LITERATURE REVIEW Peran Perawat Dalam Pemberian Terapi Oksigen Pada Pasien Stroke Akut di Ruang Perawatan Rumkit Tk II dr. Soepraoen Malang
Untuk Memenuhi Tugas Pendidikan Profesi Departemen Medikal di Rumah Sakit Tk II dr. Soepraoen Malang
Disusun Oleh : KELOMPOK 1A Alif Fanharnita B
170070301111131
Ulfi Nurwidiyanti
180070300011002
Muh. Busyairi Mandala P
180070300011011
Yoel Bagus Giarto
180070300011012
Akhmad Arifinar A
180070300011015
Mohammad Ansyori
180070300011045
Dhella Eviyanthi
180070300011072
Ayudya Siti Maisaroh
180070300011046
PROGRAM PROFESI NERS FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2019 1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Stroke merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan neurologis yang utama di Indonesia. Stroke adalah cedera otak yang terjadi akibat obstruksi aliran darah otak. Stroke dapat terjadi akibat pembentukan thrombus disuatu arteri serebrum, akibat embolus yang mengalir ke otak dari tempat lain ditubuh atau akibat perdarahan otak. Pada pasien stroke, terjadi hipoksia serebrum yang menyebabkan cedera dan kematian sel-sel neuron (Corwin, 2000). Hal ini merupakan kondisi yang serius serta dan dapat mengancam jiwa. Stroke menjadi penyebab kematian nomor dua di seluruh dunia (WHO, 2015). Stroke menjadi penyakit paling mematikan ke 3 di Indonesia setelah penyakit jantung dan kanker. Menurut Riskesdas (2013) usia pasien stroke di Indonesia yang sudah didiagnosa oleh tenaga kesehatan mulai dari 15 tahun hingga 65 tahun keatas (Trusen et al., 2003). Pasien stroke umumnya mengalami hipoksia di otak yang diakibatkan oleh sumbatan atau pecahnya pembuluh darah yang berada diotak. Hipoksia adalah kondisi kurangnya pasokan oksigen di sel dan jaringan tubuh untuk menjalankan fungsi normalnya. Tidak terpenuhinya kebutuhan oksigen diotak menyebabkan otak tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan menyebabkan gangguan neurologis pada penderita stroke. Hipoksia yang terjadi pada pasien stroke yang tidak memperoleh terapi dengan cepat akan menimbulkan kompilkasi atau bahkan kematian. Suplementasi oksigen merupakan salah satu terapi umum yang digunakan untuk menangani hipoksia. Dalam penelitian O’Driscoll et. al (2017) ditemukan bahwa sebanyak 50 hingga 84% pasien yang mendapat terapi oksigen berlebihan di rumah sakit sebagai upaya penatalaksanaan hipoksemia. Suplementasi oksigen dapat digunakan sebagai penanganan awal pasien stroke dengan saturasi oksigen yang kurang sehingga dapat meningkatkan pasokan oksigen pada organ. Suplementasi oksigen yang tepat harus diberikan pada penderita stroke dengan saturasi oksigen <92% dan dihentikan jika saturasi oksigen sudah stabil >96%. Pada kondisi penyakit akut yang tidak disertai defisiensi oksigen selular, pemberian
oksigen
tambahan
menjadi
berbahaya.
Akibat
penambahan
suplementasi oksigen yang menjadi bahan bakar pada metabolisme aerobik pada kondisi
tidak
kekurangan
oksigen
dapat
menyebabkan
peningkatan
produksi reactive oxygen species (ROS). Akibat peningkatan ROS dapat terjadi 2
inflamasi, kerusakan sel dan perubahan fisiologis lainnya. Perubahan yang terjadi, termasuk inflamasi dan kerusakan sel, akan menyebabkan penggunaan energi sel, sangat berkebalikan dari tujuan pemberian suplementasi oksigen ROS (McEvoy, 2018). Beberapa studi menyatakan bahwa terapi oksigen meningkatkan risiko kematian ketika diberikan secara bebas kepada pasien dengan penyakit akut, seperti serangan jantung, stroke, dan trauma. Penelitian yang dilakukan oleh Ronning et. al (1999) pada 292 pasien stroke didapatkan hasil semakin tinggi pemberian dosis terapi oksigen menyebabkan turunnya angka kelangsungan hidup dalam 1 tahun, menurunkan status neurologis, dan meningkatkan tingkat morbiditas. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Derek et. al (2018) pada 16.000 pasien penyakit akut, menemukan bahwa terjadi peningkatan resiko kematian 1,21 kali pada pasien dengan terapi oksigen tambahan dibandingkan tanpa terapi oksigen (hanya udara ruangan). Kedua penelitian tersebut menyimpulkan bahwa terapi oksigen tambahan tidak memberikan keuntungan pada kondisi akut dengan saturasi 94-96% dan tidak boleh diberikan secara bebas pada pasien stroke non-hipoksik ringan maupun sedang. Berdasarkan observasi yang dilakukan oleh mahasiswa di 7 ruangan rawat inap di RS Tk. II dr. Soepraoen Malang menunjukkan sebanyak 4 dari 7 ruangan memberikan terapi oksigen pada pasien stroke akut sebagian besar hanya mengutamakan keluhan sesak napas yang dirasakan oleh pasien dan kurang mempertimbangkan nilai dari saturasi oksigen. Berdasarkan hal tersebut,kami melakukan studi literatur mengenai pemberian terapi oksigen yang tepat pada pasien stroke akut di ruang perawatan. Pemberian terapi oksigen dengan dosis yang sesuai diharap dapat meningkatkan status kesehatan pada pasien stroke serta mencegah terjadinya ROS. Sasaran dari studi ini adalah tenaga kesehatan khususnya perawat yang memberikan terapi oksigen kepada pasien stroke yang menjalani perawatan.
1.2. Tujuan 1. Untuk mengetahui peran perawat dalam pemberian terapi oksigen secara tepat pada pasien stroke akut di ruang perawatan ditinjau dari waktu pemberian terhadap oksigen. 2. Untuk mengetahui peran perawat dalam pemberian terapi oksigen secara tepat pada pasien stroke akut di ruang perawatan ditinjau dari lama pemberian terhadap oksigen.
3
3. Untuk mengetahui peran perawat dalam pemberian terapi oksigen secara tepat pada pasien stroke akut di ruang perawatan ditinjau dari dosis pemberian terhadap oksigen. 1.3
Manfaat 1.3.1
Manfaat bagi tenaga kesehatan 1. Evaluasi tindakan pelayanan kesehatan pada pasien stroke yaitu dengan memberikan asuhan keperawatan melalui terapi oksigen secara tepat, guna meningkatkan status kesehatan pasien stroke akut. 2. Mengetahui peran perawat dalam pemberian terapi oksigen secara tepat pada pasien stroke akut di ruang perawatan
1.3.2
Manfaat bagi mahasiswa 1. Mengembangkan ilmu pengetahuan mengenai pemberian terapi oksigen secara tepat ditinjau dari waktu, lama dan dosis pemberian oksigen pada pasien stroke akut 2. Memberikan gambaran mengenai pemberian terapi oksigen secara tepat ditinjau dari waktu, lama dan dosis pemberian oksigen pada pasien stroke akut
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep Stroke
2.1.1 Pengertian Stroke Stroke merupakan penyakit neurologis yang sering dijumpai dan harus ditangani secara cepat dan tepat. Stroke merupakan kelainan fungsi otak yang timbul mendadak yang disebabkan karena terjadinya gangguan peredaran darah otak dan bisa terjadi pada siapa saja dan kapan saja (Muttaqin, 2008). Menurut WHO stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih yang menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler. Stroke adalah cedera otak yang berkaitan dengan obstruksi aliran darah otak (Corwin, 2009). Stroke atau cedera cerebrovaskuler adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak sering ini adalah kulminasi penyakit serebrovaskuler selama beberapa tahun (Smeltzer et al, 2002). 2.1.2 Klasifikasi Stroke 1) Stroke Iskemik Sekitar 80% sampai 85% stroke adalah stroke iskemik, yang terjadi akibat obstruksi atau bekuan di satu atau lebih arteri besar pada sirkulasi serebrum. Klasifikasi stroke iskemik berdasarkan waktunya terdiri atas: o
Transient Ischaemic Attack (TIA): deficit neurologis membaik dalam waktu kurang dari 30 menit,
o
Reversible Ischaemic Neurological Deficit (RIND): defisit neurologis membaik kurang dari 1 minggu,
o
Stroke In Evolution (SIE) / Progressing Stroke
o
Completed Stroke.
Beberapa penyebab stroke iskemik meliputi:
Trombosis Aterosklerosis (tersering); Vaskulitis: arteritis temporalis, poliarteritis nodosa; Robeknya arteri: karotis, vertebralis (spontan atau traumatik); Gangguan darah: polisitemia, hemoglobinopati (penyakit sel sabit).
Embolisme
5
Sumber dijantung: fibrilasi atrium (tersering), infark miokardium, penyakit jantung rematik, penyakit katup jantung, katup prostetik, kardiomiopati iskemik; Sumber tromboemboli aterosklerotik di arteri: bifurkasio karotis komunis, arteri vertebralis distal; Keadaan hiperkoagulasi: kontrasepsi oral, karsinoma.
Vasokonstriksi Vasospasme
serebrum
setelah
PSA
(Perdarahan Subarakhnoid).
Terdapat empat subtype dasar pada stroke iskemik berdasarkan penyebab: lakunar, thrombosis pembuluh besar dengan aliran pelan, embolik dan kriptogenik (Dewanto dkk, 2009). 2) Stroke Hemoragik Stroke hemoragik, yang merupakan sekitar 15% sampai 20% dari semua stroke, dapat terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum mengalami ruptur sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang subarakhnoid atau langsung kedalam jaringan otak. Beberapa penyebab perdarahan intraserebrum: perdarahan intraserebrum hipertensif;
perdarahan
subarakhnoid
(PSA) pada ruptura aneurisma sakular
(Berry), ruptura malformasi arteriovena (MAV),
trauma; penyalahgunaan kokain,
amfetamin; perdarahan akibat tumor otak; infark hemoragik; penyakit perdarahan sistemik termasuk terapi antikoagulan (Price, 2005). ISKEMIK Definisi
HEMORRHAGIC
Merupakan proses terjadinya iskemia Stroke hemoragik adalah stroke yang akibat emboli dan trombosis serebral terjadi karena pembuluh darah di biasanya
terjadi
setelah
lama otak pecah sehingga timbul iskhemik
beristirahat, baru bangun tidur atau di dan hipoksia di hilir. Penyebab stroke pagi
hari
dan
tidak
terjadi hemoragik antara lain: hipertensi,
perdarahan. Namun terjadi iskemia pecahnya yang
menimbulkan
selanjutnya
dapat
hipoksia timbul
aneurisma,
malformasi
dan arteri venosa. Biasanya kejadiannya
edema saat melakukan aktivitas atau saat
sekunder. (Arif Muttaqin, 2008).
aktif, namun bisa juga terjadi saat istirahat. umumnya
Kesadaran menurun
(Ria
pasien Artiani,
2009).
6
Klasifikasi
-
Stroke trombotik terjadi karena
-
Perdarahan intraserebrum
adanya
-
perdarahan
penggumpalan
pada
pembuluh darah di otak. Trombotik dapat terjadi pada pembuluh darah
intraserebrum
hipertensif -
perdarahan subarakhnoid (PSA)
yang besar dan pembuluh darah
pada ruptura aneurisma sakular
yang kecil. Pada pembuluh darah
(Berry),
besar
arteriovena (MAV), trauma;
trombotik
terjadi
akibat
ruptura
malformasi
aterosklerosis yang diikuti oleh terbentuknya
gumpalan
darah
yang cepat.
-
Stroke
emboli
terjadi
karena
adanya gumpalan dari jantung atau lapisan lemak yang lepas. Sehingga,
terjadi
pembuluh
penyumbatan
darah
yang
mengakibatkan darah tidak bisa mengaliri oksigen dan nutrisi ke otak.
Etiologi
-
1. Emboli Embolus yang dilepaskan oleh arteria karotis atau vertebralis, dapat
Berry,
biasanya
defek kongenital. -
dari “plaque
berasal
Aneurisma
Aneurisma
fusiformis
dari
atherosklerosis. Atherosklerosis
athersclerotique” yang
adalah mengerasnya pembuluh
berulserasi atau dari trombus
darah
yang melekat pada intima arteri
kelenturan
akibat
dinding
trauma
tumpul
pada
daerah leher
serta
berkurangnya
atau
elastisitas
pembuluh
darah.
Dinding arteri menjadi lemah dan terjadi aneurisma kemudian
2. Thrombosis
robek dan terjadi perdarahan
Stroke trombotik dapat dibagi
-
Aneurisma
myocotik
dari
menjadi stroke pada pembuluh
vaskulitis nekrose dan emboli
darah besar (termasuk sistem
septis.
arteri
karotis)
dan
pembuluh
darah kecil (termasuk sirkulus
-
Malformasi
arteriovenous,
adalah pembuluh darah yang
7
Willisi dan sirkulus posterior).
mempunyai
Adanya stenosis arteri dapat
terjadi hubungan persambungan
menyebabkan
terjadinya
pembuluh darah arteri, sehingga
turbulensi aliran darah (sehingga
darah arteri langsung masuk
meningkatkan
resiko
vena,
pembentukan
trombus
pecah
aterosklerosis
(ulserasi
plak),
dan perlengketan platelet.
bentuk
abnormal,
menyebabkan dan
mudah
menimbulkan
perdarahan otak. -
Ruptur arteriol serebral, akibat hipertensi
yang
penebalan
menimbulkan
dan
degenerasi
pembuluh darah.
Patofisiologi Infark ischemic cerebri sangat erat 1. Perdarahan intra cerebral hubungannya dengan aterosklerosis
Pecahnya pembuluh darah otak
dan arteriosklerosis. Aterosklerosis
terutama
dapat
bermacam-
mengakibatkan darah masuk ke
macam manifestasi klinis dengan
dalam jaringan otak, membentuk
cara:
massa
menimbulkan
1) Menyempitkan lumen pembuluh darah
dan
mengakibatkan
mendadak
pembuluh
karena
terjadinya
darah
thrombus dan perdarahan aterm. 3) Dapat terbentuk thrombus yang kemudian
terlepas
sebagai
emboli. 4) Menyebabkan aneurisma yaitu lemahnya
dinding
atau
menekan
hipertensi
hematom
jaringan
yang
otak
dan
menimbulkan oedema di sekitar otak.
insufisiensi aliran darah. 2) Oklusi
karena
pembuluh
darah atau menjadi lebih tipis
Peningkatan
TIK
dengan
cepat
mengakibatkan
yang
terjadi dapat
kematian
yang
mendadak karena herniasi otak. Hipertensi kronis mengakibatkan perubahan
struktur
dinding
permbuluh
darah
berupa
atau
nekrosis
lipohyalinosis fibrinoid.
sehingga dapat dengan mudah robek.
2. Perdarahan sub arachnoid Pecahnya pembuluh darah karena aneurisma atau AVM. Aneurisma
Faktor yang mempengaruhi aliran
paling
darah ke otak:
percabangan
sering
didapat
pada
pembuluh
darah
8
a. Keadaan pembuluh darah.
besar di sirkulasi willisi.
b. Keadan darah : viskositas darah
Pecahnya arteri dan keluarnya
meningkat,
hematokrit
darah
keruang
subarakhnoid
meningkat, aliran darah ke otak
mengakibatkan
menjadi lebih lambat, anemia
peningkatan TIK yang mendadak,
berat,
meregangnya struktur peka nyeri,
oksigenasi
ke
otak
menjadi menurun. c. Tekanan
otak.
sehinga timbul nyeri kepala hebat.
darah
memegang
tarjadinya
sistemik
Peningkatam TIK yang mendadak
perfusi
juga mengakibatkan perdarahan
peranan
Otoregulasi
otak
yaitu
subhialoid
pada
retina
dan
kemampuan intrinsik pembuluh
penurunan kesadaran.
darah otak untuk mengatur agar
Perdarahan subarakhnoid dapat
pembuluh
mengakibatkan
darah
konstan
otak
walaupun
tetap ada
perubahan tekanan perfusi otak. d. Kelainan jantung menyebabkan
pembuluh
vasospasme
darah
serebral.
Vasospasme ini seringkali terjadi 3-5
hari
setelah
timbulnya
menurunnya curah jantung dan
perdarahan, mencapai puncaknya
karena
embolus
hari ke 5-9, dan dapat menghilang
sehingga menimbulkan iskhemia
setelah minggu ke 2-5. Timbulnya
otak.
vasospasme
lepasnya
Suplai darah ke otak dapat berubah pada emboli,
gangguan
fokal
perdarahan
(thrombus,
dan
spasme
vaskuler) atau oleh karena gangguan umum (Hypoksia karena gangguan paru dan jantung).
interaksi yang
diduga
antara
bahan-bahan
berasal dari
dilepaskan
karena
darah
kedalam
dan
cairan
serebrospinalis dengan pembuluh arteri
di
ruang
Vasospasme
subarakhnoid. ini
mengakibatkan
dapat
disfungsi
otak
Arterosklerosissering/cenderung
global (nyeri kepala, penurunan
sebagai faktor penting terhadap otak.
kesadaran)
Thrombus dapat berasal dari flak
(hemiparese,
arterosklerotik atau darah dapat beku
hemisensorik, afasia dan lain-
pada area yang stenosis, dimana
lain). Otak dapat berfungsi jika
aliran darah akan lambat atau terjadi
kebutuhan O2 dan glukosa otak
turbulensi. Oklusi pada pembuluh
dapat
darah
dihasilkan
serebral
oleh
embolus
menyebabkan oedema dan nekrosis
maupun
terpenuhi.
fokal
gangguan
Energi
didalam
yang
sel
saraf
hampir seluruhnya melalui proses
9
diikuti
thrombosis
dan
hypertensi
pembuluh darah. Anoksia serebral dapat reversibel untuk
jangka
waktu
4-6
menit.
Perubahan irreversible dapat anoksia lebih dari 10 menit. Anoksia serebral dapat terjadi oleh karena gangguan yang
bervariasi,
salah
satunya
oksidasi.
Otak
cadangan
O2
kekurangan walau
jadi
punya
kerusakan,
aliran
darah
sebentar
otak akan
menyebabkan gangguan fungsi. Pada saat otak hipoksia, tubuh berusaha memenuhi O2 melalui proses metabolik anaerob,yang dapat
cardiac arrest.
tidak
menyebabkan
dilatasi
pembuluh darah otak.
Manifestasi Klinis
4. Kehilangan motorik
Kemungkinan
kecacatan
yang
Disfungsi motorik paling umum berkaitan dengan stroke adalah hemiplegia (paralisis pada 1. Daerah a. serebri media salah satu sisi) dan hemiparesis
(kelemahan salah satu sisi) dan
5. Kehilangan komunikasi
disatria
Hemianopsi
homonim
kontralateral
Disfungsi bahasa dan komunikasi adalah
kontralateral,
sering disertai hemianestesi
disfagia
Hemiplegi
(kesulitan
berbicara) atau afasia (kehilangan
Afasi bila mengenai hemisfer dominan
berbicara).
Apraksi
bila
mengenai
hemisfer nondominan
6. Gangguan persepsi
2. Daerah a. Karotis interna
Meliputi disfungsi persepsi visual
Serupa dengan bila mengenai a.
humanus,
heminapsia
Serebri media
kehilangan
penglihatan
atau
perifer 3. Daerah a. Serebri anterior dan diplopia, gangguan hubungan Hemiplegi (dan hemianestesi) visual, spesial dan kehilangan kontralateral terutama di sensori. 7. Kerusakan
tungkai fungsi
kognitif
Incontinentia urinae
parestesia (terjadi pada sisi yang
Afasi atau apraksi tergantung
berlawanan).
hemisfer mana yang terkena 8. Disfungsi kandung kemih meliputi: 4. Daerah a. Posterior inkontinensia urinarius transier, Hemianopsi homonim inkontinensia urinarius peristen kontralateral mungkin tanpa atau retensi urin (mungkin 10
simtomatik dari kerusakan otak bilateral), Inkontinensia urinarius dan
defekasi
yang
mengenai
berlanjut
makula
karena
daerah ini juga diperdarahi
(dapat mencerminkan kerusakan neurologi ekstensif).
daerah
oleh a. Serebri media
Nyeri talamik spontan
Hemibalisme
Aleksi bila mengenai hemisfer dominan
5. Daerah vertebrobasiler
Sering fatal karena mengenai juga
pusat-pusat
vital
di
batang otak
Hemiplegi
alternans
atau
tetraplegi
Kelumpuhan
pseudobulbar
(disartri, disfagi, emosi labil) Penatalaksanaan
1. Mempertahankan saluran nafas 1. Menurunkan kerusakan iskemik yang
paten
yaitu
lakukan
cerebral
pengisapan lendir yang sering,
Infark
kalau perlu lakukan trakeostomi,
kehilangan secara mantap inti
membantu pernafasan.
central
2. Mengendalikan
tekanan
berdasarkan
kondisi
termasuk
untuk
memperbaiki
jaringan
terdapat
otak,
sekitar
darah
daerah itu mungkin ada jaringan
pasien,
yang masih bisa diselematkan,
usaha
tindakan awal difokuskan untuk
hipotensi
dan
hipertensi. 3. Berusaha
cerebral
menyelamatkan
sebanyak
mungkin area iskemik dengan menentukan
dan
memperbaiki aritmia jantung. 4. Menempatkan
pasien
memberikan
O2,
glukosa
dan
aliran darah yang adekuat dengan
dalam
mengontrol
/
memperbaiki
posisi yang tepat, harus dilakukan
disritmia (irama dan frekuensi)
secepat mungkin pasien harus
serta tekanan darah.
dirubah posisi tiap 2 jam dan 2. Mengendalikan dilakukan
latihan-latihan
gerak
pasif. 5. Mengendalikan menurunkan TIK
hipertensi
dan
menurunkan TIK Dengan meninggikan kepala 15-
hipertensi
dan
30 menghindari flexi dan rotasi kepala
yang
berlebihan, 11
6. Dengan meninggikan kepala 15-
pemberian dexamethason.
30 menghindari flexi dan rotasi 3. Pengobatan
kepala yang berlebihan, 7. Pengobatan Konservatif
Vasodilator
menurunkan
meningkatkan
aliran darah serebral (ADS) secara
percobaan,
maknanya: manusia
pada belum
Dapat
aminophilin,
Obat
anti
trombotik:
Pemberian
tubuh
mencegah
dapat
trombolitik/emobolik.
histamin,
ini
diharapkan peristiwa
Diuretika : untuk menurunkan edema serebral
asetazolamid, 4. Penatalaksanaan Pembedahan Endarterektomi karotis dilakukan
Anti
thrombosis
untuk
digunakan
darahotak.
agregasi
untuk
aspirin
menghambat
pelepasan thrombosis
memeperbaiki
peredaran
Penderita
yang
reaksi
menjalani tindakan ini seringkali
agregasi
juga menderita beberapa penyulit
terjadi
seperti hipertensi, diabetes dan
yang
sesudah ulserasi alteroma.
penyakit kardiovaskular yang luas.
Anti
dapat
Tindakan ini dilakukan dengan
diresepkan untuk mencegah
anestesi umum sehingga saluran
terjadinya/
pernafasan dan kontrol ventilasi
koagulan
memberatnya
trombosis tempat
atau lain
emboli
di
diindikasikan hipoksemia (PaO2 < 60% SaO2 <90%), nafas cepat
8. Pengobatan Pembedahan Endosterektomi membentuk karotis,
karotis
kembali yaitu
yang baik dapat dipertahankan.
sistem 5. Pemberian terapi oksigen, jika
di
kardiovaskuler.
papaverin intra arterial.
seperti
perdarahan pada fase akut.
diberikan
kecederungan
tetapi
dibuktikan.
Anti koagulan: Heparin untuk
dan dangkal, sesak.
arteri dengan
membuka arteri karotis di leher.
Revaskularisasi
terutama
merupakan
tindakan
pembedahan dan manfaatnya paling dirasakan oleh pasien TIA. 12
Evaluasi
bekuan
darah
dilakukan pada stroke akut
Ugasi arteri karotis komunis di
leher
khususnya
pada
aneurisma. 9. Pemberian terapi oksigen, jika dibawah
saturasi
92%
dan
dihentikan jika saturasi oksigen sudah stabil >96%. Pemberian oksigen harus disediakan untuk menjaga saturasi oksigen lebih dari 94%. Oksigen tambahan tidak direkomendasikan pada pasien stroke akut non-hipoksik (AHA, 2013).
2.2
Konsep Oksigenasi
2.2.1 Definisi Terapi Oksigen Terapi oksigen (O2) merupakan suatu intervensi medis berupa upaya pengobatan dengan pemberian oksigen (O2) untuk mencegah atau memerbaiki hipoksia jaringan dan mempertahankan oksigenasi jaringan agar tetap adekuat dengan cara meningkatkan masukan oksigen (O2) ke dalam sistem respirasi, meningkatkan daya angkut oksigen (O2) ke dalam sirkulasi dan meningkatkan pelepasan atau ekstraksi oksigen (O2) ke jaringan (Maya, 2017). Dalam penggunaannya sebagai modalitas terapi, oksigen (O2) dikemas dalam tabung bertekanan tinggi dalam bentuk gas, tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa dan tidak mudah terbakar. Oksigen (O2) sebagai modalitas terapi dilengkapi dengan beberapa aksesoris sehingga pemberian terapi oksigen (O2) dapat dilakukan dengan efektif, di antaranya pengatur tekanan (regulator), sistem perpipaan oksigen (O 2) sentral, meter aliran, alat humidifikasi, alat terapi aerosol dan pipa, kanul, kateter atau alat pemberian lainnya (Maya, 2017).
13
2.2.2 Jenis, Dosis, Indikasi Indikasi
Jenis
Dosis
Neonatus:
Nasal canul dan nasal kateter
Nasal canul dan nasal
Dengan
nilai
kateter
tekanan
Nasal kanul dan nasal kateter
parsial oksigen (O2) kurang
merupakan alat terapi oksigen (O2)
Aliran 1 – 6 L/mnt dengan
dari 50 mmHg atau nilai
dengan sistem arus rendah. Terdiri
konsentrasi oksigen 24%
saturasi
dari sepasang tube dengan panjang
- 44%.
oksigen
(O2)
kurang dari 88%.
±2
Dewasa, anak-anak, bayi
cm
lubang
yang
dipasangkan
hidung
pasien
dan
(usia di atas 1 bulan):
dihubungkan
Dengan
menuju oxygen flow meter.
nilai
tekanan
pada
secara
tube
langsung
parsial oksigen (O2) kurang dari 60 mmHg atau nilai saturasi
oksigen
(O2)
kurang
dari
pasien
beristirahat
bernapas
90%
dengan
saat dan udara
Pasien dengan kecurigaan klinik hipoksia berdasarkan
Aliran 5 – 8 L/mnt dengan
Terbuat dari bahan plastik di mana
ruangan
Simple mask
Simple mask
penggunaannya
konsentrasi oksigen 40 –
dilakukan
dengan cara diikatkan pada wajah
60%
pasien (menutupi hidung dan mulut)
pada riwayat medis dan pemeriksaan fisik Pasien-pasien infark paru,
dengan
miokard, cidera
sindrom
edema
paru
akut,
gangguan
pernapasan akut (ARDS), fibrosis
paru,
keracunan
Rebreathing Mask (RBM Mask) Memiliki
sianida atau inhalasi gas
mengembang
karbon monoksida (CO)
maupun
kantong baik
ekspirasi.
yang saat
terus
inspirasi
Pada
saat
Rebreathing
Mask
(RBM Mask) Aliran 8 – 12 L/mnt dengan
konsentrasi
inspirasi, oksigen masuk dari sungkup
oksigen tinggi yaitu 60 –
melalui lubang antara sungkup dan
80%
kantung reservoir, ditambah oksigen dari kamar yang masuk dalam lubang ekspirasi
pada
kantong.
Udara
inspirasi sebagian tercampur dengan 14
udara ekspirasi sehingga konsentrasi CO2 lebih tinggi daripada simple face mask
Nonrebreathing Mask (NRBM Mask) Pada tidak
NRBM,
bercampur
udara
Mask
(NRBM Mask)
inspirasi
dengan
Nonrebreathing
Aliran 8 – 12 L/mnt
udara
ekspirasi karena mempunyai 2 katup,
dengan
konsentrasi
1 katup terbuka pada saat inspirasi
oksigen mencapai 99%
dan tertutup saat pada saat ekspirasi, dan
1
katup
yang
fungsinya
mencegah udara kamar masuk pada saat inspirasi dan akan membuka pada saat ekspirasi.
Indikasi Terapi Oksigen Jangka Pendek -
-
-
Oksigen Transtrakeal Oksigen (O2) transtrakeal dapat
Oksigen Transtrakeal Aliran
0,5-4
Hipoksemia akut (PaO2
mengalirkan oksigen (O2) secara
dengan
< 60 mmHg; SaO2 <
langsung melalui kateter di dalam
oksigen 80-96%
90%)
trakea. Oksigen (O2) transtrakeal
Henti jantung dan henti
dapat
napas
pasien untuk menggunakan terapi
Hipotensi
(tekanan
meningkatkan
L/menit
konsentrasi
kepatuhan
oksigen (O2) secara kontinyu selama 15
-
darah sistolik < 100
24 jam dan seringkali berhasil untuk
mmHg)
mengatasi hipoksemia refrakter.
Curah
jantung
rendah
dan
yang
asidosis
metabolic -
(bikarbonat < 18 mmol/ L)
-
Distress
pernapasan
(frekuensi
pernapasan
> 24 kali/ menit)
Indikasi Terapi Oksigen Jangka Panjang
Venturi Mask
Venturi Mask
Merupakan alat terapi oksigen
a. Pemberian oksigen (O2)
Aliran 4
– 14 L/mnt
(O2) yang dapat mengirimkan secara
dengan
secara kontinyu:
akurat
oksigen 30 – 55%.
- PaO2 istirahat < 55
rendah sekitar 24-35% dengan arus
mmHg atau SaO2 <
tinggi, terutama pada pasien dengan
88%
penyakit
- PaO2 istirahat 56-59
konsentrasi
paru
oksigen
obstruktif
(O2)
kronis
(PPOK) dan gagal napas tipe II di
mmHg atau SaO2
mana
89%
salah
terjadinya retensi karbon dioksida
keadaan:
(CO2) sekaligus juga memperbaiki
pada
satu Edema
yang
konsentrasi
dapat
mengurangi
resiko
hipoksemia
disebabkan karena CHF ; P
pulmonal
pada
pemeriksaan
EKG
(gelombang P > 3 mm pada lead II, III dan aVF) - Polisitemia (hematokrit > 56%) b. Pemberian (O2)
secara
oksigen tidak
kontinyu: - Selama
latihan: 16
PaO2 < 55 mmHg atau SaO2 < 88% - Selama tidur: PaO2 < 55 mmHg atau SaO2
<
88%
dengan
komplikasi
seperti
hipertensi
pulmoner, somnolen dan aritmia
2.3 Hubungan ketepatan pemberian terapi oksigen terhadap status kesehatan pasien stroke akut Manfaat dan resiko pemberian terapi oksigen pada pasien stroke telah menjadi bahan diskusi selama beberapa dekade. Ketertarikan pada peran terapeutik oksigen terhadap status kesehatan pasien stroke iskemik akut baru-baru ini telah dinyatakan oleh lebih dari 120 hasil penelitian pada hewan dan penelitian pada manusia, menunjukkan bahwa Normobarik (NBO) dapat "membekukan" iskemik dan memperpanjang waktu untuk trombolisis pada model hewan pengerat yang mengalami stroke melalui efek hemodinamik, peningkatan oksigenasi jaringan, dan mekanisme biokimia. Penelitian terapi oksigen NBO (1 atm) baru-baru ini menunjukkan bahwa paradigma terapi pemberian oksigen 10-15 L / menit, jika dimulai dalam jangka waktu yang sesuai dan diberikan secara konsisten selama beberapa jam dapat memberikan pasokan oksigen yang cukup ke jaringan otak yang mengalami hipoksia, menunda kematian sel iskemik, memberi lebih banyak waktu untuk rekanalisasi arteri terjadi, dan akhirnya meningkatkan outcome pasien stroke (Chan et al, 2014). Jadi, semakin tepat teknik pemberian terapi oksigen maka akan semakin besar efek terapeutik oksigen terhadap status kesehatan pasien stroke akut. Menurut Takatelide (2017), Ketepatan pemberian oksigen dinilai sangat diperlukan untuk menjaga kestabilan PaO 2, jika PaO2 meningkat maka hemoglobin akan membawa oksigen lebih banyak, dengan demikian kejadian hipoksia khususnya pada otak dapat dihindari. Ketepatan pemberian terapi oksigen ditinjau dari waktu dan dosis pemberian terhadap status kesehatan pasien stroke akut, dinyatakan oleh Roffe, C. et. al. (2010), dimana pemberian oksigen pada malam hari (nokturnal) yang diobservasi dari jam 22.0009.00 pada kecepatan 2 lpm meningkatkan status kesehatan pasien stroke akut melalui SpO2 sebanyak 2.5% dan mengurangi jumlah desaturasi pada pasien stroke akut. Selain itu, ketepatan pemberian terapi oksigen ditinjau dari prosedur. Menurut Purnajaya (2014), ketepatan pemasangan alat oksigenasi menggunakan nasal kanul sesuai standar 17
operasional (SOP) dapat menaikkan saturasi oksigen rata-rata sebesar 2.19%. Pasien yang terpasang nasal kanul dengan kecepatan aliran 3 lpm juga dapat meningkatkan saturasi oksigen rata-rata 1.77% sedangkan pemberian terapi oksigen dengan kecepatan aliran 4 lpm dapat menaikkan saturasi oksigen rata-rata mencapai 3.33%. Akan tetapi jika oksigen tidak tepat dalam pemberian nya maka akan terjadi toksisitas oksigen. Resiko toksisitas oksigen terjadi di penerapan hiperbarik oksigen. Menurut Liu et al (2011), setelah oksigen diterapkan pada tekanan yang relatif tinggi untuk waktu lama, berbagai sistem dan organ dapat terkena dampak negatif termasuk sistem saraf pusat dan paru. Dalam praktis klinis, oksigen biasanya diberikan pada tekanan 2-3 ATA dan durasi pemberian oksigen berkisar 60 menit hingga 2 jam, ditambah inhalasi oksigen dengan tekanan 2-3 ATA sering terganggu oleh inhalasi udara, dalam kondisi seperti ini toksisitas oksigen jarang terjadi. Namun dilingkungan tertentu oksigen dapat diberikan pada tekanan tinggi dan untuk jangka waktu lama seperti dalam terapi pemberian oksigen penyakit dekompresi atau disbarisme dan bayi prematur.
18
BAB III METODE DAN HASIL LITERATUR
Stroke merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh sumbatan atau pecahnya pembuluh darah diotak sehingga mengakibatkan penurunan suplai darah kaya oksigen diotak. Terapi umum yang diberikan pertama kali pada pasien stroke adalah terapi oksigen. Pemberian terapi oksigen harusnya perlu diperhatikan terkait waktu, lama dan dosis serta metode pemberian guna memperoleh hasil terapi yang diinginkan (Lippmann el al, 2005). Pada bab ini akan dibahas mengenai metode yang digunakan dalam menyusun artikel serta hasil yang didapat dari review jurnal terkait waktu, lama, dan dosis pemberian terapi oksigen terkait perbaikan maupun perburukan yang ditimbulkan terhadap status kesehatan pasien stroke akut yang menjalani rawat inap. 3.1
Metode Metode yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah literature review, yaitu
sebuah pencarian literatur baik internasional maupun nasional berisi uraian teori, temuan, dan bahan penelitian lain. Literature review dilakukan dengan cara membaca, memahami, mengkritik dan mereview literatur dari berbagai macam sumber. Literatur review berisi ulasan, rangkuman dan pemikiran penulis tentang beberapa sumber pustaka tentang topik yang dibahas. Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti lain dapat juga dimasukkan sebagai pembanding dari hasil penelitian (Sastroasmoro, 2010). Pada tahap awal pencarian artikel jurnal menggunakan kata kunci “pemberian terapi oksigen pada pasien stroke”. Hasil dari pencarian jurnal tersebut disesuaikan dengan rumah sakit. Setelah itu jurnal di diskusikan masing-masing sesuai outline yang sudah ditentukan, lalu direview untuk dibandingkan dan kemudian ditentukan jurnal mana yang paling tepat untuk diaplikasikan di ruangan sesuai dengan kondisi ruangan di rumah sakit. 3.2
Hasil Literatur Terapi oksigen merupakan salah satu terapi yang paling sering diberikan pada pasien
ketika baru datang kerumah sakit. Penelitian O’Driscoll et. al (2017) ditemukan bahwa sebanyak 50 hingga 84% pasien yang mendapat terapi oksigen sebagai upaya penatalaksanaan hipoksia. Pemberian terapi oksigen pada pasien hipoksia biasanya dilakukan tanpa observasi sehingga terjadi pemberian terapi oksigen berlebihan (O’Driscoll et. Al, 2017). Pemberian terapi oksigen yang berlebih dan tidak sesuai indikasi dapat menyebabkan munculnya masalah baru pada pasien. Hasil literatur review pada artikel ini akan membahas terkait waktu, lama dan dosis pemberian terapi oksigen berdasarkan jurnal yang sudah penyusun baca. 19
3.2.1
Waktu Pemberian Terapi Oksigen Pemberian terapi oksigen umumnya diberikan pada pasien yang merasa sesak dan kadang tanpa memperhatikan saturasi oksigen. Pemberian terapi oksigen tanpa mengetahui indikasi pemberian akan memberikan dampak negatif terutama pada pasien stroke. Penelitian dari Semieniuk, et. al (2018) merekomendasikan pemberian oksigen diberikan kepada pasien dengan saturasi oksigen 88-92% pada pasien dengan gagal napas kronis dan gagal napas hiperkapnea dan 92-96% pada kondisi lainnya. Turunkan dosis oksigen yang diberikan bila saturasi melebihi 96% dan hentikan bila SaO2 sudah dapat mencapai target tanpa bantuan suplementasi oksigen. Penelitian yang dilakukan Roffe et al (2017) terkait waktu pemberian oksigen pada pasien stroke akut dimana pada penelitian tersebut membandingkan antara pemberian ketika malam hari, pemberian oksigen rutin dan pemberian oksigen secara kontrol (ketika terdapat indikasi klinis) menunjukkan hasil dimana pemberian oksigen pada malam hari meningkatkan saturasi oksigen SPO2 (peningkatan SpO2 2,5%) yang signifikan dibandingkan pemberian secara rutin dan kontrol. Akan tetapi hasil neurologis tidak signifikan terkait waktu pemberian. Menurut Pannu (2016) pemberian terapi oksigen tinggi dalam 24 jam dapat menyebabkan kematian, pada pasien stroke iskemik menunjukkan hasil yang buruk yaitu terjadinya mortalitas dikarenakan kondisi hiperoksia (PaO2>300). Penelitian lain dari Kane, et. al, (2013) pemberian oksigen high-flow yang berlangsung lama (<72 jam) dapat menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah dan pada pasien infark akut justru dapat menyebabkan hantaran oksigen menuju otot jantung terganggu.
3.2.2
Lama Pemberian Terapi Oksigen Terapi oksigen meruapkan salah satu penatalaksanaan awal pada pasien hiposia dalam meningkatkan saturasi oksigen. Lama pemberian terapi yang sesuai akan memberi dampak yang tepat sehingga tercapai dari tujuan pemberian terapi. Lama terapi oksigen tanpa diobservasi tingkat saturasi oksigen akan menyebabkan tubuh terlalu banyak oksigen sehingga dapat bersifat toksik (Lippmann el al, 2005). Pada penelitian yang dilakukan oleh Ali et al 2013 terkait pemberian oksigen berdasarkan lama pemberian terapi oksigen dimana responden dengan kelompok intervensi (diberikan oksigen selama 72 jam menggunakan nasal kanul dengan nilai spo2 <93% 3 lpm dan >93% 2 lpm) dan kelompok kontrol (diberikan oksigen jika terdapat indikasi klinis dengan pemberian tidak secara kontinyu) menunjukkan hasil lebih besar resiko nilai barthel index (tingkat kemandirian) yang buruk pada pasien
20
yang di berikan oksigen selama 72 jam sebesar 50% dibandingkan dengan pemberian oksigen pada kelompok kontrol. Penelitian dari Calzia, et. al. (2010) terkait pemberian oksigen 100% dalam jangka waktu yang singkat (2 jam) dapat meningkatkan produksi eritropoetin endogen 3 kali lipat sehingga meningkatkan konsentrasi hemoglobin. Penelitian lain dari Roffe, et. al (2010) suplementasi oksigen secara signifikan meningkatkan saturasi oksigen, tetapi tidak mempengaruhi hasil sekunder lainnya. Suplementasi oksigen dosis rendah rutin pada pasien stroke yang tidak hipoksia sangat aman, tetapi tidak meningkatkan hasil setelah stroke.
3.2.3
Dosis dan Metode Pemberian Terapi Oksigen Suplementasi oksigen merupan terapi yang dosis dan metode pemberiannya perlu diperhatiakn sesuai dengan kebutuhan. Menurut Ali, et. al (2005) Pemberian oksigen dalam aliran 2L/menit melalui canula dan 35% oksigen melalui mask mengahasilkan peningkatan saturasi oksigen yang sama sebesar 2%. Mayoritas pasien dalam penelitian ini lebih suka menggunakan canula dari pada mask. Hasil dari penelitian Khalid Alif (2005) menunjukan bahwa pemberian oksigen pada stroke akut melalui nasal canula pada tingkat 2L/menit paling efektif untuk mencapai saturasi normal. Pemberian oksigen melalui nasal kanul dengan tingkat 2L/menit juga signifikan meningkatkan saturasi oksigen sebesar 2% pada pasien stroke non hypoxia. Suplementasi oksigen dengan pemberian yang tidak diawasi akan memberi dampak terapi yang tidak diinginkan. Penelitian dari Chu et. al (2018) untuk mengetahui keefektifan dan keamanan penggunaan oksigen liberal (pemberian oksigen secara eksesif, baik volume aliran dan metode pemberiannya) dibandingkan penggunaan oksigen konvensional, didapatkan hasil bahwa pemberian oksigen liberal dapat meningkatkan resiko kematian 1,21 kali dibanding konvensional. Penelitian dari Khalid Ali, et. al (2013) pada pasien stroke akut yang diberikan oksigenasi dosis rendah 2-3 L/mnt yang diberikan tanpa observasi beresiko mengalami penurunan nilai fungsional 50% dibandingkan dengan kelompok kontrol yang hanya diberi terapi oksigen jika terdapat indiksasi untuk pemberian. Suplementasi oksigen aliran tinggi melalui masker dengan suplementasi aliran rendah melalui kanula menunjukkan kecenderungan kematian yang lebih rendah dengan aliran tinggi yang secara statistik tidak signifikan. Namun, bukti dari uji coba acak dari terapi oksigen aliran tinggi pada stroke akut tidak menunjukkan bahwa dosis oksigen yang lebih tinggi dikaitkan dengan hasil yang lebih baik.
21
BAB IV PEMBAHASAN
Pada pasien dengan penyakit akut, dapat terjadi defisiensi oksigen pada tingkat sel. Defisiensi oksigen selular dapat terjadi karena penurunan ambilan oksigen di paru-paru, gangguan distribusi oksigen hingga mencapai sel organ vital atau perubahan sel yang mengakibatkan ketidakcocokan suplai dan kebutuhan oksigen sel. Pada kondisi penyakit akut yang tidak disertai defisiensi oksigen selular, pemberian oksigen tambahan menjadi berbahaya. Akibat penambahan suplementasi oksigen yang menjadi bahan bakar pada metabolisme aerobik pada kondisi tidak kekurangan oksigen dapat
menyebabkan
peningkatan
produksi reactive
oxygen
species (ROS).
Akibat
peningkatan ROS dapat terjadi inflamasi, kerusakan sel dan perubahan fisiologis lainnya. Perubahan yang terjadi, termasuk inflamasi dan kerusakan sel, akan menyebabkan penggunaan energi sel, sangat berkebalikan dari tujuan pemberian suplementasi oksigen. Pada bab ini akan dibahas mengenai pengaruh dari pemberian oksigen ditinjau dari waktu, lama, dan dosis pemberian terapi oksigen baik perbaikan maupun perburukan yang ditimbulkan terhadap status kesehatan pasien stroke akut yang menjalani rawat inap. 4.1
Pengaruh Waktu Pemberian Terapi Oksigen terhadap Status Kesehatan Pasien Stroke Akut Hasil penelitian menyatakan bahwa pemberian oksigen pada malam hari menunjukkan
perbaikan saturasi oksigen yang lebih stabil apabila diberikan pada malam hari (nocturnal). Hal ini disebabkan pada malam hari, beberapa mekanisme pernafasan diubah oleh kondisi tidur. Meskipun oksigenasi dan ventilasi tetap memadai pada mereka yang memiliki fungsi pernapasan normal, pada mereka yang menderita penyakit gangguan pernapasan maupun neurologis, tidur dapat menyebabkan hipoksemia dan / atau hiperkapnia. Lebih jauh lagi, gangguan pernapasan saat tidur (apnea tidur obstruktif atau apnea tidur sentral) dapat secara independen menyebabkan kelainan gas darah (Owens, 2013). Hipoksia sering terjadi awal setelah stroke, terutama saat pasien sedang dipindahkan dari satu bangsal ke bangsal lain atau sedang pada malam hari. Rata-rata oksigen malam hari saturasi sekitar 1% lebih rendah dari saturasi oksigen saat terjaga. Sebuah penelitian pada sukarelawan sehat menemukan bahwa hipoksemia menyebabkan peningkatan kompensasi pada otak aliran darah selama terjaga tetapi tidak selama tidur dan oleh karena itu lebih mungkin menyebabkan hipoksia jaringan otak di malam hari (Meadows, et.al., 2004) Perubahan utama adalah respon ventilasi tumpul terhadap hipoksia dan hiperkapnia Perubahan ini mengarah pada set point CO2 yang lebih tinggi: sekitar 45 mm Hg,
22
dibandingkan dengan 40 mm Hg selama terjaga (tidak tidur). Hal ini membuktikan bahwa ventilasi alveolar berkurang selama tidur, dibandingkan dengan terjaga. Sebagian besar penurunan ventilasi disebabkan oleh penurunan volume tidal yang tidak sepenuhnya dikompensasi oleh peningkatan frekuensi pernapasan secara bersamaan. Selain itu, ada penurunan respon beban resistansi; yaitu, penurunan kemampuan untuk menanggapi peningkatan beban pernapasan. Penyempitan normal jalan nafas atas yang terjadi selama tidur. Selama terjaga, aktivitas otot faring dipertahankan oleh aktivitas otot dilator faring refleks-driven. Saat tidur, terjadi penurunan aktivasi otot refleks dan output rangsang yang dimodulasi ke otot saluran napas bagian atas. Dengan demikian, sejumlah faktor berkontribusi terhadap berkurangnya ventilasi selama tidur sehingga sangat penting pemberian terapi oksigen dilakukan pada malam hari untuk menjaga saturasi oksigen pasien benar-benar stabil (Owens, 2013) Dalam uji klinis pasien dengan stroke akut, suplementasi oksigen secara rutin tidak meningkatkan perbaikan status neurologis di pasien stroke, baik oksigen yang diberikan terus menerus maupun pada malam hari saja. Hingga saat ini belum ada penelitian yang dapat memberikan penjelasan pengaruh pemberian oksigen secara rutin maupun tidak terhadap perbaikan neurologis pasien stroke. Hingga bukti menunjukkan apakah suplementasi oksigen rutin meningkatkan hasil, pasien dengan stroke akut seharusnya hanya diberikan oksigen untuk menjaga saturasi oksigen dalam kisaran normal. Pasien harus diperiksa secara teratur untuk hipoksia, terutama pada malam hari, selama transfer antara bangsal, dan prosedur pemeriksaan kepala. Hal ini sangat penting mengingat bahwa hipoksia adalah gejala yang mendasarinya masalah dalam transfer gas atau regulasi aktivitas pernapasan. Sebelum memulai dalam pemberian terapi oksigen, perlu diperhatikan tindakan resusitasi dasar, seperti memeriksa dan membersihkan jalan napas dan mengoptimalkan posisi pasien (Pountain dan Roffe, 2012). 4.2
Pengaruh Lama Pemberian Terapi Oksigen terhadap Status Kesehatan Pasien Stroke Akut Dalam uji klinis pasien dengan stroke akut, suplementasi oksigen dosis rendah secara
rutin terus menerus yang diberikan selama 72 jam (3 hari)
memiliki peningkatan yang
signifikan pada status okigen SPO2 responden namun berpengaruh terhadap status neurologis pasien yang dibuktikan dengan adanya penurun nilai barthel index pada penelitian Ali et al 2013 pada responden yang diberikan oksigen aliran rendah selama 72 jam secara rutin dan memiliki resiko 50% nilai bartel index yang buruk. Efek yang timbul ketika pemberian oksigen terlalu lama dan sudah mencapai target Spo2 >96% adalah mukosa hidung akan kering dan mudah iritasi serta akan menyebabkan terjadinya keracunan O2. Pada keadaan pasien mengalami kelebihan oksigen (hiperoksia) 23
akan menyebabkan terkumpulnya radikal bebas dalam paru-paru dan menyebabkan terjadinya stress oksidatif (Pannu, et. al, 2016). Dampak hiperoksia pada paru akan menyebabkan kongesti paru, penebalan membran alveoli, edema, konsolidasi dan atelektasis. Efek dari stres oksidatif dapat menyebabkan terjadinya kematian sel serta mempengaruhi sistem saraf pusat sehingga menyebabkan parestesia dan nyeri pada sendi (Widiyanto, 2014) sehingga menyebabkan terjadinya penurunan status neurologis pasien. Lama pemberian oksigen pada pasien stroke harus di sesuaikan dengan target nilai pencapaian SPO2 yaitu >96%. Ketika nilai spo2 pasien sudah diatas 96% pemberian terapi oksigen harus di hentikan dan dilakukan pemantauan selama beberapa menit setelah terapi oksigen di hentikan. Jika nilai Spo2 tetap berada di atas 96%, dapat dilakukan penghentian pemberian oksigen, namun periksa kembali setengah jam kemudian dan setiap 3 jam berikutnya pada hari pertama penghentian pemberian oksigen, untuk memastikan keadaan pasien benar-benar stabil.
4.3
Pengaruh Dosis Pemberian Terapi Oksigen terhadap Status Kesehatan Pasien Stroke Akut Stroke merupakan keadaan dimana kurangnya suplai oksigen (oxygen deprivation)
akibat sumbatan (iskemik) atau pecahnya perdarahan (hemoragik). Penanganan awal pada pasien stroke dengan oxygen deprivation (SpO2 <92%) adalah terapi oksigen. Dalam uji klinis pasien dengan stroke akut, suplementasi oksigen dosis rendah meningkatkan perbaikan di pasien yang tidak mengalami hipoksia. Suplementasi oksigen dosis rendah mungkin tidak cukup untuk mencegah desaturasi parah; uji coba ini tidak menemukan perbedaan signifikan dalam desaturasi antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Sebuah penelitian kecil non-acak yang membandingkan terapi oksigen aliran tinggi melalui masker dengan suplementasi aliran rendah melalui kanula hidung menunjukkan hasil yang tidak signifikan pada peningkatan resiko kematian pada terapi oksigen dengan aliran rendah. Namun, bukti dari uji coba acak dari terapi oksigen aliran rendah pada stroke akut menunjukkan bahwa dosis oksigen yang lebih rendah menunjukkan hasil yang lebih baik. Hal ini menunjukkan bahwa terapi oksigen dengan dosis rendah lebih baik dibandingkan dengan pemberian terapi oksigen dosis tinggi. Pemberian oksigen dengan dosis yang tidak sesuai dapat memberi efek terapi yang tidak diinginkan (SpO2 >96% dan stabil). Pasokan oksigen yang berlebihan menyebabkan terjadinya
kondisi
hiperoksia.
Pada
kondisi
hiperoksia,
spesies
oksigen
reaktif
(ROS/Reactive Oxygen Species) terbentuk selama fosforilasi oksidatif di mitokondria, yang menyebabkan
kerusakan
alveolar
dan
mikrovaskular.
Terbentuknya
ROS
akibat
peningkatan oksigen dalam tubuh, memicu peningkatan sistem antioksidan sehingga akhirnya memenuhi paru-paru. Ketidakseimbangan antara ROS dan antioksidan tersebut 24
menciptakan keadaan stress oksidatif seluler (Pannu, 2016). Stres oksidatif dapat menyebabkan terjadinya nekrosis dan apoptosis. Nekrosis dan apoptosis tersebut memperbesar terjadinya infark yang kemudian dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas sistem neurologis (Rodrigo et al., 2013).
Pada stroke iskemik terjadi kekurangan oksigen (oxygen deprivation)
Diberikan terapi oksigen
Jika pemberian terapi oksigen berlebihan dapat terjadi peningkatan ROS (Reactive Oxygen Species) atau peningkatan radikal bebas dalam tubuh
Peningkatan ROS yang berlebihan dapat memicu munculnya sistem antioksidan
Ketidakseimbangan radikal bebas dan antioksidan (ROS) tersebut dapat memicu terjadinya stress oksidatif
Stress oksidatif dapat menyerang biomolekul yang dapat menyebabkan terjadinya nekrosis, apoptosis, autofagositosis
Memperbesar terjadinya infark
Morbiditas dan mortalitas sistem neurologis Gambar 4.1. Dampak ROS terhadap system Neurologis
25
4.2 Peran Perawat dalam Pemberian Terapi Oksigen Perawat sebagai tenaga kesehatan yang selalu berada disamping pasien harus lebih memberikan perhatian khusus pada pemberian terapi oksigen secara benar dosis, benar kecepatan aliran, benar alat (nasal kanul, masker dsb) dan berdasarkan kondisi pasien. Pengetahuan dan cara memberi terapi oksigen adalah penentu tercapainya pemberian oksigen secara optimal. Tempat kerja berdampak pada tingkat pengetahuan perawat dalam pemberian terapi oksigen (Mayhob, 2018). Menurut Permadi Pamungkas, 2015 ha-hal yang harus diperhatikan perawat dalam pemberian terapi oksigen diantaranya : 1. Penilaian kondisi fisik pasien, pengkajian pola nafas dan warna kulit. Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas dan keadekuatan pernafasan pada pasien. Kontraindikasi pemberian oksigen, meliputi pasien dengan kelainan hidung, gangguan dalam saluran pernafasan, pembengkakan saluran nafas (seperti polip dan tumor), Pemberian terapi oksigen harus hati-hati karena masingmasing metode memiliki cara yang berbeda dan ada beberapa kondisi yang harus dipenuhi sebelum melakukan terapi oksigen yaitu diagnosis yang tepat. 2. Implementasi pemberian oksigen harus memperhatikan alat apa saja yang diperlukan posisi yang tepat sesuai dengan keadaan pasien ,observasi humidifer terkait volume dan gelembung, pemeriksaan aliran oksigen serta mengobservasi keadaan pasien selama pemberian oksigen. 3. Observasi keadaan pasien, dengan melihat warna kulit (daerah bibir), status pernafasan, sianosis, dan penggunaan otot bantu pernafasan, serta monitoring saturasi oksigen pasien secara berkala dan menyesuaikan tingkat aliran oksigen (dosis) sesuai saturasi.
26
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan 1. Tidak ada pengaruh yang signifikan terkait waktu pemberian oksigen di pagi , siang, maupun malam hari terhadap perbaikan status neurologis pasien stroke. Namun terdapat pengaruh terkait waktu pemberian oksigen yaitu pada malam hari (nokturnal) terhadap peningkatan saturasi oksigen dibandingkan dengan pemberian oksigen secara rutin pada pasien stroke akut. 2. Terdapat pengaruh pemberian oksigen secara rutin pada penurunan status neurologis pasien stroke sebanyak 50% dibandingkan dengan pemberian oksigen sesuai kebutuhan klinis.
Namun, terdapat pengaruh
terkait pemberian oksigen
dengan dosis tinggi pada waktu singkat (2 jam) dalam meningkatkan konsentrasi hemoglobin pasien stroke. 3. Terdapat pengaruh yang sama pada peningkatan saturasi oksigen (dalam batas normal) baik dengan aliran 2L/menit melalui nasal canula maupun dengan aliran 5L/menit melalui simple mask. Namun terdapat pengaruh buruk pemberian oksigen dosis tinggi pada pasien dengan saturasi oksigen normal yang dapat mengarah pada kejadian ROS yang dapat memberikan dampak buruk pada status kesehatan pasien stroke sehingga meningkatkan resiko kematian. 4. Studi ini menemukan bahwa saturasi oksigen pada 94% hingga 96% adalah batas atas (maksimal) yang dapat digunakan secara klinis selama masa perawatan dalam pemberian terapi oksigen. 5.2 Saran Tenaga kesehatan harus menyadari risiko bahaya pemberian oksigen dan menghindari pemberian oksigen tanpa indikasi dan prosedur yang tepat. Terapi oksigen yang diberikan kepada pasien juga perlu dipantau dan segera dihentikan jika pasien tidak lagi mengalami hipoksia. Fasilitas kesehatan juga sebaiknya memperlakukan oksigen sebagai obat yang perlu diresepkan dan diberikan dengan prinsip benar untuk membantu meregulasi penggunaannya.
27
Daftar Pustaka
Ali. K., Sills S., Roffe C. 2005. The effect of different doses of oxygen administration on oxygen saturation in patients with stroke. Neurocrit Care. 3(1) : 24-26 Artiani, Ria. 2009. Ata Glace Ilmu Bedah Edisi 3. PT Gelora Aksara Pratama Beasley, R. Chien J. Douglas J., Eastlake L., Farah C., King G., Moore R., et. al. 2015. Thoracic society of Australia and New Zealand oxygen guidelines for acute oxygen use in adults: “Swimming between the Flags”. Respirology, 20(8) : 1182-91 British Thoracic Society. 2017. Guideline for oxygen use in healthcare and emergency settings. Calzia E, Asfar P, Hauser B, Matejovic M, Ballestra C, radermacher P, et al. 2010. Hyperoxia may be beneficial. Crit Care Med. 38 [Suppl.] :S559 –S568. Chu DK, Kim LHY, Young PJ, Zamiri N, Almenawer SA, Jaeschke R. 2018. Mortality and morbidity in acutely ill adults treated with liberal versus conservative oxygen therapy (IOTA): a systematic review and meta-analysis. Lancet. 391:1693–1705. Corwin, EJ. 2009. Buku Saku Patofisiologi, 3 Edisi Revisi. Jakarta: EGC Damiani E, Adrario E, Girardis M, Romano R, Pelaia P, Singer M. 2014. Arterial hyperoxia and mortality in critically ill patients: a systematic review and meta-analysis. Critical Care. 18(711):1-16 Dewanto, George.2009. Panduan Praktis dan Tatalaksana Penyakit Saraf.Jakarta: EGC Elley H. H. Chiu, Chin- San Liu, Teng-Yeow Tan, Ku-Chou Chang. 2006. Venturi Mask Adjuvant Oxygen Therapy in Severe Acute Ischemic Stroke. 263:741-744. Girardis, M., Busani. S., Damiani, E. Donati A., Rinaldi L., Marudi A., et. al. 2016. Effect of conservative vs conventional oxygen therapy on mortality among patients in an intensive care unit: The Oxygen-ICU randomized clinical trial, 2016, 216, 1583. Helmerhorst HJF, Roos-Blom MJ, van Westerloo DJ, de Jonge E. 2015. Association Between Arterial Hyperoxia and Outcome in Subsets of Critical Illness: A Systematic Review, Meta-Analysis, and Meta-Regression of Cohort Studies. Critical Care Medicine. 43(7):1508-1519. Kane, Binita., Samantha Decalmer, B. Ronan O’Driscoll. 2013. Emergency oxygen therapy : from guideline to implementation. Breathe. 9: 246-253 28
Khalid Ali, Sheila Siils, and Christine Roffe. 2005. The Effect of Different Doses of Oxygen Administration on Oxygen Saturation in Patient With Stroke. Springfield Unit. University Hospital of North Staffordshire, Staffordshire, UK Majumdar, R.S., D.T Eurich, J. M Gabriel. 2011. Oxygen Saturations Less than 92% Are Associated with Major Adverse Events in Outpatients with Pneumonia: A PopulationBased Cohort Study. 52(3) 325 – 331. Mansjoer, Arif. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC Buku Kedokteran. Maya, I Putu GNI. 2017. Terapi Oksigen. SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Mayhob, M. M., 2018. Nurse’s Knowledge, Practices And Barriers Affecting A Safe Administration Of Oxygen Therapy. Faculty of Nursing. British University in Egypt. McEvoy JW. 2018. Excess oxygen in acute illness: adding fuel to the fire. Lancet. 391:16401642. Muttaqin,
Arif.
2008. Asuhan
Keperawatan
Klien
dengan
Gangguan
Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika O’Driscoll BR, Howard LS, Earis J, Mak V. 2017. British Thoracic Society Emergency Oxygen Guideline Group, BTS Emergency Oxygen Guideline Development Group. BTS guideline for oxygen use in adults in healthcare and emergency settings. Thorax. 72 (suppl 1):ii-90 Pamungkas, P. N., Anita I., Ika S. W., 2015. Manajemen Terapi Oksigen oleh Perawat RSUD Karanganyar Surakarta. STIKES Kusuma Husada Surakarta. Pannu, S R. 2016. Too Much Oxygen: Hyperoxia and Oxygen Management in Mechanically Ventilated Patients. Seminars in Respiratory and Critical Care Medicine 37(01). New York: Thieme Medical Publishers 333 Seventh Avenue Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Ed.6. Jakarta: EGC Riskesdas, Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. 2013. Situasi Kesehatan Jantung. Jakarta. Rodrigo, R., et al. 2013. Oxidative Stress and Pathophysiology of Ischemic Stroke: Novel Therapeutic Opportunities. Journal of CNS & Neurological Disorders – Drugs Target Vol. 12(2). Roffe, C. Sheila Sills, Sarah J. Pountain, and Martin Allen, FRCP. 2010. A Randomized Controlled
Trial
of
the
Effect
of
Fixed-dose
Routine
Nocturnal
Oxygen 29
Supplementation on Oxygen Saturation in Patients with Acute Stroke.Journal of Stroke and Cerebrovascular Diseases, Vol. 19, No. 1 (January-February), pp 29-35 Ronning OM, Guldvog B. 1999. Should Stroke Victims Routinely Receive Supplemental Oxygen? : A Quasi-Randomized Controlled Trial. Stroke. 30(10):2033–2037. Sastroasmoro, S. 2010. Mengurai dan Merajut Disertasi dan Tesis. Jakarta: BP IDAI Semieniuk R.A.C, D.K Chu, L.H.Y Kim, W. Alhazzani. 2018. Oxygen therapy for acutely ill medical patients: a clinical practice guideline, 363 : k4169. Smeltzer, dkk. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 2. alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin asih. Jakarta: EGC. Trusen. Appelros P., Nydevik I., Viitanen M. 2003. Poor Outcome After First-Ever Stroke: Predictors for Death, Dependency, and Recurrent Stroke Within the First Year. Stroke, 34(1), pp.122–126. Vold, ML., Ulf Aasebo, Hasse Melbye. 2013. Low oxygen saturation and mortality in an adult population, 42, P4718. WHO.
(2015).
Stroke,
Cerebrovascular
accident,
(Online),
(http://www.who.int/topics/cerebrovascular_accident/en/), diakses pada 30 Februari 2019
30