ANALISIS PENGARUH SURAT TEGURAN, SURAT PAKSA, DAN PENYITAAN MONETARY ASSET DI BANK TERHADAP PENCAIRAN TUNGGAKAN PAJAK (Studi Kasus Pelaksanaan Penagihan Pajak Pada Kanwil DJP Jakarta Barat)
Oleh: Widhya Ningsih NIM : 104082002672
JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H/2008 M
ANALISIS PENGARUH SURAT TEGURAN, SURAT PAKSA, DAN PENYITAAN MONETARY ASSET DI BANK TERHADAP PENCAIRAN TUNGGAKAN PAJAK (Studi Kasus Pelaksanaan Penagihan Pajak Pada Kanwil DJP Jakarta Barat)
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial Untuk Memenuhi Syarat-syarat Untuk Meraih Gelar Sarjana Ekonomi
Oleh: Widhya Ningsih NIM: 104082002672
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Yahya Hamja, MM
Afif Sulfa, SE, Ak.,Msi
JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H/ 2008 M
Hari ini Jumat tanggal 2 bulan Mei tahun dua ribu delapan telah dilakukan ujian Komprehensif atas nama Widhya Ningsih NIM : 104082002672 dengan judul Skripsi “
ANALISIS
PENYITAAN
PENGARUH MONETARY
TUNGGAKAN PAJAK”
SURAT ASSET
TEGURAN, DI
BANK
SURAT TERHADAP
PAKSA,
DAN
PENCAIRAN
(Studi Kasus Pelaksanaan Penagihan Pajak Pada Kanwil
DJP Jakarta Barat). Memperhatikan penampilan mahasiswa tersebut selama ujian berlangsung, maka skripsi ini sudah dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Jurusan Akuntasi Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 2 Mei 2008
Tim Penguji Ujian Komprehensif
Drs. Abdul Hamid Cebba, Ak., MBA Ketua
Prof. Dr. Abdul Hamid, MS Penguji Ahli
Amilin SE, Ak., Msi Sekretaris
Daftar Riwayat Hidup I.
IDENTITAS PRIBADI 1. 2. 3. 4. 5.
Nama Tempat & Tanggal Lahir Jenis Kelamin Agama Alamat
6. Telepon II.
PENDIDIKAN 1. 2. 3. 4.
III.
: Widhya Ningsih : Jakarta, 3 Februari 1987 : Perempuan : Islam : Jl. Kalimangso No. 70 RT 004/01 Kelurahan Jurang Mangu Timur Kecamatan Pondok Aren .Tangerang, 15222 : (021) 73888112 / 0813 150 39675
SD SMP SMA S1
: SD Negeri Jurang Mangu Timur 04 : SLTP Negeri 177 Pesanggrahan Jakarta Selatan : SMA Negeri 90 Jakarta Selatan : Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
PENGALAMAN ORGANISASI 1. Sekretaris Rohis SMAN 90 Jakarta Selatan 2. Pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan Akuntansi
IV.
Periode 2002-2003 2005-2006
LATAR BELAKANG KELUARGA 1. Ayah : Soepardjo 2. Tempat &Tanggal Lahir : Yogyakarta, 13 Februari 1960 3. Alamat : Jl. Kalimangso No. 70 RT 004/01 Kelurahan Jurang Mangu Timur Kecamatan Pondok Aren. Tangerang, 15222 4. Telepon : (021) 73888112 5. Ibu : Karni 6. Tempat &Tanggal Lahir : Wonogiri, 1 Maret 1964 7. Alamat : Jl. Kalimangso No. 70 RT 004/01 Kelurahan Jurang Mangu Timur Kecamatan Pondok Aren. Tangerang, 15222 8. Telepon : (021) 73888112 9. Anak Ke dari : 1 dari 1
ABSTRAK Widhya Ningsih NIM: 104082002672 Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, judul skripsi “Analisis Pengaruh Surat Teguran, Surat Paksa, dan Penyitaan Monetary Asset di Bank Terhadap Pencairan Tunggakan Pajak (Studi Kasus Pelaksanaan Penagihan Pajak Pada Kanwil DJP Jakarta Barat)”. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan monetary asset di bank terhadap pencairan tunggakan pajak. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode statistik linier berganda, yaitu suatu metode yang digunakan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan monetary asset di bank terhadap pencairan tunggakan pajak. Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan monetary asset di bank tidak berpengaruh terhadap pencairan tunggakan pajak pada Kanwil DJP Jakarta Barat, karena hasil uji F statistik menunjukan bahwa F hitung lebih kecil dari F tabelnya yaitu sebesar 2,129<3,49, dan nilai signifikansi menunjukan probabilitas lebih besar dari 0,05. Hal ini memberi pengertian bahwa secara simultan variabel independen dalam penelitian ini tidak berpengaruh terhadap variabel dependennya. Begitupula dengan hasil uji t, yang menunjukkan bahwa t hitung
:
Surat Teguran, Surat Paksa, penyitaan monetary asset di bank, pencairantunggakan pajak
ABSTRACT Widhya Ningsih NIM: 104082002672 Accounting Majors Faculty of Economic and Social Science State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta, the title of scription “Analysis Influence of Exhortation Letter, Force Letter, and Monetary Asset Confiscation on the Bank to the Liquefaction of Delinquent Tax (Case Study of Implementation Tax Collection at Kanwil DJP Jakarta Barat)”. This reaserch purpose is to analyze the influence of Exhortation Letter, Force Letter, and monetary asset confiscation on the bank to the liquefaction of delinquent tax. Analysis method used in this reaserch is double linier statistical method, that is a method used to find out how much the influence of Exhortation Letter, Force Letter, and monetary asset confiscation on the bank to the liquefaction of delinquent tax. The result from this research is knowable that Exhortation Letter, Force Letter, and monetary asset confiscation on the bank do not have any influence to the liquefaction of delinquent tax at Kanwil DJP Jakarta Barat, because F statistical test result show that F count < F table, that is 2,129<3,49 and the significant value show that the probability more than 0,05. It is means that independent variables in this reaserch does not influence simultaneously to the dependent variable. So also with t test result, it is shows that t count < t table that is 0,521<2,145 for Exhortation Letter, 2,047<2,145 for Force Letter, and -2,166<2,145 for monetary asset confiscation on the bank, so that this reaserch accept Ho and reject Ha, it means that partialy Exhortation Letter, Force Letter, and monetary asset confiscation on the bank do not have influence to the liquefaction of delinquent tax at Kanwil DJP Jakarta Barat. Key Words : Exhortation Letter, Force Letter, monetary asset confiscation on the bank, liquefaction of delinquent tax
KATA PENGANTAR Bismillahirahmanirrahim, Segala puja dan puji syukur tercurah Kepada Sang Maha Pencipta, Sang Maha Agung, Sang Maha Pengasih dan Penyayang, Sumber Ilmu Pengetahuan, Sumber Segala Kebenaran, Sang Kekasih tercinta yang tak terbatas pencahayaan cinta bagi umat-Nya dan penggenggam seluruh isi bumi, ALLAH Subhanahu Wa Ta’ala atas hidayah, berkah, rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Pengaruh Surat Teguran, Surat Paksa, dan Penyitaan Monetary Asset Di Bank (Studi Kasus Pelaksanaan Penagihan Pajak Pada Kanwil DJP Jakarta Barat)”, sesuai dengan waktu yang direncanakan. Shalawat serta salam tercurah teruntuk Baginda Mulia Nabi Besar Muhammad S.A.W yang telah menuntun umatnya dari zaman yang tiada pencahayaan ke zaman yang penuh dengan cahaya kebenaran. Penyusunan skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian syarat dinyatakan lulus dan pencapaian gelar Sarjana Ekonomi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini tidak akan selesai tepat pada waktunya tanpa dukungan, arahan, bimbingan, dan bantuan dari semua pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada: 1. Orang tua tercinta Tn. Soepardjo dan Ny. Karni yang telah mencurahkan segenap waktu, perhatian, kebersamaan, dukungan, motivasi yang sangat berarti bagi penulis dan melalui jerih payah perjuangannya selama ini dengan banyak mencucurkan keringat dan menguras tenaganya, serta melalui gema doa yang tiada pernah henti kepada Sang Illahi Robbi, untuk sebuah pengharapan agar buah hatinya menjadi anak yang sukses dunia dan akhirat, amien. 2. Bapak Dr.Yahya Hamja, MM selaku dosen pembimbing pertama dan Bapak Afif Sulfa SE, Ak., Msi selaku dosen pembimbing kedua yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk selalu memberikan arahan, bimbingan, bantuan, dan dukungan yang luar biasa bagi penulis selama proses penyusunan skripsi ini. 3. Bapak M. Faisal Badroen., MBA selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial. 4. Bapak Prof. Dr. Abdul Hamid, MS Selaku PUDEK Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial yang telah menyempatkan waktunya untuk menguji dan meluluskan penulis dalam ujian komprehensif.
5. Bapak Drs. Abdul Hamid Cebba, Ak., MBA selaku Ketua Jurusan Akuntansi dan Bapak Amilin, SE, Ak., MSi selaku Sekretaris Jurusan Akuntansi dan yang telah menyempatkan waktunya untuk menguji dan meluluskan penulis dalam ujian komprehensif. 6. Bapak Heppy Prayudiawan, SE, Ak., MM selaku dosen tersupel dan perhatian kepada anak-anak didiknya yang selalu memberikan bimbingan, arahan, bantuan, dukungan yang luar biasa selama penulis menjalani pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 7. Om Erik, Ibu Ani, Ibu Chas, dan Ibu Imelda yang selalu memberikan bantuan, arahan, bimbingan, dan dukungan yang luar biasa selama penyusunan skripsi ini. 8. Kakak-kakakku tercinta Mba Ugi & Mas Koko, Mas Soni, dan Mba Ni, serta adik sepupuku yang cantik dan pintar Dini dan Nia atas doa dan dukungannya selama ini. 9. Mas Riant atas waktu, perhatian, curahan kasih sayang, dukungan moril yang luar biasa, serta doa tulusnya selama ini yang sangat berarti bagi penulis, semoga semua itu dapat terus terjalin. 10. Sahabat setiaku Ida Farida, Eri, Yanita, Dewi, Andri Stan, Seto Stan, Aris, Adi, Dwe, Elin, Jun, Rahma, Rahil, Fina, Susi&Adit, atas waktu, dukungan, doa, perhatian, persahabatan dan kebersamaannya selama ini semoga dapat terus terjalin. 11. Sahabat-sahabatku di akuntansi B, Pipit, Nica, Yani, Iyok, Desi, Mba Eka, Ayu Tea, Ochi, Dika, Dwin, Rama, Raihan, Doni, Taufik, Mahdi, Elo, Aat, Agin, Nanda, atas bantuan, dukungan, dan kebersamaannya selama ini semoga dapat terus terjalin. 12. Mas-masku yang ada di depan rumah Mas Wanto, Mas Haris, dan Mas Tedy atas dukungan dan bantuan equipmentnya. 13. Semua pihak yang telah memberikan dukungan baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan mengingat keterbatasan kemampuan, pemahaman, dan pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk masukan dan pengetahuan bagi penulis.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.
Jakarta, Mei 2008
Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI.......................................................................
ii
LEMBAR PERNYATAAN LULUS UJIAN KOMPREHENSIF .......................... iii LEMBAR PERNYATAAN LULUS UJIAN SKRIPSI ........................................... iv DAFTAR RIWAYAT HIDUP...................................................................................
v
ABSTRACT..................................................................................................................
vi
ABSTRAK...................................................................................................................
vii
KATA PENGANTAR ................................................................................................ viii DAFTAR ISI ............................................................................................................... x DAFTAR TABEL.......................................................................................................
xv
DAFTAR GAMBAR................................................................................................... xvi DAFTAR LAMPIRAN............................................................................................... BAB I.
BAB II.
xvii
PENDAHULUAN ..................................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................
1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah............................
5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .........................................................
6
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................
9
A. Tinjauan Pustaka………………………............................................
9
1. Konsep Dasar Perpajakan .............................................................
9
a. Pengertian Pajak………………………………………………
9
b. Fungsi Pajak…………………………………………………..
10
c. Sistem Pemungutan Pajak………….………………………....
12
d. Utang Pajak…..……………………………………………….
13
e. Penghapusan Piutang Pajak…………………………………..
15
f. Perlawanan Terhadap Pajak…………………………………..
16
2. Penagihan Pajak………………………………………………….
16
a. Pengertian Penagihan Pajak…………………………………..
17
b. Dasar Penagihan Pajak………………………………………..
18
c. Sanksi Perpajakan di Bidang Penagihan……………………...
19
d. Tugas dan Wewenang Jurusita Pajak…………………………
21
e. Pengertian Wajib Pajak atau Penanggung Pajak……………...
23
f. Jadwal Waktu Penagihan Pajak………………………………
24
g. Penerbitan Surat Paksa………………………………………..
25
h. Proses Penyitaan Barang Milik WP/PP………………………
25
i. Objek Sita……………………………………………………..
26
j. Barang Sitaan yang Dikecualikan dari Penjualan Secara
BAB III.
Lelang…………………………………………………………
27
k. Daluarsa Penagihan Pajak…………………………………….
28
3. Penyitaan Monetary Asset di Bank……………………………….
29
a. Dasar Hukum Penyitaan Monetary Asset di Bank…………….
29
b. Prosedur Penyitaan Monetary Asset di Bank…………………
29
B. Penelitian Sebelumnya……………...…............................................
33
C. Kerangka Pemikiran………………………………………………...
35
D. Hipotesis Penelitian…………………………………………………
36
METODE PENELITIAN.......................................................................
37
A. Ruang Lingkup Penelitian…………………………………………..
37
B. Metode Penentuan Sempel………………………………………….
37
BAB IV.
C. Metode Pengumpulan Data…………………………………………
38
1. Metode Telaah Kepustakaan…………………………………….
38
2. Metode Dokumentasi…………………………………………….
39
3. Metode Survei…………………………………………………...
39
D. Operasional Variabel Penelitian…………………………………….
39
1. Variabel Independen……………………………………………..
40
2. Variabel Dependen………………………………………………
40
E. Metode Analisis…………………………………………………….
42
1. Uji Asumsi Klasik……………………………………………….
42
a. Uji Normalitas………………………………………………...
42
b. Uji Multikolinearitas………………………………………….
43
c. Uji Autokorelasi………………………………………………
43
d. Uji Heteroskedastisitas………………………………………..
44
2. Metode Analisis Data……………………………………………
45
a. Analisis Regresi Linier Berganda…………………………….
45
b. Uji Koefisien Determinasi …………………………………...
46
c. Uji F Statistik…………………………………………………
46
d. Uji t Statistik………………………………………………….
47
PENEMUAN DAN PEMBAHASAN………………………………...
48
A. Sekilas Gambaran Umum Objek Penelitian………………………...
48
1. Sejarah Singkat Kantor Wilayah DJP Jakarta Barat……………..
48
2. Sekilas Tentang Modernisasi Kanwil DJP Jakarta Barat………..
50
3. Struktur Organisasi Kanwil DJP Jakarta Barat………………….
53
4. Uraian tugas……………………………………………………...
55
a. Sumber Daya Seksi Penagihan dan Uraian Tugas Seksi Penagihan Pada Kanwil DJP Jakarta Barat…………………...
55
b. Uraian Tugas Seksi Penagihan pada KPP Pratama dan Madya di wilayah DJP Jakarta Barat…………………………………
58
B. Penemuan dan Pembahasan………………………………………...
58
1. Peran Jurusita Pajak Dalam Pelaksanaan Penagihan Aktif di Wilayah Kanwil DJP Jakarta Barat……………………………...
58
a. Surat Teguran…………………………………………………
61
b. Surat Paksa……………………………………………………
62
c. Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan……………………...
63
d. Pengumuman Lelang dan Pelaksanaan Lelang……………….
64
2. Rencana Penagihan Pajak Terhadap Perkembangan Tunggakan Pajak Serta Realisasi Penerimaan Pajak…………………………
66
3. Kendala yang Terjadi Dalam Proses Penagihan Pajak…………..
71
a. Hambatan yang Berasal Dari Pihak Ekstern.............................
71
b. Hambatan yang Berasal Dari Pihak Intern…………………...
74
4. Sudut Pandang Psikologis Mengapa WP/PP Enggan untuk Membayar Tunggakan Pajak……………………………..……...
75
5. Penyitaan Monetary Asset Di Bank Pada Kanwil DJP Jakarta Barat……………………………………………………………..
78
a. Prosedur Sebelum Penyitaan Monetary Asset Di Bank………
79
b. Pemblokiran Rekening Bank…………………………………
80
1) Keistimewaan Pemblokiran………………………………
81
2) Kendala Pemblokiran……………………………………..
83
c. Penyitaan Monetary Asset di Bank dan Hasil Penyitaan Monetary Asset di Bank………………………………………
84
6. Hasil Analisis dan Pengujian Hipotesis………………………….
89
a. Uji Asumsi Klasik…………………………………………….
90
1) Uji Normalitas…………………………………………….
90
2) Uji Multikolonieritas…………...…………...…………….
90
3) Uji Autokorelasi…………………………………………..
92
4) Uji Heteroskedastisitas……………………………………
93
b. Hasil Uji Hipotesis……………………………………………
94
1) Hasil Uji Koefisien Determinasi………………………….
94
2) Hasil Uji F Statistik……………………………………….
97
3) Hasil Uji t Statistik………………………………………..
99
PENUTUP……………………………………………………………...
105
A. Simpulan……………………………………………………………..
105
B. Implikasi……………………………………………………………..
107
C. Saran…………………………………………………………………
108
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................
110
LAMPIRAN-LAMPIRAN.........................................................................................
111
BAB V.
DAFTAR TABEL
Nomor
Keterangan
Halaman
1.1
Perbedaan Penelitian Sebelumnya Dengan Penelitian Saat
5
3.1
Ini……
41
3.2
Operasional
4.1
Penelitian……………………………………
Variabel
44
Durbin-
60
Laporan Kegiatan Penagihan di Kanwil DJP Jakarta Barat Tahun
67
Keputusan 4.2
4.3
Watson…………………………………………
Anggaran
2004-
2007.........................................................................
69
4.4
Rencana Penagihan Pajak dan Realisasi Penerimaan Pajak Pada
70
4.5
Kanwil
89
4.6
2007...................
91
4.7
Laporan Perkembangan Tunggakan Pajak Pada Kanwil DJP
92
4.8
Jakarta
94
4.9
2007.......................................
4.10
Kategori
DJP
Jakarta
Barat
Umur
Barat
Tahun
Tahun
Tunggakan
Anggaran
Anggaran
2004-
2004-
98 dan
Kriteria
Kualitas
Tunggakan.......... Data Penelitian.................................................................................. Hasil
Uji
100
Multikolinieritas................................................................ Hasil
Uji
Autokorelasi...................................................................... Model
Summarry
b………………………………………………… Anova b……………………………………………………………. Coeffisien a………………………………………………………...
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Keterangan
Nomor 2.1
Kerangka
35
4.1
Pemikiran..........................................................................
53
4.2
Struktur
4.3
Barat.................................
4.4
Alur
Organisasi
Kanwil
DJP
Jakarta
90
Penyitaan
Monetary
Asset
di
Bank…………………………... Hasil
88
Uji
Normalitas
Data…………………………………………. Hasil Heteroskedastisitas………………………………………
Uji
94
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Keterangan
Nomor 1
Bagan
Organisasi
Kanwil
DJP
2
Barat....................................
3
Surat
4
.........................................................................
Jakarta
112 113
Penelitian
114
SPSS
119
Laporan Kegiatan Penagihan Kanwil DJP Jakarta Barat Tahun
121
6
Anggaran
122
7
2007.........................................................................
124
8
Laporan Penyitaan Monetary Asset di Bank Pada Kanwil DJP
125
9
Jakarta
127
10
Barat......................................................................................
Hasil 5
Izin
Analisis
12.........................................................
2004-
Contoh 11
dengan
Lembar
Surat
131
Paksa……………………………………….. Contoh
Lembar
Surat
Perintah
Melaksanakan
Penyitaan................. Berita
Acara
128
Pelaksanaan
Sita.......................................................... Stiker Sita.......................................................................................... Surat Bank Indonesia Dalam Rangka Penyitaan Monetary Asset
di Bank.............................................................................................. Surat
Edaran
Nomor
05/PJ.04/2007............................................
SE-
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Peranan pajak sebagai pilar pembangunan bangsa Indonesia semakin besar dan penting seiring dengan semakin berkurangnya kontribusi penghasilan dari minyak dan gas alam beberapa tahun terakhir. Tren ini makin menguat terutama setelah krisis ekonomi pada tahun 1998 yang ditandai dengan terus meningkatnya proporsi total penerimaan pajak terhadap total APBN dan saat ini pemerintah menetapkan nilai rencana penerimaan pajak tahun 2008 sebesar Rp. 583,7 triliyun terlihat meningkat tajam dibandingkan dengan rencana penerimaan dari sektor pajak pada RAPBN tahun 2007 sebesar Rp. 489,9 triliyun (Artikel: Ancaman terhadap krisis RAPBN 2008. www. dimastidano.wordpress.com, 3 Februari 2008). Salah satu upaya yang telah dilakukan dalam menghimpun penerimaan negara dari sektor pajak yang lebih besar adalah pembaharuan peraturan, kebijakan, dan administrasi perpajakan yang dilaksanakan secara terus-menerus, bertahap, konsisten, dan berkelanjutan. Langkah pembaharuan tersebut tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan kapasitas fiskal guna memperkuat sumber pendanaan APBN akan tetapi sekaligus diarahkan untuk memberikan peranan dalam mendorong investasi, memperkuat daya saing, dan meningkatkan efisiensi perekonomian. Bentuk perubahan yang cukup mendasar dalam sistem perpajakan di Indonesia adalah perubahan dari Official Assessment System menjadi Self Assessment System yaitu pada reformasi perpajakan tahun 1983. Dalam Official Assessment System aparatur perpajakan menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang sesuai dengan
ketentuan undang-undang perpajakan, sebaliknya pada Self Assessment System Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan pajak terutangnya sendiri. Sebagai penerimaan negara yang selama ini diandalkan, tentunya sektor pajak diupayakan agar terus meningkat, satu sisi penerimaan negara terus diupayakan meningkat, sedangkan di sisi lain harus ada penghematan pembiayaan. Oleh karena itu biaya untuk menghasilkan penerimaan negara seyogyanya seefektif mungkin. Hal tersebut menjadikan tugas penerima pajak semakin berat baik dengan upaya ekstensifikasi maupun intensifikasi. Salah satu tugas berat intensifikasi adalah pencairan tunggakan pajak. Agar pencairan tunggakan pajak dapat dicapai sesuai dengan target yang ditetapkan Kantor Pusat per Kanwil maka upaya intensifikasi kegiatan penagihan pajak harus dilakukan secara terpadu, profesional, terfokus, terukur, konsisten, serta sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Selain itu, peran serta masyarakat wajib pajak dalam memenuhi kewajiban pembayaran pajak berdasarkan ketentuan perpajakan sangat diharapkan. Namun, jika dalam kenyataan dijumpai adanya tunggakan pajak, terlebih lagi bila dari waktu ke waktu menunjukkan jumlah yang semakin besar, maka diperlukan penanganan yang serius. Artinya, walaupun penerimaan pajak secara umum meningkat, tetapi terhadap tunggakan pajak diperlukan tindakan penagihan yang tegas sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan (law enforcement). Tindakan penagihan yang berpotensi memberikan pencairan tunggakan pajak antara lain melalui penagihan pajak dengan Surat Teguran, Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, penagihan seketika sekaligus, penyanderaan, dan pelaksanaan penagihan berupa penyitaan terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak. Selama ini penyitaan dilakukan terhadap objek sita berupa harta gerak dan
harta tak bergerak. Pelaksanaan penyitaan dilaksanakan secara hati-hati mengenai objek sita yang potensial untuk dapat dicairkan dan status kepemilikan harus diperhatikan agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari. Hal ini untuk menghindari timbulnya masalah hukum yang mungkin terjadi. Penyitaan dapat juga dilakukan dengan objek sita harta kekayaan Penunggak Pajak yang tersimpan di bank seperti deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Penyitaan ini didahului dengan proses pemblokiran terhadap rekening penanggung pajak di bank dengan tujuan akhir melakukan pemindah bukuan saldo rekening penangung pajak yang diblokir ke kas negara untuk pembayaran tunggakan pajak, dengan tetap memperhatikan prinsip kerahasiaan bank. Penyitaan harta kekayaan penanggung pajak di bank tidak perlu ditindak lanjuti dengan pelaksanaan lelang atau penjualan yang memerlukan prosedur yang rumit, dan memerlukan biaya penagihan yang cukup besar. Purwantoro (2005) telah melakukan penelitian mengenai analisis penagihan pajak dengan penyitaan monetary asset di bank. Penelitian tersebut dilakukan di salah satu KPP yang telah melaksanakan penyitaan monetary asset di bank yaitu pada Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Lima. Tekhnik yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa peranan penyitaan yang didahului dengan proses pemblokiran sangat tidak signifikan terhadap total penerimaan pajak tahun 2004 pada KPP PMA Lima tersebut. Suhendar (2007) telah melaksanakan penelitian mengenai analisis pengaruh pelaksanan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan dan pengumuman lelang terhadap pencairan tunggakan pajak. Penelitian ini dilaksanakan pada KPP Pratama
Jakarta Tanah Abang Satu. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif kuantitatif. Hasil dari penelitian ini adalah pelaksanaan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan dan pengumuman lelang tersebut memberikan hasil yang signifikan terhadap pencairan tunggakan pajak pada KPP Pratama Jakarta Tanah Abang Satu. Berdasarkan beberapa penjelasan di atas dan penelitian yang telah dilaksanakan sebelumnya maka peneliti tertarik untuk membahas mengenai pengaruh Surat Teguran, Surat Paksa dan penyitaan monetary asset
milik
Penanggung Pajak secara khusus yang terdapat di bank terhadap pencairan tungakan pajak pada Kanwil DJP Jakarta Barat. Penelitian yang akan dilakukan oleh penulis mengacu kepada penelitian yang dilakukan oleh Purwantoro (2005). Adapun perbedaan penelitian yang akan dilakukan penulis dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Purwantoro (2005) adalah seperti terdapat pada tabel berikut : Tabel. 1.1 Perbedaan Penelitian Sebelumnya dan Penelitian Saat Ini No
Keterangan
1.
Periode Waktu
2.
Metode Analisis
3.
Subjek Penelitian
Penelitian Purwantoro (2005)
Penelitian saat ini
Penelitian ini dilakukan Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan dengan menggunakan data data laporan tahun 2004. laporan tahun 2004 hingga tahun 2007. Deskriptif kualitatif Metode kuantitatif berupa berupa analisis variabel metode regresi berganda. tunggal. Data penyitaan monetary Data penagihan pajak asset di bank pada KPP dengan Surat Teguran, PMA Lima Surat Paksa, dan penyitaan monetary asset di bank pada Kanwil DJP Jakarta Barat.
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah Peneliti mengidentifikasi masalah penelitian yaitu mengenai analisis pengaruh Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan monetary asset di bank terhadap pencairan tunggakan pajak. Untuk memudahkan pembatasan dalam rencana penyusunan hasil penelitian ini, penulis membatasi permasalahan pada proses pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan monetary asset di bank dan pengaruhnya terhadap pencairan tunggakan pajak di Kanwil DJP Jakarta Barat yang terdiri dari KPP yang tersebar di wilayah Jakarta Barat yang telah melaksanakan penagihan pajak dengan Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan monetary asset di bank, dengan perumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana proses pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan monetary asset di bank yang dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pajak yang berada di wilayah Kanwil DJP Jakarta Barat? 2. Apakah pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan monetary asset di bank secara simultan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pencairan tunggakan pajak pada Kanwil DJP Jakarta Barat? 3. Apakah pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Teguran memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pencairan tunggakan pajak pada Kanwil DJP Jakarta Barat? 4. Apakah pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Paksa memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pencairan tunggakan pajak pada Kanwil DJP Jakarta Barat?
5. Apakah pelaksanaan penagihan pajak dengan penyitaan monetary asset di bank memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pencairan tunggakan pajak pada Kanwil DJP Jakarta Barat. C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui mekanisme pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan monetary asset di bank yang dilaksanakan oleh KPP yang berada dibawah Kantor Wilayah DJP Jakarta Barat. b. Untuk mengetahui pengaruh Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan monetary asset di bank terhadap pencairan tunggakan pajak pada Kanwil DJP Jakarta Barat. c. Untuk mengetahui pengaruh Surat Teguran terhadap pencairan tunggakan pajak pada Kanwil DJP Jakarta Barat. d. Untuk mengetahui pengaruh Surat Paksa terhadap pencairan tunggakan pajak pada Kanwil DJP Jakarta Barat. e. Untuk mengetahui pengaruh penyitaan monetary asset di bank terhadap pencairan tunggakan pajak pada Kanwil DJP Jakarta Barat. 2. Manfaat Penelitian a. Manfaat bagi penulis Dengan adanya penelitian ini diharapkan agar penulis bisa menerapkan teori dan memperoleh pemahaman mengenai pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan monetary asset di bank dan pengaruhnya terhadap pencairan tunggakan pajak pada Kanwil DJP Jakarta Barat.
b. Bagi dunia akademis Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bukti empiris mengenai pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan monetary asset di bank dan pengaruhnya terhadap pencairan tunggakan pajak pada Kanwil DJP Jakarta Barat. c. Bagi para pembaca Penelitian ini diharapkan mampu memberikan wacana bagi para pembaca agar pemahaman tentang proses penagihan yang lebih luas, terutama tentang penagihan pajak dengan Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan aset moneter milik Penanggung Pajak yang terdapat di bank dan pengaruhnya terhadap pencairan tunggakan pajak pada Kanwil DJP Jakarta Barat.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka 1. Konsep Dasar Perpajakan a. Pengertian Pajak Pengertian pajak menurut Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan No. 6 tahun 1983 adalah sebagai berikut: ”Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Sedangkan pengertian pajak menurut Soemitro: ”Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undangundang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa-timbal (kontra-prestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.” Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur sebagai berikut (Ilyas dan Burton, 2004: 5): 1) Pembayaran pajak harus berdasarkan undang-undang, 2) Sifatnya dapat dipaksakan, 3) Tidak ada kontra-prestasi (imbalan) yang langsung dapat dirasakan oleh pembayar pajak
4) Pemungutan pajak dilakukan oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (tidak boleh dipungut oleh pihak swasta), dan 5) Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah (rutin dan pembangunan) bagi kepentingan masyarakat umum. b. Fungsi Pajak Pada awalnya hanya dikenal dua fungsi pajak yaitu: fungsi budgeter sebagai fungsi utama dan fungsi regulerend sebagai fungsi tambahan. Namun dalam perkembangannya bertambah dua fungsi lagi, yaitu : fungsi demokrasi dan fungsi distribusi ( Ilyas dan Burton, 2004 : 8). Fungsi budgeter adalah fungsi yang letaknya di sektor publik, yakni untuk mengumpulkan uang pajak sebanyak-banyaknya sesuai undangundang yang berlaku yang pada waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran negara, baik itu pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan. Apabila ada sisa (surplus) akan digunakan sebagai tabungan pemerintah untuk investasi pemerintah (Ilyas dan Burton, 2004: 8). Fungsi ini juga tercermin dalam asas efficiency atau asas financial, yaitu menekankan pada pemasukkan yang sebesar-besarnya dengan pengeluaran yang sekecil-kecilnya dari suatu penyelenggaraan perpajakan. Fungsi kedua, fungsi regulerend, yakni suatu fungsi yang menyatakan pajak-pajak tersebut akan digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya di luar bidang keuangan (Ilyas dan Burton, 2004: 9). Hal ini dapat dilihat dalam sektor swasta, sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Djojohadikusumo dengan Fiscal Policy sebagai suatu alat pembangunan yang harus mempunyai satu tujuan
bersamaan secara langsung menemukan dana-dana yang akan digunakan untuk public investment dan secara tidak langsung digunakan untuk menyalurkan private saving kearah sektor-sektor yang produktif maupun digunakan untuk mencegah pengeluaran yang menghambat pembangunan. “Tujuannya untuk menciptakan iklim yang sehat dari perkembangan dunia usaha, demi tercapainya kesejahteraan bangsa dan negara serta tercapainya keseimbangan perekonomian dan politik. Fungsi demokrasi, fungsi pajak ketiga, adalah suatu fungsi yang merupakan salah satu penjelmaan atau wujud sistem gotong-royong, termasuk kegiatan pemerintah dan pembangunan demi kemaslahatan manusia (Ilyas dan Burton, 2004: 9). Fungsi ini sering dikaitkan dengan hak seseorang jika akan mendapat pelayanan dari pemerintah. Dasar pemikirannya sederhana, bila seseorang melakukan kewajibannya dengan membayar pajak kepada negara sesuai ketentuan yang berlaku, maka ia mempunyai hak pula untuk mendapatkan pelayanan yang baik dari pemerintah, bila tidak maka pembayar pajak akan melakukan protes terhadap pemerintah. Fungsi pajak yang terakhir adalah fungsi distribusi, yakni fungsi yang lebih menekankan pada unsur pemerataan dan keadilan masyarakat. Misalnya dengan pengenaan tarif progresif yang mengenakan pajak yang lebih besar kepada masyarakat yang mempunyai penghasilan besar dan sebaliknya tarif yang lebih kecil kepada masyarakat yang mempunyai penghasilan yang lebih sedikit (Ilyas dan Burton, 2004: 9). c. Sistem Pemungutan Pajak 1) Official Assessment System
Official Assessment System adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Adapun ciri-ciri dari official assesment system yaitu : a)
Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus.
b)
Wajib Pajak bersifat pasif
c)
Utang pajak timbul setelah dikeluarkannya Surat Ketetapan Pajak oleh fiskus.
2) Self Assessment System Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Adapun ciri-ciri dari self assesment system yaitu : a)
Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak sendiri
b)
Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang.
c)
Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
3) With Holding System With Holding System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Adapun ciri-ciri dari with holding system
yaitu, wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan Wajib Pajak. d. Utang Pajak Dalam hukum pajak dikenal ada dua ajaran yang mengatur timbulnya utang pajak, yaitu (Resmi, 2005:11) : 1) Ajaran Material Dalam ajaran ini menyatakan bahwa utang pajak timbul karena diberlakukannya undang-undang perpajakan. Dalam ajaran ini seseorang akan secara aktif menentukan apakah dirinya dikenai pajak atau tidak sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku. 2) Ajaran Formal Dalam ajaran ini menyatakan bahwa utang pajak timbul karena dikeluarkanya Surat Ketetapan Pajak oleh fiskus. Untuk menetukan apakah seseorang dikenai pajak atau tidak, berapa jumlah pajak yang harus dibayar, dan kapan jangka waktu pembayarannya dapat diketahui dalam Surat Ketetapan Pajak tersebut. Sesuai dengan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, bahwa yang dimaksud dengan utang pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda, atau kenaikan yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak atau surat sejenisnya beradasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan pajak. Setiap perikatan termasuk pula utang pajak, pada suatu waktu akan dihapus. Hapusnya utang pajak dapat terjadi karena pembayaran,
kompensasi,
daluarsa,
dan
pembebasan/penghapusan.
Berdasarkan
pengertian utang pajak, idealnya hapusnya utang pajak adalah dengan pembayaran atau kompensasi utang pajak yang terdapat dalam Surat Ketetapan Pajak atau surat sejenis sebelum tangal jatuh tempo. Akan tetapi dalam realisasi di lapangan, walaupun Surat Ketetapan Pajak atau sejenisnya telah jatuh
tempo masih banyak Wajib Pajak yang tidak atau belum
melunasi utang pajaknya. Terhadap utang pajak tersebut maka harus dilakukan tindakan penagihan yang sesuai dengan peraturan perundangundangan perpajakan yang berlaku. e. Penghapusan Piutang Pajak Meskipun upaya penagihan pajak terus dilakukan oleh Jurusita Pajak, namun pada kenyataannya terdapat beberapa hal atau keadaan dimana utang pajak yang menjadi kewajiban Wajib Pajak/Penanggung Pajak tidak dapat ditagih lagi. Adapun beberapa syarat yang harus dipenuhi agar piutang pajak dapat dihapuskan, adalah sebagai berikut (Sabrani, 2006): 1) Piutang tersebut tercantum dalam STP,SKPKB,dan SKPKBT. 2) Sudah dilakukan upaya tindakan penagihan sampai dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 3) WP telah meninggal dunia dengan tidak meninggalkan harta warisan dan tidak mempunyai ahli waris dengan didukung keterangan dari instansi atau pihak yang terkait. 4) WP tidak dapat ditemukan lagi karena pindah alamat dan tidak memberi alamat baru atau meninggalkan Indonesia dengan surat keterangan dari pejabat yang berwenang.
5) WP tidak mempunyai kekayaan lagi dengan didukung surat keterangan dari pejabat bahwa perusahaan tersebut telah dilikuidasi dan tidak mungkin lagi membayar tunggakan pajaknya. 6) Hak untuk melakukan penagihan sudah daluarsa, yakni 5 tahun f. Perlawanan Terhadap Pajak Terlepas dari masalah kewarganegaraan dan rasa nasionalisme, pada kenyataannya kewajiban membayar pajak cenderung dihindari baik secara sengaja maupun secara tidak sengaja. Rimsky K. Judisseno membagi perlawanan terhadap pajak menjadi dua, yakni: 1) Perlawanan Pasif Perlawanan pasif terjadi atas ketidaktahuan masyarakat tentang permasalahan dibidang perpajakan. Dalam perlawanan pasif ini masyarakat secara tidak sadar telah melakukan perlawanan karena mereka cenderung tidak mengetahui untuk apa, bagaimana, kapan, dan kepada siapa pajak harus dibayar. 2) Perlawanan aktif Perlawanan aktif dilakukan oleh orang-orang yang telah mengetahui peraturan dan kewajibannya di bidang perpajakan, akan tetapi mereka secara terang-terangan menghindari kewajiban perpajakannya, bahkan melalaikan dan bermain-main didalamnya. 2. Penagihan Pajak Penagihan pajak dilaksanakan karena masih adanya kewajiban pajak yang belum dipenuhi oleh Wajib Pajak setelah lewat batas waktu (jatuh tempo) pembayaran pajak yang telah ditentukan dalam Surat Ketetapan Pajak.
Penagihan atas tunggakan pajak merupakan hal penting, tetapi proses penagihan atas tunggakan pajak tersebut harus dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan pajak yang berlaku sehingga dalam pelaksanaannya mempunyai kepastian hukum baik bagi Wajib Pajak itu sendiri maupun pihak Fiskus. Proses penagihan pajak tersebut efektif apabila ada peningkatan realisasi penerimaan pajak melalui pencairan tunggakan pajak. a. Pengertian Penagihan Pajak Pengertian penagihan pajak sesuai dengan Pasal 1 ayat 9 UndangUndang Nomor 19 tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa yang berbunyi: “Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan,
melaksakan
penagihan
seketika
dan
sekaligus,
memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita (Ilyas dan Burton, 2004: 188). Menurut Hadi (2001: 2), yang dimaksud dengan penagihan adalah serangkaian tindakan dari aparatur Direktorat Jenderal Pajak berhubung Wajib Pajak tidak melunasi baik sebagian atau seluruh kewajiban perpajakan yang terutang menurut undang-undang perpajakan yang berlaku. Berdasarkan pengertian di atas dapat diketahui bahwa pada dasarnya proses penagihan pajak melibatkan unsur-unsur yang mempunyai arti penting, yaitu:
1) Utang pajak, yaitu besarnya utang pajak yang belum dilunasi oleh Wajib Pajak ditambah dengan biaya penagihan sebagai dasar untuk melakukan penagihan pajak. 2) Serangkaian tindakan sesuai jadwal waktu yang benar, yaitu penerbitan Surat Teguran, pemberitahuan Surat Paksa, pelaksanaan penyitaan berdasarkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, sampai dengan pelaksanaan lelang. 3) Aparat Direktorat Jenderal Pajak, yaitu Jurusita Pajak yang telah memenuhi syarat untuk melakukan penagihan pajak. 4) Penanggung Pajak yang mempunyai kewajiban melunasi utang pajak. 5) Undang-Undang Perpajakan yang berlaku, yaitu UU KUP 1984 dan UU PPSP serta peraturan pelaksana. b. Dasar Penagihan Pajak Penagihan pajak dilakukan terhadap utang pajak yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Berdasarkan ketentuan pasal 18 ayat (1) UU PPSP disebutkan Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah merupakan dasar penagihan pajak. Ketentuan ini sama dengan yang diatur dalam pasal 18 UU KUP (UU No. 16 Tahun 2000: 70). Penagihan dilaksanakan oleh fiskus sehubungan dengan adanya kewajiban Wajib Pajak, baik sebagian maupun keseluruhan yang masih terutang pada negara menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Proses penagihan yang optimal akan lebih meningkatkan realisasi
penerimaan pajak melalui pencairan tunggakan pajak. Yang dimaksud dengan penagihan yang optimal di sini adalah memaksimalkan penerimaan pajak dari jumlah tunggakan pajak yang dapat ditagih dengan biaya yang seminimal mungkin (Sari, 2002: 21). c. Sanksi Perpajakan di Bidang Penagihan Dalam undang-undang perpajakan dikenal dua jenis sanksi, yaitu sanksi administrasi dan sanksi pidana. Sanksi administrasi merupakan sejumlah pembayaran kerugian berupa uang kepada negara dalam bentuk bunga, denda, atau kenaikan. Sanksi ini diatur dalam undang-undang KUP. Sedangkan sanksi pidana merupakan siksaan atau penderitaan terhadap WP/PP agar norma perpajakan dipatuhi. Sanksi pidana berupa denda pidana, pidana kurungan atau pidana penjara yang ditetapkan oleh Hakim Pidana. Sanksi administrasi di bidang penagihan berupa bunga penagihan. Bunga penagihan adalah bunga atas pajak yang terutang menurut Surat Ketapan Pajak dan tambahan jumlah pajak yang masih harus dibayar berdasarkan SK. Pembetulan, SK. Keberatan, atau Putusan Banding yang saat jatuh tempo pembayaran tidak atau kurang dibayar. Bunga penagihan ditagih dengan STP Bunga Penagihan yang dihitung dua persen per bulan dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pembayaran atau tanggal terbitnya STP Bunga Penagihan, dan bagian dari bulan dihitung penuh satu bulan. Sanksi pidana dapat dikenakan kepada Penanggung Pajak maupun Jurusita Pajak. Dalam praktik mungkin Jurusita Pajak mendapatkan ancaman keras, dicegah, dirintangi bahkan digagalkan tugasnya oleh Penanggung Pajak. Terhadap tindakan dengan kekerasan atau ancaman
melawan seorang pegawai negeri (Jurusita Pajak) yang mengerjakan tugas jabatan dengan sah karena kewajibannya menurut undang-undang diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan. Hal ini tersurat dalam KUHP pasal 212, 213, 214, 215. Demikian juga terhadap Penanggung
Pajak
yang
dengan
sengaja
mimindahtangankan,
menggelapkan atau merusak barang sitaan menurut peraturan undangundang diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun sesuai pasal 231 KUHP. Sanksi ini dapat ditambah denda setinggi-tingginya 12 juta rupiah menurut pasal 41 A UU PPSP. Selain itu sanksi pidana dapat juga ditujukan kepada Jurusita Pajak yang dengan melampaui batas wewenangnya telah memaksa dengan jalan mendobrak pintu rumah PP yang dalam keadaan tertutup dan lain-lain, tindakan yang dapat dikatagorikan sebagai kejahatan dalam jabatan yang tercantum dalam pasal 429 KUHP. Ancaman pidananya terhadap tindakan pegawai Negeri tersebut (Jurusita Pajak) adalah satu tahun empat bulan penjara. Jurusita Pajak dalam melaksanakan tugasnya dapat meminta bantuan pihak lain. Pihak lain tersebut adalah Kepolisian, Kejaksaan, Badan Pemerintahan Nasional, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Pengadilan Negeri, Bank, ataupun pihak lainnya. Hal ini diatur dalam pasal 5 ayat (4) UU PPSP. Dalam hal ini Bank menjadi pihak terkait dalam penagihan pajak apabila barang yang disita berupa deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu. Pihak Bank wajib memberikan bantuan kepada Jurusita Pajak. Apabila Bank dalam hal ini tidak melaksanakan kewajibannya, maka dapat dipidana
dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu dan denda paling banyak 10 juta rupiah. Hal tersebut tercantum dalam pasal 41 A ayat (2) UU PPSP. d. Tugas dan Wewenang Jurusita Pajak Pengertian Jurusita Pajak sesuai dengan Pasal 1 ayat 6 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa yang berbunyi: “Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 562/KMK.04/2000 tentang Syarat-syarat Pengangkatan dan Pemberhentian Jurusita Pajak disebutkan bahwa Jurusita Pajak diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Keuangan untuk penagihan pajak pusat, dan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota untuk penagihan pajak daerah. Sedangkan untuk menjadi Jurusita Pajak diperlukan syarat-syarat sebagai berikut: 1) Berijazah serendah-rendahnya Sekolah Menengah Umum atau sederajat. 2) Berpangkat serendah-rendahnya Pengatur Muda/Golongan II/a. 3) Berbadan sehat. 4) Lulus pendidikan dan latihan Jurusita Pajak. 5) Jujur bertanggung jawab dan penuh pengabdian. Dalam melaksanakan tugasnya Jurusita Pajak harus dilengkapi dengan Kartu Tanda Pengenal Jurusita Pajak yang harus diperlihatkan kepada Wajib
Pajak/Penanggung Pajak. Hal ini dimaksudkan agar Jurusita Pajak mempunyai bukti diri yang kuat dan bisa menjelaskan bahwa yang bersangkutan adalah benar-benar Jurusita Pajak yang sah dan mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan tindakan penagihan pajak. Adapun tugas Jurusita Pajak sesuai dengan Pasal 5 ayat 1 dan 3 UU PPSP adalah: 1) Melaksanakan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus. 2) Memberitahukan Surat Paksa. 3) Melaksanakan penyitaan atas barang penanggung pajak berdasarkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan. 4) Melaksanakan penyanderaan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan. Jurusita Pajak juga berwenang untuk memasuki dan memeriksa semua ruangan untuk menemukan objek sita di tempat usaha dan melakukan penyitaan di tempat kedudukan, di tempat tinggal penanggung pajak atau di tempat lain yang dapat diduga sebagai tempat penyimpanan objek sita (Kurniawan dan Pamungkas, 2006:55). e. Pengertian Wajib Pajak atau Penanggung Pajak Berdasarkan pasal 1 angka 25 UU KUP dan pasal 1 angka 3 UU PPSP disebutkan bahwa Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan kewajiban Wajib Pajak menurut peraturan perundangundangan perpajakan (Iswahyudi. 2005: 14). Pengertian Penanggung Pajak harus dibedakan dengan Wajib Pajak. Penanggung Pajak terdiri atas Wajib Pajak orang pribadi atau badan yang bertindak untuk melakukan kewajiban perpajakan termasuk pembayaran
pajak. Orang pribadi atau badan juga dapat menunjuk kuasa untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan yang berlaku. Pengertian Wajib Pajak atau Subjek Pajak sebagaimana disebutkan dalam UU No. 28 tahun 2007 pasal 1 angka 2 atas perubahan UU No. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. f. Jadwal Waktu Penagihan Pajak 1) Fiskus akan menerbitkan Surat Teguran setelah tujuh hari sejak saat jatuh tempo pembayaran yang tercantum dalam STP, SKPKB/SKPKBT, SK. Pembetulan, SK. Keberatan, atau Putusan Banding yang menyebabkan pajak harus bertambah. 2) Apabila setelah lewat waktu 21 hari sejak Surat Teguran Wajib Pajak tetap tidak melunasi utang pajak seperti yang dimaksud dalam Surat Teguran, tindakan penagihan akan dilanjutkan dengan pemberitahuan Surat Paksa. 3) Apabila dalam waktu 2 x 24 jam sejak Surat Paksa diberitahukan Wajib Pajak tetap tidak mengindahkan pelunasan pajaknya, tindakan selanjutnya adalah melakukan penyitaan terhadap harta kekayaan Wajib Pajak. 4) Apabila dalam waktu 14 hari setelah tanggal penyitaan Wajib Pajak tetap saja tidak mau melunasi utang pajaknya, fiskus akan melakukan Pengumuman Lelang atas harta yang telah disita.
5) Apabila setelah lewat waktu 14 hari sejak tanggal pengumuman lelang Wajib Pajak tetap saja tidak melunasi utang pajaknya, fiskus akan melakukan penagihan berupa lelang yang akan dilakukan oleh Kantor Lelang Negara guna untuk mengambil pelunasan utang pajaknya beserta sanksi-sanksinya melalui barang yang dilelang. g. Penerbitan Surat Paksa Apabila Penanggung Pajak tidak melakukan kewajiban membayar besarnya pajak yang terutang dalam jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran, pelaksanaan penagihan yang akan dilakukan selanjutnya adalah menerbitkan Surat Paksa yang salinannya diberitahukan oleh Jurisita Pajak kepada Wajib Pajak atau Penanggung Pajak. Dalam Pasal 10 sub 10 UU PPSP disebutkan bahwa, “Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan tagihan pajak.” Apabila pajak yang terutang tidak dilunasi dalam jangka waktu 2 x 24 jam sesudah tanggal pemberitahuan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak, tindak lanjutnya adalah diterbitkannya Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP). h. Proses Penyitaan Barang Milik Penanggung Pajak 1) Penyitaan terhadap barang milik Penanggung Pajak dilakukan oleh Jurusita Pajak berdasarkan SPMP yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak. 2) Penyitaan dilakukan dalam waktu 2 x 24 jam sejak tanggal Surat Paksa diberitahukan, apabila utang pajak tidak dilunasi.
3) Penyitaan dilaksanakan oleh Jurusita Pajak dengan dua orang saksi dengan syarat dewasa, penduduk Indonesia, dikenal, dan dapat dipercaya. 4) Barang yang dapat disita adalah barang yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan atau tempat lain, termasuk yang penguasaannya berada ditangan pihak lain. i. Objek Sita Pada prinsipnya semua barang milik Penanggung Pajak dapat disita. Barang yang dapat disita menurut pasal 14 ayat (1) UU PPSP berupa : 1) Barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai, dan deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, obligasi, saham, atau surat berharga lainnya, piutang, dan penyertaan modal pada perusahaan lain; dan atau 2) Barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan, dan kapal dengan isi kotor tertentu. Barang bergerak yang dikecualikan dari penyitaan menurut pasal 15 ayat (1 UU PPSP ) adalah: 1) Pakaian dan tempat tidur beserta perlengakapannya yang digunakan oleh Penanggung Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya; 2) Persedian makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan beserta peralatan memasak yang berada di rumah; 3) Perlengkapan Penanggung Pajak yang bersifat dinas yang diperoleh dari negara;
4) Buku-buku yang bertalian dengan jabatan atau pekerjaan Penanggung Pajak dan alat-alat yang dipergunakan untuk pendidikan, kebudayaan, dan keilmuan; 5) Peralatan
dalam
keadaan
jalan
yang
masih
digunakan
untuk
melaksanakan pekerjaan atau usaha sehari-hari dengan jumlah seluruhnya tidak melebihi dari Rp. 20.000.000,00 ;atau 6) Peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh Penanggung Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya j. Barang Sitaan Yang Dikecualikan Dari Penjualan Secara Lelang Tidak semua barang yang disita akan dilelang meskipun Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajaknya setelah dilakukan penyitaan. Barang sitaan berupa uang tunai, deposito berjangka, saldo rekening koran, obligasi, saham, atau surat berharga lainnya, piutang dan penyertaan modal pada perusahaan lain menurut pasal 25 ayat (2) tidak perlu dilelang. Barangbarang tersebut digunakan untuk membayar biaya penagihan dan utang pajak dengan cara: 1) Uang tunai disetor ke Kas Negara atau Kas Daerah; 2) Deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, dipindahbukukan ke Kas Negara atau Kas Daerah atas permintaan Pejabat kepada bank yang bersangkutan; 3) Obligasi, saham, dan surat berharga lainnya yang diperdagangkan di bursa efek dijual di bursa efek atas permintaan Pejabat;
4) Obligasi, saham, atau surat berharga lainnya yang tidak diperdagangkan di bursa efek segera dijual oleh Pejabat; 5) Piutang dibuatkan berita acara persetujuan tentang pengalihan hak menagih dari Penanggung Pajak kepada Pejabat; 6) Penyertaan modal pada perusahaan lain dibuatkan akte persetujuan pengalihan hak menjual dari Penanggung Pajak kepada Pejabat. k. Daluarsa Penagihan Pajak Daluarsa penagihan merupakan suatu batasan waktu yang ditentukan oleh undang-undang yang berlaku bahwa fiskus tidak mempunyai hak lagi untuk melakukan penagihan terhadap utang pajak Wajib Pajak. Daluarsa penagihan dimaksudkan untuk menegaskan adanya kepastian hukum bagi Wajib Pajak terhadap suatu utang pajak untuk tidak ditagih lagi. Ketentuan mengenai daluarsa penagihan tersebut diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia nomor 28 tahun 2007 tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang berbunyi sebagai berikut: “Hak utuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluarsa setelah lampau 5 tahun terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan banding, serta Putusan Peninjauan Kembali .” 3. Penyitaan Monetary Asset di Bank a. Dasar Hukum Penyitaan Monetary Asset di Bank
1) Peraturan Pemerintah No. 135 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyitaan dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. 2) Keputusan
Menteri
Keuangan
Republik
Indonesia
Nomor
563/KMK.04/2000 Tentang Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak yang Tersimpan pada Bank dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. 3) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-109/PJ/2007 Tentang Perubahan atas Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP627/PJ/2001 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak yang Tersimpan pada Bank dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. b. Prosedur Penyitaan Monetary Asset Di Bank Dalam pelaksanaan penagihan dengan Surat Paksa, Jurusita Pajak berwenang melaksanakan penyitaan terhadap harta kekayaan milik Penanggung Pajak atau Wajib Pajak yang secara khusus tersimpan pada bank yang dilaksanakan dengan proses pemblokiran terlebih dahulu. Adapun prosedur penyitaan monetary asset di bank adalah sebagai berikut:
1) Pemblokiran Monetary Asset di Bank a) Setelah lewat 2 (dua) kali 24 jam dari pemberitahuan Surat Paksa, maka Pejabat, dalam hal ini Kepala KPP mangajukan permintaan pemblokiran kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan di bank. b) Pihak bank wajib memblokir seketika rekening penanggung pajak setelah menerima surat permintaan pemblokiran dari pejabat dan
membuat Berita Acara Pemblokiran serta menyampaikan salinan acara tersebut kepada pejabat dan Penanggung Pajak. c) Setelah Jurusita Pajak menerima Berita Acara Pemblokiran dari bank dilanjutkan dengan memerintahkan kepada Penanggung Pajak untuk memberi kuasa pada bank agar memberitahukan saldo kekayaannya yang tersimpan pada bank tersebut kepada Jurusita Pajak. d) Dalam hal Penanggung Pajak tidak memberikan kuasa kepada bank sebagaimana tersebut pada butir c, Jurusita Pajak membuat Berita Acara Penolakan Pemberian Kuasa oleh Penanggung Pajak, dan berita acara tersebut dijadikan dasar bagi Pejabat untuk mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia melalui Menteri Keuangan untuk memerintahkan bank yang dimaksud agar memberitahukan saldo kekayaan Penanggung Pajak yang tesimpan pada bank tersebut. e) Pemblokiran akan dicabut apabila Penanggung Pajak melunasi utang pajaknya beserta biaya penagihan atau jikalau jumlah yang diblokir ternyata lebih besar dari jumlah yang disita, maka atas sisa lebih tersebut diajukan permintaan pencabutan pemblokiran oleh pejabat kepada bank. (KMK No 563/KMK-04/2000). 2) Penyitaan Monetary Asset di Bank Setelah dilakukan pemblokiran dan saldo kekayaan yang tersimpan di bank diketahui maka penyitaan dilaksanakan. Adapun prosedur penyitaan monetary asset yaitu : a) Setelah saldo kekayaan yang tersimpan di bank diketahui, Jurusita Pajak melaksanakan penyitaan dan membuat Berita Acara
Pelaksanaan Sita, dan menyampaikan salinan berita acara tersebut kepada Penanggung Pajak dan Bank yang bersangkutan. b) Pejabat mengajukan pencabutan pemblokiran kepada bank setelah Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan. c) Pejabat mengajukan permintaan pencabutan pemblokiran terhadap kekayaan Penanggung Pajak setelah dikurangi dengan jumlah yang disita apabila utang pajak dan biaya penagihan pajak yang belum dilunasi oleh Penanggung Pajak walaupun telah dilakukan pemblokiran. Setelah penyitaan dilaksanakan, Penanggung Pajak masih diberi waktu 14 hari agar dapat melunasi utang pajaknya beserta biaya penagihan. Dalam waktu 14 hari tersebut Penanggung Pajak dapat melunasi
utang
pajaknya
beserta
biaya
penagihannya
dengan
menggunakan kekayaan yang telah disita tersebut dengan mengajukan permohonan terlebih dahulu kepada pejabat dengan melampirkan bukti pembayaran berupa Surat Setoran Pajak (SSP) yang telah ditandatangani dan diberi cap (stempel) oleh bank (PER-109/PJ/2007 Tentang Perubahan atas Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP DJP No. KEP– 627/PJ/2001). 3) Pemindah Bukuan ke Rekening Kas Negara Apabila dalam 14 hari setelah penyitaan rekening bank Penanggung
Pajak
tidak
melunasi
utang
pajak
beserta
biaya
penagihannya, maka jumlah yang disita pada rekening bank Penanggung Pajak dipindah bukukan ke Kas Negara dengan prosedur sebagai berikut
(PER-109/PJ/2007 Tentang Perubahan atas Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP DJP No. KEP– 627/PJ/2001). a) Apabila Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dalam jangka waktu 14 hari sejak penyitaan, Pejabat meminta kepada pimpinan bank untuk memindahkan harta kekayaan (monetary asset) Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank ke kas negara sejumlah yang tercantum dalam Berita Acara Pelaksanaan
Sita,
yang
tembusannya
disampaikan
kepada
Penanggung Pajak. b) Permintaan kepada pimpinan bank sebagaimana tersebut di atas dilampirkan dengan Surat Setoran Pajak yang ditandatangani oleh Jurusita Pajak.
B. PENELITIAN SEBELUMNYA Purwantoro (2005) telah melakukan penelitian mengenai analisis penagihan pajak dengan penyitaan monetary asset di bank. Dimana penelitian ini dilakukan di salah satu KPP yang telah melaksanakan penyitaan monetary asset di bank yaitu pada Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Lima. Tekhnik yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa peranan penyitaan yang didahului dengan proses pemblokiran sangat tidak signifikan terhadap total penerimaan pajak tahun 2004 pada KPP PMA Lima. Hal ini dibuktikan dengan hasil peranan penyitaan monetary asset di bank terhadap penerimaan pajak pada KPP PMA Lima pada tahun 2004 adalah sebesar 1,48%. Persentase sebesar 1,48% diperoleh dengan cara membagi jumlah pembayaran sebagai akibat tindakan
pemblokiran sebanyak Rp. 61.361.312 ribu dengan total penerimaan KPP PMA Lima tahun 2004 sebesar Rp. 4.138.989.183 ribu. Angka ini menunjukan bahwa kontribusi pemblokiran terhadap penerimaan pajak hanya sebesar 1,48% yang artinya 98,52% penerimaan KPP PMA Lima diakibatkan oleh sebab lain. Dari 98,52% sebab lain yang merupakan sumber penerimaan KPP PMA Lima maka 91,38% adalah pelunasan sukarela dari Wajib Pajak atau Penanggung Pajak tanpa adanya ketetapan pajak dan penagihan pajak. Sehingga dari hasil tersebut menyatakan bahwa penyitaan monetary asset di bank yang telah dilakukan oleh KPP PMA Lima sangat tidak signifikan terhadap penerimaan pajak pada KPP tersebut. Suhendar (2007) telah melaksanakan penelitian mengenai analisis pengaruh pelaksanan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan dan pengumuman lelang terhadap pencairan tunggakan pajak. Penelitian ini dilaksanakan pada KPP Pratama Jakarta Tanah Abang Satu. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif kuantitatif. Hasil dari penelitian ini adalah pelaksanaan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan dan pengumuman lelang tersebut memberikan hasil yang signifikan terhadap pencairan tunggakan pajak pada KPP Pratama Jakarta Tanah Abang Satu. Hal tersebut dibuktikan dengan pengujian hipotesis uji f, dimana hasil pengujian variabel profil perusahaan mempunyai angka signifikansi 0,04 lebih kecil dari 0,05. Hal ini berarti SPMP berpengaruh secara signifikan terhadap pencairan tunggakan pajak. Selain itu hasil pengujian variabel pengumuman lelang mempunyai angka signifikansi 0,000 lebih kecil dari 0,01. Hal ini berarti bahwa pengumuman lelang berpengaruh secara signifikan terhadap pencairan tunggakan pajak. Jadi, semakin besar pengumuman lelang, maka semakin tinggi pencairan tunggakan pajak.
C. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran merupakan bagian dari tinjauan pustaka yang berisikan rangkuman atas semua dasar-dasar teori yang dijadikan landasan dalam penelitian ini, dimana dalam kerangka pemikiran ini diberikan skema singkat mengenai alur penelitian yang menggambarkan proses penelitian yang akan dilakukan, hal ini untuk memudahkan dalam membaca proses penelitian yang akan penulis laksanakan. Berikut skema kerangka pemikiran pada penelitian ini:
Variabel Independen
Variabel Dependen
Surat Teguran
Pencairan Tunggakan Pajak
Surat Paksa
Penyitaan Monetary Asset di Bank
Gambar.2.1 Kerangka Pemikiran
D. Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah suatu penjelasan sementara tentang perilaku, fenomena, atau keadaan tertentu yang telah terjadi atau akan terjadi yang merupakan pernyataan peneliti tentang hubungan antara variabel-variabel dalam penelitian serta merupakan pernyataan yang paling spesifik. Peneliti bukannya bertahan pada hipotesis yang telah disusun, melainkan mengumpulkan data untuk mendukung atau menolak hipotesis tersebut. Dengan kata lain hipotesis merupakan jawaban sementara yang disusun oleh peneliti, yang kemudian akan diuji kebenarannya melalui penelitian yang akan dilakukan. Melihat dari penelitian-penelitian terdahulu dan tinjauan teoritis yang telah diuraikan sebelumnya, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Ha
: Pelaksanan penagihan pajak dengan Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan monetary asset di bank memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pencairan tunggakan pajak pada kanwil DJP Jakarta Barat.
Ho
: Pelaksanan penagihan pajak dengan Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan monetary asset di bank tidak memiliki pengaruh terhadap pencairan tunggakan pajak pada kanwil DJP Jakarta Barat.
BAB III METODE PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini hanya dibahas mengenai analisis pengaruh Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaaan monetary asset di bank terhadap pencairan tunggakan pajak pada Kanwil DJP Jakarta Barat. Horison waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah time series study yang lebih menekankan pada rentetan waktu pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan monetary asset di bank dan pengaruhnya terhadap pencairan tunggakan pajak pada Kanwil DJP Jakarta Barat tahun 2004 hingga tahun 2007. Penelitian ini akan dilakukan pada salah satu Kantor Wilayah yang terdiri dari beberapa KPP yang tersebar di Kantor Wilayah DJP Jakarta Barat yang telah melaksanakan penagihan dengan Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan monetary asset di bank untuk mendapatkan data-data yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti, khususnya pada sub-sub dinas yang berkaitan dengan penelitian.
B. Metode Penentuan Sampel Metode yang digunakan untuk menentukan sampel penelitian ini adalah metode conveniance sampling yaitu pemilihan sampel secara tidak acak (non probability) yang informasinya diperoleh dengan cara kemudahan memperoleh data yang disesuaikan dan dikaitkan dengan masalah penelitian yang akan dilakukan yaitu, data sekunder yang diperoleh langsung dari bagian P4 pada Seksi Penagihan berupa data penagihan dengan Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan monetary asset di bank serta data yang berkaitan dengan masalah penelitian.
C. Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tiga metode yaitu: 1. Metode Telaah Kepustakaan Tahap awal dari penelitian ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data Studi Kepustakaan (Library Research) untuk memperoleh data sekunder berupa landasan teori yang berkaitan dengan penelitian ini, dengan cara mempelajari literatur berupa buku, artikel perpajakan, jurnal perpajakan, peraturan perundang-undangan perpajakan, surat keputusan, surat edaran, dan bahan lain seperti surat kabar, internet, dan media massa lain yang mempunyai relevansi dengan permasalahan yang akan dibahas khususnya berkaitan dengan pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Paksa dan penyitaan monetary asset di bank dan pengaruhnya terhadap pencairan tunggakan pajak pada Kanwil DJP Jakarta Barat.
2. Metode Dokumentasi Metode ini dilakukan untuk memperoleh pengumpulan data dengan mempelajari atau menggunakan catatan-catatan yang tersusun dalam arsip Penagihan pada Kanwil DJP Jakarta Barat khususnya Bagian P4, berupa data sekunder yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan meliputi laporan penagihan aktif berupa laporan penyampaian Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan aset moneter di bank, dan laporan pencairan tunggakan pajak pada Kanwil DJP Jakarta Barat periode 2004-2007. 3. Metode Survei
Metode survei merupakan metode pengumpulan data primer yang diperoleh secara langsung dari sumber asli dengan melakukan wawancara langsung kepada yang berwenang dalam hal ini Kantor Wilayah DJP Jakarta Barat terutama Kepala Seksi Penagihan dan Pelaksana Penagihan Pajak serta beberapa Pelaksana di beberapa seksi lainnya yang tugasnya berkaitan dengan topik penelitian ini yang semuanya berdinas di Kantor Wilayah DJP Jakarta Barat.
D. Operasional Variabel Penelitian Operasional variabel penelitian adalah sebuah konsep yang mempunyai penjabaran dari variabel yang diterapkan dalam suatu penelitian dan dimaksudkan untuk memastikan agar variabel yang ingin diteliti secara jelas dapat diterapkan indikasinya. Dalam penelitian ini peneliti akan memaparkan variabel yang akan digunakan. Adapun variabel penelitian yang akan digunakan antara lain adalah sebagai berikut: 1. Variabel Independen Variabel independen adalah tipe variabel yang menjelaskan atau mempengaruhi variabel lain. Variabel ini dinamakan pula dengan variabel yang diduga sebagai sebab ataupun variabel yang mendahului. Adapun variabel independen dalam penelitian ini adalah: a. Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan pejabat untuk menegur dan memperingatkan kepada WP/PP untuk melunasi utang pajaknya. b. Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan.
c. Penyitaan monetary asset di bank adalah tindakan Jurusita Pajak untuk menguasai barang milik WP/PP yang secara khusus terdapat di bank, guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundang-undangan perpajakan. 2. Variabel Dependen Variabel dependen adalah tipe variabel yang dijelaskan atau dipengaruhi oleh variabel independen. Variabel dependen dinamakan pula dengan variabel yang diduga sebagai akibat ataupun variabel konsekuensi. Adapun variabel dependen dalam penelitian ini adalah: a. Pencairan tunggakan pajak adalah pencairan atau pelunasan utang pajak yang belum atau kurang dibayar sampai dengan saat jatuh tempo pembayaran. Tabel 3.1 Operasional Variabel Penelitian No.
Variabel
Sub Variabel
Indikator
Ukuran
1.
Surat Teguran (X 1 )
• Waktu penagihan
•
Utang pajak tidak dilunasi setelah 7 hari sejak saat jatuh tempo pembayaran.
Rupiah
2.
Surat Paksa (X 2 )
• Waktu penagihan
•
Utang pajak tidak dilunasi setelah lewat waktu 21 hari sejak diterbitkan Surat Teguran.
Rupiah
3.
Penyitaan • Kekayaan yang Monetary Asset tersimpan pada bank di Bank
Rupiah • Rekening, simpanan, dan bentuk
(X 3 )
• Waktu penagihan
• Pelaksanan pemblokiran
4.
• Kategori umur tunggakan
Pencairan Tunggakan Pajak (Y)
• Kriteria kualitas tunggakan
• Ketetapan yang terbit
simpanan lain yang lazim dalam praktek perbankan. Rupiah • Utang pajak tidak dilunasi setelah lewat waktu 2 x 24 jam sejak diterbitkan Surat Paksa. • Saldo kekayaan Rupiah yang tersimpan di bank. • Waktu pelunasan tunggakan (kurang dari 6 bulan, 6 bulan s.d 1 tahun, dst). • Lancar, kurang lancar, dalam perhatian khusus, diragukan, macet. • Target pencairan tunggakan pajak (50% dari total tunggakan)
Rupiah
Rupiah
Rupiah
E. Metode Analisis 1. Uji Asumsi Klasik a. Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi, variabel independen, variabel dependen, ataupun keduanya mempunyai distribusi normal atau tidak dengan menggunakan P-P Plot.
Model regresi yang baik adalah distribusi data normal atau mendekati normal. Deteksi normalitas dengan melihat penyebaran data atau titik pada sumbu diagonal dari grafik. Dasar pengambilan keputusan jika data menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal atau grafik histogramnya menunjukkan pola distribusi normal, maka model regresi memenuhi asumsi normalitas. Sedangkan jika data menyebar jauh dari diagonal dan atau tidak mengikuti arah garis diagonal atau grafik histogram tidak menunjukkan pola distribusi normal, maka model regresi tidak memenuhi asumsi normalitas. (Ghozali, 2005:112) b. Uji Multikoloniaritas Uji multikolonieritas bertujuan untuk menguji apakah pada model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas
(variabel
independen). Jika terjadi maka terdapat problem Multikolonieritas. Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel independen. Jika variabel independen saling berkorelasi, maka variabelvariabel ini tidak ortogonal. Variabel ortogonal adalah variabel independen yang nilai korelasi antar sesama variabel independen sama dengan nol. Untuk mendeteksi ada atau tidaknya multikolonieritas di dalam model regresi dapat dilihat dari nilai Tolerance (TOL) dan lawannya Variance Inflation Factor (VIF). Model regresi dapat dikatakan terbebas dari problem multikolonieritas apabila nilai tolerance tidak kurang dari 0,1 atau TOL > 0,1 dan VIF tidak lebih dari 10 atau VIF<10 maka data tersebut tidak ada multikolonieritas antar variabel independen dalam model regresi (Ghozali, 2005:91-92). c. Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah sebuah regresi linear ada korelasi diantara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pada periode t-1 sebelumnya. Jika terjadi korelasi, maka dinamakan ada problem autokorelasi (Ghozali, 2005:95). Tentu saja model regresi yang baik adalah yang terbebas dari problem autokorelasi. Deteksi ada atau tidaknya autokorelasi dengan menggunakan Uji Durbin-Watson: Tabel 3.2 Keputusan Durbin – Watson Hipotesis Nol
Keputusan
Jika
Tidak ada autokorelasi positif
Tolak
0 < d < dl
Tidak ada autokorelasi positif
No desicison
dl ≤ d ≤ du
Tidak ada korelasi negatif
Tolak
4 – dl < d 4
Tidak ada korelasi negatif
No decision
4 – du ≤ dl ≤ – dl
Tidak ada autokorelasi, positif
Tdk ditolak
du < d < 4 – du
atau negatif
d. Uji Heteroskedastisitas Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi terjadi ketidaksamaan varians dari residual suatu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika varians dari residual suatu pengamatan
ke
pengamatan
yang
homoskedastisitas.
Sebaliknya
jika
heteroskedastisitas.
Model
regresi
lain
varians yang
tetap,
maka
disebut
berbeda
maka
disebut
baik
tidak
terjadi
heteroskedastisitas. Salah satu cara untuk mendeteksi ada atau tidaknya heteroskedastisitas yaitu dengan melihat grafik plot antara nilai prediksi
variabel terikat (Y) dengan residualnya (X). Deteksi ada tidaknya heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan melihat ada tidaknya pola tertentu pada grafik scatterplot antara X dan Y di mana sumbu Y adalah yang telah diprediksi, dan sumbu X adalah residual (Y prediksi –Y sesungguhnya) yang telah di-studentized. Dasar pengambilan keputusan dari analisis ini adalah, jika ada pola tertentu seperti titik-titik yang ada membentuk suatu pola tertentu yang teratur maka mengindikasikan telah terjadi heteroskedastisitas. Sebaliknya jika tidak ada pola yang jelas, serta titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y, maka tidak terjadi heteroskedastisitas (Ghozali,2005: 105). 2. Metode Analisis Data a. Analisis Regresi Linier Berganda Metode analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesa penelitian ini adalah metode regresi linier berganda, yaitu metode analisis data yang dipakai untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel independen terhadap variabel dependennya yang dilakukan secara kuantitatif dengan bantuan statistik. Adapun rumus persamaan regresinya adalah sebagai berikut:
Keterangan :
Y= a + b1 x1 + b2 x 2 + b3 x3 + e
Y = Variabel Dependen (Pencairan tungakkan pajak)
x1 = Variabel Independen (Surat Teguran) x 2 = Variabel Independen (Surat Paksa)
x3 = Variabel Independen (Penyitaan Monetary Asset di Bank) a = Konstanta e = eror yang ditolerir (5%)
b1, b2 ,b3 = Koefisien regresi b. Uji R 2 (Koefisien Determinasi) Untuk menentukan seberapa besar variabel bebas dapat menjelaskan variabel terikat, maka perlu diketahui nilai koefisien determinasi (Adjusted R-Square). Koefisien Determinasi (R 2 ) pada intinya mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel terikat. Nilai koefisien determinasi adalah diantara nol dan satu. Jika Adjusted R-Square adalah sebesar 1 berarti fluktuasi variabel dependen seluruhnya dapat dijelaskan oleh variabel independen. Nilai Adjusted R-Square berkisar hampir 1, berarti semakin kuat kemampuan variabel independen
dapat
menjelaskan variabel dependen. Sebaliknya, jika nilai Adjusted R-Square semakin mendekati angka 0 berarti semakin lemah kemampuan variabel independen dapat menjelaskan variabel dependen (Ghozali, 2005: 85). Selanjutnya dengan menghitung koefisien determinasi yang merupakan kuadrat dari koefisien korelasi (r), akan diketahui seberapa besar hubungan variabel bebas (x) terhadap variabel terikat (y). c. Uji Statistik F Uji statistik F dilakukan untuk mengetahui hubungan variabelvariabel independen secara bersama-sama (simultan) terhadap variabel dependennya. Untuk mengetahui apakah variabel-variabel independen secara simultan mempengaruhi variabel dependen, maka digunakan tingkat signifikansi sebesar 0,05. Jika nilai probabilitas F lebih besar dari 0,05 maka Ho diterima, sedangkan jika nilai probabilitas lebih kecil dari 0.05 maka Ho ditolak (Ghozali,2005 :84).
d. Uji t- Statistik Uji t-Statistik digunakan untuk mengetahui hubungan masingmasing variabel independen secara individual (parsial) terhadap variabel dependen. Cara melakukan uji t ada dua yakni, melihat tingkat signifikansi dan dengan membandingkan antara nilai t-hitung dengan nilai t-tabel. Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh masing-masing variabel independen secara individual terhadap variabel dependen digunakan tingkat signifikansi 0,05, sedangkan untuk membandingkan nilai statistik t dengan titik kritis menurut tabel digunakan dengan ketentuan bahwa apabila nilai statistik thitung lebih tinggi dibandingkan nilai tabel, maka menerima hipotesis alternatif yang menyatakan bahwa suatu variabel independen secara individual mempengaruhi variabel dependen (Ghozali, 2005: 85).
BAB IV PENEMUAN DAN PEMBAHASAN
A. Sekilas Gambaran Umum Objek Penelitian
1. Sejarah Singkat Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Barat Kantor Wilayah DJP Jakarta Barat merupakan kantor wilayah yang saat ini menerapkan sistem administrasi perpajakan modern, merupakan bentuk baru yang sebelumnya Kantor Wilayah DJP Jakarta II. Kantor Wilayah yang
menerapkan sistem administrasi modern ini dibentuk melalui Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 55/PMK.01/2007 tanggal 31 Mei 2007 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 132/PMK.01/2006 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Pajak. Kantor Wilayah DJP Jakarta Barat yang sebelumnya merupakan Kanwil DJP Jakarta II yang beralamat di Jalan Gatot Subroto No. 40-42 Gedung A2 lantai 5-6, Jakarta Selatan sebelumnya mempunyai wilayah kerja meliputi Kotamadya Jakarta Barat yang terdiri dari tujuh Kantor Pelayanan Pajak, dua Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, dan dua Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak. Setelah adanya penerapan sistem administrasi modern, Kanwil DJP Jakarta Barat ini mempunyai wilayah kerja di Kotamadya Jakarta Barat yang membawahi sepuluh KPP Pratama dan satu KPP Madya, adalah sebagai berikut: a. KPP Pratama Jakarta Palmerah b. KPP Pratama Jakarta Grogol Petamburan c. KPP Pratama Jakarta Tamansari Satu d. KPP Pratama Jakarta Tamansari Dua e. KPP Pratama Jakarta Tambora f. KPP Pratama Jakarta Cengkareng g. KPP Pratama Jakarta Kalideres h. KPP Pratama Jakarta Kebon Jeruk Satu i. KPP Pratama Jakarta Kebon Jeruk Dua j. KPP Pratama Jakarta Kembangan k. KPP Madya Jakarta Barat
Kantor Wilyah DJP Jakarta Barat memiliki Luas wilayah Kotamadya Jakarta Barat adalah 12.817 Ha, jumlah penduduk sebanyak 1.565.947 jiwa, yang terdiri dari 447.138 KK. Seluas 9.474.2 Ha dari luas yang telah dikenakan PBB, dan sebanyak 118.133 jiwa telah terdaftar sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi. Sedangkan Batas Wilayah Kotamadya Jakarta Barat adalah: a.
Sebelah Utara berbatasan dengan Kotamadya Jakarta Utara dan Laut Jawa.
b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kotamadya Jakarta Selatan. c. Sebelah Timur berbatasan dengan Kotamadya Jakarta Pusat. d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten atau Kotamadya Tangerang. Sektor-sektor usaha yang mempunyai potensi perpajakan di Kanwil DJP Jakarta Barat adalah sektor usaha perumahan mewah, apartemen dan kondominium, pusat perbelanjaan, jasa, dan industri. Adapun potensi ekonomi yang mendominasi di wilayah Kotamadya Jakarta Barat adalah sektor usaha apartemen/kondominium dan real estate, perdagangan umum dan jasa, dan sektor industri. Terdapatnya kendala seperti terbatasnya sumber daya manusia, sulitnya pencarian sumber data di lapangan, dan kurang validnya data yang tersedia menyebabkan
Kanwil DJP Jakarta Barat harus berusaha untuk
menggali potensi ekonomi yang masih dapat digali di wilayah Kotamadya Jakarta Barat seperti sektor usaha di bidang pusat perbelanjaan dan perumahan mewah. 2. Sekilas Tentang Modernisasi Kanwil DJP Jakarta Barat Sesuai dengan kebijakan DJP yang ingin meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak dan ditambah dengan visi : “Menjadi model pelayanan masyarakat yang menyelenggarakan sistem dan manajemen perpajakan kelas dunia yang dipercaya dan dibanggakan oleh masyarakat dan segenap jajaran
Direktorat Jenderal Pajak”, maka langkah pertama yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak adalah menerapkan sistem administrasi perpajakan modern pada Kantor Wilayah DJP Jakarta Barat dan KPP Madya pada Kantor Wilayah DJP Jakarta Barat yang mengadministrasikan 314 Wajib Pajak Besar yang berada di Wilayah Jakarta Barat. Pada langkah selanjutnya dibentuk Kantor Pelayanan Pajak Pratama (KPP Pratama) sebagai hasil integrasi dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP), Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KPPBB), dan Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak (Karikpa). Penerapan sistem administrasi perpajakan modern pada Kanwil DJP Jakarta Barat dibentuk melalui Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 55/PMK.01/2007 tanggal 31 Mei 2007 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 132/PMK.01/2006 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Pajak, sedangkan penerapan sistem administrasi perpajakan modern pada KPP Madya Jakarta Barat telah diresmikan pada tanggal 9 April 2007. Pembentukan KPP Pratama telah diresmikan pada tanggal 12 Juni 2007 dan mulai beroperasi pada tanggal 2 Oktober 2007. Penerapan sistem administrasi modern tersebut akan membawa konsekuensi terjadinya perubahan yang mendasar baik menyangkut aspek struktur organisasi maupun implementasi pelayanan kepada Wajib Pajak. Struktur organisasi yang baru dirancang berdasarkan fungsi bukan per jenis pajak. Lain pada itu struktur organisasi yang baru ini relatif lebih ramping mengingat fungsi pemeriksaan yang selama ini dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Pajak dan terutama oleh Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak (Karikpa), dilaksanakan oleh Kantor Pelayan Pajak saja.
Perbaikan mutu pelayanan yang berkesinambungan yang diberikan pada Wajib Pajak merupakan satu hal mutlak yang harus dilakukan untuk menjembatani antara KPP dengan Wajib Pajak Serta mengoptimalkan fungsi bimbingan, konsultasi dan pembinaan kepada Wajib Pajak, maka ditunjuk Account Representative (AR). AR adalah pegawai yang ditunjuk sebagai liasion officer antara KPP dan Wajib Pajak yang bertanggung jawab dan berwenang untuk memberikan pelayanan secara langsung, edukasi, esistensi, serta mendorong dan mengawasi pemenuhan hak dan kewajiban Wajib Pajak. Berbagai fasilitas kemudahan dan kenyamanan pelayanan kepada Wajib Pajak diberikan
dengan
memanfaatkan
perkembangan
kemajuan
tekhnologi
Informasi. Berbagai fasilitas tersebut antaralain website, call centre, complaint centre, e-filling, e-SPT, one line payment dan sebagainya. Dalam rangka menjamin terwujudnya profesionalisme dan objektifitas kinerja. Pemeriksaan hanya dilakukan oleh KPP saja, kecuali pemeriksaan bukti permulaan dilaksanakan oleh Kantor Wilayah DJP Jakarta Barat. Dengan demikian terjadi pemisahan fungsi kerja yang sangat mendasar antara unit yang melakukan fungsi pemeriksaan dan/atau penerapan dengan unit yang melakukan fungsi penyelesaian keberatan. Sejalan dengan komitmen pemerintah untuk menjalankan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, kantor Wilayah DJP Jakarta Barat berikut unit-unit dibawahnya menerapkan perangkat dan sistem untuk mendukung terciptanya Good Corporate Governance. Perangkat yang tersedia yaitu Kode Etik pegawai DJP, Komite Kode Etik untuk melaksanakan kode etik, maupun kerja sama dengan Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan untuk meningkatkan intensitas dan efektifitas pengawasan, serta konsolidasi internal secara berkesinambungan.
3.
Struktur Organisasi Kanwil DJP Jakarta Barat Kantor Wilayah DJP Jakarta Barat di pimpin oleh seorang Kepala Kantor dan membawahi lima bidang dan satu bagian umum. Adapun bidang yang ada pada Kanwil DJP Jakarta Barat adalah sebagai berikut:
Kepala Kantor
Bagian Umum
Kelompok Jabatan Fungsional
Bidang Dukungan Teknis dan Komunikasi
Bidang Kerjasama Ekstensifikasi dan Penilaian
Bidang Pemeriksaan, Penyidikan, dan Penagihan Pajak
Bidang Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat
Bidang Pengurangan, Keberatan, dan Banding
Gambar 4.1 Struktur Organisasi Kanwil DJP Jakarta Barat
a. Bagian Umum Melaksanakan urusan kepegawaian, keuangan, tata usaha, rumah tangga, dan bantuan hukum. b. Kelompok Fungsional Pemeriksa Pajak Melakukan pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan dan penyidikan pajak. c. Bidang Dukungan Teknis dan Konsultasi Melaksanakan pemberian dukungan teknis komputer, bimbingan konsultasi, bimbingan penggalian potensi perpajakan, pengumpulan pencarian dan pengolahan data, serta penyajian informasi perpajakan. d. Bidang Kerjasama, Ekstensifikasi, dan Penilaian
Melaksanakan penyiapan dan urusan kerjasama perpajakan, melaksanakan bimbingan ekstensifikasi, pendataan dan penilaian serta bimbingan dan pemantauan pengenaan. e. Bidang Pemeriksaan, Penyidikan, dan Penagihan Pajak Melaksanakan bimbingan teknis
pemeriksaan dan penagihan pajak,
pemantauan pelaksanaan teknis pemeriksaan dan penagihan pajak, penelaahan hasil pelaksanaan pekerjaan pejabat fungsional pemeriksaan pajak (peer review), bantuan pelaksanaan penagihan, serta pelaksanaan urusan administrasi penyidikan termasuk pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan. f. Bidang Penyuluhan , Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Melaksanakan bimbingan dan pemantauan penyuluhan dan pelayanan perpajakan, melaksanakan urusan hubungan pelayanan masyarakat, serta melaksanakan penyuluhan dan pelayanan perpajakan yang menjadi tanggung jawab Kantor Wilayah. g. Bidang Pengurangan, Keberatan dan Banding Melaksanakan bimbingan dan urusan penyelesaian keberatan, pembetulan ketetapan pajak yang tidak benar, pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, pengurangan sanksi administrasi, proses banding, proses gugatan, dan Peninjauan Kembali.
4. Uraian Tugas a. Sumber daya Seksi Penagihan dan Uraian Tugas Seksi bimbingan Penagihan pada Kanwil DJP Jakarta Barat
Sumber daya seksi penagihan pada Kanwil DJP Jakarta Barat terdiri dari satu Kepala Bidang, satu orang Kepala Seksi dan dua orang Pelaksana. Adapun uraian tugas pada seksi penagihan akan dibahas selanjutnya di bawah ini. Dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 162/ KMK.1/2005 tentang Uraian Jabatan Struktural dan Pelaksana Kantor Wilayah DJP Jakarta II, atau saat ini Kantor Wilayah DJP Jakarta Barat, Kantor Pelayanan Pajak Madya, dan
Kantor Pelayanan Pajak Pratama di
lingkungan Kantor Wilayah Jakarta Barat uraian tugas dan kegiatan Penagihan adalah sebagai berikut: 1) Mengkoordinasikan penyusunan rencana Seksi Bimbingan Penagihan sebagai bahan penyusunan rencana kerja Bidang Pemeriksaan, Penyidikan, dan Penagihan Pajak; 2) Mengkoordinasikan pembuatan konsep surat persetujuan/usul perbaikan mengenai rencana penagihan pajak; 3) Mengkoordinasikan penyusunan kompilasi laporan penagihan pajak; 4) Mengkoordinasikan laporan penagihan pajak sebagai bahan bimbingan penagihan pajak; 5) Mengkoordinasikan
penyusunan
konsep
surat
tanggapan
atas
permasalahan yang berkaitan dengan penagihan pajak; 6) Mengkoordinasikan
pemantauan
pelaksanaan
kebijakan
teknis
penagihan pajak; 7) Mengkoordinasikan pemberian bimbingan teknis dan administrasi penagihan pajak; 8) Mengkoordinasikan pelaksanaan administrasi penagihan pajak;
9) Mengkoordinasikan
pembuatan
konsep
surat
persetujuan
usul
penghapusan piutang pajak; 10) Mengkoordinasikan pengevaluasian Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dari instansi pengawasan fungsional; 11) Membimbing bawahan pada Seksi Bimbingan untuk meningkatkan motivasi dan prestasi kerja; 12) Mengkoordinasikan penyusunan laporan berkala Seksi Bimbingan Penagihan
sebagai
bahan
penyusunan
laporan
berkala
Bidang
Pemeriksaan, Penyidikan, dan Penagihan Pajak. Disamping uraian tugas tersebut di atas, terdapat tugas lain yang sebaiknya dilakukan oleh Seksi Bimbingan Penagihan, antara lain: 1) Membagi target pencairan tunggakan pajak per KPP berdasarkan target yang ditetapkan oleh Kantor Pusat Per kanwil; 2) Membantu pelaksanaan penagihan dengan melakukan panggilan Wajib Pajak/Penunggak Pajak terbesar dalam lingkungan Kanwil untuk menghimbau dan memberikan opsi-opsi kepada penanggung pajak dalam rangka menyelesaikan tunggakan pajaknya; 3) Memberikan solusi dan saran atas kasus-kasus penagihan yang terjadi di KPP Madya atau Pratama; 4) Melakukan koordinasi dengan kasi Penagihan Di KPP Madya dan Pratama untuk menyamakan langkah dalam rangka mencairkan tunggakan pajak di lingkungan kanwil dengan cara pertemuan rutin; 5) Memantau realisasi pencairan tunggakan pajak pada KPP Madya dan Pratama setiap bulan dan memberikan bimbingan dan arahan kepada Kepala Seksi Penagihan yang pencairan tunggakannya dirasa kurang;
6) Mendampingi Kasi Penagihan KPP Madya dan Pratama pada waktu mengadakan lelang; 7) Menjalin kerjasama dengan Aparat Pemda untuk menyukseskan pencairan tunggakan PBB dan BPHTB; 8) Memantau proses pengurangan, keberatan, dan banding yang diajukan oleh WP dengan menjalin kerjasama dengan Bidang Pengurangan, Keberatan dan Banding di Kanwil, kemudian menginformasikan kepada Kepala Seksi Penagihan di KPP Madya dan Pratama.
b. Uraian Tugas Seksi Penagihan pada KPP
Madya dan Pratama di
Lingkungan Kanwil DJP Jakarta Barat Unit kerja pada Seksi Penagihan KPP Madya dan Pratama yang berada di wilayah DJP Jakarta Barat terdiri atas Kepala Seksi Penagihan dan Pelaksana yang terdiri dari Penata Usaha Piutang Pajak dan Jurusita Pajak. Adapun tugas Seksi Penagihan secara umum pada setiap KPP Madya dan Pratama antara lain: 1) Melakukan urusan penatausahaan piutang pajak, 2) Melakukan penagihan aktif seperti menerbitkan Surat Teguran, Surat Paksa, Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP), sampai dengan pelelangan harta kekayaan milik Penunggak Pajak, 3) Melakukan urusan penundaan angsuran tunggakan pajak, 4) Pembuatan usulan penghapusan piutang pajak, 5) Penyimpanan dokumen-dokumen penagihan sesuai ketentuan yang berlaku.
B. Penemuan dan Pembahasan
1. Peran Jurusita Pajak Dalam Pelaksanaan Penagihan Aktif Di Wilayah DJP Jakarta Barat Pelaksanaan kegiatan penagihan di wilayah DJP Jakarta Barat khususnya penagihan aktif dilaksanakan oleh Jurusita Pajak yang rata-rata terdiri dari tiga orang Jurusita Pajak pada setiap KPP yang berada di wilayah DJP Jakarta Barat. Penagihan ini dimulai sejak Surat Ketetapan Pajak jatuh tempo masa pembayarannya yaitu satu bulan sejak tanggal terbit. Secara teori Surat Teguran terbit tujuh hari sejak saat jatuh tempo pembayaran, 21 hari kemudian diterbitkan Surat Paksa, dalam 2x24 jam tunggakan pajak tetap saja tidak dilunasi setelah Surat Paksa terbit, maka diterbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP). Selanjutnya, jika tunggakan pajak tersebut tetap tidak dilunasi dalam jangka waktu 14 hari dari penerbitan SPMP maka pejabat melaksanakan pengumuman lelang, dan akhirnya 14 hari setelah pengumuman lelang, eksekusi lelang dilaksanakan. Akan tetapi, dalam kenyataannya Seksi Penagihan pada setiap KPP yang berada di Kanwil DJP Jakarta Barat jarang memenuhi kriteria waktu minimal tersebut. Jurusita Pajak sebagai ujung tombak penagihan aktif mempunyai tugas dan tanggung jawab yang tidak ringan. Pada pelaksanaan tugas penagihan pajak Jurusita Pajak harus berhadapan langsung dengan WP/PP. Tujuan penagihan pajak adalah agar WP/PP melunasi tunggakan pajaknya ditambah dengan biaya untuk menagih besarnya tunggakan pajaknya tersebut (sesuai dengan definisi penagihan pajak). Adapun tindakan penagihan yang dilakukan oleh Jurusita Pajak tolak ukur terakhirnya adalah pelunasan tunggakan pajak. Penyampaian Surat Teguran, Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP),
hingga pelaksanaan lelang akan terasa sia-sia apabila tunggakan pajak dan biaya penagihan tidak dapat dilunasi, walaupun standar prestasi kerja dapat dicapai. Untuk mengetahui seberapa besar peran Jususita Pajak dalam pelaksanaan penagihan aktif di wilayah DJP Jakarta Barat periode 2004-2007 dapat dilihat pada tabel 4.1 dan dijelaskan sebagai berikut:
Tabel 4.1 Laporan Kegiatan Penagihan di Wilayah DJP Jakarta Barat Tahun Anggaran 2004, 2005, 2006, 2007 (dalam satuan lembar) STP/SKPKB/S KPKBT/SK.PE M/SK.KEB/ PUT. BAN. YG BELUM LUNAS TRIWULAN
SURAT TEGURAN
PENGUMUMAN
SURAT PAKSA
SPMP
LELANG
LELANG
I
2004
101,204
4.342
637
95
2
2
II
2004
114,567
5.659
846
104
1
1
III
2004
117,723
7.579
1155
130
8
6
IV
2004
116,258
85.79
1039
90
12
12
Total 449,752 26.159 3.677 419 23 Sumber: diolah oleh penulis dari Laporan Kegiatan Penagihan Kanwil DJP Jakarta Barat tahun anggaran 2004 STP/SKPKB/S KPKBT/SK.PE M/SK.KEB/ PUT. BAN. YG BELUM LUNAS TRIWULAN
SURAT TEGURAN
21
PENGUMUMAN
SURAT PAKSA
SPMP
LELANG
LELANG
I
2005
102,581
4.128
569
50
4
5
II
2005
102,077
3.343
738
49
9
6
III
2005
63,093
3.065
625
58
10
5
IV
2005
93,901
4.188
743
37
6
11
Total 361,652 14.724 2,675 194 29 Sumber: diolah oleh penulis dari Laporan Kegiatan Penagihan Kanwil DJP Jakarta Barat tahun anggaran 2005
27
STP/SKPKB/SKP KBT/SK.PEM/SK .KEB/PUT . BAN. YG BELUM LUNAS TRIWULAN
SURAT TEGURAN
PENGUMUMAN
SURAT PAKSA
SPMP
LELANG
LELANG
I
2006
92,421
4.460
640
46
3
3
II
2006
191,342
4.126
954
73
4
2
III
2006
90,878
3.096
804
32
6
11
IV
2006
90,800
4.901
1.402
52
10
24
Total 465,441 16.583 2,399 203 23 Sumber: diolah oleh penulis dari Laporan Kegiatan Penagihan Kanwil DJP Jakarta Barat tahun anggaran 2006 STP/SKPKB/SKP KBT/SK.PEM/SK .KEB/PUT .BAN YG BELUM LUNAS TRIWULAN
SURAT TEGURAN
40
PENGUMUMAN
SURAT PAKSA
SPMP
LELANG
LELANG
I
2007
97,555
4.722
744
47
4
4
II
2007
95,388
7.341
1.566
99
5
5
III
2007
92,881
7.787
1.789
112
10
9
IV
2007
92,366
8.186
2.027
171
13
12
Total 378,190 28.036 6.126 429 32 Sumber: diolah oleh penulis dari Laporan Kegiatan Penagihan Kanwil DJP Jakarta Barat tahun anggaran 2007
30
a. Surat Teguran Surat Teguran dikirimkan oleh Seksi Penagihan khususnya Jurusita Pajak pada setiap KPP yang berada di wilayah DJP Jakarta Barat setelah lewat tujuh hari dari saat jatuh tempo utang pajak yang terdapat dalam STP/SKPKB/SKPKBT/SK. Pem/SK. Keb/Put. Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah atau belum dilunasi oleh WP/PP. Menurut laporan kegiatan penagihan di wilayah DJP Jakarta Barat tahun anggaran 2004, 2005, 2006, dan 2007 menunjukan bahwa STP /SKPKB / SKPKBT/ SK. Pem/ SK. Keb /Put. Banding yang belum lunas sebanyak 449.752 lembar, 361.652 lembar, 465.441 lembar, dan 378,190 lembar untuk tahun anggaran 2004 sampai dengan 2007. Dari jumlah STP/ SKPKB/ SKPKBT/ SK.Pem/ SK.Keb/ Put. Banding yang telah diterbitkan
dan belum lunas tersebut dari situ telah diterbitkan Surat Teguran sebanyak 26.159 lembar untuk tahun 2004, 14.724 lembar untuk tahun 2005, 16.583 lembar untuk tahun 2006, dan sebanyak 28.036 lembar Surat Teguran untuk tahun anggaran 2007. b. Surat Paksa Surat Paksa diterbitkan 21 hari setelah diterbitkannya Surat Teguran, dengan catatan utang pajak yang dimaksud belum atau tidak dibayar oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak. Biaya penyampaian Surat Paksa ini termasuk dalam biaya penagihan yang akan dibebankan kepada WP/PP. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI No.135 tentang Penagihan Pajak dengan
Surat
Paksa.
Pada
tabel
4.1
menunjukan
bahwa
dari
STP/SKPKB/SKPKBT/SK. Pem/SK.Keb/Put.Banding yang belum lunas tahun anggaran 2004, 2005, 2006, dan 2007 yang telah dipaparkan sebelumnya dari situ telah diterbitkan Surat Paksa sebanyak 14.877 lembar. Dengan rincian 3.677 lembar Surat Paksa diterbitkan selama tahun 2004, 2.675 lembar Surat Paksa diterbitkan selama tahun anggaran 2005, 2.399 lembar Surat Paksa diterbitkan selama tahun anggaran 2006, dan sebanyak 6.126 lembar Surat Paksa diterbitkan selama tahun anggaran 2007. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa pemberitahuan Surat Paksa selama tahun 2004, 2005, 2006, dan 2007 hanya sebesar 14.1% (3.677/26.159) tahun 2004, 18.2 % (2.675/14.724) tahun 2005, 14.5% ( 2.399/16.583), dan 21.9% untuk tahun 2007, dari Surat Teguran yang diterbitkan. Hal tersebut disebabkan karena satu Surat Paksa dapat terdiri dari beberapa Surat Teguran, WP/PP telah melunasi utang pajaknya, banyak alamat WP yang tidak ditemukan, WP sedang mengajukan keberatan, dan
jika dari semua Surat Teguran yang ditindaklanjuti dengan Surat Paksa maka biaya penagihan akan menjadi lebih besar. Tetapi jika kita lihat secara seksama dapat disimpulkan bahwa Jurusita Pajak sangat berperan dalam proses penagihan pajak guna meningkatkan penerimaan pajak. Karena Jurusita Pajak yang hanya berjumlah tiga orang per KPP jika dirata-rata, tidak sebanding dengan banyaknya Surat Teguran dan Surat Paksa yang harus ia kirimkan kepada WP/PP yang berjumlah ribuan atau ratusan WP/PP. Oleh karena itu, atas kerja keras Jurusita Pajak diberikan penghargaan (reward) dan sanksi (punishment) bagi Jurusita Pajak yang tidak mengindahkan peraturan perundang-undangan perpajakan di bidang penagihan. c. Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP) Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP) diterbitkan 2 x 24 Jam setelah disampaikannya Surat Paksa oleh Jurusita Pajak kepada WP/PP. Dari 3.677 lembar pemberitahuan Surat Paksa selama tahun 2004, 2.675 lembar selama tahun 2005, 2.399 lembar selama tahun 2006, dan 6.126 lembar selama tahun 2007, hanya dikeluarkan SPMP sebanyak 419 lembar selama tahun 2004, 194 lembar selama tahun 2005, 203 lembar selama tahun 2006, dan 429 lembar selama tahun 2007. Hal tersebut dikarenakan, WP/PP telah melunasi utang pajaknya setelah diterbitkan Surat Paksa, banyak alamat WP yang tidak ditemukan, WP sedang mengajukan keberatan, dalam pelaksanaan penyitaan kemungkinan objek sita tidak ditemukan, dan jika dari semua pemberitahuan Surat Paksa ditindak lanjuti dengan penerbitan SPMP maka biaya penagihan akan menjadi lebih besar. d. Pengumuman Lelang dan Pelaksanaan Lelang
Dari tabel 4.1 dapat diketahui bahwa pengumuman lelang dan pelaksanaan lelang yang terjadi selama tahun anggaran 2004 hingga 2007 adalah sebanyak 107 kali pengumuman lelang dan 118 kali pelaksanaan lelang yaitu 23 kali pengumuman lelang dan 21 kali pelaksanaan lelang terjadi selama tahun anggaran 2004, 29 kali pengumuman lelang dan 27 kali pelaksanaan lelang terjadi selama tahun anggaran 2005, 23 kali pengumuman lelang dan 40 kali pelaksanaan lelang terjadi selama tahun anggaran 2006, dan selama tahun anggaran 2007 pengumuman lelang sebanyak 32 kali sedangkan pelaksanaan lelang sebanyak 30 kali. Mengacu pada standar prestasi pelaksanaan kegiatan penagihan pajak bahwa pelaksanaan lelang minimal satu kali lelang per triwulan per KPP. Pada tahun anggaran 2004, 2005 dan 2006 Kantor Pelayanan Pajak yang berada di Wilayah DJP Jakarta Barat adalah berjumlah 7 KPP, sedangkan pada pertengahan tahun 2007 setelah adanya reorganisasi dan modernisasi perpajakan, Kantor Pelayanan Pajak yang ada berjumlah 11. Dari data tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa seharusnya pelaksanaan lelang yang terjadi pada tahun 2004, 2005 dan 2006 sebanyak 28 kali (7 KPP x Standar minimum pelaksanaan lelang yaitu 1 kali x banyaknya triwulan yaitu 4 kali). Sedangkan tahun 2007 pelaksanaan lelang yang seharusnya dilaksanakan pada Triwulan I dan II sebelum adanya modernisasi sebanyak 14 kali (7 KPP x Standar minimum pelaksanaan lelang yaitu 1 kali x banyaknya triwulan yaitu 2 kali). Pelaksanaan lelang yang seharusnya terjadi pada Triwulan III dan IV setelah
adanya
modernisasi perpajakan sehingga KPP berjumlah 11 KPP yang terdiri dari
10 KPP Pratama dan satu KPP Madya adalah 22 kali (11 KPP x Standar minimum pelaksanaan lelang yaitu 1 kali x banyaknya triwulan yaitu 2 kali). Akan tetapi pada kenyataannya pelaksanaan lelang yang terjadi selama tahun anggaran 2004 sebanyak 21 kali pelaksanaan lelang, tahun anggaran 2005 sebanyak 27 kali lelang, tahun anggaran 2006 sebanyak 40 kali lelang dan tahun anggaran 2007 sebanyak 30 kali pelaksanaan lelang. Hal tersebut berarti prestasi pelaksanaan penagihan pajak tahun anggaran 2004 dan 2005 masih di bawah standar yang telah ditetapkan. Pada tahun anggaran 2006 prestasi yang diperoleh cukup baik karena pelaksanaan lelang melebihi standar minimum yang telah ditetapkan. Pada pertengahan tahun anggaran 2007 karena adanya reorganisasi dan terjadinya modernisasi di wilayah DJP Jakarta Barat prestasi pelaksanaan penagihan masih di bawah standar. Hal tersebut dikarenakan tidak semua Kantor Pelayanan Pajak yang berada di Wilayah DJP Jakarta Barat melaksanakan tindak penagihan dengan upaya pelelangan, dan banyak kendala yang dihadapi Jurusita Pajak saat melaksanakan penagihan dengan upaya pelelangan, salah satunya berasal dari WP/PP yang berusaha mencegah Jurusita Pajak untuk tidak melaksanakan pelelangan ataupun tidak ditemukannya harta WP/PP karena WP/PP tidak memberitahukan harta kekayaannya sebagai objek sita untuk melunasi tunggakan pajaknya. 2. Rencana Penagihan Pajak Terhadap Perkembangan Tunggakan Pajak Serta Realisasi Penerimaan Pajak Menurut data, sejak tahun 2004 hingga tahun 2006 realisasi penerimaan pajak yang diperoleh Kantor Wilayah DJP Jakarta Barat tidak mencapai target yang telah ditetapkan pada awal periode. Data tersebut dapat di lihat pada tabel
4.2. Tabel ini memperlihatkan rencana dan realisasi penerimaan pajak pada Kanwil DJP Jakarta Barat tahun anggaran 2004 sampai dengan tahun 2006 diluar penerimaan PBB dan BPHTB, sedangkan realisasi penerimaan 2007 merupakan penerimaan pajak secara umum ditambah dengan PBB dan BPHTB. Pada tabel tarsebut mengindikasikan bahwa tahun 2004 hingga tahun 2006 realisasi penerimaan pajak oleh Kanwil DJP Jakarta Barat tidak mencapai target perencanaan yang ditetapkan pada awal periode tersebut yaitu sebesar 10.3% dari rencana tahun anggaran 2004, 16,4 % dari rencana tahun 2005, dan 18,3% dari rencana tahun 2006. Hal tersebut bukan berarti bahwa kinerja Kanwil DJP Jakarta Barat tidak maksimum, melainkan target yang ditetapkan cukup besar dan tidak sesuai dengan periode berjalan, serta banyak faktor maupun kendala yang dialami seperti adanya penurunan pajak di sektor perdagangan, tingkat inflasi, besarnya tunggakan pajak yang belum dilunasi, dan hal lain yang menyebabkan tidak tercapainya penerimaan pajak. Dari tabel 4.2 dapat dilihat bahwa penerimaan pajak yang sebelumnya tidak sesuai target yang direncanakan pada periode 2004-2006, pada periode 2007 mengalami peningkatan sebesar 8.9% dari rencana penerimaan pajak tahun anggaran 2007 dengan persentase realiasi sebesar 108.9%. Tabel 4.2 Rencana Penagihan Pajak dan Realisasi Penerimaan Pajak Pada Kanwil DJP Jakarta Barat Tahun Anggaran 2004-2007
(dalam jutaan rupiah) Tahun Anggaran
Rencana (Jutaan Rupiah)
Realisasi (Jutaan Rupiah)
Persentasi realisasi
2004
4.456365,81
3.996.508,83
89,7%
2005
5.785.827,63
4.856.912,28
83.9 %
2006
6.627.527,89
5.416.471,61
81.7%
2007
6.508.502,79
7.093.662.28
108.9%
Sumber: diolah oleh penulis dari Laporan Realisasi Penerimaan Kanwil DJP Jakarta Barat tahun anggaran 2005-2007
Penerimaan dari Seksi Penagihan tidak dapat ditargetkan melalui perencanaan penerimaan, karena penerimaan seksi penagihan tergantung pada tunggakan pajak yang terjadi. Kalaupun ada target, pencapaiannya pastilah dihitung dari jumlah tunggakan pajak yang terjadi ataupun tunggakan yang telah terjadi tahun-tahun sebelumnya. Kebijakan penagihan Pajak untuk tunggakan pajak adalah 50% dari jumlah tunggakan yang ada. Tabel 4.3 memperlihatkan perkembangan tunggakan pajak yang terjadi selama tahun anggaran 2004-2007 pada Kanwil DJP Jakarta Barat. Perhitungan prestasi pencairan tunggakan pajak caranya adalah pengurangan dibagi dengan besarnya tunggakan awal periode. Dari tabel 4.3 dapat diketahui bahwa prestasi atas pencairan tunggakan pajak periode 2004 sebesar 65% (426.800.529/657.742.093) sehingga melebihi kebijakan yang telah ditetapkan yaitu 50% dari total tunggakan yang ada. Begitu pula pada tahun anggaran 2005 prestasi pencairan tunggakan pajak yang dicapai sebesar 61% (447.374.190/738.296.832) melebihi kebijakan yang telah ditetapkan yaitu 50% dari tunggakan yang ada. Sedangkan untuk tahun anggaran 2006 dan 2007 pencairan tunggakan kurang dari kebijakan yang telah ditetapkan yaitu 48% (444.990.188/925.264.074) untuk tahun anggaran 2006 dan 48% (383.164.562/801.283.309) dari total tunggakan yang ada pada periode tersebut.
Tabel 4.3 Laporan Perkembangan Tunggakan Pajak
Kanwil DJP Jakarta Barat Tahun Anggaran 2004 – 2007 (dalam ribuan rupiah) Tahun
2004
Triwulan
I
II
III
IV
Total
Tunggakan awal
657.742.093
718.538.441
715.954.751
715.564.073
657.742.093
Penambahan
159.946.570
86.486.884
77.142.402
183.779.412
507.355.268
Pengurangan
99.150.222
89.070.574
81.533.080
157.046.653
426.800.529
718.538.441
715.954.715
711.564.073
738.296.832
738.296.832
Prestasi pengurangan (%) 15 12 11 22 Sumber: diolah oleh penulis dari Laporan Perkembangan Tunggakan Pajak Kanwil DJP Jakarta Barat tahun anggaran 2004
65
Tunggakan akhir
Tahun
2005
Triwulan
I
Tunggakan awal
II
III
IV
Total
738,296,832
705,723,412
817,043,802
916,806,276
738,296,832
Penambahan
96,371,580
204,800,295
232.962.330
100,207,227
634.341.432
Pengurangan
128,945,000
93,479,905
133,199,856
91,749,429
447.374.190
Tunggakan akhir
705,723,412
817,043,802
916,806,276
925,264,074
925,264,074
Prestasi pengurangan (%) 17 13 16 10 Sumber: diolah oleh penulis dari Laporan Perkembangan Tunggakan Pajak Kanwil DJP Jakarta Barat tahun anggaran 2005
61
Tahun
2006
Triwulan
I
II
III
IV
Total
Tunggakan awal
925,264,074
808,636,819
810,661,931
816,925,583
925,264,074
Penambahan
105,151,885
90,163,694
70,192,498
55,501,346
321,009,423
Pengurangan
221,779,140
88,138,582
63,928,846
71,143,620
444,990,188
Tunggakan akhir
808,636,819
810,661,931
816,925,583
801,283,309
801,283,309
Prestasi pengurangan (%) 24 11 8 9 Sumber: diolah oleh penulis dari Laporan Perkembangan Tunggakan Pajak Kanwil DJP Jakarta Barat tahun anggaran 2006
48
Tahun
2007
Triwulan
IV
Total
Tunggakan awal
801,283,309
I
834,680,716
855,389,233
927,552,213
801,283,309
Penambahan
114,043,539
184,484,866
143,953,350
34,227,406
476,709,161
Pengurangan
80,646,132
163,776,349
71,790,370
66,951,711
383,164,562
834,680,716
855,389,233
927,552,213
894,827,908
894,827,908
Prestasi pengurangan (%) 10 20 8 7 Sumber: diolah oleh penulis dari Laporan Perkembangan Tunggakan Pajak Kanwil DJP Jakarta Barat tahun anggaran 2007
48
Tunggakan akhir
II
III
Selain itu untuk mendukung tercapainya rencana penerimaan Pajak, setiap KPP yang berada di Wilayah DJP Jakarta Barat harus menetapkan umur tunggakan pajak per tahun terbitnya Ketetapan Pajak yang menjadi dasar
tunggakan pajak dan tahun terbitnya Keputusan Keberatan dan banding yang menambah jumlah tunggakan pajak, menentukan penilaian kualitas tunggakan pajak, dan mengelompokan tunggakan pajak berdasarkan klasifikasi lapangan usaha Wajib Pajak. Kategori umur tunggakan dan kualitas tunggakan dapat dilihat pada tabel 4.4 di bawah ini. Tabel 4.4 Kategori Umur Tunggakan dan Kriteria Kualitas Tunggakan Pajak
Kategori umur tunggakan
Kriteria kualitas tunggakan
• ≤ 6 bulan • > 6 bulan s.d 1 tahun • > 1 tahun s.d 3 tahun • > 3 tahun s.d 5 tahun • > 10 tahun Lancar apabila WP/PP bersikap kooperatif dan membayar atau mengangsur tunggakan pajak hingga lunas atau diperkirakan lunas dalam kurun waktu satu tahun Kurang Lancar apabila WP/PP bersikap kooperatif dan membayar atau mengangsur tunggakan pajak tetapi tidak lunas atau diperkirakan tidak lunas dalam kurun waktu satu tahun tetapi mempunyai kemampuan untuk membayar tunggakan pajaknya. Dalam perhatian khusus apabila WP/PP bersikap kooperatif tetapi sedang melakukan upaya hukum (keberatan/banding/PK). Diragukan apabila WP/PP bersikap kooperatif tetapi tidak memiliki aset yang cukup untuk melunasi tunggakan pajaknya, WP/PP sedang proses bubar atau pailit, dan sebab lain sehingga tunggakan pajak diragukan pencairannya/pelunasannya. Macet apabila WP/PP tidak ditemukan dan tunggakan pajak sudah daluarsa.
3. Kendala Yang Terjadi Dalam Proses Penagihan Pajak Secara teoritis tindakan penagihan dapat dilaksanakan dengan tepat dan lancar. Akan tetapi pada kenyataannya banyak masalah yang timbul dalam proses pelaksanaan panagihan pajak baik yang berasal dari pihak ekstern seperti dari Wajib Pajak/ Penanggung Pajak, dari peraturan perundang-undangan, dan pihak ketiga, maupun hambatan yang bersal dari intern itu sendiri yang
kesemuanya akan berdampak pada ketepatan waktu penagihan dan realisasi pencairan tunggakan pajak. Berikut ini penulis akan membahas mengenai hambatan atau kendala yang terjadi selama proses penagihan pajak secara umum pada Kantor Pelayanan Pajak baik Madya maupun Pratama yang ada di lingkungan Wilayah DJP Jakarta Barat. Dalam hal ini penulis memperoleh data secara langsung dengan melakukan wawancara beberapa pegawai pada sub-sub dinas yang berkaitan dengan masalah penelitian. a. Hambatan yang berasal dari pihak ekstern 1) Hambatan yang berasal dari Wajib Pajak dan atau Penanggung Pajak Dalam pelaksanaan penagihan pajak acapkali terdapat hambatan yang berasal dari Wajib Pajak dan atau Penanggung Pajak yang dialami oleh Seksi Penagihan pada umumnya dan Jurusita Pajak pada khususnya. Hambatan tersebut yang pertama, WP/PP tidak memberikan alamat yang jelas dan meng up-date data apabila terjadi perubahan alamat, sehingga pihak fiskus tidak dapat melaksanakan penagihan karena tidak mengetahui alamat WP/PP yang baru. Kedua, hambatan yang terjadi dalam proses penagihan pajak adalah sulit mengetahui harta kekayaan milik WP/PP disebabkan data mengenai kekayaan WP/PP tidak memadai dan tidak up-date, sehingga apabila dilakukan penyitaan Jurusita Pajak akan mengalami kesulitan dalam menemukan harta yang dapat disita saat melaksanakan SPMP. Selain itu, ada WP/PP yang tidak mempunyai itikad baik untuk melunasi tunggakan pajaknya. Hal tersebut seringkali dijumpai oleh Jurusita Pajak di lapangan, bahwa WP/PP dengan sengaja menutup-nutupi data
kekayaan yang dimiliki atau dikuasainya dan bahkan ada WP/PP yang memberikan data yang menyesatkan tentang data kekayaannya. Dengan data yang diberikannya tentang harta kekayaan WP/PP yang seadanya tersebut, kebanyakan Jurusita hanya dapat menyita barang-barang keperluan kantor seperti komputer, televisi dan lainnya yang nilainya jauh lebih rendah dari tunggakan pajaknya. Hambatan yang ketiga, WP/PP berusaha menghalang-halangi Jurusita Pajak, bahkan tidak memperbolehkan menyita
harta
kekayaannya dengan mengerahkan segenap karyawannya sehingga berdampak pada tidak cairnya tunggakan pajak.
2) Hambatan yang berasal dari peraturan perundang-undangan Hambatan yang berasal dari peraturan perundang-undangan yang acapkali dialami oleh seksi penagihan pada umumnya dan Jurusita Pajak pada khususnya adalah kurang tersosialisasinya peraturan perundangundangan perpajakan itu sendiri dan belum jelasnya petunjuk pelaksanaan di bidang perpajakan, akibatnya akan menimbulkan masalah atau hambatan yang berasal dari Wajib Pajak karena WP tidak paham atas peraturan yang ada. Hal tersebut disebabkan karena suatu peraturan adakalanya tidak dimengerti secara jelas atau kurang jelas, sehingga diperlukan suatu cara atau interpretasi (penapsiran) untuk menerobos peraturan yang tidak atau kurang jelas tersebut. Ketidakjelasan atau kekurang jelasan suatu peraturan bisa disebabkan adanya kesenjangan antara peraturan yang sifatnya tertulis
dengan kesadaran hukum suatu masyarakat yang ada, atau memang peraturan tersebut tidak dapat dimengerti atau bahkan mempunyai pengertian yang berbeda-beda menurut bahasa yang ada. Ketidak jelasan tersebut menuntut sosialisasi yang baik dari pihak pemerintah dan WP itu sendiri agar tercapainya keseragaman mengenai interpretasi terhadap peraturan tersebut dan tujuan dari peraturan tersebut dapat tercapai.
3) Hambatan yang berasal dari pihak ke tiga Hambatan yang berasal dari pihak ketiga seperti Pihak Bank, Kelurahan, Kepolisian, Kejaksaan, Departemen yang membidangi Hukum Badan Pertanahan Nasional, atau pihak lain yang acapkali dialami oleh seksi penagihan pada umumnya dan Jurusita Pajak pada khususnya adalah kurangnya pengetahuan pihak ketiga mengenai ketentuan perpajakan khususnya mengenai kewajiban pihak ketiga dalam membantu bilamana Ditjen Pajak meminta bantuan dalam pelaksanaan penagihan pajak yang dilakukan Jurusita Pajak untuk menagih utang pajak. Contohnya: Pihak bank kadang kala tidak memberitahukan
saldo
rekening
nasabahnya
yang
melakukan
penunggakan di bidang perpajakan jika tidak ada kuasa dari Wajib Pajak ataupun perintah Bank Indonesia, karena terkait dengan prinsip kerahasiaan bank, contoh lain seperti pihak kelurahan kadang sulit dimintai bantuannya sebagai saksi dalam hal penyitaan tidak dihadiri oleh Wajib Pajak/ Penanggung Pajak. b. Hambatan yang berasal dari pihak intern
Beberapa hambatan yang telah di paparkan diatas merupakan sebagian dari sejumlah hambatan yang bersal dari pihak ekstern, di bawah ini akan dipaparkan mengenai hambatan yang berasal dari pihak intern yang kerap dialami seksi penagihan, khususnya Jurusita Pajak. Pertama, minimnya fasilitas Jurusita Pajak terutama mengenai kendaraan dinas sehingga menghambat pelaksanaan penagihan pajak seperti pelaksanaan penyitaan terhadap harta kekayaan milik penanggung pajak. Hambatan kedua, minimnya jumlah Jurusita Pajak yang ada pada setiap Kantor Pelayanan Pajak baik Madya maupun Pratama di Wilayah DJP Jakarta Barat yang rata-rata berjumlah tiga orang Jurusita Pajak per KPP tidak sebanding dengan jumlah ketetapan pajak yang diterbitkan hingga ratusan ribu lembar per Kantor Pelayanan Pajak serta banyaknya Surat Teguran dan Surat Paksa yang harus dikirimkan oleh Jurusita kepada WP/PP. Hambatan yang ketiga berasal dari fiskus itu sendiri baik dari seksi penagihan maupun seksi lainnya acapkali dialami Jurusita Pajak seperti, fiskus jarang mengup-date data Wajib Pajak pada setiap kesempatan seperti perubahan alamat sehingga menyulitkan Jurusita Pajak untuk melaksanakan penyitaan karena ia harus mencari dulu alamat Wajib Pajak/Penanggung Pajak dan kadang kala terhadadap Wajib pajak yang telah bubar atau meninggal dunia masih saja diterbitkan STP, sehingga menyulitkan Jurusita Pajak untuk melaksanakan tugasnya. 4. Sudut Pandang Psikologis Mengapa WP/PP Enggan Untuk Membayar Tunggakan Pajaknya
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa pajak merupakan pilar pembangunan bangsa, karena potensi yang dihasilkan dari penerimaan pajak cukup signifikan, mengakibatkan berbagai upaya pemerintah khususnya Direktorat Jenderal Pajak untuk melakukan serangkaian tindakan seperti yang kita lihat saat ini yaitu melakukan reorganisasi dan mengubah sistem administrasi perpajakan modern di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak agar tujuan utamanya yaitu penerimaan pajaknya meningkat dari tahun ke tahun. Walaupun
dalam
kenyataannya
penerimaan
dari
sektor
pajak
diupayakan meningkat, akan tetapi apabila dalam pelaksanaannya ditemui WP/PP yang tidak mengindahkan peraturan perpajakan dengan tidak memenuhi kewajiban perpajakannya maka pihak fiskus harus bertindak tegas terhadap WP/PP tersebut. Karena tingkat kepatuhan antara WP/PP satu dengan WP/PP lainnya tidaklah sama, dengan demikian diperlukan usaha
yang maksimal
untuk membangkitkan dan memelihara kepatuhan Wajib Pajak dan atau Penanggung Pajak, misalnya dengan melakukan pelayanan dan penyuluhan di bidang perpajakan. Pada umumnya WP/PP cenderung untuk melalaikan kewajiban pajaknya, terutama membayar utang pajak. Sehingga hal tersebut dapat menimbulkan tunggakan pajak yang tidak kecil dan pada akhirnya akan mengurangi dan menghambat penerimaan negara. Selain itu, hal tersebut akan merugikan WP/PP itu sendiri karena WP/PP akan mendapatkan sanksi, baik sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan maupun sanksi yang lebih berat lagi berupa sanksi pidana. Dilihat dari sisi psikologis, ada beberapa hal yang mendorong WP/PP tidak melaksanakan kewajiban perpajakannya padahal ada peraturan yang
mengatur serta ada sanksi yang akan diterima karena tidak melaksanakan kewajiban pajaknya tersebut, hal tersebut
pertama, WP/PP merasa benar.
Alasan mengapa dia tidak membayar utang pajaknya karena WP/PP menganggap SKP yang telah diterbitkan fiskus salah misalnya perhitungan pajak menurut WP/PP Rp. 100 tapi menurut Fiskus Rp 150, karena WP/PP merasa perhitungannya benar maka atas selisih tersebut, WP/PP tidak mau untuk membayarnya. Kedua, tidak adanya dispute atau titik temu antara pendapat WP/PP dan fiskus, seperti pada kasus pertama mengenai pajak yang tidak seharusnya terutang menurut WP/PP, tapi menurut fiskus ada sehingga berbagai tindakan dilakukan WP/PP dengan melakukan Keberatan, sampai dengan pengajuan banding dilakukan WP/PP untuk mempertahankan opininya tersebut. Ketiga, WP yang tidak melaksanakan kewajiban pajaknya memang dikategorikan WP nakal dalam artian WP pada kenyataannya mengerti pajak akan tetapi WP tersebut memang mencoba bermain-main di dalamnya. Sehingga dengan pengetahuan yang dimilikinya berupaya sedemikian rupa untuk menghindari pajak dengan menunda pembayaran pajak dan berusaha agar pajak yang akan ia bayarkan kecil. Salah satu alasanya, WP beranggapan bahwa cash on hand saat ini akan lebih menguntungkan untuk memperluas bisnisnya guna meningkatkan profit yang akan ia peroleh, dari pada untuk membayar kewajiban perpajakannya yang dirasa tidak ada kontraprestasi atas dana yang telah ia keluarkan untuk membayar pajak. 5. Penyitaan Monetary Asset di Bank Pada Kanwil DJP Jakarta Barat Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa Pelaksanaan tindak penagihan pajak dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pajak, Kanwil DJP Jakarta
Barat hanya melakukan bimbingan, pemantauan, membantu bilamana proses penagihan
mengalami
kesulitan,
serta
mengakumulasi
laporan-laporan
mengenai kegiatan penagihan dan setiap perolehan penerimaan pelaksanaan penagihan dari Kantor Pelayanan Pajak yang ada dilingkungan kerjanya. Pelaksanaan penagihan aktif yang diawali dengan penerbitan Surat Teguran, penerbitan Surat Paksa, SPMP, pelaksanan pemblokiran sampai dengan pelaksanaan pelelangan atau pemindah bukuan ke kas negara dilakukan di Kantor Pelayanan Pajak baik Madya maupun Pratama. Dalam bab sebelumnya telah di paparkan mengenai definisi dari penyitaan monetary aset di bank, bahwa penyitaan monetary asset di bank adalah tindakan Jurusita Pajak untuk menguasai barang milik WP/PP yang secara khusus terdapat di bank, guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundang-undangan perpajakan. Proses penyitaan terhadap harta kekayaan WP/PP yang tersimpan pada bank tersebut dilaksanakan dengan pemblokiran terlebih dahulu. Tindakan pemblokiran tersebut dilakukan untuk mengamankan harta kekayaan milik Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank dengan tujuan agar terhadap harta kekayaan tersebut tidak terdapat perubahan apapun selain penambahan jumlah ataupun nilai. Dalam pelaksanaan penyitaan aset moneter yang tersimpan di bank dilaksanakan melalui beberapa tahapan. Pada bagian ini pembahasan akan dilakukan dalam tiga bagian. Hal ini untuk memudahkan dalam memahami pelaksanaan penyitaan monetary asset di bank yang telah dilaksanakan oleh KPP yang berada di wilayah DJP Jakarta Barat. a. Prosedur Sebelum Penyitaan Monetary Aset di Bank
Sama seperti prosedur sebelum dilakukannya tindakan penagihan yang diupayakan dengan pelaksanaan lelang, pelaksanan penyitaan monetary asset di bank juga diawali dengan penerbitan Surat Teguran yang diterbitkan tujuh hari setelah jatuh tempo pembayaran. Dalam hal WP/PP tidak melunasi utang pajaknya setelah batas waktu 21 hari dari penyampaian Surat Teguran tersebut, maka tindakan penagihan selanjutnya yaitu dengan menerbitkan Surat Paksa yang memiliki kekuatan hukum yang tetap sesuai dengan UU No. 19 tahun 2000 tentang Surat Paksa. Sebelum melakukan tindakan penyitaan maka Jurusita Pajak harus memilah dahulu WP/PP yang akan dilakukan penyitaan yaitu WP/PP yang belum melunasi tunggakan pajaknya setelah disampaikannya Surat Paksa. Pada awal setiap bulan sebelum dilakukan penyitaan Seksi Penagihan membuat laporan daftar WP/PP yang akan dilakukan tindakan penyitaan pada bulan yang bersangkutan dan laporan pelaksanaan penyitaan yang telah dilaksanakan bulan sebelumnya. Hal ini digunakan sebagai alat kontrol bagi Kantor Wilayah khususnya Kanwil DJP Jakarta Barat atas pelaksanaan penyitaan. Pada penyusunan daftar WP/PP yang akan dilakukan penyitaan, Jurusita Pajak harus sudah mempersiapkan apakah akan dilakukan penyitaan biasa atau penyitaan monetary asset di bank. Jika akan dilakukan penyitaan biasa maka aset yang akan disita akan dipastikan pada saat penyitaan yaitu dalam Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP) karena objek sita akan dituangkan dalam Berita Acara Sita. Sedangkan jika akan dilakukan penyitaan aset moneter yang secara khusus tersimpan pada bank maka Jurusita Pajak melalui kepala Kantor Pelayanan Pajak membuat permohonan pemblokiran yang ditujukan kepada Pimpinan
Bank atau Pejabat Bank yang ditunjuk untuk melaksanakan pemblokiran atas harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank tersebut. b. Pemblokiran Rekening Bank Pemblokiran adalah salah satu upaya yang dilakukan oleh Jurusita Pajak untuk melakukan penyitaan terhadap kekayaan WP/PP yang tersimpan di bank berupa deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Intinya segala bentuk harta milik WP/PP yang tersimpan di bank dapat diblokir apabila WP/PP tidak melunasi utang pajaknya setelah disampaikannya Surat Paksa. Rekening tutup, WP pindah, batal, selesai, dan belum selesai adalah hasil dari tindak lanjut pemblokiran. Rekening tutup adalah jawaban bank atas permintaan pemblokiran bahwa rekening WP/PP di bank yang bersangkutan telah ditutup sehingga pelaksanaan penyitaan harta kekayaan yang tersimpan di bank tidak dapat dilanjutkan. WP pindah adalah WP yang berada di KPP satu yang dipindah ke KPP yang lain ketika pelaksanaan pemblokiran sedang diproses. Batal adalah pemblokiran yang tidak jadi dilaksanakan karena WP/PP telah melunasi utang pajaknya sebelum pemblokiran dilaksanakan, namun SPMP telah diterbitkan dan pemblokiran telah diusulkan. Selesai adalah pemblokiran yang telah menghasilkan pelunasan tunggakan pajak sedangkan belum selesai menunjukan proses pemblokiran yang masih belum selesai karena WP/PP hanya membayar setengah dari besarnya tunggakan pajaknya, sehingga proses pemblokiran masih dilaksanakan. 1) Keistimewaan Pemblokiran
Keistimewaan tindakan pemblokiran dibandingkan dengan pelaksanaan lelang ataupun cara lain selain lelang. Pertama, bilamana WP/PP tidak juga membayar hutang pajaknya sampai dengan waktu yang telah ditetapkan maka dana yang ada di rekening WP/PP di bank yang telah disita setelah diblokir terlebih dahulu langsung dapat dipindahbukukan ke Kas Negara sebesar tunggakannya. Sedangkan eksekusi lelang tidak jarang diakhiri dengan kalimat “tidak ada peminat” atau barang terjual tidak menutupi besarnya tunggakan pajaknya. Kedua, proses pemblokiran dan penyitaan monetary asset di bank tidak memerlukan dana yang besar. Pemblokiran hanya memerlukan biaya penyampaian Surat Paksa dan biaya penyitaan rekening saja. Berbeda dengan pelaksanaan lelang. Satu kali pengumuman lelang di koran biasanya mengeluarkan biaya kurang lebih Rp.3.000.000,00. Belum lagi biaya pendaftaran barang sitaan, biaya penyimpanan dan pemeliharaan barang sitaan, dan biaya lainnya. Ketiga, WP/PP terjaga nama baiknya karena yang mengetahui hal tersebut hanya fiskus, WP/PP tersebut, dan Pihak Bank yang bersangkutan saja. Bagi perusahaan besar yang go-publik tindakan pemblokiran merupakan alternatif tindakan yang paling baik karena nama baik perusahaan akan terjaga, apalagi bagi perusahan yang memang benar-benar tidak mau nama atau citra perusahaannya rusak karena tersiar kabar bahwa perusahaan tersebut telah menunggak pajak dan akan disita dan dilelang. Karena pada perusahaan go-publik, sedikit saja kabar negatif yang tersiar maka akan menurunkan harga julnya di bursa efek.
Keempat, tidak memerlukan pengawasan khusus atas barang yang telah disita, karena pihak bank yang bersangkutan dengan sendirinya akan menjaga objek sita tersebut. Sedangkan penyitaan barang lainnya jika tidak dititipkan pada WP/PP-nya itu sendiri berarti harus dititipkan di suatu tempat yang aman yang kadang kala memerlukan biaya penitipan barang. Barang seperti mobil, kendaraan bermotor, dan barang lainnya memerlukan pengawasan yang ekstra dalam penyimpanannya. Lain halnya dengan penyitaan perhiasan, surat berharga, uang tunai, biasanya memerlukan deposit box yang disewa pada suatu bank. Dan pastinya kesemua hal tersebut memerlukan biaya yang tidak sedikit. 2) Kendala Pemblokiran Pelaksanaan pemblokiran selain memiliki keistimewaan dalam pelaksanaanya, ternyata memiliki kendala yang akan dihadapi oleh Seksi Penagihan dalam setiap KPP. Kendala tersebut pertama, adakalanya Pihak bank yang bersangkutan merasa tidak nyaman dengan dibukanya kerahasiaan bank dalam rangka penyitaan rekening bank WP/PP. Alasannya sederhana, karena dengan terbukanya kerahasian bank maka tingkat kepercayaan nasabah terhadap bank akan menurun, sehingga tidak mustahil apabila nasabah tersebut beralih ke bank lain. Kedua, umumnya perusahaan tidak terlalu besar dalam mengalokasikan dananya ke aktiva lancar. Karena jika alokasi tersebut terlalu besar artinya perusahaan belum memanfaatkan hartanya yang paling efisien. Yang dimaksud dengan aktiva lancar adalah uang kas dan aktiva lainnya yang diharapkan akan direalisasikan menjadi uang kas
atau dijual atau dikonsumsi selama siklus perusahaan yang normal atau dalam kurun waktu satu tahun. Jika pemblokiran dan penyitaan monetary asset di bank dilaksanakan seperti penyitaan giro dan tabungan, hal tersebut akan berdampak pada terhambatnya lalulintas transaksi perusahaan. Maka dari itu biasanya WP/PP maupun perusahaan hanya sedikit mengalokasikan dananya di bank. c. Penyitaan Monetary Asset Di Bank dan Hasil Penyitaan Monetary Asset Di Bank Pelaksanaan penyitaan monetary asset di bank dilaksanakan dengan melakukan pemblokiran terlebih dahulu. Prosedurnya, Kepala Kantor Pelayanan Pajak dalam hal ini KPP yang berada di wilayah DJP Jakarta Barat mengajukan permohonan kepada pihak bank tempat WP/PP menyimpan kekayaannya berupa deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Surat Permohonan Pemblokiran tersebut dikirimkan ke bank dengan dilampiri SPMP dan Surat Paksa. Selanjutnya pihak bank dan Pimpinan Bank atau Pejabat Bank tersebut membuat Berita Acara Pemblokiran serta menyampaikan salinannya kepada Penanggung Pajak dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Dirjen Pajak. Jurusita Pajak memerintahkan kepada WP/PP untuk memberikan kuasa kepada bank yang bersangkutan untuk memberikan kuasa ke bank guna memberitahukan rekening WP/PP tersebut. Apabila WP/PP bersedia membuat kuasa ke bank untuk memberitahukan rekeningnya, maka tindak lanjut dari pihak bank yakni memberitahu saldo rekening milik WP/PP tersebut kepada Jurusita Pajak.
Setelah saldo
kekayaan yang tersimpan diketahui Jurusita Pajak melaksanakan penyitaan terhadap aset tersebut dan membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita, dan menyampaikan salinannya kepada WP/PP dan bank yang bersangkutan. Apabila WP/PP yang bersangkutan tetap tidak melunasi utang pajak dan biaya penagihannya dalam jangka waktu 14 hari sejak penyitaan maka pejabat dalam hal ini Jurusita Pajak meminta kepada pimpinan bank untuk memindah bukukan harta kekayaan yang tersimpan pada bank tersebut ke kas negara sejumlah yang tercantum dalam BAPS, yang tembusannya disampaikan kepada WP/PP tersebut, permintaan tersebut dilampiri dengan Surat Setoran Pajak (SSP) yang ditandatangani oleh Jurusita Pajak. Untuk lebih jelasnya mengenai alur proses penyitaan monetary asset di bank dapat dilihat pada gambar 4.2.
Pelaksanaan Penyitaan monetary asset di bank dalam upaya pencairan tunggakan pajak yang telah dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Pajak yang berada di wilayah DJP Jakarta Barat selama tahun anggaran 2004 sampai dengan 2007 tidak memberikan hasil yang signifikan apalagi pelaksanaan penyitaan monetary asset di bank selama tahun anggaran 2004 hingga 2006, hal tersebut dikarenakan untuk melaksanakan penyitaan monetary asset di bank, syarat utama yang harus dipenuhi sebelum dikeluarkannya Surat Edaran No. SE-05 /PJ.04/2007 tentang Pengantar Peraturan DJP No. Per-109/PJ/2007 tentang Perubahan atas Keputusan DJP No. Kep-627/PJ/2001 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak yang Tersimpan Pada Bank dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa, adalah Jurusita Pajak
harus mengetahui nomor rekening WP/PP terlebih dahulu baru pihak bank mau melakukan proses pemblokiran atas rekening WP tersebut. Untuk mengetahui nomor rekening WP/PP tidaklah mudah karena adakalanya data rekening WP/PP yang diperoleh dari pemeriksaan pajak tidak dikirimkan oleh pemeriksa. Oleh karena itu Jurusita Pajak harus melakukan upaya pencarian dari sumber lain. Usaha ini memerlukan keluwesan dan hubungan relasi yang baik dari Jurusita pajak. Pada intinya jika Jurusita Pajak memutuskan untuk melaksanakan penyitaan monetary asset di bank, maka bagaimanapun caranya ia harus memperoleh rekening WP/PP terlebih dahulu dan ini merupakan tindakan awal yang paling krusial agar penyitaan monetary asset di bank dapat dilaksanakan. Tapi setelah dikeluarkannya Surat Edaran sebagaimana yang telah penulis sebutkan di atas, yang dikeluarkan tanggal 6 Agustus 2007 syarat utama tersebut, telah ditiadakan, jadi walaupun Jurusita Pajak tidak mengetahui nomor rekening WP/PP yang akan dilakukan penyitaan monetary asset di bank, bank wajib memblokir berdasarkan permintaan tertulis dari Menteri Keuangan. Penyitaan monetary asset di bank yang dilaksanakan oleh KPP yang berada di wilayah DJP Jakarta Barat tahun anggaran 2004 untuk tunggakan pajak sebesar Rp. 6.851.248.000 ternyata tidak memberikan hasil sedikitpun, hal tersebut dikarenakan pihak bank menolak untuk memblokir rekening WP/PP dan menolak untuk memberitahukan rekening nasabahnya kepada pihak KPP, karena terkait dengan prinsip kerahasiaan bank dan bank tersebut baru mau melaksanakan pemblokiran apabila Jurusita Pajak telah mengetahui nomor rekening WP. Untuk tahun 2005, 2006, dan 2007 hal yang samapun terjadi yakni sumbangan dari pelaksanaan penyitaan
monetary asset di bank oleh KPP yang berada di wilayah DJP Jakarta Barat tidak memberikan sumbangsih yang besar dalam pencairan tunggakan pajak Kanwil DJP Jakarta Barat yaitu sebesar Rp.545.737.000 untuk tahun 2005, Rp. 91.330.000 untuk tahun anggaran 2006, dan sebesar Rp. 5.205.825.000 pencairan tunggakan pajak yang diperoleh dari hasil penyitaan monetary asset di bank untuk tahun anggaran 2007.
Permintaan Pemblokiran ke bank (dilampiri SP dan SPMP)
Berita Acara pemblokiran (salinan disampaikan kepada WP/PP)
Jurusita Pajak memerintahkanWP/PP memberikan kuasa ke bank untuk memberitahukan saldo rekeningnya
WP/PP bersedia memberikan kuasa ke bank.
WP/PP tidak bersedia memberikan kuasa ke bank
Bank memberi tahu saldo rekening WP/PP kepada Jurusita Pajak
Surat KPP ke Gubernur BI melalui Menteri Keuangan dan DJP
Penyitaan dan pembuatan BAPS dengan objek sita saldo rekening WP/PP tersebut
Gubernur Bank Indonesia memerintahkan bank yang bersangkutan untuk memberitahukan saldo rekening WP/PP
Pemindahbukuan saldo kekayaan yang tersimpan di bank yang bersangkutan ke Kas negara
Saldo mencukupi pemblokiran dicabut
Saldo tidak mencukupi pemblokiran tidak dicabut
Gambar 4.2 Alur Penyitaan Monetary Asset di Bank
6. Hasil Analisis dan Pengujian Hipotesis Penelitian ini mengunakan data sekunder berupa laporan pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Teguran (X 1 ), Surat Paksa (X 2 ), dan penyitan monetary asset di bank (X 3 ), serta laporan pencairan tunggakan pajak (Y) tahun anggaran 2004 hingga tahun anggaran 2007. Laporan tersebut merupakan laporan penagihan yang di dapat dari Bidang P4 Seksi Penagihan pada Kanwil DJP Jakarta Barat. Adapun data yang akan dianalisis tersebut dapat dilihat pda tabel 4.5 di bawah ini. Tabel 4.5 Data Penelitian (dalam ribuan rupiah) No.
Tahun
Triwulan
Surat Teguran
Surat Paksa
Penyitaan Monetary
Pencairan Tunggakan Pajak
Asset di Bank 1
1
114.266.852
83.385.042
6.100.368
99.150.222
2
2
151.753.703
95.564.986
6.100.368
89.070.574
3
3
172.935.700
160.855.464
750.880
81.533.080
4
4
167.432.088
82.415.290
750.880
157.046.653
1
96.415.590
77.879.901
750.880
128.945.000
6
2
94.713.423
112.783.793
800.383
93.479.905
7
3
144.997.603
77.891.417
800.383
133.199.856
8
4
122.802.166
124.824.396
800.383
91.749.429
1
70.444.635
73.395.085
1.409.192
221.779.140
10
2
95.047.944
101.956.114
2.754.792
88.138.582
11
3
85.688.925
76.158.817
4.047.725
63.928.846
5
9
2004
2005
2006
4
93.467.000
80.643.541
56.130.654
71.143.620
1
89.378.018
78.679.106
21.780.834
80.646.132
14
2
124.352.738
55.811.731
35.982.798
163.776.349
15
3
135.854.463
67.378.928
53.016.121
71.790.370
16
4
143.350.463
74.782.128
112.389.783
66.951.711
13
2007
a. Uji Asumsi Klasik 1) Hasil Uji Normalitas Data Uji Normalitas data dalam penelitian ini menggunakan Normality Probability Plot yang bertujuan untuk menguji apakah data dalam penelitian ini terdistribusi dengan normal atau tidak. Dari gambar 4.5 dapat diketahui bahwa titik-titik data berada di sekitar garis diagonal. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa data dalam penelitian ini telah terdistribusi secara normal.
Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual Dependent Variable: Pencairan Tunggakan Pajak 1.0
Expected Cum Prob
12
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0 0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Observed Cum Prob
Gambar 4.3 Hasil Uji Normalitas Data
2) Hasil Uji Multikolonieritas
Uji multikolonieritas bertujuan untuk menguji apakah pada model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel independen (variabel bebas). Karena model regresi yang baik seharusnya tidak terdapat problem multikolonieritas atau dengan kata lain tidak terjadi korelasi antara variabel independen. Untuk mendeteksi ada atau tidaknya problem multikolinearitas dalam model regresi penelitian ini dapat dilihat dari nilai tolerance dan VIF (Variance Inflation Factor). Tabel 4.6 Hasil Uji Multikolonieritas Coefficients(a)
Model
Collinearity Statistics Tolerance
1
VIF
(Constant) Surat Teguran
.832
1.202
Surat Paksa
.721
1.387
.791
1.264
Penyitaan Monetary Aset di Bank a Dependent Variable: Pencairan Tunggakan Pajak
Dari hasil output SPSS pada tabel 4.6 dapat diketahui hasil perhitungan nilai tolerance untuk Surat Teguran sebesar 0.832, Surat Paksa sebesar 0.721, dan penyitaan monetary asset di bank sebesar 0.791. Dari hasil perhitungan tersebut dapat disimpulkan bahwa model regresi tersebut terbebas dari problem multikolonieritas, karena nilai tolerance tidak kurang dari 0.10 yang berarti tidak ada korelasi antar variabel independen. Sedangkan hasil perhitungan nilai VIF juga menunjukan hal yang sama yaitu nilai VIF tidak lebih dari 10. Dimana nilai VIF untuk Surat Teguran sebesar 1.202, Surat Paksa sebesar 1.387, dan penyitaan
monetary asset di bank sebesar 1.264. Dari hasil analisis tersebut dapat disimpulkan pula bahwa model regresi dalam penelitian ini terbebas dari problem multikolonieritas. 3) Hasil Uji Autokorelasi Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi linier ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pada periode sebelumnya (t-1). Jika terjadi korelasi, maka dikatakan ada problem autokorelasi. Untuk mendeteksi ada atau tidaknya autokorelasi dalam regresi pada penelitian ini maka digunakan Uji Durbin-Watson (DW- test). Tabel 4.7 Hasil uji Autokorelasi Model Summary(b)
Model 1
Durbin-Watson 2.127(a) a Predictors: (Constant), Penyitaan Monetary Aset di Bank,Surat Teguran, Surat Paksa b Dependent Variable: Pencairan Tunggakan Pajak
Dari hasil output SPSS tabel 4.7 dapat diketahui bahwa hasil uji autokorelasi pada model regresi ini menunjukan angka Durbin-Watson sebesar 2.127. Nilai ini akan dibandingkan dengan nilai tabel dengan mengunakan nilai tabel yang menggunakan tingkat signifikansi 5%, jumlah sampel dalam penelitian ini yaitu 16 (n) dan jumlah variabel independen yaitu 3 (k=3). Dari analisis tersebut maka pada tabel DurbinWatson akan didapatkan nilai dl sebesar 0.875 dan nilai du sebesar 1.728.
= du < d < 4 – du = 1.728 < 2.127 < 4 – 1.728 = 1.728 < 2.127 < 2.272 Oleh karena nilai DW 2.127 lebih besar dari batas atas (du) dan kurang dari (4 – du) yaitu 4 – 1.728 = 2.272, maka dapat disimpulkan bahwa model regresi ini tidak ada autokorelasi positif atau negatif, atau dengan kata lain model regresi dalam pelitian ini terbebas dari problem autokorelasi. 4) Hasil Uji Heteroskedastisitas Gambar 4.4, merupakan grafik hasil uji heteroskedastisitas. Dari grafik Scatterplot tersebut terlihat bahwa titik-titik data menyebar secara acak dan tidak membentuk suatu pola, baik di atas maupun di bawah angka 0 pada sumbu Y. Berdasarkan hasil pengujian dapat disimpulkan bahwa model regresi dalam penelitian ini tidak mengalami problem heteroskedastisitas, sehingga model regresi layak dipakai untuk memprediksi variabel dependen yakni pencairan tunggakan pajak berdasarkan masukan variabel independen yaitu Surat Teguran, Surat Paksa,
dan
penyitaan
Scatterplot
monetary asset Dependent Variable: Pencairan Tunggakan Pajak
di bank.
Regression Studentized Residual
3
2
1
0
-1
-2 -2
-1
0
1
Regression Standardized Predicted Value
Gambar 4.4 Hasil Uji Heteroskedastisitas
b. Hasil Uji Hipotesis 1) Hasil Uji R 2 (Koefisien Determinasi) Uji koefisien determinasi (R 2 ) digunakan untuk menentukan seberapa besar variabel independen dapat menjelaskan variabel dependennya. Nilai koefisien determinasi adalah antara nol dan satu. Pada penelitian ini, R-Square yang digunakan adalah R-Square yang sudah disesuaikan atau tertulis Adjusted R-Square, karena disesuaikan dengan jumlah variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini. Tabel 4.8 Model Summary
b
Adjusted R R Square Square Std. Error of the Estimate a .347 .184 39400998.508 .589 a Predictors: (Constant), Penyitaan Monetary Aset di Bank, Surat Teguran, Surat Paksa b Dependent Variable: Pencairan Tunggakan Pajak Model 1
R
Hasil output SPSS pada tabel 4.8 menunjukkan bahwa nilai Adjusted R-Square sebesar 0.184 atau 18,4 %. Hal ini menunjukkan pengertian bahwa variabel dependen dalam penelitian ini yaitu Pencairan Tunggakan Pajak dipengaruhi atau dijelaskan oleh variabel
independen dalam penelitian ini yaitu, Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan monetary asset di bank sebesar 18,4%. Sedangkan sisanya (100% – 18.4% = 81,6%) dipengaruhi atau dijelaskan oleh faktor lain. Faktor lain yang mempengaruhi pencairan tunggakan pajak adalah pelaksanaan penagihan selain penagihan dengan Surat Teguran, Surat Paksa dan penyitaan monetary asset di bank seperti penyitaan yang diakhiri dengan upaya pelelangan, penagihan seketika sekaligus, penyanderaan, dan operasi sisir yang dilakukan oleh petugas PBB. Tindakan penagihan dengan pelelangan merupakan langkah penagihan aktif setelah dilaksanakan penyitaan. Tindakan lelang ini dilaksanakan dengan maksud menjual barang yang telah di sita oleh Jurusita Pajak guna melunasi utang pajak WP/PP ditambah dengan biaya penagihannya. Adakalanya lelang memiliki tingkat pencairan tunggakan pajak yang besar dan adakalanya tidak. Hal tersebut tergantung pada objek lelang tersebut. Apabila hasil dari pelelangan tersebut tidak menutupi besarnya tunggakan pajak, maka atas tunggakan yang masih tersisa tersebut tetap masih ditagih. Penagihan seketika sekaligus merupakan salah satu tindakan penagihan yang dilakukan oleh Jurusita Pajak karena suatu peristiwa atau keadaan dalam rangka pengamanan penerimaan dari sektor pajak. Seperti terdapat tanda-tanda WP/PP akan membubarkan perusahaannya atau secara nyata mengecilkan kegiatan perusahaannya padahal WP/PP tersebut masih memiliki tunggakan pajak, atas peristiwa itulah pelaksanaan tindakan penagihan seketika sekaligus dilaksanakan guna mengurangi tunggakan pajaknya.
Apabila
tindakan
penagihan
yang
dilaksanakan
ada
kemungkinan WP/PP sengaja menyembunyikan harta kekayaannya, yang akan menyebabkan Jurusita Pajak tidak dapat melaksanakan penyitaan terhadap objek sita milik WP/PP yang menunggak pajak tersebut, oleh karena itu jalan lain yang dilakukan Jurusita Pajak untuk mendapatkan pencairan tunggakan pajaknya yaitu dengan melakukan penyitaan badan atau lebih dikenal dengan ”penyanderaan”. Lagi pula, penyanderaan merupakan tindakan yang nantinya akan membuat WP/PP merasa takut karena citra dan nama baiknya akan rusak, sehingga atas upaya penyanderaan tersebut akan berhasil untuk mencairkan tunggakan pajaknya, karena WP/PP itu sendiri akan melunasi utang pajaknya. Selain itu, operasi sisir yang dilakukan oleh petugas PBB yang dilakukan dengan mengingatkan dan menjemput pembayaran PBB di lapangan atau ke rumah-rumah, juga akan menghasilkan pencairan tunggakan pajak. Karena adakalanya WP/PP menyepelekan pembayaran pajaknya dan seperti yang kita ketahui bersama bahwa tingkat kepatuhan antara WP satu dengan WP lainya tidaklah sama. Oleh karena itu, untuk Pajak Bumi dan Bangunan operasi sisir ini sangat efektif guna menambah pencairan tunggakan pajak yang ada di wilayah DJP Jakarta Barat. Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa pelaksanaan penagihan selain dengan Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan monetary asset di bank yang telah penulis jelaskan sebelumnya merupakan faktor-faktor lain yang dapat menjelaskan lebih banyak terhadap pencairan tunggakan pajak.
2) Hasil Uji Statistik F Hasil uji statistik F digunakan untuk mengetahui apakah variabel-variabel independen secara bersama-sama mempengaruhi variabel dependen. Maka dalam penelitian ini digunakan tingkat signifikansi sebesar 0.05. Dari hasil output SPSS ANOVA b pada tabel 4.9 dapat diketahui bahwa hsil dari uji F hitung untuk Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan monetary asset di bank sebesar 2.129. Dari output SPSS tersebut dimana F hitung sebesar 2.129 dan F tabelnya sebesar 3.49 (didapat dari table critical values for the F distribution ( α =0.05), dengan nilai d =12 dan nilai n = 3). Karena F hitung lebih kecil dari F tabel (Fhitung
1
Model Regression Residual
b
Sum of Squares 9917066059636150.000
df 3
Mean Square 3305688686545384.000
18629264201035420.000
12
1552438683419619.000
F 2.129
Sig. .150(a)
Total
28546330260671580.000 15 a Predictors: (Constant), Penyitaan Monetary Aset di Bank, Surat Teguran, Surat Paksa b Dependent Variable: Pencairan Tunggakan Pajak
Nilai output SPSS pada tabel 4.9 ANOVA b juga menyatakan bahwa nilai signifikansi untuk Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan monetary asset di bank sebesar 0.150 yang menunjukkan
probabilitas lebih besar dari 0.05. Hal ini memberi pengertian bahwa variabel independen dalam penelitian ini secara bersama-sama tidak berpengaruh terhadap variabel dependennya. Berdasarkan pengamatan peneliti tidak terdapatnya pengaruh yang signifikan dari Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan monetary asset di bank, dikarenakan oleh rendahnya tingkat pelunasan dari WP/PP yang menunggak pajak tersebut, faktor utamanya WP/PP tidak melunasi utang pajaknya dikarenakan WP/PP sedang mengalami kerugian,
kesulitan
likuiditas,
berpenghasilan
rendah,
sehingga
kewajiban pajaknya sulit untuk dipenuhi. Selain itu kendala-kendala yang dialami oleh Jurusita Pajak selama poses penagihan yang telah penulis jelaskan sebelumnya yaitu kesulitan dalam mencari data alamat WP/PP yang menunggak pajak tersebut karena tidak mengup-date datanya, dan setelah ditemukan terdapat usaha penghindaran dan pencegahan dari WP/PP itu sendiri, sehingga peristiwa tersebut menghambat proses penagihan pajak dan berdampak pada tidak terealisasinya pencairan tunggakan pajak. 3) Hasil Uji t- Statistik Berdasarkan hasil output SPSS, uji t hitung yang dinyatakan dalam tabel 4.10 untuk Surat Teguran sebesar 0.521 sedangkan t tabelnya 2.145 (didapat dari tabel t two tail dengan signifikansi 5%, dengan df (derajat kebebasan) = jumlah data – 2 atau 16 – 2 = 14, sehingga di dapat nilai t tabel sebesar 2.145). Hal ini berarti t hitung lebih kecil dari t tabel. Jika statistik t hitung < t tabel maka Ho diterima dan Ha ditolak, dengan pengertian Surat Teguran tidak berpengaruh
signifikan terhadap pencairan tunggakan pajak. Begitupula untuk Surat Paksa dan penyitaan monetary asset di bank di mana t hitung lebih kecil dari t tabelnya, yaitu – 2.047 < 2.145 untuk Surat Paksa, dan –2.166 < 2.145 untuk penyitaan monetary asset di bank. Sehingga dalam penelitian ini menerima Ho dan menolak Ha, yang dapat ditarik kesimpulan bahwa secara parsial atau individual Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan monetary asset di bank tidak berpengaruh terhadap pencairan tunggakan pajak. Berdasarkan hasil output SPSS pada tabel 4.10, dapat diperoleh persamaan regresi yaitu: ∧
Y = α + b1 x1 + b2 x 2 + b3 x3 + e ∧
Y = 184279833.852 + 0,186x 1 – 0,954x 2 – 0,792x 3 Nilai konstanta alpha ( α ) sebesar 184279833.852 menyatakan bahwa, jika proses penagihan dengan Surat Teguran, Surat Paksa dan penyitaan monetary asset di bank dianggap konstan maka pencairan tunggakan pajak adalah sebesar Rp. 184.279.833.852,Tabel 4.10 Coefficients Model 1
(Constant) Surat Teguran Surat Paksa
a
Unstandardized Coefficients B
Std. Error
184279833.852
48732360.775
.186
.357
-.954
Penyitaan Monetary -.792 Aset di Bank a Dependent Variable: Pencairan Tunggakan Pajak Sumber: Dioleh penulis dengan SPSS 12 (dalam ribuan rupiah)
Standardized Coefficients
t
Sig.
Beta 3.781
.003
.133
.521
.612
.466
-.562
-2.047
.063
.366
-.568
-2.166
.051
Dari persamaan regresi hasil tabel 4.10 nilai 0,186x 1 merupakan koefisien regresi yang menunjukan bahwa setiap adanya penambahan pada Surat Teguran sebesar Rp 1.000,- maka akan meningkatkan pencairan tunggakan pajak sebesar Rp 186,-. (karena tanda + merupakan arah yang positif) Dari persamaan regresi tersebut nilai – 0,954x 2 merupakan koefisien regresi yang menunjukan bahwa setiap adanya penambahan pada Surat Paksa sebesar Rp 1.000,- maka Surat Paksa akan megakibatkan penurunan terhadap pencairan tunggakan pajak sebesar Rp 954,-. Hal tersebut dikarenakan tanda – (minus) yang menyatakan arah hubungan yang negatif. Begitupun dengan nilai – 0,792x 3 merupakan koefisien regresi untuk penyitaan monetary asset di bank menunjukan bahwa setiap adanya penambahan penyitaan monetary asset di bank sebesar Rp 1.000,- akan mengurangi tingkat pencairan tunggakan pajak sebesar Rp. 792. Secara teori setiap pelaksanaan penagihan pajak baik dengan Surat Teguran, Surat Paksa maupun penyitaan monetary asset di bank memiliki arah hubungan positif terhadap pencairan tunggakan pajak, dengan artian setiap dilaksanakan penagihan baik dengan Surat Teguran, Surat Paksa maupun penyitaan monetary asset di bank akan berdampak pada peningkatan tingkat pencairan atau pelunasan tunggakan pajak. Namun, dalam kenyataannya pelaksanaan penagihan pajak adakalanya memiliki hubungan yang negatif. Berdasarkan wawancara dengan pegawai pada Seksi Penagihan, ada beberapa penyebab yang
menyebabkan pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Paksa dan penyitaan monetary asset di bank memiliki arah hubungan yang negatif dengan tingkat pencairan tunggakan pajak. Dalam pengertian ketika pelaksanaan penagihan dengan Surat Paksa dan penyitaan monetary asset di bank dilakukan, maka pencairan tunggakan pajak bukannya bertambah melainkan menurun. Salah satu penyebabnya, WP/PP sedang mengajukan keberatan hingga proses pengajuan banding ke Pengadilan Pajak karena WP/PP merasa SKP (Surat Ketetapan Pajak) yang telah diterbitkan salah. Sehingga, walaupun ia telah menerima Surat Paksa maupun telah dilaksanakan penyitaan atas harta kekayaannya yang tersimpan di bank, WP/PP tersebut tidak melakukan pembayaran atas tunggakan yang telah dicantumkan pada surat keputusan tersebut, karena WP/PP merasa yakin bahwa SKP yang telah diterbitkan salah. Dalam artian, WP/PP merasa tidak memiliki tunggakan pajak yang begitu besar tetapi menurut fiskus sebaliknya. Oleh karena itu, WP/PP mengajukan proses keberatan hingga pengajuan banding dan adakalanya WP/PP tersebut menang, sehingga berdampak pada penurunan tinggkat pencairan tunggakan pajak. Selain itu tabel 4.10 menunjukan bahwa Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan monetary asset di bank memiliki nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 yaitu 0,612 untuk Surat Teguran, 0,063 untuk Surat Paksa, dan 0,051 untuk pencairan tunggakan pajak. Dengan demikian Ho diterima dan Ha ditolak, ini berarti bahwa pelaksanaan penagihan dengan Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan monetary asset di bank tidak berpengaruh terhadap pencairan tunggakan pajak.
Seperti
yang
telah
penulis
paparkan
sebelumnya
tidak
terdapatnya pengaruh yang signifikan dari Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan monetary asset di bank disebabkan minimnya tingkat pelunasan tunggakan oleh WP/PP yang melakukan penunggakan pajak. Pada intinya, proses pelaksanaan penagihan aktif merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Jurusita Pajak dengan menegur atau memperingatkan, menerbitkan Surat Paksa, menerbitkan SPMP, hingga proses pelaksanaan lelang, yang kesemuanya itu diharapkan akan berpengaruh terhadap pencairan tunggakan pajak. Berdasarkan pengamatan, tidak terdapatnya pengaruh yang signifikan dari Surat Teguran karena masih minimnya pelunasan tunggakan pajak akibat WP/PP mengalami kerugian, kesulitan likuiditas, maupun WP/PP sedang mengajukan keberatan. Selain itu, berdasarkan pengamatan peneliti WP/PP tidak melunasi utang pajaknya padahal telah diterbitkan Surat Teguran karena, WP/PP tidak mengindahkan peraturan tersebut. Dalam artian, WP/PP tersebut merupakan WP/PP nakal yang sengaja tidak melunasi tunggakan pajaknya, karena WP/PP beranggapan bahwa cash on hand menurutnya lebih baik digunakan terlebih dahulu untuk memperluas bisnisnya dibandingkan cash on hand digunakan untuk melunasi utang pajaknya. Sedangkan tidak berpengaruhnya Surat Paksa dan penyitaan monetary asset di bank berdasarkan hasil pengamatan bahwa memang ada sebagian WP/PP yang mengalami kerugian dan kesulitan likuiditas sehingga ia tidak mampu untuk melunasi tunggakan pajaknya pada periode tersebut. Selain itu, salah satu faktor lain yang menyebabkan
penyitaan monetary asset tidak berpengaruh terhadap pencairan tunggakan pajak, dikarenakan ada beberapa pihak bank yang tidak mau membantu proses pelaksanaan penyitaan monetary asset untuk memberi tahu saldo rekening nasabahnya yang melakukan penunggakan di bidang perpajakan, dikarenakan terkait dengan prinsip kerahasiaan bank. Alasannya sepele, bahwa pihak bank takut kehilangan kepercayaan dari para nasabahnya dan takut jikalau para nasabahnya pindah ke bank lain. Sehingga, hal tersebut berdampak pelaksanaan penyitaan monetary asset tidak memberikan sumbangsih yang besar pada pencairan tunggakan pajak, padahal banyak keistimewaan dari tindakan penagihan dengan penyitaan monetary asset di bank dibandingkan dengan penyitaan lainnya. Diantaranya biaya pelaksanaan yang rendah dan waktu penagihan yang lebih singkat. BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian dalam bab-bab sebelumnya, maka diperoleh beberapa kesimpulan sehubungan dengan pembahasan mengenai pengaruh Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan monetary asset di bank terhadap pencairan tunggakan pajak pada Kanwil DJP Jakarta Barat. Adapun kesimpulan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Pelaksanaan penagihan pajak merupakan serangkaian tindakan agar WP/PP melunasi
utang
pajak
dan
biaya
penagihan
dengan
menegur
atau
memperingatkan, memberitahukan Surat Paksa, memberikan SPMP, hingga
pelaksanaan penyitaan terhadap harta kekayaan milik WP/PP tersebut. Pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan monetary asset di bank dilaksanakan oleh Jurusita Pajak pada setiap Kantor Pelayanan Pajak yang berada di wilayah DJP Jakarta Barat. Prosedur penagihan ini dimulai dengan Penerbitan Surat Teguran tujuh hari setelah jatuh tempo pembayaran. Setelah lewat waktu 21 hari sejak Surat Teguran diterbitkan dan WP/PP tetap belum melunasi utang pajaknya maka diterbitkanlah Surat Paksa, 2X24 jam sejak Surat Paksa diberitahukan WP/PP tetap tidak mau melunasi tunggakan pajaknya maka dilaksanakan penyitaan monetary asset di bank yang di dahului dengan proses pemblokiran apabila WP tersebut memiliki harta kekayaan yang tersimpan di bank. 2. Hasil uji statistik F diketahui bahwa uji F hitung untuk Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan monetary asset di bank lebih kecil dari F tabelnya yaitu 2.129<3.49.
Sedangkan
nilai
signifikansi
variabel
independen
secara
keseluruhan sebesar 0.150 yang menunjukan probabilitas lebih besar dari 0.05. Hal ini memberi pengertian bahwa variabel independen dalam penelitian ini secara
simultan
(bersama-sama)
tidak
berpengaruh
terhadap
variabel
dependennya yaitu pencairan tunggakan pajak. 3. Hasil uji t didapat t hitung untuk Surat Teguran sebesar 0,521 sedangkan t tabelnya sebesar 2.145. Karena t hitung lebih kecil dari t tabelnya yakni 0,521<2.145 sehingga dalam penelitian ini menerima Ho dan menolak Ha yang menunjukan bahwa pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Teguran tidak berpengaruh terhadap pencairan tunggakan pajak pada Kanwil DJP Jakarta Barat.
4. Hasil uji t didapat t hitung untuk Surat Paksa sebesar -2,047 sedangkan t tabelnya sebesar 2.145. Karena t hitung lebih kecil dari t tabelnya yakni
-
2,047<2.145 sehingga dalam penelitian ini menerima Ho dan menolak Ha yang menunjukan bahwa pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Paksa tidak berpengaruh terhadap pencairan tunggakan pajak pada Kanwil DJP Jakarta Barat. 5. Hasil uji t didapat t hitung untuk penyitaan monetary asset di bank sebesar 2,166 sedangkan t tabelnya sebesar 2.145. Karena t hitung lebih kecil dari t tabelnya yakni -2,166<2.145 sehingga dalam penelitian ini menerima Ho dan menolak Ha yang menunjukan bahwa pelaksanaan penagihan pajak dengan penyitaan monetary asset di bank tidak berpengaruh terhadap pencairan tunggakan pajak pada Kanwil DJP Jakarta Barat. 6. Setiap adanya penambahan Rp 1.000,- maka Surat Teguran akan meningkatkan pencairan tunggakan pajak sebesar Rp 186,-. Untuk Surat Paksa, setiap adanya penambahan Rp 1.000,- maka Surat Paksa akan mengurangi pencairan tunggakan pajak sebesar Rp 954,-, begitupun dengan penyitaan monetary asset di bank yaitu setiap adanya penambahan Rp 1.000,- maka penyitaan monetary asset di bank akan mengurangi pencairan tunggakan pajak sebesr Rp 792,-.
B. Implikasi
Berdasarkan kesimpulan di atas ternyata pencairan tunggakan pajak pada Kanwil DJP Jakarta Barat tidak dipengaruhi oleh Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan monetary asset di bank, sehingga implikasi dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan monetary asset di bank tidak memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pencairan tunggakan pajak pada Kanwil DJP Jakarta Barat. 2. Tidak berpengaruhnya Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan monetary asset di bank mengindikasikan bahwa pelaksanaan penagihan pajak yang ada kurang efektif, sehingga hasil yang diperoleh dari pelaksanaan penagihan pajak tersebut tidak memberikan kontribusi yang besar bagi penerimaan Negara. 3. Kendala-kendala yang sering dihadapi dalam pelaksanaan penagihan pajak seperti tidak ditemukannya alamat WP/PP karena datanya tidak up-date, ketidak terbukaan WP/PP atas harta kekayaannya hingga berusaha mencegah agar tidak dilakukan penyitaan atas harta kekayaan yang dimilikinya, serta kendala lain yang terjadi selama proses penagihan berlangsung, berdampak pada pelaksanaan penagihan pajak yang telah dilaksanakan menjadi kurang efektif, dan berdampak pula pada rendahnya kontribusi yang dihasilkan dari pelaksanaan penagihan pajak terhadap penerimaan Negara.
C. Saran
Berdasarkan implikasi yang telah diuraikan sebelumnya, maka penulis mencoba memberikan saran yang mungkin dapat digunakan sebagai masukan yang bersifat membangun bagi pihak-pihak yang berkepentingan, antara lain: 1. Untuk mengatasi masalah masih rendahnya kontribusi yang dihasilkan dari pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Teguran, Surat Paksa, dan penyitaan monetary asset di bank, maka diperlukan kerjasama antara fiskus dan masyarakat khususnya WP/PP.
2. Khusus bagi WP/PP yang menunggak pajak seharusnya diberikan penyuluhan dan bimbingan konsultasi lebih, serta fiskus khususnya Seksi Penagihan harus bersikap arif dan bijaksana dalam menyikapi WP/PP tersebut. Sehingga secara tidak langsung hal tersebut dapat memotivasi WP/PP tersebut untuk tidak melakukan penunggakan pajak dan menjadikan WP/PP tersebut sebagai WP/PP patuh terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. 3. Sebaiknya Direktorat Jenderal Pajak khususnya Seksi Penagihan selalu berusaha menghasilkan strategi-strategi baru yang lebih baik yang berkaitan dengan pelaksanaan penagihan pajak, agar pencairan tunggakan pajak dapat lebih efektif untuk tahun mendatang. 4. Untuk mengatasi kendala-kendala yang sering dihadapi oleh Seksi Penagihan dalam pelaksanaan penagihan pajak, yaitu dengan memberikan bimbingan, penyuluhan, dan sosialisasi berbagai kebijakan perpajakan pada WP/PP sehingga kendala-kendala tersebut diharapkan dapat diminimalisir untuk tahun mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Artikel: Ancaman terhadap krisis Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2008. www. dimastidano.wordpress.com, 3 Februari 2008. B. Ilyas, Wirawan dan Richard Burton. Hukum Pajak. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. 2004. Burton, Richard. Memehami Masalah Penagihan Pajak. Jurnal Perpajakan Indonesia. Volume 1 no. 1, Agustus 2001:20-24. Ghozali, Imam. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang: Penerbit Universitas Diponegoro.2001. Hamid, Abdul. Pedoman Penulisan Skripsi FEIS. Jakarta: UIN Press.2004. Iswahyudi, Tedy. Seputar Penagihan dan Pembayaran Utang Pajak. Jurnal Perpajakan Indonesia. Volume 5 No. 3,Oktober:12-18. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 563/KMK.04/2000 Tentang Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak yang Tersimpan Pada Bank Dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Kurniawan, Panca dan Bagus Pamungkas. Penagihan Pajak di Indonesia. Jawa Timur: Penerbit Bayumedia.2006. Resmi, Siti. Perpajakan. Jakarta: Salemba Empat. 2005. Riduwan dan Sunarto. Pengantar Statistika Untuk Penelitian:Pendidikan, Sosial, Komunikasi, Ekonomi, dan Bisnis. Bandung: Alfabeta. 2007. Soepomo, R. Pandu Bestari. Perlukah Rahasia Bank Dibuka Untuk Kepentingan Pajak?. Jurnal Kipas, Volume 3 No. 26, Mei 2001. Sugiyono. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Penerbit CV Alfabeta.2007. Surat Edaran Nomor SE-05/ PJ.04/2007 Tentang Peraturan Direktoret Jenderal Pajak Nomor Kep-627/PJ/2001 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak yang Tersimpan Pada Bank. Undang-undang No.19 Tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa.
TRIWULAN
STP/SKPKB/SKP KBT/SK.PEM/SK .KEB/PUT BAN YG BELUM LUNAS Lembar
I
2004
101,204
Surat Teguran lbr
Rp. 4342
114,266,852
Surat Paksa Lbr
Rp. 637
83,385,042
Laporan Kegiatan Penagihan Kanwil DJP Jakarta Barat Tahun Anggaran 2004-2007
SPMP Lbr
Rp. 95
21,103,722
II
2004
114,567
5659
151,753,703
846
95,564,986
104
18,962,755
III
2004
117,723
7579
172,935,700
1155
160,855,464
130
35,245,151
IV
2004
116,258
8579
167,432,088
1039
82,415,290
90
29,067,284
3,677
422,220,782
419
104,378,912
Total
449,752
26,159
606,388,343
Sumber :diolah oleh penulis dari Laporan Kegiatan Penagihan Kanwil DJP Jakarta Barat
TRIWULAN
STP/SKPKB/SKP KBT/SK.PEM/SK .KEB/PUT BAN YG BELUM LUNAS Lembar
Surat Teguran lbr
Surat Paksa
Rp.
Lbr
Rp.
SPMP Lbr
Rp.
I
2005
102,581
4.128
96,415,590
569
77,879,901
50
28,502,051
II
2005
102,077
3.343
94,713,423
738
112,783,793
49
122,109,891
III
2005
63,093
3.065
144,997,603
625
77,891,417
58
56,742,245
IV
2005
93,901
4.188
122,802,166
743
124,824,396
37
56,857,746
2,675
393,379,507
194
264,211,933
Total
361,652
14.724
458,928,782
Sumber :diolah oleh penulis dari Laporan Kegiatan Penagihan Kanwil DJP Jakarta Barat
(dalam ribuan rupiah)
TRIWULAN
STP/SKPKB/SKP KBT/SK.PEM/SK .KEB/PUT BAN YG BELUM LUNAS Lembar
Surat Teguran lbr
Rp.
Surat Paksa Lbr
Rp.
SPMP Lbr
Rp.
I
2006
92,421
4.460
70,444,635
640
73,395,085
46
61,885,544
II
2006
191,342
4.126
95,047,944
954
101,956,114
73
64,569,947
III
2006
90,878
3.096
85,688,925
804
76,158,817
32
10,691,80
IV
2006
90,800
4.901
93,467,000
1.402
80,643,541
52
33,164,192
16.583
344,648,504
2,399
332,153,557
203
170,311,484
Total
465,441
Sumber :diolah oleh penulis dari Laporan Kegiatan Penagihan Kanwil DJP Jakarta Barat
STP/SKPKB/SKP KBT/SK.PEM/SK .KEB/PUT BAN YG BELUM LUNAS Lembar
lbr
Rp.
Lbr
Rp.
Lbr
Rp.
I
2007
97,555
4.722
89,378,018
744
78,679,106
47
107,329,530
II
2007
95,388
7.341
124,352,738
1.566
55,811,731
99
122,709,06
III
2007
92,881
7.787
135,854,463
1.789
67,378,928
112
200,014,587
IV
2007
92,366
8.186
143,350,463
2.027
74,782,128
171
285,360,92
28.036
492,935,682
6.126
276,651,893
429
715,414,10
Total
378,190
Sumber :diolah oleh penulis dari Laporan Kegiatan Penagihan Kanwil DJP Jakarta Barat
I
2004
6,100,368
-
6,100,368 6,100,368
II
2004
6,100,368
-
III
2004
750,880
-
750,880
IV
2004
750,880
-
750,880
Sumber : diolah oleh penulis dari Laporan Penyitaan Monetary Aset di Bank Kanwil DJP Jakarta Barat
TRIWULAN
TOTAL TUNGGAKAN
PENYITAAN ASET MONETER DI BANK
TUNGGAKAN YANG MASIH HARUS DIBAYAR
I
2005
750,880
544,773
206,107
II
2005
800,383
-
-
III
2005
800,383
-
-
IV
2005
800,383
545,737
254,646
Sumber : diolah oleh penulis dari Laporan Penyitaan Monetary Aset di Bank Kanwil DJP Jakarta Barat PENYITAAN TUNGGAKAN YANG MASIH TOTAL ASET MONETER HARUS DIBAYAR TUNGGAKAN TRIWULAN DI BANK I
2006
1.409,192
-
1. 409,192
II
2006
2.754,792
-
2. 754,792
III
2006
4,047,725
-
4,047,725
IV
2006
56,130,654
91,330
56,039,324
Sumber : diolah oleh penulis dari Laporan Penyitaan Monetary Aset di Bank Kanwil DJP Jakarta Barat
TRIWULAN
TOTAL TUNGGAKAN
I
2007
21,780,834
PENYITAAN ASET MONETER DI BANK
TUNGGAKAN YANG MASIH HARUS DIBAYAR
119,915
21,660,919 35,278.890
II
2007
35,982,798
703.908
III
2007
53,016,121
2,711,986
50,304,135
IV
2007
112,389,783
1,670,016
110,719,767
Sumber : diolah oleh penulis dari Laporan Penyitaan Monetary Aset di Bank Kanwil DJP Jakarta Barat
Laporan Penyitaan Monetary Asset Di Bank Pada Kanwil DJP Jakarta Barat Tahun Anggaran 2004-2007 (dalam ribuan rupiah)