“Wahabi, Sasaran Empuk untuk Dituding” Wahabi menjadi kambing hitam untuk suatu peristiwa yang terjadi di tanah air. Selalu menjadi sasaran tembak paling mudah Hidayatullah.com--Lagi-lagi Wahabi menjadi kambing hitam untuk suatu peristiwa yang terjadi di tanah air. Selalu menjadi sasaran tembak paling mudah. Bahkan Wahabi juga menjadi suatu predikat yang ditempelkan pada seseorang bila yang bersangkutan dipandang “agak lain” dari kebiasaan umumnya. Tudingan terdekat terhadap Wahabi disampaikan mantan Kepala Badan Intelijen Negaral (BIN) Abdullah Mahmud Hendropriyono ketika peristiwa bom di Hotel Marriot dan Ritz Charlton di Jakarta terjadi pada Jumat pagi (17/7). Saat diwawancarai sebuah TV swasta via sambungan telepon Jumat malam, ia mengatakan, pemerintah hendaknya lebih mengantisipasi gerakan Wahabi di Indonesia. Selain itu, ia juga mengatakan bahwa gerakan organisasi Islam transnasional seperti Ikhwanul Muslimin, mestinya menjadi perhatian serius. Sebelumnya yang terkena tudingan sebagai bagian dari kelompok Wahabi adalah Ketua MPR Hidayat Nur Wahid. Tudingan itu ditujukan pada dirinya sesaat setelah dicalonkan PKS sebagai Wakil Presiden untuk mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono. Bahkan Hidayat pun dituding anti-NKRI. “Saya difitnah sebagai Wahabi dan anti-NKRI. Saya mendapat SMS dari kawan-kawan (Partai) Demokrat untuk minta tolong agar diklarifikasi,” kata Hidayat Nur Wahid, Rabu (29/4), sebagaimana dimuat harian Kompas (30/4). Hidayat Nur Wahid pun lantas membantah dirinya bagian dari kelompok Wahabi. Ia mengatakan, Wahabi adalah kelompok di Timur Tengah yang membid’ahkan dan mengharamkan politik. Adapun dirinya pendiri partai politik, bahkan pernah menjadi pimpinan partai politik. “Di situ saja fitnah itu mengada-ada,” katanya tegas. Tentang disebut anti-NKRI, ia menyebut, saat memimpin partai pernah melakukan kontrak politik dengan Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2004. Salah satu butir kontrak politik adalah mempertahankan NKRI. Kemudian sebagai Ketua MPR saat ini, Hidayat mensosialisasikan UUD 1945, yang di antaranya menegaskan bahwa bentuk negara sebagai hal yang tidak bisa diubah. Pada saat pembahasan RUU Anti-Pornografi, kata Wahabi juga muncul dari sebagian elemen masyarakat yang menolak RUU Anti-Pornografi. Mereka menyebut pihak-pihak yang mendukung RUU Anti-Pornografi berasal dari kelompok Wahabi. Ungkapan yang lebih lebar disampaikan salah satu tokoh ormas keagamaan belum lama ini. Ia meminta kepada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang akan datang tidak memilih Menteri Agama dari kelompok Wahabi. Ia khawatir, jika nanti Menteri Agama dari kelompok Wahabi, kegiatan tahlil dan ziarah kubur akan dilarang. Padahal ziarah kubur menunjukkan kesalehan seseorang. Dari sini tampak cakupan penyebutan Wahabi sangat luas sekali. Pengistilahan Wahabi tidak dibatasi suatu definisi pasti. Ia bisa melebar kemana-mana sesuai kebutuhan. Begitu pula penyebutan Wahabi secara tidak langsung distigmatisasi ke arah yang yang buruk. Seseorang bisa dituding Wahabi mulai dari sekadar karena perbedaan cara ibadah sampai tudingan ke arah praktik
ekstremitas. Menurut Asep Sobari, peneliti sejarah peradaban Islam INSIST (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations), istilah Wahabi selalu dikaitkan dengan gerakan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, sebuah gerakan di Arab Saudi. Menurutnya, istilah ini sebenarnya berasal bukan dari ia sendiri ataupun pengikut gerakannya, melainkan dari pihak luar. Masalahnya, mengapa orang luar yang mengatakan aktivitas Muhammad bin Abdul Wahab sebagai gerakan Wahabi, sementara ia sendiri tidak mengatakan demikian. “Sehingga patut dikatakan, Wahabi itu sebenarnya apa? Gerakan atau gagasan? Itu semua bisa kita diskusikan secara ilmiah dan melalui jalur akademis,” katanya. Alumnus pesantren Gontor ini menjelaskan, banyak literatur yang membahas gagasan serta pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab. Setidaknya dari situ kita bisa mengetahui, apa benar Wahabi itu menebarkan aroma teror dan tindakan ekstremisme. Sebab, beliau sendiri tidak memiliki gagasan maupun pemikiran seperti itu. “Beliau tidak pernah membolehkan pembunuhan. Jangankan pembunuhan terhadap muslim, di luar muslim juga diharamkan untuk dibunuh. Jadi tidak ada pandangan beliau yang teridentifikasi sebagai gerakan ektremisme. Adapun sejarah perang, praktis semua punya sejarah perang. Tidak bisa dikaitkan sejarah dulu dengan kasus terorisme. Tidak ada kaitannya terorisme dengan Muhammad bin Abdul Wahab,” katanya. Yang membuat istilah Wahabi sebenarnya orang ataupun golongan di luar kelompok Muhammad bin Abdul Wahab yang tidak senang dengan gerakannya. Golongan itu berkaitan dengan dinasti Ustmaniyah, pemerintahan di Hijaz, dan sejumlah perbedaan paham antara mazhab Abdul Wahab dengan ulama Hijaz. Muncullah stigma-stigma untuk mendeskriditkan Abdul Wahab. Namun hal itu kemudian diluruskan oleh beliau. “Orang memberikan stigma gerakan Abdul Wahab dengan gerakan Wahabisme, yang justru tidak memiliki keterkaitan dengan Abdul Wahab di Arab Saudi,” jelasnya. Lebih lanjut, Asep menjelaskan, dari segi mazhab sebenarnya Abdul Wahab menganut mazhab Hanbali. Mazhab ini adalah salah satu dari empat mazhab yang dipedomani oleh banyak negara. Jadi mengapa hal ini menjadi sorotan? Sebab, dalam masalah akidah tidak ada sesuatu yang baru ataupun melenceng. Ia hanya melakukan penyegaran dalam hal akidah dari Ibnu Taymiyyah. Selain itu, ia juga belajar kepada Abu Ja’far At Thahawi yang merupakan ulama bermazhab Hanafi. “Jadi sebenarnya secara wacana Abdul Wahab jauh lebih maju. Kalau begitu, sisi ekstrim dan kakunya di mana?” ucap Asep. Asep menjelaskan, selain istilah Wahabi, juga ada “campur tangan” asing.” Persoalan itu telah terjadi berkaitan sejarah yang panjang, yaitu sekitar 3 abad silam. Seperti diketahui, menurut Asep, dalam setiap masa, pasti ada yang memiliki pemikiran dan fatwa berbeda. Fenomena yang muncul juga berbeda. Masalahnya, di sini perbedaan justru dinilai negatif dan salah. Padahal tidak demikian. Apalagi perbedaan pasti terjadi dimana pun. Jangan sampai, anggapan salah dan negatif terhadap perbedaan itu disebut penyimpangan. Distorsi Sejarah Menurut Asep, selama ini telah terjadi distorsi fakta sejarah tentang Wahabi. Wahabi diidentikkan dengan gerakan-gerakan Islam yang sudah eksis di tanah air. Padahal, belum tentu gerakan-gerakan tersebut mewakili orisinalitas pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab. “Gerakan-
gerakan tersebut belum tentu merepresentasikan Wahabi,” ujar alumnus Universitas Islam Madinah Munawwaroh, Saudi Arabia ini. Terkait gerakan Islam transnasioanal yang dikait-kaitkan dengan Wahabi, menurut Asep, sangat dangkal. Gerakan Islam transnasional yang dimaksudkan oleh sejumlah tokoh, yang katanya ada keterkaitan pola-pola luar negeri dengan Indonesia itu, tidak berdasar. Sebab Islam tidak menganut lokalitas, atau dengan artian semuanya adalah transnasional (lintas Negara). “Islam tidak mengenal teritorial dan negara. Semua sama dan transnasional,” pungkas Asep. Buktinya, mereka yang mengatakan demikian juga belajar di Timur Tengah. Istilah Islam rahmatan lilalamin itu juga berarti adalah Islam transnasional. Menurutnya, hal itu disebabkan karena ada pembajakan terminologi. Kemudian terminologi buatan itu diredefiniskan untuk kepentingan tertentu. “Kita ini Islam rahmatan lil’alamin, bukan Islam lokalitas. NU dan Muhammadiyah juga seperti itu. Justru kalau ada Islam lokalitas itu nggak jelas dan bid’ah. Shalat kan satu dan dasar pemikirannya kan satu,” jelasnya. Sebagaimana terdapat dalam buku “Ilusi Negara Islam”, menurut Asep, buku itu tidak layak menjadi rujukan. Karena sumber-sumbernya sendiri ada polemik dengan para penulisnya. “Bukan saja karena Gus Dur (Abdurrahman Wahid) dan Syafi’i Ma’arif, tapi juga keberadaan Libforall. Bukti tersebutlah seharusnya yang paling nyata bahwa buku “Ilusi Negara Islam” sebagai buku transnasional paling nyata,” ujarnya. Ia mengatakan, gerakan Islam itu pasti transnasional. Tak kecuali NU (Nahdhatul Ulama) dan Muhammadiyah. Pendiri NU ada pengaruhnya dengan transnasional. Lihat saja, pendiri atau kiainya ada hubungan dengan ulama di Mekkah, Hijaz, dan lainnya. Dari situ diketahui bahwa tidak ada mazhab lokal. Asep juga mengatakan, Imam Syafi’i yang madzhab Safi’iyahnya dipakai di Indonesia, berasal dari luar negeri. Beliau lahir di Gaza , besar di Makkah, pernah juga belajar di Mesir, dan kemudian madzhabnya dipakai di Indonesia. “Ini tidak dipermasalahkan sebagai gerakan transnasional,” ujarnya. Asep mengakui, dirinya tak menafikan jika ada orang yang berfikir terorisme. Namun, menurutnya, terorisme itu dipicu bukan hanya karena satu faktor saja. “Bisa saja memang, orang menjadi teroris menggunakan ciri-ciri itu. Tapi jangan hanya dibahas dan berfikir ciri-cirinya saja. Ini tidak arif. Bisa jadi, ini merupakan stigmatisasi dan kesalahan besar dalam memandang terorisme,” ucapnya. “Seperti celana di atas mata kaki, berjenggot, dan lainnya,” imbuhnya. Ia menilai, hal tersebut setidaknya karena ada kepentingan dan target dari pihak lain. “Stigmatisasi dijadikan konsumsi pulbik yang dimanfaatkan oleh kaum tertentu. Sehingga, kaum muslimin akan kehilangan identities kemuslimannya,” ungkapnya. Tak hanya itu, posisi umat Islam juga tersudutkan. Takut menunjukkan keislaman, takut dan menjadi inferior. “Padahal menghidupkan sunnah kan mulia. Apa masalahnya dengan jenggot dan celana di atas mata kaki,” tegasnya. Namun karena teroris menggunakan itu, maka hal itu dipermasalahkan. Hal ini merupakan upaya untuk menjauhkan umat Islam dari identitias keislaman. “Masyarakat sedang digiring untuk menjadi inferior,” ungkapnya. Terkait stigmatisasi, hal itu muncul bisanya karena adanya benturan dua kekuatan. Kekuatan yang dominan dan kuat secara argumentasi, maka dilawan dengan stigma. Sebagaimana dalam
sejarah perjuangan Nabi, yang sering digunakan oleh kafir Quraisy. Mereka tahu Rasulullah seorang Al-Amin dan shiddiq, Tapi ketika beliau mulai menyebarkan ajaran Islam, baru kemudian muncul stigma kepadanya, bahwa Nabi adalah dukun, tukang sihir, plagiator kitab suci, dan stigmatisasi lainnya. Cara-cara seperti itu sudah lama dan sunnatullah. Islam sudah dikaji ratusan tahun oleh para orientalis Barat. Mereka tahu betul seperti apa Islam dan umat Islam sebenarnya. Mereka tahu, menghancurkan Islam bukan dengan jalan perang, melainkan dengan stigmatisasi. Karena, mereka tahu, umat Islam memiliki satu kekuatan yang ketika bangkit dan sadar, bisa menjadi kekuatan yang tak terkalahkan. Jadi stigma itu membuat umat Islam tidak pede atau inferior dan tidak memiliki imunitas lagi. “Oleh karena itu, terkait dengan tudingan bahwa pelaku terorisme adalah golongan Wahabi, maka seharusnya harus jelas, yang dimaksud Wahabi di sini apa? Perlu didefinisikan agar tidak ambiguitas,“ ujar Asep. Tudingan bahwa Wahabi ingin mendirikan negara islam juga perlu dipertanyakan. Sebab, golongan di Arab Saudi sendiri, tidak ada satu pun wacana untuk menggulingkan negara yang eksis selama tidak benar-benar seratus persen kafir. “Wahabi di Arab Saudi tidak pernah berupaya menggulingkan negara yang sah. Demonstrasi saja haram. Karena dianggap suatu tindakan yang menjurus ke pemberontakan. Oleh sebab itu, aneh jika gerakan Wahabi dikaitkan dengan pendirian negara islam,” ujarnya. [ans/www.hidayatullah.com]