URGENSI PERDA ZAKAT Oleh: Agus Saputera
Membayar zakat merupakan salah satu sendi pokok ajaran Islam (rukun Islam) yang diperintahkan kepada kaum muslimin untuk melaksanakannya disamping sholat, puasa, dan haji. Zakat menjadi sangat istimewa kedudukannya karena berkaitan dengan harta benda dan pengelolaannya, sehingga apabila didayagunakan dan diberdayakan dengan cara yang tepat dan benar akan mampu membantu menghapus kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Begitu penting kedudukannya dalam Islam, sehingga zakat dan sholat dijadikan oleh Al-Qur’an sebagai lambang yang mewakili keseluruhan ajaran Islam. Dengan kata lain seseorang sudah dianggap memenuhi syarat minimal sebagai seorang muslim apabila sudah melaksanakan sholat dan membayar zakat. Lihat Q. S. At-Taubah (9): 11, “Apabila mereka (kaum musyrikin bertaubat), mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka mereka adalah saudara-saudara kamu seagama.” Banyak ayat Al-Qur’an yang menggandengkan perintah untuk mendirikan sholat, mengerjakan puasa, yang kemudian harus disempurnakan dengan membayar zakat atau bersedekah. Begitu juga ketika seseorang sudah menyelesaikan haji, disunatkan (dianjurkan) untuk bersedekah dengan memotong hewan kurban. Hal tersebut cukup sebagai bukti atau penegasan bahwa dalam Islam setiap ibadah (kesalehan ritual) selalu memiliki korelasi positif dengan amal saleh yang berdimensi kemanusiaan (kesalehan sosial). Atau dalam ungkapan lain iman itu harus dibuktikan dengan amal saleh/berakhlak mulia kepada sesama manusia. Rasulullah saw bersabda, “Sesempurnanya iman seseorang adalah yang paling baik akhlaknya (paling banyak beramal saleh dan berbuat baik). Dibandingkan dengan perintah sholat, puasa, ataupun haji yang bersifat potensial karena tidak langsung dilihat manfaatnya bagi orang lain, membayar zakat adalah bersifat 1
fungsional karena memberikan manfaat langsung kepada orang lain. Harta atau barang yang dizakatkan bisa langsung dimanfaatkan oleh yang menerimanya (mustahiquz zakah/asnaf). Menunaikan zakat adalah kewajiban yang harus dilaksanakan baik dengan kerelaan ataupun dengan terpaksa. Karena menurut ajaran Islam, seluruh alam semesta dan isinya adalah kepunyaan Allah swt, termasuk harta benda yang dimiliki. Kepemilikan manusia bersifat hak guna pakai bukan hak milik penuh. Seseorang yang memiliki harta benda, dan bagi yang beruntung jumlahnya bisa berlimpah ruah, pada hakikatnya hanya menerima titipan sebagai amanat Allah untuk disalurkan, dibelanjakan sesuai kehendak Yang Maha Memiliki. Oleh sebab itu zakat dapat diambil secara paksa dari pemilik harta yang sudah memenuhi syarat membayarnya. Lihat Q. S. At-Taubah (9): 103, “Ambillah sodaqoh/zakat dari harta milik mereka, guna membersihkan mereka (dari sifat kikir dan cinta berlebihan terhadap harta) dan mensucikan mereka (dengan menyuburkan sifat-sifat kebaikan), dan berdoalah untuk mereka”. Betapa besarnya kejahatan atau kesalahan bagi pengingkar zakat tersebut sampai Khalifah Abu Bakar Shiddiq r. a. pernah memerangi golongan ini, meskipun mereka melaksanakan sholat. Hikmah Zakat Di dalam pelaksanaan kewajiban membayar zakat terkandung hikmah dan manfaat yang sangat banyak, baik yang berkaitan dengan orang yang berzakat (muzakki), penerimanya (mustahiq), harta yang dikeluarkan zakatnya, maupun bagi masyarakat keseluruhan. Diantaranya seperti yang dikemukakan oleh Hafidhuddin (2002), yaitu: (1). Sebagai bentuk kesyukuran atas nikmat yang telah diterima dari Allah swt, menumbuhkan akhlak mulia dengan rasa kemanusiaan yang tinggi, menghilangkan sifat kikir, rakus, materialistis,
menumbuhkan
ketenangan
hidup,
sekaligus
membersihkan
dan
mengembangkan harta yang dimiliki. (2). Menolong, membantu, dan membina mustahiq terutama fakir miskin ke arah kehidupan lebih baik dan lebih sejahtera, sehingga mereka 2
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak, dapat beribadah dengan tenang kepada Allah swt, terhindar dari bahaya kekufuran, sekaligus menghilangkan sifat iri, dengki yang mungkin timbul di kalangan mereka terhadap orang kaya. Zakat bukanlah sekedar memenuhi kebutuhan para mustahiq, terutama fakir miskin yang bersifat konsumtif, habis dipakai dalam waktu sesaat, akan tetapi memberikan kecukupan dan kesejahteraan kepada golongan ini, dengan cara menghilangkan atau memperkecil penyebab kemiskinan mereka. (3). Sebagai pilar amal bersama (jama’i) antara orang-orang yang kaya yang berkecukupan hidupnya dan para mujahid yang seluruh waktunya digunakan untuk berjihad di jalan Allah (termasuk asnaf fi sabilillah), yang karena kesibukannya tersebut tidak memiliki waktu dan kesempatan untuk berusaha dan berikhtiar bagi kepentingan nafkah diri dan keluarganya. Disamping itu zakat juga merupakan salah satu bentuk konkrit dari jaminan sosial yang disyariatkan oleh ajaran Islam. (4). Manusia memiliki keadaan dan status sosial ekonomi yang berbeda-beda. Dengan adanya perbedaan tersebut terjadilah interaksi, kerjasama, dan saling membutuhkan. Yang kuat menolong yang lemah, yang kaya menolong yang miskin. Dengan membayar zakat berarti turut memupuk dan memperkuat rasa persaudaraan dan kesetiakawanan sosial antara sesama. (5). Sebagai salah satu sarana untuk membantu mencegah terjadi dan merebaknya kejahatan, pencurian, perampokan, dan sebagainya. Dengan berkurangnya kemiskinan dan pengangguran, akan turut mengurangi tindak kriminal serta bentuk kejahatan lain. (6). Zakat (badan atau lembaga amil zakat) adalah sebuah institusi yang bisa memainkan peran dan fungsi sebagai pendorong/penggerak perekonomian ekonomi kecil dan menengah. Zakat yang diberikan bisa berupa zakat produktif, misalnya untuk dikembangkan melalui perdagangan, perkebunan, peternakan, dan sebagainya. (7). Zakat dapat menjadi salah satu sumber dana bagi pembangunan sarana maupun prasarana yang harus dimiliki oleh umat Islam seperti sarana ibadah, pendidikan, kesehatan, sosial ekonomi, sakaligus sebagai sarana pengembangan kwalitas sumber daya manusia (yang bisa dialokasikan ke dalam asnaf fakir 3
miskin, fi sabilillah, ataupun ibnu sabil). (8). Memasyarakatkan etika bisnis yang benar. Sebab zakat bukanlah membersihkan harta yang kotor (diusahakan dan diperoleh dengan cara haram), tetapi mengeluarkan bagian dari hak orang lain dari harta yang dimiliki, diusahakan secara baik, benar, sesuai dengan ketentuan Allah swt. Lihat Q. S. Al-Baqarah (2): 267, “Hai orang-orang yang beriman, infaqkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu”. Dalam hadits juga dinyatakan: “Allah swt tidak akan menerima sedekah (zakat) dari harta yang didapat secara tidah sah, menipu, haram (ghulul)”. (H. R. Muslim). (9). Zakat merupakan salah satu instrumen pemerataan pendapatan. Dimana ia mencegah terjadinya akumulasi harta pada satu tangan dan pada saat yang sama mendorong manusia untuk melakukan investasi, promosi, dan distribusi. Lihat Q. S. Al-Hasyr (59): 7, “Agar harta itu jangan hanya beredar di antara orangorang kaya saja di antara kamu”. (10). Ajaran Islam mendorong dengan kuat agar umatnya giat berzakat, berinfak, dan bersedekah. Ini menunjukkan bahwa umat Islam dituntut untuk bekerja keras dan giat berusaha sehingga memiliki harta kekayaan untuk memenuhi kehidupannya sendiri, yang pada gilirannya akan termotivasi menjadi orang yang berzakat (muzakki) dan berinfak (munfiq). Zakat yang dikelola dengan baik akan mampu membuka lapangan kerja dan lapangan usaha yang luas, sekaligus penguasaan aset-aset oleh Islam. Dimana menurut Yusuf alQardhawi, zakat dikatakan sebagai maaliyah al-ijtima’iyyah, yaitu ibadah di bidang harta yang memiliki fungsi strategis, penting, dan menentukan dalam membangun kesejahteraan rakyat. Filosofi Zakat Seseorang yang telah memenuhi syarat-syarat wajib zakat adalah dituntut untuk menunaikannya, yang pelaksanaannya bukan semata-mata atas dasar kemurahan hati yang bersangkutan, tetapi merupakan suatu kewajiban. Sebab kalau keadaan memaksa orang yang 4
enggan membayar zakat bisa ditekan oleh penguasa agar mau berzakat. Oleh karena itu agama telah menetapkan sangsi-sangsi bagi pelanggar zakat dan menentukan petugas-petugas yang mengelolanya (amil). Menurut Ghafur (2007), hal demikian dilakukan karena terdapat setidaknya tiga alasan filosofis, yaitu: (1). Manusia bila ditinjau dari keadaan ekonominya berada dalam dua golongan, yakni sebagai muzakki (beruntung secara ekonomis, wajib mengeluarkan zakat) dan sebagai mustahiq (kurang beruntung, berhak penerima zakat). Zakat adalah sarana bagi para muzakki untuk menegakkan amanat kekhalifahannya. Para wajib zakat yang tidak menunaikan kewajibannya pada hakikatnya telah mengurangi fungsi kekhalifahannya itu. (2). Solidaritas sosial. Sejak semula manusia diciptakan sebagai makhluk sosial, tidak bisa hidup sendirian, mesti tergantung pada individu lain, bahkan makhluk lain. Karena itu hasil karya atau usaha seseorang sebenarnya adalah usaha bersama orang lain, melibatkan orang lain dalam mencapai hasilnya. Jadi adalah wajar Allah memerintahkan untuk mengeluarkan sebagian kecil dari harta yang diamanatkan atas pemilik harta kepada yang berhak menerimanya sebagai suatu bentuk solidaritas sosial. (3). Rasa persaudaraan. Solidaritas sosial sebenarnya juga merupakan implikasi dari konsep persaudaraan. Dalam persaudaraan bukan hanya didasari atas take and give atau pertukaran manfaat, tetapi lebih dari itu adalah memberi tanpa mengharap imbalan atau membantu tanpa diminta bantuan, apalagi dalam lingkungan masyarakat sekitar. Kebersamaan inilah yang mestinya mengantar kepada kesadaran untuk menyisihkan sebagian harta untuk diberikan kepada mereka yang butuh, baik dalam bentuk zakat, infak, maupun shodaqoh. Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa menurut Islam harta bukanlah urusan pribadi (private) – meskipun diusahakan atas jerih payah pribadi, tetapi merupakan kebutuhan semua orang dan melibatkan orang lain sehingga perlu penanganan dan pengaturan yang baik. 5
Perlunya Perda tentang Zakat Pemerintah sebenarnya sudah menunjukkan komitmen dan perhatian serius terhadap pengelolaan zakat dengan mengeluarkan Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat (UU no. 38/1999) yang tujuannya ada tiga, yaitu: 1. Meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntunan agama. 2. Meningkatnya fungsi dan peranan pranata-pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial. 3. Meningkatnya hasil dan daya guna zakat. Tidak cukup sampai di situ, agar lebih jelas dan terarah dalam penyelenggaraannya maka dikeluarkanlah Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No. 581/1999 tentang Pelaksanaan Undang Undang No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. Kemudian ada juga Keputusan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Haji No. D/291/2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat. Keputusan Menteri Agama No. 581/1999 tersebut kemudian dicabut dengan terbitnya Keputusan Menteri Agama No. 373/2005 tentang pengelolaan zakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa potensi zakat yang dapat dikutip dari umat Islam Indonesia sangatlah besar dengan memperhatikan beberapa faktor yang cukup mudah diamati. Paling tidak kita dapat menyaksikan jemaah haji asal Indonesia yang dikirim ke Arab Saudi adalah yang terbesar di dunia dan jumlahnya cenderung meningkat setiap tahun. Dan masih banyak lagi calon yang terdaftar dalam waiting list (daftar tunggu) yang bersiap sedia unuk menunaikan ibadah haji meskipun harus menunggu untuk dua atau tiga tahun ke depan. Besarnya jumlah umat Islam yang lebih dari 90% penduduk Indonesia tersebut merupakan potensi yang sangat besar dalam menambah penerimaan zakat.
6
Bukan hanya dari sisi jumlah penduduk muslim yang besar, dari sisi sumber-sumber pendapatan yang wajib dizakatkan juga cukup banyak bidang-bidang usaha yang belum terinventarisasi di era modernisasi dan globalisasi sekarang ini. Beberapa contoh sektor ekonomi sebagai harta wajib zakat adalah zakat profesi, zakat perusahaan, zakat surat-surat berharga, zakat perdagangan mata uang, zakat hewan ternak yang diperdagangkan, zakat madu dan produk hewani, zakat investasi properti, zakat asuransi syariah, zakat usaha tanaman anggrek, sarang burung walet, ikan hias, penyewaan rumah, perhotelan, penginapan, penyewaan kendaraan, penambangan pasir, dan sebagainya. Termasuk ke dalam zakat profesi yaitu pekerjaan sebagai artis, pemain sinetron, penyanyi, presenter, motivator, pemilik rumah produksi, produser, pelukis profesional, atlit profesional, dan masih banyak contoh lain. Semua harta atau sumber-sumber yang bernilai tersebut adalah termasuk benda wajib zakat menurut kaidah ilmu fiqh, meskipun belum ada contohnya di zaman Nabi saw. Namun kelihatannya setakat ini pengelolaan zakat belum berjalan maksimal terutama dari
segi pengumpulan,
penentuan
sumber-sumber yang wajib dizakatkan,
cara
pendistribusian, dan pendayagunaannya. Apabila pelaksanaannya sudah berjalan efektif, tidaklah mustahil zakat akan ikut berkontribusi mengurangi kemiskinan dan meningkatkan taraf perekonomian masyarakat dalam rangka memajukan pembangunan nasional. Oleh karena itu diharapkan agar pemerintah beserta dewan perwakilan rakyat, khususnya penyelenggara pemerintahan di daerah berinisiatif membentuk/mengeluarkan Peraturan Pemerintah/Peraturan Daerah (PERDA) tentang pemberdayaan dan pendayagunaan zakat sebagai implementasi dan penjabaran dari UU No. 38/1999 tentang pengelolaan zakat. Dengan adanya PERDA tersebut diharapkan pengelolaan zakat akan menjadi berdaya (powerful) dan memiliki kekuatan secara hukum (enforcement). Dimana kalau kita bandingkan sangsi yang diberikan oleh norma agama
hanya bersifat perasaan
berdosa/bersalah karena mengingkari zakat dan sifatnya sangat subyektif. Misalnya seorang 7
jutawan tidak merasa bersalah karena sudah membayar pajak kepada negara meskipun ia tidak pernah membayar zakat (baik karena tidak berilmu ataupun karena sengaja melalaikan). Tetapi dengan adanya norma hukum misalnya yang tercantum dalam butir-butir yang terdapat dalam Perda Zakat, sangsinya bersifat nyata seperti dengan menjatuhkan hukuman, baik penjara ataupun denda bagi para pengingkar zakat. Disamping itu sosialisai tentang zakat bisa dilakukan secara efektif dengan memanfaatkan berbagai macam media seperti khutbah, ceramah, majelis ta’lim, surat kabar, pamflet, baliho, iklan di media elektronik seperti TV dan radio, termasuk yang cukup efektif melalui portal website zakat. Dengan mengaktifkan dan mengefektifkan Badan Amil Zakat/Lembaga Amil Zakat/Unit Pengumpul Zakat serta meningkatkan sumber daya manusia pengelola zakat akan memberdayakan dan mendayagunakan zakat secara optimal.
Published January 15, 2009.
8