konstipasi, menurunkan absorpsi obat lain
d.
Kontra indikasi Absolut : Disbetalipoproteinemia, TG >400 mg/dL Relatif
e.
: Penyakit TG >200 mg/dL
Contoh Obat Cholestyramine (4-16 g); Colestipol (5-20 g); Colesevelam (2.6-3.8 g)
4.
Golongan Asam fibrat a.
Mekanisme Kerja Mengurangi sintesis VLDL dan khususnya apolipoprotein B yang berkelanjutan
dengan
meningkatnya
kecepatan
pemindahan
lipoprotein kaya trigliserida dari plasma. b.
Efek pada Lipid/lipoprotein ↓LDL 5-20% (dapat terjadi kenaikan pada pasien dengan kadar TG tinggi), ↑HDL 10-20%, ↓TG 20-50%
76
c.
Efek Samping Dispepsia, gallstones, miopati
d.
Kontra indikasi Absolut: Gangguan renal, gangguan hepatik
e.
Contoh Obat Gemfibrozil(600 mg BID), Fenofibrat(200 mg), Clofibrat(1000 mg BID)
5.
Golongan Ezetimib a.
Mekanisme Kerja Menggangu absorpsi kolesterol dari membran fili saluran cerna (brush border)
b.
Efek pada Lipid/lipoprotein ↓LDL ±18%
c.
Efek Samping Gangguan GI
d.
Kontra indikasi -
e.
Contoh Obat Ezetimib 10mg
D. HEWAN COBA Tikus (Rattus Norvegicus) galur wistar
E. BAHAN Bahan uji yang digunakan
:
1. Simvastatin 2. Gemfibrozil; 3. Pakan Ternak (HG II-B) dengan komposisi kadar air 13%, protein 2123%, karbohidrat 45,5-47,5%, lemak 5%, serat 5%, abu 7%, kalsium 0,9% dan posfor 0,6%; diet kolesterol tinggi dengan komposisi kolesterol
77
(Sigma aldrich) 1 %, lemak kambing 25% dan pakan ternak (HG II-B) 74,5%. 4. Minyak goreng bekas F. ALAT 1. Spuit 1, 3, dan 5 ml
5. Sentrifuge,
2. Mikropipet (ependorf),
6. Perangkat bedah hewan,
3. Neraca analitik (sartorius),
7. Dan timbangan hewan.
4. Pengocok (vortex),
G. CARA KERJA 1.
Hewan uji dikandangkan pada kondisi bebas patogen dan diadaptasikan pada kondisi laboratorium selama 2 minggu dengan pemberian makanan dan diberi siklus penerangan 12 jam gelap, 12 jam terang.
2.
Hewan uji dibagi ke dalam 5 kelompok : a.
Kelompok 1 sebagai kontrol normal yang diberi diet normal selama 2 pekan
b.
Kelompok 2, 3, 4 dan 5 sebagai kelompok uji diberikan diet kaya kolesterol selama 2 pekan dengan jadwal 1 pekan awal hanya diberikan diet kaya kolesterol dan setiap 2 hari sekali di oralkan minyak goreng bekas sebanyak 3 ml, selanjutnya : 1) Kelompok 2 sebagai kontrol perlakuan yang diberi diet kaya kolesterol sampai dengan pekan kedua berakhir. 2) Kelompok 3 diberi diet kaya kolesterol dan diberi simvastatin setiap harinyasampai dengan pekan kedua berakhir 3) Kelompok 4 diberi diet kaya kolesterol dan diberi gemfibrozil setiap harinya sampai dengan pekan kedua berakhir 4) Kelompok 5diberi diet kaya kolesterol dan diberi antioksidan (Omeproz®) setiap harinyasampai dengan pekan kedua berakhir
3.
Perlakuan dilakukan selama 2 pekan (pemeliharaan dan perlakuan hewan tiap hari dilakukan bergantian oleh praktikan)
78
4.
Pengukuran kolesterol dilakukan pada hari ke-0, ke-7 dan ke-14 bertepatan pada jadwal praktikum.
5.
Selama perlakuan, dilakukan pencatatan kenaikan bobot badan tikus setiap harinya.
6.
Pada akhir masa perlakuan, hewan uji dibius dengan eter, darah dikumpulkan dan serum digunakan untuk pengukuran kadar lipid.
7.
Pengukuran kadar lipid darah menggunakan spektrofotometer UV-Vis: a.
Darah yang telah diambil disentrifugasi untuk memisahkan serum dan plasma darah
b.
Disiapkan 3 buah tabung reaksi yang telah diberi label yaitu blanko, standar dan sampel.
c.
Ke dalam 3 tabung tersebut diisi reagen sebanyak 1000 µL, kemudian ke dalam tabung standar ditambahkan 10 µL reagen standar, dan ke dalam tabung sampel ditambahkan juga 10 µL sampel.
d.
Sampel dihomogenkan dan diinkubasi selama 10 menit pada suhu 20-25oC dan dibaca pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 546 nm.
79
PERHITUNGAN DOSIS
80
81
HASIL PERCOBAAN Berat Badan Tikus BB hari ke…. (gram)
Kelompok Uji
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1
KN KP
Simvastatin
Gemvibrozi l
Antioksidan
Kadar Trigliserida dan Kolesterol Total Kadar Trigliserida Hari ke-
Kelompok Uji
0
7
Kadar Kolesterol T 14
0
7
KN KP
Simvastatin
Gemvibrozi l
82
Antioksidan
83
Catatan
84
PEMBAHASAN
85
KESIMPULAN
86
DAFTAR PUSTAKA 1.
Dipiro. Joseph T. 2008. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach Seventh Edition. MGH Medical. London
2.
Koolman, Jan & Klaus-Heinrich Rohm. 2000. Atlas Berwarna & Teks Biokimia. Hipokrates. Jakarta
3.
Nyhan, William L. 2005. Atlas Metabolic Disease. Oxford University Press Inc. Oxford
4.
Silbernagl. 2002. Teks & Atlas Berwarna Patofisioliogi. Penerbit EGC Kedokteran
5.
T. R. Harrison. 2008. Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th. MGH Medical. London
6.
Toy, Eugene C. 2008. Case Files™ Pharmacology. MGH Medical. London
7.
Kumar, Vinay. 2005. Robbin’s and Cotran Pathologic Basic Disease Seventh edition. Elsevier Inc. Philadelphia
8.
National Cholesterol Education Program .ATP III Guidelines At-A-Glance Quick Desk Reference
9.
Gilman & Goodman. Dasar Farmakologi Terapi Volume 1. EGC Jakarta
87
PERTANYAAN 1.
Tuliskan perbedaan kadarlipid darah normal dan pada manusia dan mencit?
2.
Jelaskan secara singkat patofisiologi penyakit hiperlipidemia dan bagaimana kira-kira peningkatan lipid pada tikus dalam praktikum ini dapat terjadi (secara patologis) !
3.
Sebutkan dan jelaskan secara singkat macam-macam metode pengujianlipid pada hewan coba
88
PERBAIKAN
89
LATIHAN (SEBAGAI SYARAT MASUK PERCOBAAN PEKAN DEPAN) 1. Tuliskan kadar normal dari a. LDL b. VLDL c. TG d. CT e. HDL 2. Bagaimana cara meningkatkan HDL secara a. Non farmakologis b. Farmakologis
90
UJI TOKSISITAS PADA TIKUS
A. TUJUAN 1. Mengamati karakteristik hewan yang diinduksi obat pemicu hepatotoksik 2. Mengetahui nilai kadar SGOT dan SGPT pada hewan yang mengalami toksisitas akut 3. Menjelaskan mekanisme terjadinya toksisitas akut 4. Mengamati organ hati pada tikus yang mengalami toksisitas akut 5. Mengetahui berbagai metode pengujian toksisitas pada hewan coba
B. DASAR TEORI Racun atau substansi toksik adalah sejumlah bahan kimia yang diproduksi dan dapat menimbulkan efek kerusakan pada organisme hidup. Kerusakan yang terjadi dapat berupa kerusakan struktural atau proses fungsional yang dapat memicu terjadinya luka atau hingga kematian.
Prinsip pentingnya adalah bahwa bahan kimia dapat memberikan efek rancun yang bergantung pada dosis dan rute pemberian, bahkan termasuk bahan kimia yang lazim dikonsumsi seperti terlalu banyak menghirup oksigen segar, terlalu banyak mengkonsumsi air, dan terlalu banyak mengkonsumsi garam. Hal ini dapat menimbulkan kematian.
Toksisitas suatu substansi digambarkan dengan sebutan nilai LD50 atau letal dose, yang merupakan dosis senyawa kimia yang dapat menyebabkan kematian sebanyak 50% pada organisme hidup yang terpapar. Nilai LD50 digunakan untuk menetapkan kategori senyawa yang berpotensi toksik.
Penetapan LD50 dipengaruhi oleh beragam variasi. Sebagai contoh, variasi yang didasarkan atas spesies hewan coba yang digunakan sebagai instrument pengujian. Sebagai gambaran mengenai nilai LD50 pada hewan uji diperlihatkan melalui table 1. Ilustrasi tersebut menunjukkan dosis pada
91
senyawa kimia berbeda yang dapat menimbulkan kematian pada 50% hewan coba. Pada table terlihat bahwa terdapat senyawa kimia dengan dosis yang sangat kecil dapat menyebabkan kematian. Senyawa ini dapat digolongkan ke dalam kelompok senyawa extremely toxic.
Sementara beberapa senyawa memerlukan dosis yang sangat tinggi untuk dapat menyebabkan kematian, namun senyawa tersebut tetap memiliki potensi toksik.
Adanya
perbedaan
kadar
atau
dosis
digunakan
untuk
mengelompokkan kategori toksisitas pada senyawa kimia. Pengelompokkan tersebut dapat dilihat pada table 2.
Tabel 1. Nilai LD50 pada variasi senyawa kimia selektif Senyawa
Hewan
Rute
LD50 (mg/kg)
Etil alkohol
Mencit
Oral
10.000
Natrium klorida
Mencit
i.p.
4.000
Ferro sulfat
Tikus
Oral
1.500
Morfin sulfat
Tikus
Oral
900
Fenobarbital, Na
Tikus
Oral
150
DDT
Tikus
Oral
100
Sanida
Tikus
Oral
10
Picrotoxin
Tikus
s.c.
5
Strychnine sulfate
Tikus
i.p.
2
Nikotin
Tikus
i.v.
1
d-Tubokurarin
Tikus
i.v.
0.5
Hemicholinium-3
Tikus
i.v.
0.2
Tetrodotoxin
Tikus
i.v.
0.10
Dioxin
Marmut
i.v.
0.001
92
Botulinus toxin
Tikus
i.v.
0.00001
Intraperitonial (i.p.) ; intravena (i.v.) ; subkutan (s.c.)
Tabel 2. Pemeringkatan toksisitas pada senyawa kimia secara umum Peringkat
Dosis
Praktis tidak toksis
>15 g/kg
Angka dosis kematian pemberian oral pada rata-rata dewasa berat (70 kg) Lebih dari 1 liter
Sedikit toksis
5-15 g/kg
Antara setengah dan satu liter
Agak toksis
0.5-5 g/kg
Antara ons dan setengah liter
Sangat toksis
50-500 mg/kg
Antara satu sendok teh dan ons
Extreme toksik
5-50 mg/kg
Super toksik
<5 mg/kg
Antara 7 tetes dan satu sendok teh Setetes (<7 tetes)
Selain melihat nilai LD50, pengukuran toksisitas juga memperhatikan nilai ED50. Nilai ED50 merupakan nilai terapeutik yang efektif terjadi pada 50% populasi subjek pengujian. Dengan demikian nilai terapeutik index atau margin keamanan pada suatu senyawa kimia dapat dihitung.
Terapeutik index (TI) didefinisikan sebagai rasio perbandingan LD50 terhadap ED50. Perbandingan ini dapat dilihat pada gambar 1. Pada perbandingan rasio tersebut, diharapkan nilai ED50 dapat lebih besar dari LD50. Apabila nilai LD50 lebih besar dari ED50, maka yang terjadi adalah potensial toksik suatu bahan kimia menjadi besar, dan akan menjadi lebih
93
berbahaya manakala margin ratio perbandingan antara LD50 dan ED50 lebih besar.
Gambar 1. Ilustrasi hipotesis respon dosis pada terapeutik index dan lethal dose Sumber : pex.referata.com
Toksisitas suatu senyawa kimia sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain : a.
Komposisi senyawa toksik yang terkandung. Beberapa senyawa kimia memiliki potensi toksik, namun pada jumlah sedikit, senyawa kimia tersebut masih bisa digunakan dan termasuk aman. Contoh, penggunaan etanol sebagai pelarut dalam jumlah yang kecil.
b.
Dosis dan konsentrasi. Pemberian dosis tinggi pada subjek dapat meningkatkan resiko keracunan. Contoh pemberian acetaminofen 15 g satu hari pada manusia dewasa, akan memicu terjadinya hepatotoksik atau keracunan pada hati dengan parameter peningkatan SGOT dan SGPT serta kadar BUN.
94
c.
Rute pemberian. Hal ini berkaitan dengan bentuk sediaan yang diberikan. Dimana potensi toksisitas lebih besar pada pemberian sediaan secara inhalasi dan yang paling kecil potensi toksisitasnya adalah dengan pemberian topikal.
d.
Kondisi kesehatan. Bagaimanapun, kondisi kesehatan seseorang akan mempengaruhi aksi toksisitas dari suatu bahan kimia.
e.
Usia. Pada usia lanjut, kemampuan menetralisir rancun menurun. Sehingga usia menjadi sangat berpengaruh terhadap kondisi keracunan seseorang.
f.
Faktor lingkungan. Respon biologi tubuh dipengaruhi oleh lingkungan kehidupan. Seseorang yang tinggal di daerah industri, sangat rentan mengalami keracunan dibanding seseorang yang tinggal di daerah pedesaan.
Pengujian toksisitas penting dilakukan untuk dapat menilai resiko yang mungkin ditimbulkan suatu zat kimia. Uji toksisitas pada dasarnya bertujuan untuk menekan resiko bahaya yang ditimbulkan bagi manusia, sehingga secara umum pengujian toksisitas senyawa kimia dilakukan pada hewan uji.
Uji toksisitas merupakan suatu uji yang digunakan untuk menentukan potensi suatu
senyawa
sebagai
racun,
mengenali
kondisi
biologis
dan
mengkarakterisasi aksi. Pengujian toksisitas bahan kimia dapat dilakukan dengan uji in vivo maupun uji in vitro.
Uji toksisitas secara in vivo terdiri dari tiga kelompok pengujian, yakni pengujian akut, subkronik, dan kronik. Pengujian akut dilakukan dengan cara memberikan zat kimia uji secara tunggal dalam kurun waktu kurang dari 24 jam, diikuti pengamatan berikutnya pada hari ke-tujuh. Pengujian umumnya dilakukan pada dua spesies hewan yakni tikus dan mencit. Serta melalui dua jalur pemberian. Pengujian toksisitas akut secara topikal pada kulit atau
95
pengujian iritasi mata dapat menggunakan kelinci. Evaluasi dilakukan selama 24 jam dan setelah hari ke-tujuh. Uji toksisitas subkronik dilakukan dengan memberikan zat kimia secara berganda (dosis harian). Durasi pemberian zat kimia selama 3 bulan dengan dua spesies hewan uji, umunya tikus dan anjing. Rute pemberian disesuaikan dengan bentuk sediaan yang akan dipakai. Hal yang perlu dievaluasi selama pengujian adalah berat badan hewan uji yang ditimbang setiap seminggu sekali, pemeriksaan badan lengkap selama seminggu sekali, uji kimia darah, analisis air kencing, uji hematologi, dan uji fungsi. Bagian akhir pengujian, dilakukan pembedahan untuk melihat histologi organ hewan uji.
Uji toksisitas kronik dilakukan dengan memberikan zat kimia secara terus menerus selama hewan uji hidup. Durasi pemberian bergantung spesies yang digunakan. Spesies hewan yang digunakan diperoleh dari hasil uji subkronis sebelumnya. Evaluasi yang dilakukan pada pengujian ini adalah dengan menimbang hewan uji selama seminggu sekali, pemeriksaan badan lengkap selama seminggu sekali, uji kimia darah, analisis air kencing, pemeriksaan hematologi dan uji fungsi atas seluruh hewan pada interval 3 sampai 6 bulan dan atas seluruh hewan yang sakit atau abnormal. Seluruh hewan dapat mengalami bedah mayat lengkap yang menyangkut histologi dari seluruh organ.
Uji toksisitas kronik dapat berupa pengujian karsinogenik, toksisitas reproduksi, dan teratogenik yang digunakan untuk menentukan efek atas janin (fetus) pada hewan hamil. Selain ketiga jenis uji toksisitas tersebut. Terdapat pula uji toksisitas khusus meliputi uji potensi menentukan potensiasi zat ujibila dicampur dengan zat lain, uji mutagenic, uji tumorgenisitas & karsinogenisitas, uji irritasi/sensitivitas pada kulit & mata, dan uji prilaku.
Perlu menjadi perhatian, bahwa uji toksisitas harus mempertimbangkan 5 pedoman pengujian (Weil, 1972), yakni :
96
1.
Bila dianggap praktis dan mungkin sedapat mungkin menggunakan satu atau lebih spesies yang secara biologis memperlakukan suatu bahan yang secara kualitatif semirip mungkin dengan manusia
2.
Bila mudah dikerjakan, gunakan beberapa tingkatan dosis, dengan alasan aksi/efek pada manusia dan hewan berkaitan dengan dosis
3.
Efek yang ditimbulkan pada tingkat dosis yang lebih tinggi bermanfaat untuk melukiskan kerja mekanisme aksi, tetapi untuk suatu bahan dan efek berbahaya, ada tingkat dosis untuk manusia atau hewan di bawah dimana efek berbahaya ini tidak akan muncul
4.
Uji statistika untuk signifikansi itu sahih hanya pada satuan eksperimental yang secara matematika telah dirambang di antara dosis dan kelompok kontrol bersangkutan
5.
Efek yang diperoleh melalui suatu jalur pemberian kepada hewan uji tidak
“a preori“ dapat diterapkan pada efek melalui jalur
pemberian lain pada manusia. Jalur yangdipilih pada mana eksposisi akan terjadi
C. HEWAN COBA Tikus(Rattus Norvegicus)
D. BAHAN Bahan uji yang digunakan : 1.
Suspensi acetaminofen (penginduksi)
5. Satu set reagen pereaksi SGOT dan SGPT
2.
Suspensi curcumin
6. Bahan pewarna histologi
3.
Larutan CMC Na 1 %
7. Parafin
4.
Eppendrof
8. Cairan formalin 9. EDTA
97
E. ALAT 1.
Sentrifuge
2.
Spektroskopi UV-vis
3.
Mikroskop
4.
Meja pengamatan
5.
Timbangan analitik
F. CARA KERJA Uji Toksisitas Akut 1.
Pemilihan hewan uji
Dipilih hewan uji tikus galur Wistar, dewasa sehat, jenis kelamin betina, beratnyaseragam dalam range 180-200 gram (variasi yang diperbolehkan ± 10%).Dipilih 6 ekor untuk tiap meja. 2.
Timbang berat badan tikus 1 hari sebelum percobaan.
3.
Hewan dibagi beberapa kelompok sesuai dosis yang diberikan ditambah kelompok kontrol negatif.
4.
Amati perilaku fisik hewan uji
5.
Beri induksi acetaminophen sebanyak 1000 mg/kg, 2000 mg/kg, dan 3000 mg/kg
6.
Diamkan dan amati gejala klinis yang muncul selama satu jam
7.
Ambil darah hewan uji dan dimasukkan ke dalam eppendorf yang telah diberi EDTA 0,5 mL
8.
Sentrifuge sample darah dengan kecepatan 2500 rpm selama 10 menit
9.
Ujikan serum yang didapat dengan reagen enzim pengukur SGOT dan SGPT menggunakan alat spektofotometer UV-vis dengan panjang gelombang 360 nm
10. Pengujian dilanjutkan selama tujuh hari 11. Hari ketujuh, hewan uji ditimbang dan dilakukan pengamatan fisik 12. Diambil darah hewan uji dan diukur kembali nilai SGOT dan SGPT
98
13. Hewan uji dimatikan dan segera diambil organ hati dan dimasukkan ke dalam larutan formalin PERHITUNGAN DOSIS
99
HASIL PERCOBAAN Berat Badan Tikus BB hari ke…. (gram)
Kelompok Uji
0
1
2
3
4
5
6
7
KN Normal
Act 1000 mg/kg BB
Act 2000 mg/kg BB
Act 3000 mg/kg
100
Kadar SGOT dan SGPT Kelompok Uji KN
SGOT hari ke… (U/L) 0 1 7
SGPT hari ke… (U/L) 0 1 7
Normal
Act 1000 mg/kg BB
Act 2000 mg/kg BB
Act 3000 mg/kg
101
Hasil Histologi Hati
102
Catatan
103
PEMBAHASAN
104
KESIMPULAN
105
PERTANYAAN 1.
Tuliskan faktor-faktor yang mempengaruhi toksisitas pada hewan coba selain bahan penginduksi pemicu toksisitas?
2.
Bagaimana proses penanganan terjadinya toksisitas pada penggunaan obat?
3.
Jelaskan apa saja pengujian toksisitas khusus!
106
PERBAIKAN
107
LATIHAN 1. Sebutkan kadar normal dari SGOT dan SGPT! 2. Jelaskan secara jelas dan singkat kegunaan SGOT dan SGPT dalam tubuh! 3. Berapakah dosis maksimal dari asetaminofen dan jelaskan secara singkat mekanisme hepatotoksik pada asetaminofen.
108
DAFTAR PUSTAKA 3. Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, 709, Departemen Kesehatan RepublikIndonesia, Jakarta 4. Donatus, I. A., 1990, Audiovisual Toksikologi Dasar, 36-53, Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi Jurusan Kimia Farmasi Fakultas Farmasi UGM, Yogyakarta 5. Donatus, I. A., 2001, Toksikologi Dasar, 1, 200, 201, Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi Jurusan Kimia Farmasi Fakultas Farmasi UGM, Yogyakarta 6. Hayes, A, W., 2001, Principles and Methods of Toxicology, Ed 4, Taylor & Francis, United States of America Loomis, T. A., 1978, Toksikologi Dasar, diterjemahkan oleh: Imono Argo Donatus, Edisi III, 20-23, 83-86, 206-208, 228-232, IKIP Semarang-Press, Semarang 7. Priyanto, 2009, Toksikologi : Mekanisme, Terapi Antidotum, dan Penilaian Resiko, 99,Lembaga Studi Dan Konsultasi Farmakologi Indonesia, Jawa Barat 8. Gossel, Thomas. 1989. Principles of Clinical Toxicology Second Edition. New York, USA
109
110
LEMBAR PENILAIAN TANGGAL PRAKTIKUM
:
TANGGAL PENYERAHAN LAPORAN :
NILAI RESPONSI
NILAI LATIHAN
NILAI AKTIVITAS
NILAI LAPORAN
CATATAN :
TANDA TANGAN MAHASISWA
ASISTEN
DOSEN
111
LEMBAR PENILAIAN TANGGAL PRAKTIKUM
:
TANGGAL PENYERAHAN LAPORAN :
NILAI RESPONSI
NILAI LATIHAN
NILAI AKTIVITAS
NILAI LAPORAN
CATATAN :
TANDA TANGAN MAHASISWA
ASISTEN
DOSEN
112
FORM NILAI AKHIR Bersama dengan ini, kami dosen pengampu mata praktikum Farmakologi II menyatakan, bahwa mahasiswa bersangkutan dengan Nama
:
Nim
:
Telah mengikuti semua praktikum dengan penilaian yang lengkap, sehingga kepadanya DIPERKENANKAN MENGIKUTI UJIAN
Samarinda, ……, …………….., 2016 Dosen Penanggungjawab
_________________________
Nilai Responsi
Nilai Total
Nilai Total
Total
Aktivitas
Laporan
_________________________
Nilai Ujian
Nilai Akhir
113