URGENSI PENINJAUAN PERMENDIKBUD NOMER 72 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS Permendikbud No 72/2013 tentang Pendidikan Layanan Khusus mendesak untuk ditinjau jika memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. Jumlah anak jalanan dan anak terlantar di Indonesia masih tinggi. Data Bappenas dan SMERU tahun 2012 menunjukkan 44,3 juta anak terkena dampak kemiskinan. Sedangkan data pada Kementrian Sosial (2015) menunjukkan ada 5.900 anak ditelantarkan orang tua, 3.600 anak tersangkut masalah hokum, 34 ribu anak ada di jalan-jalan (anak jalanan) dan 1,2 juta anak terlantar. Angka ini menurun drastic di mana masih 16.290 anak terlantar pada tahun 2018. b. Menurut studi PBB (2016), Indonesia merupakan Negara yang paling rawan bencana. Menurut BNPB, kejadian bencana di Indonesia sangat tinggi seperti disajikan pada grafik di bawah ini: 2500 2400 2300
2392 2306
2200
2100 2000
1999
1900 1800 2016
2017
Kejadian
2018
Sumber: BNPT c. Jumlah anak korban bencana alam tahun 2018 sekitar 10.000 anak. Baik bencana alam, anak terlantar, anak-anak terkena dampak kemiskinan maupun anak-anak jalanan, tetap harus terpenuhi hak-hak anak sebagaimana ditetapkan dalam UU No 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Hak-Hak tersebut antara lain: a) Hak tidak dipisahkan dari orangtua b) Hak Kesehatan dan Kesejahteraan Dasar c) Hak Atas Pendidikan, Waktu Luang dan Kegiatan Budaya d) Hak Perlindungan Khusus ( mencegah eksploitasi ekonomi, mencegah eksploitasi seksual dan mencegah trafficking).
d. Pemenuhan hak-hak anak di atas selama ini tidak berjalan optimal karena beberapa hal berikut: a) Lokus persoalan ada di Kementrian Sosial sedang perumus dan pelaksana kebijakan ada di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Situasi ini menyebabkan sering macetnya pemenuhan hak-hak anak, seperti pemenuhan hak pendidikan layanan khusus. Salah satu solusi adalah dikeluarkannya peraturan Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) yang bisa memayungi kementriankementrian teknis (Pendidikan & Kebudayaan, Kesehatan dan Sosial b) Salah satu kelompok sasaran PLK adalah korban bencana sosial yang mencakup anak-anak korban konflik sosial dan korban teror. Dalam UU No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, disebutkan bahwa bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat dan teror. Oleh Kemdikbud, PLK lebih difokuskan ke anak-anak korban bencana sosial. Kesulitan yang dihadapi adalah membangun menajemen berbasis PLK. Pemerintah cq Kemenko PMK, Kemdikbud perlu menyiapkan regulasi tentang manajemen PMK sebagaimana diminta oleh pasal 11 Permendikbud 72 tahun 2014. c) Peninjauan Permendikbud 72 tahun 2014 atau penyusunan regulasi baru hendaknya mengakomodasi kebutuhan para peserta didik untuk ujian nasional. Karena itu masalah keikutsertaan ujian nasional perlu mendapat penjelaskan lebih lanjut baik syarat, prosedur maupun tempatnya. d) Masalah koordinasi, pembagian tugas antara pemerintah Pusat dan Daerah selama ini menjadi hambatan besar dalam pencapaian tujuan program. Karena itu, Permendikbud 72 tahun 2014 yang belum secara tegas menyebutkan “siapa melakukan apa”, perlu ditambahkan dalam rancangan peninjauan nanti. Pembagian peran dan tanggung jawab dalam pelaksanaan PLK antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, perlu diatur lebih lanjut untuk menghindari kemacetan kemunikasi dan tanggung jawab.