DRAFT
IND
BUKU PEDOMAN
PELAYANAN KESEHATAN JIWA DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN DASAR
DEPARTEMEN KESEHATAN DITJEN BINA PELAYANAN MEDIK DIREKTORAT BINA PELAYANAN KESEHATAN JIWA JAKARTA 2006 ii
DRAFT DAFTAR PENYUSUN
Penasihat: 1. Dr. Farid. W. Husain. 2. Dr. G. Pandu Setiawan, SpKJ. Tim Penyusun: 1. Dr. Jonli Indra, SpKJ. 2. Dr. Jusni Ichsan Solichin, SpKJ. 3. Dr. Dan Hidayat, SpKJ.
Editor: 1. Dr. Jonli Indra. SpKJ 2. Dr. Jusni I. Solichin, SpKJ 3. Dr. Eka Viora, SpKJ
ii
DRAFT Pembahas: 1. Dr. Albert Maramis, SpKJ. (Konsultan WHO) 2. Dr. Eka Viora, SpKJ. (Ditkeswamas) 3. Dr. Dahsriati, SpKJ. (Ditkeswamas) 4. Dr. Laurentius Panggabean, SpKJ. (Ditkeswamas) 5. Dr. Agus Supratman, M.Kes. (Ditkeswamas) 6. Dra. Assandimitra Djojodipoero (Ditkeswamas) 7. Reny Yuliani, Psi. (Ditkeswamas)
iii
DRAFT SAMBUTAN DIREKTUR JENDERAL BINA PELAYANAN MEDIK Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Satu di antara 10 strategi Pembangunan Indonesia pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan M. Jusuf Kalla adalah HAK RAKYAT UNTUK MEMPEROLEH AKSES DAN KEBUTUHAN KESEHATAN. Ini dituangkan dalam agenda dan program ekonomi dan kesejahteraan yaitu meningkatkan akses rakyat terhadap layanan kesehatan yang lebih berkualitas. Sesuai dengan definisi Kesehatan oleh WHO bahwa kesehatan meliputi FISIK, MENTAL dan SOSIAL, jadi Kesehatan Jiwa adalah bagian integral dari kesehatan, karena TIDAK ADA KESEHATAN TANPA KESEHATAN JIWA Untuk itu program dan kebijakan yang akan diambil antara lain meningkatkan jumlah, jaringan dan kualitas puskesmas. Peran Kesehatan jiwa dalam meningkatkan kualitas dan pelayanan yang diberikan Puskesmas adalah tersedianya pelayanan kesehatan jiwa dan psikofarmaka di pelayanan kesehatan dasar. Hal ini sesuai dengan rekomendasi WHO pada World Health Report tahun 2001, karena sekitar 30% dari seluruh penderita yang dilayani oleh dokter di pelayanan kesehatan dasar adalah penderita gangguan jiwa. Dalam Kewenangan Wajib dan Standar Pelayanan Minimal (KW-SPM) Kabupaten/Kota untuk Bidang Kesehatan, pelayanan kesehatan jiwa di pelayanan kesehatan dasar menjadi bagian dari KW-SPM tersebut. Program berikutnya adalah MENINGKATKAN KUANTITAS DAN KUALITAS SDM MEDIS. Dalam meningkatkan kualitas SDM di pelayanan kesehatan dasar agar mereka mampu melakukan deteksi dini dan penatalaksanaan masalah kesehatan jiwa pada pasien yang datang berobat ke pelayanan kesehatan dasar, telah dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kemampuan tenaga baik dokter maupun perawat lewat pelatihan-pelatihan bagi dokter dan perawat yang bertugas di fasilitas pelayanan kesehatan dasar tersebut. iv
DRAFT Namun belum semua petugas di fasilitas tersebut mendapat kesempatan mengikuti pelatihan dimaksud, selain masih adanya berbagai kendala yang dihadapi oleh petugas dalam memberikan pelayanan kesehatan jiwa. Oleh karena itu untuk mengatasi keadaan ini diperlukan buku pedoman pelayanan kesehatan jiwa yang dapat dipergunakan di fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Saya menyambut baik terbitnya buku pedoman Pelayanan Kesehatan Jiwa di Pelayanan Kesehatan Dasar ini dengan harapan mudah-mudahan dapat bermanfaat dan dilaksanakan bagi petugas kesehatan di puskesmas maupun fasilitas kesehatan dasar lainnya dalam melaksanakan pelayanan kesehatan jiwa dasar. Saya juga mengucapkan terima kasih atas jerih payah tim penulis, tim pembahas, panitia dan seluruh peserta yang telah berpartisipasi dalam revisi buku ini sehingga buku ini dapat diterbitkan.
Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI
Dr. Farid W. Husain NIP. 130 808 593
v
DRAFT KATA PENGANTAR Pedoman Pelayanan Kesehatan Jiwa di Fasilitas Kesehatan Umum, telah diterbitkan tahun 1995 oleh Ditjen Pelayanan Medik kemudian direvisi menjadi Pedoman Pelayanan Kesehatan Jiwa Dasar di Puskesmas tahun 2004 oleh Direktorat Kesehatan Jiwa, Ditjen Binkesmas. Dari masukan-masukan para pengguna buku pedoman ini di lapangan, ternyata ada beberapa hal dari buku pedoman tersebut yang perlu direvisi kembali antara lain format pelaporan yang lama masih menggunakan ICD8 sementara Rumah Sakit Umum sudah menggunakan ICD-10 sehingga sulit mengambil besaran masalah kesehatan jiwa yang datang ke sarana kesehatan di daerah tersebut. WHO-Indonesia merespon positif pengadaan buku pedoman ini karena sejalan dengan rekomendasi WHO sendiri untuk mengintegrasikan pelayanan kesehatan jiwa di pelayanan kesehatan dasar dan bersedia membantu penggunaannya. Dengan adanya peluang ini, dalam dinamika perubahan yang juga begitu cepat, khususnya pasca Tsunami, maka perhatian terhadap kesehatan jiwa menjadi besar. Untuk itu kita perlu menyesuaikan dengan pelaporan di negara lain sehingga dapat melakukan perbandingan. Dengan dasar tersebut di atas, maka dilakukanlah revisi buku Pedoman Pelayanan Kesehatan Jiwa Dasar si Puskesmas 2004 ini dengan judul Pedoman Pelayanan Kesehatan Jiwa di Pelayanan Kesehatan Dasar yang dapat digunakan baik di Puskesmas maupun fasilitas pelayanan kesehatan dasar lainnya. Semoga buku pedoman ini dapat bermanfaat dalam pelayanan kesehatan jiwa, khususnya bagi petugas kesehatan yang berada di Fasilitas Kesehatan Dasar, Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Direktur Bina Kesehatan Jiwa
Dr. G. Pandu Setiawan, SpKJ. NIP 140 058 259
vi
DRAFT DAFTAR ISI DAFTAR PENYUSUN
ii
SAMBUTAN DIREKTUR JENDERAL BINA PELAYANAN KESEHATAN
iv
KATA PENGANTAR
vi
BAB I
BAB II
BAB III
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Tujuan dan sasaran 1.3. Integrasi kesehatan jiwa di pelayanan kesehatan dasar 1.4. Pengertian 1.5. Landasan Dasar Upaya Kesehatan jiwa
PEDOMAN ANAMNESIS PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS PASIEN DI PELAYANAN KESEHATAN DASAR 2.1. Persiapan 2.2. Prosedur 2.3. Anamnesis 2.4. Pemeriksaan dengan metode 2 menit 2.5. Penggolongan diagnosis gangguan jiwa di fasilitas kesehatan dasar DIAGNOSIS GANGGUAN JIWA DAN PENATALAKSANAANNYA DI PELAYANAN KESEHATAN DASAR 3.1.Gangguan Mental Organik 3.2.Gangguan Penyalahgunaan NAPZA 3.3. Skizofrenia dan Gangguan Psikotik Kronik lain 3.4. Gangguan Psikotik Akut 3.5. Gangguan Bipolar 3.6. Gangguan Depresi 3.7. Gangguan Neurotik 3.8. Gangguan Seksual
1 2 3 5 8
9 10 11 12 14
16 18 24 26 27 29 32 41
vii
DRAFT 3.9. Retardasi Mental 3.10. Gangguan Kesehatan jiwa Anak dan Remaja 3.11. Epilepsi BAB IV PEDOMAN PEMBERIAN PSIKOTROPIKA 4.1. Antipsikotik 4.2. Antidepresan 4.3. Antiansietas POLA RUJUKAN 6.1.Batasan dan pengertian 6.2.Pola rujukan berdasarkan sistem Kesehatan nasional 6.3. Jenjang institusi rujukan . BAB VI PEDOMAN PENCATATAN DAN PELAPORAN 6.1. Tujuan 6.2. Batasan operasional 6.3. Jenis-jenis
45 47 52
54 59 64
BAB V
KEPUSTAKAAN
67 67 68
70 70 71 73
LAMPIRAN
viii
DRAFT BAB I PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG Gangguan jiwa dan perilaku, menurut The World Health Report 2001, dialami kirakira 25% dari seluruh penduduk pada suatu saat dalam hidupnya dan lebih dari 40% di antaranya didiagnosis secara tidak tepat sehingga menghabiskan biaya untuk pemeriksaan laboratorium dan pengobatan yang tidak tepat. Gangguan jiwa dan perilaku dialami pada suatu ketika oleh kira-kira 10% populasi orang dewasa. Dalam laporan itu dikutip juga penelitian yang menemukan bahwa 24% dari pasien yang mengunjungi dokter pada pelayanan kesehatan dasar ternyata mengalami gangguan jiwa. Enam puluh sembilan persen (69%) dari pasien tersebut datang dengan keluhan-keluhan fisik dan banyak di antaranya ternyata tidak ditemukan gangguan fisiknya. Indonesia telah menghadapi berbagai transformasi dan transisi di berbagai bidang yang mengakibatkan terjadinya perubahan gaya hidup, pola perilaku dan tata nilai kehidupan. Dalam bidang kesehatan terjadi transisi epidemiologik di masyarakat dengan bergesernya kelompok penyakit menular ke kelompok penyakit tidak menular termasuk berbagai jenis gangguan akibat perilaku manusia dan gangguan jiwa. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI dengan menggunakan rancangan sampel dari Susenas-BPS (Badan Pusat Statistik) terhadap 65.664 rumah tangga, menunjukkan bahwa prevalensi gangguan jiwa per 1000 anggota rumah tangga adalah sebagai berikut: ♦ Gangguan Mental Emosional (15 tahun atau lebih): 140/1000 ♦ Gangguan Mental Emosional (5 – 14 tahun): 104/1000 Hasil Survei Kesehatan Mental Rumah Tangga (SKMRT) oleh Bahar dkk, pada tahun 1995 yang dilakukan pada penduduk di 11 Kota di Indonesia, menunjukkan bahwa 185/1000 penduduk rumah tangga dewasa menunjukkan adanya gejala gangguan kesehatan jiwa. Prevalensi di atas 100 per 1000 anggota rumah tangga dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian (priority public health problem). Dari hasil penelitian tahun 2002 di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (daerah konflik) di 20 puskesmas dari 10 kabupaten/kota terhadap pasien yang pertama kali datang berobat, ternyata ditemukan 51,10% mengalami gangguan kesehatan jiwa. Penelitian terakhir di Jawa Barat tahun 2002 (point prevalence; unpublished), 1
DRAFT ditemukan 36% pasien yang datang berobat ke puskesmas mengalami gangguan kesehatan jiwa. Dari aspek “kesejahteraan sosial” dan “kualitas hidup masyarakat”, status kesehatan jiwa masyarakat dapat ditinjau dengan menggunakan indikator Human Development Index (HDI) yang diterbitkan oleh United Nation Development Program (UNDP). Pada tahun 1999, Indonesia berada pada peringkat ke 105 di antara 180 negara di dunia. Tahun 2000 turun jadi 108 dan tahun 2002 posisi Indonesia berada pada peringkat 112. Masalah kesehatan jiwa tidak menyebabkan kematian secara langsung, namun akan menyebabkan penderitaan berkepanjangan baik bagi individu, keluarga, masyarakat dan negara karena penderitanya menjadi tidak produktif dan bergantung pada orang lain. Dari hasil penelitian WHO bekerja sama dengan World Bank tahun 1996, beban akibat gangguan kesehatan jiwa yang diukur dengan DALY (disability-adjusted life years) pada tahun 2000 diperkirakan mencapai 12,3%. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan angka penyakit jantung iskemik, penyakit serebrovaskuler dan tuberkulosis. Masalah kesehatan jiwa juga menimbulkan dampak sosial antara lain meningkatnya angka kekerasan, kriminalitas, bunuh diri, penganiayaan anak, perceraian, kenakalan remaja, penyalahgunaan zat, HIV/AIDS, perjudian, pengangguran dan lain-lain. Oleh karena itu masalah kesehatan jiwa perlu ditangani secara serius. Gangguan jiwa dalam pandangan masyarakat masih identik dengan “gila” (psikotik) sementara kelompok gangguan jiwa lain seperti ansietas, depresi dan gangguan jiwa yang tampil dalam bentuk berbagai keluhan fisik kurang dikenal. Kelompok gangguan jiwa inilah yang banyak ditemukan di masyarakat. Mereka ini akan datang ke pelayanan kesehatan umum dengan keluhan fisiknya, sehingga petugas kesehatan sering kali terfokus pada keluhan fisik, melakukan berbagai pemeriksaan dan memberikan berbagai jenis obat untuk mengatasinya. Masalah kesehatan jiwa yang melatarbelakangi keluhan fisik tersebut sering kali terabaikan, sehingga pengobatan menjadi tidak efektif.
1.2. TUJUAN DAN SASARAN 1.2.1. TUJUAN: TUJUAN UMUM: Tertanganinya kasus kesehatan jiwa pada pasien yang datang berobat ke pelayanan kesehatan dasar. 2
DRAFT TUJUAN KHUSUS: Buku pedoman ini sebagai pegangan bagi tenaga kesehatan agar mereka mampu: 1. Mendeteksi secara dini kasus kesehatan jiwa yang datang ke pelayanan kesehatan dasar. 2. Menangani kasus kesehatan jiwa yang datang ke pelayanan kesehatan dasar sesuai dengan kompetensi masing-masing tenaga kesehatan. 3. Melakukan rujukan pada saat yang tepat bila diperlukan.
1.2.2. SASARAN: Sasaran dari buku pedoman ini adalah dokter, perawat, bidan dan tenaga kesehatan lainnya yang bekerja di pelayanan kesehatan dasar.
1.3. INTEGRASI KESEHATAN JIWA DI PELAYANAN KESEHATAN DASAR (STRATA I MENURUT SISTEM KESEHATAN NASIONAL) Dengan meningkatnya masalah kesehatan jiwa, maka kebutuhan akan pelayanan kesehatan jiwa juga semakin meningkat. Jangkauan pelayanan kesehatan jiwa harus dapat mencapai masyarakat yang jauh dan bukan hanya yang bertempat tinggal di kota besar saja. Hal ini merupakan upaya pemerataan pelayanan kesehatan. Upaya ini tidak mungkin bisa dilaksanakan jikalau pelayanan kesehatan jiwa hanya diberikan oleh RSJ (Rumah Sakit Jiwa) saja yang jumlahnya terbatas dan umumnya berada di ibu kota provinsi (belum semua provinsi memiliki rumah sakit jiwa). Pelayanan kesehatan jiwa yang memadai yang dapat menjangkau seluruh masyarakat belum dapat dilaksanakan disebabkan oleh: 1. Jumlah tenaga kesehatan jiwa masih sangat terbatas dan pada umumnya berada di kota besar. 2. Masalah kesehatan jiwa sering kali bermanifestasi dalam bentuk keluhan fisik, sehingga tidak terdeteksi dan tidak teratasi dengan baik. 3. Pengertian tentang kesehatan jiwa masih kurang dan stigma terhadap gangguan jiwa masih besar, sehingga mereka tidak datang ke pelayanan kesehatan jiwa, tapi banyak yang pergi ke pengobat tradisional atau pemuka agama. 4. Penduduk pedesaan (rural) sulit menjangkau fasilitas kesehatan jiwa dan membutuhkan biaya yang cukup besar. 5. Adanya otonomi daerah yang membuat daerah menjadi penentu kebutuhan masing-masing, menyebabkan masalah pelayanan kesehatan jiwa belum tentu dianggap sebagai kebutuhan prioritas. 3
DRAFT Atas dasar ini, maka perlu dikembangkan upaya pelayanan kesehatan jiwa dengan memanfaatkan fasilitas kesehatan yang sudah ada dan merupakan “ujung tombak” dari sistem pelayanan kesehatan, yakni pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas atau pelayanan kesehatan dasar lainnya. WHO sangat mendorong terintegrasinya pelayanan kesehatan jiwa di pelayanan kesehatan dasar. Manfaat integrasi pelayanan kesehatan jiwa ke pelayanan kesehatan dasar itu sendiri antara lain: 1. 2. 3. 4.
Membantu mengatasi kekurangan tenaga kesehatan jiwa. Pengenalan dini gangguan jiwa pada pasien dengan keluhan somatik. Mengurangi stigma dan dapat diterima oleh masyarakat. Mudah diakses, biaya rendah dan tenaga kesehatan lebih mengenal masyarakatnya sehingga mudah melakukan pembinaan. 5. Adanya kesempatan keterlibatan masyarakat. 6. Tanggung jawab berada pada daerah masing-masing. Pada tahun 1976 mulai dikembangkan integrasi pelayanan kesehatan jiwa di Puskesmas dan pada tahun 1980 integrasi pelayanan kesehatan jiwa di RSU kelas D dan C. Tenaga kesehatan jiwa dari RSJ pembina datang ke Puskesmas atau RSU pada hari tertentu dan membuka poliklinik jiwa di sana, tanggung jawab pelayanan berada pada RSJ. Program ini hanya dapat menjangkau Puskesmas dan RSU yang terletak berdekatan dengan RSJ, sedangkan yang terletak jauh masih belum tertangani, pelayanannya pun sangat terbatas (sekali dalam seminggu atau dua minggu). Sampai dengan tahun 1990 pelayanan kesehatan jiwa di tingkat pelayanan kesehatan dasar tersebut masih dilaksanakan melalui kegiatan Integrasi Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa ke Puskesmas dan RSU. Integrasi ini telah berjalan di beberapa provinsi. Pada tahun 1991 dilakukan perubahan cara pelayanan kesehatan jiwa yaitu dengan cara melatih tenaga puskesmas dan RSU kelas D dan C (diutamakan yang terletak jauh dari RSJ) dalam deteksi dini dan penanganan masalah kesehatan jiwa. Dengan cara ini diharapkan pelayanan kesehatan jiwa dapat dilakukan setiap hari secara terintegrasi dengan pelayanan kesehatan umum. Pada saat itu kerja sama dilakukan dengan Kantor Wilayah Kesehatan dan kurang melibatkan Dinas Kesehatan, sehingga peningkatan deteksi kasus jiwa tidak diikuti dengan penyediaan obat psikotropika serta peningkatan kasus yang besar dianggap “KLB” (“Kejadian Luar Biasa”) dan meresahkan. Program integrasi yang selama ini telah dilaksanakan lebih dari 10 tahun, ternyata rata-rata cakupan pelayanan kesehatan jiwa di puskesmas seluruh Indonesia masih kurang dari 1%. Rendahnya cakupan pelayanan kesehatan jiwa tersebut, antara lain karena: - Belum semua puskesmas mendapat kesempatan untuk dilatih. - Tingginya mobilitas dokter puskesmas sehingga program yang sudah dilaksanakan menjadi tidak berkesinambungan. 4
DRAFT -
Penegakan diagnosis dalam sistem pencatatan dan pelaporan di puskesmas berdasarkan keluhan utama, sementara umumnya pasien yang datang ke fasilitas kesehatan umum, keluhan utamanya adalah keluhan fisik disamping keluhan-keluhan mental emosional, sehingga diagnosis yang ditulis adalah diagnosis penyakit fisik.
Dengan terbitnya UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Kabupaten/Kota sebagai Daerah Otonom, terjadi perubahan dalam sistem pemerintahan. Untuk menjamin terselenggaranya pelayanan kesehatan termasuk kesehatan jiwa, maka disusun Standar Pelayanan Minimal dan Kewenangan Wajib yang berlaku untuk kabupaten/kota (Kepmenkes 1457/Menkes/SK/X/2003). Dengan demikian maka tanggung jawab pelayanan kesehatan jiwa berada di kabupaten/kota dengan puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan dan RSJ sebagai pusat rujukan. Agar pelayanan kesehatan jiwa dasar pada puskesmas ini dapat terselenggara, pelatihan-pelatihan yang dulu telah dimulai hendaknya terus dilanjutkan. Dalam pelatihan tenaga medis dan perawat di pelayanan kesehatan dasar, lebih diutamakan untuk memberi perhatian pada faktor emosional sebagai penyebab gangguan kesehatan fisik yang justru sering diabaikan oleh tenaga kesehatan umum. Jadi pelayanan kesehatan jiwa di pelayanan kesehatan umum tidak hanya dititikberatkan pada gangguan jiwa seperti psikosis, tetapi justru lebih pada gangguan kesehatan jiwa yang tampil dalam bentuk berbagai keluhan fisik. Jika faktor mental emosional yang melatarbelakangi keluhan fisik ini diabaikan dapat berakibat: 1. Pelayanan kesehatan umum menjadi kurang efektif karena pasien sering dan berulang kali datang berobat dengan keluhan yang sama, tetapi hanya mendapat pengobatan untuk keluhan fisiknya saja, sehingga terapi menjadi kurang memadai dan biaya menjadi lebih mahal akibat pemeriksaan dan pengobatan yang sebenarnya tidak dibutuhkan. 2. Hubungan dokter dengan pasien kurang diperhatikan, faktor pribadi dan lingkungan psikososial keluarga tidak memperoleh perhatian secukupnya sehingga menyebabkan mutu pelayanan kurang memadai.
1.4. PENGERTIAN 1.4.1. Kesehatan Jiwa (UU No. 23 tahun 1992 Ps 24, 25, 26 dan 27): adalah suatu kondisi mental sejahtera yang memungkinkan hidup harmonis dan produktif sebagai bagian yang utuh dari kualitas hidup seseorang dengan memperhatikan semua segi kehidupan manusia.
5
DRAFT Orang yang sehat jiwa mempunyai ciri: • Menyadari sepenuhnya kemampuan dirinya. • Mampu menghadapi stres kehidupan yang wajar. • Mampu bekerja produktif dan memenuhi kebutuhan hidupnya. • Dapat berperan serta dalam lingkungan hidup. • Menerima baik dengan apa yang ada pada dirinya. • Merasa nyaman bersama dengan orang lain. 1.4.2. Psikiatri (ilmu kedokteran jiwa) adalah cabang spesialistik dari ilmu kedokteran yang mempelajari perilaku manusia baik dalam keadaan sehat maupun sakit serta meneliti genesis, diagnosis, terapi, rehabilitasi dan prevensi gangguan jiwa serta promosi kesehatan jiwa. 1.4.3. Pendekatan eklektik-holistik adalah pandangan yang memandang manusia dan juga perilakunya, baik dalam keadaan sehat maupun sakit, sebagai kesatuan yang utuh dari unsur-unsur organo-biologis, psikoedukatif dan sosio-kultural. Jadi dalam melihat kondisi manusia (termasuk perilakunya), baik dalam kondisi sehat maupun sakit, kita harus meninjau ketiga unsur tersebut secara rinci, namun selektif (eklektik) dan tetap menyadari bahwa ketiga aspek itu saling berkaitan merupakan satu sistem yang tak dapat dipisahkan satu sama lain (holistik). Penerapan pendekatan eklektik holistik dalam kesehatan jiwa akan tercermin dalam kegiatan seperti: -
Hubungan dokter pasien (yang tidak mengabaikan faktor psiko-sosial).
-
Mencari etiologi (yang bersifat multikausal).
-
Pemeriksaan pasien (bersifat fisik, mental dan sosial).
-
Diagnosis (yang bersifat biaksial, yaitu diagnosis fisik dan diagnosis mental emosional).
-
Terapi (yang memperhatikan prioritas dalam penggunaan terapi obat, psikoterapi dan/sosioterapi terhadap pasien tertentu).
-
Rehabilitasi (yang meliputi rehabilitasi medik, edukasional, vokasional dan sosial).
1.4.4. Pelayanan komprehensif: adalah pelayanan dengan jenis pelayanan yang luas, meliputi upaya yang bersifat promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif serta mencakup seluruh jenjang pelayanan yaitu pelayanan kesehatan jiwa spesialistik, pelayanan kesehatan jiwa integratif, dan pelayanan kesehatan jiwa yang berbasis masyarakat.
6
DRAFT 1.4.5. Ruang Lingkup Kesehatan Jiwa Masalah kesehatan jiwa meliputi: -
Masalah perkembangan manusia yang harmonis dan peningkatan kualitas hidup, yaitu masalah kesehatan jiwa yang berkaitan dengan siklus kehidupan, mulai dari anak dalam kandungan sampai usia lanjut.
-
Masalah psikososial yaitu setiap perubahan dalam kehidupan individu baik yang bersifat psikologis ataupun sosial yang mempunyai pengaruh timbal balik dan dianggap berpotensi cukup besar sebagai faktor penyebab terjadinya gangguan jiwa (atau gangguan kesehatan) secara nyata, atau sebaliknya masalah kesehatan jiwa yang berdampak pada kenakalan remaja, lingkungan sosial, misalnya: tawuran, penyalahgunaan NAPZA, masalah seksual, tindak kekerasan, stres pasca trauma; pengungsian/migrasi, usia lanjut yang terisolir, masalah kesehatan jiwa di tempat kerja, penurunan produktivitas; gelandangan psikotik, pemasungan, anak jalanan.
-
Gangguan jiwa yaitu suatu perubahan pada fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang menimbulkan penderitaan pada individu dan atau hambatan dalam melaksanakan peran sosial. Jenis-jenis gangguan jiwa antara lain: gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan NAPZA, alkohol dan rokok; depresi; ansietas; gangguan somatoform (psikosomatik); gangguan afektif; gangguan mental organik; skizofrenia; gangguan jiwa anak dan remaja serta retardasi mental.
1.4.6. Pelayanan kesehatan jiwa di pelayanan kesehatan dasar adalah pelayanan kesehatan jiwa yang dilaksanakan oleh dokter, perawat, bidan atau tenaga kesehatan lainnya di Puskesmas dan pelayanan kesehatan dasar lainnya secara terintegrasi sesuai dengan kompetensi bidang masing-masing. Jadi sambil memeriksa kesehatan fisik, juga dilakukan deteksi dini dan penanganan masalah kesehatan jiwa. Untuk itu Dinas Kesehatan setempat perlu melakukan pelatihan tenaga pelayanan kesehatan dasar (dokter, perawat dan bidan) untuk deteksi dini dan penanganan masalah kesehatan jiwa serta penyediaan obat psikotropika sesuai dengan kebutuhan. Mungkin pula diperlukan penambahan tenaga di pelayanan kesehatan dasar. Dalam hal ini tenaga kesehatan jiwa bertindak sebagai konsultan atau pembina, pelatih dan melakukan supervisi berkala terhadap pelayanan kesehatan jiwa. RSJ adalah tempat rujukan pasien yang sulit ditangani di pelayanan kesehatan dasar. 7
DRAFT 1.5. LANDASAN DASAR UPAYA KESEHATAN JIWA 1.5.1. Landasan ilmiah: Dasar ilmiah yang terutama adalah ilmu kedokteran jiwa (psikiatri) yang merupakan salah satu cabang ilmu kedokteran. Ilmu kedokteran pada mulanya merupakan ilmu yang berorientasi klinis, namun dalam perkembangannya telah berorientasi pula pada kemasyarakatan yang merupakan ilmu terapan yang bersifat multidisipliner yang menggabungkan antara ilmu biologi, ilmu perilaku dan ilmu sosial. Dengan demikian ilmu kedokteran jiwa modern merupakan ilmu terapan yang bersifat multidisipliner.
1.5.2. Landasan hukum: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan (Pasal 1 ayat 1) UU No 5 tahun 1997 tentang Psikotropika. UU No 22 tahun 1997 tentang Narkotika. UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Keputusan Menteri Kesehatan RI No 1457/ MENKES/ SK/X/2003 tentang Kewenangan Wajib dan Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota. 7. Keputusan Menteri Kesehatan RI No 128/ MENKES/ SK/II/2004 tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat.
8
DRAFT BAB II PEDOMAN ANAMNESIS, PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS PASIEN DI PELAYANAN KESEHATAN DASAR Cara anamnesis dan pemeriksaan ini merupakan salah satu cara untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan secara umum di Pelayanan Kesehatan Dasar. World Health Report tahun 2001 menyebutkan bahwa 24% pasien yang datang ke Pelayanan Kesehatan Dasar menderita gangguan kesehatan fisik yang disebabkan oleh faktor mental emosional. Oleh karena itu pengetahuan dan keterampilan petugas di bidang kesehatan jiwa akan membantu meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dasar tersebut. Prosedur ini sebenarnya merupakan prosedur lege artis dalam pelayanan kesehatan.
2.1. PERSIAPAN Prosedur ini akan lebih berhasil apabila dilakukan persiapan sebelumnya sebagai berikut: 1. Aturlah jadwal pemeriksaan, sehingga pasien dapat bergilir diperiksa secara tertib. Dengan demikian Puskesmas membiasakan “budaya antre” pada masyarakat. Caranya disesuaikan dengan kondisi Puskesmas dan masyarakat. 2. Aturlah arus pasien yang akan diperiksa, sehingga pelayanan berjalan dengan lancar dan pasien tidak bergerombol. Hal ini membantu meningkatkan kerahasiaan pasien. 3. Aturlah ruangan dan tata letak meja/kursi/ tempat tidur periksa, agar cara pemeriksaan dapat dilakukan menurut urutan yang benar (anamnesis, pemeriksaan, diagnosis, terapi). Hal ini untuk meningkatkan kenyamanan petugas dan pasien. 4. Hendaknya para petugas kesehatan di Puskesmas (petugas loket, perawat, dokter, petugas apotek, dan lain-lain) merupakan satu tim kerja yang baik. 5. Tingkatkan kenyamanan suasana dan lingkungan, agar pasien merasa betah. 6. Petugas yang ramah dan memperhatikan kebutuhan pasien secara menyeluruh, akan mempermudah hubungan yang terbuka dan lancar antara pasien dengan petugas. 7. Apabila diperlukan wawancara yang lebih lama, ditentukan waktu tersendiri agar pasien lain tidak terlalu lama menunggu (misalnya buat perjanjian setelah selesai pemeriksaan pasien di poliklinik).
9
DRAFT 2.2. PROSEDUR (Lihat skema) 1.
Gunakan kartu status yang biasa dipakai di Puskesmas.
2.
Anamnesis dilakukan pada semua pasien (anak/dewasa; baru/lama) oleh perawat/orang yang bertugas melakukan anamnesis pertama (intake worker) dan atau dokter.
3.
Pasien dipersilakan duduk di kursi yang disediakan disamping meja petugas.
4.
Pada pasien dewasa (18 tahun ke atas ) dan usia lanjut: a. Tanyakan keluhan utama pasien, catat pada status dengan menggunakan bahasa pasien; b. Golongkan keluhan tersebut apakah termasuk: Keluhan fisik murni (Fm); keluhan fisik disertai keluhan mental emosional atau fisik ganda (Fg); keluhan Psiko-Somatik (PS); atau keluhan Mental-Emosional (ME), dan beri kode. c. Bila keluhan utama termasuk PS, ME atau Fg, lanjutkan dengan pertanyaan (aktif). d. Beri paraf di bawahnya; dan lanjutkan dengan pemeriksaan rutin lain (tekanan darah, dan lain-lain)
5.
Pada pasien anak dan remaja (di bawah 18 tahun): a. Tanyakan keluhan utama pada anak/pengantar, catat pada status. b. Keluhan fisik murni (Fm); keluhan fisik disertai keluhan mental emosional (Fg); keluhan Psiko-Somatik (PS); atau keluhan MentalEmosional (ME), dan beri kode di sampingnya. c. Selalu ditanyakan adanya keluhan Mental-Emosional dan status perkembangan anak. d. Lanjutkan dengan pertanyaan nomor 3 (dari pertanyaan aktif). e. Beri paraf di bawahnya.
6.
Dokter memeriksa kembali hasil anamnesis dengan melihat keadaan pasien secara menyeluruh dan menanyakan kembali hal-hal yang meragukan, atau menanyakan hal-hal lainnya.
7.
Setelah pemeriksaan fisik dan mental, lalu tetapkan diagnosis baik fisik maupun mental serta cantumkan kode diagnosisnya.
8.
Pada kolom terapi cantumkan resep obat yang diberikan dan beri paraf.
9.
Setelah selesai, pasien dengan gangguan mental, dapat ditindaklanjuti pada hari lainnya secara khusus.
10. Pada kunjungan berikutnya, ikuti prosedur yang sama seperti di atas. 10
DRAFT 11. Jika telah memahami prosedur di atas, petunjuk anamnesis dan pemeriksaan ini (skema) dapat diletakkan di atas meja periksa.
2.3. ANAMNESIS Anamnesis dapat dilakukan pada pasien (autoanamnesis) atau pada yang menemani pasien (alloanamnesis). Keluhan utama yang dikemukakan secara spontan oleh pasien atau pengantarnya merupakan alasan berobat ke Puskesmas. Keluhan utama dapat berupa: a. Keluhan fisik (Fm) yaitu keluhan yang bersifat fisik murni dan tidak jelas berlatar belakang mental emosional, biasanya membutuhkan terapi farmakologik. Contoh: panas, batuk, pilek, mencret, muntah, borok, luka, perdarahan. b.
Keluhan fisik ganda (Fg) yaitu keluhan fisik murni disertai dengan keluhan mental emosional. Contoh: luka karena kecelakaan disertai dengan kecanduan alkohol, keluhan batuk kronis disertai dengan keluhan cemas atau putus asa karena tak kunjung sembuh.
c.
Keluhan psikosomatik (PS) yaitu keluhan fisik/jasmani yang diduga berkaitan dengan masalah kejiwaan (mental emosional). Contoh: berdebar-debar, tengkuk pegal, tekanan darah tinggi (gejala kardiovaskular); ulu hati perih, kembung, gangguan pencernaan (gejala gastrointestinal); sesak napas, mengik (gejala respiratorius); gatal, eksem (gejala dermatologi); encok, pegal-pegal, kejang, sakit kepala (gejala muskuloskeletal); gangguan haid, keringat dingin disertai debar-debar (gejala hormonal-endokrin); migren, sering lupa (pikun), kesemutan, kram, kelumpuhan anggota gerak, gangguan kesadaran (gejala serebrovaskuler).
d.
Keluhan mental emosional (ME) yaitu keluhan yang berkaitan dengan masalah kejiwaan (alam perasaan, pikiran dan perilaku). Contoh: mengamuk, bicara kacau, mendengar bisikan, melihat bayangan iblis, telanjang di depan umum (gejala psikotik); cemas/ takut tanpa sebab yang jelas, gelisah, panik, pikiran dan/atau perilaku yang berulang, gagap (gejala neurotik dengan afek cemas); murung, tak bergairah, putus asa, ide kematian (gejala depresi); penyalahgunaan atau ketergantungan terhadap alkohol, rokok dan NAPZA (gejala gangguan penggunaan zat psikoaktif); ayan, bengong, kejang-kejang (gejala gangguan epilepsi); gejala pada anak-anak dan remaja seperti kesulitan belajar, tak bisa mengikuti pelajaran di sekolah, gangguan fungsi sosial (gejala gangguan 11
DRAFT retardasi mental), gangguan perkembangan, gejala psikotik pada anak, gejala autisme pada kanak, gejala gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas, enuresis. Keluhan PS dan keluhan ME yang disertai dengan distres (penderitaan pada pasien dan/atau keluarga/lingkungan), dan/atau gangguan pada fungsi pekerjaan/akademik, fungsi sosial, fungsi sehari-hari (disabilitas) merupakan petunjuk bahwa yang bersangkutan memang menderita gangguan jiwa.
2.4. PEMERIKSAAN DENGAN METODE 2 MENIT Pasien datang ke pusat pelayanan kesehatan dasar, mendaftar ke loket, di sana dicatat identitas pasien pada kartu berobat. Pasien dengan membawa kartu berobat menuju kamar periksa, di sana pasien diterima oleh perawat yang akan melakukan anamnesis dan pemeriksaan tandatanda vital. Bila pasien datang dengan keluhan fisik murni, di kartu berobat pasien diberi tanda Fm; bila pasien datang dengan keluhan fisik murni disertai keluhan mentalemosional diberi tanda Fg (fisik ganda) (komorbiditas); bila datang dengan keluhan psikosomatik diberi tanda PS; dan bila dengan keluhan mental emosional diberi tanda ME. Untuk keluhan PS, di samping hal-hal yang berkaitan dengan organ tubuh mengenai sistem respiratorius, sistem kardiovaskuler, sistem muskuloskeletal, sistem urogenital, sistem gastrointestinal, sistem dermatologi, sistem endokrinologi, sistem serebrovaskuler, ditanyakan juga mengenai: 1. Kesadaran seperti penurunan kesadaran, perubahan kesadaran. 2. Daya ingat. 3. Kemampuan mengarahkan, memusatkan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian. 4. Kejang: kejang umum, kejang fokal yang berulang. Khusus untuk keluhan ME ditanyakan hal-hal yang berkaitan dengan: 1. Gejala psikotik seperti halusinasi, waham, inkoherensi, perilaku katatonik atau perilaku kacau lainnya. 2. Gejala ansietas seperti was-was, cemas, takut, panik. 3. Gejala depresi seperti murung, sedih, tak bergairah, tak bersemangat. 4. Gejala manik seperti gembira, semangat tinggi, tak kenal risiko, kebutuhan tidur berkurang. 5. Gejala retardasi mental seperti kecerdasan yang kurang, kurang bisa beradaptasi dengan lingkungan. 6. Gejala kejiwaan pada anak dan remaja seperti sulit berinteraksi sosial, hiperaktif, kurang dapat memusatkan perhatian, gangguan tingkah laku, mengompol pada usia 5 tahun atau lebih. 12
DRAFT Setelah itu diajukan pertanyaan: 1. Apakah ada stresor organobiologik seperti penyakit-penyakit yang berkaitan dengan SSP, termasuk penggunaan NAPZA. 2. Apakah ada distres/penderitaan dari pihak pasien atau keluarga. 3. Apakah ada gangguan fungsi pekerjaan/akademik, fungsi sosial dan fungsi sehari-hari. Kemudian dibuatlah diagnosis: 1. Demensia: gangguan daya ingat dengan stresor organobiologik seperti usia lanjut, degenerasi, gangguan serebrovaskular. 2. Delirium: penurunan kesadaran/kesadaran berkabut disertai kemampuan mengarahkan, memusatkan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian yang berkurang. 3. Gangguan Penggunaan NAPZA: adanya riwayat penggunaan zat psikoaktif termasuk alkohol. 4. Skizofrenia: gejala psikotik yang berlangsung lebih dari satu bulan. 5. Gangguan Psikotik Akut: gejala psikotik yang berlangsung kurang dari satu bulan. 6. Gangguan Bipolar: gejala manik dengan/atau tanpa gejala depresi. 7. Gangguan Depresi: gejala depresi. 8. Gangguan Fobik: gejala fobia terhadap sesuatu atau situasi. 9. Gangguan Panik: gejala ansietas yang memuncak. 10. Gangguan Ansietas menyeluruh: gejala utama cemas. 11. Gangguan Campuran ansietas dan depresi: gejala campuran cemas dan depresi. 12. Gangguan Obsesi kompulsif: ada gejala obsesif yaitu pikiran yang terpaku dan perilaku yang harus dilakukan berulang-ulang. 13. Gangguan penyesuaian: Gejala ansietas dan atau depresi karena perubahan situasi atau lingkungan. 14. Gangguan Somatoform: Gejala fisik tanpa kelainan struktural yang dilatarbelakangi oleh gejala ansietas atau depresi. 15. Retardasi Mental: gejala kecerdasan yang kurang disertai kemampuan adaptasi yang kurang pada anak dibawah usia 18 tahun. 16. Gangguan Perkembangan Pervasif (Autisme pada anak): gejala psikotik pada anak. 17. Gangguan hiperkinetik: gejala kemampuan memusatkan perhatian yang berkurang, disertai dengan hiperaktivitas. 18. Gangguan tingkah laku pada anak dan remaja: kenakalan remaja. 19. Enuresis: gejala mengompol pada anak di atas 5 tahun. 20. Epilepsi: gejala kejang/tanpa kejang, penurunan kesadaran/perubahan kesadaran/bengong yang berulang. 21. Gangguan disfungsi seksual.
13
DRAFT Pada dua menit pertama dapat dibuat diagnosis sementara/ diagnosis kerja, dan pada pertemuan berikutnya (dua menit ke dua) diteliti lebih lanjut untuk mendapatkan diagnosis yang pasti; bila perlu dikonsulkan ke psikiater pembina.
2.5. PENGGOLONGAN DIAGNOSIS GANGGUAN JIWA DI PELAYANAN KESEHATAN DASAR. Penggolongan Diagnosis ini merujuk ke ICD-10 (International Classification of Diseases, 10th Revision) dari WHO tahun 1992: 1. F00# Gangguan Mental Organik Demensia (F00#) Delirium (F05) 2. F10# Gangguan penggunaan NAPZA Gangguan penggunaan alkohol (F10) Gangguan penggunaan zat (F11#) Gangguan penggunaan tembakau (F17.1) 3. F20# Skizofrenia dan gangguan psikotik kronik lain 4. F23 Gangguan psikotik akut 5. F31 Gangguan bipolar 6. F32# Gangguan depresif 7. F40# Gangguan neurotik Gangguan fobik (F40) Gangguan panik (F41.0) Gangguan ansietas menyeluruh (F41.1) Gangguan campuran ansietas & depresi (F41.2) Gangguan obsesif kompulsif (F42) Gangguan penyesuaian (F43.2) Gangguan Somatoform (F45) 8. F52 Gangguan seksual pada laki-laki dan wanita 9. F70 Retardasi mental 10. F80-90# Gangguan kesehatan jiwa anak dan remaja Gangguan perkembangan pervasif (F84) Gangguan hiperkinetik (F90) Gangguan tingkah laku (F91#) Enuresis (F98.8) 11. G40# Epilepsi
14
DRAFT ANAMNESIS & PEMERIKSAAN Keluhan Utama (spontan) FISIK (F) Keluhan fisik jelas. Dapat disertai keluhan mental emosional.
FISIK MURNI FISIK (Fm) GANDA (Fg) Gambaran utama hanya keluhan fisik.
Didapati keluhan fisik dan keluhan mental emosional. (Komorbiditas)
PSIKOSOMATIK (PS) Keluhan fisik diduga ada hubungannya dengan masalah kejiwaan. Keluhan mengenai: 1. Jantung 2. Perut/gastrointestinal 3. Pernapasan 4. Kulit 5. Otot 6. Endokrin 7. Urogenital 8. Serebrovaskuler
MENTAL EMOSIONAL (ME) Keluhan mengenai gangguan perasaan, pikiran dan perilaku. Gangguan: 1. Tidur 2. Perilaku 3. Emosi 4. Pikiran 5. Persepsi
Pertanyaan aktif (>1): 1. >3 bulan/>1 kali per bulan 2. Ada peristiwa pemicu keluhan, banyak pikiran 3. Menurunnya semangat belajar, kerja, seks 4. Gangguan fungsi (keluarga, pekerjaan, sekolah, masyarakat) 5. Ada pemakaian rokok, alkohol, NAPZA 6. Gejala mental emosional (sedih, cemas, mudah tersinggung dll.)
DIAGOSIS GANGGUAN FISIK
GMO-F00# Gangguan penggunaan NAPZAF10# Gangguan seksual-F52 Retardasi Mental-F70 Epilepsi-G40# Gangguan somatoform-F45
Skizofrenia & gangguan psikotik kronik lain-F20# Gangguan bipolar-F31 Gangguan depresi-F32# Gangguan neurotik-F40# Gangguan kesehatan jiwa anak & remaja-F80-90#
Gambar 2-1. Skema alur pemeriksaan.
15
DRAFT BAB III DIAGNOSIS GANGGUAN JIWA DAN PENATALAKSANAANNYA DI PELAYANAN KESEHATAN DASAR
3.1. GANGGUAN MENTAL ORGANIK 3.1.1. DEMENSIA (F00#) Keluhan: Keluarga mencari pertolongan awalnya karena kegagalan daya ingat, perubahan kepribadian atau perilaku. Pada tahap lebih lanjut dari penyakitnya, mereka mencari pertolongan karena kebingungan, keluyuran atau inkontinensia. Kebersihan diri yang buruk pada pasien usia lanjut bisa mengindikasikan hilangnya daya ingat. Pedoman diagnostik: ¾ Penurunan daya ingat mengenai hal yang baru terjadi (recent memory), daya pikir dan penilaian, orientasi dan kemampuan berbahasa. ¾ Pasien sering tampak apatis atau acuh tak acuh, tapi bisa juga tampak siaga walaupun daya ingatnya buruk. ¾ Penurunan daya fungsi sehari-hari (berpakaian, mencuci/mandi, memasak). ¾ Kehilangan kendali emosional, mudah bingung, menangis atau mudah tersinggung. ¾ Lazim pada usia lanjut >60 tahun (demensia senilis), jarang pada usia lebih muda (demensia presenilis). Pemeriksaan daya ingat dan berpikir dapat meliputi: ¾ Kemampuan untuk mengingat nama 3 benda yang umum secara cepat dan mengulanginya kembali setelah 3 menit. ¾ Kemampuan untuk menyebut nama hari dalam seminggu dalam urutan terbalik. Penanganan: ¾ Informasikan kepada pasien dan keluarga bahwa kehilangan daya ingat biasanya berkembang lambat, tetapi perjalanannya sangat bervariasi. Kehilangan daya ingat dan kebingungan bisa menyebabkan problem perilaku, misalnya agitasi, curiga dan letupan emosional. ¾ Hindari menempatkan pasien di tempat atau situasi yang asing. ¾ Agitasi yang tak terkendali mungkin memerlukan perawatan di rumah sakit. 16
DRAFT ¾ Penggunaan obat sedatif atau hipnotik (misalnya Benzodiazepin) harus hati-hati, karena dapat meningkatkan kebingungan. Medikasi: ¾ Untuk mengendalikan agitasi, gejala psikotik dan agresi diperlukan antipsikotik dosis rendah (misalnya Haloperidol 2 x 0,5-1 mg atau Risperidon 2 X 0,5–1 mg). Waspadai efek samping obat (parkinsonisme, efek antikolinergik) dan interaksi obat. Konsultasi ke spesialis: ¾ Bila kehilangan daya ingat terjadi secara mendadak atau agitasi tak terkendali. ¾ Demensia akibat penyakit fisik yang memerlukan pengobatan spesialistik (misalnya sifilis, hematoma subdural). ¾ Jika dibutuhkan perawatan intensif, rawat di rumah sakit.
3.1.2. DELIRIUM (F05) Keluhan: ¾ Keluarga mungkin minta pertolongan sebab pasien bingung/bicara kacau atau agitatif. ¾ Pasien mungkin tampak tidak kooperatif atau ketakutan. Pedoman diagnostik: Onset mendadak: ¾ Kebingungan (pasien tampak bingung, berusaha memahami sekelilingnya). ¾ Pikiran atau kesadaran berkabut atau menurun, yang ditandai dengan ketidakmampuan untuk mengarahkan, memusatkan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian terhadap stimulus eksternal (auditorik, olfaktorik dan sensorik). Sering kali ditandai oleh: daya ingat lemah, kekacauan emosional, perhatian mudah beralih, menarik diri, curiga, agitasi, kehilangan orientasi, gangguan tidur atau pola tidur terbalik, halusinasi auditorik atau visual atau ilusi (salah persepsi). Gejala sering kali berkembang dengan cepat dan berubah dari waktu ke waktu. Penyebab: ¾ Intoksikasi atau putus alkohol atau zat/obat lain. ¾ Infeksi berat. ¾ Perubahan metabolik (penyakit hati, dehidrasi, hipoglikemia). ¾ Trauma berat. ¾ Hipoksia. 17
DRAFT Penanganan: ¾ Informasikan kepada keluarga bahwa perilaku atau pembicaraan yang aneh merupakan gejala suatu penyakit. ¾ Jaga agar pasien tidak mencederai dirinya sendiri atau orang lain, misalnya singkirkan benda berbahaya, bila perlu fiksasi pasien. ¾ Kontak dengan orang yang dikenal, dapat mengurangi kebingungan. ¾ Obati penyakit fisik, bila perlu dirawat di rumah sakit. ¾ Penggunaan obat sedatif atau hipnotik (misalnya Benzodiazepin) harus hati-hati, karena dapat meningkatkan kebingungan. Medikasi: ¾ Untuk mengendalikan agitasi, gejala psikotik dan agresi diperlukan antipsikotik dosis rendah (misalnya Haloperidol 2 x 0,5-1 mg atau Risperidon 2 X 0,5 – 1 mg). Konsultasi ke spesialis bila: - Penyakit fisik yang memerlukan pengobatan fisik. - Agitasi yang tak terkendali.
3.2. GANGGUAN PENYALAHGUNAAN NAPZA 3.2.1. GANGGUAN PENGGUNAAN ALKOHOL (F10) Keluhan: ¾ Pasien dapat memperlihatkan gejala: murung, gugup, insomnia, komplikasi fisik (ulkus ventrikuli, gastritis, perlemakan hati, sirosis hepatis), akibat kecelakaan atau cedera, daya ingat atau konsentrasi menurun. ¾ Mungkin pasien menghadapi problem hukum dan sosial akibat penggunaan alkohol (misalnya masalah perkawinan, kehilangan pekerjaan). ¾ Pasien dapat pula datang dengan gejala putus alkohol (berkeringat, tremor, mual pada pagi hari dan halusinasi). Pedoman diagnostik: Penggunaan alkohol yang merugikan: ¾ Penggunaan alkohol yang berlebihan (misalnya minum lebih dari 6 kaleng bir sehari). ¾ Penggunaan alkohol yang berlebihan menyebabkan gangguan kesehatan fisik (misalnya penyakit hepar, perdarahan gastrointestinal), gangguan psikologis (misalnya depresi dan ansietas) atau 18
DRAFT menyebabkan konsekuensi sosial yang merugikan (misalnya kehilangan pekerjaan). Ketergantungan alkohol: ¾ Terus menggunakan alkohol walaupun merugikan. ¾ Kesulitan dalam mengendalikan penggunaan alkohol. ¾ Ada keinginan yang kuat untuk menggunakan alkohol. ¾ Toleransi (minum alkohol dalam jumlah banyak tanpa mengalami intoksikasi). ¾ Sindrom putus alkohol (ansietas, tremor, banyak berkeringat setelah berhenti minum). Penanganan: ¾ Informasikan kepada pasien dan keluarga bahwa ketergantungan adalah suatu penyakit dengan konsekuensi yang berat. Kebiasaan minum alkohol dapat merugikan bayi dalam kandungan. ¾ Berhenti secara mendadak dapat menimbulkan gejala putus alkohol, maka diperlukan pengawasan secara medis. Bagi pasien yang ingin segera berhenti minum: ¾ Tetapkan suatu hari untuk berhenti. ¾ Diskusikan strategi untuk menghindari atau untuk mengatasi situasi risiko tinggi (misalnya situasi sosial tertentu atau situasi yang menimbulkan stres). ¾ Buat rencana khusus untuk menghindari minum alkohol lagi (misalnya, cara menghadapi stres tanpa minum alkohol, cara menolak tawaran untuk minum dari teman yang masih mempunyai kebiasaan minum alkohol). ¾ Bantu pasien mengidentifikasi anggota keluarga atau teman yang mendukung untuk berhenti minum alkohol. ¾ Bicarakan gejala dan penatalaksanaan putus alkohol. Bagi pasien yang bertujuan hanya mengurangi minum alkohol: ¾ Bicarakan satu sasaran yang jelas untuk mengurangi penggunaan alkohol (misalnya tidak lebih dari 2 sloki wiski perhari atau 2 hari bebas alkohol setiap minggu). ¾ Diskusikan strategi untuk menghindari atau mengatasi situasi dengan risiko tinggi (misalnya situasi sosial atau kejadian yang menyebabkan stres). ¾ Perkenalkan prosedur swapantau dan perilaku minum yang aman (misalnya pembatasan waktu, minum ditunda-tunda). Bagi pasien yang belum mau berhenti atau mengurangi minum saat ini: ¾ Jangan bersikap menolak atau menyalahkan pasien. ¾ Jelaskan tentang problem medis, psikologis dan sosial akibat alkohol. 19
DRAFT ¾ Buat perjanjian untuk penggunaan alkohol.
menilai
kembali
kondisi
kesehatan
dan
Bagi pasien yang tidak berhasil berhenti menggunakan alkohol atau yang kambuh: ¾ Cari dan beri penghargaan untuk setiap keberhasilan pasien. ¾ Bicarakan situasi yang menyebabkan kambuh. ¾ Mulai lagi dengan langkah lebih awal seperti telah disebutkan di atas. ¾ Organisasi tolong diri sesama pengguna alkohol, seperti Alcoholic Anonymous, sering kali sangat menolong. Mereka mengadakan pertemuan yang teratur untuk saling mengungkapkan perasaan, problem dan saling memberi dukungan agar tetap tidak menggunakan alkohol untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Medikasi: ¾ Putus alkohol perlu diberi Benzodiazepin jangka pendek, misalnya Klordiazepoxid 25 – 100 mg sekali atau dua kali sehari. Pasien rawat jalan harus dipantau dengan cermat. Putus alkohol yang berat (dengan halusinasi atau instabilitas saraf otonom) perlu rawat inap dan dosis Benzodiazepin yang lebih besar. ¾ Untuk mempertahankan abstinensi dari alkohol, Disulfiram atau Metronidazol 3 x 500 mg sehari dapat membantu pada beberapa kasus, tetapi penggunaan yang rutin tidak diperlukan. Konsultasi ke spesialis: Yang sesuai dengan kelainan yang dijumpai.
3.2.2. GANGGUAN PENGGUNAAN ZAT PSIKOAKTIF (F11#) Keluhan: ¾ Pasien mungkin datang dengan keluhan murung, gugup, insomnia, ada komplikasi fisik akibat penggunaan zat psikoaktif, mungkin pula mengalami kecelakaan atau cedera akibat penggunaan zat psikoaktif. ¾ Mungkin juga dijumpai: perubahan perilaku/ penampilan atau fungsi sehari-hari, keluhan rasa nyeri atau langsung minta resep narkotika atau obat lain. ¾ Problem hukum atau sosial akibat penggunaan zat psikoaktif (problem perkawinan, kehilangan pekerjaan). ¾ Menyangkal menggunakan zat psikoaktif. ¾ Sering kali keluarga yang terlebih dahulu minta pertolongan (misalnya karena pasien mudah tersinggung, kehilangan pekerjaan). Mungkin dijumpai gejala putus zat psikoaktif: ¾ Pada penggunaan opiat: mual, banyak berkeringat, tremor. 20
DRAFT ¾ Pada penggunaan sedatif: ansietas, tremor, halusinasi. ¾ Pada penggunaan stimulansia: depresi, murung. Pedoman diagnostik: ¾ Terdapat penggunaan yang berat atau sering dari zat psikoaktif. ¾ Penggunaan zat psikoaktif telah menyebabkan kerugian fisik (misalnya cedera atau adanya komplikasi pada fisik), atau adanya dampak sosial yang merugikan (misalnya kehilangan pekerjaan, masalah di sekolah, masalah keluarga yang berat). ¾ Kesulitan dalam mengendalikan penggunaan zat psikoaktif. ¾ Hasrat yang kuat untuk menggunakan zat psikoaktif. ¾ Toleransi (dapat menggunakan zat dengan jumlah besar tanpa adanya gejala intoksikasi). ¾ Terdapat sindrom putus zat psikoaktif (ansietas, tremor atau gejala lain setelah berhenti menggunakan zat psikoaktif). Penanganan: ¾ Informasikan kepada pasien dan keluarga bahwa tujuan yang ingin dicapai adalah abstinensi (menghentikan penggunaan zat psikoaktif), pasien dan keluarga harus memusatkan perhatian pada tujuan tersebut. Penggunaan zat psikoaktif selama kehamilan akan merugikan bayi dalam kandungan. ¾ Penggunaan zat secara intravena mempunyai risiko terjangkit atau menularkan penyakit HIV, hepatitis atau penyakit lain yang menular melalui darah. Diskusikan sikap waspada (jangan memakai ulang jarum suntik, pakai kondom bila berhubungan seksual). Bagi pasien yang ingin segera berhenti menggunakan zat psikoaktif: ¾ Tetapkan satu hari tanpa zat psikoaktif. ¾ Diskusikan strategi untuk menghindari atau untuk mengatasi situasi risiko tinggi, misalnya situasi sosial tertentu atau situasi yang menimbulkan stres. ¾ Buat rencana khusus untuk menghindari penggunaan zat psikoaktif, misalnya bagaimana menyikapi teman yang masih menggunakan zat psikoaktif. ¾ Bantu pasien mengidentifikasi anggota keluarga atau teman yang mendukung untuk berhenti menggunakan zat psikoaktif. ¾ Bicarakan gejala dan penatalaksanaan putus zat psikoaktif. Bagi pasien yang bertujuan hanya mengurangi penggunaan zat psikoaktif: ¾ Bicarakan satu sasaran yang jelas untuk mengurangi penggunaan zat psikoaktif, misalnya tidak lebih dari sebatang rokok ganja perhari, bebas ganja setiap minggu. ¾ Diskusikan strategi untuk menghindari atau mengatasi situasi risiko tinggi, misalnya situasi sosial atau kejadian yang menyebabkan stres. 21
DRAFT ¾ Perkenalkan prosedur pantau-diri dan perilaku penggunaan zat psikoaktif yang lebih aman, misalnya pembatasan waktu, pengurangan penggunaan. Bagi pasien yang belum mau berhenti/mengurangi zat psikoaktif sekarang: ¾ Jangan bersikap menolak atau menyalahkan pasien. ¾ Jelaskan tentang problem medis, psikologis dan sosial akibat penggunaan zat psikoaktif. ¾ Buat perjanjian untuk menilai kembali kondisi kesehatan pasien dan mendiskusikan penggunaan zat psikoaktif. Bagi pasien yang tidak berhasil berhenti menggunakan zat psikoaktif atau yang kambuh: ¾ Cari dan beri penghargaan untuk setiap keberhasilan pasien. ¾ Bicarakan situasi yang menyebabkan kambuh. ¾ Mulai lagi dengan langkah lebih awal seperti telah disebutkan di atas. ¾ Organisasi tolong diri sesama pengguna opiat, seperti Narcotic Anonymous, sering kali sangat menolong. Mereka mengadakan pertemuan yang teratur untuk saling mengungkapkan perasaan dalam usahanya untuk berhenti menggunakan opiat, saling memberi dukungan agar tetap tidak menggunakan opiat. Medikasi: ¾ Putus sedativa mungkin perlu diberi Benzodiazepin (misalnya Klordiazepoxid 25 – 100 mg sampai 4 x sehari). Pasien rawat jalan harus dipantau dengan cermat. Putus sedativa yang berat (dengan halusinasi atau instabilitas saraf otonom) perlu rawat inap dan dosis Benzodiazepin yang lebih besar. ¾ Putus stimulansia, kokain atau opiat sangat menimbulkan penderitaan dan perlu pengawasan medis. Konsultasi ke spesialis: Program konseling spesialistik untuk ketergantungan zat psikoaktif perlu dipertimbangkan bila ada fasilitas.
3.2.3. GANGGUAN PENGGUNAAN TEMBAKAU (F17) Keluhan: ¾ Pasien mengeluh: bau tak menyenangkan di mulut, batuk, berdahak, sering menderita infeksi saluran napas, tekanan darah tinggi, nyeri dada, problem kesehatan jantung, letih dan merasa kurang sehat. ¾ Banyak perokok ingin berhenti merokok dan menyambut baik bantuan untuk berhenti merokok. 22
DRAFT Pedoman diagnostik: ¾ Penggunaan yang merugikan (penggunaan tembakau telah menyebabkan kerugian fisik dan psikologis). ¾ Keterangan: F17.1 Terus menggunakan walaupun merugikan. F17.2 Tak mampu menghentikan dan mengendalikan penggunaan. F17.3 Gejala putus tembakau. ¾ Beberapa perokok, bisa ketergantungan tembakau (menggunakan tembakau dalam jumlah banyak, sukar mengendalikan penggunaan), tetapi semua pengguna tembakau akan memperoleh manfaat jika berhenti merokok. ¾ Walaupun dalam jumlah kecil, penggunaan tembakau bisa merugikan. Yang paling penting adalah untuk menguranginya pada keadaan di bawah ini: o Wanita hamil o Anak dan remaja o Orang-tua yang mempunyai anak kecil o Pasien dengan penyakit yang sangat dipengaruhi oleh kebiasaan merokok (penyakit saluran napas, penyakit jantung dan penyakit pembuluh darah). Penanganan: ¾ Informasikan kepada pasien dan keluarga bahwa setiap penggunaan tembakau dapat merugikan kesehatan. Berhenti merokok akan meningkatkan kesehatan pada saat sekarang maupun di kemudian hari. Bagi pasien yang ingin segera berhenti merokok: ¾ Tetapkan satu hari tanpa rokok dan stop total. Penelitian membuktikan bahwa yang melakukan stop total lebih berhasil dari pada berhenti secara bertahap. ¾ Diskusikan tentang situasi risiko tinggi untuk mulai merokok lagi (misalnya bergaul dengan teman perokok). ¾ Buat rencana khusus untuk menghindari merokok lagi (misalnya, bagaimana menolak tawaran merokok). ¾ Nasihati tentang cara mengatasi ketagihan tembakau (misalnya relaksasi, latihan fisik, mengalihkan perhatian pada berbagai kegiatan, teknik penatalaksanaan stres dan lain-lain). ¾ Identifikasi anggota keluarga atau teman yang mendukung untuk berhenti merokok. Bagi pasien yang bertujuan hanya mengurangi rokok: ¾ Bicarakan satu sasaran yang jelas untuk mengurangi merokok (misalnya tidak lebih dari 5 batang rokok sehari).
23
DRAFT ¾ Diskusikan strategi untuk menghindari atau mengatasi situasi dengan risiko tinggi (misalnya situasi sosial tertentu, atau kejadian yang menyebabkan stres). ¾ Perkenalkan prosedur pantau-diri dan pola merokok yang terkendali (misalnya membatasi waktu merokok, menunda merokok). Bagi pasien yang belum mau berhenti merokok sekarang: ¾ Jangan bersikap menolak atau menyalahkan pasien. ¾ Tunjukkan dengan jelas efek terhadap kesehatan saat ini maupun di kemudian hari, bila terus merokok. ¾ Buat perjanjian untuk mendiskusikan status kesehatan dan perihal merokok. ¾ Program konseling kelompok, mungkin bermanfaat. Medikasi: ¾ Preparat nikotin (misalnya Nikotinell) mungkin dapat mengurangi gejala putus rokok. ¾ Akan lebih efektif bila disertai konseling untuk berhenti merokok.
3.3. SKIZOFRENIA & GANGGUAN PSIKOTIK KRONIK LAIN (F20#) Keluhan: Pasien/keluarga mungkin datang dengan keluhan: ¾ Kesulitan berpikir dan berkonsentrasi. ¾ Laporan tentang mendengar suara-suara yang tidak ada sumbernya. ¾ Keyakinan yang aneh, misalnya memiliki kekuatan supra natural, merasa dikejar-kejar. ¾ Keluhan fisik yang tidak biasa/aneh, misalnya merasa ada hewan atau objek yang tak lazim di dalam tubuhnya. ¾ Problem atau pertanyaan yang berkaitan dengan antipsikotik. ¾ Mungkin mencari pertolongan karena apatis, penarikan diri, higiene atau kebersihan yang buruk atau perilaku aneh. Pedoman diagnostik: Terdapat problem kronik dengan gambaran: ¾ Penarikan diri secara sosial ¾ Minat atau motivasi rendah, pengabaian diri ¾ Gangguan berpikir yang tampak dari pembicaraan yang tidak terangkai atau aneh. Episode periodik berupa: ¾ Agitasi atau kegelisahan. 24
DRAFT ¾ Perilaku aneh. ¾ Halusinasi, misalnya mendengar suara bisikan di telinga. ¾ Delusi/waham yaitu keyakinan yang salah yang tidak sesuai dengan kenyataan, misalnya merasa mau diracuni oleh keluarga, menerima pesan melalui televisi. Penanganan ¾ Informasikan kepada keluarga bahwa perilaku aneh dan agitasi adalah gejala penyakit jiwa, gejala dapat hilang timbul. Oleh karena itu keluarga perlu mengantisipasinya dengan memberikan obat secara teratur dan memeriksakan ke sarana kesehatan. ¾ Dorong pasien untuk berfungsi pada taraf yang optimal dalam pekerjaan dan kegiatan sehari-hari. ¾ Kurangi stres pada pasien dengan tidak berargumentasi terhadap pikirannya yang psikotik dan hindari konfrontasi atau mengeritik. ¾ Pada saat gejala berat sebaiknya istirahat dan menghindari stres. ¾ Rujuk ke Psikosis Akut (F23) untuk saran penatalaksanaan keadaan agitasi. Medikasi: ¾ Berikan medikasi antipsikotik yang dimulai dengan dosis rendah dan ditingkatkan secara bertahap. (misalnya Haloperidol 3 x 2-5 mg sehari atau Chlorpromazine 3 x 100-200 mg sehari). Dosis harus serendah mungkin untuk menghilangkan gejala, walaupun beberapa pasien membutuhkan dosis yang lebih tinggi. ¾ Bagi pasien yang tidak patuh makan obat secara teratur, dapat diberikan antipsikotik depot misalnya injeksi Haloperidol dekanoat atau Modecate yang diberikan 1 X sebulan secara i.m. ¾ Beri tahu keluarga bahwa medikasi yang kontinu akan mengurangi risiko kekambuhan. Pada umumnya antipsikotik harus dilanjutkan sekurang-kurangnya 3 bulan sesudah suatu episode pertama penyakitnya dan lebih lama sesudah episode berikutnya. Beberapa pasien mungkin perlu minum obat jangka panjang, bahkan seumur hidup. ¾ Beri tahu pasien dan keluarga tentang kemungkinan efek samping obat (lihat daftar efek samping). Konsultasi ke spesialis: ¾ Jika fasilitas tersedia, pertimbangkan untuk konsultasi bagi semua kasus baru dengan gangguan psikotik untuk memastikan diagnosis dan terapi yang sesuai. ¾ Terdapat depresi atau mania dengan gangguan psikotik, yang mungkin membutuhkan terapi lain. ¾ Pertimbangkan konsultasi untuk kasus dengan efek samping motorik yang berat. 25
DRAFT 3.4. GANGGUAN PSIKOTIK AKUT (F23) Keluhan: Pasien mungkin mengalami: ¾ Mendengar suara-suara ¾ Keyakinan atau ketakutan yang aneh/asing ¾ Kebingungan ¾ Was-was Keluarga mungkin minta pertolongan karena perubahan perilaku, termasuk perilaku aneh atau menakutkan (menarik diri, curiga atau mengancam). Pedoman diagnostik: Awitan/onset baru dari: ¾ Halusinasi (persepsi indera tanpa adanya rangsangan; misalnya mendengar suara pada saat tak ada sumbernya). ¾ Waham (ide yang dipegang teguh yang nyata salah dan tidak dapat diterima oleh kelompok sosial pasien; misalnya pasien percaya bahwa mereka diracuni oleh tetangga, menerima pesan dari televisi, atau diamati/diawasi oleh orang lain dengan suatu cara yang khas). ¾ Agitasi atau perilaku aneh (bizarre). ¾ Pembicaraan aneh atau kacau (disorganisasi). ¾ Keadaan emosional yang labil dan ekstrem. ¾ Gejala timbul mendadak kurang dari 1 bulan Penanganan: ¾ Informasikan kepada keluarga bahwa agitasi dan perilaku aneh adalah gejala penyakit pasien; episode akut sering mempunyai prognosis yang baik, tapi lama perjalanan penyakit sukar diramalkan; diperlukan pengobatan berkesinambungan selama beberapa bulan sesudah gejala hilang. ¾ Upayakan keamanan pasien dan mereka yang merawatnya: - Keluarga atau teman harus mendampingi pasien. - Penuhi kebutuhan dasar pasien (misalnya makan, minum dan kebersihan diri). - Hati-hati agar pasien tidak mengalami cedera. ¾ Kurangi stres dan stimulasi - Jangan berargumentasi dengan pikiran psikotik. Anda mungkin tak setuju dengan keyakinan pasien, tapi jangan coba untuk membantah bahwa mereka salah. - Hindari konfrontasi atau kritik kecuali bila perlu untuk menghindari perilaku yang merugikan. ¾ Agitasi yang membahayakan pasien, keluarga dan masyarakat, memerlukan hospitalisasi (rawat inap) atau pengawasan ketat di rumah 26
DRAFT dan/atau tempat yang aman. Jika pasien menolak pengobatan, mungkin diperlukan tindakan hukum. ¾ Dorong pasien agar melakukan kegiatan sehari-hari setelah gejala membaik. Medikasi: ¾ Antipsikotik akan mengurangi gejala psikotik (misalnya Haloperidol 3 x 2-5 mg sehari atau Chlorpromazine 3 x 100-200 mg sehari). Dosis harus serendah mungkin, walaupun beberapa pasien membutuhkan dosis yang lebih tinggi. ¾ Antiansietas juga dapat digunakan bersama dengan antipsikotik untuk mengendalikan agitasi akut (misalnya Lorazepam 3 x 1-2 mg sehari). ¾ Lanjutkan pemberian antipsikotik sekurang-kurangnya 3 bulan setelah gejala menghilang (lihat pedoman pemberian antipsikotik). Monitor efek samping obat: ¾ Distonia atau spasme akut dapat ditanggulangi dengan suntikan Benzodiazepin (Diazepam 10 mg i.m.) atau antiparkinson (Sulfas Atropin 1-2 ampul i.m. atau Difenhidramin 2 ml i.m.) ¾ Akatisia (kegelisahan motorik berat) bisa ditanggulangi dengan pengurangan dosis atau Beta-bloker. ¾ Gejala Parkinsonisme (tremor, akinesia) bisa ditanggulangi dengan antiparkinson oral (misalnya triheksifenidil 2mg 1-3 kali sehari). Konsultasi ke spesialis: ¾ Jika memungkinkan, pertimbangkan konsultasi untuk semua kasus baru gangguan psikotik. ¾ Pada kasus dengan efek samping motorik yang berat atau timbul demam, kekakuan, hipertensi, hentikan obat antipsikotik dan rujuk pasien ke rumah sakit.
3.5. GANGGUAN BIPOLAR (F31) Keluhan: Pasien mungkin mengalami periode depresi, mania atau eksaserbasi dengan pola seperti yang diuraikan di bawah ini. Pedoman diagnostik: Episode manik dengan gejala: - Aktivitas dan tenaga bertambah. - Bicara cepat. - Berkurangnya kebutuhan tidur. - Perhatian mudah beralih. - Peningkatan suasana perasaan dan mudah tersinggung. 27
DRAFT -
Kehilangan hambatan. Merasa diri penting secara berlebihan.
Episode depresi dengan gejala: - Suasana perasaan menurun atau sedih. - Kehilangan minat atau kemampuan untuk merasa senang. Gejala penyerta yang sering ditemukan: - Gangguan tidur. - Rasa bersalah atau rendah diri. - Kelelahan atau kehilangan tenaga. - Konsentrasi buruk. - Gangguan nafsu makan. - Pikiran atau tindakan bunuh diri. Salah satu dari episode tersebut bisa sangat menonjol. Di antara kedua episode tersebut bisa ditemukan suasana perasaan yang normal. Pada kasus berat, pasien bisa mengalami halusinasi (mendengar suara atau melihat sesuatu yang tak ada) atau waham (keyakinan yang salah) selama episode mania atau depresi. Penanganan: ¾ Informasikan kepada keluarga bahwa perubahan dalam suasana perasaan dan perilaku adalah gejala dari penyakit. Tersedia pengobatan yang efektif dan pengobatan jangka panjang bisa mencegah kekambuhan. Jika tidak diobati, episode manik bisa menjadi berbahaya terutama bila disertai dengan gejala psikotik. Episode manik sering kali menjurus kepada kehilangan pekerjaan, problem hukum, problem keuangan atau perilaku seksual yang berisiko tinggi. ¾ Selama depresi, tanyakan perihal bunuh diri: - Apakah pasien ada pikiran tentang mati atau kematian. - Apakah pasien ada rencana bunuh diri. - Apakah ia pernah melakukan upaya yang serius untuk bunuh diri di masa lampau. - Apakah pasien yakin tidak akan bertindak atas dasar ide bunuh diri. - Tanyakan juga risiko yang merugikan orang lain (lihat depresi – F32#). Mungkin diperlukan pengamatan ketat oleh keluarga/kerabat atau teman. ¾ Selama periode manik: - Hindari konfrontasi, kecuali perlu untuk mencegah tindakan berbahaya/merugikan. - Sarankan untuk berhati-hati terhadap perilaku impulsif atau berbahaya. - Sering kali diperlukan pengawasan yang ketat oleh anggota keluarga. 28
DRAFT Jika agitasi atau perilaku kacau cukup berat, pertimbangkan hospitalisasi (rawat inap). ¾ Selama periode depresi, rujuk ke pedoman penatalaksanaan depresi (lihat F32#). -
Medikasi: ¾ Jika pasien memperlihatkan agitasi, eksitasi atau perilaku kacau, mungkin pada awalnya diperlukan antipsikotik (misalnya Haloperidol 3 x 2-5 mg sehari atau Chlorpromazine 3 x 100-200 mg sehari). ¾ Dosis harus serendah mungkin untuk menghilangkan gejala, walaupun beberapa pasien membutuhkan dosis yang lebih tinggi. Jika timbul efek samping ekstrapiramidal, berikan antiparkinson, misalnya Triheksifenidil 2-3 x 2 mg sehari. Penggunaan rutin tidak diperlukan. ¾ Benzodiazepin dapat juga digunakan bersamaan dengan antipsikotik untuk mengendalikan agitasi akut (misalnya Lorazepam 4 x 1-2 mg sehari). ¾ Setelah pasien dalam keadaan tenang, dapat diberikan Karbamazepin 3 X 200 mg sebagai stabilisator suasana perasaan (mood stabilizer) ¾ Medikasi antidepresan sering kali diperlukan selama periode depresi, tapi bisa mempresipitasi mania apabila diberikan tersendiri. Konsultasi ke spesialis: Pertimbangkan konsultasi spesialistik: ¾ Jika ada risiko tinggi untuk bunuh diri atau perilaku kacau ¾ Jika gejala depresi/mania yang bermakna tetap berlanjut.
3.6. GANGGUAN DEPRESI (F32#) Keluhan: ¾ Pasien mungkin semula mengemukakan satu atau lebih gejala fisik (misalnya kelelahan atau rasa nyeri). ¾ Pemeriksaan selanjutnya ditemukan gejala depresi atau kehilangan minat akan hal-hal yang menjadi kebiasaannya. ¾ Iritabilitas (cepat marah, cepat tersinggung) kadang-kadang merupakan masalah yang dikemukakan. ¾ Khusus pada anak dan remaja sering depresi bermanifestasi dalam bentuk gejala gangguan tingkah laku, menarik diri atau perilaku “acting out” (misalnya sikap menentang, ngebut, mencari perkelahian dan perilaku mencederai diri lainnya). ¾ Beberapa kelompok tertentu termasuk kelompok risiko tinggi, misalnya mereka yang baru saja melahirkan atau yang mengalami stroke, mereka yang menderita penyakit Parkinson atau sklerosis multipel.
29
DRAFT Pedoman diagnostik: ¾ Suasana perasaan rendah atau sedih. ¾ Kehilangan minat/gairah atau kesenangan akan hal-hal yang menjadi kebiasaannya. ¾ Sering kali ditemukan gejala penyerta berikut: - Gangguan tidur (sulit/kebanyakan tidur). - Rasa bersalah atau hilang kepercayaan diri. - Kelelahan atau kehilangan tenaga atau penurunan libido. - Agitasi atau perlambatan gerak atau pembicaraan. - Gangguan nafsu makan (tidak nafsu atau makan berlebihan). - Pikiran atau tindakan bunuh diri atau merasa lebih baik mati. - Sulit konsentrasi. - Sering kali disertai juga dengan gejala ansietas atau kegelisahan. ¾ Jika terdapat halusinasi atau waham, pertimbangkan adanya gangguan depresi berat dengan ciri psikotik. Penatalaksanaannya merujuk ke gangguan psikotik. Jika terdapat penggunaan zat atau alkohol yang berat, rujuk ke gangguan penggunaan zat atau alkohol. ¾ Beberapa jenis medikasi dapat menimbulkan gejala depresi (misalnya Beta-bloker, antihipertensi lain, H2 bloker, kontrasepsi oral dan Kortikosteroid). Penatalaksanaan: ¾ Informasikan kepada pasien dan keluarga bahwa depresi adalah penyakit yang lazim dan tersedia terapi yang efektif. Depresi bukan merupakan kelemahan atau kemalasan, pasien berupaya keras untuk mengatasi, tapi tidak berdaya. ¾ Tanyakan tentang risiko bunuh diri. Apakah pasien sering berpikir tentang kematian atau mati. Apakah pasien mempunyai rencana bunuh diri yang khas. Apakah ia telah membuat rencana yang serius untuk percobaan bunuh diri di masa yang lalu. Apakah pasien bisa yakin untuk tidak bertindak atas ide bunuh diri. Mungkin diperlukan pengawasan yang ketat oleh keluarga dan teman, atau hospitalisasi (rawat inap). Tanyakan tentang risiko mencederai orang lain. ¾ Rencanakan kegiatan jangka pendek yang menyenangkan pasien atau yang membangkitkan kepercayaan diri. ¾ Dorong pasien untuk melawan pesimisme atau kritik diri yang berlebihan, tidak bertindak atas dasar ide pesimistik (misalnya, mengakhiri perkawinan, meninggalkan pekerjaan), dan tidak memusatkan pada pikiran negatif atau bersalah. ¾ Identifikasi adanya stres sosial atau problem kehidupan yang mutakhir. Fokuskan pada langkah kecil yang khas, yang dapat dilakukan oleh pasien untuk mengurangi atau mengatasi problem dengan lebih baik. Hindari keputusan yang besar atau perubahan pola hidup. ¾ Jika terdapat gejala fisik, bicarakan hubungan antara gejala fisik dengan suasana perasaan (lihat gejala gangguan somatoform – F45). 30
DRAFT ¾ Jika sudah ada perbaikan, rencanakan bersama pasien tindakan yang harus diambil jika terjadi kekambuhan. Medikasi: ¾ Pertimbangkan pemberian antidepresan jika suasana perasaan sedih atau kehilangan minat menonjol selama 2 minggu dan 4 atau lebih gejala berikut ditemukan: - kelelahan atau kehilangan tenaga, - konsentrasi kurang, - agitasi atau perlambatan gerak dan pembicaraan, - gangguan tidur, khususnya terbangun dini hari dan tidak bisa tidur kembali, - pikiran tentang kematian atau bunuh diri, - rasa bersalah atau menyalahkan diri, - nafsu makan terganggu ¾ Pada kasus yang berat, pertimbangkan medikasi pada kunjungan pertama. ¾ Pada kasus sedang, pertimbangkan medikasi pada kunjungan berikut, jika konseling tidak menolong secara memadai. ¾ Pilihan medikasi: - Jika pasien bereaksi baik terhadap obat tertentu di masa lampau, gunakan obat itu lagi. - Jika pasien usia lanjut atau sakit fisik, gunakan medikasi dengan efek samping antikolinergik dan kardiovaskuler yang lebih ringan. - Jika pasien cemas atau tidak bisa tidur, gunakan obat dengan efek sedatif yang lebih kuat. ¾ Berikan antidepresan sampai mencapai dosis efektif (misalnya Imipramin), dimulai dengan dosis 25-50 mg setiap malam dan dinaikkan sampai 100-150 mg dalam dosis terbagi. Pada pasien usia lanjut atau sakit fisik, berikan dosis yang lebih rendah atau menggunakan antidepresan lain dengan efek samping yang minimal. ¾ Jelaskan kepada pasien bahwa medikasi harus diminum setiap hari, bahwa perbaikan akan terjadi dalam 2-3 minggu sesudah medikasi dimulai, dan mungkin timbul efek samping ringan, tapi biasanya menghilang dalam 7-10 hari. Tekankan bahwa pasien harus berkonsultasi dengan dokter sebelum menghentikan obat. ¾ Lanjutkan pemberian antidepresan sekurang-kurangnya 3 bulan sesudah keadaan membaik. Konsultasi ke spesialis: jika pasien menunjukkan: ¾ Risiko bunuh diri atau berbahaya terhadap orang lain. ¾ Gejala psikotik. ¾ Depresi tetap bertahan sesudah tindakan pengobatan di atas. 31
DRAFT ¾ Kebutuhan akan psikoterapi yang lebih intensif (misalnya, terapi kognitif, terapi interpersonal) yang mungkin bermanfaat sebagai terapi awal dan mencegah kekambuhan.
3.7. GANGGUAN NEUROTIK Gangguan neurotik terdiri dari: 3.7.1. Gangguan fobik (F40) 3.7.2. Gangguan panik (F41.0) 3.7.3. Gangguan ansietas menyeluruh (F41.1) 3.7.4. Gangguan campuran ansietas dan depresi (F41.2) 3.7.5. Gangguan Obsesif kompulsif (F42) 3.7.6. Gangguan penyesuaian (F43.2) 3.7.7. Gangguan somatoform (F45)
3.7.1. GANGGUAN FOBIK (F40) Keluhan: ¾ Pasien mungkin menghindar atau membatasi aktivitas sebab rasa takut yang timbul karena objek/situasi tertentu ¾ Kesulitan untuk bepergian seperti pergi ke pasar atau mengunjungi orang lain. ¾ Kadang-kadang disertai gejala fisik (berdebar, napas pendek, asma). Dengan anamnesis dapat terungkap rasa takut yang spesifik atau khas. Pedoman diagnostik: ¾ Terdapat rasa takut yang sangat terhadap tempat, peristiwa, situasi atau objek tertentu yang tidak beralasan. Pasien sering kali sama sekali menghindari semua situasi ini. ¾ Situasi yang umum ditakuti antara lain: - meninggalkan rumah; - tempat-tempat terbuka; - bicara di depan umum; - keramaian atau tempat-tempat umum; - bepergian dengan bis, mobil, kereta api atau pesawat terbang; - peristiwa sosial ¾ Pasien mungkin tidak mampu meninggalkan rumah atau tinggal seorang diri karena takut. ¾ Agorafobia (takut di tempat ramai) sering merupakan komplikasi dari gangguan panik, sedangkan sosial fobia (takut menjadi pusat perhatian) sering kali berkaitan dengan kepribadian menghindar. 32
DRAFT ¾ Jika yang menonjol adalah serangan ansietas, lihat Gangguan Panik – F41.0 dan jika yang menonjol suasana perasaan menurun atau sedih, lihat Gangguan Depresif – F32#. Penatalaksanaan: ¾ Informasikan kepada pasien dan keluarga bahwa fobia bisa diobati dan menghindari situasi yang ditakuti akan menambah rasa takut. ¾ Dorong pasien agar melaksanakan metode mengatur pernapasan untuk mengurangi gejala fisik dari rasa takut. ¾ Minta pasien membuat daftar semua situasi yang ditakuti dan dihindarinya, yang tidak dialami oleh orang lain. ¾ Diskusikan cara-cara untuk menghadapi rasa takut yang berlebihan, misalnya pasien mengingatkan dirinya, ”Saya merasa sedikit cemas karena menghadapi orang banyak, perasaan ini akan berlalu dalam beberapa menit”. ¾ Rencanakan serangkaian langkah tertentu yang memungkinkan pasien menghadapi dan terbiasa dengan situasi yang ditakuti. - Tentukan satu langkah kecil pertama menghadapi situasi yang ditakuti, misalnya keluar rumah sebentar bersama seorang anggota keluarga. - Langkah ini harus dipraktikkan setiap hari selama 1 jam sampai tidak menakutkan lagi. - Jika situasi yang ditakutkan itu masih menyebabkan ansietas, pasien harus mempraktikkan pernapasan yang teratur dan santai. Katakan padanya bahwa panik akan berlalu dalam 30 menit. Pasien jangan meninggalkan situasi yang ditakuti itu sebelum gejala panik hilang. - Lanjutkan dengan langkah yang sedikit lebih sukar dan ulangi prosedurnya (misalnya, melewati waktu yang lebih lama di luar rumah). - Jangan minum alkohol atau antiansietas paling kurang 4 jam sebelum mempraktikkan langkah-langkah ini. ¾ Tentukan seorang teman atau anggota keluarga yang dapat menolong mengatasi rasa takut. Kelompok tolong diri dapat membantu menghadapi situasi yang ditakuti. ¾ Pasien harus menghindari penggunaan alkohol atau obat penenang untuk mengatasi situasi yang ditakuti, tanpa petunjuk dokter. Medikasi: ¾ Bila metode di atas tidak menolong, dapat diberikan antiansietas (misalnya Diazepam 2-3 x 2-5 mg sehari). Penggunaan yang terus menerus dapat menimbulkan ketergantungan, dan bila dihentikan gejala akan muncul kembali. ¾ Bila terdapat depresi dapat diberikan antidepresan (misalnya Imipramin 2-3 X 25 -50 mg/hari). ¾ Beta-bloker dapat mengurangi gejala fisik. 33
DRAFT Konsultasi ke spesialis: ¾ Pertimbangkan konsultasi spesialistik jika rasa takut yang mengganggu itu (misalnya pasien tidak dapat meninggalkan rumah) menetap. ¾ Rujuk untuk psikoterapi perilaku (bila memungkinkan), bagi pasien yang belum sembuh dengan terapi di atas.
3.7.2. GANGGUAN PANIK (F41.0) Keluhan: ¾ Pasien datang dengan satu atau lebih gejala fisik (seperti nyeri dada, pusing, napas pendek). ¾ Anamnesis lebih lanjut memperlihatkan gambaran berikut. Pedoman diagnostik: ¾ Serangan panik atau rasa takut yang tak dapat dijelaskan muncul secara mendadak, berkembang dengan cepat dan dapat berlangsung hanya beberapa menit. ¾ Serangan itu sering muncul bersama dengan gejala fisik seperti palpitasi, nyeri dada, rasa tercekik, rasa mual, pusing, perasaan bahwa keadaan menjadi tidak realistik, atau rasa takut akan terjadinya bencana pribadi (hilang kendali diri atau menjadi gila, serangan jantung, mati mendadak). ¾ Satu serangan sering menimbulkan rasa takut akan ada serangan lain dan penghindaran tempat-tempat serangan pernah terjadi. Pasien dapat menghindari kegiatan yang dapat menghasilkan perasaan sama dengan suatu serangan panik. ¾ Banyak kondisi medis dapat menyebabkan gejala yang sama dengan serangan panik (aritmia, iskemia otak, penyakit jantung koroner, tirotoksikosis). Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik harus dapat menyingkirkan semua keadaan tersebut. Penatalaksanaan: ¾ Informasikan kepada pasien dan keluarga bahwa panik adalah suatu gangguan yang lazim dan dapat diobati. Ansietas sering kali menghasilkan sensasi fisik yang menakutkan. Nyeri dada, pusing atau napas pendek, tidak selalu tanda suatu penyakit fisik. Ansietas panik juga menyebabkan pikiran yang menakutkan (takut mati, perasaan akan jadi gila atau hilang kendali). Semua itu akan berlalu bila ansietas diatasi. Pemusatan perhatian kepada gejala fisik akan menambah rasa takut. Seorang yang menghindari situasi tempat serangan panik terjadi hanya akan memperkuat ansietasnya. ¾ Sarankan pasien untuk mengikuti langkah-langkah berikut jika serangan panik timbul: - Diam di tempat sampai serangan panik berlalu. 34
DRAFT -
Konsentrasikan diri untuk mengatasi ansietas, bukan pada gejala fisik. - Praktikkan pernapasan yang perlahan dan relaks. Bernapas terlalu dalam atau terlalu cepat (hiperventilasi) dapat menyebabkan beberapa gejala fisik dari gangguan panik. Pernapasan yang terkendali akan mengurangi gejala fisik. - Katakan pada dirimu bahwa ini adalah suatu serangan panik, dan bahwa pikiran dan sensasi yang menakutkan akan segera berlalu. Perhatikan waktu berlalunya dengan jam tangan anda. Rasanya seperti lama walaupun hanya beberapa menit saja. ¾ Identifikasi rasa takut yang berlebihan yang timbul selama serangan panik (misalnya takut akan serangan jantung). ¾ Diskusikan cara menghadapi rasa takut selama serangan panik ini, misalnya mengingatkan diri sendiri: ”saya tidak mengalami serangan jantung. Ini hanya serangan panik dan akan berlalu dalam beberapa menit”. ¾ Kelompok tolong diri dapat membantu pasien mengatasi gejala dan rasa takut. Medikasi: ¾ Jika serangan sering dan berat atau pasien mengalami depresi, berikan antidepresan (misalnya Imipramin 25 mg malam hari dan ditingkatkan sampai 100-150 mg malam hari dalam 2 minggu). Bagi pasien dengan serangan yang jarang dan terbatas, penggunaan medikasi antiansietas jangka pendek bisa menolong (Lorazepam 0,5-1,0 mg 1 sampai 3 kali sehari atau Alprazolam 0,25 – 1 mg 1 sampai 3 kali sehari). Penggunaan yang terus menerus bisa menimbulkan ketergantungan dan gejala panik akan timbul kembali bila dihentikan. ¾ Hindari pemeriksaan penunjang atau medikasi yang tidak perlu. Konsultasi ke spesialis: ¾ Pertimbangkan konsultasi jika serangan berat masih berlanjut setelah pengobatan di atas. ¾ Rujuk ke psikiater untuk psikoterapi, bagi pasien yang tidak membaik dengan cara di atas. ¾ Umumnya panik menyebabkan gejala fisik. Hindari konsultasi medis yang tidak perlu.
3.7.3. GANGGUAN ANSIETAS MENYELURUH (F41.1) Keluhan: ¾ Mula-mula pasien memperlihatkan gejala fisik yang berkaitan dengan ketegangan (misalnya sefalgia, jantung berdebar keras) atau dengan 35
DRAFT insomnia. Anamnesis lebih lanjut akan menampilkan ciri khas ansietas yang menonjol. Pedoman diagnostik: Selain ciri khas di atas terdapat pula: ¾ Ketegangan mental (cemas/bingung, rasa tegang atau gugup, konsentrasi buruk). ¾ Ketegangan fisik (gelisah, sefalgia, tremor, tidak bisa santai). ¾ Pembangkitan gejala fisik (pusing, berkeringat, denyut jantung cepat atau keras, mulut kering, nyeri perut). Gejala bisa berlangsung berbulan-bulan dan sering muncul kembali. Sering dicetuskan oleh peristiwa yang menegangkan pada mereka yang cenderung khawatir secara kronik. Penatalaksanaan: ¾ Informasikan kepada pasien dan keluarga bahwa stres dan rasa khawatir keduanya mempunyai efek fisik dan mental. Mempelajari keterampilan untuk mengurangi efek stres (bukan medikasi sedatif) merupakan pertolongan yang efektif. ¾ Mengenali, menghadapi dan menantang kekhawatiran yang berlebihan, dapat mengurangi gejala ansietas, misalnya kekhawatiran yang berlebihan muncul ketika anak gadisnya terlambat pulang 5 menit dari sekolah, pasien mengkhawatirkan kemungkinan anaknya tersebut mengalami kecelakaan. ¾ Diskusikan dengan pasien cara menghadapi kekhawatiran yang berlebihan ini pada saat pemunculannya (misalnya, ketika pasien mulai khawatir akan anaknya, ia dapat mengatakan kepada dirinya: “Saya mulai terperangkap dalam kekhawatiran lagi. Anak saya hanya terlambat beberapa menit saja dari sekolah dan segera akan tiba di rumah. Saya tidak akan menelepon sekolahnya untuk mencari informasi, kecuali ia terlambat 1 jam”). ¾ Dukung pasien untuk mempraktikkan metode relaksasi harian untuk mengurangi gejala fisik dari ketegangan. ¾ Dorong pasien untuk mengikuti kegiatan dan latihan yang menyenangkan, dan mengulangi kegiatan yang pernah menolong di masa lalu. ¾ Latihan fisik yang teratur sering menolong. Medikasi: ¾ Jika dengan konseling, gejala ansietas menetap, dapat diberikan medikasi antiansietas (misalnya Diazepam 5 – 10 mg, malam hari) yang digunakan tidak lebih dari 2 minggu. Penggunaan jangka panjang dapat menimbulkan ketergantungan dan apabila dihentikan gejala cenderung muncul kembali. ¾ Beta Bloker dapat menolong mengatasi gejala fisik. 36
DRAFT ¾ Bila terdapat juga gejala depresi, dapat diberi antidepresan (lihat penggunaan obat antidepresan). Konsultasi ke spesialis: ¾ Konsultasi spesialistik dilakukan jika ansietas berat berlangsung lebih dari 3 bulan.
3.7.4. GANGGUAN CAMPURAN ANSIETAS DAN DEPRESI (F41.2) Keluhan: ¾ Pasien memperlihatkan berbagai gejala ansietas dan depresi. ¾ Mula-mula mungkin ada satu atau lebih gejala fisik (misalnya kelelahan dan rasa nyeri). ¾ Anamnesis lebih lanjut akan mengungkapkan perasaan depresi dan/atau ansietas. Pedoman diagnostik: Suasana perasaan murung atau sedih. ¾ Kehilangan minat atau kesenangan. ¾ Ansietas dan kekhawatiran menonjol. Gejala penyerta yang sering muncul adalah sebagai berikut: ¾ Gangguan tidur. ¾ Kelelahan atau kehilangan enersi. ¾ Gangguan berkonsentrasi. ¾ Gangguan nafsu makan. ¾ Mulut kering. ¾ Tegang dan gelisah. ¾ Tremor, palpitasi. ¾ Pusing. ¾ Pikiran atau tindakan bunuh diri. ¾ Libido menurun. Penatalaksanaan: ¾ Informasikan kepada pasien dan keluarga bahwa stres dan kekhawatiran mempunyai banyak dampak terhadap fisik dan mental. Problem ini bukan karena kelemahan atau kemalasan, tetapi merupakan cara pasien mencoba untuk mengatasi stres tersebut. ¾ Upayakan agar pasien mempraktikkan metode relaksasi untuk mengurangi gejala fisik dari ketegangan. ¾ Rencanakan aktivitas jangka pendek yang membuat pasien relaks, menyenangkan atau menolong pasien membangkitkan rasa percaya diri. Ulangi aktivitas yang menolong pasien di masa lalu. ¾ Jika ada gejala fisik, diskusikan hubungan antara gejala fisik dan distres mental (lihat gangguan somatoform– F45) 37
DRAFT ¾ Metode pemecahan problem yang terstruktur bisa menolong pasien mengatasi problem kehidupan atau stres yang menimbulkan gejala ansietas. • Temukan peristiwa yang mencetuskan kekhawatiran yang berlebihan dan atasi dengan langkah-langkah praktis (misalnya seorang wanita muda memperlihatkan kekhawatiran, ketegangan, nausea dan insomnia. Gejala ini timbul sejak anaknya didiagnosis mengidap asma. Ansietas memburuk ketika anaknya mendapat serangan asma). • Bicarakan apa yang akan dilakukan pasien untuk mengatasi situasi tersebut. • Kenali beberapa tindakan spesifik yang bisa dilakukan dalam beberapa minggu mendatang, seperti: Konsultasi dengan perawat/dokter/petugas kesehatan untuk mempelajari perjalanan dan penanganan asma. Diskusikan problem tersebut dengan orangtua lain dari anak yang menderita asma. Tulis rencana untuk mengatasi serangan asma. ¾ Tanyakan mengenai risiko bunuh diri. Apakah pasien sering memikirkan tentang mati atau kematian. Adakah rencana spesifik untuk bunuh diri. Pernahkah ia melakukan percobaan bunuh diri di masa lalu. Yakinkan pasien bahwa ia tidak akan melaksanakan ide bunuh diri. Observasi ketat oleh keluarga atau bila perlu rawat di rumah sakit. Medikasi: Pada kasus ringan: ¾ Medikasi merupakan komponen sekunder. Jika ditemukan gejala depresi berat, dapat diberikan antidepresan (lihat Gangguan Depresif – F32# untuk pedoman penggunaan antidepresan). Konsultasi ke spesialis: ¾ Jika risiko bunuh diri berat atau bila perlu rawat di rumah sakit. ¾ Jika gejala tetap bertahan walaupun telah diterapi (rujuk ke penatalaksanaan yang diberikan untuk Gangguan Depresif – F32# dan Gangguan Ansietas Menyeluruh – F41.1).
3.7.5. GANGGUAN OBSESIF KOMPULSIF (F42) Keluhan: ¾ Pasien mengeluh melakukan pekerjaan berulang-ulang dan tak kuasa untuk mengendalikannya, walaupun mereka menyadari bahwa pekerjaan itu tak ada gunanya.
38
DRAFT Pedoman diagnostik: ¾ Obsesi adalah pikiran yang berulang-ulang yang tidak bisa dihindari oleh pasien dan yang menimbulkan ansietas yang bermakna. Biasanya pikiran tentang terkontaminasi dengan kuman, keraguan yang patologik, kecemasan tentang gangguan somatik, impuls agresif atau seksual. ¾ Kompulsi adalah perilaku yang berulang-ulang yang tidak bisa dihindari, untuk menetralisir atau mengurangi kecemasan akibat dari pikiran yang obsesif tadi. Perilaku kompulsif yang biasa ditemukan adalah memeriksa, mencuci, membersihkan, menghitung, menyuruh, bertanya atau mengaku dosa berulang-ulang. ¾ Akan timbul ansietas apabila tidak melakukan perilaku yang berulangulang tersebut. ¾ Menimbulkan dampak terhadap pekerjaan, pergaulan sosial dan hubungan dalam keluarga. ¾ Gejala lain yang menyertai adalah rasa bersalah dan tak berdaya. Penatalaksanaan: ¾ Informasikan kepada pasien dan keluarga bahwa pikiran dan perilaku yang berulang-ulang adalah gejala dari gangguan pasien dan bukan dibuat-buat. ¾ Upayakan agar pasien melakukan metode relaksasi untuk mengurangi gejala fisik dari ketegangan. ¾ Bila gejala ringan, dapat dilakukan terapi tingkah laku. Medikasi: ¾ Untuk kasus yang lebih berat, dapat diberikan Clomipramine dengan dosis 3 x 25-50 mg sehari atau Fluoxetine 1-2 x 10-20 mg sehari, mulai dengan dosis kecil yang dinaikkan secara bertahap. Mungkin diperlukan dosis yang lebih besar dibandingkan untuk gangguan depresi. Reaksi klinik mungkin dicapai setelah pemberian 6 minggu atau lebih. Konsultasi ke spesialis: ¾ Bila terdapat gangguan mental lainnya atau gejala pasien sangat berat sehingga dia tak mampu bekerja atau melakukan kegiatan sehari-hari atau bila timbul ide bunuh diri. ¾ Bila pasien membutuhkan psikoterapi.
3.7.6. GANGGUAN PENYESUAIAN (F43.2) Keluhan: ¾ Pasien merasa tak berdaya, kewalahan atau tak mampu menyesuaikan diri. ¾ Mungkin pula disertai gejala fisik yang berkaitan dengan stres seperti insomnia, sakit kepala, nyeri perut, nyeri dada dan palpitasi. 39
DRAFT Pedoman diagnostik: ¾ Merupakan reaksi akut terhadap peristiwa traumatik atau penuh stres yang baru saja terjadi, atau preokupasi dengan peristiwa tersebut. ¾ Gejala mungkin secara primer bersifat somatik. ¾ Gejala lain meliputi: - Suasana perasaan menurun atau sedih - Ansietas - Khawatir - Merasa tak mampu menyesuaikan diri ¾ Reaksi akut biasanya berlangsung dari beberapa hari sampai beberapa minggu. ¾ Jika gejala yang menonjol bertahan lebih dari satu bulan, pertimbangkan diagnosis lain yang sesuai. Penatalaksanaan: ¾ Informasikan pada pasien dan keluarga bahwa peristiwa stres sering mempunyai efek mental dan fisik. Gejala yang berkaitan dengan stres biasanya berlangsung hanya beberapa hari atau minggu. ¾ Dorong pasien untuk mengenali makna pribadi dari peristiwa tersebut. ¾ Lakukan pengkajian ulang dan perkuat langkah positif yang telah diambil pasien untuk menghadapi stres tersebut. ¾ Identifikasi langkah yang bisa diambil pasien untuk memodifikasi keadaan yang menimbulkan stres. Jika situasi tidak bisa diubah, diskusikan strategi pemecahan problem. ¾ Identifikasi saudara, sahabat dan masyarakat yang mampu memberikan dukungan. ¾ Istirahat jangka pendek dan menghindari stres, dapat membantu pasien. ¾ Dorong untuk kembali kepada kegiatan rutinnya dalam beberapa minggu. Medikasi: ¾ Kebanyakan reaksi stres akut akan teratasi tanpa menggunakan medikasi. Namun bila gejala ansietas berat sekali, gunakan obat antiansietas sampai 3 hari (misalnya Diazepam 3 x 2-5 mg sehari). ¾ Jika pasien mengalami insomnia berat, gunakan obat hipnotik sampai 3 hari (misalnya estazolam 1 mg setiap malam). Konsultasi ke spesialis: ¾ Jika gejala berlangsung lebih dari 1 bulan, pertimbangkan untuk merujuk.
40
DRAFT 3.7.7. GANGGUAN SOMATOFORM (F45) Keluhan: ¾ Dapat timbul gejala fisik apa saja. Gejala bisa sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh latar belakang budaya. ¾ Keluhan mungkin tunggal atau multipel, dan bisa berubah dari waktu ke waktu. Pedoman diagnostik: ¾ Terdapat berbagai macam keluhan dan/atau gejala fisik yang tidak dapat dijelaskan (diperlukan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik yang lengkap untuk menetapkan gangguan ini). ¾ Pasien datang berulang kali walaupun hasil pemeriksaan tidak menunjukkan kelainan. ¾ Beberapa pasien mungkin hanya mengeluh dan ingin bebas dari keluhan atau gejala fisiknya saja. Ada pula pasien yang mungkin khawatir bahwa dirinya menderita suatu penyakit fisik dan mereka tidak percaya bahwa tidak ditemukan kelainan fisik. ¾ Biasanya disertai gejala depresi dan ansietas. ¾ Jika ada keyakinan yang aneh (misalnya organ tubuhnya membusuk), lihat Gangguan Psikotik Akut. Penatalaksanaan: ¾ Informasikan kepada pasien dan keluarga bahwa stres sering dapat menimbulkan gejala fisik. Keluhan pasien adalah nyata, bukan bohong atau rekayasa. ¾ Tanyakan tentang keyakinan pasien (apa yang menyebabkan gejala) dan ketakutannya (apa yang ia takutkan akan terjadi). ¾ Yakinkan pasien (misalnya nyeri perut tidak berarti kanker). Sarankan pasien untuk tidak memusatkan perhatian terhadap kekhawatiran tentang penyakit. ¾ Diskusikan stres emosional yang ada ketika gejala mulai timbul. ¾ Metode relaksasi dapat membantu mengurangi gejala yang berkaitan dengan ketegangan (nyeri kepala, nyeri tengkuk atau punggung). ¾ Dorong pasien untuk berolah raga dan aktivitas yang menyenangkan. ¾ Dorong pasien untuk kembali ke kegiatan sehari-hari walaupun gejalanya belum hilang semua. ¾ Untuk pasien dengan keluhan yang lebih kronik, pertemuan yang dijadwalkan secara teratur dapat mencegah kunjungan mendesak yang lebih sering. Medikasi: ¾ Hindari pemeriksaan diagnostik yang tidak perlu atau pemberian obat baru untuk setiap gejala baru.
41
DRAFT ¾ Antidepresan (misalnya Imipramin, SSRI) dapat menolong pada beberapa kasus (misalnya nyeri kepala, ”irritable bowel syndrome”, ”atypical chest pain”). Konsultasi ke spesialis: ¾ Paling baik pasien tetap ditangani di pelayanan kesehatan dasar atau dirujuk ke psikiater (bukan ahli lain) untuk mendapatkan psikoterapi, walaupun pasien mungkin tidak senang dengan rujukan psikiatrik dan mencari konsultasi medik tambahan ke mana saja.
3.8. GANGGUAN SEKSUAL PADA LAKI-LAKI (F52) Keluhan: Pasien pada umumnya enggan membicarakan problem seksual. Mereka biasanya mengeluh adanya gejala fisik, suasana perasaan murung atau problem perkawinan. Pedoman diagnostik: Gangguan seksual yang lazim terdapat pada laki-laki adalah: ¾ Ketidakmampuan untuk ereksi atau impotensi (tidak bisa ereksi atau ereksi berakhir sebelum tercapainya hubungan seksual yang memuaskan). ¾ Ejakulasi dini (ejakulasi terjadi sebelum tercapainya hubungan seksual yang memuaskan). ¾ Tidak mampu mencapai orgasme atau ejakulasi yang tertunda (ejakulasi tertunda lama atau malahan tidak terjadi ejakulasi, bahkan baru terjadi setelah yang bersangkutan tidur). ¾ Gairah seksual yang rendah (biasanya baru dirasakan sebagai suatu problem apabila pasangan tersebut menginginkan anak atau jika pasangan wanitanya mempunyai gairah seksual yang lebih tinggi). ¾ Hal lain yang berpengaruh pada problem seksual adalah: gangguan depresif, gangguan anxietas, problem hubungan perkawinan, gangguan fisik (misalnya diabetes, hipertensi, sklerosis multipel, penggunaan alkohol, tembakau dan medikasi tertentu). Penatalaksanaan: Gangguan ereksi (ketidakmampuan/kegagalan respon genital, impotensi): ¾ Informasikan kepada pasien dan pasangannya bahwa gangguan ereksi mempunyai banyak kemungkinan penyebab. Biasanya merupakan respon yang temporer terhadap stres atau kehilangan rasa percaya diri. Gangguan ini dapat diobati, khususnya jika masih mampu bereaksi pada pagi hari. 42
DRAFT ¾ Sarankan pasien dan pasangannya untuk tidak melakukan hubungan seksual selama 1 atau 2 minggu. Dorong mereka untuk melakukan kontak fisik yang menyenangkan tanpa sanggama pada saat itu dan secara bertahap kembali melakukan sanggama. ¾ Informasikan kepada mereka kemungkinan pengobatan secara fisik dengan menggunakan cincin penis, peralatan vakum dan suntikan intrakavernosa. Ejakulasi dini: ¾ Informasikan kepada pasien dan pasangannya bahwa pengendalian ejakulasi adalah mungkin dan bisa meningkatkan kepuasan seksual bagi kedua pasangan. ¾ Yakinkan pasien bahwa ejakulasi dapat ditunda dengan mempelajari pendekatan baru, yaitu teknik memencet (squeeze technique), atau teknik berhenti-mulai (stop-start technique). ¾ Menunda ejakulasi dapat juga dilakukan dengan pemberian Klomipramin atau SSRI (misalnya Fluoxetin). Ketidakmampuan mencapai orgasme: ¾ Informasikan kepada pasien dan pasangannya bahwa keadaan ini merupakan problem yang lebih sulit diatasi/diobati. Meskipun demikian bila ejakulasi dapat dilakukan dengan cara lain selain melalui sanggama (misalnya masturbasi), maka prognosis akan lebih baik. ¾ Anjurkan latihan seperti stimulasi pada penis dengan menggunakan minyak. Untuk program kesuburan, pertimbangkan inseminasi buatan dengan sperma suami. Gairah seksual yang rendah: ¾ Informasikan kepada pasien dan pasangannya bahwa gairah seksual yang rendah mempunyai banyak penyebab, termasuk kekurangan hormon, penyakit fisik atau psikiatrik, stres dan problem hubungan antar manusia. ¾ Anjurkan untuk melakukan relaksasi, mengurangi stres, komunikasi secara terbuka, sikap asertif yang sesuai, dan kerja sama antara pasangan. Konsultasi ke spesialis: Pertimbangkan untuk konsultasi, jika problem seksual berlangsung selama lebih dari 3 bulan, walaupun segala upaya di atas telah dilakukan.
43
DRAFT GANGGUAN SEKSUAL PADA WANITA (F52) Keluhan: Pasien pada umumnya enggan membicarakan problem seksual. Mereka biasanya mengeluh justru keluhan fisik, suasana perasaan depresi, atau problem perkawinan. Pedoman diagnostik: Gangguan seksual yang lazim pada wanita adalah: ¾ Gairah seksual yang rendah (biasanya baru menjadi problem jika pasangan ini ingin punya anak, atau pasangan prianya mempunyai kebutuhan seksual yang lebih besar). ¾ Vaginismus atau kontraksi otot vagina pada saat penetrasi (sering dijumpai pada perkawinan yang tidak bahagia/memuaskan secara seksual). ¾ Dispareunia (rasa nyeri pada vagina atau daerah pelvis pada saat sanggama). ¾ Anorgasmia (tidak pernah mengalami orgasme atau klimaks). ¾ Problem dalam hubungan perkawinan, sering kali berpengaruh terhadap hubungan seksual, terutama dalam hal gairah. ¾ Dispareunia juga disebabkan oleh infeksi vagina, infeksi pelvis dan lesi pelvis lainnya (tumor atau kista). Penatalaksanaan: Gairah seksual rendah: ¾ Informasikan kepada pasien dan pasangannya bahwa gairah seksual yang rendah mempunyai banyak penyebab, termasuk problem perkawinan, trauma yang pernah dialami sebelumnya, penyakit fisik maupun psikiatrik serta stres. Biasanya bersifat sementara. ¾ Bicarakan dengan pasien mengenai pendapatnya tentang hubungan seksual. ¾ Tanyakan mengenai pengalaman seksual yang traumatik, dan sikap negatif terhadap seks. ¾ Temui pasangan secara bersama untuk mencoba menurunkan harapan suami, khususnya yang berkaitan dengan masalah seksual. ¾ Sarankan untuk merencanakan suatu aktivitas seksual pada hari tertentu. Vaginismus: ¾ Informasikan kepada pasien dan pasangannya bahwa vaginismus adalah suatu bentuk spasme otot yang dapat diatasi dengan latihan relaksasi. Untuk menegakkan diagnosis perlu dilakukan pemeriksaan dalam (vagina).
44
DRAFT ¾ Sarankan latihan yang melibatkan suami dan pasien untuk mengetahui titik-titik sensitif (zona erogenik) yang menimbulkan gairah seksual, kemudian gunakan jari yang dimasukkan ke dalam vagina, agar liang vagina melebar, yang disertai dengan relaksasi. Dispareunia: ¾ Informasikan kepada pasien dan pasangannya bahwa ada banyak faktor penyebab fisik, tetapi pada beberapa kasus tidak adanya lubrikasi, dan ketegangan otot adalah faktor/penyebab utama. ¾ Relaksasi, permainan pendahuluan yang lebih lama dan penetrasi penis secara hati-hati dapat mengatasi problem psikogenik. ¾ Disarankan merujuk ke ahli kandungan, jika upaya di atas tidak berhasil. Anorgasmia: ¾ Informasikan kepada pasien dan pasangannya bahwa banyak wanita yang tidak mampu mencapai orgasme pada saat sanggama, tetapi dapat mencapainya melalui stimulasi klitoris dan hal tersebut sebenarnya tidak berbeda dengan orgasme vaginal. ¾ Diskusikan sikap dan pendapat pasien. ¾ Dorong pasien untuk melakukan eksplorasi sendiri secara manual (misalnya stimulasi pada alat kelamin/kemaluan). ¾ Bantu pasangan untuk berkomunikasi secara terbuka dan menurunkan setiap harapan yang tidak realistik. Konsultasi ke spesialis: Jika problem seksual berlangsung lebih lama dari 3 bulan, walaupun segala upaya di atas telah dilakukan.
3.9. RETARDASI MENTAL (F70) Keluhan: Pada anak: ¾ Kelambatan perkembangan: berjalan, berbicara, buang air kecil, buang air besar. ¾ Kesulitan dalam menyelesaikan tugas sekolah sesuai dengan kemampuan anak lain yang sebaya. ¾ Anak mengalami kesulitan belajar. ¾ Dapat juga disertai problem tingkah laku. Pada remaja: ¾ Kesulitan bergaul dengan sebaya. ¾ Kadang-kadang disertai perilaku seksual yang tidak sesuai. Pada dewasa: 45
DRAFT ¾ Kesulitan dalam melaksanakan tugas sehari-hari: misalnya memasak, membersihkan rumah. ¾ Problem yang berkaitan dengan perkembangan kematangan sosial: menikah, mencari pekerjaan, mengasuh anak. Pedoman diagnostik: ¾ Perkembangan mental lambat atau tidak sempurna, yang timbul sebelum usia 18 tahun dan mengakibatkan kesulitan belajar dan problem penyesuaian sosial. ¾ Tingkat keparahan retardasi mental: - Retardasi mental berat: pada umumnya telah dapat diketahui sebelum usia 2 tahun, segala sesuatunya masih perlu dibantu, kemampuannya hanya berbicara sederhana. - Retardasi mental sedang: biasanya dapat diketahui pada usia 3-5 tahun, anak mampu menyelesaikan pekerjaan sederhana dengan pengawasan, masih memerlukan bimbingan atau pengawasan dalam melakukan tugas sehari-hari. - Retardasi mental ringan: biasanya dapat diketahui pada waktu usia sekolah, keterbatasan dalam menyelesaikan tugas sekolah, namun mampu untuk hidup mandiri dan menyelesaikan pekerjaan sederhana. ¾ Kondisi malnutrisi dan penyakit kronik dapat mengakibatkan kelambatan perkembangan. Sebagian besar dari penyebab retardasi mental, tidak bisa diobati. Penyebab retardasi mental yang lebih sering bisa diobati adalah hipotiroidisme, keracunan timbal dan beberapa gangguan metabolisme bawaan (misalnya fenilketonuria). Penatalaksanaan: ¾ Informasikan kepada keluarga bahwa pelatihan yang diberikan sedini mungkin dapat membantu individu untuk menuju kemandirian dan mampu bantu diri. Anak dengan retardasi mental, mampu menjalin hubungan kasih sayang. ¾ Usahakan agar keluarga memberikan pujian. Beri kesempatan kepada pasien untuk mencapai fungsi kehidupannya yang tertinggi dalam kemampuannya belajar di sekolah, bekerja dan berkeluarga. ¾ Berikan dukungan dan simpati kepada keluarga karena mereka merasakan beban yang sangat berat dalam merawat anak retardasi mental. ¾ Sarankan kepada keluarga bahwa pelatihan akan sangat membantu anak, namun kesembuhan tidak pernah terjadi. Medikasi: ¾ Tidak ada pengobatan yang dapat meningkatkan fungsi mental, kecuali pada kasus fisik tertentu atau gangguan psikiatrik.
46
DRAFT ¾ Retardasi mental dapat terjadi bersama dengan gangguan lainnya yang memerlukan pengobatan medis (misalnya kejang, gangguan psikiatrik dengan spastisitas seperti pada depresi). Konsultasi ke spesialis: ¾ Pada waktu pertama kali mengetahui adanya retardasi mental, pertimbangkan untuk merujuk kepada spesialis yang dapat membantu membuat perencanaan pelatihan dan pendidikan.
3.10. GANGGUAN KESEHATAN JIWA ANAK DAN REMAJA 3.10.1. GANGGUAN PERKEMBANGAN PERVASIF (F84) (AUTISME PADA MASA KANAK) Keluhan: Pasien mungkin dibawa oleh keluarga karena perilaku anak aneh dan tidak mau berinteraksi dengan orang lain. Pedoman diagnostik: Paling sedikit ada 3 hal dari yang berikut ini: ¾ Kecemasan yang mendadak dan berlebihan, tidak dapat ditenangkan atau dihibur, bereaksi secara dahsyat terhadap peristiwa yang biasa terjadi. ¾ Afek terbatas atau tidak wajar. ¾ Menolak perubahan lingkungan, atau selalu memaksa untuk mengerjakan hal yang sama dengan cara yang sama setiap saat. ¾ Gerakan motorik janggal. ¾ Cara bicara tidak normal. ¾ Sulit kontak mata. ¾ Hiper/hiposensitif terhadap rangsang sensorik. ¾ Mutilasi diri: membenturkan kepala ke lantai/dinding, memukul diri sendiri, menggigit diri sendiri. ¾ Keadaan ini sudah bisa dilihat sebelum usia 3 tahun. Penatalaksanaan: ¾ Informasikan kepada keluarga tentang diagnosis dan bahwa perilaku anak tersebut akibat dari gangguan biologis di otak yang menyebabkan kegagalan berkomunikasi dan keterampilan sosial (anak hidup dalam dunianya sendiri). ¾ Minta orangtua agar melakukan diet bebas gluten (terigu) dan bebas casein (susu sapi) serta mempraktikkan terapi perilaku setiap saat di rumah dalam pengasuhan sehari-hari. 47
DRAFT ¾ Lakukan terapi perilaku agar pasien dapat berkontak mata dengan pengasuh (untuk menarik anak keluar dari dunianya sendiri). ¾ Apabila terdapat perilaku agresif, hipersensitif dan stereotipik, dapat diberikan antipsikotik dosis rendah (misalnya Risperidone 3 x 0,5 mg sehari). Konsultasi ke spesialis: ¾ Apabila memungkinkan segera berkonsultasi dengan psikiater dan terapis perilaku.
3.10.2. GANGGUAN HIPERKINETIK DAN GANGGUAN PEMUSATAN PERHATIAN (F90) Keluhan: ¾ Pasien: Tidak dapat duduk diam Selalu bergerak. Tidak dapat menunggu giliran. Tidak mau mendengarkan apa yang dikatakan orang lain. Konsentrasi buruk. ¾ Beberapa anak yang lebih muda sering mengalami kegagalan dalam menyelesaikan tugas sekolah. Pedoman diagnostik: ¾ Sangat sulit memusatkan perhatian dalam waktu yang lama (konsentrasi hanya sesaat, sering berganti-ganti aktivitas). ¾ Tidak bisa duduk diam, tubuh selalu bergerak secara abnormal (sering terlihat di kelas atau saat makan). ¾ Impulsif (tidak sabar menunggu, atau bertindak tanpa berpikir). ¾ Kadang-kadang sulit didisiplinkan, prestasi di sekolah rendah, cenderung mengalami kecelakaan. ¾ Kondisi tersebut terjadi pada hampir semua situasi (di rumah, sekolah dan pada waktu bermain). ¾ Hindari membuat diagnosis terlalu awal. Aktivitas fisik yang sangat berlebihan belum tentu abnormal. ¾ Perlu dipertimbangkan adanya gangguan fisik spesifik (epilepsi, sindrom alkohol fetal, penyakit kelenjar tiroid), gangguan jiwa (autisme, gangguan emosi menyeluruh). ¾ Tingkah laku hiperkinetik dapat menyebabkan atau disebabkan oleh terjadinya problem orangtua dan anak. Penting dilakukan pemeriksaan hubungan dalam keluarga.
48
DRAFT Penatalaksanaan: ¾ Informasikan kepada keluarga bahwa perilaku hiperkinetik bukan kesalahan anak. Hal ini disebabkan karena kegagalan anak memusatkan perhatian dan pengendalian diri yang bersifat bawaan. Hasil pengobatan menjadi lebih baik, bila orangtua dapat bersikap tenang dan menerima keadaan ini. Anak hiperaktif sangat membutuhkan bantuan untuk dapat bersikap tenang dan mampu memusatkan perhatian. Beberapa anak dapat berlanjut mengalami kesulitan sampai usia dewasa, namun kebanyakan dapat menyesuaikan diri dengan lebih baik dengan bertambahnya usia. ¾ Dorong orangtua untuk memberikan umpan balik positif atau penghargaan ketika anak mampu memusatkan perhatian dengan baik. ¾ Hindari pemberian hukuman, namun perlu menegakkan disiplin sesegera mungkin agar lebih efektif. ¾ Anjurkan orangtua untuk membicarakan masalah anak bersama dengan guru (jelaskan bahwa proses perbaikan anak tersebut tidak dapat berlangsung dengan cepat, pemberian pujian akan dapat meningkatkan kemampuan konsentrasi anak). ¾ Tekankan perlunya pengurangan hal yang mengganggu konsentrasi anak (misalnya anak didudukkan di urutan paling depan di kelas). ¾ Aktivitas fisik dan olahraga dapat membantu untuk menyalurkan enersi yang berlebihan. ¾ Dorong orangtua untuk membawa anaknya berkonsultasi ke konselor di sekolah (bila ada). Medikasi: Untuk kasus yang berat, perlu diberikan psikostimulansia untuk memperbaiki konsentrasi dan mengurangi aktivitas yang berlebihan (misalnya Metilfenidat 15-45 mg/hari dibagi dalam 2 dosis: pagi dan siang). Jika ada “tics” dapat diberikan Klonidin 25 – 50 mg/hari. Konsultasi ke spesialis: ¾ Bila memungkinkan pertimbangkan konsultasi ke psikiater sebelum memberikan obat, atau jika tidak ada perbaikan setelah cara tersebut di atas. ¾ Jika tersedia, rujuk anak kepada terapis perilaku untuk memperbaiki perhatian dan pengendalian diri.
3.10.3. GANGGUAN TINGKAH LAKU (F91#) Keluhan: ¾ Tingkah laku melawan atau menentang, melanggar hak asasi orang lain, atau melanggar peraturan atau norma yang berlaku. 49
DRAFT ¾ Para guru dan orangtua merasa kesulitan dan memerlukan bantuan untuk menangani tingkah laku tersebut. Pedoman diagnostik: ¾ Adanya pola tingkah laku agresif berulang dan menetap seperti: berkelahi, tindak kekerasan, berbohong, mencuri, brutal, suka kabur (melarikan diri) dari rumah, membual. ¾ Penetapan gangguan tingkah laku ini harus disesuaikan dengan umur dan norma budaya setempat. ¾ Gangguan tingkah laku dapat berkaitan dengan adanya stres, baik di rumah maupun di sekolah. ¾ Gangguan tingkah laku mungkin terjadi bersamaan dengan gejala aktivitas yang berlebihan dan gangguan pemusatan perhatian yang menonjol. Lihat gangguan hiperkinetik. Penatalaksanaan: ¾ Informasikan pada keluarga bahwa disiplin yang efektif harus jelas dan dilaksanakan secara konsisten, namun tidak melukai perasaan anak (tidak kasar). Hindari pemberian hukuman. Lebih baik memberi pujian untuk perilaku yang positif. ¾ Tanyakan tentang alasan tingkah laku pasien yang menentang. Sedapat mungkin usahakan untuk mengubah kondisi lingkungan anak menjadi lebih baik. ¾ Dorong orangtua untuk memberikan umpan balik positif dan pujian terhadap perilaku anak yang baik. ¾ Dorong orangtua untuk menerapkan disiplin secara konsisten. Buat peraturan yang jelas dan batasan yang tegas tentang tingkah laku yang buruk, serta memberitahukan kepada anak konsekuensi yang harus ditanggungnya apabila ia melanggar peraturan tersebut. Orangtua harus segera melaksanakan konsekuensi tersebut dan tidak boleh ditunda. ¾ Sarankan kepada orangtua untuk membicarakan cara mendisiplinkan anak tersebut bersama dengan guru. ¾ Anggota keluarga, teman dan lingkungan dapat mendukung para orangtua dalam melaksanakan disiplin secara konsisten. Medikasi: ¾ Tidak ada medikasi atau pengobatan fisik untuk gangguan tingkah laku. ¾ Apabila gangguan tingkah laku akibat dari gangguan hiperkinetik, maka kondisi ini dapat diobati. Konsultasi ke spesialis: ¾ Pertimbangkan untuk merujuk pasien ke psikiater, apabila problem tingkah laku tidak teratasi dengan cara tersebut di atas.
50
DRAFT 3.10.4. ENURESIS FUNGSIONAL (F98.8) Keluhan: ¾ Mengompol di celana atau di tempat tidur secara berulang minimal 2 x sebulan pada anak usia 5 tahun dan 1 x sebulan pada anak usia 6 tahun atau lebih. Pedoman diagnostik: ¾ Terlambatnya kemampuan untuk mengendalikan buang air kecil (catatan: mengompol pada anak usia kurang dari 5 tahun adalah normal). Buang air kecil: ¾ Biasanya involunter, walau kadang-kadang disengaja. ¾ Mengompol mungkin berlangsung sejak lahir atau didapat kemudian setelah adanya periode tidak mengompol. ¾ Kadang-kadang terjadi bersamaan dengan gangguan emosional yang lebih umum atau gangguan perilaku. ¾ Mungkin dimulai setelah kejadian traumatik atau menegangkan. ¾ Umumnya enuresis tidak disebabkan oleh gangguan fisik (enuresis primer). Penatalaksanaan: ¾ Lakukan pemeriksaan fisik yang teliti untuk menyingkirkan kemungkinan adanya gangguan fisik yang dapat menyebabkan mengompol (misalnya gangguan neurologik “spina bivida”, pemberian obat diuretik atau diabetes, gangguan kejang, struktur traktus urinarius yang abnormal, infeksi traktus urinarius akut). Pemeriksaan meliputi pemeriksaan urine. Jika buang air kecil sewaktu terjaga adalah normal dan hanya enuresis yang menjadi problem, maka pemeriksaan fisik lebih lanjut tidak diperlukan. ¾ Informasikan kepada keluarga bahwa mengompol tidak disengaja oleh anak dan umumnya terjadi pada saat anak tidur. Hukuman dan omelan, tidak akan menolong dan bahkan membuat anak bertambah stres. ¾ Libatkan anak dalam terapi. Bila memungkinkan anak harus bertanggung jawab terhadap problem dan penanganannya (misalnya mengganti baju atau sprei yang basah kena ompol). ¾ Anak disuruh mencatat di almanak saat dia tidak mengompol, beri hadiah pujian dan dorong agar anak lebih berhasil. ¾ Tenangkan dan temani bila anak takut ke kamar mandi. ¾ Latih untuk meningkatkan pengendalian kandung kencing pada saat bangun (misalnya menahan keinginan untuk kencing secara bertahap yang semakin hari semakin lama. Latih untuk menghentikan kencing pada saat setengah jalan).
51
DRAFT Medikasi: ¾ Jika anak sangat dibutuhkan untuk tidak mengompol, dapat diberikan Imipramin 25-50 mg 2 jam sebelum tidur. Konsultasi ke spesialis: Pertimbangkan konsultasi ke psikiater/psikolog atau ahli lain bila: ¾ Mengompol berkaitan dengan konflik keluarga yang berat atau adanya gangguan emosional yang lebih berat. ¾ Pada kasus infeksi saluran kencing, ada inkontinensia yang menetap pada siang hari atau adanya aliran kencing yang abnormal ¾ Tetap mengompol pada usia 10 tahun.
3.11. EPILEPSI (G40) Keluhan: ¾ Kehilangan kesadaran atau perubahan kesadaran yang berulang kali. ¾ Bisa disertai kejang umum (dengan mulut berbusa dan mengompol) atau dengan kejang fokal (sebagian tubuh saja) atau tanpa kejang sama sekali melainkan seperti orang bengong saja. ¾ Kadang-kadang sebelum datang serangan terdapat gangguan persepsi pancaindera seperti halusinasi (aura). Pedoman Diagnostik: ¾ Serangan berulang atau episodik ¾ kejang umum, kejang fokal atau tanpa kejang, ¾ dengan kesadaran menurun atau kesadaran berubah ¾ bisa disertai aura ¾ bisa disertai dengan gejala fisik atau psikis Jenis-jenisnya: 1. Epilepsi Grand mal: kejang umum, mulut berbusa, bisa ngompol 2. Epilepsi Petit-mal: Perubahan kesadaran sesaat (bengong) 3. Epilepsi fokal motor: kejang fokal pada otot 4. Epilepsi ekivalen (contoh sakit perut yang berulang) 5. Epilepsi Psikomotor: perubahan kesadaran disertai dengan gerakan automatisme (seperti keluyuran, gerakan mengunyah berulang) Penatalaksanaan: ¾ Informasikan kepada keluarga bahwa serangan ini dapat dicegah dengan pengobatan yang teratur. ¾ Hindari tempat-tempat yang dapat membahayakan penderita seperti dekat air, dekat api atau mesin yang berjalan atau sinar yang kelapkelip. ¾ Sebaiknya tidak mengemudikan kendaraan bermotor. 52
DRAFT ¾ Epilepsi Grandmal: pada waktu serangan, kendorkan pakaiannya, baringkan di tempat yang aman dan nyaman, miringkan kepalanya agar busa dari mulutnya dapat keluar dengan mudah, sehingga tidak menutup jalan napasnya. Pada saat kejang jangan memasukkan benda keras ke dalam mulut atau berusaha menekan sendi untuk menghentikan kejangnya. Biarkan sampai ia tersadar dengan sendirinya, setelah itu berikan obat antiepilepsi seperti Fenobarbital 3X50-100 mg. Setelah 1 bulan bebas kejang, turunkan dosis secara bertahap. Medikasi: ¾ Epilepsi Grandmal: Fenobarbital 3 X 50-100 mg. ¾ Epilepsi Petit-mal: berikan obat seperti Asam Valproat (Depakot 3 X 1 tablet). ¾ Epilepsi Fokal motor: Clonazepam (Rivotril) 3X10 mg. ¾ Epilepsi Ekivalen: Depakot 3 X 1 tablet. ¾ Epilepsi Psikomotor: Karbamazepin 3 X 200 mg. Konsultasi ke spesialis: ¾ Kasus-kasus yang tidak dapat diatasi dengan medikasi di atas, sebaiknya dirujuk ke RS terdekat.
53
DRAFT BAB IV PEDOMAN PEMBERIAN PSIKOTROPIKA
4.1. ANTIPSIKOTIK Antipsikotik digunakan untuk mengatasi gejala psikotik (misalnya gaduh gelisah, agresif, sulit tidur, halusinasi, waham, proses pikir kacau). Pasien psikotik yang agitatif, mengancam dan cenderung merusak dirinya atau orang lain (biasanya pasien skizofrenia, maniakal atau penyalahgunaan NAPZA) membutuhkan terapi yang efektif, aman dan mempunyai efek yang cepat (segera). Biasanya dilakukan tranquilisasi cepat atau rapid tranquilisation (RT), yaitu pemberian sejumlah antipsikotik dengan interval waktu yang pendek untuk segera mengatasi keadaannya. Obat diberikan secara parenteral, umumnya IM.
4.1.1. Prinsip umum tranquilisasi cepat a.
b. c. d. e. f. g. h.
Telusuri riwayat penggunaan obat sebelumnya dan bila mungkin, lakukan pemeriksaan fisik terlebih dulu. Hati-hati menggunakan antipsikotik parenteral pada pasien dengan gangguan jantung dan usia lanjut. Dianjurkan menggunakan antipsikotik potensi tinggi, misalnya Haloperidol IM. Jangan menggunakan antikolinergik sebelum timbul efek samping parkinsonisme, karena akan mengurangi efektivitas antipsikotik. Awasi tekanan darah dan suhu tubuh, terutama pada awal penyuntikan. Dapat dilakukan di rumah pasien dengan cara yang sangat hati-hati. Untuk mengurangi terjadinya hipotensi akut, maka sebaiknya pasien tetap berbaring setelah disuntik dan bila perlu difiksasi. Pada pasien epilepsi yang tak diobati, sering terjadi kejang setelah diberi antipsikotik. Bila keadaan darurat sudah teratasi, segera dialihkan ke pemberian oral.
4.1.2. Pemilihan obat tranquilisasi cepat: ¾ Chlorpromazine 25 – 50 mg diberikan IM yang dalam, setiap 6 – 8 jam sampai keadaan akut teratasi, kemudian segera ganti dengan obat per oral. Untuk usia lanjut 25 mg setiap 8 jam. ¾ Haloperidol 5 mg IM, dapat diulangi 5 mg lagi setelah 6 jam. ¾ Kombinasi Haloperidol 5 mg, kemudian Diazepam 10 mg IM dengan interval waktu 1 – 2 menit. Dengan kombinasi ini jarang dibutuhkan suntikan kedua.
54
DRAFT 4.1.3. Antipsikotik oral yang ada di Indonesia: 4.1.3.1. Antipsikotik tipikal: Efek: Antipsikotik tipikal adalah antipsikotik generasi pertama yang memperbaiki gejala positif dari skizofrenia (gaduh gelisah, halusinasi, waham, gangguan proses pikir), namun umumnya tidak memperbaiki gejala negatif (afek atau suasana alam perasaan yang mendatar, menarik diri dan apati atau tidak ada keinginan untuk berbuat).
Tabel 4-1. Gambaran obat antipsikotik oral tipikal Jenis antipsikotik Klorpromazin (CPZ, Largactil, Promactil) Thioridazin (Meleril) Flufenazin (Anatensol) Perfenazin (Trilafon) Trifluoperazin (Stelazin, Trizin) Haloperidol (Haldol, Serenace, Lodomer)
Dosis ekivalen (mg) 100
Dosis mg/ hari
Efek sedasi
Ekstra piramidal
Anti kolinergik
Hipotensi ortostatik
200-800
+++
++
++
+++
100
150-800
+++
+
+++
+++
5
5-15
+
+++
+
+
8
8-24
+
+++
+
+
5
5-30
+
+++
+
+
2
2-20
+
+++
+
+
Interaksi dengan obat lain Interaksi dengan obat lain dapat memperkuat atau melemahkan efek antipsikotik tipikal.
55
DRAFT Tabel 4-2. Interaksi antipsikotik tipikal dengan obat lain. Interaksi dengan obat Alkohol, CNS depresan Aluminium yang terdapat dalam antasida Antikolinergik Barbiturat
Karbamazepin Fluvoxamin Lithium Phenytoin TCA (antidepresan trisiklik) Asam Valproat Propanolol Bromokriptin
Efek interaksi ↑ CNS depresan, ↑ ekstra piramidal ↓ Absorbsi di usus: ↓ efektivitas, berikan dengan interval waktu 1-2 jam ↓ Efektivitas antipsikotik, ↑ efek samping antikolinergik ↑ Metabolisme antipsikotik: ↓ level dan efektivitas antipsikotik dan ↓ barbiturat ↓ Level Haloperidol: ↓ efektivitas ↓ metabolisme Haloperidol: ↑ level Haloperidol, gejala ekstrapiramidal berat pernah dilaporkan CPZ atau Haloperidol dapat ↑ disorientasi, neurotoksisitas, dan ekstrapiramidal ↑ Atau ↓ level Phenytoin, ↓ level Haloperidol CPZ atau Haloperidol dapat ↑ level TCA dan TCA juga dapat ↑ level antipsikotik CPZ dapat ↑ level Asam Valproat ↑ level Propanolol dan CPZ dan dapat menyebabkan hipotensi CPZ ↓ efektivitas Bromokriptin
Berhati-hati memberikan suntikan antipsikotik tipikal pada pasien jantung, penyakit Parkinson, glaukoma, epilepsi, kanker payudara, gagal ginjal, penyakit liver dan pasien dengan panas tinggi serta pasien hamil dan menyusui. Penderita depresi psikotik, membutuhkan pengobatan kombinasi antipsikotik dengan antidepresan. Gejala overdosis biasanya tampil dalam bentuk depresi CNS (somnolen, tidur yang dalam, atau koma) dan hipotensi. Gejala overdosis dapat pula tampil dalam bentuk agitasi/gelisah, konvulsi, panas tinggi, perubahan ECG atau gejala extra piramidal. Bila terjadi overdosis obat distop dan sebaiknya 56
DRAFT pasien dirawat di rumah sakit untuk memudahkan mendapat pemeriksaan penunjang. Pemberian dosis • Dosis efektif sangat bervariasi dan dapat dilihat pada tabel 1. • Gunakan dosis efektif yang terendah dan tingkatkan dosis secara perlahan setiap minggu sampai ditemukan dosis efektif untuk menghilangkan gejala psikotik. Biasanya membutuhkan waktu selama 6 minggu atau lebih untuk mendapatkan efek klinis yang optimal. • Lanjutkan pemberian antipsikotik sekurang-kurangnya 3 bulan sesudah gejala hilang. Bagi pasien kronis dibutuhkan pemberian antipsikotik jangka panjang bahkan seumur hidup dengan dosis minimal untuk mencegah kambuh. Pada pasien psikotik organik pemberian obat dapat dihentikan bila gejala psikotik sudah hilang. • Gunakan dosis terbagi dalam 2 – 3 kali sehari, untuk dosis pemeliharaan dapat diberikan dosis tunggal. • Obat antiansietas juga bisa digunakan bersama dengan antipsikotik untuk mengendalikan agitasi akut (misalnya lorazepam 1-2 mg sampai 3 X sehari). • Pada pasien usia lanjut, gunakan dosis 1/4 - 1/3 dosis dewasa. • Kadang-kadang perlu memeriksa kadar obat dalam darah untuk mengetahui kepatuhan makan obat, menghindari toksisitas dan interaksi obat dengan obat lain (bila tersedia fasilitas). • Monitor efek samping antipsikotik; Distonia atau spasme akut dapat ditanggulangi dengan suntikan Diazepam 10 mg atau obat antiparkinson (misalnya Diazepam atau Difenhidramin atau Sulfas Atropin). Akatisia (kegelisahan motorik berat), bisa ditanggulangi dengan pengurangan dosis atau pemberian Beta blocker 3 X 10 mg. Jangan berikan pada pasien asma bronkiale. Gejala parkinsonisme (tremor, akinesia) dapat ditanggulangi dengan antiparkinson oral (misalnya Triheksifenidil 2 mg 2 - 3 kali sehari). Penggunaan antipsikotik merupakan kontra indikasi pada pasien yang mengalami kerusakan hepar berat, hipotensi atau hipertensi berat, depresi sumsum tulang dan diskrasia darah. Hati-hati penggunaan antipsikotik pada kasus: peningkatan interval gelombang QT, penyakit Parkinson, glaucoma, riwayat kejang, kanker payudara, gagal ginjal, gagal hati, menderita panas tinggi. Konsultasi spesialistik: • Jika setelah 4 minggu pengobatan efektif, tidak ada perbaikan, sebaiknya pasien dirujuk untuk pertimbangan pemberian obat lain.
57
DRAFT •
Pada kasus dengan efek samping motorik yang berat atau timbulnya demam, kekakuan dan hipertensi, hentikan pemberian antipsikotik dan rujuk pasien.
4.1.3.2. Antipsikotik atipikal Efek: Antipsikotik atipikal adalah obat antipsikotik generasi kedua yang mempunyai rumus kimia yang berbeda dengan antipsikotik tipikal. Antipsikotik atipikal lebih aman dan lebih menguntungkan dari pada antipsikotik tipikal karena: • Pada dosis terapeutik, sangat minimal menimbulkan gejala ekstra piramidal dan hiperprolaktinemia (prolaktin menyebabkan tidak haid pada wanita dan timbulnya ginekomastia pada laki-laki). • Dapat memperbaiki gejala positif dan negatif dari skizofrenia dan lebih efektif mengobati pasien yang resisten. • Sangat sedikit menimbulkan gangguan pada kognitif dan malah mungkin memperbaiki kognitif. • Oleh karena itu lebih dapat ditolerir oleh pasien. • Perlu diwaspadai kemungkinan menimbulkan peningkatan kadar gula darah dan peningkatan berat badan. Tabel 4-3. Gambaran antipsikotik oral atipikal Jenis antipsikotik Klozapin (Clozaril, Syzoril) Olanzapin (Zyprexa) Quetiapin (Seroquel) Risperidon (Risperdal, Persidal, Zofredal) Aripiprazol (Abilify) Zotepine (Lodopin)
Dosis mg/hari 300-900 Dibagi 2-3 kali/hari 5-20 Dibagi 1-2 kali/hari 150-600 Dibagi 2-3 kali/hari 1-6 Dibagi 2-3 kali/hari
Efek sedasi +++
Ekstra piramidal 0/+
Anti kolinergik +++
Hipotensi ortostatik +++
++
0/+
+/++
0/+
++
0/+
0/+
+
+
0/+
0/+
+
10-30 mg/ hari dosis tunggal 75-300 dibagi 3 kali/hari
0
0/+
0
0
++
0/+
0/+
0
58
DRAFT Interaksi dengan obat lain Interaksi dengan obat lain dapat memperkuat atau melemahkan efek antipsikotik atipikal.
Tabel 4-4. Interaksi antipsikotik atipikal dengan obat lain Interaksi dengan obat Simetidin Eritromisin Ketokonazol Fenitoin, Karbamazepin SSRI Alkohol, CNS depresan Omeprazol
Efek interaksi ↓ Metabolisme Klozapin, ↑ level ↓ Metabolisme Klozapin, Quetiapin, ↑ level ↓ Metabolisme Klozapin, ↑ level ↑ Metabolisme Klozapin, Olanzapin dan Quetiapin, ↓ level, (risiko agranulositosis) ↓ Metabolisme Klozapin, Olanzapin dan Quetiapin, ↑ level ↑ efek olanzapin (gunakan secara hati-hati) ↑ Metabolisme olanzapin; ↓ level
3.1.4 Pemilihan antipsikotik oral: ¾ Tergantung kebutuhan pasien, misalnya pasien yang sulit tidur diberikan obat dengan efek sedasi yang kuat, sedangkan pasien yang butuh bekerja atau sekolah diberikan obat dengan efek sedasi yang lemah. ¾ Tergantung juga dari faktor ekonomi. Antipsikotik atipikal pada umumnya mempunyai efek samping yang ringan tapi harganya relatif masih mahal. ¾ Efektivitas klinis antipsikotik, bersifat individual dan tergantung dari berat dan lamanya sakit, kemampuan metabolisme hepar, fungsi ginjal, status nutrisi, berat badan, adanya penyakit lain yang menyertai, obat lain yang digunakan dan lain-lain. Bila tidak efektif dengan salah satu jenis antipsikotik, dapat diganti dengan jenis lain yang masih efektif.
3.2. ANTIDEPRESAN Antidepresan efektif untuk gangguan depresi dan berbagai jenis gangguan cemas. Antidepresan dapat digolongkan menjadi: • Antidepresan trisiklik (TCA, misalnya: Amitriptilin, Imipramin, Klomipramin. 59
DRAFT • • •
Antidepresan tetrasiklik (Mianserin, Maproptilin) SSRI atau Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (Paroxetin, Fluoxetin, Fluvoxamin, Sertralin). Golongan lainnya (Mirtazapin, Trazodon, Stablon).
Perbedaan jenis antidepresan juga membedakan efektivitas, keamanan dan efek samping. Oleh karena itu pemilihan antidepresan berdasarkan beberapa kriteria, antara lain: tolerabilitas, reaksi obat sebelumnya, kondisi medis yang menyertai, interaksi obat dan faktor harga yang sesuai dengan kemampuan pasien.
3.2.1 . Antidepresan trisiklik (TCA) Efek: Antidepresan trisiklik merupakan antidepresan generasi pertama untuk mengatasi pasien depresi. Belakangan ini kedudukan antidepresan trisiklik telah digeser oleh antidepresan baru karena ditolerir dengan lebih baik dan faktor keamanan. Pemberian antidepresan trisiklik secara oral diserap dengan baik dan level puncak dalam plasma dicapai setelah 2-6 jam, namun reaksi klinik optimum setelah 2-4 minggu pemberian. Indikasi: Depresi berat termasuk depresi psikotik (kombinasi dengan pemberian antipsikotik, depresi melankolik dan beberapa jenis ansietas. Klomipramin banyak digunakan untuk gangguan obsesif kompulsif. Penggunaan lainnya adalah untuk migren, sakit kepala, enuresis dan nyeri kronik. Efek samping: Sedasi, mulut kering, hipotensi ortostatik, dizziness, konstipasi, takikardi, heart block. Indeks terapeutik sempit sehingga berbahaya bila mengalami overdosis. Pemberian pada pasien usia lanjut dan penderita kondisi medis lain khususnya penderita jantung harus berhati-hati. Usia lanjut sangat sensitif terhadap efek samping berkaitan dengan interaksi TCA dengan reseptor kolinergik dan alpha adrenergik sehingga menyebabkan pasien jatuh dan patah tulang. Cara pemberian: Mulai dengan dosis rendah yang ditingkatkan secara bertahap setelah 7-10 hari tidak ada reaksi. Bila setelah 2 minggu masih tidak ada reaksi, dosis boleh ditingkatkan lagi. Reaksi klinik mungkin terlambat dan dicapai setelah 4 minggu pemberian. Pada usia lanjut dan pasien dengan gagal ginjal dan hepar, berikan dalam dosis kecil dan titrasi yang lebih bertahap untuk meminimalkan toksisitas. Penghentian obat secara mendadak dapat menyebabkan fenomena rebound pada efek samping kolinergik, oleh karena itu turunkan dosis secara bertahap sebanyak 25-50 mg setiap 3-7 hari. 60
DRAFT
Tabel 4-5. Gambaran obat antidepresan trisiklik Jenis obat
Dosis mg/hari
Sedasi
50-300
Anti kolinergik ++++
++++
Hipotensi ortostatik ++
Amitriptilin (Laroxyl) Klomipramin (Anafranil) Imipramin (Tofranil) Tetrasiklik Maproptilin (Ludiomil), Mianserin (Tolvon)
25-250
+++
+++
++
30-300 50-225
++ ++
++ ++
+++ +
Tabel 4-6. Interaksi obat dengan TCA Interaksi obat Alkohol Antikolinergik Antipsikotik tipikal Barbiturat Simetidin Klonidin
Haloperidol Kontrasepsi oral Fenitoin SSRI Amin Simpatomimetik Metilfenidat CPZ
Efek interaksi ↑ kelemahan psikomotor TCA dapat ↑ efek antikolinergik CPZ atau Haloperidol dapat ↑ level TCA. TCA juga dapat ↑ level antipsikotik ↓ Level TCA, mungkin ↑ depresi pada CNS ↑ Level TCA, ↑ efek antikolinergik TCA mempunyai efek antagonis anti hipertensi, dapat menyebabkan krisis hipotensi. Oleh karena itu hindari penggunaan bersamaan ↓ Metabolisme, ↑ level TCA, ↑ dan efek samping TCA ↓ Metabolisme dan ↑ level TCA TCA ↑ level phenytoin. Phenytoin dapat ↓ level TCA ↓ Metabolisme TCA, ↑ level TCA dan efek samping Dapat berpotensiasi menyebabkan aritmia, hipertensi dan takikardia bila digunakan bersama dengan TCA ↓ Metabolisme TCA, ↑ level TCA ↓ Metabolisme TCA, ↑ level TCA, ↑ efek samping antikolinergik. TCA juga ↑ level CPZ 61
DRAFT 3.2.2. SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors) Efek: SSRI sangat efektif digunakan untuk mengobati depresi dan beberapa jenis gangguan cemas (misalnya gangguan obsesif kompulsif, gangguan panik dan sosial fobia). SSRI juga efektif digunakan pada komorbiditas depresi dengan gangguan fisik, misalnya penyakit jantung, kejang dan trauma kepala, stroke, demensia, penyakit Parkinson, asma, glaukoma dan kanker. SSRI yang ada di Indonesia fluoxetin, paroxetin, fluvoxamin dan sertralin. SSRI diserap baik dengan pemberian oral, level puncak dalam darah setelah 6 jam. Penyerapan di usus tidak dipengaruhi oleh makanan. Efek samping: Dizziness sementara, mengantuk, tremor, berkeringat, sakit kepala, mulut kering, diare, mual, muntah, penurunan berat badan (sementara), disfungsi seksual. SSRI kadang-kadang juga menyebabkan efek samping cemas dan insomnia (fluoxetin), somnolen atau mengantuk berat (paroxetin), diare (sertralin). Pada minggu pertama terapi dengan SSRI, sering menimbulkan gejala cemas, gelisah, insomnia dan gangguan pada pencernaan. Apabila tidak dijelaskan kepada pasien bahwa gejala tersebut akan menghilang dengan berlalunya waktu, pasien sering kali menghentikan obat. Pemberian Benzodiazepin sementara (misalnya Alprazolam), dapat mengurangi lama dan beratnya gejala. SSRI lebih aman dibandingkan dengan antidepresan TCA bila terjadi overdosis. Penghentian obat secara mendadak dapat menimbulkan gejala yang bersifat sementara, misalnya lemas, anggota gerak kesemutan, dizziness dan lain-lain. Fluoxetin dapat menyebabkan hipoglikemia, oleh karena itu pada pasien yang mendapat terapi insulin harus ada penyesuaian dosis. Cara pemberian: Mulai dengan dosis kecil yang ditingkatkan secara bertahap setelah 2-3 minggu. Reaksi optimal didapatkan setelah 4-6 minggu. Pada pasien usia lanjut, disfungsi ginjal dan hepar, berikan dosis rendah. Fluoxetin: dimulai dengan dosis tunggal 10 mg di pagi hari. Reaksi klinis setelah beberapa minggu pemberian. Dosis dapat ditingkatkan secara bertahap setelah 2 minggu pemberian menjadi 20 mg, 40 mg dan dosis maksimal adalah 60 mg. Untuk bulimia nervosa dosis awal 60 mg/hari. Fluvoxamin : Dosis awal untuk gangguan obsesif-kompulsif adalah 50 mg/hari, dinaikkan secara bertahap 50 mg/hari setiap 4-7 hari, dosis maksimum 300 mg/hari. Bila diperlukan dosis melebihi 100 mg/hari,
62
DRAFT maka dosis dibagi dalam 2 kali pemberian untuk mengurangi efek samping. Paroxetin : Dosis awal untuk depresi adalah 20 mg dosis tunggal di pagi hari. Bila reaksi kurang memadai setelah pemberian 2-3 minggu, dosis dapat dinaikkan 10 mg/hari sampai dosis maksimum 50 mg/hari. Dosis awal untuk gangguan panik 10 mg/hari, dosis tunggal di pagi hari, ditingkatkan 10 mg/hari setiap minggu, dosis maksimal 40 mg/hari. Dosis awal untuk gangguan obsesif kompulsif, dosis tunggal 20 mg di pagi hari, ditingkatkan setiap minggu 10 mg/hari sampai dosis maksimal 60 mg/hari. Dosis awal untuk gangguan fobia sosial 20 mg/hari, dosis tunggal di pagi hari, ditingkatkan 10 mg/hari setiap minggu sampai dosis maksimal 60 mg/hari. Sertralin : Dosis awal 50 mg/hari diberikan sebagai dosis tunggal di pagi atau sore hari. Bila reaksi belum efektif setelah pemberian 1 minggu atau lebih, dosis dapat dinaikkan secara bertahap sampai dosis maksimal 200 mg. Pada pasien usia lanjut atau gagal ginjal dan hepar, mulai dengan dosis 25 mg di pagi hari.
Tabel 4-7. Gambaran obat antidepresan SSRI Jenis obat Paroxetin Fluoxetin Sertralin Fluvoxamin
Dosis Mg/hari 20-50 20-60 50-200 50-300
Antikolinergik
Sedasi
0/+ 0 0 0
0/+ 0/+ 0/+ 0/+
Hipotensi ortostatik 0 0 0 0
3.2.2 . Jenis antidepresan lainnya Mirtazapin Efek: Mirtazapin efektif untuk mengatasi depresi, efektivitas lebih cepat bila dibandingkan dengan antidepresan lain. Penggunaan Mirtazapin bersamaan dengan CNS depresan (misalnya alkohol, Diazepam) dapat menambah kelemahan psikomotor akibat interaksi farmakodinamik zat tersebut. Efek samping: Yang menonjol adalah sedasi (11 %), peningkatan nafsu makan (15 %) dan peningkatan berat badan (10 – 15 %), kemungkinan akan terjadi toleransi terhadap efek samping ini. Dalam uji coba juga 63
DRAFT ditemukan efek samping antikolinergik, efek yang berkaitan dengan serotonin (mual, muntah, agitasi, sakit kepala dan diare, efek antihistaminik, disfungsi seksual dan efek terhadap jantung lebih ringan bila dibandingkan dengan TCA). Dibandingkan dengan antidepresan SSRI, Mirtazapin lebih banyak menyebabkan kenaikan berat badan, tapi efek terhadap mual, muntah dan disfungsi seksual lebih kecil. Efek ekstra piramidal dan hipotensi ortostatik jarang ditemukan. Dalam keadaan overdosis terjadi somnolen, disorientasi dan takikardia, sedangkan kejang dan gangguan pada jantung tidak ditemukan. Pada uji coba juga ditemukan efek agranulositosis dan neutropenia berat (3 dari 2800 pasien). Keadaan ini sembuh sempurna setelah pemberian obat dihentikan. Cara pemberian: Dosis awal 15-30 mg/hari, ditingkatkan setelah 1-2 minggu dan dosis maksimal 45 mg/hari. Berbeda dengan antidepresan lain, efek klinis segera tampak terutama perbaikan tidur dan ansietas. Pada usia lanjut, dan gagal ginjal, dosis harus dikurangi.
Tabel 4-8. Interaksi obat dengan mirtazapine Interaksi obat Alkohol Diazepam
Efek interaksi ↑ Kelemahan psikomotor ↑ Kelemahan psikomotor
3.3. ANTI ANSIETAS (BENZODIAZEPIN) Efek: Benzodiazepin mempunyai efek anxiolitik, hipnotik, relaksasi otot dan antikonvulsan. Indikasi utama adalah untuk mengurangi ansietas (cemas) dan insomnia. Benzodiazepin efektif untuk mengatasi insomnia jangka pendek, namun penggunaannya dibatasi hanya untuk beberapa minggu saja. Penggunaan untuk pasien ansietas, harus dinilai setiap 4-6 bulan apakah masih membutuhkan obat. Benzodiazepin kurang efektif untuk mengatasi depresi, bahkan untuk beberapa kasus malah mencetuskan atau memperberat gejala depresi. Benzodiazepin injeksi diindikasikan terutama untuk gejala putus alkohol akut, kejang, tetanus atau anestesi (misalnya Klordiazepoxid, Diazepam dan Lorazepam). Benzodiazepin diserap baik secara oral, level puncak dicapai 0,5-6 jam pemberian. Obat yang menghambat metabolisme di hepar (misalnya Simetidin, kontrasepsi oral, Disulfiram, Fluvoxamin, Isoniazid, Ketokonazol, Propanolol dan Asam Valproat) dapat meningkatkan efek Benzodiazepin (misalnya sedasi, dan melemahkan fungsi psikomotor). Benzodiazepin juga dapat 64
DRAFT menyebabkan negatif palsu pemeriksaan glukosa urine, positif palsu test kehamilan dan mempengaruhi pemeriksaan analisis steroid urine. Efek samping: Benzodiazepin mempunyai safety margin yang luas, dan sangat sedikit efek terhadap kardiovaskuler dan sistem pernapasan pada dosis terapeutik ataupun overdosis. Efek samping yang biasa didapat adalah sedasi dan dizziness terutama bila digunakan bersamaan dengan alkohol. Rasa mengantuk (drowsiness) biasanya bersifat ringan dan sementara. Untuk mengurangi ”terjatuh” pada usia lanjut, maka penaikan dosis harus secara bertahap dan kurangi dosis apabila terjadi drowsiness, confuse (kebingungan) dan ataksia. Efek samping lain yang jarang terjadi adalah mual, konstipasi atau diare, perubahan libido, bradikardi atau takikardi, gangguan penglihatan, pruritus dan panas. Rebound insomnia (insomnia yang lebih berat dari sebelum terapi) dapat terjadi pada saat terapi dihentikan. Selama terapi jangka panjang, lakukan pemeriksaan untuk mendeteksi gangguan fungsi liver dan neutropenia. Pemberian pada ibu hamil trimester pertama dapat menyebabkan cacat (sumbing) pada bayi. Sebaiknya jangan diberikan pada ibu menyusui. Penggunaan Benzodiazepin 4-6 minggu atau lebih dapat menimbulkan ketergantungan dan menyebabkan gejala putus zat bila dihentikan secara mendadak. Gejala putus zat meliputi: ansietas, gejala seperti flu, gelisah, berkeringat, insomnia, iritabilitas, tegang/keram otot dan anoreksia. Gejala yang lebih berat adalah: confuse, depersonalisasi (merasa dirinya berubah), halusinasi, gerakan atau persepsi yang abnormal dan psikosis. Untuk itu dianjurkan pengurangan dosis secara bertahap selama 1-2 bulan. Pasien depresi dengan kecenderungan bunuh diri dan mengalami ansietas, beri obat hanya dalam jumlah sedikit. Walaupun overdosis fatal tidak pernah ditemukan pada pemberian Benzodiazepin sendiri, namun dapat terjadi apabila dikonsumsi bersamaan dengan zat lain, khususnya alkohol. Beberapa jenis Benzodiazepin (misalnya Clonazepam, Diazepam, Klorazepate) dapat mempunyai efek yang berlawanan dan meningkatkan frekuensi kejang pada pasien epilepsi. Cara pemberian: Dosis awal tergantung pada keadaan individu, dosis ditingkatkan secara bertahap. Untuk gangguan ansietas, dibutuhkan dosis harian dengan pemberian yang multipel, dapat pula diberikan dosis tunggal dengan Klorazepate atau Clonazepam. Pada pasien usia lanjut berikan dosis rendah yang ditingkatkan secara bertahap untuk mengurangi efek hipotensi. Mungkin dosis tunggal sudah memadai.
65
DRAFT
Tabel 4-9. Gambaran obat benzodiazepin oral Jenis obat Alprazolam (Xanax) Klordiazepoxid (Librium) Clonazepam (Rivotril) Klorazepat (Tranxene) Diazepam (Valium) Estazolam (Esilgan) Lorazepam (Ativan) Triazolam (Halcion)
Pemberian dosis mg/hari 0,75-4 15-100 1,5-20 15-60 4-40 1-2 2-4 0,125-0,5
Level maksimum dalam plasma (jam) 1-2 0,5-4 1-2 1-2 0,5-2 2 1-6 0,5-2
Tabel 4-10. Interaksi obat dengan benzodiazepin Jenis obat Alkohol, CNS depresan Antasida Fluvoxamin
Kontrasepsi oral Digoxin Levodopa Antimikrobial makrolit Fenitoin, Karbamazepin Probenesid Ranitidin Teofilin
Efek interaksi ↑ CNS depresan Dapat mempengaruhi kecepatan absorpsi. Beri jarak waktu pemberian 1-2 jam Menghambat metabolisme Alprazolam dan Triazolam, ↑ level, ↓ eliminasi, ↑ CNS depresan Dapat ↓ metabolisme Benzodiazepin ↑ Level serum Digoxin. Monitor serum Digoxin Benzodiazepin dapat ↓ efek levodopa ↓ clearance Triazolam Level antikonvulsan ↑. Perlu monitor Mempengaruhi metabolisme Benzodiazepin. Mempercepat onset atau memperpanjang efek. ↓ Absorbsi Diazepam di saluran cerna Merupakan antagonis efek sedatif dari Benzodiazepin
66
DRAFT BAB V. POLA RUJUKAN 5.1. Batasan dan Pengertian Rujukan adalah upaya pelimpahan tanggung jawab timbal balik secara vertikal maupun horizontal dari tingkat pelayanan dasar kepada tingkat pelayanan rujukan atau sebaliknya, sehingga gangguan jiwa memperoleh pelayanan yang lebih sesuai dengan kebutuhan. Pada umumnya gangguan kesehatan jiwa dapat dilayani di sarana pelayanan kesehatan dasar. Pada kasus yang berat (yang membahayakan pasien atau orang lain) yang membutuhkan perawatan di rumah sakit, dapat dirujuk ke sarana pelayanan rawat-inap. Begitu juga pasien yang sudah diberikan terapi secara optimal namun belum ada kemajuan, atau pasien yang membutuhkan terapi yang lebih mendalam (psikoterapi) dapat dirujuk kepada dokter spesialis kedokteran jiwa (psikiater), psikolog atau pedagog. Rujukan juga dapat dilakukan dengan cara konsultasi melalui media komunikasi seperti surat, telepon, fax, e-mail kepada tenaga ahli terdekat. Sebaliknya rujukan juga dilakukan terhadap pasien yang telah dirawat di pelayanan rawat-inap kepada puskesmas untuk dilakukan perawatan lanjutan.
5.2. Pola Rujukan Berdasarkan Sistem Kesehatan Nasional Menurut Sistem Kesehatan Nasional, upaya rujukan pada dasarnya meliputi: Rujukan Kesehatan Upaya ini menitikberatkan pada upaya promotif dan preventif, yang terdiri atas: - Bantuan teknologi, misalnya buku-buku pedoman. - Bantuan sarana, misalnya alat peraga, materi KIE. - Bantuan operasional, misalnya bantuan pelaksanaan survei kesehatan jiwa, konsultan kesehatan jiwa. Rujukan Medik Menitikberatkan pada upaya kuratif dan rehabilitatif, terdiri atas: - Pelimpahan pasien jiwa rujukan. - Pelimpahan pengetahuan dan keterampilan, misalnya kunjungan dokter spesialis kedokteran jiwa ke rumah sakit yang belum memiliki tenaga psikiater. - Konsultasi dokter spesialis kedokteran jiwa ke puskesmas, dalam rangka meningkatkan pengetahuan tenaga puskesmas dalam deteksi dini dan 67
DRAFT -
penanganan kasus gangguan kesehatan jiwa yang dapat dilakukan di puskesmas. Penempatan asisten ahli senior (residen). Alih pengetahuan dan keterampilan melalui pelatihan. Penyediaan obat obatan psikotropika, peralatan seperti TKL (terapi kejang listrik). Penanggulangan masalah kesehatan jiwa spesifik.
Dengan makin banyaknya dokter di Puskesmas yang telah mendapatkan pelatihan Penatalaksanaan Gangguan Jiwa yang telah terstandarisasi, maka rujukan medik akan berkurang.
5.3. Jenjang Institusi Rujukan Hirarki tingkat pelayanan rujukan kesehatan jiwa merupakan penjabaran dari sistem rujukan kesehatan yang telah ada dan disesuaikan dengan pola pembinaan upaya kesehatan jiwa yang telah berkembang hingga dewasa ini. Dari tingkat individu dan keluarga/masyarakat, proses rujukan akan memanfaatkan institusi-institusi sebagai berikut: A. Institusi tingkat masyarakat Kelompok Usia Lanjut Binaan, Paguyuban/Banjar/Klub atau sejenis. Posyandu Usila/Karang Werdha/Nursing Home/Day Care. Posyandu Balita. Kelompok Dana Sehat /LKMD. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) B. Institusi pelayanan kesehatan tingkat dasar 1. Puskesmas. 2. Puskesmas pembantu. 3. Praktik Dokter/Klinik Swasta termasuk Klinik di Perusahaan C. Institusi pelayanan Rujukan Tingkat Lanjutan 1. Balai Kesehatan Jiwa Masyarakat. 2. Rumah Sakit Kabupaten/Kota, yang biasanya adalah rumah sakit kelas D atau C 3. Rumah sakit di tingkat provinsi, yaitu rumah sakit kelas A atau B 4. Rumah Sakit Jiwa dan RSKO Mekanisme Rujukan Ada 3 tiga aspek dalam pelaksanaan proses rujukan. Ketiga aspek tersebut harus memenuhi kriteria sebagai berikut: 68
DRAFT 1. Aspek unit yang merujuk • Penderita dirujuk karena tidak dapat diatasi setempat. • Pemeriksaan terhadap penderita memerlukan pemeriksaan penunjang medis yang lebih lengkap • Penderita setelah diobati memerlukan pengobatan/ perawatan di unit pelayanan yang lebih mampu/ lengkap . 2. Unit penerima rujukan • Mempunyai sarana dan prasarana yang dibutuhkan. 3. Tata cara pelaksanaan rujukan • Pelaksanaan rujukan meliputi alur rujukan (lihat bagan alur rujukan) dan tata cara administrasi rujukan • Dalam hal administrasi rujukan, unit pengirim mencatat dalam register rujukan, membuat surat rujukan dan memberikan penjelasan yang diperlukan yang berkaitan dengan kasus yang dirujuk • Unit penerima rujukan mencatat hasil pengobatan/ perawatan pada kartu perawatan dan kartu catatan medik, mengembalikan kasus rujukan kepada unit yang merujuk untuk kepentingan pembinaan/ pengawasan selanjutnya disertai laporan umpan balik, dan bila diperlukan dapat merujuk lebih lanjut.
69
DRAFT BAB VI PEDOMAN PENCATATAN DAN PELAPORAN
6.1. TUJUAN Pencatatan dan pelaporan pelayanan kesehatan jiwa di Puskesmas merupakan suatu alat untuk memantau kegiatan pelayanan kesehatan jiwa, baik bagi kepentingan pasien yang bersangkutan, maupun bagi petugas kesehatan yang melayani serta pihak perencana dan penyusun kebijakan.
6.2. BATASAN OPERASIONAL 1. Pencatatan dan pelaporan pelayanan kesehatan jiwa di puskesmas masih menggunakan sistem yang beragam. Di antaranya ada yang masih menggunakan SP2TP yaitu suatu sistem pencatatan dan pelaporan terpadu di puskesmas yang tadinya seragam untuk seluruh Puskesmas di Indonesia, namun tidak sedikit yang telah menggunakan ICD-10. 2. Diagnosis penyakit yang digunakan dalam Pedoman ini menggunakan ICD10. Pencatatan dan pelaporan di Rumah Sakit sebagian besar sudah menggunakan ICD-10. Untuk melihat pelayanan kesehatan jiwa di suatu daerah, sebaiknya pencatatan dan pelaporan pelayanan kesehatan jiwa di Puskesmas juga menggunakan ICD-10. Disamping itu kita juga dapat menilai pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia. Khusus untuk penggolongan diagnosis gangguan jiwa yang dilaporkan dalam pencatatan dan pelaporan ini ada 10 macam diagnosis seperti tercantum dibawah ini: 1.
2.
3. 4. 5. 6. 7.
F00# Gangguan Mental organik, meliputi Demensia (F00#) Delirium (F05) F10# Gangguan penggunaan NAPZA, meliputi Gangguan penggunaan alkohol (F 10) Gangguan penggunaan zat (F 11#) Gangguan penggunaan tembakau (F17.1) F20# Skizofrenia dan gangguan psikotik kronik lain F23 Gangguan psikotik akut F31 Gangguan bipolar F32# Gangguan depresif F40# Gangguan Neurotik Gangguan fobik (F 40) 70
DRAFT Gangguan panik (F 41.0) Gangguan ansietas menyeluruh (F 41.1) Gangguan campuran ansietas dan depresi (F 41.2) Gangguan obsesif kompulsif (F 42) Gangguan penyesuaian (F43.2), termasuk Gangguan Stres Pasca Trauma Gangguan Somatoform (F45) 8. F52 Gangguan seksual pada laki-laki dan wanita 9. F70 Retardasi mental 10. F80-90# Gangguan kesehatan jiwa anak dan remaja Gangguan perkembangan pervasif (F84) Gangguan hiperkinetik (F90) Gangguan tingkah laku (F91#) Enuresis (F98.8) 11. G40# Epilepsi 3. Yang dimaksud dengan kasus baru (B) adalah kasus gangguan jiwa yang pertama kali berobat ke Puskesmas. 4. Yang dimaksud dengan kasus lama (L) adalah kunjungan kedua dan seterusnya dari kasus gangguan jiwa yang belum sembuh. Apabila penderita itu ternyata belum sembuh dan berobat lagi pada tahun berikutnya, maka ia diperhitungkan sebagai kasus baru (B) pada saat pertama kali datang pada tahun itu dan kunjungan selanjutnya disebut kasus lama (L). Misalnya pak Ali menderita gangguan depresi dan berobat secara teratur di Puskesmas pada tahun 2005. Pada tahun 2006 pak Ali meneruskan berobat untuk depresi yang ia derita. Saat pertama kali datang pada tahun 2006, pak Ali disebut kasus baru (B), kunjungan selanjutnya disebut kasus lama (L). 5. Seorang pasien bisa tercatat di dalam dua kasus misalnya bila pasien tersebut menderita sakit fisik seperti TBC disertai pula gangguan depresi, maka pasien ini dicatat di dalam kedua diagnosis tersebut.
6.3. JENIS-JENIS 1. PENCATATAN Pencatatan adalah cara yang dilakukan oleh petugas kesehatan untuk mencatat data yang penting mengenai pelayanan tersebut dan selanjutnya disimpan sebagai arsip di Puskesmas. Terdapat 2 macam pencatatan dalam pelayanan kesehatan jiwa di Puskesmas . a) Kartu rawat jalan: untuk mencatat data mengenai pasien. Termasuk pula kartu rawat jalan di luar gedung puskesmas. b) Pencatatan harian rutin: untuk mencatat data pasien yang dikumpulkan selama sehari. 71
DRAFT 2. PELAPORAN Pelaporan adalah mekanisme yang digunakan oleh petugas kesehatan untuk melaporkan kegiatan pelayanan yang dilakukannya kepada instansi yang lebih tinggi (dalam hal ini dinas kesehatan kabupaten/kota).
XW
72
DRAFT KEPUSTAKAAN 1.
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Charles B Nemeroff: Recognition and treatment of Psychiatric Disorders, A Psychopharmacology Handbook for Primary Care. American Psychiatric Press, Inc; special printing 2001. Departemen Kesehatan RI: Pedoman Pelayanan Kesehatan Jiwa Dasar di Puskesmas, 2004. Departemen Kesehatan RI: Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota, 2004. Departemen Kesehatan RI: Pedoman Pelayanan Kesehatan Jiwa di Fasilitas Umum, 1995. Direktorat Kesehatan Jiwa, Dep.Kes.RI: PPDGJ (Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa) III 1993. Stephen Bazire: Psychotropic Drug Directory 2002. Bath Press UK. WHO: Diagnostic and Management Guidelines for Mental Disorders in Primary Care. Hogrefe & Huber Publishers, Toronto (1996). WHO: World Healh Report, 2001.
73
PENCATATAN HARIAN (FORM A) Pelayanan Kesehatan Jiwa di Puskesmas Bulan :
Tahun
Nama Puskesmas: Kecamatan/Kelurahan:
Kode : Kabupaten/Kota:
No.
Tanggal
No Register
Nama
Umur
Alamat (Desa)
L/P
:
Kode Diagnosis Fisik Mental
B/L Nama Obat
Terapi Jumlah
Rujukan
Askes/ Gakin/ Umum
LAPORAN BULANAN DATA KESAKITAN (FORM B) Kabupaten : Propinsi : Puskesmas yang ada : Puskesmas pembantu yang ada :
Yang lapor Yang lapor
: :
Jumlah Kasus dan Jumlah Kunjungan Kasus/ Golongan Umur NO
JENIS PENYAKIT
0-6 th B
F00#
Gangguan Mental Organik
F10#
Gangguan Penggunaan NAPZA
F20#
Skizofrenia dan Gangguan Psikotik kronik lain
F23
Gangguan Psikotik Akut
F31
Gangguan Bipolar
F32#
Gangguan Depresif
F40#
Gangguan Neurotik
F70
Retardasi mental
F80-90# Gangguan kesehatan jiwa anak dan remaja G40#
Epilepsi B : Baru; L: Lama
L
7-14 th B
L
15-18 th B
L
19-44 th B
L
45 - 59 th B
L
60 - 69 th B
L
70 th/> B
L
Total B
L
Daftar Diagnosis Gangguan Jiwa di Puskesmas F00#
Gangguan Mental Organik Demensia (F00#) Delirium (F05) F10# Gangguan Penggunaan NAPZA Gangguan penggunaan Alkohol (F10) Gangguan Penggunaan Zat (F 11#) Gangguan Penggunaan Tembakau (F 17.1) F20# Skizofrenia dan GangguanPsikotik kronik lain F23 Gangguan psikotik akut F31 Gangguan Bipolar F32# Gangguan Depresif F40# Gangguan Neurotik Gangguan Fobik (F 40) Gangguan Panik ( F 41.0) Gangguan Ansietas Menyeluruh (F 41.1) Gangguan Campuran Anxietas dan Depresi (F 41.2) Gangguan Obsesif Kompulsif (F 42) Gangguan Penyesuaian (F 43.2) Gangguan Somatoform (F 45) F52 Gangguan seksual pada pria dan wanita F80-90# Gangguan Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja Gangguan Perkembangan Pervasif (F 84) Gangguan Hiperkinetik (F90) Gangguan Tingkah Laku (F91#) Enuresis (F98.8) G 40# Epilepsi