Undang-undang Zakat Dan Dekonstruksi

  • Uploaded by: syaltout
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Undang-undang Zakat Dan Dekonstruksi as PDF for free.

More details

  • Words: 5,626
  • Pages:
Undang-undang Zakat dan Dekonstruksi: Menuju Pendidikan Metode Penelitian Hukum Kritis Mahmud Syaltout•

Artikel yang relatif singkat di bawah ini merupakan kajian kasus yang diawali dengan paparan deskriptif sejarah hukum. Kajian tersebut kemudian ditarik pada wilayah teori hukum kritis yang terbuka pada kajian filsafat bahasa yaitu dekonstruksi. Turunan dari sejarah hukum dan filsafat bahasa adalah metode penelitian hukum kritis yang merambah wilayah profan (hukum Islam) dan imanen (hukum positif). Sebagai model awal, metode penelitian hukum kritis masih terbuka untuk menerima masukan-masukan lebih abstrak dan konkret khususnya logika oposisi dalam teks-teks. Namun, suatu rintisan yang dituliskan di sini adalah menempatkan secara eklektik bahwa studi hukum Islam dan hukum positif bukanlah kajian komparatif yang saling menyalahkan dan membenarkan satu sama lain. Melainkan, suatu metode yang berawal dari hukum Islam yang sudah terlanjur menjadi fakta-fakta hukum dan masyarakat yang kemudian diolah secara normatif dengan memanfaatkan paradigma non negara-agama dan agama yang menegara. Dengan demikian, pendidikan metode penelitian hukum kritis diharapkan tidak terjebak dalam sektarianisme-fasis atau fundamentalisme-aktif melainkan rasionalisme yang membelah dan senantiasa mengkritik dirinya sendiri. Kurang lebihnya itulah tanda dekonstruksi ketika dikurung dalam suatu proyek: metode penelitian hukum kritis. Sejarah Hukum Undang-undang Zakat Jika kita menengok ke masa awal Orde Baru, sebetulnya pengajuan Rancangan UndangUndang Zakat sudah pernah dilakukan oleh Menteri Agama pada Juli 1967. Selain ditujukan kepada pimpinan DPR-GR, Rancangan Undang-Undang tentang Zakat tersebut juga disampaikan kepada Menteri Sosial dan Menteri Keuangan. Menteri Sosial diharapkan memberikan saran dan tanggapan, karena zakat itu menurut hukum penggunaannya juga untuk kepentingan dan tujuan sosial. Sementara harapan yang sama juga dinanti dari Menteri Keuangan karena Departemen Keuangan mempunyai pengalaman dan wewenang dalam bidang pemungutan fiskal. Berbeda dari Menteri Sosial yang saran dan tanggapannya tak pernah kunjung tiba, Menteri Keuangan dalam surat jawabannya berpendapat agar masalah zakat tak perlu diatur dalam bentuk Undang-Undang tetapi cukup dengan Peraturan Menteri Agama. Saran yang disampaikan oleh Menteri Keuangan itu paling tidak merupakan salah satu Alumnus Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya. Aktif pada Jaringan Komisi Fatwa (Jarkom Fatwa) Surabaya yang spesifik mengembangkan basis keilmuan hukum (rechtsteorie), geopolitik dan (ushul) fiqh untuk fatwa sebagai kebajikan publik (public wisdom). •

1

alasan dari sekian banyak faktor mengapa Rancangan Undang-Undang Zakat itu tidak ditindaklanjuti pada tingkat legislatif, dan pada akhirnya mendorong Menteri Agama mengeluarkan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 4 Tahun 1968 tertanggal 15 Juli 1968 tentang Pembentukan Badan Amil Zakat pada tingkat Desa dan Kecamatan di seluruh Indonesia. Dari sudut pandang kelembagaan, apa yang diatur oleh PMA Nomor 4 Tahun 1968 itu sesungguhnya lebih signifikan daripada Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama tahun 1991. Jika Surat Keputusan Bersama Menteri 1991 menetapkan kepengurusan BAZIS adalah umat Islam yang dibina oleh pemerintah, maka PMA Nomor 4 Tahun 1968 menegaskan bahwa kepengurusan BAZIS adalah aparatur pemerintah. Dengan kata lain, perlakuan pemerintah Orba terhadap masalah zakat pada tahun 1968 justru lebih maju dan aspiratif, ketimbang perlakuan yang diberikan pada tahun 1991. Mungkin, karena terlalu maju itulah maka PMA Nomor 4 Tahun 1968 itu tidak berumur panjang. Melalui Surat Instruksi Nomor 1 Tahun 1969, Menteri Agama menetapkan penundaan pelaksanaan PMA Nomor 4 Tahun 1968 tentang Pembentukan Badan Amil Zakat di atas hingga batas waktu yang tidak ditentukan. Apa gerangan yang menyebabkan peraturan yang sedemikian aspiratif itu ditunda? Dalam pandangan saya, PMA Nomor 4 Tahun 1968 itu dicabut secara terpaksa karena menghadapi "benturan" dengan Seruan Soeharto (Presiden saat itu) tentang pelaksanaan zakat yang disampaikannya dalam peringatan Isra Miraj tanggal 26 Oktober 1968 di Istana Negara. Dalam kesempatan itu Presiden menyerukan: Sebagai langkah pertama, di sini saya akan mengumumkan kepada seluruh umat Islam Indonesia, bahwa saya pribadi bersedia mengurus pengumpulan zakat secara besarbesaran ini... Saya pribadi mulai saat ini pula menyediakan diri untuk secara langsung menerima wesel pengiriman zakat dalam bentuk uang dari segenap umat Islam di seluruh pelosok Tanah Air. Insya Allah saya secara berkala akan mengumumkan kepada seluruh rakyat Indonesia berapa besar uang yang saya terima dan akan saya pertanggungjawabkan penggunaannya. Saya minta seruan saya ini benar-benar mendapatkan perhatian dan tanggapan yang positif dari pemimpin-pemimpin dan seluruh umat Islam.

Sebagai realisasi terhadap seruannya itu, Presiden mengeluarkan Surat Perintah kepada Mayjen TNI Alamsyah, Kolonel Azwar Hamid, dan Kolonel Ali Affandi untuk membantu Presiden dalam menangani administrasi pengelolaan zakat. Bahkan, Presiden mengeluarkan pula Surat (Edaran) No B.133/ Pres/11/1968 yang dialamatkan kepada seluruh instansi/pejabat terkait agar mereka turut membantu dan berusaha ke arah terlaksananya Seruan Presiden dalam wilayah atau lingkup kerja masing-masing. Realitas di atas jelas merupakan "benturan", karena PMA Nomor 4 Tahun 1968 menetapkan bahwa tugas pengumpulan dan penyaluran zakat dilakukan oleh Badan Amil Zakat di tingkat Desa/Kelurahan dan Kecamatan, sementara Seruan Presiden menyatakan bahwa Presiden secara pribadi bersedia mengurus zakat. Jadi, karena Seruan Presiden itulah, maka PMA Nomor 4 Tahun 1968 tentang Pembentukan Amil Zakat di seluruh wilayah Indonesia batal diberlakukan. 2

Pertanyaan yang relevan muncul, mengapa Presiden mengeluarkan seruan pengumpulan zakat semacam itu? Kiranya mustahil bahwa selaku Presiden tidak mengetahui keberadaan PMA Nomor 4 Tahun 1968 itu. Sehingga karenanya, Presiden pada saat tersebut seharusnya memperhatikan pula peraturan pemerintah terkait, dalam hal ini PMA Nomor 4 Tahun 1968, yang sudah ditetapkan tiga bulan sebelumnya. Jika PMA Nomor 4 Tahun 1968 tersebut mendapat perhatian Presiden, maka pernyataan Presiden yang mesti muncul pada peringatan Isra Miraj saat itu justru adalah dukungan afirmatif dan konfirmatif. Memang, pernyataan Presiden sedikitpun tidak mempunyai nada negasi terhadap PMA Nomor 4 Tahun 1968, tetapi dengan menyatakan kesediaan Presiden pribadi sebagai amil zakat, secara tak langsung mementahkan semua konsep dalam PMA Nomor 4 Tahun 1968 itu. Mengapa hal demikian bisa terjadi? Mungkinkah ada motivasi dan kepentingan lain yanag bersembunyi di balik Seruan Presiden itu? Tentu hanya Soeharto seorang yang dapat memberikan jawabannya secara persis. Berdasarkan periodisasi hubungan Islam dengan negara pada masa Orde Baru yang dikemukakan oleh Abdul Aziz Thaba, 1 maka peristiwa yang terjadi di atas masuk dalam kategori periode antagonistik (1967-1982). Jika kita menggunakan kerangka periodisasi itu, tak pelak kita akan tergoda untuk menganalisis bahwa pemerintah Orba dalam menghadapi umat Islam sepanjang waktu itu menerapkan politik kebudayaan. Politik kebudayaan, sebagaimana dijelaskan oleh Geertz,2 adalah strategi melemahkan kekuatan publik yang dilakukan oleh kekuasaan dengan cara-cara yang represif, seperti membatasi kebebasan berbicara, merampas hak asasi atau bahkan mematahkan akses publik untuk akumulasi modal dan konsentrasi kapital. Maka, berhubung zakat merupakan sarana akumulasi modal yang memungkinkan menumbuhkan kekuatan umat Islam, maka zakat tak perlu dikelola oleh pemerintah Orba. Kalaupun pemerintah Orba bermaksud mengelolanya, hal itu semata-mata untuk melakukan kontrol atasnya. Jadi, pengelola zakat lebih perlu diwaspadai jangan sampai karenanya umat Islam mampu tumbuh kuat berkembang dan menjadi ancaman ekonomi politik yang serius bagi pemerintah Orba. Jika analisis faktual yang dipergunakan dalam melihat fenomena seputar zakat di tahun 1968 itu, maka kesimpulan yang dapat diberikan adalah bahwa Pemerintah Orba dengan sadar mencoba menunjukkan tanggung jawabnya yang amat besar dalam pembangunan kehidupan keagamaan, seperti yang dikehendaki oleh pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945. Namun, tanggung jawab keagamaan yang diembannya itu bukan merupakan tanggung jawab dalam kapasitas sebagai lembaga (negara) agama. Itu terlihat dari ungkapan yang dipilih oleh Soeharto yaitu ajakan sebagai pribadi atau sebagai seorang Muslim. Agaknya hal itu sengaja dilakukannya agar pengelolaan zakat oleh dirinya 1Abdul

Azis Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hal. 51-69.

2 Clifford

25-30.

Geertz, Politik Kebudayaan, terjemahan F. Budi Hardiman, Kanisius, Yogyakarta, 1992, hal.

3

sebagai Presiden Indonesia (saat itu) tidak akan dipahami sebagai penjelmaan negara hukum-agama dan menguatnya agama negara. Dengan demikian, negara hukum Pancasila diupayakan tegak karena pelaksanaan zakat hanya merupakan kewajiban keagamaan. Negara berkedudukan sebagai lembaga politik yang sekadar menjadi fasilitator, dan bukan sebagai lembaga agama yang dapat mengintervensi secara langsung. Atau dalam ungkapan yang lebih teknis, sebagaimana dikemukakan oleh Munawir Sjadzali pada saat masih menjabat Menteri Agama (1991), "Negara tidak bermaksud untuk mengatur dan mengurusi zakat, melainkan negara membatasi perannya hingga tingkat di mana aparat-aparatnya hanya mengawasi dan menuntun penerapan zakat." Dalam konteks negara yang hegemonik seperti inilah lahir Undang-Undang Nomor 38 Tahun tentang Pengelolaan Zakat. Undang-Undang ini muncul sebagai penyempurnaan peraturan-peraturan sebelumnya tentang pengelolaan zakat. Keinginan umat Islam untuk mewujudkan Undang-Undang tentang pengelolaan zakat sebenarnya sudah terasa sejak tahun 1950, namun hal itu belum dapat terealisasi, karena situasi dan kondisi pada waktu itu belum memungkinkan. Kemudian pada masa awal Orde Baru, Pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang Zakat yang ditujukan pada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, serta kepada Menteri Sosial dan Menteri Keuangan untuk memberikan saran mengenai kegunaan dan kepentingan sosialnya, serta tentang keuangan dan wewenangnya dalam bidang penentuan fiskal. Menurut Menteri Keuangan, hal-hal yang berkaitan dengan zakat tidak perlu diatur dalam bentuk Undang-Undang tetapi cukup dengan Peraturan Menteri Agama. Menindaklanjuti saran tersebut Menteri Agama mengeluarkan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 4 Tahun 1968 tertanggal 15 Juli 1968 tentang Pembentukan Badan Amil Zakat, selain itu Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama mengeluarkan Surat Keputusan Bersama tahun 1991 tentang Kepengurusan Badan Amil Zakat Infak dan Shadaqah. Baru pada tahun 1999 Undang-Undang tersebut dapat terealisasi. Hal ini tidak terlepas dari political will Pemerintah, dimana Pemerintah melalui Presiden mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Pengelolaan Zakat. Selain itu juga ada respon yang positif dari kekuatan politik yang ada pada waktu itu, melalui fraksi-fraksi yang ada di Dewan perwakilan Rakyat. Menurut Didin Hafidudhin dari Forum Zakat yang ikut membidani kelahiran naskah Rancangan Undang-Undang itu, calon peraturan itu tadinya dimaksudkan agar ada standar kelayakan pengelolaan zakat. "Selama ini, pemasukan BAZIS sangat rendah karena tidak transparan penggunaannya," katanya. Akibat lain ketertutupan pengelolaan zakat adalah terbukanya peluang bagi korupsi. Didin juga melihat zakat sangat terkait dengan dana bagi pembangunan mayoritas umat Islam. Jika dikelola dengan baik, hasilnya bisa membantu pemerintah menyejahterakan penduduknya.

4

Sjechul Hadi Permono3 mengemukakan pendapat bahwa: Penggunaan dana zakat itu tidak melulu untuk umat Islam. Tidak ada satu ayat atau hadits pun yang mengatakan zakat itu hanya untuk orang Islam. Buktinya, Rasulullah pernah mengirim zakat 100 onta kepada pimpinan Mekkah, Sufyan bin Umayyah yang ketika itu belum masuk Islam. Justru dengan zakat 100 onta itu Sufyan masuk Islam. Ketentuan Fuqara dan masakin dalam al-Qur'an, sebagai penerima zakat, bersifat umum. Tidak khusus fakir dan miskin yang muslim." Begitu pula tentang ketentuan mu'alaf sebagai penerima zakat, tidak cuma menyangkut orang yang baru masuk Islam. Tapi juga orang non-Islam yang membantu perjuangan umat Islam. Sedangkan kriteria ibn sabil bisa dimaknai sebagai pembangunan sarana dan kepentingan umum…(Jadi) zakat bisa dijadikan sumbangan umat Islam bagi seluruh bangsa ini. 4

Namun, penyalurannya tetap menganut azas skala prioritas. "Sasaran utamanya adalah untuk pendidikan, pengentasan kemiskinan dan ekonomi produktif," kata Ahmad Sutarmadi.5 Akankah undang-undang ini mengikat setiap warga negara? Tentu, untuk non-muslim tidak. Tetapi bagi umat Islam seharusnya begitu. Undang-Undang ini belum sejauh itu, masih sebatas mengingatkan kepada umat Islam yang lalai tidak membayar zakat. Inilah yang tak dimengerti oleh Masdar F. Mas'udi,6 katanya, "Kalau setelah diundangkan, tapi zakat masih bersifat sukarela dan tidak mengikat, ya tak ada gunanya". 7 Namun, menurut Sjechul, yang penting ada undang-undangnya dulu untuk mendapatkan kepastian hukum. Perbaikan nanti bisa dilakukan sambil jalan. Apalagi undang-undang zakat ini baru pertama kali akan diberlakukan di Indonesia. Jadi, masih memerlukan waktu untuk mendidik masyarakat. "Pada saatnya nanti undang-undang ini mengikat setiap muslim," kata Sjechul8 tanpa menjelaskan kapan saatnya itu. Masih ada kritik lagi, datangnya dari Eri Sadewo.9 Eri menyatakan sebagai berikut: Undang-Undang itu terlalu berpusat kepada pemerintah. Padahal situasinya sekarang tidak pas, karena kredibilitas pemerintah di mata rakyat sekarang sedang berada pada titik nadir. Saya khawatir nanti muzakkinya malah tak peduli.Di sisi lain, pemerintah terlalu banyak ikut campur. Akibatnya, birokrasinya semakin panjang. Keberadaan lembagalembaga zakat yang sudah ada di masyarakat, menurut Undang-Undang ini, tetap diakui. 3Ketua

Tim Kompilasi Hukum tentang Penyaluran, Pengumpulan, dan Pendayagunaan Zakat dan Guru Besar IAIN Sunan Ampel, Surabaya.

4Lihat

dalam SUARA HIDAYATULLAH, Edisi Khusus Pertengahan AGUSTUS 1999.

5Lihat

dalam SUARA HIDAYATULLAH, Edisi Khusus Pertengahan AGUSTUS 1999.

6Direktur

Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat.

7Lihat

dalam SUARA HIDAYATULLAH, Edisi Khusus Pertengahan AGUSTUS 1999.

8Lihat

dalam SUARA HIDAYATULLAH, Edisi Khusus Pertengahan AGUSTUS 1999.

9Direktur

Dompet Dhuafa Republika.

5

Cuma, tidak sebebas dulu lagi. Soalnya, "tingkah polahnya" akan diawasi oleh komisi pengawasan bentukan pemerintah. Belum lagi, "Jangan-jangan orang yang mengawasi itu justru termasuk orang-orang yang pantas diawasi."10

Ketentuan dalam Undang-Undang ini, pengelolaan zakat dilakukan oleh badan amil (BAZ) zakat yang dibentuk dan diangkat pemerintah (menteri, gubernur, bupati/walikota atau camat). Lembaga ini berada di tingkat pusat sampai tingkat kecamatan. Sedangkan kepengurusan BAZ terdiri dari berbagai unsur: ulama, cendikiawan, tokoh masyarakat dan pemerintah. Adapun struktur organisasi BAZ itu, sekurang-kurangnya terdiri dari unsur pertimbangan, pelaksana dan pengawas. Sama dengan orang-orang yang duduk di BAZ, pada unsur pengawas ini orangnya juga berasal dari berbagai unsur: ulama, cendikiawan, tokoh masyarakat dan pemerintah. Soal keuangannya, setiap akhir tahun harus diaudit oleh akuntan publik yang ditunjuk oleh komisi pengawas. Bagaimana dengan sanksi? Bagi para pengelola zakat yang mencoba menyelewengkan dananya, bila terbukti, ganjarannya 3 bulan penjara dan denda Rp 30 juta. Lantas, apakah zakat menghilangkan kewajiban membayar pajak? Ternyata tidak. "Semula begitu, tapi klausul ini ditolak Departemen Keuangan," ujar Sjechul. Akhirnya diputuskan bahwa zakat dihitung setelah dipotong zakat. Jika penghasilan seseorang Rp 100 juta kena pajak 15%, maka zakatnya 2,5% dari Rp 85 juta. Bagi Masdar, model begitu malah memberatkan umat Islam, yang nota bene sebagian besar terdiri dari masyarakat kurang mampu. Karena itulah, dia tetap kukuh dengan pendapatnya bahwa pajak sama dengan zakat. Dengan kata lain, seseorang yang sudah membayar pajak, tidak wajib lagi membayar zakat. Tapi pendapat itu ditolak oleh Sjechul. Sebab, sejak jaman Umar (bin Khaththab) antara pajak dan zakat itu diurus secara terpisah. Dan lagi, penggunaan dana zakat itu sudah ada ketentuannya dalam agama. Sementara pajak tidak. Sjechul mencotohkan, "Uang pajak boleh saja digunakan membangun gereja, tapi zakat tidak boleh." Keadilan, Aturan Hukum dan Dekonstruksi Bagaimanapun positifnya penilaian beberapa perumus Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999, bukan berarti ia sempurna dari kritikan seperti diungkapkan semula dengan basis filsafat bahasa. Sebagai suatu produk hukum secara niscaya Undang-Undang ini dapat didekonstruksi. Dengan adanya dekonstruksi Undang-Undang ini akan disempurnakan menjadi satu produk hukum yang lebih mendekati kesempurnaan dan cita ideal dan realitas keadilan bangsa Indonesia. Namun disini perlu dicatatkan suatu pernyataan Jacques Derrida tentang hubungan keadilan dan dekonstruksi. Derrida telah menegaskan secara simultan bahwa meletakkan secara bersamaan pernyataan-pernyatan ini akan menghasilkan satu kontradiksi: 11 (1) justice is impossible;

10Lihat

dalam SUARA HIDAYATULLAH, Edisi Khusus Pertengahan AGUSTUS 1999.

11Jacques

Derrida, Force of Law: The "Mystical Foundation of Authority," Cardozo L. Rev. 11: 919-1045, Cardozo, 1990, hal. 947-49.

6

(2) justice is not deconstructible, (3) law is deconstructible; (4) the undeconstructibility of justice and the deconstructibility of law ensure the possibility of deconstruction; (5) deconstruction is justice. Perlu dicatat bahwa analisis-analisis dekonstruktif merupakan pola analisis yang umum dan biasa pada lingkungan pengkaji hukum Islam. Pola analisis ini telah dipergunakan oleh para ilmuwan (ulama) terdahulu. Dalam tradisi Islam, sejak awal diyakini bahwa teks itu tidak hanya terbatas pada kitab suci Al-Qur’an. Juga alam raya adalah teks, bahkan perilaku (tradisi) kenabian itu sendiri juga merupakan teks yang kesemuanya menyimpan dan hendak mengkomunikasikan makna dan pesan yang dikandungnya.12 Terdapat korelasi yang dialogis antara subjek (seorang muslim), teks Al-Qur’an, tradisi kenabian, dan realitas alam raya dengan hukum-hukumnya. Sebagai contoh dalam kitab Tahafut al-Falasifah (Kesesatan Filsafat), Al-Ghazali telah memaparkan tiga masalah filsafat-yaitu tentang keabadian alam, ilmu Allah terhadap juzi’iyyat, pengumpulan jasad (kebangkitan jasmani). Dia mengkafirkan para filosof dan kemudian menyususn kitab Faishal at-Tafriqah untuk menolak metode-metode takwil alegoris (batiniyah) dan hasil-hasilnya.13 Tetapi jawaban tuntas berdasarkan argumentasi filosofis terhadap pandangan Al-Ghazali dan dua kitabnya tersebut, belum pernah dikemukakan oleh siapapun kecuali oleh Ibnu Rusyd, penulis kitab Tahafut at-Tahafut (Kesesatan (kitab) Kesesatan) dan Fashlu al-Maqal. Dalam menyanggah argumen (dengan metode tafkikiyah) Al-gahazali tersebut, Ibnu Rusyd tidak hanya sebatas menunjukkan kelemahan-kelemahan kritik al-Gahazali, tapi ia melangkah lebih jauh lagi dari itu. Ia misalnya menyebutkan bahwa al-Ghazali tidak mengenal filsafat lebih mendalam selain yang ditemukannya dalam karya-karya Ibn Sina.14 Perlu diingat bahwa dua kitab Al-Ghazali serta dua kitab Ibnu Rusyd, pada sisi produk pemikiran, keduanya lebih mengutamakan pertukaran pikiran daripada fitnah diantara umat Islam. Dekonstruksi berawal sebagai satu rangkaian teknik-teknik yang diciptakan oleh Jacques Derrida, Paul de Man, dan yang lain-lainnya untuk menafsirkan teks-teks sastra dan filosofis. Teknik-teknik ini, pada gilirannya, telah dihubungkan pada pernyataanpernyataan filosofis yang lebih luas tentang sifat dari bahasa dan makna. Satu pernyataan 12 Dalam

pengertian senada, Derrida menegaskan secara radikal ”tidak ada acuan di luar teks!”. Lebih jelasnya lihat: Jacques Derrida, “Structure, Sign and Play in the Discourse of Human Sciences”, dalam Writing and Difference, terjemahan Alan Bass, Chicago University Press, Chicago, 1988, hal. 277-278.

13 Mohammed

Arkoun, Min Faishal Tafriqah ilaa Fashli al-Maqal Aina al-Fikru al-Islami al-Muasir, Maktabah al-Bi’satu al-Umam, Kairo, 1992, hal. 2.

14 Muhammad

Abid Al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, terjemahan Ahmad Baso, LKiS, Yogyakarta, 2000, hal. 153.

7

yang tegas seperti itu adalah bahwa pengulangan satu teks dalam satu konteks yang baru sering sulit digambarkan merubah maknanya.15 Dekonstruksi merupakan istilah yang menunjukkan satu jenis yang khusus dari praktik pembacaan dan dengan demikian, satu metode krtisisme dan satu cara penyelidikan analitis. Dalam bukunya The Critical Difference (1981), Barabara Johnson menjelaskan istilah tersebut: Deconstruction is not synonymous with "destruction", however. It is in fact much closer to the original meaning of the word 'analysis' itself, which etymologically means "to undo" -- a virtual synonym for "to de-construct." ... If anything is destroyed in a deconstructive reading, it is not the text, but the claim to unequivocal domination of one mode of signifying over another. A deconstructive reading is a reading which analyses the specificity of a text's critical difference from itself. 16

Dekonstruksi tidak sinonim dengan “destruksi”, bagaimanapun. Istilah tersebut faktanya lebih dekat pada pengertian yang asli (original) dari kata ‘analisis’ itu sendiri, yang secara etimologis berarti “melepaskan atau membuka (to undo)”- satu sinonim virtual bagi “melepaskan bentuk (to de-construct).”… Jika sesuatu yang dirusak dalam satu pembacaan dekonstruktif, hal tersebut bukanlah teks, tetapi pernyataan terhadap dominasi yang tegas dari satu cara penandaan yang melebihi yang lain. Satu pembacaan dekonstruktif merupakan satu pembacaan yang mana di dalamnya analisis-analisis kekhususan dari satu teks merupakan perbedaan kritis dari teks itu sendiri. Dekonstruksi mungkin paling baik dapat dideskripsikan sebagai satu teori pembacaan yang bermaksud meruntuhkan logika oposisi dalam teks-teks. Transformasi terminologi dekonstruksi dari wilayah filsafat ke wilayah sastra dan kemudian ke wilayah hukum, pada akhirnya telah menghasilkan satu praktik dalam hukum yang memperhatikan satu sensitivitas pada perubahan-perubahan dalam konteks penafsiran, satu sikap pragmatik terhadap perbedaan-perbedaan konseptual, dan satu perhatian yang hati-hati terhadap peran konstruksi ideologi dan sosial dalam pemikiran hukum.17 Saat dekonstruksi bergerak dari jurusan-jurusan sastra ke akademi hukum, hal tersebut telah dimodifikasi lebih lanjut. Akademisi hukum ‘kiri’, dan secara partikular feminis serta anggota Gerakan Studi Hukum Kritis, membatasi dekonstruksi sebagai satu cara mengubah ortodoksi-ortodoksi hukum. Mereka mengasumsikan dengan sangat indah tanpa mempersoalkan bahwa teknik dekonstruktif dapat diterima untuk tujuan mengkritik doktrin-doktrin hukum yang tidak adil dan mengadvokasi pada susunan-susunan yang lebih adil. Sekali lagi, asumsi ini lebih menimbulkan teka-teki. Adalah benar bahwa beberapa dekonstruksionis sastra diidentikkan dengan kaum ‘kiri’ (secara politis). Tetapi mereka telah menggunakan dekonstruksi untuk menunjukkan impenetrabilitas, mutabilitas, dan inkoherensi 15Jack

M. Balkin, Deconstruction’s Legal Career, Yale L.J. 1998, hal. 1.

16Dikutip

dari J.A. Cuddon, A Dictionary of Literary Terms and Literary Theory, edisi ketiga, Blackwell, London, 1991, hal. 4.

17Jack

M. Balkin, loc. cit.

8

konseptual dari semua teks-teks, dan tidak secara sederhana teks-teks diproduksi oleh konservatif politis. Membawa dekonstruksi kepada madzhab hukum juga dibutuhkan satu fokus pada titik dekonstruksi. Teoritikus hukum secara primer telah tertarik menggunakan dekonstruksi bagi tujuan-tujuan normatif dan kritis. Mereka ingin mengkritik beberapa perbedaan doktrinal sebagai inkoheren, dan menunjukkan bahwa beberapa bagian-bagian hukum telah tidak adil dan membutuhkan perubahan, serta ingin mendemonstrasikan bahwa beberapa cara-cara berpikir memiliki efek-efek ideologis yang tak diingini, yang telah menyembunyikan bentuk-bentuk penting dari kehidupan sosial. Untuk menggunakan dekonstruksi para lawyer haruslah memodifikasinya sehingga dekonstruksi dapat membantu satu fungsi kritis dan normatif. Dekonstruksi haruslah bermakna berbeda bagi para lawyer daripada yang diperuntukkan bagi kritik-kritik sastra dan para filsuf. Dekonstruksi akan menjadi satu rangkaian-rangkaian strategi-strategi retoris untuk mengkritik doktrin-doktrin hukum tertentu dan argumen-argumen hukum agar menunjukkan bahwa hal-hal tersebut adalah tidak adil, terbias secara ideologis, tidak lengkap, atau inkoheren. Argumen hukum dekonstruktif, secara singkat, akan menjadi satu bentuk pemikiran hukum normatif. Diantara madzhab-madzhab hukum, Pierre Schlag telah secara virtual sendiri dalam mengakui perubahan-perubahan ini dan berbicara dengan tegas menentangnya.18 Schlag telah meletakkan secara terlihat posisi paradoksikal terhadap keberadaan penggunaan dekonstruksi untuk tujuan-tujuan normatif.19 Penulis cenderung menandai tujuan normatif pengelolaan zakat sebagai kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian serta pendayagunaan zakat “oleh negara”. Dalam hal ini, kata-kata “oleh Negara” dibelakang kata-kata “pengelolaan zakat”, merupakan suatu tanda (sign) yang kehadirannya selalu tertunda.20 Apa yang kita anggap hadir atau kelihatan tidak lain adalah konstruksi pikiran kita sendiri tentang apa yang seharusnya tidak tampak dari sesuatu hal. Inilah yang dimaksudkan Derrida dengan sous rature (di bawah karet penghapus). Jika Derrida mencoret sebuah kata untuk menandai bahwa yang kelihatannya ada itu sebenarnya tidak ada, ini memang dimaksudkan untuk menerangkan tentang tanda.

18 Pierre

Schlag, "`Le Hors' de Text, C'est Moi:' The Politics of Form and the Domestication of Deconstruction, 11 Cardozo L. Rev. 1990, hal. 163.

19Pierre

Schlag, Normativity and the Politics of Form, 139 U. Pa. L. Rev. 1991, hal. 801; Pierre Schlag, Normative and Nowhere to Go, 43 Stan. L. Rev. 1990, hal. 167.

20Dalam

masalah ini Derrida mengatakan:” The sign is usually said to be put in the place of the thing itself, the present thing, "thing" here standing equally for meaning or referent. The sign represents the present in its absence. It takes the place of the present.” Untuk lebih jelasnya lihat: Jean Jacques Derrida, Margins of Philosophy, trans. Alan Bass, University of Chicago Press, Chicago, 1982, hal. 4-7.

9

Dekonstruksi telah terbukti berguna bagi kritik ideologis karena ideologi-ideologi sering bekerja melampaui bentuk-bentuk pemberian hak-hak istimewa dan penindasan (forms of privileging and suppression). Bentuk-bentuk yang pasti dari kehidupan sosial merupakan hak-hak yang istimewa (privileged) dalam pemikiran dan percakapan, ketika yang lainnya dimarginalkan dan ditindas. Argumen-argumen dekonstruktif mencoba untuk merecover elemen-elemen yang tersubordinasi dan terlupakan dalam pemikiran hukum dan doktrin hukum. Dekonstruksi tersebut dilakukan terhadap aturan Pengelolaan Zakat yang pelaksanaannya dilakukan secara tertunda oleh negara. Dekonstruksi ini secara khusus ditekankan pada sisi Pengelolaan Zakat oleh Negara yang tercermin dalam UndangUndang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Refleksi Epistemologis: Metode Penelitian Hukum Dekonstruksi Penulis menggunakan pendekatan dekonstruksi karena tiga alasan.21 Pertama, dekonstruksi menghasilkan satu metode untuk mengkritik doktrin-doktrin hukum yang ada. Secara khusus, satu pembacaan dekonstruktif dapat menunjukkan bagaimana argumen-argumen menawarkan dukungan satu aturan khusus yang meruntuhkan dirinya sendiri, dan bahkan, mendukung satu aturan yang berlawanan (an opposite rule). Kedua, teknik-teknik dekonstruktif dapat menunjukkan bagaimana argumen-argumen doktrinal diinformasikan dan disamarkan oleh pemikiran ideologis. Hal ini dapat terjadi karena nilai tidak hanya pada lawyer yang mencoba mereformasi institusi-institusi yang ada, tetapi juga pada filosof hukum dan sejarahwan hukum. Ketiga, teknik-teknik dekonstruktif menawarkan antara satu jenis strategi interpretive yang baru dan satu kritik atas interpretasi-interpretasi konvensional terhadap teks-teks hukum. Selama ini metode penelitian hukum masih terbuka untuk menerima hal-hal “aneh” seperti itu. Karena jarang sekali dibicarakan aspek-aspek filsafat ilmu dari model dan pengajaran atas metode penelitian hukum. Selalu saja mudah dijumpai pengolahan sumber bahan hukum yang asal dibaca dan disesuaikan dengan tujuan tersembunyi peneliti. Cara mencapai hasil itupun tidak menggunakan logika hukum yang rasionalaktif tapi penjiplakan metode-metode yang termaktub dalam skripsi-skripsi sebelumnya. Dalam hal ini penulis memberi contoh bagaimana menempatkan pemikiran filsafatmetodis di atas pada sumber bahan hukum berupa teks-teks. Teks-teks tersebut berupa data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari teks-teks sebagai berikut:

21Jack

M. Balkin, Deconstructive Practice and Legal Theory, Cardozo L. Rev. 1998, hal. 2.

10

1. Ketentuan-ketentuan hukum posistif yang mengatur tentang pengelolaan zakat 22 2. Ketentuan-ketentuan yang berkaitan dan menjadi landasan pengaturan pengelolaan zakat 23 3. Ketentuan-ketentuan hukum Islam (fiqh) yang membahas Fiqh Zakat, yang belum terkodifikasi dan masih tersebar dalam kitab-kitab fiqh. Sedangkan data sekunder terdiri atas kepustakaan di bidang Ilmu Hukum, Teori Hukum, Filsafat Hukum, Epistemologi Hukum Islam (‘Ilm al-Ushul Fiqh), Hukum Kemasyarakatan, Politik Hukum, Hukum Internasional, dan Hukum Tata Negara. Kemudian sebagai data pelengkap adalah data lapangan yang diperoleh berupa hasil wawancara secara terstruktur kepada ilmuwan (ulama’) dan atau praktisi dalam bidang pengelolaan zakat. Karena pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan dekonstruksi yang menitikberatkan pada ‘pembongkaran’ teks maka studi ini menjadikan data kepustakaan sebagai tumpuan utamanya. Data lapangan yang diperoleh berupa wawancara secara terstruktur kepada ilmuwan (ulama’) dan atau praktisi dalam bidang pengelolaan zakat dijadikan sebagai pelengkap dalam rangka mencari konfirmasi bagi kebenaran kualitatif data utama. Data primernya adalah ketentuan-ketentuan hukum posistif yang membahas dan menjadi landasan hukum pengelolaan zakat (oleh negara) dan ketentuan-ketentuan hukum Islam (fiqh) yang membahas Fiqh Zakat yang belum terkodifikasi dan masih tersebar dalam kitab-kitab fiqh. Analisa Bahan Hukum atas Muzakki

22

(a) Peraturan Menteri Agama (PMA) No 4/1968 tertanggal 15 Juli 1968 tentang Pembentukan Badan Amil Zakat pada tingkat Desa dan Kecamatan di seluruh Indonesia; (b) Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia dan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 29 dan 47 Tahun 1991 tentang Pembinaan Badan Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah; (c) Instruksi Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1991 tentang pembinaan Teknis Badan Amil Zakat, Infaq Shadaqah; (d) Instruksi Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1998 tentang Pembinaan Umum Badan Amil Zakat, Infaq Shadaqah; (e) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat; (f) Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 581 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat; (g) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. 23

Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 29, dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara; Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3400); Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839); Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1998 tentang Kedudukan, Tugas, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen, yang telah diubah dan disempurnakan dengan Keputusan Presiden RI Nomor 102 Tahun 1998; Keputusan Menteri Agama Nomor 18 Tahun 1975 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama, dengan segala perubahannya terakhir dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 75 Tahun 1984; Keputusan Menteri Agama Nomor 45 Tahun 1981 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama Propinsi, Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kotamadya dan Balai Pendidikan dan Latihan Pegawai Teknis Keagamaan Departemen Agama.

11

Analisa bahan hukum secara normatif dapat menggunakan metode dekonstruksi hukum. Saat kita menggunakan dekonstruksi untuk satu tujuan normatif, kita memakai dalam argumen-argumen rectification atau amelioration dekonstruktif. Dengan perkataan lain, kita berpendapat bahwa teks atau skema konseptual yang terdekonstruksi adalah tidak acceptable, dan bahwa ada satu cara pandang yang lebih baik atas hal-hal ini, sekalipun konsepsi ini akan mengarahkan subjek menuju dekonstruksi lebih lanjut. Jika kita membuat asumsi-asumsi ini, maka dekonstruksi kita tidak dapat melayani fungsi kritis. Hal tersebut menjadi tidak berarti lebih daripada penemuan polysemy dan instabilitasinstabilitas arti-arti yang lain dalam beragam skema-skema konseptual.24 Berikut ini adalah contoh analisa terhadap bahan hukum yang menganalisis tentang Muzakki. Ketentuan mengenai Muzakki dalam hukum Indonesia terdapat pada ketentuan-ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, yaitu pada: 1. Pasal 1 angka 3 yang menyebutkan: “Muzakki adalah orang atau badan yang dimiliki oleh orang muslim yang berkewajiban menunaikan zakat.” 2. Pasal 2 yang menyebutkan: “Setiap warga negara Indonesia yang beragama Islam dan mampu atau badan yang dimiliki oleh orang muslim berkewajiban menunaikan zakat.” 3. Penjelasan Pasal 2 yang menyebutkan: “Yang dimaksud dengan warga negara Indonesia adalah warga negara Indonesia yang berada atau yang menetap baik di dalam negeri maupun di luar negeri; Yang dimaksud dengan mampu adalah mampu sesuai dengan ketentuan agama.” Syarat-syarat wajib zakat (muzakki) yang disepakati oleh jumhur ulama terdiri dari Islam, merdeka, sampai umur, berakal, memiliki nisab dengan milik sempurna. Sedangkan syarat-syarat harta zakat adalah tidak sama antara jenis harta yang satu dengan jenis harta yang lain mengingat ketentuan-ketentuan itu cenderung disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat tempat Rasulullah saw hidup (Saudi Arabia), maka perlu distandarisasikan dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku di daerah-daerah lain, agar bisa dilaksanakan di daerah yang bersangkutan, terutama sekali ketentuan masalah nisab zakat. Dengan adanya perbedaan-perbedaan tersebut, digunakanlah standar syari’at strategis zakat. Syari’at strategis, yang dicanangkan oleh Nabi Muhammad saw., yang berkaitan dengan hal ini, menurut Masdar F. Mas’udi,25 adalah sebagai berikut: 1. Berkaitan dengan objek zakat (pajak), Nabi menetapkan bahwa, “Zakat (pajak) dikenakan atas: 1). Jiwa, dan 2). Semua jenis harta kekayaan yang dimiliki oleh masyarakat dimana zakat (pajak) itu ditetapkan”. Berdasarkan syari’at primer ini 24Jack

M. Balkin, Being Just with Deconstruction, 3 Social and Legal Studies 393, 1994, hal. 3.

25 Masdar

F. Mas’udi, Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, P3M, Jakarta, 1993, hal. 116-125.

12

sesuai dengan dhuruf sosial ekonomi masyarakat Madinah - Muhammad saw., menetapkan syari’at sekunder mengenai jenis-jenis kekayaan yang dikenakan zakat (pajak) yang meliputi: 1). Hasil pertanian (zuru’); 2). Hasil kebun (tsamar); 3). Ternak (mawasy); 4). Harta niaga (urudl tijarah); 5). Uang (naqd); 6). Hasil tambang (ma’din); dan 7). Harta temuan (rikaz). Dan dari ketentuan (syari’at) yang sekunder ini ditetapkan pula aturan tersier berupa rincian masing-masing kategori tadi. 2. Menyangkut besar kecilnya tarif atau kadar zakat (pajak) secara absolut yang harus dibayar oleh masyarakat, Nabi menetapkan bahwa hal itu ditentukan oleh berat ringannya tantangan keadilan dan kesejahteraan yang dihadapi. Sesuai dengan prinsip syari’at yang primer atau strategis ini, Nabi menetapkan tarif zakat (pajak) – sebagai aturan sekunder – antara 2,5% dan 10%. Ada satu jenis kekayaan yang dikenakan tarif tinggi, 20%, karena perolehannya tanpa upaya, yaitu harta karun (rikaz). Artinya apabila variabel tantangan keadilan dan kemaslahatan ditemukan lebih berat pada masyarakat yang lain, seperti dalam kehidupan masyarakat modern sekarang ini, tarif yang ditentukan Nabi tersebut tidak ada halangan, untuk diperbesar. Kalau perlu, sistem perzakatan (perpajakan) progresif pun diterapkan. 3. Menyangkut kadar relatif dari tarif zakat (pajak), Muhammad saw. menentukan bahwa hal itu harus dilihat pada sektor ekonomi mana yang telah mencuatkan kesenjangan sosial pada masyarakat yang bersangkutan. Atas dasar prinsip ini, sesuai dengan dhuruf masyarakatnya, Nabi telah menetapkan atas hasil pertanian tarif zakat (pajak) yang lebih tinggi dari yang dikenakan atas kekayaan niaga. Atas hasil pertanian ditetapkan zakat (pajak) 5% - 10%, sementara atas niaga hanya 2,5%. Seperti diketahui, penduduk Madinah, atas siapa tarif itu dikenakan, adalah masayarakat yang secara ekonomi lebih banyak bertumpu pada olah pertanian. Jika ada usaha perdagangan, itu hanya melibatkan sekelompok kecil saja dan belum berkembang. Ini berbeda dengan yang terjadi di Makkah, dimana arus utama perekonomian justru pada perdagangan, bahkan tidak jarang yang sangat kapitalistik. 4. Menyangkut waktu pembayaran zakat (pajak), Rasulullah menetapkan sebagian zakat (pajak) harus dibayar secara periodik tapi juga ada yang dibayar tergantung kapan kekayaan yang terkena zakat itu tiba di tangan. Dengan penjelasan tersebut, maka kita dapat beranjak pada suatu analisis dekonstruktif terhadap ketentuan muzakki yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Dekonstruksi ini diarahkan untuk membongkar [atau membuka] dan sekaligus menjelaskan penumbra semantik muzakki. Dekonstruksi dapat dilakukan dengan cara-cara berikut. 1. Secara fiqhiyah terminologi tersebut merupakan terminologi yang menimbulkan masalah. Karena yang termasuk Warga Negara Indonesia adalah orang dewasa, anakanak, orang yang dapat berakal dan orang gila [vide: Pasal 1 Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958]. Dalam konteks ini, para ulama berselisih faham tentang mewajibkan zakat terhadap anak yatim (kecil) dan orang gila. Mayoritas ahli fiqih berpendapat, bahwa zakat tetap diwajibkan atas semua harta benda milik anak kecil dan orang gila sekalipun. Orang-orang terkemuka di antara mereka yang berpendapat demikian 13

adalah ‘Atha’, Jabir ibnu Zaid, Thawus, Imam Syafi’I, Imam Ahmad, Imam Malik dan Ishaq. Pendapat mereka didasari oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani di dalam kitab al-Ausath melalui shahabat Anas ibnu Malik ra. 2. Penggunaan [konsep] teks “badan yang dimiliki oleh orang muslim” [vide: Pasal 1 angka 3 jo. Pasal 2 Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat] dalam mengartikan terminologi muzakki, adalah tidak tepat. Karena wajib zakat selalu melekat zakat pada subyek hukum perseorangan dan bukan pada subyek hukum sebagai badan. Sebab, muzakki haruslah beragama Islam, sesuai dengan ketentuan syarat-syarat muzakki yang disepakati oleh jumhur ulama. Jika konsep ini tetap dipaksakan untuk dipakai, maka pertanyaannya sejak kapan badan (usaha dan atau hukum) memiliki agama? Secara praksis dan teoritis badan (usaha dan atau hukum) tidak akan pernah dapat beragama (Islam), karena ia tak mungkin dan tak dapat bersyahadat atau menyatakan diri masuk agama tertentu, dan juga tak mungkin dan tak dapat melakukan ibadah-ibadah yang harus dilakukan oleh pemeluk agama (Islam) dalam satu integrasi rukun agama (Islam) seperti sholat, puasa dan haji (bila mampu). 3. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat menurut tinjauan teori hierarki norma digolongkan dalam kedudukan norma Formelle Gesetz (peraturan perundang-undangan). Karena berbentuk Formelle Gesetz maka secara otomatis ia tidak termasuk dalam golongan Grund Norm (norma dasar) dan atau golongan Grund Gesetz (aturan dasar). Norma hukum di luar golongan Grund Norm (norma dasar) dan atau golongan Grund Gesetz (aturan dasar) tidak boleh berbentuk norma hukum tunggal, norma itu haruslah norma hukum berpasangan. Oleh sebab itu, norma hukum tersebut haruslah dilekati norma hukum sekunder-berbentuk sanksi pidana atau sanksi pemaksa. Namun, sekali lagi kita menyaksikan bunuh diri teks secara sintaktik oleh UndangUndang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, dengan tidak mencantumkan atau pun mengatur ketentuan norma hukum sekunder yang berisi tata cara penanggulangannya apabila suatu norma hukum primer itu tidak dipenuhi seperti suatu sanksi pidana atau sanksi pemaksa bagi mereka (baca: muzakki) yang tidak melakukan kewajiban membayar zakat. Atau apabila tidak demikian, maka Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat ini tidak dapat disebut sebagai undang-undang yang patut dan baik, karena ia bertentangan dengan asas formal pembentukan perundangundangan yang patut atau asas dapat dilaksanakan. Penutup Poin-poin pemikiran di atas tentunya masih terkesan hibrid dan asing bagi dunia pendidikan hukum khususnya menyangkut penelitian hukum di kampus-kampus. Memang masih diperlukan suatu upaya rintisan dan kajian mendalam terhadap kecenderungan literatur metodologis hukum di Indonesia yang sekedar komparatif,

14

deskriptif dan kurang mengasah logika penulisan. Tentunya hal ini merupakan proyek pengetahuan jangka panjang dan patut direkomendasikan sebagai kajian riset hukum tersendiri di masa mendatang. []

15

Related Documents


More Documents from ""

May 2020 4