Zat Antivirus Dan Anti Jamur

  • Uploaded by: nisa milati biyantini
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Zat Antivirus Dan Anti Jamur as PDF for free.

More details

  • Words: 2,484
  • Pages: 7
Zat Antivirus dan Anti Jamur Zat Anti virus Penyakit – penyakit jamur bisa berbentuk superficial yang melibatkan kulit atau membran mukosa atau infeksi sistemik (dalam) yang melibatkan organ internal yang beragam. Mikosis superficial biasanya diatasi dengan obat-obat topical. Topical agents yang dibahas di sini adalah yang aktivitasnya melawan infeksi mukokutaneus oleh Candida albicans, janur yang paling umumditemukan di lesi oral. Seringkali infeksi ini jinak, seperti pada stomatitis gigi tiruan, tapi juga dapat mengindikasikan kondisi medis serius seperti imunodefisiensi. Infeksi jamur sistemik dibagi menjadi dua kelompok menurut status pasien dan organisme yang menginfeksi. Mikosis oportuinistik terjadi pada pasien debil dan immunocompromised seperti pada penderita AIDS, leukemia, atau limfoma dan pada pasien dengan immunosuppressive agents atau antibiotic berspektrum luas. Jamur yang terlibat termasuk spesies Candida, Aspergillus, dan Cryptococcus dan bermacam phyomycetes. Jamur-jamur ini biasanya berbahaya dan menyebabkan mortality rate yang tinggi. Mikosis endemic disebabkan bermacam pathogen yang terdistribusi ke seluruh dunia dan memiliki insidensi rendah di daerah beriklim panas. Amphotericin B Amphotericin B adalah antifungal agent yang diambil dari Streptomyces nodasus, actinomyces yang ditemukan di tanah. Agent ini busa bersifat fungistatik maupun fungisida tergantung konsentrasi obat, pH, dan jamur penyebab.aktivitas puncak terjadi pada pH antara 6.0 dan 7.5. Amphotericin B memiliki spectrum luas dan efektif melawa spesies Candida, Histoplasma capsulatum, Cryptococcus neoformans, dan Coccidioides immitis. Mekanisme primer aksi antifungal amphotericin B dihasilkan dari ikatannya pada ergosterol, komponen membrane sel pada jamur sensitive. Ikatan ini membentuk channel dalam membrane, mengubah permeabilitas dan mengakibatkan kebocoran ion Na+, K+, dan H+. juga, amphotericin B bisa menstimulasi fungsi makrofag tuan rumah, dan fungsi immunomodulation ini diperantarai bentuk oksida amphotericin B. akhirnya, amphotericin B meningkatkan kemampuan C.albicans menginduksi tumor nekrosis factor-α. Resistensi terhadap amphotericin B dihubungkan dengan pertukaran ergosterol dengan sterol lain dalam membrane plasma jamur. Amphotericin B tidak diabsorbsi dari kulit ata membrane mukosa dan sangat sedikit diabsorbsi dari GIT. Karena ketidak larutannya dalam media air, obat ini direkonstitusi lagi dalam larutan garam empedu deoxycholate segera sebelum pemakaian. Untuk infeksi sistemik, amphotericin B dimasukkan oleh infus intravena lambat (2-6 jam setiap hari). Obat ini terikat pada plasma darah dengan lipoprotein yang beragam dan dalam jaringan dengan membrane yang mengandung kolesterol. Studi terbaru menunjukkan bahwa kompleks amphotericin B dan lipid atau liposomal persiapan amphotericin B dapat digunakan untuk infeksi sistemik, terutama pada bayi prematur dan pasien immunecompromised lainnya. Jalur metabolisme pasti amphotericin B tidak diketahui, tapi kebanyakan obat ini bio-transformed dan lalu pelan2 diekskresikan oleh ginjal setelah 2 bulan selanjutnya. Konsentrasi plasma amphotericin B tidak dipengaruhi oleh penyakit ginjal; demikian tidak ada penyesuaian dosis yang diperlukan pada pasien

dengan fungsi ginjal yang baik. Amphotericin B yang digunakan secara topical sebagai 3% krim, salep, atau lotion, berguna dalam perawatan infeksi Candida superficial. Karena infeksi C.albicans dapat terjadi pada pasien yang menerima antibiotic berspektrum luas, agen ini terkadang dimasukkan dengan ampothericin B atau nystatin. Bagaimanapun, efikasi kombinasi fixed-ratio belum terbukti dan tidak menunjukkan terapi yang sehat. Satu-satunya efek samping yamng mengiringi aplikasi topical atau pemasukan oral pada amphotericin B adalah iritasi local dan gangguan gastrointestinal ringan. Sebagai agen intravena, bagaimanapun, amphotericin B adalah antibiotic paling toksik sekarang ini. Amphotericin B intravena menyebabkan banyak efek samping seperti hipotensi dan mengigau bersama demam, mual, vomitus, sakit perut, anorexia, sakit kepala, dan thrombophlebitis. Anemia normocytic, hypochromic diinduksi oleh amphotericin B, dan leucopenia dan thrombocytopenia jarang terjadi. Reaksi alergi bermacam tipe telah dilaporkan, termasuk anafilaksis. Semua pasien yang menerima amphotericin B intravena menunjukkan beberapa derajat nefrotoksistas. Kerusakan permanent pada ginjal, bagaimanapun, tidak terjadi di pasien yang menerima dosis kumulatif kurang dari 4 gram selama interval terapetik normal pada beberapa minggu. Kewaspadaan besar harus dilatih ketika amphotericin B digunakan dengan obat nefrotoksik yang lain. Karena amphotericin Bdapat menyebabkan hypokalemia, ia dapat juga meningkatkan tiksisitas digital. Efek toksik cyclosporine dapat ditingkatkan juga. Nystatin Antibiotic polyene yang diambil dari Streptomyces noursei. Strukturnya sama dengan amphotericin B. Nystatin relative tak larut dalam air dan tidak stabil kecuali dalam bentuk bubuk kering. Nystatin memiliki spectrum aktivitas yang jelas lebih sempit dari amphotericin B tapi juga aktif melawan sejumlah spesies Candida, Histoplasma, Cryptococcus, Blastomyces, dan dermatofita Epidermophyton, Trichophyton, dan Microsporum. Seperti dengan amphotericin B, nystatin bisa fungisid ataupun fungistatik tergantung konsentrasi obat yang ada, pH medium sekitar dan sifat asli organisme penginfeksi. Mekanisme aksi nystatin juga sama dengan amphotericin B. In vitro, beberapa spesies Candida, seperti C,tropicalis, dapat mengembangkan resistensi pada nystatin, tapi resistensinya jarang diteliti secara klinis. Nystatin tidak mudah diabsorbsi dari kulit, memnbran mukosa, atau gastrointestinal tract. Setelah pemasukan oral, jumlah dosis yang masuk terlihat tidak berubah dalam feses. Karena toksisitas sistemik yang tidak dapat diterima, nystatin tidak pernah diberikan secara parenteral. Bagaimanapun, bentuk yang lebih baru dari nystatin yang terbungkus dalam liposom menunjukkan pengurangan toksisitas sistemik, membuatnya menjadi agent antifungal yang aktif. Juga, nystatin liposome telah disarankan untuk target spesies Candida yang resisten terhadap amphotericin B. Nystatin digunakan terutama unuk merawat infeksi candidal di mukosa, kulit, tractus intestinalis, dan vagina. Walaupun efikasi nystati oral untuk candidiasis enteric masih dipertanyakan, nystatin topikalmasih menjadi obat pilihan untuk perawatan infeksi candidal di cavitas oral (moniliasis oral, sariawan, stomatitis gigi tiruan). Ia juga digunakan sebagai alat pencegah pada pasien immunocompromised. Untuk perawatan candidiasis oral, 2 – 3 ml suspensi mengandung 100.000 unit/ml nystatin ditaruh di tiap sisi mulut, dikibaskan, dan ditahan 5 menit sebelum ditelan. Regimen ini diulangi setiap 6

jam selama setidaknya 10 hari atau 48 jam setelah remisi gejala. Secara alternative, 1-2 tablet (masing2 200.000 unit) dapat dipakai 4-5kali per hari. Untuk stomatitis gigi tiruan, salep nystatin (100.00 unit/ g) dapat dipakai secara topical setiap 6 jam pada permukaan jaringan gigi tiruan. Nystatin dapat ditoleransi dengan baik, dan hanya gangguan gastrointestinal ringan dan sementara seperti mual, vomitus dan diare pernah terjadi setelah ingesti oral. Komplain utama dihubungkan dengan rasa nystatin yang pahit. Griseofulvin Pertama kali diisolasi dari Penicillum griseofulvum dierckx di 1939. efeknya fungistatik untuk spesies Microsporum, Epidermophyton, dan Trichophyton yang menginfeksi kulit, rambut, dan kuku. Griseofulvin berinteraksi dengan mikrotubula yang terpolimerisasi, menyebabkan disrupsi spindle mitosis dan terkadang mitosis fungal. Griseofulvin diabsorbsi secara beragam dari traktus gastrointestinal; mikronisasi partikel obat primer dan ingesti dengan makanan berlemak meningkatkan bioavailabilitas. Walaupun kebanyakan obat yang diabsorbsi diinaktivasi dalam liver oleh dealkilasi, half-life plasma cukup panjang (mendekati 20 jam), dan griseofulvin siap mencapai kulit, rambut, dan kuku, di mana ia berikatan sangat kuat dengan keratin yang baru disintesis dan menghambat infeksi fungal melalui keratin permukaan. Efek samping serius tidaklah umum, tapi griseofulvin dapat menyebabkan mual, vomitus, diare, kelelahan dan sakit kepala dan kebingungan mental. Obat ini juga dapat menyebabkan reaksi hepatologis dan dermatologis. Sebagai inducer untuk enzim sitokrom P450, griseofulvin dikontraindikasikan untuk pasien dengan porphyria akut berkelanjutan dan dapat berpartisipasi dalam sejumlah interaksi obat, mengurangi efektifnya obat secara potensial seperti warfarin dan kontrasepsi oral. Flucytosine Analog cytosine yang terfluorisasi, adalah antimycitic agent sintetis yang efektif lewat oral dalam perawatan infeksi fungal sistemik, terutama yang disebabkan ragi. Flucytosine memiliki spectrum antifungal yang terbatas disbanding amphotericin B dan secara umum efektif melawan beberapa spesies Cladosporium dan Phialophora, hal yang belakangan menjadi penyebab etiologis chromoblastomycosis. Flucytosine diambil bersama sel jamur sensitive oleh cytosine permease, yang dikonversikan jadi 5-fluorouracil dengan enzim cytosine deaminase. 5-fluorouracil kemudian lebih jauh dimetabolisme menjadi 5-fluorodeoxyuridine monofosfat, inhibitor kompetitif untuk thymidylate synthetase.formasi thymidine monophosphatase dari deoxyuridine monophosphate kemudian diblok dan sintesis DNA terganggu. 5fluorouridine triphosphate juga dibentuk dalam sel jamur, mengarahkan pada terbentuknya RNA defektif. Toksisitas selektif dicapai dengan flucytosine karena sel mamalia tidak siap untuk mengambil obat ini atau mengonversikannya menjadi 5fluorouracil. Flucytosine diindikasikan untuk perawatan candidiasis dan cryptococcosis sistemik; bagaimanapun, resistensi flucytosine secara bertahap meningkat selama terapi untuk infeksi ini.mekanisme resistensi termasuk penurunan uptake flucytosine oleh sel jamur (permease yang berubah) dan pengurangan sintesis metabolit nukleotida (deaminase yang berkurang dan aktivitas enzim lainnya). Flucytosine wajarnya

digunakan dalam kombinasi dengan amphotericin B, yang terlihat meningkatkan uptake pada jamur terhadap flucytosine dan menghasilkan efek sinergistik terhadap penyakit jamur tertentu. Mungkin lebih pentingnya, coadministrasi mengijinkan reduksi dosis amphotericin B. Obat ini terdistribusi luas ke selluruh tubuh; mencapai konsentrasi dalam cairan cerebrospinal hampir 65% hingga 90% dibanding pada plasma. Flucytosine memiliki waktu paruh 3-6 jam dan diekskresikan tidak berubah di urin. Toksisitas mayor flucytosine adalah depresi sumsum tulang, menghasilkan anemia, leucopenia, dan thrombocytopenia. Efek ini berhubungan dengan dosis dan reversible. Karena flucytosine diekskresikan kebanyakan lewat ginjal, dianjurkan untuk mengukur konsentrasi obat dalam plasma secara periodic, terutama karena obat ini biasanya diberikan dengan amphotericin B yang sangat nefrotoksik. Sebuah kanaikan enzim hepar dalam plasma dan hepatomegali terjadi pada sekitar 5% pasien penerima flucytosine. Terakhir, flucytosine dapat menyebabkan mual, vomitus, diare, dan (jarangnya) enterokolitis hebat. Efek-efek toksik ini dapat dihasilkan dari pembentukan dan pelepasan 5-fluorouracil oleh jamur dan mikroba usus. Ketoconazole Satu-satunya kompon imidazole antifungal yang digunakan sistemik secara rutin.ini juga agent antifungal oral pertama yang disetujui untuk penggunaan mikosis sistemik yang dalam. Spektrum antifungal pada ketoconazole dan obat antifungal imidazole lainnya memang luas, termasuk ragi, dermatophytes, variasi spesies Histoplasma, Coccidioides, Paracoccidioides, Cladosporium, Phialophora, Blastomyces, dan Aspergillus. Mode aksinya tidak benar-benar diketahui. Imidazole (ketoconazole, miconazole, clotrimazole) dan triazole (itraconazole dan fluconazole) menghambat enzim yang terlibat dalam sintesis ergosterol. Aksi antifungal lainnya yang dianggap berasal dari ketoconazole atau obat sejenisnya, mungkin berhubungan dengan perubahan yang disebabkan oleh lanosterol, termasuk inhibisi transport purin, interferensi dengan respirasi mitokondria, dan penyimpangan komposisi lipid memmbran non sterol. Resistensi yang didapatkan terhadap imidazole bukanlah masalah klinis yang signifikan.; bagaimanapun, itu dapat berkembang dalam C.albicans. candidiasis mukosa refraktori pada pasien immunocompromised dianggap berasal dari spesies Candida dengan resistensi silang pada clotrimazole dan kompon azole lainnya. Ketoconazole diabsorpsi dengan baik dari GIT, dengan keadaan isi perut yang asam. Begitupun dengan obat yang meningkatkan pH lambung, seperti antacid dan antihistamin H2, terbukti mengurangi absorpsinya.bioavailabilitas ketoconazole cenderung berkurang dalam pasien achlorhydric. Pasien seperti ini harus diberikan agen pengasam sebelum masuknya ketoconazole. Konsentrasi puncak di plasma setelah pemasukan oral tercapai dalam 1-2 jam. Ketoconazole siap didistribusikan ke kebanyakan kompartemen tubuh, tapi penetrasi ke SSP buruk. Setelah metabolisme ekstensif di liver, obat diekskresikan terutama lewat empedu.waktu paruh terminal adalah 7-10 jam, tapi ketepatan metabolisme terjadi dengan terapi jangka panjang yang dihasilkan dalam waktu paruh yang lebih panjang dan mengijinkan dosis sekali sehari. Ketoconazole berguna dalam perawatan blastomycosis, histoplasmosis, coccidioidomycosis, dan paracoccidioidomycosis. Ketoconazole juga efektif melawan candidiasis mukokutaneus kronik, tapi kekambuhan dapat terjadi pada diskontinuitas

obat. Perawatan efektif pada deep seated candidiasis sering memerlukan berbulan-bulan untuk penyembuhan lengkap. Walaupun laporan mengindikasikan perawatan sukses untuk oral candidiasis dengan ketoconazole systemic, sebaiknya dibatasi untuk kasus refraktori untuk terapi yang lebih konvensional dengan agent yang digunakan secara topical. Ketoconazole efektif melawan candidiasis oral dan faringeal pada pasien dengan AIDS tingkat tinggi. Kemualan dan vomitus adalah efek tidak langsung yang paling umum dai ketoconazole,tapi insidensinya dapat dikurangi dengan memasukkan obat dengan makanan. Efek samping lain termasuk anorexia, sakit kepala, nyeri epigastric, pendarahan gingival, paresthesia, ruam, dan thrombocytopenia. Toksisitas hepatic hebat terjadi pada hamper 0,01% orang; karena itu obatnya harus digunakan secara hati-hati. Ketoconazole menghambat sintesis testosterone dan estradiol yang bisa mengarahkan pada gynecomastia dan ketidakteraturan menstruasi. Penyimpangan sintesis steroid adrenal dapat juga terjadi. Ketoconazole menghambat metabolisme cyclosporine, phenytoin, sulfonylureas, dan warfarin. Isoniazid meningkatkan metabolisme ketoconazole. Miconazole Obat antifungal imidazole pertama yang disetujui untuk penggunaan topical dan perenteral. Kegunaan sistemiknya sekarang sangat dibatasi karena toksistasnya dan availabilitasnya pada alternative yang lebih tidak berbahaya. Candidiasis kutaneus dan vulvovaginitis yang disebabkan C.albicans merespon dengan sangat baik pada krim nitrat miconazole 2%. Candidiasis oral juga terawatt dengan efektif; bagaimanapun, formulasi spesifik untuk penggunaan intraoral tidaklah memungkinkan. Penggunaan topical lain dari miconazole adalah untuk perawatan infeksi kutaneus yang disebabkan oleh Epidermophyton, Microsporum, dan Trichophyton. Pemasukan parenteral miconazole dapat menjadi berguna untuk perawatan coccidioidomycosis, paracoccidioidomycosis, Cryptococcus, candidiasis sistemik dan candidiasis mukokutaneus, tapi ini dianggap hanya obat second-line. Pada kejadian jarang, miconazole dapat dimasukkan intratechal untuk meningitis fungal. Efek tak langsusng setelah pemberian topical miconazole adalah jarang, tapi gatal2, merah, panas dan skin maceration dapat berkembang. Efek samping paling umum setelah injeksi intravena adalah thrombophlebitis di tempat injeksi. Nausea dan vomitus dapat terjadi bersamaan engan masuknya obat dan selama beberapa jam setelahnya. Toksisitas yang kurang umumdari pemakaian sistemik termasuk reaksi alergi, demam, hyperlipidemia, anemia, thrombocytosis, hyponatremia, dan seizures.beberapa efek2 ini, seperti potensiasi aksi antikoagulan oral, telah dibuat menjadi agen pengemulsi yang digunakan dalam formulasi intravena. Clotrimazole Obat antifungal imidazole yang digunakan untuk infeksi kutan dan mukosa yang bermacam. Spectrum dan mekanisme aksi antifungal serupa dengan ketoconazole dan derivate imidazole lainnya. Walaupun clotrimazole terbatas pada penggunaan topical, preparasi terutama dibuat untuk aplikasi intraoral dipasarkan. Untuk perawatan candidiasis oral, clotrimazole dibuat dalam troche 10 mg. obat yang ditelan diabsorbsi secara beragam namun kurang. Dimetabolisme di liver dan

dieliminasi di feses barsama obat yang tidak terserap. Satu troche dilarutkan dalam mulut lima kali sehari selamasatu minggu adalah regimen standar untuk candidiasis oropharyngeal. Kesukaan pasien adalah karena rasanya yang lebih baik disbanding nystatin. Clotrimazole juga untuk perawatan candidiasis oral terlihat sangat efektif dan menjadi pilihan obat untuk perawatan candidiasis oral pada pasien dengan AIDS. Untuk candidiasis kutaneus dan dermatofitosis, krim atau losion 1% sebanding dengan miconazole. Iritasi erat dengan clotrimazole topical, walaupun spertinya tidak, secara kualitatif serupa dengan miconazole yang disebutkan. Terkadang, minor GI upset dapat mengikuti ingestoi oral obat. Itraconazole Kompon triazole tak larut air yang menunjukkan spectrum lebih besar aktivitas antifungal dan efek klinis yang lebih cepat disbanding ketoconazole. Seperti ketoconazole, itraconazole diabsorbsi dengan baik dari GIT jika diberikan dengan makanan. Terikat sangat erat dengan protein plasma (lebih dari 99%), dan memiliki waktu paruh yang panjang (mendekati 20 jam setelah dosis tunggal, hingga 60 jam pada tahap mantap). Wlaupun konsentrasinya dalam saliva dan cairan cerebrospinal dapat diabaikan, konsentrasi di jaringan 2 -5 kali lebih tinggi dari di plasma. Kebanyakan obat ini di metabolisme di liver dan dieliminasi secara parsial di empedu. Ketika diberikan dalam dosis terapetik, itraconazole menggunakan aktivitas antifungal melawan paracoccidioidomycosis, balstomycosis, aspergillosis, dan bermacam dermatofitosis. Studi lebih awal menunjukkan itraconazole efektif untuk terapi supresif,dan perawatan primer histoplasmosis pada pasien seropositif HIV. Efek kerja dan interaksi obat serupa secara kualitatif dengan semua yang dicatat untuk ketoconazole. Bagaimanapun, itraconazole dan itraconazole terkait lebih spesifik untuk 14-αdemethylase dan tidak memengaruhi metabolisme steroid mamalia secara besar. Fluconazole Fluconazole adalah bistriazole fluorine-substituted tak larut air dengan aktivitas antifungal yang efektif pada pasien immunocompetent dan immunocompromised. Aktivitas antifungal fluconazole serupa dengan ketoconazole. Bagaimanapun, fluconazole secara signifikan krang potensial sebagai inhibitor sintesis steroid mamalia, mengindikasikan antifungal yang lebih spesifik dari ketoconazole. Diabsorbsi dengan baik dari GIT (obat ini juga tersedia untuk injeksi intravena), dengan lemah terikat untuk protein plasma (12%), dan didistribusikan dengan baik ke seluruh tubuh. KOnsentrasi puncak dalam plasma terjadi setelah 2 jam setelah pemasukan oral; konsentrasi dalam cairan cerebrospinal secara umum lebih dari 50% dari nilai corresponding plasma. Fluconazole memiliki waktu paruh yang panjang selama 20-50 jam pada mahasiswa dan hamper 17 jam pada anak-anak. Fluconazole diekskresikan dengan banyak dan tak berubah lewat ginjal. F;uconazole aktif dalam terapi supresif dan perawatan primer pada meningitis cryptococcal, yang dapat terjadi pada pasien AIDS. Efektif dalam perawatan candidiasis mukosa, termasuk nilai oropharyngeal dan esophageal prophylactic melawan candidiasis mukosa di pasien seropositif HIV. Ini juga digunakan pada perawatan primer meningitis

coccidioideal sebagaimana pada blastomycosis dan histoplasmosis. Pada satu studi, obat ini ditemukan lebih efektif melawan candidiasis yang reisten pada plimer dan imidazole

Related Documents

Jamur
June 2020 24
Jamur
May 2020 15
Jamur
June 2020 17
Jamur
October 2019 27

More Documents from "Annisa Jovancka"