Wahabi

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Wahabi as PDF for free.

More details

  • Words: 3,865
  • Pages: 10
Wahabi, Sasaran Empuk untuk Dituding Wahabi menjadi kambing hitam untuk suatu peristiwa yang terjadi di tanah air. Selalu menjadi sasaran tembak paling mudah Hidayatullah.com--Lagi-lagi Wahabi menjadi kambing hitam untuk suatu peristiwa yang terjadi di tanah air. Selalu menjadi sasaran tembak paling mudah. Bahkan Wahabi juga menjadi suatu predikat yang ditempelkan pada seseorang bila yang bersangkutan dipandang “agak lain” dari kebiasaan umumnya. Tudingan terdekat terhadap Wahabi disampaikan mantan Kepala Badan Intelijen Negaral (BIN) Abdullah Mahmud Hendropriyono ketika peristiwa bom di Hotel Marriot dan Ritz Charlton di Jakarta terjadi pada Jumat pagi (17/7). Saat diwawancarai sebuah TV swasta via sambungan telepon Jumat malam, ia mengatakan, pemerintah hendaknya lebih mengantisipasi gerakan Wahabi di Indonesia. Selain itu, ia juga mengatakan bahwa gerakan organisasi Islam transnasional seperti Ikhwanul Muslimin, mestinya menjadi perhatian serius. Sebelumnya yang terkena tudingan sebagai bagian dari kelompok Wahabi adalah Ketua MPR Hidayat Nur Wahid. Tudingan itu ditujukan pada dirinya sesaat setelah dicalonkan PKS sebagai Wakil Presiden untuk mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono. Bahkan Hidayat pun dituding anti-NKRI. “Saya difitnah sebagai Wahabi dan anti-NKRI. Saya mendapat SMS dari kawankawan (Partai) Demokrat untuk minta tolong agar diklarifikasi,” kata Hidayat Nur Wahid, Rabu (29/4), sebagaimana dimuat harian Kompas (30/4). Hidayat Nur Wahid pun lantas membantah dirinya bagian dari kelompok Wahabi. Ia mengatakan, Wahabi adalah kelompok di Timur Tengah yang membid’ahkan dan mengharamkan politik. Adapun dirinya pendiri partai politik, bahkan pernah menjadi pimpinan partai politik. “Di situ saja fitnah itu mengada-ada,” katanya tegas. Tentang disebut anti-NKRI, ia menyebut, saat memimpin partai pernah melakukan kontrak politik dengan Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2004. Salah satu butir kontrak politik adalah mempertahankan NKRI. Kemudian sebagai Ketua MPR saat ini, Hidayat mensosialisasikan UUD 1945, yang di antaranya menegaskan bahwa bentuk negara sebagai hal yang tidak bisa diubah. Pada saat pembahasan RUU Anti-Pornografi, kata Wahabi juga muncul dari sebagian elemen masyarakat yang menolak RUU Anti-Pornografi. Mereka menyebut pihak-pihak yang mendukung RUU Anti-Pornografi berasal dari kelompok Wahabi. Ungkapan yang lebih lebar disampaikan salah satu tokoh ormas keagamaan belum lama ini. Ia meminta kepada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang akan datang tidak memilih Menteri Agama dari kelompok Wahabi. Ia khawatir, jika nanti Menteri Agama dari kelompok Wahabi, kegiatan tahlil dan ziarah kubur akan dilarang. Padahal ziarah kubur menunjukkan kesalehan seseorang. Dari sini tampak cakupan penyebutan Wahabi sangat luas sekali. Pengistilahan Wahabi tidak dibatasi suatu definisi pasti. Ia bisa melebar kemana-mana sesuai kebutuhan. Begitu pula

penyebutan Wahabi secara tidak langsung distigmatisasi ke arah yang yang buruk. Seseorang bisa dituding Wahabi mulai dari sekadar karena perbedaan cara ibadah sampai tudingan ke arah praktik ekstremitas. Menurut Asep Sobari, peneliti sejarah peradaban Islam INSIST (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations), istilah Wahabi selalu dikaitkan dengan gerakan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, sebuah gerakan di Arab Saudi. Menurutnya, istilah ini sebenarnya berasal bukan dari ia sendiri ataupun pengikut gerakannya, melainkan dari pihak luar. Masalahnya, mengapa orang luar yang mengatakan aktivitas Muhammad bin Abdul Wahab sebagai gerakan Wahabi, sementara ia sendiri tidak mengatakan demikian. “Sehingga patut dikatakan, Wahabi itu sebenarnya apa? Gerakan atau gagasan? Itu semua bisa kita diskusikan secara ilmiah dan melalui jalur akademis,” katanya. Alumnus pesantren Gontor ini menjelaskan, banyak literatur yang membahas gagasan serta pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab. Setidaknya dari situ kita bisa mengetahui, apa benar Wahabi itu menebarkan aroma teror dan tindakan ekstremisme. Sebab, beliau sendiri tidak memiliki gagasan maupun pemikiran seperti itu. “Beliau tidak pernah membolehkan pembunuhan. Jangankan pembunuhan terhadap muslim, di luar muslim juga diharamkan untuk dibunuh. Jadi tidak ada pandangan beliau yang teridentifikasi sebagai gerakan ektremisme. Adapun sejarah perang, praktis semua punya sejarah perang. Tidak bisa dikaitkan sejarah dulu dengan kasus terorisme. Tidak ada kaitannya terorisme dengan Muhammad bin Abdul Wahab,” katanya. Yang membuat istilah Wahabi sebenarnya orang ataupun golongan di luar kelompok Muhammad bin Abdul Wahab yang tidak senang dengan gerakannya. Golongan itu berkaitan dengan dinasti Ustmaniyah, pemerintahan di Hijaz, dan sejumlah perbedaan paham antara mazhab Abdul Wahab dengan ulama Hijaz. Muncullah stigma-stigma untuk mendeskriditkan Abdul Wahab. Namun hal itu kemudian diluruskan oleh beliau. “Orang memberikan stigma gerakan Abdul Wahab dengan gerakan Wahabisme, yang justru tidak memiliki keterkaitan dengan Abdul Wahab di Arab Saudi,” jelasnya. Lebih lanjut, Asep menjelaskan, dari segi mazhab sebenarnya Abdul Wahab menganut mazhab Hambali. Mazhab ini adalah salah satu dari empat mazhab yang dipedomani oleh banyak negara. Jadi mengapa hal ini menjadi sorotan? Sebab, dalam masalah akidah tidak ada sesuatu yang baru ataupun melenceng. Ia hanya melakukan penyegaran dalam hal akidah dari Ibnu Taymiyyah. Selain itu, ia juga belajar kepada Abu Ja’far At Thahawi yang merupakan ulama bermazhab Hanafi. “Jadi sebenarnya secara wacana Abdul Wahab jauh lebih maju. Kalau begitu, sisi ekstrim dan kakunya di mana?” ucap Asep. Asep menjelaskan, selain istilah Wahabi, juga ada “campur tangan” asing. Persoalan itu telah terjadi berkaitan sejarah yang panjang, yaitu sekitar 3 abad silam. Seperti diketahui, menurut Asep, dalam setiap masa, pasti ada yang memiliki pemikiran dan fatwa berbeda. Fenomena yang muncul juga berbeda. Masalahnya, di sini perbedaan justru dinilai negatif dan salah. Padahal tidak demikian. Apalagi perbedaan pasti terjadi dimana pun. Jangan sampai, anggapan salah dan negatif terhadap perbedaan itu disebut penyimpangan. Distorsi Sejarah Menurut Asep, selama ini telah terjadi distorsi fakta sejarah tentang Wahabi. Wahabi diidentikkan dengan gerakan-gerakan Islam yang sudah eksis di tanah air. Padahal, belum tentu gerakangerakan tersebut mewakili orisinalitas pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab. “Gerakan-

gerakan tersebut belum tentu merepresentasikan Wahabi,” ujar alumnus Universitas Islam Madinah Munawwaroh, Saudi Arabia ini. Terkait gerakan Islam transnasioanal yang dikait-kaitkan dengan Wahabi, menurut Asep, sangat dangkal. Gerakan Islam transnasional yang dimaksudkan oleh sejumlah tokoh, yang katanya ada keterkaitan pola-pola luar negeri dengan Indonesia itu, tidak berdasar. Sebab Islam tidak menganut lokalitas, atau dengan artian semuanya adalah transnasional (lintas Negara). “Islam tidak mengenal teritorial dan negara. Semua sama dan transnasional,” pungkas Asep. Buktinya, mereka yang mengatakan demikian juga belajar di Timur Tengah. Istilah Islam rahmatan lilalamin itu juga berarti adalah Islam transnasional. Menurutnya, hal itu disebabkan karena ada pembajakan terminologi. Kemudian terminologi buatan itu diredefiniskan untuk kepentingan tertentu. “Kita ini Islam rahmatan lil’alamin, bukan Islam lokalitas. NU dan Muhammadiyah juga seperti itu. Justru kalau ada Islam lokalitas itu nggak jelas dan bid’ah. Shalat kan satu dan dasar pemikirannya kan satu,” jelasnya. Sebagaimana terdapat dalam buku “Ilusi Negara Islam”, menurut Asep, buku itu tidak layak menjadi rujukan. Karena sumber-sumbernya sendiri ada polemik dengan para penulisnya. “Bukan saja karena Gus Dur (Abdurrahman Wahid) dan Syafi’i Ma’arif, tapi juga keberadaan Libforall. Bukti tersebutlah seharusnya yang paling nyata bahwa buku “Ilusi Negara Islam” sebagai buku transnasional paling nyata,” ujarnya. Ia mengatakan, gerakan Islam itu pasti transnasional. Tak kecuali NU (Nahdhatul Ulama) dan Muhammadiyah. Pendiri NU ada pengaruhnya dengan transnasional. Lihat saja, pendiri atau kiainya ada hubungan dengan ulama di Mekkah, Hijaz, dan lainnya. Dari situ diketahui bahwa tidak ada mazhab lokal. Asep juga mengatakan, Imam Syafi’i yang madzhab Safi’iyahnya dipakai di Indonesia, berasal dari luar negeri. Beliau lahir di Gaza , besar di Makkah, pernah juga belajar di Mesir, dan kemudian madzhabnya dipakai di Indonesia . “Ini tidak dipermasalahkan sebagai gerakan transnasional,” ujarnya. Asep mengakui, dirinya tak menafikan jika ada orang yang berfikir terorisme. Namun, menurutnya, terorisme itu dipicu bukan hanya karena satu faktor saja. “Bisa saja memang, orang menjadi teroris menggunakan ciri-ciri itu. Tapi jangan hanya dibahas dan berfikir ciri-cirinya saja. Ini tidak arif. Bisa jadi, ini merupakan stigmatisasi dan kesalahan besar dalam memandang terorisme,” ucapnya. “Seperti celana di atas mata kaki, berjenggot, dan lainnya,” imbuhnya. Ia menilai, hal tersebut setidaknya karena ada kepentingan dan target dari pihak lain. “Stigmatisasi dijadikan konsumsi pulbik yang dimanfaatkan oleh kaum tertentu. Sehingga, kaum muslimin akan kehilangan identities kemuslimannya,” ungkapnya. Tak hanya itu, posisi umat Islam juga tersudutkan. Takut menunjukkan keislaman, takut dan menjadi inferior. “Padahal menghidupkan sunnah kan mulia. Apa masalahnya dengan jenggot dan celana di atas mata kaki,” tegasnya. Namun karena teroris menggunakan itu, maka hal itu dipermasalahkan. Hal ini merupakan upaya untuk menjauhkan umat Islam dari identitias keislaman. “Masyarakat sedang digiring untuk menjadi inferior,” ungkapnya. Terkait stigmatisasi, hal itu muncul bisanya karena adanya benturan dua kekuatan. Kekuatan yang dominan dan kuat secara argumentasi, maka dilawan dengan stigma. Sebagaimana dalam sejarah perjuangan Nabi, yang sering digunakan oleh kafir Quraisy. Mereka tahu Rasulullah seorang Al-Amin dan shiddiq, Tapi ketika beliau mulai menyebarkan ajaran Islam, baru kemudian

muncul stigma kepadanya, bahwa Nabi adalah dukun, tukang sihir, plagiator kitab suci, dan stigmatisasi lainnya. Cara-cara seperti itu sudah lama dan sunnatullah. Islam sudah dikaji ratusan tahun oleh para orientalis Barat. Mereka tahu betul seperti apa Islam dan umat Islam sebenarnya. Mereka tahu, menghancurkan Islam bukan dengan jalan perang, melainkan dengan stigmatisasi. Karena, mereka tahu, umat Islam memiliki satu kekuatan yang ketika bangkit dan sadar, bisa menjadi kekuatan yang tak terkalahkan. Jadi stigma itu membuat umat Islam tidak pede atau inferior dan tidak memiliki imunitas lagi. “Oleh karena itu, terkait dengan tudingan bahwa pelaku terorisme adalah golongan Wahabi, maka seharusnya harus jelas, yang dimaksud Wahabi di sini apa? Perlu didefinisikan agar tidak ambiguitas,“ ujar Asep. Tudingan bahwa Wahabi ingin mendirikan negara islam juga perlu dipertanyakan. Sebab, golongan di Arab Saudi sendiri, tidak ada satu pun wacana untuk menggulingkan negara yang eksis selama tidak benarbenar seratus persen kafir. “ Wahabi di Arab Saudi tidak pernah berupaya menggulingkan negara yang sah. Demonstrasi saja haram. Karena dianggap suatu tindakan yang menjurus ke pemberontakan. Oleh sebab itu, aneh jika gerakan Wahabi dikaitkan dengan pendirian negara islam,” ujarnya. [ans/www.hidayatullah.com]

Muhammad bin Abdul Wahab Penegak Panji Tauhid Bersama Amir Dir'iyyah Muhammad bin Sa'ud saling beramal dalam upaya menegakkan dakwah Islamiyah. Nantinya sebagai asas dan pondasi berdirinya Daulah Jadidah (Saudi Arabia) Hidayatullah.com--Pada abad 12 H/17 M keadaan umat di jazirah Arab sangat jauh menyimpang dari ajaran Islam, terutama dalam aspek akidah. Di sanasini banyak praktik syirik dan bid’ah. Para ulama sulit mengatasi. Usaha mereka hanya sebatas di lingkungan saja dan tidak berpengaruh secara luas, atau hilang ditelan oleh arus gelombang yang begitu kuat dari pihak yang menentang. Jumlah pelaku syirik dan bi’dah begitu banyak, di samping pengaruh kuat dari tokohtokoh masyarakat yang mendukung praktik-praktik tersebut demi kelanggengan pengaruh mereka atau karena mencari kepentingan duniawi di belakang itu, sebagaimana masih kita saksikan di tengah-tengah sebagian umat Islam sekarang ini. Dari segi aspek politik, di jazirah Arab berada di bawah kekuasaan yang terpecah-pecah. Terlebih khusus di daerah Nejd. Perebutan kekuasaan selalu terjadi di sepanjang waktu, sehingga hal tersebut sangat berdampak negatif untuk kemajuan ekonomi dan pendidikan agama. Para penguasa makmur dengan memungut upeti dari rakyat jelata. Mereka sangat marah bila ada kekuatan atau dakwah yang dapat menggoyang kekuasaan mereka. Para tokoh adat dan agama yang biasa memungut iuran dari pengikut mereka, akan kehilangan objek jika pengikut mereka mengerti tentang akidah dan agama dengan benar. Dari sini mereka sangat hati-hati bila ada seseorang yang mencoba memberi pengertian kepada umat tentang akidah atau agama yang benar. Pada saat itu di Nejd lahir sang pengibar bendera tauhid, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Disebutkan oleh penulis sejarah dan penulis biografi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, di masa itu pengaruh keagamaan melemah di dalam tubuh kaum muslimin sehingga tersebarlah berbagai bentuk maksiat, khurafat, syirik, bid’ah, dan sebagainya. Ilmu agama mulai minim di kalangan kebanyakan kaum muslimin, sehingga praktikpraktik syirik terjadi di sana-sini, seperti meminta ke kuburan wali-wali, atau meminta ke batu-batu dan pepohonan dengan memberikan sesajian, atau mempercayai dukun, tukang tenung, dan peramal.

Di Nejd terdapat kampung bernama Jubailiyah. Di situ terdapat kuburan sahabat Zaid bin Khaththab (saudara Umar bin Khaththab) yang syahid dalam perperangan melawan Musailamah Al Kadzab. Manusia berbondong-bondong ke sana untuk meminta berkah dan meminta berbagai hajat. Begitu pula di kampung ‘Uyainah, terdapat sebuah pohon yang diagungkan. Banyak orang mencari berkah ke situ, termasuk para kaum wanita yang belum mendapatkan pasangan hidup. Penyimpangan bahkan juga terjadi di Hijaz (Mekkah dan Madinah), walaupun penyebaran ilmu agama berada di dua kota suci ini. Di sini tersebar kebiasaan bersumpah dengan selain Allah. Juga kebiasaan menembok serta membangun kubah-kubah di atas kuburan, serta berdoa di sana untuk mendapatkan kebaikan atau untuk menolak mara bahaya. Jika di dua kota suci itu saja kesyirikan sudah begitu menyebar, apalagi di kotakota sekitarnya, ditambah lagi dengan kurangnya ulama. Pasti lebih memprihatinkan. Hal tersebut kemudian disebut oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam kitabnya al-Qawa’id Arba’, “Sesungguhnya kesyirikan pada zaman kita sekarang melebihi kesyirikan umat yang lalu. Kesyirikan umat yang lalu hanya pada waktu senang saja, akan tetapi mereka ikhlas pada saat menghadapi bahaya. Sedangkan kesyirikan pada zaman kita senantiasa pada setiap waktu, baik di saat aman apalagi saat mendapat bahaya”. Dalilnya firman Allah, “Maka apabila mereka menaiki kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan agama padanya, maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke daratan, seketika mereka kembali berbuat syirik.” (QS. al-Ankabut: 65) Dalam ayat ini Allah terangkan bahwa ketika mereka berada dalam ancaman tenggelam dalam lautan, mereka berdoa hanya semata kepada Allah dan melupakan berhala atau sesembahan mereka. Namun saat mereka telah selamat sampai di daratan, mereka kembali berbuat syirik. Tetapi pada zaman sekarang orang melakukan syirik setiap saat dalam kondisi apa pun. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab lahir tahun 1115 H di ‘Uyainah, salah satu perkampungan daerah Riyadh. Ia hidup di tengah-tengah keluarga yang dikenal dengan nama keluarga Musyarraf (Ali Musyarraf). Ali Musyarraf ini cabang atau bagian dari Kabilah Tamim yang terkenal. Sedangkan Musyarraf, kakek beliau ke-9 menurut riwayat yang rajih. Dengan demikian nasab beliau adalah Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman bin Ali bin Ahmad bin Rasyid bin Buraid bin Muhammad bin Buraid bin Musyarraf. Muhammad bin Abdul Wahab telah menampakkan semangat thalabul-ilmi sejak usia belia. Beliau memiliki kebiasaan yang sangat berbeda dengan anak-anak sebayanya. Beliau tidak suka dengan main-main dan perbuatan yang sia-sia. Beliau mulai thalabulilmi dengan mendalami al-Qur'anul Karim, sehingga tidak aneh kalau sudah hafal ketika umur 10 tahun. Yang demikian itu terjadi karena banyak faktor mendukungnya. Di antaranya semangat

yang sangat menggebu-gebu dalam menuntut ilmu, serta keadaan lingkungan keluarga yang benar-benar mendorong dan memicu beliau untuk terus-menerus menuntut ilmu. Dan Syaikh Abdul Wahab-lah guru dan sekaligus orang tua beliau yang pertama-tama mencetak kepribadian beliau. Dalam satu suratnya kepada temannya, Syaikh Abdul Wahab berkata, "Sesungguhnya dia (Muhammad bin Abdul Wahab) memiliki pemahaman yang bagus. Kalau seandainya dia belajar selama satu tahun niscaya dia akan hafal, mapan serta, menguasai apa yang dia pelajari. Aku tahu bahwasanya dia telah ihtilam (baligh) pada usia dua belas tahun. Dan aku melihatnya sudah pantas menjadi imam, maka aku jadikan dia sebagai imam shalat berjamaah karena ma'rifah dan ilmunya tentang ahkam. Dan pada usia balighnya itulah aku nikahkan dia. Kemudian setelah nikah, dia meminta izin kepadaku untuk berhaji, maka aku penuhi permintaannya dan aku berikan segala bantuan demi tercapai tujuannya tersebut. Lalu berangkatlah dia menunaikan ibadah haji, salah satu rukun dari rukunrukun Islam." Berguru pada Ulama Haramain Setelah berhaji beliau belajar pada para ulama Haramain (Makkah dan Madinah) selama lebih kurang dua bulan. Kemudian setelah itu kembali lagi ke daerah Uyainah. Setelah pulang dari haji beliau terus memacu belajar. Beliau belajar dari ayah yang sekaligus guru pelajaran Fiqih Hambali, tafsir, hadits, dan tauhid. Tidak berapa lama kemudian Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menunaikan ibadah haji kedua kalinya. Kemudian menuntut ilmu pada para ulama Madinah Al-Munawarah. Di Madinah beliau belajar dengan serius, dan Madinah saat itu adalah tempat berkumpulnya ulama dunia. Di antara guru beliau yang paling beliau kagumi dan senangi adalah Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif an-Najdi dan Syaikh Muhammad Hayat asSindi. Setelah beliau merasa cukup menuntut ilmu dari para ulama Madinah alMunawwarah, maka beliau kembali lagi ke kampung halaman, Uyainah. Setahun kemudian beliau memulai berkelana thalabul-ilmi. Negeri yang dicita-citakan untuk menuntut ilmu adalah Syam. Kota Damaskus saat itu sebuah kota yang sarat akan kegiatan keislaman. Di sana terdapat sebuah madrasah yang memberikan keilmuan tentang madzhab Hambali, dan kegiatan-kegiatan yang menunjang keilmuan tersebut. Namun karena perjalanan dari Najd menuju Damaskus secara langsung sangat sulit, maka Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab pergi menuju Bashrah (Irak). Pada saat itu beliau berkeyakinan bahwa perjalanan dari Bashrah menuju Damaskus sangatlah mudah. Setelah di Bashrah, ternyata apa yang beliau yakini sementara itu tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Perjalanan dari Basrah menuju Damaskus yang semula dianggap mudah, ternyata sulit. Maka bertekadlah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab tinggal di Bashrah. Beliau belajar fiqih dan hadits pada sejumlah ulama, di antaranya bernama Syaikh Muhammad al-Majmu'i. Di samping ilmu fiqih dan hadits beliau juga mendalami ilmu Qawaidul-Arabiyyah, sehingga beliau betul-betul menguasainya. Bahkan selama tinggal di Bashrah beliau sempat mengarang beberapa kitab yang

berkenaan dengan Qawaidul Lughah al-Arabiyyah. Ternyata tidak semua orang yang ada di Bashrah senang terhadap Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dan ulama-ulama yang sepemikiran dengan beliau, khususnya para ulama suu'. Karena ulah dan permusuhan mereka terhadap Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab itulah, akhirnya beliau dengan berat hati meninggalkan negeri Bashrah. Kemudian beliau pergi menuju suatu tempat bernama az-Zubair. Setelah perjalanan beberapa saat di sana, beliau melanjutkan perjalanan menuju al-Ahsaa'. Di daerah tersebut beliau melanjutkan studinya dengan belajar ilmu agama pada para ulama alAhsaa'. Di antara guru-guru beliau yang ada di al-Ahsaa' tersebut adalah Syaikh Abdullah bin Fairuz, Syaikh Abdullah bin Abdul Lathif, serta Syaikh Muhammad bin Afaliq. Dan memang Ahsaa' saat itu merupakan gudangnya ilmu sehingga orang-orang Najd dan orang-orang sebelah timur jazirah Arab berdatangan ke Ahsaa' untuk menuntut ilmu. Kemudian Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab melanjutkan kelana thalabul-ilmi ke daerah Haryamala dan tiba di sana pada tahun 1115H. Kebetulan ayah beliau yang tadinya menjadi qadhi di Uyainah, telah pindah ke daerah tersebut. Maka berkumpullah beliau dengan ayahnya di sana. Tapi baru dua tahun bertemu dan berkumpul dengan orang tua, Syaikh Abdul Wahab bin Sulaiman meninggal dunia, tepatnya pada tahun 1153H. Sepeninggal ayahnya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menggantikan ayahnya dalam melaksanakan segala aktivitasnya di negeri Haryamala tersebut. Dalam waktu yang cukup singkat nama beliau mulai tersohor. Sehingga orang-orang pun berdatangan ke Haryamala menuntut ilmu pada beliau. Bahkan para pemimpin negeri di sekitar Haryamala pun menerima ajakan dan dakwah beliau. Sehingga tidak aneh kalau Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab hanya dua tahun tinggal di Haryamala (sepeninggal ayahnya) demi menyambut ajakan dan tawaran Amir negeri Uyainah, Utsman bin Ma'mar untuk tinggal di negeri Uyainah, negeri kelahiran beliau. Amir Uyainah, Utsman bin Muhammad bin Ma'mar sangat gembira dengan kedatangan beliau. Bahkan dia berkata kepada Syaikh, "Tegakkanlah dakwah di jalan Allah dan kami senantiasa akan membantumu." Maka mulailah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab sibuk dengan urusan dakwah, ta'lim, serta mengajak manusia kepada kebaikan dan saling mencintai karena Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sehingga dalam waktu yang cukup singkat nama beliau sudah masyhur di kalangan penduduk Uyainah. Mereka datang ke tempat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab untuk thallabul ilmi, bahkan penduduk negeri sebelah pun datang ke Uyainah untuk belajar kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Pada suatu hari Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menemui Amir Uyainah. Beliau berkata, "Wahai Amir (Utsman bin Muhammad bin Ma'mar), izinkanlah saya untuk menghancurkan kubah Zaid bin Khathab, karena sungguh kubah tersebut dibangun dalam rangka menentang syari'at Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Allah Ta'ala tidak akan ridha selama-lamanya dengan amalan tersebut. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun

telah melarang dijadikannya kuburan sebagai masjid. Kubah Zaid ini telah menjadi fitnah bagi manusia dan mengubah aqidah mereka. Oleh karena itu wajib bagi kita menghancurkannya." Kemudian Amir Uyainah menjawab, "Silakan kalau engkau memang menghendaki yang demikian itu." Lalu Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab memohon kepada Amir Uyainah agar beliau dibantu oleh tentara Uyainah, karena ditakutkan akan adanya perlawanan dari penduduk desa Jabaliyah, desa terdekat dari kubah Zaid bin Khathab. Maka keluarlah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab bersama 600 tentara Uyainah, dan di tengah-tengah mereka ada Utsman bin Muhammad bin Ma'mar. Setelah penduduk Jabaliyah mendengar kabar bahwa Kubah Zaid bin Khathab akan dihancurkan, maka serempak mereka berniat mempertahankan kubah tersebut. Tapi kubah Zaid bin Khathab yang sudah lama mereka agung-agungkan dan sembah, berhasil dihancurkan. Demikian Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, beliau selalu memberantas hal-hal yang berbau syirik dan hal-hal yang mengarah kepada kesyirikan. Beliau pun menegakkan hukuman had (hukuman cambuk, rajam, atau potong tangan bagi yang berhak). Sehingga, sampailah berita tentang beliau ini ke telinga Amir Al-Ahsaa', yakni Sulaiman bin Urai'ir al-Khalidi, dan para pengikutnya dari bani Khalid. Kabar yang dipahami oleh mereka bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab adalah orang yang suka menghancurkan kubah dan suka merajam wanita. Akhirnya dia berkirim surat kepada Amir Uyainah agar Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dibunuh. Kalau tidak, maka dia tidak akan menyerahkan pajak emas yang biasa diberikan kepada Amir Uyainah dan dia pun akan menyerang negeri Uyainah. Rasa cemas pun menghantui diri Amir Uyainah. Akhirnya dia menemui Syaikh Muhamad bin Abdul Wahab seraya berkata, "Wahai Syaikh sesungguhnya Amir Al-Ahsaa' telah menulis surat kepadaku begini dan begini. Dia menginginkan agar kami membunuhmu. Kami tidak ingin membunuhmu! Dan kami pun tidak berani dengan dia. Tiada daya dan upaya pada kami untuk menentangnya. Oleh karena itu kami berul-betul mengharap Syaikh agar sudi meninggalkan negeri Uyainah ini." Kemudian Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berkata, "Wahai Amir, sesungguhnya apa yang aku dakwahkan ini adalah agama Allah dan realisasi kalimat La ilaaha illallah Muhammadur Rasulullah. Maka barangsiapa yang berpegang teguh dengan agama ini serta menegakkannya di bumi Allah ini, niscaya Allah Subhanahu wa Ta'ala akan menolongnya dan memberinya kekuatan serta menjadikan dia sebagai penguasa di negeri para musuhnya. Jika engkau bersabar dan beristiqamah serta mau menerima ajaran ini, niscaya Allah Subhanahu wa Ta'ala akan menolongmu, menjagamu dari Amir Al-Ahsaa', dan yang lainnya dari musuh-musuhmu, serta Allah Ta'ala akan menjadikanmu sebagai penguasa atas negerinya dan keluarganya." Kemudian Amir Uyainah berkata lagi, "Wahai Syaikh, sesungguhnya kami tiada daya dan upaya untuk memeranginya dan kami tiada mempunyai kesabaran untuk menentangnya." Maka tiada pilihan lain bagi Syaikh Muhamamd bin Abdul Wahab, kecuali harus keluar

dan meninggalkan negeri Uyainah, kampung halaman beliau sendiri. Tempat yang paling cocok dan sesuai bagi kelancaran dakwah beliau selanjutnya adalah negeri Dir'iyyah. Hal ini karena negeri Dir'iyyah semakin hari semakin kuat dalam hal ketentaraan. Terbukti dengan direbutnya kembali kekuasaan yang selalu dirongrong oleh Sa'd bin Muhammad, pemimpin Bani Khalid. Di sisi lain, hubungan antara para pemimpin Dir'iyyah dengan pemimpin Bani Khalid kurang harmonis. Maka di saat pemimpin Bani Khalid bersekongkol dengan Amir Uyainah untuk mengeluarkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, di saat itu pula Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab ingin bergabung dengan para pemimpin Dir'iyyah. Tapi sebab yang terpenting kepergian beliau menuju negeri Dir'iyyah adalah karena dakwah yang beliau sebarkan selama ini mendapat sambutan yang hangat dari para pemimpin negeri tersebut. Di antara mereka adalah keluarga Suwailin, kedua saudara Amir Dir'iyyah (Tsinyan dan Musyairi), dan juga anaknya yang bernama Abdul Aziz. Di saat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berada di rumah keluarga Suwailin, datanglah Amir Dir'iyyah Muhammad bin Sa'ud atas anjuran istrinya untuk menyambut kedatangan Syaikh Muhammad. Akhirnya terwujud suatu kesepakatan bersama untuk saling beramal dalam upaya menegakkan dakwah Islamiyah semaksimal mungkin. Dan kesepakatan inilah yang nantinya sebagai asas dan pondasi bagi berdirinya Daulah Jadidah (Saudi Arabia). Sebagian dari para penulis ada yang berpendapat bahwa dari kesepakatan itu pula tercetuslah suatu pernyataan, urusan pemerintahan dipikul oleh Muhammad bin Sa'ud dan keturunannya, sedang urusan agama (diniyyah) di bawah pengawasan dan bimbingan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab beserta keturunannya. Namun nampaknya pernyataan yang seperti ini belum pernah ada, hanya saja kebetulan keturunan Muhammad bin Sa'ud sangat berbakat dalam mengendalikan urusan pemerintahan, demikian juga keturunan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab sangat mumpuni untuk melanjutkan perjuangan beliau, sehingga hal ini terkesan sudah diatur sebelumnya, padahal hanya kebetulan saja. Demikianlah, Syaikh Muhamamd bin Abdul Wahab dan Amir Dir'iyyah berada di atas kesepakatan yang telah mereka sepakati bersama sampai mereka pergi ke Rahmatullah. Dan selanjutnya diteruskan oleh keturunan mereka masing-masing di kemudian hari. [berbagai sumber/www.hidayatullah.com]

Related Documents

Wahabi
May 2020 19
Wahabi
June 2020 14
Aswj Menentang Wahabi
June 2020 16
Sejarah Tentang Wahabi
July 2020 23