Difabel dan Usaha Dekonstruksi Kesempurnaan Istilah difabel muncul dan digunakan di Indonesia mulai akhir millennium kedua atau mulai pada tahun 1998 sebagai istilah yang digunakan untuk menyebut individu yang mengalami kelainan fisik. Bukan sejarah singkat untuk sampai penggunaan istilah difabel. Pada decade 70-80an masyarakat dan pemerintah menyebut individu yang mengalami kelainan fisik sebagai penderita cacat. Namun dalam pandangan umum, penggunaan kata penderita dianggap tidak menggambarkan secara obyektif realitas yang dialami individu yang disebut. Individu yang mengalami kelainan fisik tidak selalu hidup dalam penderitaan. Mereka juga bisa bertawa tanpa merasakan penderitaan karena kondisi yang mereka alami. Penderitaan yang diasumsikan oleh masyarakat pada umumnya lebih disebabkan oleh persepsi orang diluar individu yang mengalami kelainan fisik. Istilah berikutnya yang digunakan adalah penyandang cacat. Namun pada perkembangannya istilah ini juga mengalami penolakan karena masih terdapat istilah cacat di dalamnya. Penolakan tersebut bukan tanpa alasan. Kata cacat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pada dasarnya lebih tepat jika dilekatkan pada barang atau benda mati. Seorang difabel bernama Bahrul Fuad dalam tulisannya memberikan sebuah ilustrasi, ketika sebuah pabrik memproduksi botol atau kaleng secara besar-besaran maka akan ditentukan bentuk, ukuran serta beratnya. Misalkan; botol tersebut berbentuk silinder dengan tinggi 10 cm dan berat 100 gram. Maka ketika ada beberapa botol yang dikeluarkan oleh alat produksi dengan ukuran yang tidak sesuai dengan ketentuan, maka botol tersebut dikatakan cacat atau afkir. Coba kita bandingkan jika kata cacat tersebut dilekatkan pada manusia?1. Tidak ada manusia yang diciptakan sama oleh Allah SWT. Perbedaan selalu ada walaupun itu pada sidik jarinya. Menyebut cacat berarti memnculkan istilah normal sebagai lawan katanya. Pertanyaan berikutnya, bagaimana criteria manusia normal tersebut?. Oleh karena alasan diatas, mereka yang disandangi dengan istilah tersebut berusaha untuk menemukan istilah yang lebih tepat dan netral dalam menggambarkan kondisi mereka. Maka dipakailah istilah difable yang merupakan akronim dari kalimat Different Ability People (manusia yang memiliki kemampuan berbeda). Dalam realitasnya memang setiap manusia memiliki potensi diri yang dapat dikembangkan termasuk mereka yang selama ini disebut cacat. Setiap manusia mampu untuk menggapai prestasi, hanya cara yang mereka gunakan saja yang berbeda. 1
www.cakfu.info
Menjadi cacat adalah aib atau karma karena dosa orang tua, itu pemikiran yang berkembang di masyarakat kebanyakan. Pandangan negatif dari masyarakat memberikan dampak psikologis bagi individu yang mempunyai kelainan fisik. Akibat yang ditimbulkan selanjutnya adalah keterpurukan ekonomi dan menjalani hidup dengan perlakuan diskriminatif masyarakat. Perlu perhatian serius dari pemerintah terhadap hal ini karena bisa menimbulkan bahaya laten dalam kehidupan social masyarakat. Seiring konflik social yang intensitasnya cenderung bertambah serta bahaya bencana alam yang semakin sering terjadi, jumlah difabel mempunyai kemungkinan untuk terus bertambah. Kondisi tersebut diperparah dengan fakta bahwa sebagian besar individu yang mengalami kelainan fisik hidup dalam kemiskinan. Hal tersebut terjadi karena akses mereka pada pelayanan kesehatan, pendidikan, ekonomi serta politik sangat terbatas. Keterbatasan akses bagi individu yang mengalami kelainan fisik bukan hal yang tanpa alasan. Sebagian besar masyarakat kita belum menerima keberadaan difabel sebagai bagian integral masyarakat. Bagi pemerhati masalah social isu difabilitas juga belum menjadi berita penting yang harus diwacanakan di masyarakat. Kecacatan yang oleh masyarakat kita masih dimaknai sebagai sifat abnormal, ketidak sempurnaan, dan keadaan yang rusak sehingga perlu untuk disempurnakan. Pemaknaan kata cacat sebagai ketidak sempurnaan ini menjadi sangat kontroversial jika dikaitkan dengan hakikat penciptaan manusia. Jika entitas manusia dipandang sebagai hasil dari sebuah proses maka kecacatan atau ketidaksempurnaan yang dilekatkan pada para penyandang cacat dapat juga dimaknai sebagai ketidaksempurnaan dari sebuah proses penciptaan manusia yang dilakukan oleh Allah s.w.t. Jika demikian adanya tentu ini sangat bertentangan dengan sifat ke Maha Sempurnaan Allah. Mungkinkah Allah melakukan kesalahan, minimal kekhilafan dalam menciptakan sebagian dari manusia sehingga mereka menjadi cacat? Dzat Allah yang maha sempurna tentu sangatlah jauh dari sifat salah, khilaf ataupun tidak teliti. Segala apa yang dilakukan oleh Allah tentu telah diperhitungkan dengan matang, detil dan seksama. Sehingga semua hasil karya Allah selalu diliputi oleh sebuah maksud dan jauh dari sifat sia-sia2. Allah dalam Al Quran menjelaskan bahwa penciptaan manusia dilakukan dengan jelas dan detail, mulai dari proses penciptaan secara fisik hingga maksud dari penciptaan manusia itu sendiri. Dalam surat At Tiin dijelaskan:”sesungguhnya manusia diciptakan dalam keadaan yang sempurna. Kemudian Allah mengembalikan mereka ke posisi yang serendahrendahnya(hina). Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal sholeh, maka bagi 2
www.cakfu.info
mereka pahala yang tiada putus-putusnya”. Dihadapan Allah, dimensi spiritual melalui keimanan dan amal sholeh lebih utama dibanding fisik. Dari sini dilihat bahwa tidak ada alasan untuk bersikap diskriminatif terhadap difabel. Dalam teori bahasa dan kekuasaan yang perkenalkan oleh Michael Fucoult penyandang cacat sebagai salah satu kelompok minoritas tak berdaya serta tak punya pilihan sehingga menerima begitu saja istilah yang dilekatkan pada dirinya selama berabad-abad dan dipahami sebagai sebuah “budaya” yang tidak dapat dipisahkan dari sistem masyarakat kita.Cara berfikir diatas telah dikontruksikan oleh masyarakat kita selama berabad-abad menjadi bagian dari kehidupan mereka hingga tidak disadari hal tersebut sebagai sebuah kesalahan (ketidak adilan). Bahkan sebagian dari masyarakat- awam -kita masih meyakini bahwa kecacatan adalah kutukan atau dosa. Hanya karena istilah yang “kebetulan” disandangnya para penyandang cacat harus hidup menjadi kelompok marginal tersingkir dipojok hiruk pikuk kehidupan dibumi ini. Dunia normalitas, secara sadar atau tidak, dalam dunia itulah kita hidup. Banyak hal untuk menunjukkan hal tersebut. Individu yang hidup di dalam suatu lingkungan masyarakat selalu berusaha untuk mengikuti apa yang kebanyakan orang lain lakukan dan dapatkan, misalnya kecerdasan dan kesehatan. Muncul nilai rata-rata dari segala perhitungan tersebut. Konsep normalitas muncul dari nilai rata-rata tersebut. Individu yang tidak memenuhi syarat nilai rata-rata akan disebut cacat atau tidak normal, dan itu berlaku dalam semua bidang kehidupan. Istilah normal, normality, normalcy, norm, average dan abnormal masuk ke daratan Eropa relatif belum lama. Kata-kata tersebut mulai diperkenalkan dalam bahasa Inggris sekitar tahun 1840. Selanjutnya kata normal tersebut dipakai secara luas antara tahun 1840-1860. Jika konsep normalitas yang selanjutnya dibakukan dalam sebuah kata “normal” muncul di Eropa pada abad 19, lalu pertanyaannya apa yang melatarbelakangi munculnya pembentukan kata tersebut. Jawabnya adalah ilmu statistik –salah satu cabang ilmu matematika. Menurut Porter (1986), kata statistik muncul pertama kali pada tahun 1749 yang diperkenalkan oleh Gottfried Achenwall sebagai aritmatik politik- penggunaan data untuk kebutuhan negara dalam merancang kebijakan. Konsep ini kemudian beralih fungsi dari bidang politik ke bidang kesehatan ketika Bisset Hawkins memperkenalkan konsep medical statistik pada tahun 1829. Medical Statistik adalah sebuah konsep penggunaan angka untuk menggambarkan kondisi kesehatan seorang pasien. Selanjutnya seorang ahli statistik Prancis Adolphe Quetelet (1796-1849) membakukan konsep normalitas pada pola pikir masyarakat. Dia mengatakan bahwa “law of error” yang digunakan oleh para ahli astronomi dalam
menentukan posisi bintang dengan menghitung masing-masing kekuatan cahaya dari seluruh bintang dan kemudian mengukur rata-ratanya, juga dapat diaplikasikan pada manusia untuk mengukur berat dan tinggi mereka. Kemudian Quetelet merumuskan konsep yang diberi nama “l’homme moyen” atau manusia rata-rata. Konsep manusia rata-rata ini kemudian diadopsi oleh seluruh masyarakat di seluruh dunia, dimana ukuran rata-rata disesuaikan dengan kondisi masing-masing masyarakat di setiap negara. Selain itu Quetelet juga memperkenalkan konsep “kelompok dibawah rata-rata” yang dia sebut “les classes moyen”3 yang selanjutnya memunculkan konsep kecacatan. Dari teori yang disampaikan Quetelet konsep kecacatan menekankan pada kondisi fisik manusia seperti berat, tinggi dan bentuk tubuh. Jika terdapat inidividu yang memiliki karakteristik diluar karakteristik rata-rata, maka mereka digolongkan dalam individu yang tidak normal. Konsep ini kemudian diadopsi oleh masyarakat untuk melihat kecacatan. Sesuatu yang tidak memenuhi standar harus disesuaiakan untuk menjadi normal, yang selanjutnya dilakukan melalui operasi atau rehabilitasi medis. Menjadi pertanyaan kenapa penyesuaian dilakukan justru pada fisik seseorang yang tentunya mempunyai resiko besar dibanding melakukan penyesuaian terhadap benda, peralatan atau lingkungan disekitar kita ? Selain akan terus memacu kreatifitas kita, melalui penyesuaian lingkungan akan menjaga harkat kemanusiaan difabel dan menghilangkan diskriminasi yang selama ini terjadi. Bukan persoalan mudah untuk membahas diskriminasi disini. Seringkali terdapat pertanyaan dalam diri masyarakat, apakah diskriminasi itu benarbenar ada, atau hanya muncul dari perasaan difabel itu sendiri ? Membahas diskriminasi dalam hal ini bisa dilakukan dengan menggunakan 2 (dua) pandangan yang berbeda antara sudut pandang teori dan realitas pengalaman kehidupan. Secara leksikal, diskriminasi di definisikan perlakuan terhadap orang atau kelompok yang didasarkan pada golongan atau kategori tertentu. Dapat juga diartikan sebagai sebuah perlakuan terhadap individu secara berbeda degnan didasarkan pada gender, ras, agama, umur atau karakteristik yang lain. Dari dua definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa diskriminasi adalah bentuk perlakuan yang berbeda. Terhadap difabel, perlakuan tersebut didasarkan pada kondisi fisik mereka yang berbeda. Perlakuan diskriminatif masyarakat didasarkan pada asumsi bahwa dengan difabilitas yang dimiliki, difabel dianggap tidak mampu melakukan aktifitas sebagaimana orang lain pada umumnya.
3
www.cakfu.info
Untuk menjawab pertanyaan awal apakah diskriminasi merupakan kenyataan atau perasaan, dapat digunakan ilustrasi pada penerimaan calon pegawai. Seringkali dijumpai syarat sehat jasmani dan rohani. Biasanya persyaratan tersebut tertulis tanpa penjelasan, sehingga maknanyapun sangat umum. Arti sehat jasmani dapat dimaknai bahwa selain seseorang tidak memiliki kekurangan fisik, dia juga terbebas dari segala penyakit seperti penyakit ginjal, kanker, atau penyakit lainnya. Sedangkan sehat rohani dapat juga diartikan bukan hanya sehat secara mental (psikis) namun juga sehat secara moral. Namun kebanyakan kedua istilah sehat jasmani maupun rohani lebih merujuk pada kondisi difabel seseorang. Seseoarang akan dengan langsung ditolak menjadi pelamar kerja jika nyata-nyata dia buta, tuli, bisu, atau pincang. Namun tidak bagi mereka yang mengidap penyakit kencing manis, radang paru, atau penyakit sejenis yang tidak nyata kelihatan. Hal ini akan menjadi aneh ketika kedua persyaratan tersebut digeneralisasikan untuk semua jenis pekerjaan. Padahal tidak semua pekerjaan membutuhkan persyaratan fisik. Untuk sekedar mengetik surat, tentu tidak dibutuhkan bahwa seseorang harus bisa bicara ataupun mendengar bahkan berjalan dengan benar. Kenyataan tersebut secara tidak langsung mengubur semangat difabel untuk memperoleh pekerjaan. Contoh lainnya adalah pada penyediaan fasilitas umum, seperti kantor pemerintahan, sekolah, kampus dan sebagainya. Kebanyakan fasilitas tersebut dibangun tanpa memperhitungkan keberadaan difabel. Padahal sebagai warga negara mereka memiliki hak yang sama untuk menikmati fasilitas yang dibangun oleh pemerintahnya. Tidak mempedulikan kepentingan mereka berarti juga telah memperlakukan difabel secara diskriminatif. Kenyataan diatas jelas menunjukkan bahwa diskriminasi bukan hanya perasaan difabel, melainkan sebuah realitas yang ada di hadapan kita. Heru Nurprismawan Institute for Social Development