Ustman.docx

  • Uploaded by: AmnaRM
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Ustman.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,426
  • Pages: 6
Al-quran pada masa utsman bin affan Periode ketiga ini terjadi pada masa khalifah Utsman bin Affan, tahun 25 H. yang melatar belakanginya adalah ketika diketahui perbedaan bacaan (qiro-at) di kalangan umat Islam, lantaran berkembangnya mushaf-mushaf yang ada pada para sahabat. Melihat kekhawatiran terjadinya fitnah, khalifah Utsman mengintruksikan agar mushaf-mushaf tersebut disatukan agar umat Islam tidak berbeda lagi ketika membaca Al Qur’an yang bisa menyebabkan perpecahan. Dalam shahih Bukhari diriwayatkan, setelah pembebasan Armenia dan Azerbaijan, Hudzaifah bin Yaman mendatangi Utsman bin Affan. Hudzaifah dikejutkan oleh perbedaan-perbedaan umat Islam dalam membaca Al Qur’an. Beliau katakan kepada Utsman: “Satukanlah umat ini sebelum mereka bercerai-berai laksana berpecahnya Yahudi dan Nasrani”. Lantas Utsman mengutus kepada Hafshah untuk menyampaikan pesan beliau yang berbunyi: “Serahkan kepada kami seluruh lembaran-lembaran Al Qur’an yang ada padamu, untuk kami pindahkan dalam suatu mushaf. Dan pasti lembaran-lembaran itu akan kami kembalikan lagi kepadamu”. Hafshah pun melaksanakannya. Kemudian Utsman memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Al Ash, dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam supaya memindahkan isi lembaranlembaran tersebut ke dalam mushaf. Zaid bin Tsabit merupakan orang Anshar, sedang tiga orang lainnya dari kaum Quraisy. Utsman menekankan kepada tiga orang tersebut: “Bila kamu bertiga dan Zaid berbeda tentang sesuatu dari Al Qur’an, maka tulislah Al Qur’an dengan bahasa kaum Quraisy, karena ia diturunkan dengan bahasa mereka”. Para penghimpun tersebut melaksanakan penekanan Utsaman hingga seluruh lembaran-lembaran itu selesai dipindahkan ke dalam mushaf, dan lembaran-lembaran itupun dikembalikan lagi kepada Hafshah. Setiap bagian kawasan Islam ketika itu diberi satu mushaf sebagai standar. Utsman setelah itu memerintahkan selain mushaf standar ini agar dimusnahkan. Utsman bin Affan tidak melakukan penghimpunan Al Qur’an ini berdasarkan kemauannya sendiri, melainkan setelah mengadakan musyawarah dengan para sahabat lainnya. Ibnu Abi Daud meriwayatkan dari Ali bin Abi Tholib, beliau berkata: “Demi Alloh Subhanahu wa Ta’ala, tidaklah Utsman berbuat ini kecuali di hadapan kami (kalangan sahabat). Beliau berkata: “Saya bermaksud menyatukan manusia (umat Islam) dalam satu mushaf, hingga tidak terjadi lagi perpecahan dan perbedaan”. Kami menjawab: “Alangkah bagusnya yang kau usulkan itu”. Kata Mush’ab bin Sa’d: “Saya melihat manusia jumlahnya banyak sekali ketika Utsman membakar mushaf-mushaf (selain satu mushaf yang telah disatukan). Mereka dikagumkan oleh keputusan Utsman”. Atau dengan kata lain: Tidak ada yang mengingkari hal itu, walaupun satu orang (dari kalangan sahabat). Keputusan ini merupakan kebajikan Amirul Mukminin Utsman bin Affan yang disepakati oleh kaum muslimin, serta penyempurnaan atas penghimpunan yang telah dilakukan oleh khalifah Abu Bakar. Yang membedakan antara kedua jenis pengimpunan ini (periode dua dan tiga) adalah:

1. Tujuan penghimpunan pada masa Abu Bakar merangkul seluruh Al Qur’an dalam satu mushaf agar tidak ada yang hilang sedikitpun, tapi tidak mengharuskan umat Islam atas satu mushaf, karena belum tampak pengaruh perbedaan qiro-at yang bisa menimbulkan perpecahan. 2. Sementara tujuan penghimpunan Al Qur’an pada masa Utsman adalah menyatukan Al Qur’an seluruhnya pada satu mushaf, melihat kekhawatiran pertentangan qiro-at di kalangan umat Islam yang bisa memecah-belah mereka. Dengan upaya Utsman bin Affan ini, tampak kemaslahatan umum kaum muslimin lebih terealisir ketika mereka dapat bersatu di bawah satu kalimat, dan perpecahan serta permusuhan dapat dielakkan. Bukti bersatunya kaum muslimin sampai kini mereka masih tetap berpegang pada mushaf Al Qur’an standar tersebut secara mutawatir, selalu mempelajarinya dan tidak pernah sedikit pun jatuh ke tangan para perusak, tersentuh hawa nafsu. Sungguh, segala puji milik Alloh Subhanahu wa Ta’ala, Tuhan langit, bumi, dan seluruh alam.

Penulisan Pada Masa Ustman bin Affan Pada masa sahabat Ustman bin Affan, untuk ketiga kalinya kembali al-Qur’an ditulis. Penyebabnya adalah Mereka yang berperang itu ada prajurit dari Irak yang cara membaca AlQur’an mereka dari sahabat nabi yang bermukim disana dan ada prajurit dari Syiria yang cara membacanya juga berasal dari sahabat nabi yang dikirim kesana. Kedua bacaan itu memang ada perbedaan, karena dahulu nabi memang mengajarkannya berbeda dengan tujuan untuk memberi kemudahan, mengingat dialek suku arab yang berbeda-beda. Namun pada generasi penerus (Tabi’in) perbedaan cara membaca Al-Qur’an ini justru menjadi pemicu pertikaian yang mengkhawatirkan Khabar pertikaian ini sampai kepada khalifah Ustman bin Affan di Madinah. Akhirnya Ustman memprakarsai penulisan kembali Al-Qur’an dengan tujuan agar kaum muslimin mempunyai rujukan tulisan al-Qur’an yang benar-benar bisa di pertanggungjawabkan. Dengan kata lain Ustman ingin mempersatukan mushaf yang ada (Tauhidul mashahif) Ustman kemudian membentuk panitia empat yang bertugas menulis kembali Al-Qur’an Karim, mereka adalah: 1. Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, 2.

Abdullah bin Zubair.

3.

Abdurrahman bin Harits bin Hisyam,

4.

Zaid bin Tsabit. Sebagian riwayat menambahkan Ibnu abbas masuk sebagai tim Setelah selesai, Usman mengembalikan lembaran-lembaran yang asli kepada Hafsah, lalu dikirimkannya pula ke setiap wilayah masing-masing satu mushaf, dan ditahanyya satu mushaf untuk di Madinah. Yaitu mushafnya sendiri yang dikenal dengan nama “Mushaf Imam”. Kemudian ia memerintahkan membakar semua bentuk lembaran atau mushaf yang selain itu. Adapun lembaran-lembaran yang dikembalikan kepada Hafsah, tetap berada ditangannya hingga ia wafat. Setelah itu lembaran-lembaran tersebut dimusnahkan, dan dikatakan pula bahwa lembaran-lembaran tersebut diambil oleh Marwan bin Hakam lalu dibakar.[11] Mushaf-mushaf yang ditulis oleh Usman itu sekarang hampir tidak ditemukan sebuah pun juga. Keterangan yang diriwayatkan oleh Ibn Katsir dalam kitabnya Fada’ilul Qur’an menyatakan bahwa ia menemukan satu buah diantaranya di masjid Damsyik di Syam. Mushaf itu ditulis pada lembaran yang – menurutnya – terbuat dari kulit unta. Dan diriwayatkannya pula

mushaf Syam ini dibawa ke Inggris setelah beberapa lama berada ditangan kaisar Rusia di perpustakaan Leningrad. Juga dikatakan bahwa mushaf itu terbakar dalam masjid Damsyik pada tahun 1310 H.

Pengumpulan pada Masa Khalifah Utsman bin ‘Affan Penulisan pada masa Usman terjadi pada tahun 25 Hijriah. Penulisan pada masa ini adalah dalam rangka menyatukan berbagai macam perbedaan bacaan yang beredar di masyarakat saat itu. Ketika terjadi perang Armenia dan zarbaijan dengan penduduk Irak, di antara orang yang ikut menyerbu kedua tempat itu ialah Huzaifah bin Yaman. Ia melihat banyak perbedaan dalam cara–cara membaca Al–qur’an. Sebagian bacaan itu bercampur dengan kesalahan, tetapi masing–masing mempertahankan dan berpegang pada bacaannya, serta menentang setiap orang yang menyalahi bacaannya dan bahkan mereka saling mengkafirkan. Melihat kenyataan demikian Huzaifah segera menghadap Utsman dan melaporkan kepadanya apa yang dilihatnya. Dengan keadaan demikian, Utsman pun khawatir bahwa akan adanya perbedaan bacaan pada anak– anak nantinya. Para sahabat memprihatinkan kenyataan karena takut kalau ada penyimpangan dan perubahan. Mereka bersepakat untuk menyalin lembaran–lembaran pertama yang ada pada Abu Bakar dan menyatukan umat Islam pada lembaran–lembaran itu dengan bacaan yang tetap pada satu huruf. Utsman kemudian mengirimkan utusan kepada Hafsah untuk meminjam mushaf yang ada padanya. Kemudian Utsman membentuk panitia yang beranggotakan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘As, dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam, ketiga orang terakhir adalah suku Quraisy. Lalu memerintahkan mereka untuk memperbanyak mushaf. Nasehat Utsman kepada mereka: 1. Mengambil pedoman kepada bacaan mereka yang hafal Al–qur’an 2. Jika ada perselisihan di antara mereka tentang bahasa (bacaan), maka haruslah dituliskan dalam dialek suku Quraisy, sebab Al–qur’an diturunkan menurut dialek mereka . Mereka melaksanakan perintah tersebut. Setelah mereka selesai menyalinnya menjadi beberapa mushaf, Utsman mengembalikan lembaran asli kepada Hafsah. Al–qur’an yang telah dibukua dinamai dengan “Al – Mushaf”, dan panitia membuat lima buah mushaf. Empat di antaranya dikirimkan ke Mekah, Syria, Basrah dan Kufah, agar di tempat – tepat itu disalin pula, dan satu buah ditinggalkan di Madinah, untuk Utsman sendiri, dan itulah yang dinamai Mushaf “Al–Imam”, dan memerintahkan agar semua Al–qur’an atau mushaf yang ada dibakar. Dengan demikian, dibukukannya Al–qur’an di masa Utsman manfaatnya yang utama adalah: 1. menyatukan kaum muslimin pada satu macam mushaf yang seragam ejaan dan tulisannya. 2. menyatukan bacaan, dan kendatipun masih ada kelainan bacaan, tetapi tidak tidak bertentangan dengan ejaan mushaf–mushaf Utsman. 3. menyatukan tertib susunan surat–surat. Sebab–sebab Al–qur’an belum dibukukan semasa Rasulullah SAW hidup Sebab–sebab mengapa Al–qur’an belum dibukukan pada masa Nabi saw masih hidup adalah: 1. Al–qur’an diturunkan secara berangsur–angsur dan terpisah–pisah. 2. Sebagian ayat ada yang dimansukh. Mansukh dan nasikh adalah menurut para ulama salaf pada umumnya adalah pembatalan hukum secara global, dan itu merupakan istilah para ulama muta’akhirin (belakangan); atau pembatalan dalalah (aspek dalil) yang umum, mutlak dan nyata. Pembatalan ini

dapat berupa pengkhususan atau pemberian syarat tertentu, atau mengartikan yang mutlak menjadi yang terikat dengan suatu syarat, menafsirkannya dan menjelaskannya. 3. Susunan ayat dan surat tidaklah berdasarkan urutan turunnya. 4. Masa turunnya wahyu terakhir dengan wafatnya Rasulullah adalah sangat dekat. Demikianlah periode masa dibukukannya Al–qur’an, sejak zaman Khalifah Utsman bin Affan sampai dengan Al–qur’an yang ada pada sekarang. Bahkan sampai saat ini, dengan adanya mushaf Al–qur’an, Al–qur’an menjadi satu–satunya buku yang paling banyak dihafal oleh manusia di dunia, baik sebagian maupun keseluruhan isinya. Sehingga keberadaan dan kemurnian Al–qur’an akan selalu terjaga sampai hari kiamat sebagaimana tersebut dalam firman Allah SWT : “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al – qur’an, dan sesungguhnya Kami benar – benar memeliharanya.”. (Qs. Al–Hijr : 9)

More Documents from "AmnaRM"